Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 1"

Transkripsi

1 Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 1 Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa sebagai badan kehakiman peradilan utama dari Perserikatan Bangsa- Bangsa yang dibentuk dan bekerja sesuai dengan ketentuan Statuta ini. BAB I ORGANISASI MAHKAMAH Pasal 2 Mahkamah terdiri dari suatu badan kehakiman yang tidak memihak yang dipilih tanpa memandang kebangsaan mereka dari orang-orang yang berbudi luhur yang memiliki syarat-syarat yang diperlukan di negara-negara mereka masing-masing untuk diangkat sebagai pejabat hukum tertinggi atau sebagai penasehat-penasehat hukum yang diakui kepakarannya dalam hukum internasional. Pasal 3 1. Mahkamah terdiri dari lima belas anggota. diantara mereka tidah diperbolehkan adanya dua orang berkewarganegaraan dari negara yang sama. 2. Seorang yang untuk tujuan keanggotaan Mahkamah dapat dipandang berkebangsaan lebih dari satu negara, akan dipandang memiliki kebangsaan dari negara dimana ia biasanya menjalankan hak-hak sipil dan politiknya. Pasal 4 1. Anggota-anggota Mahkamah dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan dari daftar calon-calon yang diajukan oleh kelompok nasional dalam Mahkamah Tetap dari Peradilan sesuai dengan syarat-syarat sebagai berikut. 2. Dalam hal Anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tidak diwakili dalam Mahkamah Tetap dari Peradilan, calon-calon harus diajukan oleh Kelompok nasional yang dibentuk untuk maksud ini oleh pemerintahan-pemerintahan mereka

2 dengan syarat-syarat yang sama sebagaimana yang ditentukan bagi anggotaanggota Mahkamah Tetap dari Peradilan dalam Pasal 44 Konvensi Den Haag 1907 mengenai penyelesaian pertikaian-pertikaian international secara damai. 3. Syarat-syarat yang ditentukan suatu negara yang menjadi peserta Statuta sekarang tetapi bukan Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat turut sena dalam pernilihan anggota-anggota Mahkamah, apabila tidak ada suatu persetujuan khusus, akan ditentukan oleh Majelis Umum berdasarkan rekomendasi dari Dewan Keamanan. Pasal 5 1. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal pemilihan, Sekreiaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mengajukan permohonan tertulis kepada anggota-anggota Mahkamah Tetap dari Perdadilan yang termasuk negaranegara yang telah menjadi pihak dari Statuta saat ini, dan kepada anggota-anggota Kelompok nasional yang diangkat dalam memenuhi ketentuan Pasal 4, ayat 2. dengan mengajukan orang-orang untuk menerima tugas-tugas selaku anggota Makkamah. 2. Setiap kelompok tidak dapat mengajukan lebih dari empat orang calon, dan tak lebih dari dua orang diantara mereka mewakili kebangsaannya sendiri. Selanjutnya juga bagi calon-calon yang diajukan oleh suatu kelompok tidak boleh lebih dan dua kali lipat dari jumlah kursi-kursi yang akan diisi. Pasal 6 Sebelum nominasi-nominasi ini dilakukan, setiap kelompok nasional dianjurkan untuk meminta pertimbangan mahkamah peradilan tertinggi, lembaga-lembaga hukum dan sekolah-sekolah pendidikan hukum, akademi-akademi nasional dan akademi nasional yang merupakan bagian dari akademi-akademi international yang khusus melakukan penelitian dibidang hukum. Pasal 7

3 1. Sekretaris Jenderal mempersiapkan suatu dafiar menurut abjad yang terdiri dari calon yang telah diajukan. Kecuali hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat 2, merekalah yang semata-mata memenuhi syarat agar dapat dipilih. 2. Sekretaris Jenderal harus meneruskan dafar ini kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Pasal 8 Majelis Umum dan Dewan Keamanan harus bekerja bebas satu sama lain dalam memilih anggota-anggota Mahkamah. Pasal 9 Pada setiap pemilihan, pemilih-pcmilih harus memperhatikan agar tidak saja peserta yang akan dipilih masing-masing benar-benar memenuhi syarat-syarat yang diperlukan akan tapi juga bahwa dalam keseluruhan badan itu harus terjamin keterwakilinya setiap bentuk-bentuk peradaban utama dan sistem hukum yang terpenting dan berpengaruh di dunia. Pasal Para calon-calon yang mendapatkan suara mutlak terbanyak dalam Majelis Umum dan Dewan Keamanan harus dianggap sebagai yang terrpilih. 2. Setiap pengambilan suara dalam Dewan Keamanan, baik untuk pemilihan hakim-hakim maupun untuk pengangkatan anggota konferensi yang diuraikan dalam Pasal 12, harus diambil tanpa memperbedakan antara anggota-anggota tetap dan tidak tetap dalam Dewan Keamanan. 3. Dalam hal terjadi terpilih lebih dari satu warga negara dari negara yang sama yang memperoleh mayoritas mutlak dari suara kedua Majelis Umum dan Dewan Keamanan, maka yang berusia tertua dari merekalah yang harus dianggap sebagai yang terrpilih.. Pasal 11

4 Jika, setelah pertemuan pertama yang diadakan untuk tujuan pemilu, satu atau lebih kursi tetap harus diisi, kedua dan, jika perlu, pertemuan ketiga akan terjadi. Pasal 12 1.Bila sesudah rapat ketiga satu kursi atau lebih belum juga terisi, suatu konfrensi bersama yang terdiri dari enam anggota, tiga ditunjuk oleh Majelis Umum dan tiga oleh Dewan Keamanan dapat diadakan pada setiap saat baik atas permintaan Majelis Umum ataupun atas permintaan Dewan Keamanan, dengan tujuan memilih satu nama untuk setiap kursi yang masih kosong, melalui keputusan suara terbanyak mutlak untuk disampai kan kepada Majelis Umum dan Dewan Kcamanan untuk penenmaan mereka. 2. Bila konferensi gabungan mencapai kesepakatan bulat mengenai seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, maka ia dapat dimasukkari ke dalam daftar walaupun ia tidak termasuk ke dalam daftar penunjukan yang di maksud dalam Pasal Bila koferensi gabungan sepakat bahwa tak akan dapat tercapai keputusan dalam suatu pemilihan, anggota-anggota Mahkamah yang sudah terpilih, dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Dewan Keamanan harus mengisi kursikursi yang belum terisi dengan memilih dari calon-calon yang memperoleh suara baik dalam Majelis Umum maupun Dewan Keamanan. 4. Dalam hal hakim-hakim dalam pengambilan suara sama banyak maka hakim yang tertualah yang akan memberikan suara yang menentukan. Pasal Anggota-anggota Mahkamah dipilih untuk sembilan tahun dan dapat dipilih kembali, dengan ketentuan bahwa para hakim yang terpilih pada pemilihan pertama, masa dari lima orang hakim akan gugur sesudah akhir tiga tahun dan masa dari lima orang hakim lainnya akan gugur pada akhir tahun keenam. 2. Hakim-hakim yang masanya akan gugur setelah jangka waktun tiga dan enam tahun seperti yang tersebut di atas akan dipilih melalui undian yang ditarik oleh Sekretaris Jenderal segera setelah pemilihan pertama selesai. 3. Para anggota Mahkamah akan terus melanjutkan tugasnya sampai tugastugas mereka terisi. Sekalipun telah digantikan, mereka tetap akan menyelesaikan setiap perkara yang telah mereka pegang sejak dari awal..

5 4. Dalam hal adanya pengunduran dirinya anggota Pengadilan, pengunduran diri tersebut harus ditujukan kepada Ketua Pengadilan untuk diteruskan kepada Sekretaris Jenderal. Dengan adanya pemberitahuan ini membuat jabatan tersebut dianggap menjadi kosong. Pasal 14 Lowongan dapat diisi oleh metode yang sama seperti yang digariskan untuk pemilihan pertama, tunduk pada ketentuan berikut: Sekretaris Jenderal harus, dalam waktu satu bulan setelah terjadi lowongan, selanjutnya harus mengeluarkan undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, dan untuk tanggal pemilihannya akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan. Pasal 15 Seorang anggota Mahkamah terpilih untuk menggantikan anggota yang masa jabatannya belum kedaluwarsa akan memegang jabatan selama sisa jangka pendahulunya. Pasal Tidak ada anggota dari Pengadilan dapat melaksanakan fungsi politik atau administratif, atau terlibat dalam pekerjaan lain yang bersifat profesional. 2. Setiap keraguan mengenai hal ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan. Pasal Tidak ada anggota dari Pengadilan dapat bertindak sebagai agen, penasehat, atau advokat dalam hal apapun. 2. Tidak ada anggota dapat berpartisipasi dalam keputusan setiap kasus di mana ia sebelumnya mengambil bagian sebagai agen, penasehat, atau pembela salah satu

6 pihak, atau sebagai anggota pengadilan nasional atau internasional, atau komisi penyelidikan, atau dalam kapasitas lain. 3. Setiap keraguan mengenai hal ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan. Pasal Tidak ada anggota Mahkamah bisa diberhentikan kecuali, menurut pendapat bulat dari anggota lain, dia tidak lagi memenuhi persyaratan yang diperlukan. 2. Pemberitahuan resmi dari padanya akan dilakukan kepada Sekretaris Jenderal dengan Panitera. 3. Pemberitahuan ini membuat jabatan itu kosong. Pasal 19 Para anggota Mahkamah, ketika terlibat pada bisnis Pengadilan, harus menikmati hak istimewa dan kekebalan diplomatik. Pasal 20 Setiap anggota Mahkamah akan, sebelum memulai tugasnya, membuat pernyataan khidmat di pengadilan terbuka bahwa ia akan melaksanakan kekuasaannya memihak dan sungguh-sungguh. Pasal Pengadilan akan memilih Presiden dan Wakil Presiden selama tiga tahun, mereka dapat terpilih kembali. 2. Pengadilan akan menunjuk Panitera dan dapat memberikan penunjukan petugas lainnya yang dianggap perlu.

7 Pasal Kedudukan domisili Pengadilan akan ditetapkan di Den Haag. dengan ini, bagaimanapun, tidak akan mencegah pengadilan dari kedudukan domisili dan berolah fungsi tempatnya yang lain setiap kali Pengadilan menganggap perlu. 2. Presiden dan Panitera akan berada di kedudukan domisili Pengadilan. Pasal Pengadilan akan tetap secara permanen di sesi, kecuali selama liburan peradilan, tanggal dan durasi yang akan ditetapkan oleh Pengadilan. 2. Anggota Mahkamah berhak atas cuti periodik, tanggal dan durasi yang akan ditetapkan oleh Pengadilan, terbersit dalam pikiran jarak antara Den Haag dan rumah dari setiap hakim. 3. Anggota Mahkamah akan terikat, kecuali mereka cuti atau berhalangan karena sakit atau alasan serius lainnya sepatutnya menjelaskan kepada Presiden, untuk menahan diri secara permanen di pembuangan Pengadilan. Pasal Jika, untuk beberapa alasan khusus, anggota Mahkamah menilai bahwa ia seharusnya tidak mengambil bagian dalam keputusan kasus tertentu, ia wajib memberitahu Presiden. 2. Jika Presiden menganggap bahwa untuk beberapa alasan khusus salah satu anggota Mahkamah tidak harus duduk dalam kasus tertentu, maka ia harus memberinya melihat sesuai. 3. Jika dalam kasus seperti ini, anggota Pengadilan dan Presiden setuju, masalah ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan. P a s

8 a l Pengadilan akan duduk penuh kecuali bila secara tegas ditentukan lain dalam Anggaran Dasar ini. 2. Dengan syarat bahwa jumlah hakim yang tersedia untuk membentuk Mahkamah tidak berkurang di bawah sebelas, Peraturan Pengadilan dapat menyediakan untuk memungkinkan satu atau lebih hakim, sesuai dengan keadaan dan dalam rotasi, yang akan dibagikan dari duduk. 3. Sebuah kuorum dari sembilan hakim cukup untuk membentuk Pengadilan. P a s a l Pengadilan dapat dari waktu ke bentuk waktu satu atau lebih kamar, terdiri dari tiga atau lebih hakim sebagai Pengadilan dapat menentukan, untuk menangani kasus kategori tertentu, misalnya, kasus perburuhan dan kasus yang berkaitan dengan angkutan dan komunikasi. 2. Pengadilan setiap saat dapat membentuk ruang untuk menangani kasus tertentu. Jumlah hakim untuk membentuk seperti sebuah ruangan akan ditentukan oleh Mahkamah dengan persetujuan para pihak. 3. Kasus harus didengar dan ditentukan oleh ruang yang diatur dalam artikel ini apabila para pihak permintaan.

9 Sebuah penilaian yang diberikan oleh salah satu ruang diatur dalam Pasal 26 dan 29 dianggap sebagai yang diberikan oleh Pengadilan. majelis diatur dalam Pasal 26 dan 29 dapat, dengan persetujuan para pihak, duduk dan melaksanakan fungsi mereka di tempat lain daripada di Den Haag. Dengan tujuan untuk pengiriman cepat dari bisnis, Mahkamah akan membentuk setiap ruang terdiri dari lima hakim yang, atas permintaan para pihak, dapat memeriksa dan memutuskan kasus dengan prosedur ringkasan. Selain itu, dua hakim harus dipilih untuk tujuan penggantian hakim yang merasa tidak mungkin untuk duduk.

10 1. Mahkamah akan membingkai aturan untuk menjalankan fungsinya. Secara khusus, ia harus berbaring aturan prosedur. 2. Aturan Pengadilan dapat menyediakan asesor untuk duduk ke Pengadilan atau dengan salah satu ruang, tanpa hak untuk memilih. 1. Hakim melihat kewarganegaraan dari masing-masing pihak akan mempertahankan hak mereka untuk duduk dalam kasus pengadilan. 2. Jika Pengadilan termasuk pada Bench hakim melihat kewarganegaraan dari salah satu pihak, pihak lain mungkin memilih orang untuk duduk sebagai hakim. Orang tersebut harus dipilih sebaiknya berasal dari kalangan orang-orang yang telah dinominasikan sebagai calon sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Jika Pengadilan termasuk pada tempat hakim tidak ada hakim melihat kewarganegaraan dari para pihak, masing-masing pihak dapat melanjutkan untuk memilih hakim sebagaimana ditentukan dalamayat 2 Pasal ini. 4. Ketentuan-ketentuan Pasal ini akan berlaku untuk kasus Pasal 26 dan 29. Dalam kasus tersebut, Presiden akan meminta satu atau, jika perlu, dua anggota Mahkamah membentuk ruang untuk mewadahi anggota Pengadilan kewarganegaraan dari pihak yang bersangkutan, dan, gagal seperti itu, atau jika mereka tidak dapat hadir, para hakim khusus dipilih oleh para pihak.

11 5. Harus ada beberapa pihak untuk kepentingan yang sama, mereka harus, untuk tujuan ketentuan-ketentuan sebelumnya, harus diperhitungkan sebagai salah satu pihak saja. Keraguan pada titik ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan. 6. Hakim dipilih sebagai ditetapkan dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini harus memenuhi kondisi yang disyaratkan oleh Pasal 2, 17 (ayat 2), 20, dan 24 dari Statuta ini. Mereka harus mengambil bagian dalam keputusan tentang hal kesetaraan lengkap dengan rekan-rekan mereka. 1. Setiap anggota Mahkamah akan menerima gaji tahunan. 2. Presiden harus menerima tunjangan tahunan khusus. 3. Wakil Presiden akan menerima tunjangan khusus untuk setiap hari dimana dia bertindak sebagai Presiden. 4. Para hakim dipilih berdasarkan Pasal 31, selain anggota Pengadilan, akan menerima kompensasi untuk setiap hari di mana mereka melaksanakan fungsi mereka. 5. Ini gaji, tunjangan, dan kompensasi akan ditetapkan oleh Majelis Umum. Mereka tidak mungkin akan menurun selama masa jabatan. 6. Gaji Panitera harus ditetapkan oleh Majelis Umum atas usul Pengadilan. 7. Peraturan yang dibuat oleh Majelis Umum akan memperbaiki kondisi di mana pensiun pensiun dapat diberikan kepada anggota Mahkamah dan Panitera, dan kondisi di mana anggota Mahkamah dan Panitera akan memiliki biaya perjalanan mereka dikembalikan. 8. Gaji di atas, tunjangan, dan kompensasi harus bebas dari semua pajak.

12 Biaya Pengadilan akan ditanggung oleh PBB sedemikian rupa ditetapkan oleh Majelis Umum.

13 1. Negara hanya mungkin pihak dalam kasus pengadilan. 2. Pengadilan, dikenakan dan sesuai dengan Aturan nya, dapat meminta informasi organisasi publik internasional yang relevan untuk kasus-kasus sebelumnya, dan akan menerima informasi tersebut disajikan oleh organisasi seperti atas inisiatif sendiri. 3. Setiap kali pembangunan instrumen konstituen dari organisasi publik internasional atau dari bawahnya konvensi internasional diadopsi dipertanyakan dalam kasus sebelum Pengadilan, Panitera sehingga harus memberitahu organisasi publik internasional yang bersangkutan dan harus menyampaikan kepada itu salinan dari semua tuntutan tertulis. 1. Pengadilan harus terbuka kepada negara pihak pada Statuta ini. 2. Kondisi di mana Mahkamah akan terbuka bagi negara-negara lain harus, tunduk pada ketentuan khusus yang terkandung dalam perjanjian yang berlaku, akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan, tetapi dalam kasus apapun kondisi seperti menempatkan para pihak dalam posisi ketidaksetaraan sebelum pengadilan. 3. Ketika sebuah negara yang bukan Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan pihak pada sebuah kasus, Mahkamah akan memperbaiki jumlah yang pihak yang berkontribusi terhadap biaya Pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku jika negara tersebut membawa bagian dari biaya Pengadilan.

14 1. Yurisdiksi Pengadilan terdiri dari semua kasus dimana para pihak menyebutnya dan semua hal-hal khusus yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa atau dalam perjanjian dan konvensi yang berlaku. 2. Negara pihak pada Statuta ini dapat setiap saat menyatakan bahwa mereka mengakui sebagai ipso facto wajib dan tanpa kesepakatan khusus, dalam hubungannya dengan negara lain menerima kewajiban yang sama, yurisdiksi Pengadilan di semua sengketa hukum mengenai: a. interpretasi suatu perjanjian; b. pertanyaan hukum internasional; c. keberadaan setiap fakta yang jika dibentuk, akan merupakan pelanggaran kewajiban internasional; d. sifat atau tingkat perbaikan yang akan dibuat untuk pelanggaran kewajiban internasional. 3. Deklarasi tersebut di atas dapat dilakukan tanpa syarat atau dengan syarat timbal balik pada bagian dari beberapa negara bagian atau tertentu, atau selama waktu tertentu. 4. Deklarasi tersebut harus disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa yang akan menyampaikan salinannya kepada para pihak untuk Statuta dan Panitera Pengadilan. 5. Menurut deklarasi berdasarkan Pasal 36 bagi dasar Statuta Mahkamah Internasional yang mana masih berlaku akan dianggap ada, karena antara pihak dalam Statuta ini, untuk menjadi akseptasi yurisdiksi wajib dari Pengadilan Internasional untuk periode yang mereka masih harus berjalan dan sesuai dengan persyaratan mereka. 6. Dalam hal terjadi perselisihan mengenai apakah Mahkamah memiliki yurisdiksi, masalah ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan.

15 Setiap kali sebuah perjanjian atau konvensi yang berlaku menyediakan untuk referensi materi untuk pengadilan telah ditetapkan oleh Liga Bangsa-Bangsa, atau kepada Mahkamah Internasional, masalah ini harus, antara pihak-pihak pada Statuta ini, disebut ke Mahkamah Internasional. 1. Pengadilan, yang berfungsi untuk memutuskan sesuai dengan sengketa hukum internasional seperti yang diserahkan kepadanya, berlaku: a. konvensi internasional, baik umum maupun khusus, aturan menetapkan secara tegas diakui oleh negara-negara peserta; b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek umum diterima sebagai hukum; c. prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab; d. tunduk pada ketentuan Pasal 59, keputusan hukum dan ajaran-ajaran putusan yang paling berkualifikasi tinggi dari berbagai bangsa, sebagai anak perusahaan berarti untuk penentuan aturan hukum. 2. Ketentuan ini tidak mengurangi kekuatan Mahkamah untuk memutuskan kasus ex aequo et bono, apabila para pihak setuju hal tersebut.

16 1. Bahasa resmi Mahkamah akan terdiri dari bahasa Perancis dan Inggris Jika para pihak sepakat bahwa kasus tersebut dilakukan di Perancis, penilaian disampaikan dalam bahasa Prancis. Jika para pihak sepakat bahwa kasus tersebut akan dilakukan dalam bahasa Inggris, penilaian tersebut harus disampaikan dalam bahasa Inggris. 2. Dengan tidak adanya kesepakatan untuk yang bahasa harus diberlakukan, setiap pihak dapat, dalam pembelaan, menggunakan bahasa yang lebih memilih; putusan Pengadilan harus diberikan dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam hal ini Mahkamah akan sekaligus menentukan yang mana dari dua teks akan dianggap sebagai berwibawa. 3. Mahkamah akan, atas permintaan dari pihak manapun, wewenang bahasa lain selain bahasa Perancis atau bahasa Inggris untuk digunakan oleh pihak tersebut.

17 1. Kasus di bawa ke hadapan Mahkamah, sebagai kasus mungkin, baik dengan pemberitahuan dari perjanjian khusus atau dengan permohonan tertulis yang ditujukan kepada Panitera. Dalam kedua kasus subjek sengketa dan para pihak harus ditunjukkan. 2. Panitera wajib segera mengkomunikasikan aplikasi untuk semua pihak. 3. Dia juga harus memberitahukan kepada Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderal, dan juga setiap negara-negara lain berhak untuk menghadap Pengadilan. 1. Mahkamah akan memiliki kekuatan untuk menunjukkan, jika menganggap bahwa keadaan mengharuskan demikian, setiap tindakan sementara yang seharusnya diambil untuk menjaga hak masing-masing salah satu pihak. 2. Sambil menunggu keputusan akhir, pemberitahuan dari langkah-langkah yang disarankan segera harus diberikan kepada para pihak dan kepada Dewan Keamanan.

18 1. Para pihak akan diwakili oleh agen. 2. Mereka mungkin memiliki bantuan dari pengacara atau advokat sebelum Pengadilan. 3. Para agen, penasehat, dan pendukung partai sebelum Pengadilan wajib mendapatkan hak istimewa dan kekebalan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas mereka independen. Pasal Prosedur ini terdiri dari dua bagian: tertulis dan lisan. 2. Proses tertulis terdiri dari komunikasi ke Pengadilan dan para pihak dari peringatan, kontra-kenangan dan, jika perlu, balasan, juga semua kertas dan dokumen dalam dukungan. 3. Komunikasi ini dilakukan melalui Panitera, untuk dan dalam waktu yang ditetapkan oleh Pengadilan. 4. Salinan resmi dari setiap dokumen yang dihasilkan oleh salah satu pihak harus disampaikan kepada pihak lain. 5. Proses lisan terdiri dari sidang oleh Pengadilan saksi, ahli, agen, penasehat, dan pendukung. 1. Untuk melayani semua pemberitahuan pada orang lain dari agen, penasehat, dan pendukung, Pengadilan harus menerapkan langsung ke pemerintah negara yang atas wilayah pemberitahuan harus dilayani. 2. Ketentuan yang sama berlaku setiap kali langkah yang harus diambil untuk mendapatkan bukti di tempat.

19 Sidang akan berada di bawah kendali Presiden atau, jika ia tidak mampu memimpin, dari Wakil Presiden, jika tidak mampu memimpin, sekarang hakim senior harus memimpin. Sidang di Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali Mahkamah akan menentukan lain, atau kecuali para pihak menuntut bahwa masyarakat akan tidak mengakui. 1. Menitakta harus dilakukan pada setiap sidang dan ditandatangani oleh Panitera dan Presiden. 2. Akta menit ini sendiri sudah otentik. Mahkamah akan membuat perintah untuk pelaksanaan kasus, harus menentukan bentuk dan waktu di mana masing-masing pihak harus menyimpulkan argumen, dan membuat semua pengaturan yang berhubungan dengan pengambilan bukti. Pengadilan dapat, bahkan sebelum sidang dimulai, menyerukan kepada para agen untuk menghasilkan dokumen, atau melakukan penjelasan. Catatan formal harus diambil penolakan apapun.

20 Pengadilan dapat, setiap saat, mempercayakan setiap individu, badan, biro, komisi, atau organisasi lain yang mungkin pilih, dengan tugas melakukan penyelidikan atau memberikan pendapat ahli. Selama mendengar pertanyaan yang relevan untuk diajukan kepada saksi dan ahli di bawah kondisi yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam aturan prosedur dimaksud dalam Pasal 30. Setelah Mahkamah telah menerima bukti-bukti dan bukti dalam waktu tertentu untuk tujuan tersebut, mungkin menolak untuk menerima bukti lebih lanjut lisan atau tertulis bahwa satu pihak mungkin keinginan untuk menyajikan kecuali persetujuan sisi lain. 1. Setiap kali salah satu pihak tidak muncul sebelum Pengadilan, atau gagal dalam mempertahankan kasusnya, pihak lainnya dapat meminta Pengadilan untuk memutuskan mendukung klaimnya. 2. Pengadilan harus, sebelum melakukannya, memenuhi sendiri, bukan hanya bahwa ia memiliki yurisdiksi sesuai dengan Pasal 36 dan 37, tetapi juga bahwa klaim tersebut berdasarkan pada fakta dan hukum.

21 1. Ketika, subyek pada kontrol Mahkamah, agen, penasehat, dan pendukung telah menyelesaikan presentasi mereka dari kasus tersebut, Presiden menyatakan sidang ditutup. 2. Mahkamah akan mempertimbangkan menarik penghakiman. 3. Pertimbangan Mahkamah akan dilakukan secara pribadi dan tetap rahasia. 1. Semua pertanyaan harus diputuskan oleh mayoritas hakim hadir. 2. Dalam hal kesetaraan suara, Presiden atau hakim yang bertindak dikedudukannya akan memiliki suara yg menentukan hasil pemilihan. 1. Penilaian tersebut harus menyebutkan alasan yang menjadi dasarnya. 2. Keputusan tersebut harus memuat nama-nama hakim yang telah mengambil bagian dalam keputusan. Jika keputusan tidak mewakili secara keseluruhan atau sebagian pendapat bulat dari hakim, hakim berhak untuk memberikan pendapat terpisah. Penghakiman yang ditandatangani oleh Presiden dan oleh Panitera. Ini harus dibaca di pengadilan terbuka, karena pemberitahuan yang telah diberikan kepada agen.

22 Keputusan Mahkamah tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan dalam hal kasus tertentu. Penghakiman adalah final dan tanpa banding. Dalam hal terjadi sengketa mengenai makna dan ruang lingkup penilaian, Pengadilan harus mengartikannya atas permintaan pihak manapun. 1. Permohonan revisi penilaian hanya dapat dilakukan bila berdasarkan penemuan beberapa fakta sedemikian sehingga menjadi faktor yang menentukan, yang sebenarnya adalah, ketika penghakiman itu diberikan, tidak diketahui ke Pengadilan dan juga ke pihak mengklaim revisi, selalu asalkan ketidaktahuan tersebut bukan karena kelalaian. 2. Proses untuk revisi akan dibuka oleh putusan Pengadilan tegas merekam adanya fakta baru, mengakui bahwa ia memiliki semacam karakter untuk meletakkan kasus ini terbuka untuk revisi, dan menyatakan aplikasi diterima di tanah ini. 3. Pengadilan mungkin memerlukan kepatuhan sebelumnya dengan istilah penghakiman sebelum mengakui proses dalam revisi. 4. Permohonan revisi harus dilakukan paling lambat dalam waktu enam bulan dari penemuan fakta baru. 5. Tidak ada aplikasi untuk revisi dapat dilakukan setelah lewat waktu sepuluh tahun sejak tanggal putusan tersebut. l. Haruskah negara menganggap bahwa ia memiliki minat yang bersifat hukum yang mungkin akan terpengaruh oleh keputusan dalam kasus ini, itu dapat mengajukan permintaan kepada Pengadilan yang akan diizinkan untuk campur tangan.

23 2 Itu harus menjadi bagi Mahkamah untuk memutuskan permintaan ini. 1. Setiap kali pembangunan untuk konvensi yang menyatakan selain yang bersangkutan dalam kasus ini adalah pihak dipertanyakan, Panitera wajib memberitahukan semua negara segera tersebut. 2. Setiap negara sehingga diberitahu memiliki hak untuk campur tangan dalam proses, tetapi jika menggunakan hak ini, pembangunan yang diberikan oleh penghakiman akan sama-sama mengikat itu. Kecuali jika diputuskan oleh Pengadilan, setiap pihak harus menanggung biaya sendiri. 1. Pengadilan dapat memberikan pendapat penasehat hukum pada setiap pertanyaan atas permintaan apapun tubuh dapat diotorisasi oleh atau sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuat permintaan seperti itu. 2. Pertanyaan di atas mana pendapat tersebut Pengadilan diminta harus diletakkan sebelum Pengadilan melalui permintaan tertulis yang berisi pernyataan yang tepat dari pertanyaan di atas mana pendapat yang diperlukan, dan disertai dengan semua dokumen cenderung melemparkan cahaya pada pertanyaan itu.

24 1. Panitera wajib segera memberikan pemberitahuan tentang permintaan untuk pendapat tersebut kepada semua negara berhak untuk menghadap Pengadilan. 2. Panitera juga wajib, melalui suatu komunikasi khusus dan langsung, memberitahukan setiap negara berhak untuk menghadap Pengadilan atau organisasi internasional dianggap oleh Pengadilan, atau, harus itu tidak akan duduk, oleh Presiden, lebih mungkin untuk dapat memberikan informasi pada pertanyaan, bahwa Pengadilan akan dipersiapkan untuk menerima, dalam batas waktu yang akan ditetapkan oleh Presiden, pernyataan tertulis, atau mendengar, dengan duduk masyarakat yang diadakan untuk tujuan tersebut, pernyataan lisan yang berkaitan dengan pertanyaan. 3. Jika suatu negara berhak untuk menghadap pengadilan telah gagal untuk menerima komunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Pasal ini, negara tersebut dapat menyatakan keinginan untuk menyerahkan pernyataan tertulis atau yang didengar, dan Pengadilan akan memutuskan. 4. Negara dan organisasi telah disajikan pernyataan tertulis atau lisan atau keduanya diizinkan untuk mengomentari pernyataan yang dibuat oleh negara-negara lain atau organisasi dalam bentuk, sampai batas, dan dalam waktu-batas yang Pengadilan, atau, harus itu tidak akan duduk, Presiden, harus memutuskan dalam setiap kasus tertentu. Dengan demikian, Panitera akan pada waktunya berkomunikasi pernyataan tertulis tersebut kepada negara dan organisasi telah diajukan pernyataan serupa. Mahkamah akan memberikan pendapat penasehat di pengadilan terbuka, pemberitahuan yang telah diberikan kepada Sekretaris Jenderal dan kepada para wakil Anggota PBB, negara-negara lain dan organisasi internasional segera bersangkutan. Dalam pelaksanaan fungsi penasehat Mahkamah lebih lanjut akan dipandu oleh ketentuan-ketentuan Statuta ini yang berlaku dalam kasus-kasus kontroversial untuk sejauh mana mengakuinya dapat diterapkan.

25 Koreksi terhadap Statuta ini akan berlaku efektif dengan prosedur yang sama seperti yang disediakan oleh Piagam PBB untuk perubahan Piagam itu, dengan tetap tunduk kepada ketentuan yang Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan dapat mengadopsi tentang partisipasi negara yang merupakan pihak dalam Statuta ini tetapi bukan Anggota PBB. Pengadilan akan memiliki kuasa untuk mengusulkan amandemen tersebut kepada Statuta ini karena mungkin dianggap perlu, melalui komunikasi tertulis kepada Sekretaris Jenderal, untuk dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 69.

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1 Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT Pasal 1 Maksud dari Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata adalah meneliti cara cara untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi hukum perdata pada Negara

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN STATUTE OF THE INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (STATUTA LEMBAGA INTERNASIONAL UNTUK UNIFIKASI HUKUM

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 Berlaku 4 Januari 1969

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK 2012, No.149 4 PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 2 K-183 Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA

STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA Pembukaan Presiden atau Kepala mahkamah konstitusi dan institusi sejenis yang melaksanakan kewenangan konstitusional di Asia: MENGINGAT

Lebih terperinci

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan persetujuan oleh Resolusi Majelis

Lebih terperinci

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 2 K-95 Konvensi Perlindungan Upah, 1949 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA 1 K 100 - Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya 2 Pengantar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 2 K-173 Konvensi Perlindungan Klaim Pekerja (Kepailitan Pengusaha), 1992 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

Tentang Pendirian Kantor Catatan Sipil demi Timor Lorosae

Tentang Pendirian Kantor Catatan Sipil demi Timor Lorosae PERSERIKATAN BANGSA-BANGS Administrasi Transisi Perserikatan Bang bangsa di Timor Lorosae UNTAET NATIONS UNIES Administration Transitoire des Natio Unies in au Timor Oriental UNTAET/REG/2001/3 16 March

Lebih terperinci

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA 1 K-88 Lembaga Pelayanan Penempatan Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi

Lebih terperinci

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI 1 K 87 - Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA Diadopsi pada 20 Desember 2006 oleh Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/61/177 Mukadimah Negara-negara

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA

KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA 1 KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA Ditetapkan oleh Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional, di Jenewa, pada tanggal 1 Juli 1949 [1] Konferensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 04/PMK/2004 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA 1958 Konvensi mengenai Pengakuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA E/CN.4/2005/WG.22/WP.1/REV.4 23 September 2005 (Diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah Asli dalam Bahasa Prancis) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 Negara-negara Pihak pada Protokol ini, Menimbang bahwa untuk lebih jauh mencapai tujuan Kovenan Internasional tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan ANGGARAN DASAR SAAT INI ANGGARAN DASAR PERUBAHAN PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan PASAL 3 MAKSUD DAN

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BAB I ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/ MEDIATOR BAPMI Pasal 1 Etika Perilaku terhadap Lembaga dan Profesi

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-77 - - 78 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PIAGAM DIREKSI. Piagam ini diterbitkan untuk menjadi panduan Direksi dan anggotanya dalam mengelola dan menjalankan Perseroan. A.

PIAGAM DIREKSI. Piagam ini diterbitkan untuk menjadi panduan Direksi dan anggotanya dalam mengelola dan menjalankan Perseroan. A. PIAGAM DIREKSI Piagam ini diterbitkan untuk menjadi panduan Direksi dan anggotanya dalam mengelola dan menjalankan Perseroan. 1. Peraturan Perseroan No. 40/2007 A. LEGAL BASIS 2. Peraturan Pasar Modal

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 83 TAHUN 1998

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 83 TAHUN 1998 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 83 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 87 MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI (Lembaran Negara No. 98 tahun 1998)

Lebih terperinci

K144 KONSULTASI TRIPARTIT UNTUK MENINGKATKAN PELAKSANAAN STANDAR-STANDAR KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL

K144 KONSULTASI TRIPARTIT UNTUK MENINGKATKAN PELAKSANAAN STANDAR-STANDAR KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL K144 KONSULTASI TRIPARTIT UNTUK MENINGKATKAN PELAKSANAAN STANDAR-STANDAR KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL 1 K-144 Konsultasi Tripartit untuk Meningkatkan Pelaksanaan Standar-Standar Ketenagakerjaan Internasional

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 MUKADIMAH Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI)

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci