Pembangunan ekonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pembangunan ekonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal,"

Transkripsi

1 Edisi Oktober-Desember 2013 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah Pembangunan Ekonomi Daerah berbasis Kewilayahan dan Sektor Unggulan Pembangunan ekonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, seperti masalah kesenjangan dan iklim globalisasi. Yang disebut belakangan ini menuntut tiap daerah untuk mampu bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi kepada propinsi dan kabupaten/kota, untuk melaksanakan percepatan pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk andalannya. Dalam hal ini kemampuan pemerintah Pemda dalam merumuskan strategi pembangunan menentukan kemajuan daerah. Perlu diingat adanya Fenomena Kutukan Sumber Daya, yakni kebanyakan daerah kaya sumber daya ternyata berkembang menjadi daerah terbelakang. Sebaliknya daerah miskin sumber daya justru berkembang menjadi daerah maju. Keterbelakangan bukan karena kurangnya sumber daya alam, tetapi karena kekurangmampuan atau ketidakberdayaan dalam pengelolaan oleh pengusaha dan Pemda. Hal tersebut terjadi karena daerah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyerap modal dan teknologi karena kurang ketrampilan dan sikap entrepreneurship yang mendukung perubahan. Seluruh stakeholders di daerah memiliki peran dalam mengisi pembangunan ekonomi dan harus bekerjasama melalui bentuk pengelolaan keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar daerah. Dengan kata lain pembangunan ekonomi daerah harus berbasis pada wilayah, yang setidaknya didasarkan pada prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi. Pengembangan suatu wilayah harus melihat kondisi internal, dan mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor internal meliputi pola-pola pengembangan SDM, informasi pasar, sumber daya investasi, keb akan investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan kelembagaan lokal, dan tata kelola pemerintahan, serta kerjasama dan kemitraan. Faktor eksternal meliputi kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, serta perdagangan bebas. Intinya adalah meningkatkan daya saing kawasan dan produk unggulan. Idealnya pengelolaan kawasan dimulai dengan menentukan visi dan misi pengembangan, kemudian disusun strategi pengembangan, serta mengembangkan hubungan pemerintah dan dunia usaha. Beberapa keb akan yang diperlukan meliputi: (1) keb akan investasi, yang terkait dengan produk unggulan, insentif, dan promosi; (2) keb akan pengembangan kawasan, melalui identi kasi faktor penentu dan identi kasi strategi pendukung yang sesuai; (3) keb akan perdagangan, yang mengatur perdagangan antar daerah dan sektor, serta minimalisasi hambatannya; (4) keb akan pengembangan infrastruktur sik dan non sik (SDM); (5) keb akan pengembangan kelembagaan, mencakup mekanisme pengambilan keputusan di pemerintah, penciptaan regulasi, dan sosial dan budaya masyarakat. Fungsi pengembangan Pemda harus sesuai dengan kompetensi inti daerah yang dapat menciptakan trickledown e ect yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Perekonomian daerah yang tangguh pada dasarnya mencakup pengembangan sektor/komoditas unggulan yang memanfaatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki baik dalam skala kabupaten maupun skala perdesaan. Sektor/komoditas unggulan yang dikembangkan suatu daerah umumnya bergerak di sektor pertanian, tetapi dapat juga sektor non pertanian, seperti industri, perdagangan dan jasa serta pariwisata. Perlu diingat keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun jaminan pasokan bahan baku dengan jenis/varitas, jumlah produksi dan harga yang stabil dan layak secara ekonomi. Permasalahan yang juga dihadapi oleh daerah saat ini, karena konsep kompetensi inti (beserta manfaat-manfaatnya) belum diterapkan secara benar dalam perencanaan perekonomian daerah dan belum menjadi komitmen yang kuat dari pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

2 EDITORIAL Potensi Daerah dan Dukungan Keb akan Pemda DAFTAR ISI Artikel... 3 Review Regulasi... 8 Dari Daerah Opini Laporan Diskusi Publik Seputar Otonomi Agenda KPPOD Sekilas KPPOD Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Sta Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiani Agus Salim Design dan Layout: Rizqiah D Winantyo Alamat Redaksi: Permata Kuningan Building 10 th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan Phone : /53 Fax : Sejatinya tidak ada negara/daerah yang miskin. Yang ada adalah Negara/ daerah yang tidak dikelola secara baik. Ujaran terkenal dari guru manejemen, Peter Drucker, ini menemukan relevansinya saat kita membincangkan manajemen pembangunan lokal di era desentralisasi ini. Semua daerah, tanpa kecuali, memiliki potensi dan modal ekonominya masing-masing: entah berupa kekayaan alam, sumber daya manusia, lokasi strategis, dsb. Tantangannya adalah: mampu tidak pemangku otoritas setempat, Pemda, mengenal betul kekuatan potensial mereka dan pada gilirannya menjadikan potensi tersebut sebagai titik ungkit membangun daerahnya? Bagaimana kualitas tata kelola keb akan dan persiapan kapasitas implementasi yang dimiliki agar potensi tersebut terkapaitalisasi secara produktif, tidak malah menjadi dead-capital? Dalam KPPODBrief ini, sejumlah rubrik utama berisikan aneka pandangan peneliti KPPOD seputar masalah tersebut. Kerangka isu besarnya adalah bagaimana daerah membangun perekonomiannya berbasis potensi unggulan setempat. Kasus yang diangkat--berdasarkan hasil olahan atas sebagian materi hasil projek bersama Ford Foundation--prihal keberadaan (kontribusi?) komoditi kakao dalam pembangunan di Kabupaten Sikka- NTT dan Kabupaten Majene-Sulbar. Membaca tulisan-tulisan tersebut segera kita tahu bahwa kakao strategis bagi kedua kabupaten tersebut. Strategis bagi rakyat, bagi lapangan kerja, bagi sumber penghidupan petani, dll. Namun, ironisnya, semua itu berjalan apa adanya, taken for granted, menjadi keseharian yang berjalan begitu saja. Perhatian dan dukungan riil berupa program dari Pemda terasa minim. Bahkan, sebuah gugatan layak diajukan, adakah Pemda menyadari bahwa kakao memang unggulan di daerahnya? Pertanyaan retoris tersebut jelas serius. Kalau titik tolak menilai peran dan program pemerintah itu adalah pada sisi keb akan, maka kita patutu memeriksa wujud keb akan tersebut baik dalam instrumen regulasi maupun instrumen skal. Faktanya, dari temuan di dua daeraah lokasi projek tersebut, kedua instrument tersebut nyaris absen. Jika regulasinya lemah, maka resonansinya jelas: alokasi skal (APBD) bagi kakao juga lemah. Jika uang minim, bagaimana Pemda mengembangan program dan kegiatan untuk mendukung peningkatan produkti tas kakao di daerahnya? Akhirnya, kami berharap, tulisan-tulisan yang dihadirkan dalam rubrik utama mampu menggugah para pemangku otoritas di seantero negeri ini, dengan variasi sektor potensial dan komoditi unggulan yang ada. Bahwa, keberpihakan dan dukungan nyata Pemda itu harus terlihat dalam membangun potensi dan modal yang dimiliki. Bahwa, mengingat keterbatasan dalam hampir smeua lini, Pemda wajib memiliki manajemen fokus untuk berkonsentrasi pada sejumlah potensi dan modal pilihan yang memang strategis bagi pembangunan daerahnya. Selamat membaca. 2

3 Artikel Perumusan Keb akan Perekonomian Daerah Berbasis Sektor Unggulan Daerah melalui Pendekatan Regulatory Impact Assessment (RIA) Sri Mulyati * Dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah, Pemda sejatinya mendasarkan program keb akannya pada sektor unggulan yang menjadi potensi daerah terkait. Melalui identi kasi potensi daerah, Pemda diharapkan dapat menghasilkan program keb akan yang tepat dengan kondisi daerah dan dapat menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Dengan begitu pemerintah dapat memutuskan strategi pengembangan yang sesuai, apakah melalui regulasi tertulis yang mengikat semua pihak (memiliki kekuatan hukum) ataukah cukup dengan keb akan yang bersifat program kegiatan. Keberadaan suatu regulasi (Perda, Perbup, dll) dapat dibuat dengan melihat kebutuhan daerah, jangan sampai adanya regulasi justru semakin membebani dan mempersulit berkembangnya sektor usaha di daerah. Dalam konteks Kabupaten Sikka, kakao menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi kepala keluarga di Sikka. Pengelolaannya yang masih dalam skala tradisional dan semakin berkurangnya lahan perkebunan kakao menjadi salah satu penyebab menurunnya produktivitas kakao Sikka. Sejak 2004, produktivitas kakao terus menurun hingga 54% atau hanya sebesar 7.739,93 ton (14.333,2 ton pada 2003). Padahal jika dilihat dari luas lahan perkebunan yang mencapai ha (2012), kakao Sikka memiliki potensi besar untuk berkembang. Dilihat dari produktivitas keseluruhan di NTT, produktivitas kakao Sikka menyumbangkan hampir 55,1% kakao NTT dengan luas lahan Sikka mencapai 48,1% dari luas lahan NTT. Meskipun luas lahan kakao di Sikka masih luas, secara nasional, kakao Sikka hanya mampu menghasilkan 321kg/ha/tahun jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 900kg/ha/tahun. Penurunan produksi kakao tersebut setara dengan kehilangan PDRB Rp.201,2 Milyar per tahun. Kehilangan PDRB sebesar itu mengakibatkan penurunan aktivitas multiplier e ect roda perekonomian di Sikka berupa penurunan konsumsi barang dan jasa, produksi menurun, serapan tenga kerja dan bahan baku menurun, distribusi pendapatan masyarakat dan akhirnya masyarakat di sentra kakao terpuruk. Pengaruh penurunan produktivitas kakao di Sikka sangat besar karena kontribusi komoditi ini terhadap PDRB Sikka mencapai 8,46% (bersama dengan komoditi perkebunan lainnya). Pendekatan RIA untuk Peningkatan Produktivitas Kakao Dalam rangka merumuskan bentuk intervensi yang tepat guna meningkatkan produktivitas kakao dan sekaligus upaya mengembangkan sektor unggulan daerah di Sikka dilakukan dengan pendekatan RIA (Regulatori Impact Assessment). Kekuatan utama dari pendekatan RIA adalah dilakukan secara multistakholders dan adanya konsultasi public serta dilakukan berdasarkan kerangka ber kir yang logis dan rasional. Dalam rangka perumusan keb akan tersebut, dilakukan dengan melibatkan stakeholders yang berasal dari dinas-dinas terkait Melalui RIA, dirumuskan akar permasalahan berdasarkan fakta dan kondisi yang terjadi, dan selanjutnya dirumuskan alternatif tindakan dan bagaimana memutuskan suatu pilihan keb akan yang tepat berdasarkan pada analisis biaya dan manfaat yang ditimbulkan dari masing-masing alternatif tindakan yang diambil. Dengan melakukan perumusan masalah yang tepat, maka pemda dapat memutuskan bentuk intervensi apa yang tepat dilakukan. Metodologi Regulatory Impact Assessment (RIA) Kerangka berpikir logis untuk membantu menyusun keb akan baru maupun keb akan yang sudah diimplementasikan untuk melihat manfaat keberadaan suatu keb akan. Metodologi RIA dilakukan melalui tahapan berikut: 1. Perumusan Masalah 2. Identi kasi Tujuan 3. Alternatif Tindakan 4. Analisis Biaya & Manfaat 5. Pemilihan Tindakan 6. Strategi Implementasi Perumusan Masalah Sebagai Identi kasi Awal Penyusunan alternatif Keb akan yang Akan Dipilih Dari hasil studi rantai nilai usaha kakao yang telah dilaksanakan oleh KPPOD, ditemukan bahwa penurunan produktivitas kakao di Sikka disebabkan oleh umur tanaman kakao yang sudah tua (umumnya tahun), adanya serangan hama penyakit, dan pola tanam yang belum mengadopsi cara bercocok tanam yang baik (Good Agricultural Practices-GAP). Minimnya program pembinaan dan pelatihan kepada petani juga menjadi salah satu bukti masih kurangnya komitmen Pemda Sikka dalam mengembangkan sektor usaha kakao di Sikka. Belum optimalnya koordinasi antar instansi Pemda maupun dengan pihak non pemda (lembaga keuangan, lsm, dll) menjadikan upaya pengembangan sektor kakao di Sikka belum dilaksanakan secara terpadu. * Peneliti KPPOD 3

4 Artikel Secara umum permasalahan utama yang dihadapi petani di Sikka adalah rendahnya produktivitas kakao yang disebabkan oleh tanaman kakao tua dan serangan hama penyakit. Melalui pendekatan RIA, perumusan masalah diidenti kasi secara lebih menyeluruh sehingga didapatkan akar masalah yang menjadi penyebab dan perilaku siapa yang menyumbang terjadinya kondisi tersebut. Akar permasalahan yang menyebabkan rendahnya produktivitas kakao di Sikka dapat digambarkan melalui pohon masalah dihalaman berikutnya. Melalui identi kasi akar masalah tersebut, terlihat bahwa permasalahan yang muncul tidak hanya dikarenakan dari satu faktor saja namun dari beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain. Dalam perumusan tindakan berikutnya harus melibatkan semua pihak terkait, mengidenti kasi perilaku siapa yang diharapkan berubah, mengidenti kasi hambatan dan faktor pendukung sehingga dalam merumuskan alternatif tindakan dapat dilakukan secara tepat, sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, dapat dilaksanakan dan dipatuhi semua pihak. Pemilihan Alternatif Tindakan yang Tepat untuk menjawab permasalahan Pohon kakao yang mengalami busuk buah & Pohon kakao yang tua dan tidak terawat. Akar permasalahan yang menjadi penyebab turunnya produktivitas tersebut disumbang oleh perilaku yang dilakukan baik oleh petani itu sendiri maupun stakeholder terkait lain. Kurangnya pengetahuan petani menyebabkan kegiatan budi daya selama ini dilakukan secara tradisional, petani tidak melakukan pola tanam yang baik dan petani tidak melakukan perawatan serta pemupukan pada kebun kakao sehingga kebun kakao rentan akan serangan hama penyakit. Sedangkan perilaku merugikan lainnya disumbang oleh para stakeholder terkait, dimana upaya pembinaan dan pelatihan kepada petani belum dilaksanakan secara optimal. Stakeholder terkait tersebut diantaranya dari pihak Pemda maupun Non Pemda. Pemda dalam hal ini khususnya Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh (BKP2) serta stakeholder lain di luar Pemda seperti lembaga keuangan, LSM, tokoh masyarakat, dll. Dalam konteks Sikka, minimnya koordinasi antara Dinas pertanian dan Perkebunan (Distanbun) dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh (BKP2) menyebabkan pelaksanaan program pembinaan dan pendampingan yang dilakukan keduanya belum berjalan secara optimal. Keterbatasan kapasitas dan jumlah PPL yang dimiliki oleh Distanbun dan BKP2 membuat program pendampingan kepada petani masih minim. Kendala lain terlihat dari belum efektifnya kinerja Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED) dalam mengkoordinasikan semua stakeholder terkait kakao untuk mengembangkan kakao secara bersama-sama. DKED dengan fungsinya sebagai forum komunikasi stakeholder belum berperan secara optimal dalam mengupayakan kerjasama antar berbagai stakeholder terkait baik Pemda, LSM, lembaga keuangan, maupun stakeholder terkait sehingga program bantuan dan pembinaan kepada petani saat ini masih belum dilaksanakan secara terpadu. Salah satunya dapat dicontohkan dengan belum terserapnya dana program bantuan kredit dari lembaga keuangan dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada petani dari lembaga keuangan dan pihak Pemda. Dengan mendasarkan pada akar masalah dan tujuan yang akan dicapai, yakni peningkatan produktivitas kakao, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan berbagai alternatif tindakan. Penentuan alternatif tindakan dapat berupa regulasi maupun non regulasi. Alternatif tindakan yang bersifat regulasi dapat dilakukan melalui penyusunan atau penguatan payung hukum dari keberlanjutan setiap program pengembangan kakao maupun memperkuat kapasitas institusi DKED agar lebih optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sedangkan alternative tindakan yang bersifat non regulasi dapat dilakukan melalui upaya penyusunan program-program kegiatan untuk meningkatkan kapasitas petani dan kelompok petani, peningkatan kapasitas petani dan jumlah petugas penyuluh lapangan, dan optimalisasi koordinasi berbagai instansi terkait melalui DKED. Berikut beberapa alternatif tindakan yang disusun berdasarkan pada rumusan akar masalah dan tujuan yang akan dicapai yakni peningkatan produktivitas kakao di Kabupaten Sikka. I. Do Nothing/Membiarkan kondisi yang ada Alternatif tindakan ini merupakan bentuk keb akan yang diambil oleh Pemda dengan membiarkan kondisi yang saat ini terjadi dan tidak melakukan intervensi apapun pada pengembangan sektor kakao. Dengan tindakan ini Pemda tidak mendapatkan manfaat apapun dari sektor kakao, pun Pemda tidak harus menambah alokasi anggaran untuk sektor perkebunan. Dari opsi ini, dampak negatif dirasakan paling besar oleh petani, produktivitas kakao yang semakin menurun, berdampak langsung pada menurunnya pendapatan petani dan sekaligus menurunkan kesejahteraan petani. Menurunnya kesejahteraan petani secara tidak langsung mengindikasikan gagalnya pemda dalam meningkatkan aktivitas perekonomian di daerahnya, sehingga dalam hal Pemda juga mendapatkan dampak negatif. Dampak negatif lainnya dirasakan oleh para pengusaha yang akan kesulitan mendapatkan bahan baku b i kakao dari petani sehingga pengusaha sulit untuk mengembangkan industrinya. 4

5 Artikel PRODUKTIVITAS KAKAO RENDAH Umur Tanaman Kakao Serangan Hama Penyakit Pola Tanam yang Kurang Baik (Jarak tanam; Pemangkasan; Peremajaan; Teknik sambung; Pemupukan, dll) Kurangnya Pengetahuan Tidak ada insentif bagi petani Keterbatasan Modal Produksi Keterbatasan bibit yang sesuai kondisi daerah Kurang Pendampingan Kurang Keterlibatan Lembaga Keterbatasan Program Pemerintah Kurang Keterlibatan Swasta Kurangnya Kapasitas Penyuluh Kurangnya Jumlah PPL Pemda Kurangnya Sosialisasi Bersama Program/Produk Jasa Keuangan Kurangnya Keterlibatan Penyuluh Swasta Lemahnya Koordinasi & Sinergi Program Lintas Sektor Kurang Optimalnya Peran & Fungsi DKED II. Penguatan Kapasitas Petani dan Kelembagaan Petani Rendahnya pengetahuan petani dan pola tanam yang kurang baik menjadi salah satu penyebab utama rendahnya produktivitas tanaman kakao. Melalui upaya peningkatan kapasitas dan kelembagaan petani, diharapkan akan dapat merubah pola pikir petani dari yang tradisional menjadi lebih modern. Dengan meningkatnya pengetahuan, petani akan lebih memahami pentingnya merawat kebun, dan melakukan pola tanam yang baik sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas tanaman kakao. Sedangkan melalui peningkatan kelembagaan petani baik melalui poktan maupun gapoktan, petani akan dapat meningkatkan status legalitasnya sehingga dapat mempermudah akses permodalan kepada lembaga keuangan. Disamping itu, melalui penguatan kelembagan petani dapat diupayakan program-program pembinaan seperti kegiatan pemasaran bersama, pelatihan pupuk organik, maupun mempermudah akses petani dalam mengajukan bantuan kepada Pemda. Dengan opsi ini, dampak positif dirasakan paling besar oleh petani. Petani menjadi aktor utama pelaksana budidaya kakao mendapatkan pembinaan dan pelatihan secara maksimal sehingga dapat berswadaya dan mampu mengurangi ketergantungan dari bantuan yang diberikan baik oleh pemda maupun pihak lain. Hal tersebut menjadi salah satu dampak positif juga bagi Pemda, meskipun ada konsekuensi penambahan alokasi anggaran yang harus dikeluarkan. Meningkatnya kapasitas petani dalam budidaya kakao, akan dapat meningkatkan produktivitas kakao, mutu b i kakao yang dihasilkan lebih baik, harga yang didapat petani menjadi lebih tinggi sehingga kesejahteraan petani meningkat. Manfaat lain didapatkan oleh pengusaha yakni jaminan kepastian tersedianya b i kakao dalam jumlah dan kualitas yang baik untuk memenuhi kebutuhan industri. III. Penguatan Kapasitas dan Jumlah PPL Alternatif tindakan ini menjadi salah satu opsi dalam upayanya meningkatkan produktivitas tanaman kakao. Kondisi yang selama ini terjadi, program pendampingan dan pembinaan dari PPL belum optimal karena adanya keterbatasan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas PPL yang dimiliki Distanbun maupun BKP2. PPL yang dimiliki Pemda umumnya bersifat polivalen dengan beragam latar belakang sehingga dalam menjalankan tugasnya tidak hanya fokus pada kakao tetapi pada tanaman pangan lainnya. Disamping itu keterbatasan anggaran juga menjadi sebab minimnya jumlah dan kapasitas PPL yang dimiliki pemda. 5

6 Artikel Melalui peningkatan kapasitas dan jumlah PPL ini diharapkan akan mampu memberikan transfer pengetahuan secara maksimal kepada petani, sehingga pelaksanaan pembinaan dan pelatihan petani dapat dilakukan secara maksimal. Pelaksanaan alternatif ketiga ini akan membantu kinerja Pemda dalam hal ini Distanbun dan BKP2 dalam hal melaksanakan pembinaan dan pelatihan kepada petani. Meskipun akan berdampak pada penambahan alokasi anggaran pemda, namun melalui opsi ini target kerja dari pemda akan lebih mudah tercapai. Adanya penguatan kapasitas dan peningkatan jumlah PPL akan memperluas jangkauan kerja dari petugas PPL. Semakin luas jangkauan kerjanya, maka manfaatnya akan semakin besar diterima oleh petani. Semakin banyak petani mendapatkan pembinaan dan pelatihan, maka akan semakin meningkat kapasitas petani dalam pengembangan usaha kakao. IV. Revitalisasi DKED melalui Perubahan Dasar Hukum Dewan Kerja sama Ekonomi Daerah (DKED) merupakan wadah bersama bagi semua stakeholder baik unsur Pemda maupun Non Pemda untuk mendiskusikan berbagai hal terkait pengembangan ekonomi daerah salah satunya forum kakao Sikka. DKED ini disahkan melalui SK Bupati No. 245/ HK/2012 tentang Pembentukan Dewan Kerja sama Ekonomi Daerah (DKED). Tugas utama dari DKED ini adalah mengkoordinasikan stakeholder baik dari unsur pemda, swasta, petani, LSM dan sebagainya dalam rangka pembangunan ekonomi. Dengan pemilihan opsi ini manfaat yang diterima jangkauannya akan lebih besar diterima oleh semua stakeholder kakao. Bagi petani, manfaat yang diterima akan lebih komprehensif dari hilir sampai hulu. Dari mulai pembinaan budidaya kakao, akses kepada lembaga keuangan hingga aspek pemasaran, semuanya berada dalam ruang lingkup DKED. Manfaat lain juga diterima oleh stakeholder lainnya, melalui optimalisasi peran DKED ini akan dapat menggerakkan semua stakeholder untuk bersinergi dan bekerjasama dalam mengembangkan sektor usaha kakao di Kabupaten Sikka. Dengan adanya sinergi program antar stakeholder terkait, diharapkan program pengembangan kakao dapat berjalan secara terpadu, tidak tumpang tindih dan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Analisis Manfaat-Biaya Dilakukan untuk Menentukan Pilihan Keb akan Terbaik Tahapan ini merupakan tahapan penting untuk menentukan alternatif tindakan mana yang dipilih. Penentuan tersebut dilakukan melalui analisis biaya dan manfaat atas masing-masing alternatif tindakan yang sudah ditentukan sebelumnya. Analisis manfaat ditujukan untuk melihat berbagai keuntungan/kebaikan yang didapat dari diterapkannya suatu tindakan. Sedangkan analisis biaya dilakukan untuk menghitung komponen biaya/kerugian apa saja yang dikeluarkan sebagai dampak dari diterapkannya suatu tindakan. Penghitungan analisis manfaat dan biaya diawali dengan menentukan indikator manfaat dan biaya yang diterima oleh masing-masing stakeholder yang terlibat. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan indikator pengukuran yang sama untuk setiap alternatif tindakan. Alternatif tindakan yang memiliki manfaat paling besar dengan biaya yang kecil merupakan alternatif tindakan yang terbaik. Berdasarkan analisis manfaat dan biaya yang dilakukan pada empat alternatif tindakan yang ditetapkan, diputuskan bahwa alternatif ke empat (4) yaitu revitalisasi peran dan fungsi DKED memberikan manfaat bersih yang paling besar dibandingkan dengan tiga alternatif lain. Dalam hal ini, DKED menjadi wadah berkumpulnya semua stakeholder baik dari pihak pemda maupun non Pemda sehingga upaya intervensi melalui penentuan alternatif tindakan ke empat ini akan dapat mensinergikan program pengembangan kakao yang telah ditetapkan. Dengan pelibatan semua stakeholder terkait, upaya pengembangan kakao akan dapat berjalan secara terpadu dan lebih optimal dalam pelaksanaannya. Manfaat yang diterima dari pelaksanaan opsi ke empat ini dapat menjangkau semua stakeholder. Dengan koordinasi yang efektif dari semua stakeholder terkait, program intervensi yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder dapat dilakukan dengan baik, tidak tumpang tindih, dan dapat bersinergi satu sama lain sehingga hasil yang dicapai lebih optimal. Sedangkan pihak yang paling mendapat kerugian dengan diterapkannya alternatif tindakan ke 4 (empat) adalah para pedagang tengkulak, karena dengan adanya peningkatan kapasitas dan pengetahuan petani, adanya koordinasi yang baik antar semua stakeholder melalui DKED, maka diharapkan kedepannya petani tidak lagi menjual hasil kebunnya pada pedagang tengkulak namun menjualnya langsung pada pedagang besar, atau melalui UPH sehingga dapat memutus rantai nilai perdagangan dan dapat meningkatkan harga b i kakao yang diterima petani. Meskipun bagi Pemda pemilihan alternatif ke empat ini berimplikasi pada penambahan alokasi dana dalam rangka optimalisasi peran dan fungsi DKED, namun manfaatnya masih lebih besar, dan jangakauan manfaatnya lebih luas dan bersifat jangka panjang. Eksternalitas positif yang dapat dihasilkan dapat berupa: 1) Peningkatan produktivitas kakao akan meningkatkan nilai dan volume perdagangan sehingga akan terjadi peningkatan PDRB Kabupaten Sikka; 2) Akivitas ekonomi yang meningkat sehingga menciptakan multiplier e ect tehadap aktivitas sosial ekonomi; 6

7 Artikel 3) Pendapatan masyarakat meningkat, sehingga daya beli masyarakat yang meningkat; 4) PDRB meningkat; 5) Peningkatan pendapatan masyarakat meningkat, berdampak pada pembayaran pajak yang merupakan penerimaan pemerintah. Kombinasi dari tindakan alternatif 2, 3, dan 4 tentunya akan semakin memaksimalkan manfaat dan tercapainya tujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao di Sikka. Dalam proses implementasi kegiatan perlu dipikirkan untuk mengkombinasi atau melaksanakan program secara simultan dari tiga opsi yang telah dirumuskan. Strategi Implementasi Pelaksanaan Keb akan sebagai Upaya Mendorong Kepatuhan Guna menjamin efekti tas pelaksanaan pilihan keb akan yang sudah ditetapkan, perlu diupayakan strategi implementasi yang tepat. Untuk mengidenti kasi tingkat kepatuhan, para pelaksana keb akan sebelumnya dapat melakukan analisis persespsi tingkat kepatuhan, mekanisme dan sanksi yang dapat mendorong kepatuhan. Strategi lainnya dengan mengidenti kasi kelompok pendukung dan kelompok yang kontra, sehingga dengan begitu dapat menentukan pendekatan yang tepat dalam melakukan sosialisasi kegiatan sekaligus pada saat pelaksanaan dari pilihan keb akan tersebut. Dalam upaya optimalisasi pelaksanaan upaya revitalisasi dan penguatan DKED Kab. Sikka, strategi implementasi dilakukan melalui beberapa langkah seperti sosialisasi melalui kegiatan FGD yang dilakukan kepada semua pihak terkait, audiensi dengan Bupati Sikka dan publikasi melalui media massa dan elektronik. Sedangkan upaya untuk mendorong kepatuhan terlaksananya opsi ke empat ini adalah dengan merekomendasikan hasil RIA menjadi salah satu materi dalam RPJMD yang disusun oleh Pemda, memperkuat legitimasi Tim RIA melalui SK Bupati sebagai pihak yang akan mengawal terlaksananya pilihan keb akan yang telah ditetapkan, MOU antar pihak terkait, serta pendekatan lainnya yang bersifat persuasif hingga penetapan sanksi administrasi. Konsultasi Publik sebagai Sarana Pelibatan Masyarakat Dalam Penyusunan Keb akan Dalam metode RIA, idealnya pada setiap tahapan RIA dilakukan konsultasi publik kepada stakeholder terkait. Hal tersebut untuk memastikan bahwa produk keb akan nantinya benar-benar mencerminkan kenyataan di lapangan dan mewakili aspirasi dari semua stakeholder terkait. Konsultasi publik yang telah dilakukan dalam upaya penyusunan keb akan pengembangan kakao di Sikka ini telah dilakukan melalui berbagai media seperti diskusi kelompok terarah (FGD), wawancara dengan stakeholder terkait untuk veri kasi asumsi yang digunakan, publikasi melalui media cetak (koran lokal) dan dialog interaktif di radio. Melalui berbagai upaya konsultasi publik yang telah dilakukan tersebut, harapannya hasil keb akan yang telah disusun dapat mencerminkan aspirasi bersama dan mendapat dukungan dari semua pihak dalam pelaksanaannya. Catatan Akhir Mengacu pada upaya pemda dalam menyusun program pengembangan usaha kakao di Kabupaten Sikka, untuk menghasilkan keb akan yang baik dan tepat, maka proses perumusan keb akan tersebut harus mendasarkan diri pada kebutuhan masyarakat yang akan akan terkena dampak dari keb akan tersebut. Dengan mendasarkan pada kebutuhan dan kondisi fakta yang terjadi diharapkan akan dapat menghasilkan keb akan yang efektif, dan dapat menjawab permasalahan yang dihadapi di daerah terkait. Dimulai dari tahap perumusan akar masalah yang didasarkan pada fakta yang dirasakan oleh masyarakat, dan diikuti dengan serangkaian konsultasi publik untuk menjaring aspirasi masyarakat. Dengan membuka seluas-luasnya ruang keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan keb akan diharapkan penerimaan masyarakat akan keb akan yang dihasilkan juga akan besar, sehingga tingkat kepatuhan masyarakat akan suatu keb akan akan lebih tinggi. --o0o-- Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll). Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan submenu pemesanan perda. Terima kasih Bagian Keperpustakaan 7

8 Review Regulasi Perda No. 3 tahun 2008 Kalimantan Timur tentang KEMITRAAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN di PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Untuk mengembangkan sektor unggulan, maka upaya-upaya terorganisir dan terstruktur harus dilakukan. Para stakeholder yang bergerak di sektor unggulan tersebut juga selayaknya turut berperan, bukan hanya pemda ataupun stakeholder kunci di sebuah sektor unggulan. Salah satu upaya yang dilakukan agar sektor unggulan ini dapat berkembang adalah membentuk program kemitraan antar para stakeholder, baik pemda, privat maupun masyarakat. Boedi Rheza* Sektor perkebunan merupakan salah satu sektor unggulan di Indonesia. Beberapa contoh komoditas yang termasuk dalam sektor perkebunan adalah kakao, kelapa sawit, dan karet. Umumnya peran kunci dalam sektor perkebunan dipegang oleh petani. Banyak petani yang melakukan usaha perkebunan di daerah. Sedikit berbeda dengan komoditas kelapa sawit, sebagian usaha perkebunan dilakukan oleh perusahaan, meskipun ada yang dikelola oleh masyarakat melalui perkebunan inti rakyat (PIR). Beberapa jenis komoditas yang perkebunannya dikelola oleh masyarakat, umumnya memiliki permasalahan yang sama. Kurangnya modal untuk mengelola kebun, belum adanya akses pasar yang memadai dan juga perawatan kebun yang tidak memadai. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dapat dilakukan salah satu upaya yaitu melakukan kemitraan antara pengusaha dengan petani yang melakukan usaha tani. Peran pemda sebagai pemangku kewenangan dalam pengembangan sektor unggulan, juga dapat melakukan upaya mengeluarkan paying hukum bagi program kemitraan agar program kemitraan tersebut memiliki aturan yang jelas dan terstruktur. Upaya untuk memayungi pelaksanaan kegiatan kemitraan tersebut diperlihatkan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, melalui Perda Propinsi Kaltim No. 3 tahun 2008 tentang kemitraan pembangunan perkebunan di propinsi Kalimantan timur. Perda ini dibuat untuk mengamankan program kemitraan pembangunan perkebunan sehingga dapat berjalan tertib, lancer dan mencapai asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta berkeadilan, serta mencegah terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan program kemitraan pembangunan perkebunan (pasal 3). Ringkasan Isi Seperti yang telah disebutkan diatas, maksud dari penerbitan perda ini adalah untuk mengamankan dan menjamin pelaksanaan kemitraan menjadi tertib, lancar dan berkelanjutan. Kemitraan pembangunan perkebunan yang dimaksudkan dalam Perda ini adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pembangunan kebun binaan serta jaringan jalan kebun/jalan usaha tani dan fasilitas lainnya yang berkaitan dengan pengembangan usaha tani perkebunan binaan. Tujuan dari program kemitraan ini adalah untuk menumbuhkembangkan sinergi antara perkebunan besar dan pekebun rakyat agar tercapai peningkatan pendapatan masyarakat, lapangan kerja, produkti tas lahan, nilai tambah dan daya saing. Selain itu juga dengan penerapan perda ini diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan lestari serta meningkatkan penerimaan negara, dan devisa Negara (Pasal 3). Hal lain yang diatur dalam perda ini adalah bentuk kemitraan itu sendiri. Terdapat 3 bentuk kemitraan yang diatur dalam perda ini yaitu: a. Petani pekebun rakyat bekerjasama dengan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang perkebunan. b. Petani pekebun rakyat bekerjasama dengan Perusahaan Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak dalam bidang perkebunan. c. Petani pekebun rakyat bekerjasama dengan Perusahaan Badan Usaha Milik Swasta dalam negeri maupun asing yang bergerak dalam bidang perkebunan. Terdapat juga beberapa program yang merupakan bagian dari bentuk kemitraan tersebut yaitu: a. Pembangunan kebun dilaksanakan penuh oleh perusahaan perkebunan pembina; b. Perusahaan perkebunan pebina memberikan bibit unggul berlabel dan sarana produksi (pupuk dan pestisida) dengan pola kredit; c. Perusahaan perkebunan pembina membantu proses pelaksanaan pengembalian kredit petani peserta; * Peneliti KPPOD 8

9 Review Regulasi d. Perusahaan perkebunan pembina membantu pembinaan dan pengembangan Koperasi petani peserta di sekitar wilayah perkebunan pembina; e. Perusahaan perkebunan pembina membantu pelaksanaan kegiatan peremajaan pada kebun petani peserta yang telah memasuki masa peremajaan. Dari beberapa bentuk dan program kemitraan yang dilakukan, secara garis besar perusahaan perkebunan Pembina mempunyai tugas dan kewajiban antara lain membangun perkebunan yang dilakukan perusahaan perkebunan Pembina seluas 20 persen dari total luas usaha perkebunan lengkap dengan fasilitas pengolahan yang dilaksanakan oleh instansi terkait (stakeholder) yang telah ditetapkan oleh Gubernur, sekurangkurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan. Potensi masalah: 1. Perda ini belum memasukkan PP No. 44 tahun 1997 tentang Kemitraan. PP ini menjabarkan teknis yang mengatur kemitraan antara perusahaan dengan petani atau pekebun. Dengan tidak adanya PP ini, dapat dikatakan perda ini tidak memiliki landasan yuridis yang lengkap. 2. Petani yang ikut ikut haruslah bebas dari (pabrik) yang dapat menampung hasil kebun pembina dan kebun binaan sesuai dengan tata ruang yang berlaku, dengan penerapan teknologi yang ramah lingkungan, serta memfasilitasi aksesibilitas usaha tani, alih teknologi serta informasi bagi para petani peserta. Selain itu, juga menampung dan membeli seluruh hasil kebun binaan berdasarkan standar mutu dan harga yang ditetapkan pemerintah dengan pembayaran tepat waktu dan lainnya. Sedangkan hak yang didapat oleh perusahaan perkebunan Pembina adalah mendapatkan informasi yang diperlukan dalam pengembangan usaha, fasilitas proses perizinan dan fasilitasi penanaman modal. Untuk dapat mengikuti program kemitraan ini, terdapat beberapa syarat bagi petani yaitu petani merupakan penduduk setempat, petani peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat, masyarakat pemilik lahan atau transmigran di sekitar areal perusahaan perkebunan Pembina. Selain persyaratan tersebut, juga terdapat persyaratan lain seperti batasan umur, sehat jasmani dan rohani, serta tidak memiliki tunggakan pinjaman. Petani yang berhak mengikuti kemitraan juga merupakan petani yang lolos seleksi yang dilakukan oleh Pemda dan ditetapkan oleh Pemda. Pemda juga berperan untuk menetapkan harga jual atas produksi yang dilakukan. Penetapan Harga jual atau harga pembelian atas hasil penjualan produksi kebun binaan petani ditetapkan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh pemerintah sumber: tunggakan pinjaman lain dari perbankan pada waktu konversi diadakan, kecuali ada pertimbangan lain. Disini tidak jelas apa yang dimaksud dengan pertimbangan lain dan 3. melalui mekanisme apa pertimbangan tersebut dilakukan. Hal ini dapat menimbulkan multi interpretasi bagi para pihak terutama bagi 4. petani maupun pemda sebagai pihak yang melakukan penetapan peserta program kemitraan. 5. Keharusan petani menjual produknya kepada perusahaan pembina perkebunan pada saat petani belum lunas kreditnya. Hal ini dapat mengakibatkan posisi tawar petani menjadi tidak kuat, karena akan menjadikan petani hanya sebagai penerima harga ketika masih memiliki tanggungan kredit. 6. Perda ini mengatur tentang hak yang didapat oleh perusahaan, berupa fasilitas perizinan dan fasilitas penanaman modal. Namun perda ini tidak menjelaskan sejauh mana fasilitas ini diberikan atau dalam tingkatan apa fasilitas per inan maupun penanaman modal diberikan kepada perusahaan. 7. Penetapan harga jual atas produksi 9

10 Review Regulasi perkebunan yang dilakukan oleh gubernur sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan juga dapat menimbulkan permasalahan. Potensi permasalahan yang terjadi ketika penetapan harga ini adalah terdapatnya ketimpangan harga antara pasar dengan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, tidak d elaskan mekanisme yang dilakukan untuk mengantisipasi uktuasi harga komoditas perkebunan. Karena ada komoditas, seperti kakao, yang memiliki tingkat harga ber uktuasi setiap harinya, karena mengacu pada pasar di luar negeri. 8. Kewajiban pemda dalam pola kemitraan sudah ada beberapa hal namun belum mencakup peran sebagai bapak asuh bagi para petani peserta. Memang dalam beberapa hal, Pemda bertugas menyediakan lahan, pendampingan bagi petani, namun pemda tidak ikut serta dalam menjamin ketersediaan lahan untuk pembinaan. Keseluruhan kewajiban untuk menyediakan lahan ditanggung oleh perusahaan. Seharusnya, pemda ikut menjamin ketersediaan lahan untuk pembinaan dengan membantu perusahaan dalam menyediakan lahan binaan. 9. Tidak adanya mekanisme penyelesaian kon ik yang terjadi dalam kemitraan di dalam perda ini. Hal ini berpotensi menyebabkan berlarutlarutnya kon ik ataupun permasalahan dalam kemitraan itu sendiri. Rekomendasi Upaya Pemprop Kaltim dalam memayungi program kemitraan melalui sebuah peraturan daerah layak untuk dihargai. Beberapa tujuan dari perda ini adalah untuk mengamankan program kemitraan dan mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan program kemitraan antara petani dan pengusaha. Namun dari hasil analisis yang dilakukan, masih terdapat beberapa potensi permasalahan yang timbul dari perda ini, antara lain adanya aturan tentang calon peserta yang masih multitafsir, hak perusahaan yang belum disebutkan secara jelas dalam hal apa, maupun peran pemda yang belum begitu nampak dalam program kemitraan yang diatur melalui perda ini. --o0o-- 10

11 Dari Daerah Kakao Majene: Butuh Komitmen Pemda dalam Mengembangan Kakao Sebagai Komoditas Utama Elizabeth Karlinda* Kakao merupakan komoditas strategis minimalnya karena dua hal. Pertama, Indonesia merupakan produsen kakao nomor dua di dunia setelah Pantai Gading, dengan produksi tahun Dengan produksi sebesar itu, komoditas ini telah menyumbang devisa sebesar US $ 1,1 Milyar pada tahun 2012 yang merupakan perolehan devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Kedua, kegiatan usaha ini melibatkan petani kecil dengan tingkat kepemilikan lahan 0,5-2 ha. Dengan demikian, perkembangan usaha kakao secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap ekonomi kerakyatan. Dari keseluruhan total produksi kakao Indonesia, kontribusi terbesar (60 %) berasal dari Pulau Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Khusus di Sulawesi Barat, perkebunan kakao tersebar di hampir seluruh daerah, salah satunya adalah Kabupaten Majene. Kabupaten Majene merupakan salah satu dari lima kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang menjadi sentra produksi kakao. Komoditas tersebut memberikan kontribusi terbesar dalam pendapatan masyarakat Majene. Dari data BPS menunjukkan, pada tahun 2010 subsektor perkebunan menyumbang kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Majene yakni sebesar 40 %, dimana kakao mejadi komoditas utama di subsektor tersebut (Majene Dalam Angka 2012). Faktor internal dan faktor eksternal Usaha Kakao Majene Budidaya kakao di Kabupaten Majene melibatkan KK. Jika satu keluarga di Majene memiliki empat orang anggota (ayah, ibu dan dua anak), artinya terdapat lebih dari petani di Kabupaten Majene. Total produksinya di tahun 2011 mencapai ton dengan produktivitas mencapai 880 kg/ha/tahun meningkat menjadi 950 ha/kg/tahun pada tahun Meskipun produktivitasnya sedikit lebih tinggi dari produktivitas nasional (821 ka/ha/tahun), namun nilai tersebut masih jauh produktivitas optimal kakao Majene yang sebesar kg/ha/tahun (Bappeda Majene 2013). Luas areal lahan kakao di Majene sebesar ha. Tiga kecamatan yang menjadi sentra produksi kakao * Peneliti KPPOD di Majene adalah Kecamatan Tammerodo Sendana, Kecamatan Malunda dan Kecamatan Ulumanda. Luas areal kakao di tiga kecamatan tersebut berturut-turut pada tahun 2011 adalah ha, ha, dan 796 ha. Total produksi ketiga kecamatan tersebut mencapai 91 % dari total produksi kakao di Kabupaten Majene. Dari areal lahan kakao di Majene tersebut, seluruhnya (100%) merupakan perkebunan rakyat. Belum ada perkebunan swasta besar yang melakukan budidaya kakao di Majene. Sementara luas kepemilikan lahan rata-rata 1 ha/kk. Dari hasil observasi lapangan juga menunjukkan sangat jarang ada petani yang memiliki luas lahan kakao lebih dari 3 ha/kk. Di lihat dari faktor eksternal, budidaya kakao masih dilakukan secara tradisional. Usaha ini telah dilakukan turun temurun sejak berpuluh tahun silam. Meskipun begitu, mayoritas petani kakao masih berada di bawah garis kemiskinan. Nilai budaya kebersamaan di tingkat petani masih ada, namun mulai berkurang. Contohnya adalah beudaya gotong royong bersama dalam merawat kebun kakao milik petani. Namun, kini tidak semua poktan melakukan budaya tersebut., hanya sedikit yang masih menjalankannya. Hingga kini belum ada LSM maupun perusahaan yang berperan dalam pengingkatan usaha kakao di Majene. Pembinaan dan pendampingan petani Majene beberapa kali pernah dilakukan LSM Wasiat yang berpusat di Kabupaten Polewali Mandar. Kerjasama antar petani (poktan) dengan perusahaan dalam bentuk jual beli maupun bantuan penyuluhan dan 11

12 Dari Daerah FAKTOR INTERNAL Jumlah petani kakao KK (2011) Total Produksi ton (2011) Total Luas Lahan ha (2011) TBM : ha TM: ha TTM/TR : 458 ha Produktivitas 880 kg/ha/tahun (2011) Kepemilikan lahan 1 ha/kk Tidak ada keb akan dari pemerintah untuk mempertahankan luas usaha kakao, atau menyediakan lahan untuk pengembanan usaha kakao Ket: TBM: Tanaman Belum Menghasilkan TM: Tanaman Menghasilkan TTM/TR: Tanaman Tidak Menghasilkan/Tanaman Rusak pendampingan dari perusahaan pun pun masing sangat jarang di Kabupaten Majene. Kapasitas petani sebagai aktor utama usaha kakao masih rendah Maju tidaknya usaha ini dipengaruhi oleh beberapa hal, terutama kapasitas SDM petani. Namun, kenyataannya kapasitas petani di Kabupaten Majene masih rendah dari aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan modal. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan oleh kesadaran merawat kebun kakao yang masih rendah. Budidaya kakao yang kurang optimal tersebut mengakibatkan produktivitas dan kualitas b i kakao rendah. Terlebih hama dan penyakit yang banyak menyerang tanaman kakao semakin menyebabkan penurunan produktivitas dan kualitas tersebut. Tidak hanya itu, kesadaran petani dalam melakukan proses pengolahan secara sempurna juga masih rendah. Akibatnya, pengeringan hanya dilakukan dalam waktu singkat (satu hari) dan prosesnya pun masih belum memerhatikan faktor kebersihan (sanitasi). Proses fermentasi pun masih sangat jarang dilakukan oleh para petani. Beberapa hal tersebut mengakibatkan kualitas b i kakao yang dihasilkan oleh petani semakin rendah. Kapasitas petani yang rendah juga menyebabkan mereka tidak memiliki posisi tawar terutama dalam sistem pemasaran. Justru peranan pengepul masih lebih menonjol ketimbang petani kakao di dalam rantai perdagangan kakao. Lingkungan Sosial Budaya Modal Sosial Peran NGO dan Perusahaan FAKTOR EKSTERNAL Budidaya masih tradisional Usaha kakao dilakukan turun Petani masih miskin Nilai budaya kebersamaan di tingkat petani masih ada, namun mulai berkurang Kemerosotan modal sosial secara kolektif ->Tidak memiliki rencana hidup sepanjang tahun NGO lokal yang berperan dalam peningkatan kakao di Majene hanya WASIAT, sementara belum ada perusahaan yang bekerja sama dengan petani Beberapa hal yang menyebabkan kondisi rendahnya kapasitas petani, diantaranya adalah sebagai berikut: Minimnya pelatihan bagi petani kakao Majene Hingga kini, pelatihan yang diselenggarakan guna meningkatkan kapasitas petani di Kab. Majene masih minim. Hal ini dikarenakan anggaran yang digunakan untuk kegiatan tersebut masih terbatas. Minimnya anggaran pelatihan bagi para petani ini disebabkan oleh Tim Penyusun Anggaran Daerah (TPAD) tidak memprioritaskan program pengembangan kakao di Majene, khususnya di bidang penyuluhan. Padahal, ini tidak sesuai dengan misi Kabupaten Majene yakni Meningkatkan Kesejahteraan dan Taraf Hidup Masyarakat, dimana mayoritas petani kakao termasuk masyarakat miskin yang kesejahteraannya perlu ditingkatkan. Tidak hanya pemda, sesungguhnya progam pelatihan maupun pendampingan juga dilakukan oleh asosiasi kakao maupun perusahaan. Biasanya program tersebut dilakukan di daerah-daerah sentra produksi kakao. Namun, hal tersebut masih sangat jarang dilakukan di Majene. Akibatnya, kapasitas petani masih sulit ditingkatkan. Kinerja penyuluh kurang optimal Dilihat dari kuantitasnya, jumlah penyuluh di Kabupaten Majene masih kurang memadai. Masih ada penyuluh yang menangani lebih dari satu 12

13 Dari Daerah sumber: KPPOD desa. Idealnya setiap penyuluh maksimal hanya menangani satu desa. Tidak hanya dari kuantitas, penyuluh pun masih memiliki kualitas rendah. Latar belakang penyuluh yang berbeda-beda menyebabkan tidak semua penyuluh memahami teknik budidaya kakao dengan baik. Faktor lain yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah status tenaga penyuluh yang merupakan tenaga kontrak non PNS. Dalam hal ini, tenaga kontrak merupakan tenaga yang dikontrak oleh Kementerian Pertanian dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan dan belum tentu dapat diperpanjang. Tenaga kontrak penyuluh pun hanya mendapatkan honor tenaga penyuluh, namun tidak mendapatkan biaya operasional. Sementara tunjangan operasional tersebut hanya ditujukan untuk tenaga penyuluh PNS. Status yang belum pasti tersebut dan pembiyaan tenaga kontrak penyuluh yang masih minim mengakibatkan kinerja penyuluh rendah dalam melakukan penyuluhan dan pendampingan kepada para petani. Motivasi mereka pun rendah karena tidak ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Beberapa hal tersebut utamanya menyebabkan kinerja penyuluh kurang optimal dalam melaksanakan penyuluhan, pembinaan maupun pendampingan kepada para petani. Akibatnya, petani kakao masih mengalami kesulitan dalam menambah pengetahuan dan keterampilan budidaya. Kelembagaan petani masih lemah Hingga tahun 2012, terdapat poktan di Majene. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 10% atau sekitar 100 poktan yang dapat menerapkan fungsi kelompok tani dengan baik yakni tempat belajar, tempat bekerjasama dan unit produksi. Sedikitnya poktan yang belum berfungsi optimal dikarenakan banyak poktan yang dibentuk bukan berdasarkan kepentingan petani yang sesungguhnya (bo om up). Namun, seringkali poktan tersebut dibentuk untuk kepentingan politik, seperti mendapatkan suara pilih dari para petani. Akibatnya, banyak poktan yang mendapatkan bantuan dari pemda namun tidak melaksanakan fungsinya sebagai kelompok tani sehingga petani anggota tidak banyak menerima manfaat dari keberadaan poktan tersebut. Kesulitan dalam mengakses kredit Petani masih mengalami kesulitan dalam mengakses kredit perbankan. Padahal, terdapat dana revitalisasi yang merupakan paket program gernas dimana dana ini dapat dikredit dengan bunga yang rendah. Tujuan penyaluran kredit ini adalah untuk membiayai usaha budidaya kakao petani. Namun, hingga kini petani tidak dapat membiayai usaha kakaonya dengan dana tersebut. Faktor yang menyebabkan sulitnya petani dalam 13

14 Dari Daerah mengakses dana revitalisasi tersebut adalah tidak adanya petugas bank yang secara khusus untuk menangani administrasi penyaluran kredit untuk para petani. Selain itu, persyaratan yang diberikan oleh perbankan di Majene pun lebih banyak dan berbelit-belit dibandingkan dengan syarat yang telah ditentukan pusat berdasarkan pedoman pelaksanaan dana revitalisasi. Capaian Program Gernas belum optimal, masih ada kendala dalam pelaksanaannya Sebagai upaya peningkatan produktivitas, mutu dan pendapatan petani kakao, program gerakan nasional (gernas) ini telah dilakukan di Kabupaten Majene dari tahun 2009 hingga Capaian program ini pun mulai terlihat. Berdasarkan data BPS, terjadi peningkatan produksi kakao dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun Produktivitas juga meningkat dari 568 kg/ha/tahun pada tahun 2008 menjadi 880 kg/ha/tahun pada tahun 2011 serta 950 kg/ha/tahun pada tahun Tidak hanya itu, pendapatan petani meningkat jumlah petani pun meningkat sebesar Rp selama tahun 2008 hingga Peningkatan pendapatan tersebut menjadi insentif bagi petani untuk berkebun kakao sehingga jumlah petani pun meningkat. Namun, beberapa kendala terjadi dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah lemahnya koordinasi dan sinkronisasi antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dari tidak sinkronnya keb akan di pusat dengan kondisi di daerah, misalnya dalam pengadaan benih. Dalam kegiatan tersebut, pengadaan benih seluruhnya dilakukan oleh pusat penelitian kopi dan kakao (puslit koka) di Jember. Padahal, benih tersebut seringkali kurang cocok dengan kondisi iklim dan tanah yang ada di daerah. Akibatnya, banyak benih yang kemudian mati dan tidak dapat tumbuh. Ketidaksinkronan tersebut juga terlihat dari keterlambatan distribusi sarana produksi baik pupuk maupun benih. Antar pemda masih kurang koordinasi dalam jadwal pelaksanaan kegiatan utama (intensi kasi, rehabilitasi dan peremajaan) sehingga terjadi keterlambatan pembagian dan distribusi pupuk dan benih. Akibatnya, pelaksanaan Gernas mejadi terhambat. Kendala lainnya dalam pelaksanaan Gernas adalah minimnya peserta yang diikutsertakan dalam berbagai pelatihan. jumlah peserta pelatihan pemberdayaan petani masih sangat sedikit. Di tahun 2009, ada 253 orang dari petani. Artinya 8,9% petani yang mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bahkan di tahun 2012, proporsi petani yang mendapat pelatihan tersebut menurun menjadi 2,7%, dimana dari dari total petani kakao, hanya 282 petani yang mengikuti kegiataan pemberdayaan tersebut (Dishutbun 2013). Adanya bantuan berupa sarana produksi (pupuk, benih, peralatan) masih belum cukup sebagai upaya peningkatan produktivitas. Pada implementasinya, masih banyak petani yang belum memahami tata cara pelaksanaan kegiatan Gernas, misalnya kegiatan rehabilitasi yang menggunakan teknik sambung samping serta perawatan setelahnya. Akibatnya, banyak tanaman hasil program Gernas yang tidak dirawat dengan baik oleh para petani. Hal inilah yang menghambat tercapainya tujuan Gernas. Catatan akhir: Butuh peran pemda dalam upaya peningkatan usaha kakao di Kabupaten Majene Hingga saat ini, program-program yang diselenggarakan salam rangka peningkatan kesejahteraan petani yang diselenggarakan oleh pemerintah belum menyentuh substansi permasalahan yang dialami para petani di Kabupaten Majene. Oleh karena itu dibutuhkan komitmen yang kuat dari Pemda, tidak hanya dari program-program yang diselenggarakan, namun juga dalam bentuk dukungan regulasi. Program-program permda utamanya didorong untuk peningkatan kapasitas petani sebagai aktor kunci. Koordinasi yang baik antar SKPD akan dapat mengarahkan pencapaian program yang tepat sasaran secara efektif dan e sien. Dukungan regulasi juga penting diberikan dalam upaya mengembangkan sektor unggulan daerah sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, mengingat kakao merupakan komoditas utama di Kabupaten Majene. Tidak hanya Pemda, stakeholders lain pun seperti asosiasi, perusahaan, LSM, akademisi dan perbankan juga memiliki peran penting dalam pengembangan usaha kakao. Tanpa dukungan stakeholders lain, program dari Pemda belum cukup memadai dalam menyelesaikan berbagai masalah pada pengembangan komoditas kakao. Sinergitas program dan koordinasi Pemda dengan para pihak sangat dibutuhkan guna mencapai keberhasilan kakao di Kabupaten Majene. --o0o-- 14

Panduan Pengembangan Usaha Kakao di Daerah

Panduan Pengembangan Usaha Kakao di Daerah Panduan Pengembangan Usaha Kakao di Daerah KERJASAMA ANTARA: FORD FOUNDATION dengan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Jakarta 2013 Panduan Pengembangan Usaha Kakao Di Daerah Bab. I Pendahuluan

Lebih terperinci

Business Enabling Environment of Cocoa Value Chain Mendorong Perbaikan Lingkungan Usaha pada Rantai Nilai Kakao

Business Enabling Environment of Cocoa Value Chain Mendorong Perbaikan Lingkungan Usaha pada Rantai Nilai Kakao Business Enabling Environment of Cocoa Value Chain Mendorong Perbaikan Lingkungan Usaha pada Rantai Nilai Kakao KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah Tentang KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

Kertas Kebijakan. Pengembangan Usaha Kakao di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat

Kertas Kebijakan. Pengembangan Usaha Kakao di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat Kertas Kebijakan Pengembangan Usaha Kakao di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat KERTAS KEBIJAKAN Pengembangan Usaha Kakao di Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat KERJASAMA ANTARA: KPPOD dan Pemerintah

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produktifitas Kakao di Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah

Upaya Peningkatan Produktifitas Kakao di Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah Kertas Kebijakan (RIA Statement) Upaya Peningkatan Produktifitas Kakao di Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah TIM PENELITI KPPOD Principal Investigator Robert Endi Jaweng Koordinator Peneliti Tities Eka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

Kertas Kebijakan. Upaya Peningkatan Produktivitas Kakao di Kabupaten Sikka

Kertas Kebijakan. Upaya Peningkatan Produktivitas Kakao di Kabupaten Sikka Kertas Kebijakan Upaya Peningkatan Produktivitas Kakao di Kabupaten Sikka KERTAS KEBIJAKAN Upaya Peningkatan Produktivitas Kakao di Kabupaten Sikka KERJASAMA ANTARA: KPPOD dan Pemerintah Kabupaten Sikka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 Pada Kamis dan Jumat, Tanggal Lima dan Enam Bulan Maret Tahun Dua Ribu Lima Belas bertempat di Samarinda, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana BAB I. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Pembangunan pedesaan merupakan pembangunan yang berbasis desa dengan mengedepankan seluruh aspek yang terdapat di desa termasuk juga pola kegiatan pertanian yang

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 98 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bagian ini akan dikemukakan hasil temuan studi yang menjadi dasar untuk menyimpulkan keefektifan Proksi Mantap mencapai tujuan dan sasarannya. Selanjutnya dikemukakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa globalisasi, persaingan antarbangsa semakin ketat. Hanya bangsa yang mampu mengembangkan daya sainglah yang bisa maju dan bertahan. Produksi yang tinggi harus

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kewirausahaan berperan penting dalam perekonomian bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Kewirausahaan berperan penting dalam perekonomian bangsa dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kewirausahaan berperan penting dalam perekonomian bangsa dan merupakan persoalan penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang berkembang. Menurut Ciputra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor ini terhadap PDB menujukkan pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah Kecamatan Kahayan Kuala merupakan salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Pulang Pisau yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama serta pertahanan dan keamanan

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya Pemerintah menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar 5,1% dan 8,2% dan penurunan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Pertanian yang berkelanjutan

I. PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Pertanian yang berkelanjutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani yang bertempat tinggal di pedesaan. Sektor pertanian

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai temuan studi, kesimpulan serta rekomendasi pengembangan usaha tape

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

2013, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

2013, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2013 KESEJAHTERAAN. Petani. Perlindungan. Pemberdayaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi PENDAHULUAN A. Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2015 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR... TAHUN... TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN PETANI DAN KOMODITAS PERTANIAN JAGUNG DAN KEDELAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH SAMBUTAN GUBERNUR SULAWESI TENGAH PADA ACARA PEMBUKAAN SINKRONISASI PROGRAM KEGIATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN PROVINSI SULAWESI TENGAH SELASA, 01 MARET 2011 ASSALAMU ALAIKUM WAR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. 1. Latar Belakang

BAB I P E N D A H U L U A N. 1. Latar Belakang BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Sesuai amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, dan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi hulu sampai hilir yaitu,

I. PENDAHULUAN. Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi hulu sampai hilir yaitu, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi hulu sampai hilir yaitu, usahatani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi, BAB VI. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.105, 2015 SUMBER DAYA ALAM. Perkebunan. Kelapa Sawit. Dana. Penghimpunan. Penggunaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN Paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan proses partisipatif dan terdesentralisasi, oleh karena itu dalam menyusun

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PETANIAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa air minum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao memegang peranan penting dalam hal pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Komoditas ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara, pengadaan lapangan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Terwujudnya Masyarakat Bengkulu Utara yang Mandiri, Maju, dan Bermartabat Visi pembangunan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011-2016 tersebut di atas sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran dari adanya suatu pembangunan adalah menciptakan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran dari adanya suatu pembangunan adalah menciptakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu sasaran dari adanya suatu pembangunan adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, termasuk di dalamnya pemerataan pendapatan antar suatu

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Pembangunan pertanian diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) DINAS PERKEBUNAN KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2015 DAFTAR ISI Kata Pengantar... Daftar Isi... i ii BAB. I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Maksud..... 1 1.3. Tujuan....

Lebih terperinci

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi BAB V KESIMPULAN Provinsi NTB merupakan daerah yang menjanjikan bagi investasi termasuk investasi asing karena kekayaan alam dan sumber daya daerahnya yang melimpah. Provinsi NTB dikenal umum sebagai provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan perekonomian di Indonesia tidak bisa dipungkiri salah satunya didorong oleh sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN 2019-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA Jl. PEMBANGUNAN NO. 183 GARUT

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI SKRIPSI YAN FITRI SIRINGORINGO JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 99/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS SELEKSI TENAGA PENDAMPING KEGIATAN PENGEMBANGAN KAKAO BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS SELEKSI TENAGA PENDAMPING KEGIATAN PENGEMBANGAN KAKAO BERKELANJUTAN PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR PEDOMAN TEKNIS SELEKSI TENAGA PENDAMPING KEGIATAN PENGEMBANGAN KAKAO BERKELANJUTAN TAHUN 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO,

Lebih terperinci

BAB III ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan berdasarkan tugas dan Fungsi

BAB III ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan berdasarkan tugas dan Fungsi BAB III ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan berdasarkan tugas dan Fungsi Identifikasi permasalahan berdasarkan tugas dan Fungsi pelayanan SKPD Badan Pelaksana

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR RENCANA KERJA ( RENJA )

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR RENCANA KERJA ( RENJA ) Pemerintah Kabupaten Blitar PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR RENCANA KERJA ( RENJA ) DINAS PERTERNAKAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2017 Jl. Cokroaminoto No. 22 Telp. (0342) 801136 BLITAR 1 KATA PENGANTAR Puji syukur

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K)

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K) UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K) PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas

Lebih terperinci

KONSULTASI REGIONAL OPERASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA SUMBER DAYA AIR 2016

KONSULTASI REGIONAL OPERASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA SUMBER DAYA AIR 2016 KONSULTASI REGIONAL OPERASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA SUMBER DAYA AIR 2016 Operasi dan Pemeliharaan Prasarana Sumber Daya Air untuk Mendukung Ketahanan Air, Ketahanan Pangan dan Ketahanan Energi. ***

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Pembangunan Daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci