Bab 5 Persaingan Industri Rokok

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 5 Persaingan Industri Rokok"

Transkripsi

1 Bab 5 Persaingan Industri Rokok Rokok sebagai barang kena cukai, pabriknya dibedakan menjadi golongan I, II, dan III. Kriteria golongan pabrik berdasarkan produksi maksimal yang boleh dilakukan dalam satu tahun. Golongan I, batas minimal produksi dua miliar batang per tahun, tanpa ada batas maksimal. Golongan II, yakni pabrik rokok yang memproduksi 500 juta batang sampai dua miliar batang per tahun. Sedangkan golongan III, semula maksimal 500 juta batang, sekarang dikurangi menjadi 300 juta batang berdasarkan Pereturan Menteri Keuangan No. 167/ PMK.011/ Tahun 2011 Tentang Perubahan Tarif Pita Cukai. Persaingan industri rokok terjadi antara pabrik besar dengan pabrik besar; pabrik besar dengan pabrik kecil; dan pabrik kecil dengan pabrik kecil. Pada skala pabrik, mereka melakukan berbagai upaya untuk memenangkan persaingan. Ekspansi pabrik dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal, khususnya bagi pabrik golongan I dan II. Secara umum pabrik melakukan inovasi produk dan pasar agar dapat mencapai pangsa pasar yang lebih luas, mempertahankan konsumen untuk keberlanjutan operasional pabrik atau sekedar bertahan hidup. Semakin banyaknya merek rokok yang masuk ke pasar, persaingan semakin ketat. Rokok mengacu pada persaingan pasar bebas, tidak dapat dibatasi wilayahnya. Secara terbuka persaingan dapat terjadi pada level domestik/nasional maupun global. Keberagaman strategi yang ditetapkan untuk bertahan hidup atau memenangkan persaingan sangat dipengaruhi oleh sistem dan proses yang dilakukan dalam berproduksi maupun memasarkan hasil produksinya baik secara individu pabrik maupun industri. Proses dan sistem menyebabkan pabrik beroperasi secara efisien. Efisiensi 99

2 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya menyebabkan keuntungan semakin besar, dan memberikan kesempatan kepada pabrik untuk melakukan inovasi. Efisiensi dapat dicapai kalau pabrik tidak kaku (bersifat fleksibel). Fleksibilitas pabrik rokok dapat terwujud ketika menggunakan model perusahaan jaringan. Dalam jaringan, pabrik saling melakukan spesialisasi sesuai dengan kompetensinya. Bukan hanya dalam hal bahan baku atau bahan pendukung yang telah berlangsung lama, tetapi juga dalam hal produksi dan pemasaran. Proses dan sistem pada produksi melembaga dalam bentuk rantai produksi, mulai tahapan pengadaan bahan baku dan bahan pendukung sampai proses produksi rokok itu sendiri. Proses dan sistem pemasaran atau yang disebut rantai pemasaran merupakan rantai distribusi rokok sampai di pasar. Baik proses dan sistem produksi maupun pemasaran akan menentukan organisasi dan kelembagaan dalam pabrik atau dalam industri secara menyeluruh. Bagaimana proses dan sistem yang dibangun pada skala pabrik maupun industri akan menentukan tingkat fleksibilitas dalam menghadapi persaingan. Fleksibilitas akan dapat menciptakan efisiensi dan pada akhirnya meningkatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh memberikan keleluasaan untuk melakukan berbagai inovasi. Bab ini memaparkan persaingan industri rokok yang mendorong munculnya rokok illegal. Bagian satu : memaparkan bagaimana proses dan sistem produksi serta pemasaran pada pabrik golongan I, II dan III. Bagian kedua, akan menjelaskan bagaimana persaingan pabrik golongan I, II dan III. Bagian ketiga mendiskripsikan bagaimana dampak persaingan dan munculnya rokok illegal. Proses dan Sistem Pada Rokok Golongan I, II dan III Rokok adalah produk yang melibatkan banyak pihak, tersistem sedemikian rupa, terintegrasi dari hulu sampai hilir secara vertikal maupun horizontal. Rokok bukan hanya sekedar produk ekonomi tetapi mengandung nilai dan budaya yang embedded pada para pelaku yang terlibat dalam produksi maupun pemasaran. Oleh karena itu 100

3 Persaingan Industri Rokok rokok juga sebagai produk budaya. Rokok adalah produk yang memiliki kompleksitas. Produksi belum dilakukan oleh semua daerah karena tidak semua daerah berkembang sebagai daerah produsen rokok walaupun memiliki sumber daya bahan baku. Sebaliknya Kabupaten Kudus berkembang sebagai daerah produsen rokok hanya memiliki masyarakat sebagai pekerja. Di Indonesia, hanya beberapa daerah yang menjadi daerah produsen dengan kekhasan masing-masing. Kudus, dengan masyarakat (tenaga kerja); Kediri didukung oleh kedekatannya terhadap bahan baku, tembakau. Proses dan sistem produksi yang terjadi pada pabrik golongan I, II, dan III berbeda, demikian juga proses dan sistem pemasarannya. Perbedaan ini disebabkan pasar dan skala pabrik serta kapasitasnya untuk memenuhi permintaan pasar. Perbedaan proses dan sistem juga disebabkan kebutuhan dan kepentingan pabrik untuk menjamin keberlanjutan pabrik. Bahan yang dibutuhkan untuk memproduksi rokok terdiri dari tembakau, cengkih, dan saos sebagai sumber sensasi aroma dan rasa. Bahan pendukung, pembungkus dan kelengkapannya dikerjakan oleh industri lain. Bahan baku memerlukan pengolahan tersendiri, untuk setiap merek rokok memiliki ciri khas pada rasa dan aromanya. Semakin banyak merek yang diproduksi semakin banyak perbedaan aroma dan rasa yang harus diciptakan melalui proses produksinya. Perbedaan rokok juga ditentukan karena alat yang digunakan, apakah mesin atau manual (tangan). Rokok diproduksi oleh berbagai golongan pabrik. Untuk menghasilkan rokok dibedakan proses pengolahan bahan baku dan proses produksinya. Proses produksi sesuai dengan rokok yang dibuat apakah kretek atau rokok putih. Selanjutnya menentukan organisasi dan kelembagaannya, karena masing-masing rokok memiliki pasarnya sendiri. Proses dan Sistem pada Pabrik Golongan I dan II. 101

4 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Jenis rokok yang diproduksi oleh pabrik golongan I dan II terdiri dari rokok kretek dan rokok putih. Produksi menggunakan tangan (manual) dan juga mesin. Oleh karenanya disebut Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), baik untuk jenis rokok kretek maupun rokok putih. Rokok kretek lebih banyak diproduksi untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri, dan rokok putih untuk kebutuhan pasar global. Rokok kretek adalah aroma yang menggunakan cengkih sedangkan rokok putih menggunakan kekuatan aroma yang berasal dari saos. Saos adalah campuran berbagai bahan kimia dan alami yang menghasilkan aroma sebagai cita rasa rokok yang khas sesuai dengan selera konsumen. Rokok putih sangat terbuka untuk dikembangkan varian rasanya dibanding rokok kretek. Rokok kretek dan rokok putih juga dibedakan berdasarkan kandungan tar dan nikotinnya. Untuk mengembangkan varian rasa, diperlukan kompetensi yang berkaitan dengan saos (tobacco flavour). Di bawah ini secara spesifik dikemukakan komponen saos agar menimbulkan rasa dan aroma seperti yang diinginkan. Penggunaan flavour, mulai dengan yang low flavor sampai high flavor. High flavour terdiri dari sweet spicy dan nutty frutty. Sedangkan untuk yang low flavour, terdiri dari yang tipe natural (CV.Penta Aromindo, 2009; Agung, 2001). Didasarkan pada kandungan tar dan nikotinnya, misalnya Low Tar and Nicotin (< 15 mg tar/batang /cigaret, dan < 1,1 mg nicotin /cigaret) dan Medium Tar and Nic (< 15 mg tar/cigaret. < 20 & < 1,1 mg nicotin /cigaret. < 1,5). Untuk rokok putih, memiliki 2 tipe acuan cita rasa, yaitu American Blend: sweet aromatic anissed and typical acid fruit, chocolate and fermented Virginia Blend: typical virginia smoke taste and fermented acid taste Produksi rokok kretek terdiri atas 4 bagian dan tahapan yaitu Blend Tembakau; Blend Clove; Casing Flavour; Top Flavour. Blend Tembakau merupakan campuran dari berbagai macam jenis tembakau (bentuk rajangan) dengan perbandingan tertentu sedemikian rupa sehingga diperoleh cita-rasa tembakau yang diinginkan. Blend Clove merupakan campuran dari beberapa jenis clove (cengkih bentuk 102

5 Persaingan Industri Rokok rajangan) dengan perbandingan tertentu sedemikian rupa sehingga diperoleh cita-rasa clove yang diinginkan. Saos rokok pada umumnya hampir sama dengan esens yang digunakan di industri makanan. Bedanya hanya di metode penggunaan. Saos rokok harus dilarutkan dulu dengan Ethyl Alcohol agar bisa digunakan pada tembakau. (Agung, 2001; CV Penta Aromindo, 2009). Pabrik hanya menggunakan bahan baku saos untuk menghasilkan rasa dan aroma sesuai dengan rokok yang dibuat. Tembakau sebagai bahan utama rokok di Indonesia yang banyak digunakan adalah jenis nicotiana tabacum. Selain nicotiana tabacum, ada juga jenis nicotiana rustica, nicotiana silvestris, nicotiana glutinosa, dan nikotiana petunoides (Santosa, 2001). Setiap jenis rokok memerlukan tembakau berbeda, misalnya untuk cerutu menggunakan tembakau Virginia yang banyak diusahakan oleh rakyat. Tembakau cerutu khusus untuk ekspor ditanam di sekitar Sumatra yang dikenal dengan tembakau Deli. Tembakau Vorstenland, ditanam antara Solo-Yogya. Tembakau Besuki di Jember. Sedangkan tembakau Virginia yang digunakan sebagai bahan baku rokok putih, ditanam di Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan. Tembakau rakyat digunakan juga untuk keperluan produksi rokok skala rumahan, sesuai dengan kebutuhan lokal daerah, dihasilkan dari Lombok, yaitu tembakau Ampenan, tembakau Cabenge di Sulawesi Selatan, tembakau Payakumbuh di Sumatera Barat, tembakau Mole di Garut. Bahan baku rokok kretek biasanya menggunakan tembakau rakyat yang berasal dari Kedu, tembakau Kasturi dari Jember, dan tembakau Madura dari Madura. Pada industri rokok golongan I dan II, bahan baku tembakau dan bahan pembantu utama lainnya (cengkih dan saos) diproses tersendiri oleh pabrik yang disebut proses tembakau primary. Tembakau sebelumnya disimpan selama 2-3 tahun untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan. Proses dilakukan dengan tahapan tertentu untuk menghasilkan tembakau siap giling (tobacco finished blend). Proses primary adalah proses pengolahan material rokok (cigarette) 103

6 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya yang masih berupa material setengah jadi sampai menjadi produk hasil blending yang siap untuk dilinting (tembakau untuk SKT dan SKM melalui proses yang sama). Proses primary ini menentukan 90 persen rasa atau sensasi merokok sedangkan 10 persennya disumbangkan dari proses linting dan sistem filter yang digunakan. Primary Processes diibaratkan sebagai jantungnya pabrik rokok, karena merupakan proses terpenting yang akan menghasilkan bahan rokok seperti yang diinginkan. Tembakau dari supplier berbentuk kubus padat merupakan hasil proses pres dan kering. Tembakau ini dipotong dengan menggunakan mekanisme guillotine semacam alat penggal di masa lalu, dengan potongan searah atau tegak lurus searah lapisan daun tembakau, hasil potongan tegak lurus kualitasnya lebih baik. Proses ini disebut slicing. Slicing harus dilakukan dengan kecepatan makan (feed rate) dan dengan potongan yang konstan untuk menjaga hasil agar sesuai standar proses. Selanjutnya dilakukan conditioning, yaitu pengkondisian hasil proses slicing dengan temperatur tertentu agar tembakau dalam kondisi lembab, menggunakan alat berbentuk silinder yang berputar (conditioning silinder), di dalam silinder tersebut terdapat garpu yang berfungsi mengurai tembakau. Kelembaban tembakau dilakukan dengan memberikan air dengan cara disemprotkan. Proses conditioning berbeda untuk jenis tembakau yang berbeda, karena setiap jenis tembakau memiliki karakter fisik yang berbeda. Selanjutnya akan dilakukan proses casing. Casing dilakukan bersamaan atau secara terpisah dengan proses conditioning, jika casing yang digunakan berbahan dasar molase yang memiliki kekentalan (viskositas) tinggi. Proses casing menggunakan alat yang disebut direct conditioning and casing cylinder (DCCC). Proses casing memerlukan tangki casing dan dosing system. Tangki casing harus memiliki sistem pengawasan dan pengadukan agar casing dapat merata dan standar (homogen) selama proses. Selanjutnya dilakukan FM atau foreign material classification, yaitu proses menyeleksi benda asing yang terdapat dalam tembakau, khususnya logam agar tidak merusak mesin dalam proses selanjutnya. Alat deteksi menggunakan detektor logam, mesh stainless steel, optical system, dan airlift system. Semua proses 104

7 Persaingan Industri Rokok yang telah dilalui dilanjutkan dengan proses cutting sebagai proses yang paling kritis. Sehingga proses sebelumnya akan menentukan hasil proses cutting. Mekanismenya menggunakan drum dengan pisau yang berputar dengan kecepatan tertentu. Kualitas hasil potongan tembakau harus tetap dipertahankan sedemikian rupa dengan memperhatikan perawatan dan penggantian spare parts-nya. Setelah proses cutting, dilanjutkan dengan proses expansion drying, karena moisture content tembakau dirasakan masih tinggi (25-30 persen). Tembakau harus dikeringkan dengan menggunakan dryer dan ekspansi secara bersamaan, untuk mendapatkan hasil tembakau yang kering dan tidak menyusut, tetapi malah bertambah. Tembakau yang dihasilkan harus memiliki kadar air sesuai dengan standar yang ditetapkan untuk suatu jenis rokok dan sekaligus filling power. Pemberian flavour adalah bagian terakhir dari primary processes, berupa larutan berbahan dasar alkohol yang ditambahkan dalam tembakau dengan menggunakan mesin flavour cylinder. Pada proses ini aroma dan rasa tembakau ditentukan. Selanjutnya tembakau siap giling disimpan dengan metode yang bermacam-macam. Untuk setiap pabrik dapat berbeda-beda, ada yang menggunakan blending silo atau karung atau tobacco bin. Selama proses storage akan terjadi proses homogenisasi pada tembakau karena tembakau memiliki sifat higroskopik, sehingga pemberian flavour yang kurang merata dapat disempurnakan ketika tembakau saling berkontak fisik dengan tembakau lainnya. Proses primary ini dilakukan oleh semua pabrik besar dengan kebiasaan yang dilakukan sejak lama dan diwariskan secara turun menurun (culture heritage). Dalam perkembangannya proses primary menggunakan alat (mesin) yang lebih modern. Proses primary antara pabrik yang satu dengan pabrik lainnya berbeda karena kebutuhannya berbeda, tetapi tujuannya sama, yaitu mengolah tembakau sebelum proses giling atau linting. Tembakau Silo Blending Conditioning 105 Casing Drum

8 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Tembakau Cengkih Jengkok Flavouring Drum Dryer Silo Blending Mixing Jengkok Limbah dari cucian Mesin Preeblending Feeder Silo Blending Finished Blend Container/ Sack Filling Tembakau Siap Giling Gambar 25 Proses Tobacco Primary Jenis rokok yang akan diproduksi menentukan kualitas tembakau yang dibutuhkan. Di Madura, standar mutu atau kualitas tembakau dapat diidentifikasi meliputi warna, tekstur tembakau dengan cara dipegang, aroma, tingkat kekeringan, kebersihan, kemurnian, ketuaan daun, posisi daun, dan lebar rajangan. Kualitas tembakau dibagi menjadi 1 (amat baik), 2 (baik), 3 (cukup), 4 (sedang). Jenis tembakau dengan kualitas yang amat baik biasanya memiliki warna tidak terlalu hijau, tidak berbau tanah atau bercendawan, tidak tercampur bahan-bahan bukan tembakau, dan tidak dicampur gula (Santosa, 2001 : 100). Tata niaga tembakau memiliki sifat fancy product, artinya kualitas menentukan harga. Walaupun produktivitas meningkat jika kualitasnya rendah, secara ekonomi tidak akan menghasilkan keuntungan yang baik. Tembakau yang kualitasnya rendah dijual kepada pabrik rokok kecil (golongan 3), tetapi dengan harga yang 106

9 Persaingan Industri Rokok murah dan dalam jumlah yang kecil. Pabrik besar akan mempertimbangkan untuk membeli tembakau dengan kualitas rendah, tetapi seringkali tidak akan dibeli karena tidak sesuai dengan kualitas rokok yang akan diproduksi. Pengadaan tembakau merupakan proses dan sistem tersendiri pada pabrik golongan I dan II. Proses melibatkan para pihak sejak dari petani sampai pabrik. Pada Gambar 26, merupakan skema pengadaan tembakau sampai ke gudang pabrik hanya bagi pabrik besar dan menengah (golongan I dan II). Pabrik rokok besar biasanya memiliki gudang sendiri-sendiri di lokasi daerah tembakau dihasilkan. Istilah untuk menyebut aktor atau pelaku dalam rantai pengadaan tembakau dari petani sampai gudang pabrik rokok berbeda dan khas sesuai dengan istilah daerah masing-masing. Pada skema tersebut, contoh istilah yang digunakan di daerah Temanggung dan Madura. Petani tembakau akan menjual kepada para pengepul. Hanya pengepul yang memiliki kartu anggota berhak untuk masuk area gudang. Pengepul atau bandol menjual tembakau kepada juragan (Madura) atau Grader (Temanggung), dengan cara mengirim contoh tembakau atau sasoler (Madura) terlebih dahulu ke gudang. Contoh tembakau akan dilihat oleh grader atau juragan, untuk menentukan tembakau tersebut termasuk grade yang mana. Grader adalah orang yang ahli dalam mengenali kualitas tembakau. Tidak hanya di lokasi pertanian tembakau, tetapi juga keahliannya dapat melengkapi keahlian sebagai pedagang tembakau. 107

10 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Petani Tembakau Pengepul/Bandol Grader/Juragan Tukang Cocok/Tukang Tongko Tukang Tumplek 108 Gudang Gambar 26 Proses Pengadaan Tembakau Selanjutnya, contoh tembakau akan dibawa kepada tukang cocok atau tukang tongko, untuk dilihat apakah memenuhi syarat yang diminta pabrik. Mereka yang akan memberikan jawaban bahwa tembakau memenuhi syarat atau tidak. Tembakau dan contoh yang sudah ditetapkan oleh tukang cocok, kemudian diserahkan kepada tukang tumplek setelah mencocokkan antara contoh tembakau dan tembakau yang dibawa pengepul. Setelah itu, tembakau akan dicatat oleh para assisten grader untuk memutuskan berapa keranjang yang akan dibeli, dan diberi label harga. Tembakau yang telah diberi label akan dibawa ke gudang tumplek. Di gudang tumplek, proses akan dilanjutkan apabila tembakau cocok dengan contohnya, maka selanjutnya ditumplek (bahasa Jawa: ditumpahkan) ke gudang. Selanjutnya pengepul akan mengurus pembayaran di tempat yang telah ditentukan. Proses pembelian tembakau dari petani sampai ke gudang selesai. Proses dari gudang ke pabrik merupakan rantai tersendiri. Tembakau contoh di Madura disebut sasoler. Dari tembakau sebanyak 2 kg, hanya diambil 1 ons sebagai contoh, sisanya sebagai ret-ret atau upeti. Bagi petani hal tersebut bukan hal yang

11 Persaingan Industri Rokok merugikan. Di Temanggung ditentukan berupa gulungan kecil tembakau yang diikat dengan kertas berwarna coklat. Grader akan mencium sampel untuk menentukan grade tembakau. Di Temanggung grade tembakau terdiri dari A sampai F. Sedangkan di Madura dibagi menjadi 4, yaitu 1, 2, 3, dan 4. Pengepul bertindak sebagai pembantu grader, biasanya telah dibina oleh grader dan memiliki wilayah sendiri-sendiri, istilah bagi pengepul juga bisa berbeda pada daerah yang berbeda, misalnya di Madura disebut bandol. Seorang grader memiliki banyak bandol atau pengepul. Grader adalah orang kepercayaan yang ditunjuk pabrik, bertugas untuk pengadaan tembakau dan memiliki kekuasaan untuk menentukan grade, mutu, atau kualitas tembakau sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan pabrik dan sesuai dengan rokok yang akan diproduksi. Grader juga memiliki kewenangan untuk menentukan harga tembakau. Sedangkan gudang pabrik disediakan di area penghasil tembakau, misalnya PT. Djarum dan PT. Gudang Garam memiliki gudang di Kendal/Weleri, Temanggung, Wonosobo, NTB, dan daerah penghasil tembakau lainnya. Proses pengolahan tembakau menjadi rokok disebut dengan giling atau linting, yaitu tembakau yang telah diolah melalui proses primary. Alat produksi yang digunakan terdiri dari manual atau mesin. Proses produksi rokok secara manual menggunakan alat giling atau linting yang banyak dijual di pasar, dari bahan dasar kayu dan dioperasikan kebanyakan oleh buruh perempuan. Mesin digunakan untuk giling dan linting rokok, yang menghasilkan rokok sigaret mesin, baik kretek maupun rokok putih. Proses produksi sigaret kretek/putih yang menggunakan mesin, dapat digambarkan sebagai berikut: 109

12 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Tembakau Finished Blend Material Pendukung Cigarette Making Cigarette Packing Bladeg dan gagang Kertas bahan Bungkus Finish Goods Air Cucian Peralatan proses (glue pot) 110 Gambar 27 Produksi rokok dengan mesin Bladeg dan gagang merupakan limbah yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga, masyarakat dan pabrik golongan III. Bladeg dan gagang sebagai material untuk membakar batu merah yang akan menghasilkan warna merah. Sedangkan air limbah sisa cucian alat diolah di septic tank dan diolah di Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) yang dimiliki pabrik secara keseluruhan. Pada produksi rokok yang menggunakan mesin, bathil dan sortir tetap dilakukan dengan manual. Bathil, adalah proses merapikan ujung dan pangkal rokok dari tembakau yang tidak tergulung dengan rapi. Sedangkan sortir, adalah proses untuk memisahkan produk yang gagal. Proses produksi rokok yang menggunakan tangan (manual), hampir sama, perbedaannya hanya pada proses giling/linting rokok; bathil dan sortir dikerjakan dengan manual. Rokok yang telah digiling/dilinting; dirapikan dan disortir selanjutnya di selop, yaitu mengemas rokok menjadi jumlah isi dalam bungkus yang ditentukan. Misalnya 10; 12 batang per bungkus. Selanjutnya rokok dibungkus dengan bahan plastic tipis sebagai pelindung dalam yang disebut

13 Persaingan Industri Rokok cellophane. Rokok dibungkus dengan kemasan yang telah disiapkan, pemasangan segel penutup dan direkati pita cukai. Tahapan paling akhir adalah dengan melapisi cellophane sebagai pelindung luar, dan rokok siap didistribusikan dalam kemasan pak, yang berisi 10 bungkus dan bal yang berisi 20 pak. Organisasi Produksi dan Pemasaran Pada Pabrik Rokok Golongan I dan II. Organisasi produksi pada industri golongan I dan II, pada dasarnya tersistem mulai dari petani sampai ke gudang milik pabrik, dari gudang pabrik sampai ke pabrik. Produksi rokok dikerjakan oleh organisasi tersendiri demikian pula untuk pemasarnnya. Organisasi produksi meliputi pemasok bahan baku, pengolah tembakau primay, tenaga kerja. Pemasaran diserahkan kepada organisasi tersendiri, yang merupakan perusahaan yang berdiri sendiri atau merupakan bagian dari pabrik induk. Sekalipun pekerjaan tidak lagi terpusat, tetapi produksi dan pemasaran terintegrasi kuat sebagai suatu sistem yang teratur dalam struktur yang jelas. Rantai produksi dan pemasaran melibatkan perusahaan yang bergerak untuk mendukung produksi (pemasok bahan baku, bahan penunjang, proses pengolahan bahan baku, produksi rokok,pita cukai, dan lain-lainnya). Perusahaan Pemasar melibatkan perusahaan transportasi dan periklanan, serta perbankan. 111

14 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Percetakan Pemasok Tembakau Pabrik Perlengkapan Produksi lainnya KPPBC Pabrik/ Rokok Jasa Perbankan Pemasar Rokok Transportasi Periklanan Gambar 28 Organisasi Produksi dan Pemasaran Pada Industri Rokok Golongan I dan II Sistem yang terbangun sebagai rantai produksi dan pemasaran sangat bervariasi, menyesuaikan jenis rokok (kretek atau putih); buatan tangan (manual) atau mesin; di mana daerah pemasarannya; serta harga jual eceran (HJE) rokok yang direncanakan. Hal tersebut berpengaruh pada produksi dan organisasi yang harus dibuat. Pemasaran rokok menggunakan model Business to Business (B to B) atau Business to Consumer (B to C). B to B, sesuai dengan organisasi produksi dan pemasaran yang tidak lagi ditangani oleh satu pabrik saja, tetapi saat ini pabrik rokok melakukan spesialisasi pada produksi dan pemasaran diserahkan pada perusahaan lain. Pada pola B to C, distribusi rokok dapat menggunakan saluran panjang dan/atau pendek, sangat tergantung pada lokasi secara geografis di mana konsumen berkumpul atau secara fisik pasar berada. Panjang-pendeknya saluran ditentukan oleh pertemuan Business to Consumer. Peran komunikasi pasar sangat penting. Komunikasi dilakukan dalam berbagai bentuk promosi, iklan, publikasi, dan menggunakan seluruh media yang ada baik yang berbasis teknologi maupun komunikasi langsung kepada masyarakat konsumen. Sebagai produk image, iklan yang dibuat harus membuat konsumen merasa bangga 112

15 Persaingan Industri Rokok mengkonsumsi rokok, sehingga iklan bersifat sangat berperspektif gender, bisa bersifat maskulin atau feminine. Promosi dan bentuk komunikasi pasar yang lain merupakan arena pertarungan industri yang mengandalkan penguasaan teknologi dan informasi. Pasar adalah ruang dan media untuk melakukan inovasi produknya. Inovasi yang dilakukan untuk mengembangkan produk dan pasar dilakukan dengan mengintegrasikan industri dengan industri pendukung (reklame atau advertising) dalam suatu jaringan industri (network enterprise) yang diikat oleh nilai-nilai saling membutuhkan dan saling menguntungkan (modal sosial) sebagai kesatuan, sekalipun dalam kompetensi yang berbeda (bridging). Pabrik golongan I dan II, juga memiliki komitmen lebih besar dan melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR), sebagai biaya yang dialokasikan khusus baik terbuka ataupun terselubung. Pemanfaatan CSR tidak hanya terbatas pada konsumen rokok, tetapi untuk masyarakat luas sesuai dengan kebijakan perusahaan. CSR diyakini sebagai media promosi dan lebih besar pengaruhnya untuk menguatkan posisi pasar industri seperti yang dikemukakan oleh Silvia, Bagi masyarakat, sekalipun anti terhadap rokok tetap mendapatkan manfaat dari keberadaan rokok melalui program yang memanfaatkan CSR tersebut. Proses dan Sistem Pada Pabrik Golongan III. Pabrik golongan III, memiliki proses dan sistem berbeda dengan golongan I, walaupun ada sebagian pabrik golongan II yang memiliki model sama dengan golongan III. Khususnya pada pengolahan tembakau, alat yang digunakan dan jenis rokok yang diproduksi. Pabrik rokok golongan III hanya memproduksi rokok kretek menggunakan tangan. Pabrik golongan III, tidak melakukan pengolahan tembakau sendiri tetapi menggunakan jasa pabrik tembakau atau pabrik rokok lain yang menyediakan jasa pengolahan tembakau siap pakai yang disebut tembakau setelan. Demikian juga untuk promosi hanya sedikit yang memanfaatkan media massa maupun 113

16 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya elektronik. Komunikasi pemasaran dilakukan dari mulut kemulut, atau memanfaatkan agen pemasar yang ada di lapangan. Tembakau setelan berasal dari aval atau debu industri rokok golongan I. Sekalipun hanya debu, tetapi mengandung bahan (tembakau dan cengkih) pilihan dan telah mengalami proses steam sehingga kualitasnya lebih baik dengan harga yang sangat murah bila dibandingkan harus memproduksi sendiri dari tembakau dan cengkih asli. Penyedia jasa pengolah tembakau aval menjadi tembakau setelan adalah pedagang tembakau atau pabrik rokok yang tidak hanya memproduksi rokok tetapi mengolah aval sebagai diversifikasi produk. 114

17 Persaingan Industri Rokok Bahan Baku dan bahan Pendukung Proses Produksi Pita Cukai Aval/Jengkok (Debu Tembakau) Giling/Linting; Bathil; Sortir Pengemasan (selop, pak, pres, dan bal) ROKOK Tembakau Setelan Lem, plastik (opp luar dan dalam), alat pres. 115 Percetakan Bungkus (kemasan) Gambar 29 Skema Proses Produksi Rokok yang Menggunakan Tembakau Setelan 115 Persaingan Industri Rokok

18 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Organisasi Produksi dan Pemasaran Pabrik Golongan III. Organisasi mengikuti rantai yang dipilih, panjang-pendek, terintegrasi atau tidak. Pilihan tersebut bukan hanya karena keinginan, tetapi lebih sebagai kebutuhan untuk merespon kondisi karena persaingan atau kebijakan. Pabrik rokok golongan II (sebagian) dan III, memiliki kapasitas produksi yang dibatasi pada jumlah yang berbeda. Tetapi konsumen tidak dipengaruhi oleh golongan pabrik, golongan pabrik ditetapkan untuk kepentingan penetapan tarif cukai. Sehingga strategi untuk berproduksi dan memasarkan produknya bersifat fleksibel, bisa sama dengan pabrik besar atau berbeda. Faktanya pada industri golongan II lebih dapat melakukan strategi untuk mencapai konsumen ke atas maupun ke bawah. Selera konsumen tidak hanya rasa dan aroma rokok tetapi juga harga, sehingga industri rokok golongan II memiliki keleluasaan ini. Pabrik golongan III memiliki rantai pendek dan tidak terintegrasi. Ketidakpastian pasar disiasati oleh pengusaha dengan sistem rantai yang sangat fleksibel. Fleksibilitasnya menyangkut aktor yang terlibat dan bentuknya sangat cair. Pemasaran rokok pabrik golongan III hanya melibatkan pengusaha dan agen. Agen bertugas mencari dan memberikan informasi permintaan pasar (jenis, jumlah, aroma) dan biasanya sekaligus menjadi agen pemasaran, sehingga agen memiliki jaringan yang fleksibel sampai kepada konsumen. Melalui pedagang besar, dan pengecer. Jaringan ini bergerak dengan bentuk yang dinamis, tergantung kondisi di lapangan. Pengusaha melakukan perencanaan yang meliputi keputusan pemasaran (daerah dan waktu) serta merencanakan kebutuhan bahan baku, rasa, dan aroma, ditambah dengan memutuskan kapan diproduksi sesuai batas waktu yang disepakati, antara para agen di lapangan dengan pengusaha. Produksi yang direncanakan akan mempengaruhi jumlah tenaga kerja (giling, linting, bathil, sortir, nyelop, dan bungkus) yang dibutuhkan dengan cara dihubungi melalui koordinatornya. Koordinator (mandor) ditunjuk berdasarkan kompetensi, bertindak bukan hanya mengawasi, tetapi juga memutuskan siapa, berapa, dan bagaimana tenaga kerja dihubungi. 116

19 Persaingan Industri Rokok Pada pabrik golongan III, rantai produksi dan pemasaran tidak dipisahkan dan terintegrasi dengan tugas dan kewenangan pengusaha untuk memutuskan berapa yang diproduksi, kapan, jenis rokok, aroma, dan rasa walaupun mereknya tetap sama. Dalam hal ini pengusaha memiliki jaringan kerja sama dengan pabrik lain yang memiliki jenis rokok buatan mesin. Pengusaha akan meminta untuk diproduksikan sesuai dengan permintaan pasar. Persaingan Industri Rokok Porter (1996), mengidentifikan kekuatan persaingan dibagi menjadi lima aspek yaitu : pemasok bahan baku, pembeli, produk substitusi, potensi pendatang baru yang potensial dan persaingan pabrik dalam industri. Persaingan antar pabrik secara umum memiliki pola yang sama antara pabrik golongan I,II dan III. Perbedaannya terletak pada skala, kapasitas dan strategi untuk menekan biaya agar usaha tetap dalam kondisi efisien. Kelima aspek tersebut masing-masing memiliki daya tawar terhadap pabrik di dalam industri secara individu. Secara kolektif kemampuannya menentukan pabrik dalam industri untuk pengmbalian investasi yang telah dikeluarkan. Kemampuan kolektif berbeda antara industri barang/jasa yang satu dengan lainnya. Pada pabrik rokok, kemampuan kolektif sangat dipengaruhi oleh tekanan masyarakat anti tembakau yang menekan industri, kebijakan pengendalian rokok sebagai barang kena cukai, rokok sebagai sumber pendapatan penerimaan pemerintah dan persaingan itu sendiri. Secara alami kemampuan kolektif akan berubah ketika industri mengalami perubahan khususnya keputusan produksi karena perubahan permintaan pasar. Bahan baku rokok adalah tembakau, yang dapat diperoleh bukan hanya dari petani lokal (domestik), tetapi juga dari impor. Bahan pendukung utama adalah cengkih untuk rokok kretek dan saos untuk rokok putih. Daya tawar pemasok pada perusahaan rokok sangat lemah, cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi kepada pabrik 117

20 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya rokok. Oleh karena itu perubahan produksi karena perubahan permintaan pasar yang terjadi pada pabrik rokok sangat berpengaruh terhadap pemasok. Penentuan harga juga ditentukan oleh kualitas tembakau atau cengkih sesuai kebutuhan (jenis dan jumlah rokok) yang akan diproduksi. Demikian juga pemasok kebutuhan pendukung produski rokok, seperti kertas pembungkus dan perusahaan percetakannya; plastik; lem dan lain-lain hampir tidak memiliki kekuatan tawar terhadap pabrik. Pabrik sangat mudah untuk mengalihkan permintaannya kepada pabrik atau perusahaan lain sebagai pemasok. Dalam kondisi daya tawar pemasok kuat, pabrik akan mensiasati dengan kerja sama antar pabrik sebagai pembeli. Tetapi dalam kondisi daya tawar lemah, maka pabrik dapat mengendalikan harga dan jumlah permintaannya; memperbesar persediaan tembakau dan cengkih menggunakan teknologi yang semakin canggih. Sekalipun daya tawar pemasok tembakau lemah, tetapi ketidak pastian standar terpenuhinya persediaan tembakau untuk masa 2-3 tahun yang akan datang bisa tinggi. Petani tembakau bukan hanya ditentukan oleh pabrik rokok tetapi juga oleh alam (cuaca) yang akan berkontribusi menghasilkan tembakau yang berkualitas. Konsumen rokok memiliki keragaman menurut umur; jenis kelamin dan tempat tinggal. Sebagian konsumen bersifat dinamis, mudah beralih pada rokok lain, dan sebagian merupakan konsumen loyal. Kemudahan beralih disebabkan pertimbangan harga sedangkan loyalitas dipengaruhi oleh aroma dan rasa. Loyalitas konsumen juga dipengaruhi sifat rokok sebagai produk image. Daya tawar konsumen rokok sangat berpengaruh terhadap pabrik dan keberlangsungannya. Oleh karena itu pabrik melakukan berbagai inovasi pasar untuk mempertahankan konsumen dan mencapai pasar baru. Persaingan pada skala pabrik sangat ketat, didukung dengan semakin banyaknya merk dan varian rokok yang beredar di pasaran. Daya tarik keuntungan yang diperoleh pabrik rokok mengundang pemain baru untuk masuk ke pasar. Rokok berharga murah, rokok dengan varian yang beragam dan rokok yang menciptakan image bagi penyukannya akan tetap laku di pasaran. 118

21 Persaingan Industri Rokok Sebagian rokok lama yang konsumennya beralih ke rokok lain akan hilang sementara dari pasaran karena permintaan menurun dan tidak efisien untuk diproduksi. Kehadiran rokok baru selalu akan menarik perhatian konsumen. Bagi pabrik golongan I dan II, untuk memperkenalkan rokok baru dilakukan dengan menggunakan media elektronik untuk promosi, sehingga dapat menjangkau konsumen dalam berbagai stratufikasi. Kendala yang dihadapi sama seperti produk lain ketika memasuki pasar baru, tetapi pada rokok optimisme pasar lebih tinggi. Bagi pabrik golongan III, kekuatan model promosi dari mulut ke mulut mendukung masa perkenalan produk baru disamping mengandalkan agen sebagai intelejen pasar. Pabrik golongan III, melepas produk baru berdasarkan jaminan para agen atau berdasarkan order. Produk baru pada pabrik golongan III bukan sama sekali baru, tetapi pada merek lama yang sama sangat mungkin aroma dan rasanya dapat berbeda sama sekali dengan sebelumnya karena permintaan pasar. Produk pengganti rokok antara lain adalah permen; permen atau rokok buatan sebagai pengganti nikotin; rokok tingwe (linting dewe: bhs jawa, rokok melinting sendiri); rokok elektronik dan sebagainya yang saat ini semakin berkembang sebaga bentuk implementasi pengendalian konsumsi rokok. Rokok tingwe, menjadi suatu trend baru baik di kalangan orang tua dan orang muda. Ada tantangan dan sekaligus kepuasan tersendiri ketika dalam komunitas perokok mencoba meramu sendiri rokoknya sesuai dengan seleranya. Kebutuhan bahan baku tersedia di pasaran dapat dengan mudah diperoleh. Rokok tingwe semakin marak di berbaagai daerah, baik di pedesaan maupun perkotaan di kalangan komunitas-komunitas yang terbentuk oleh para penyuka rokok. Pabrik di dalam industri mempertahankan kekuatan kompetitif tersebut untuk saling bersaing dalam skala industri. Sekalipun masing-masing merek rokok saling bersaing tetapi pada saat yang sama juga melakukan kerja sama. Kerja sama dilakukan baik dalam rantai maupun antar pabrik untuk merespon kekuatan 119

22 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya persaingan yang tidak seimbang. Persaingan yang tidak seimbang oleh perusahaan dalam skala pabrik mendorong munculnya rokok illegal. Pada industri rokok, hambatan masuk pasar lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal pasar yaitu kebijakan industri hasil tembakau yang berorientasi pada pembatasan tembakau / rokok karena rokok sebagai barang kena cukai, dibanding hambatan masuk yang ditetapkan oleh pabrik dalam industri. Penetapan harga dan promosi tidak dapat dilakukan secara bebas walaupun rokok mengacu pada persaingan bebas. Oleh karena itu persaingan industri rokok mengakomodasi intervensi pemerintah melalui kebijakan penetapan harga jual eceran yang terkait dengan penetapan tarif cukai dan kebijakan standarisasi tar dan nikotin yang pasarnya memiliki pola yang berbeda antara pasar domestik dan global. Pada pasar domestik, rokok dikatakan sebagai rokok yang enak dan mantap jika kandungan tar dan nikotinya tinggi. Sehingga ekspor daun tembakau sebagai bahan rokok cerutu yang paling laku adalah daun tembakau yang tidak disukai oleh pabrik di Indonesia karena kadar tar dan nikotinnya rendah. Pada pasar global, sebaliknya mensyarakatkan tar dan nikotin tinggi. Persaingan industri rokok dibagi menjadi persaingan pabrik besar dengan pabrik besar, pabrik besar dengan pabrik kecil dan pabrik kecil dengan pabrik kecil. Cakupan wilayahnya tidak dapat dibatasi, meliputi wilayah domestik/ nasional maupun global secara terbuka dan menggunakan prinsip persaingan pasar bebas. Bekerjanya lima kekuatan kompetitif ditentukan oleh kekuatan masing-masing pabrik dalam menetapkan hambatan masuk dan biaya beralih konsumen terhadap produk pengganti (produk substitusi) dan kekuatan tawar produk baru oleh pemain lama dan baru. Sehingga persaingan pada industri rokok bersifat kompleks dan ketat, banyak hal harus diperhatikan oleh pabrik dalam industri dalam bersaing termasuk kebijakan pemerintah dan tekanan masyarakat anti tembakau. Secara alami kapasitas dan daya saing masing-masing pabrik mendorong masing-masing golongan menetapkan strategi, seperti menekan biaya produksi, mulai dari rekayasa bahan baku sampai biaya transaksi dan 120

23 Persaingan Industri Rokok distribusi agar harga jual rokok dapat dipertahankan karena mempertimbangkan tarif cukai yang harus dibayar dan daya beli konsumen. Inovasi pasar paling penting adalah efektifitas komunikasi pasar untuk produk lama dan baru melalui berbagai media yang ada dengan memperhatikan aturan pemerintah. Penggunaan teknologi tinggi, dalam promosi dan proses produksi untuk mencapai efisiensi. Dalam hal ini untuk pabrik rokok besar dan sedang (golongan I dan II) memiliki strategi yang berbeda dengan pabrik kecil (golongan III) Peluang bekerja sama dengan pabrik besar (bounding) untuk mendapatkan debu tembakau (aval atau jengkok dan tornette) sebagai bahan tembakau setelan, merupakan salah satu bentuk persaingan dalam industri rokok, dari kalangan pabrik golongan II dan pabrik golongan III terhadap pabrik golongan I. Karena di dalam tembakau setelan berpotensi diproduksi kembali rokok baru yang sama dengan aroma dan rasa pada aval tersebut. Potensi munculnya rokok illegal lahir dari perilaku pengusaha untuk melakukan sniper terhadap rokok produk golongan I yang debunya diproduksi ulang. Sniper adalah perilaku yang dikategorikan illegal karena pengusaha/produsen memproduksi rokok tiruan atau rokok asli tetapi palsu. Penggunaan tembakau setelan tidak menyebabkan adanya stigma rokok illegal, selama tetap menggunakan pita cukai sesuai peraturan.rokok illegal bukan pada bahan baku tetapi pada pemalsuan rokok, atau penggunaan pita cukai yang tidak sesuai peraturan. Penggunaan bahan baku rokok sampah, lebih pada bentuk persaingan yang terselubung karena pabrik pengguna tembakau dapat melakukan penggembosan terhadap pabrik yang memiliki rokok aslinya (yang menghasilkan limbah) karena rasanya sama, walaupun mereknya berbeda dan harganya lebih murah. Penggembosan, adalah bagian dari strategi persaingan yang dilakukan oleh pabrik rokok kecil (golongan I dan II) terhadap pabrik golongan I dengan cara mendaur ulang limbah menjadi rokok baru. Sesuai dengan Undang-Undang No 11 Tahun 1995 Tentang Cukai yang disempurnakan dengan Undang-Undang No 39 tahun

24 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Tentang Cukai mengatur bahwa limbah industri harus dihancurkan. Di Jawa Timur, penghancuran limbah dilakukan sebagai formalitas saja. Setelah aparat meninggalkan tempat pemusnahan limbah, maka limbah akan diambil oleh para pedagang tembakau. Persaingan Industri dan Munculnya Rokok Illegal. Pemanfaatan limbah berupa aval atau jengkok, pabrik rokok golongan II (sebagian) dan III menggunakan tornette sebagai campuran dan bumbu tembakau setelan. Keuntungan bagi pabrik pengguna tornette, memantapkan rasa rokok dan dapat lebih menyerupai rokok aslinya. Oleh karena itu tidak semua pabrik dapat membeli tornette, hanya pabrik yang memiliki NPPBKC dan benarbenar memproduksi rokok. Kemungkinan besar jika persyaratan tidak dipenuhi dan tornette setelah diproses dengan dikupas dan menjadi bumbu tembakau dan diproduksi kembali oleh pabrik yang tidak berijin, berpotensi munculnya rokok illegal di lapangan. Tornette adalah produk retur yang tidak laku di pasaran. Mengingat bahan yang digunakan berkualitas tinggi dan melalui proses yang baik, sekalipun produk retur masih bagus menjadi produk daur ulang. Rokok yang dihasilkan berupa rokok asli tapi palsu; rokok dengan merek sama tetapi palsu (sniper); rokok dengan merek asli tetapi rasa dan aroma berbeda sesuai permintaan pasar. Bila rokok tersebut pada akhirnya tidak dilekati pita cukai dengan berbagai alasan maka telah menjadi rokok illegal. Persaingan yang terjadi untuk mempertahankan konsumen dan mencapai pasar baru semakin ketat dengan berbagai merek yang semakin marak di pasaran. Munculnya merek baru merupakan upaya diversifikasi produk, baik dari rokok lama maupun rokok baru. Rokok baru dapat diproduksi oleh pabrik lama.pada skala pabrik merespon kondisi tersebut dengan strategi yang sama, dengan berbagai inovasi produk dan pasar. Pada pabrik golongan I dan II, inovasi produk terintegrasi dengan inovasi pasar menggunakan media promosi dan teknologi. Inovasi produk menyebabkan perubahan pada organisasi 122

25 Persaingan Industri Rokok dan kelembagaannya. Karena pabrik dapat melakukan spesialisasi merek dan rasa. Sehingga kelembagaan produksi tidak tersentral dalam satu pabrik. Demikian juga untuk inovasi pasar, dilakukan dengan melibatkan perusahaan pemasar yang terpisah dari pabrik rokok. Sistem kerjasama seperti ini dipandang lebih efisien. Perubahan kelembagaan yang tidak dipahami akan menyebabkan munculnya stigma kelembagaan yang illegal dan pada akhirnya produknya menjadi rokok illegal. Tarif cukai tunggal yang akan segera diberlakukan, pasti mempersempit gerak pabrik rokok golongan III yang hanya memproduksi rokok kretek, dan berpotensi untuk bangkrut. Karena tidak mampu bersaing dengan pabrik golongan I dan II yang memproduksi rokok kretek dan rokok putih. Hal tersebut menyebabkan pabrik golongan III bertahan dari kebangkrutan dan juga memenuhi kebutuhan hidup aktor yang terlibat dalam rantai produksinya. Kemungkinan pabrik tetap membuat rokok walaupun tidak menggunakan pita cukai sesuai peraturan (palsu, bekas, bukan peruntukannya) sangat tinggi, atau tidak menggunakan pita cukai, yang disebut rokok illegal. Rokok kretek pasarnya di seluruh Indonesia, bukan pasar global. Demikian juga yang terjadi pada pabrik yang memproduksi rokok kretek dan rokok putih, sekalipun dapat memperoleh keuntungan silang tetapi juga memiliki potensi untuk mendistribusikan rokok yang tidak berpita cukai sesuai dengan peraturan, karena pita tidak spesifik menurut merek rokoknya. Rokok yang beragam memiliki masalah yang beragam, tetapi penyederhanaan penetapan tarif cukai tersebut akan mengabaikan permasalahan lain yang dihadapi pabrik. Misalnya harga jual eceran (HJE) yang selama ini ditetapkan produsen dengan mempertimbangkan daerah pemasaran yang memiliki daya beli yang berbeda. Jika pajaknya sama, apakah HJE nya juga sama? Jadi produsen akan banyak kehilangan konsumen. Pangsa pasar tersebut akan mendorong munculnya rokok yang tidak menggunakan pita cukai atau menggunakan pita cukai tidak sesuai aturan, yang disebut rokok illegal. 123

26 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Standarisasi rokok dengan melarang rokok beraroma (cengkih) yang ditetapkan berarti melarang rokok kretek. Rokok kretek memiliki pasar domestik yang besar dibanding rokok putih. Perokok kretek sangat sulit beralih pada rokok putih. Maka pengusaha akan tetap memilih untuk membuat rokok kretek karena memiliki konsumen yang loyal dan fanatik terhadap rasa dan aroma. Artinya standar aroma dan rasa tidak akan diperhatikan oleh pabrik rokok karena konsumen masih potensial. Pada akhirnya semua rokok beraroma cengkih akan menjadi rokok illegal. Persaingan menuntut adanya perubahan kelembagaan pada proses produksi dan pemasaran rokok. Pada skala pabrik, perubahan permintaan pasar menyebabkan perubahan produksi. Perubahan yang dinamis harus direspon dengan strategi yang fleksibel juga. Misalnya kerjasama produksi dengan pabrik lain, melakukan spesialisasi hanya pada produksi saja, dan melakukan sub-kontrak produksi dengan skala UMKM rokok. Sehingga kelembagaan pada industri rokok berubah dari pabrik konvensional menjadi pabrik yang berbasis jaringan. Industri yang bekerja berbasis jaringan (network enterprise) yang dikemukakan oleh North (1990), merupakan kelembagaan yang fleksibel, oleh NIE dianggap sebagai bentuk yang tepat dalam merespon kondisi persaingan dalam industri rokok yang semakin ketat. Dalam waktu yang lama hubungan para aktor melembaga karena aktivitas bisnis (Granovetter, 1985). Tetapi bagi pamerintah, akan sulit menetapkan ketentuan dan persyaratan barang kena cukai dengan kelembagaan produksi yang semacam itu. Pada akhirnya apa yang berbeda dengan pemerintah dianggap melanggar. Termasuk perubahan kelembagaan pada pabrik rokok yang berbasis jaringan adalah kelembagaan illegal walaupun memenuhi semua persyaratan sebagai perusahaan sesuai dengan kompetensinya. Setiap pabrik memiliki jaringannya sendiri, dan melakukan kegiatan berdasarkan prinsip resiprositas. Hubungan timbal balik dilakukan atas kepentingan bersama yang saling menguntungkan. Hal tersebut membuktikan adanya peran modal sosial, modal budaya 124

27 Persaingan Industri Rokok masyarakat (tidak semua masyarakat di semua daerah memiliki budaya produksi rokok) yang terintegrasi dalam aktivitas ekonomi. Keberlanjutan hubungan dalam jaringan, dikarenakan ada informasi untuk mendapatkan barang yang diinginkan, tersebar di kalangan komunitas pengusaha. Jaringan yang terjalin bersifat eksklusif, dan hanya diketahui oleh anggota sesama pengusaha dan bisnis. Pengusaha lainnya memiliki jaringan tersendiri. Dalam hal ini peran modal sosial yang embedded sebagai pelaku usaha atau industri sangat bermanfaat untuk mengurangi biaya transaksi. Misalnya informasi tentang bahan baku alternatif (jengkok dan aval) bersumber dari pemilik limbah (pabrik besar), sekalipun secara normatif limbah harus dihancurkan dengan cara dibakar. Tetapi pedagang tembakau dapat memanfaatkan limbah tersebut karena masih bernilai ekonomis tinggi. Informasi menjadi dasar kerja sama dalam rantai. Melihat prinsip kerja sama tersebut, maka faktor trust berkembang di antara para aktor untuk melakukan inovasi bahan baku bagi kepentingan bersama, mempertahankan operasi pabrik, keuntungan, dan persaingan. Keberlanjutan pabrik menjadi jaminan keberlanjutan usaha dagang tembakau setelan. Jaringan berfungsi sebagai field bagi para aktor (Boerdieu, 1982) bagi kebutuhan bersama. Kerja sama menekan biaya bahan baku dengan merekayasa bahan baku tembakau setelan terbangun dalam jaringan bersifat informal. Hal ini sejalan dengan konsep modal sosial yang disampaikan Fukuyama (1999). Hanya berdasarkan kepercayaan (trust), selanjutnya menjadi aktivitas ekonomi yang menguntungkan anggota dalam jaringan (networking) yang terjadi karena hubungan antar simpul, aktor dalam industri pemilik limbah dengan aktor yang memiliki kompetensi mengolah limbah, serta melihat peluang bisnis limbah dari pabrik pemilik limbah, pedagang aval/jengkok dan pabrik pengguna (Coleman, 1988; Putnam, 1993; Fukuyama, 1999) secara bersama mendapatkan keuntungan sekaligus menanggung resiko gagal mendapatkan limbah karena kalah lelang. Walaupun semua pihak yang akan memanfaatkan sudah membantu keuangan sebagai persyaratan lelang. 125

28 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Modal sosial yang dikembangkan dalam jaringan industri rokok terbukti mengurangi biaya transaksi untuk bahan maupun produksi sehingga lebih efisien. Misalnya penggunaan tembakau setelan, pada skala industri diuntungkan dengan kesediaan bersama memanfaatkan limbah yang semula tidak memiliki nilai ekonomi menjadi bernilai ekonomi dan membuat beroperasinya pabrik dan sangat besar kemungkinannya dapat memenangkan persaingan dengan upaya bersama tersebut. Sekalipun dalam kebersamaan dalam industri rokok, di antara pabrik (golongan I, II, dan III) saling bersaing untuk memperebutkan dan mempertahankan pasar pada golongan masingmasing, sambil mencoba kemungkinan memasuki pasar produk pabrik golongan lainnya. Pada saat yang bersamaan anggota jaringan dapat beralih pada pabrik, atau pemasok lain untuk mencapai efisiensi dan menciptakan keuntungan yang maksimal. Sehingga organisasi dan kelembagaan pada pabrik rokok dapat sangat fleksibel, cair, tidak terikat. Keputusan rasional ekonomi ditetapkan sebagai respon adanya perubahan pasar yang berdampak pada perubahan produksi. Perubahan produksi pada setiap golongan pabrik berdampak pada kelima kekuatan kompetitif yang ada pada skala pabrik dan industri. Keberlanjutan perusahaan, upaya bertahan hidup karena tuntutan hidup jaringannya menyebabkan adanya keputusan rasional ekonomis yang harus dibuat. Rokok legal atau rokok illegal adalah pilihan rasional ekonomis untuk merespon persaingan. Perubahan organisasi dan kelembagaan sangat memungkinkan rokok diproduksi dengan cara sub-kontrak; kemitraan produksi; moving industry yang melampaui batas daerah; dengan waktu produksi menyesuaikan dengan kondisi faktor produksi yang ada. Faktor produksi (bahan baku, bahan pendukung, tenaga kerja, pabrik) bersifat mobile, dapat dipindahkan kemana saja untuk menciptakan efisiensi, untuk mendekati pasar atau pertimbangan lainnya.perubahan organisasi produksi menyebabkan potensi munculnya rokok illegal. 126

29 Persaingan Industri Rokok Kesimpulan Keberagaman industri rokok terkait dengan golongan, kapasitas, dan pemakaian bahan baku dalam proses produksi membawa konsekuensi beragamnya sistem dan organisasi proses produksi yang dilakukan. Bukan hanya alat, tetapi juga pengolahan bahan baku, bahan pendukung, dan kelengkapan yang dibutuhkan sesuai dengan jenis rokok, variasi rasa, dan harga. Proses masing-masing golongan berbeda, demikian juga jenis rokok dan alat produksi yang digunakan (mesin atau manual). Distribusi rokok pada masing-masing golongan pabrik juga memiliki pola yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi persaingan di antara rokok, antar golongan dan permintaan pasar yang dinamis. Walaupun secara umum setiap golongan pabrik memproduksi rokok dengan segmentasi pasar yang berbeda. Pabrik memilih spesialisasi pada produksi dan pemasaran diserahkan kepada perusahaan lain. Hanya pabrik kecil yang sebagian masih menggunakan pola lama memasarkan sendiri produknya, selebihnya menyerahkan pada agen di pasar sekaligus sebagai intelejen dan penanggungjawab order kepada pabrik. Pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan lain menyebabkan sistem pemasaran rokok tidak lagi terikat dengan pabriknya. Perusahaan pemasar tidak memiliki kompetensi terhadap peraturan pajak rokoknya, sehingga potensial mendistribusikan rokok illegal dengan atau tanpa kesepakatan pabrik dan perusahaan pemasar. Pita cukai sebagai tahapan akhir proses produksi justru merupakan dasar keputusan pengusaha paling awal untuk memutuskan jenis dan macam rokok serta harga jual eceran yang ditentukan untuk menjadi dasar penetapan tarif pita cukai. Tarif pita cukai ditentukan berdasarkan golongan pabrik. Klasifikasi golongan pabrik didasarkan pada kapasitas maksimal produksi yang diperbolehkan. Sehingga penentuan tarif cukai rokok secara prinsip sudah mendiskriminasi pabrik. Dan mendorong potensi untuk terjadinya pelanggaran dan berbagai modus rokok illegal secara sistematis. Hal ini tidak dapat 127

Sekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan

Sekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan Bab 9 Kesimpulan Di era ekonomi global persaingan industri semakin ketat. Peran teknologi informasi sangat besar yang menyebabkan cakupan wilayah produksi dan pemasaran barang dan jasa tidak dapat dibatasi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 31/BC/2010

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 31/BC/2010 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 31/BC/2010 TENTANG TATA CARA PERDAGANGAN DAN KEMASAN PENJUALAN ECERAN BARANG

Lebih terperinci

TUGAS LAPORAN. Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur. PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

TUGAS LAPORAN. Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur. PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah TUGAS LAPORAN Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Proses Bisnis (APB) Disusun Oleh : Nama : Andrian Ramadhan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1121, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Cukai. Tembakau. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1485, 2017 KEMENKEU. Cukai Hasil Tembakau. Tarif. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Bab 8 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Pengantar Persoalan penting yang dihadapi industri rokok dalam kajian ini adalah adanya tekanan yang mendorong munculnya stigma

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :02

1 of 5 21/12/ :02 1 of 5 21/12/2015 14:02 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tembakau merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, dengan total produksi nasional rata-rata mencapai 220 milyar batang per tahun dan nilai penjualan nasional

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 181/PMK.011/2009 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Pendahuluan. Bab 1. Latar Belakang

Pendahuluan. Bab 1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan Latar Belakang Industri rokok di Indonesia semakin tertekan dengan banyaknya masalah yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi oleh industri rokok bersumber dari persaingan di antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghasil tembakau terbanyak di dunia setelah Cina, Brazil, India, Amerika

BAB I PENDAHULUAN. penghasil tembakau terbanyak di dunia setelah Cina, Brazil, India, Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara penghasil tembakau terbesar didunia. Berdasarkan data tahun 2004, Indonesia merupakan negara ke-6 penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi pasar tradisional, supermarket, minimarket ataupun warung-warung yang ada di pinggir jalan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang sangat pesat secara tidak langsung telah merubah pola hidup dan pola pikir

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang sangat pesat secara tidak langsung telah merubah pola hidup dan pola pikir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini persaingan dalam dunia usaha semakin ketat terlebih dengan semakin meningkatnya kebutuhan dan keinginan konsumen. Perkembangan zaman yang sangat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tembakau dengan budidayanya merupakan

Lebih terperinci

181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU Contributed by Administrator Monday, 16 November 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 181/PMK.011/2009 TENTANG

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tembakau dengan budidayanya merupakan

Lebih terperinci

Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan pasal 26 sampai dengan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu membenfuk

Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan pasal 26 sampai dengan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu membenfuk PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK PROVINSI SUMATERA U?ARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN PRODUK TEMBAKAU YANG BEREDAR, PENCANTUMAN PERINGATAN KESEHATAN DALAM IKLAN DAN KEMASAN PRODUK TEMBAKAU, DAN PROMOSI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.876, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pengawasan. Iklan. Kemasan. Produk Tembakau. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah

BAB I PENDAHULUAN. yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 milimeter (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 milimeter yang

Lebih terperinci

PR. MUSTIKA TOBACCO INDONESIA

PR. MUSTIKA TOBACCO INDONESIA PR. MUSTIKA TOBACCO INDONESIA Desa Gempolsari No. 15 RT 04 RW 01 Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Indonesia Telp. (031) 8958566 SEKILAS MUSTIKA PR. Mustika Tobacco Indonesia (MTI) merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang : a. bahwa Pajak Rokok merupakan sumber pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste),

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), produknya unik, konsumen loyal, bersifat konsumtif, segmen pasar usia produktif dan maskulin,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.591, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Peringatan. Informasi. Kesehatan. Kemasan Rokok. Pencantuman. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cukai 2.1.1 Pengertian Cukai Menurut UU No.39 Tahun 2007, Cukai adalah Pungutan negara terhadap barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan Undang-undang.

Lebih terperinci

203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU Contributed by Administrator Tuesday, 09 December 2008 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 203/PMK.011/2008 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan pasar potensial bagi para

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan pasar potensial bagi para I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan pasar potensial bagi para pengusaha untuk memasarkan produknya. Setiap pengusaha berusaha mengembangkan usaha mereka dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR

Lebih terperinci

Bab 7 Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

Bab 7 Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok Bab 7 Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok Rokok termasuk salah satu Barang Kena Cukai (BKC) karena sifat dan karateristiknya. Penentuan barang kena cukai untuk setiap negara berbeda-beda.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2013

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2013 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG PENCANTUMAN PERINGATAN KESEHATAN DAN INFORMASI KESEHATAN PADA KEMASAN PRODUK TEMBAKAU 1 2 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seperti kita ketahui bersama, Indonesia selain menyelenggarakan pemerintahan juga melaksanakan pembangunan.dan untuk menjalankan pembangunan suatu Negara membutuhkan

Lebih terperinci

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan perolehan devisa, baik dari sektor migas maupun dari sektor non migas. Namun dengan semakin menipisnya sumber

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu wujudkan masyarakat adil dan makmur kita perlu melaksanakan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 134/PMK.04/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 134/PMK.04/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 134/PMK.04/2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.04/2005 TENTANG PENETAPAN HARGA DASAR DAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN,

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undangundang

BAB II URAIAN TEORITIS. tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undangundang BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Cukai 1. Pengertian Cukai Cukai adalah pungutan Negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undangundang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undan

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undan No.896, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Barang Kena Cukai. Pemberitahuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94/PMK.04/2016 TENTANG PEMBERITAHUAN BARANG KENA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang Mengingat : bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU Disampaikan Oleh: Djaka Kusmartata Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Jakarta,

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa agar pengelolaan dana bagi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU Oleh: Surono Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstraksi: Kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2013 dilandasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain bersaing dalam dunia pasar yang semakin memunculkan teknologi informasi yang canggih, perusahaan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari bagaimana setiap

BAB I PENDAHULUAN. Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari bagaimana setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa saling mengerti. Bahasa dan masyarakat adalah

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN Menimbang : a. Mengingat : 1. PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN ( Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 81 Tahun 1999 tanggal 5 Oktober 1999 ) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM (RDPU) BADAN LEGISLASI DENGAN GABUNGAN PERSERIKATAN PABRIK ROKOK INDONESIA (GAPPRI), ASSOSIASI PETANI TEMBAKAU INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berskala menengah dan kecil (home industry) dan memproduksi rokok kretek.

BAB I PENDAHULUAN. berskala menengah dan kecil (home industry) dan memproduksi rokok kretek. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia terdapat lebih dari 100 produsen rokok, dimana kebanyakan berskala menengah dan kecil (home industry) dan memproduksi rokok kretek. Produsen rokok yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1),

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, pres-lambang01.gif (3256 bytes) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diraih apabila suatu perusahaan bisa mengambil keputusan secara

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diraih apabila suatu perusahaan bisa mengambil keputusan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendistribusian adalah salah satu kegiatan pemasaran yang bertujuan untuk mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen sehingga penggunaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan pola berfikir manusia yang semakin maju dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan pola berfikir manusia yang semakin maju dalam bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan pola berfikir manusia yang semakin maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memungkinkan munculnya perusahaan untuk membuka

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES A. Jenis-Jenis Proses Proses pembuatan pulp adalah pemisahan lignin untuk memperoleh serat (selulosa) dari bahan berserat. Oleh karena itu selulosa harus bersih dari lignin supaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan produk plastik pada saat ini cukup pesat dimana semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan produk plastik pada saat ini cukup pesat dimana semakin 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan produk plastik pada saat ini cukup pesat dimana semakin meningkatnya pemesanan oleh masyarakat. Oleh karena itu PT. PANCA BUDI IDAMAN lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN, KONSEP, DEFINISI PEMASARAN DAN MANAJEMEN PEMASARAN

BAB I PENGERTIAN, KONSEP, DEFINISI PEMASARAN DAN MANAJEMEN PEMASARAN A. Pengertian Pemasaran BAB I PENGERTIAN, KONSEP, DEFINISI PEMASARAN DAN MANAJEMEN PEMASARAN Ada beberapa definisi mengenai pemasaran diantaranya adalah : a. Philip Kotler (Marketing) pemasaran adalah

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR : 32 TAHUN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR : 32 TAHUN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR : 32 TAHUN 2013. TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka optimalisasi pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] 15. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan produksi dan distribusi komoditi pertanian khususnya komoditi pertanian segar seperti sayur mayur, buah, ikan dan daging memiliki peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1),

Lebih terperinci

Analisis lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan makro dan lingkungan industri. Lingkungan makro terdiri dari ekonomi, alam, teknologi, politik

Analisis lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan makro dan lingkungan industri. Lingkungan makro terdiri dari ekonomi, alam, teknologi, politik Analisis lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan makro dan lingkungan industri. Lingkungan makro terdiri dari ekonomi, alam, teknologi, politik dan hukum serta sosial budaya. Sedangkan lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan

Lebih terperinci

2.3. Perkembangan Usaha Kerajinan Tangan Eceng Gondok

2.3. Perkembangan Usaha Kerajinan Tangan Eceng Gondok 2.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produsen Produsen adalah orang atau suatu badan perusahaan yang melakukan kegiatan dalam menaikan nilai guna suatu barang atau jasa, sehingga dapat menghasikan barang konsumsi untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sulawesi dan Papua serta ribuan pulau-pulau kecil lainnya (archipelagic

I. PENDAHULUAN. Sulawesi dan Papua serta ribuan pulau-pulau kecil lainnya (archipelagic I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki wilayah daratan yang dipisahkan oleh lautan dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lima

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Pemasaran 2.1.1 Pengertian Pemasaran Pemasaran sering diartikan oleh banyak orang sebagai kegiatan atau aktivitas dalam menjual beli barang di pasaran. Sebenarnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bersaing dari negara lain yaitu tanaman kopi. Dari 10 negara penghasil kopi

I. PENDAHULUAN. bersaing dari negara lain yaitu tanaman kopi. Dari 10 negara penghasil kopi 1 I. PENDAHULUAN A Latar Belakang dan Masalah Negara Indonesia memiliki salah satu tanaman perkebunan yang mampu bersaing dari negara lain yaitu tanaman kopi. Dari 10 negara penghasil kopi di dunia, Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang Mengingat : bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR /6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR /6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR /6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Berdirinya Usaha Bersama Jagung Goreng Gurih di Kelurahan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Berdirinya Usaha Bersama Jagung Goreng Gurih di Kelurahan BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Berdirinya Usaha Bersama Jagung Goreng Gurih di Kelurahan Labuhbaru Barat Pekanbaru 1. Latar Belakang Berdirinya Usaha Bersama Jagung Goreng Gurih Usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tembakau (Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum) merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tembakau (Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum) merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tembakau (Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum) merupakan produk pertanian Indonesia. Tembakau akan menghasilkan daun tembakau sebagai hasil bumi utamanya. Tembakau

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentang alam yang cocok dan berada di daerah tropis membuat berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. bentang alam yang cocok dan berada di daerah tropis membuat berbagai jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dari dulu sudah dikenal sebagai negara agraris yang berarti mata pencaharian utama penduduknya berasal dari sektor pertanian, didukung oleh bentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Minyak goreng kelapa sawit berasal dari kelapa sawit yaitu sejenis tanaman keras yang digunakan sebagai salah satu sumber penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan produk yang mudah dijangkau konsumen, dalam hal ini juga. perusahan. Lingkungan bisnis yang bergerak sangat dinamis dan

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan produk yang mudah dijangkau konsumen, dalam hal ini juga. perusahan. Lingkungan bisnis yang bergerak sangat dinamis dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat dewasa ini menyebabkan perusahaan harus menghadapi persaingan yang ketat, tidak hanya sekedar menjual produk denagan harga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh kemudian dibungkus dengan kertas rokok berukuran panjang 70 120 mm dengan diameter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN Pertimbangan disusunnya PP No.19 tahun 2003 : a. Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1. Sejarah Perusahaan UD. Tiga Bawang merupakan sebuah industri kecil menengah yang bergerak dibidang pembuatan keripik dengan bahan baku ubi kayu. UD. Tiga Bawang adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen. Perusahaan berusaha membuat suatu produk

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 82 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 82 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 82 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PELAKSANAAN PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang

Lebih terperinci

FASILITAS PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KANTOR PELAYANAN BEA DAN CUKAI PANARUKAN LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

FASILITAS PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KANTOR PELAYANAN BEA DAN CUKAI PANARUKAN LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA FASILITAS PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KANTOR PELAYANAN BEA DAN CUKAI PANARUKAN LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA Diajuakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md.)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

STRATEGI PEMASARAN KOPI BUBUK CAP TIGA SENDOK DI KOTA PADANG

STRATEGI PEMASARAN KOPI BUBUK CAP TIGA SENDOK DI KOTA PADANG STRATEGI PEMASARAN KOPI BUBUK CAP TIGA SENDOK DI KOTA PADANG SKRIPSI SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA PERTANIAN OLEH RIFI YANTI 0810221051 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS

Lebih terperinci

Pengemasa Makanan. Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc

Pengemasa Makanan. Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc Pengemasa Makanan Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc SEJARAH SEJARAH Kemasan Tradisional Indonesia SEJARAH Kemasan Tradisional Indonesia DEFINISI kemasan/ke mas an/ n 1 hasil mengemas; 2 bungkus

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 52 /BC/2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 52 /BC/2012 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 52 /BC/2012 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini persaingan menjadi sangat tajam, baik di pasar domestik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini persaingan menjadi sangat tajam, baik di pasar domestik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Dalam era globalisasi ini persaingan menjadi sangat tajam, baik di pasar domestik (nasional) maupun di pasar internasional/global. Untuk memenangkan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK.07/2008 TENTANG PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan bebas antara ASEAN CHINA atau yang lazim disebut Asean

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan bebas antara ASEAN CHINA atau yang lazim disebut Asean 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan bebas antara ASEAN CHINA atau yang lazim disebut Asean China Free Trade Area (AC-FTA) yang terjadi saat ini sungguh sangat mengkhawatirkan bagi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER-08/BC/2011 TENTANG DESAIN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN MINUMAN MENGANDUNG

Lebih terperinci

Copyright Rani Rumita

Copyright Rani Rumita Strategi Distribusi Topik yang Dibahas Bagaimana sifat saluran pemasaran dan mengapa saluran pemasaran penting? Bagaimana perusahaan saluran berinteraksi dan diatur untuk melakukan pekerjaan saluran? Masalah

Lebih terperinci

Bisnis Kerupuk Udang, Renyah Menguntungkan

Bisnis Kerupuk Udang, Renyah Menguntungkan Bisnis Kerupuk Udang, Renyah Menguntungkan Kerupuk merupakan salah satu makanan ringan yang banyak diburu para konsumen. Rasanya yang gurih dan teksturnya yang sangat renyah, menjadikan kerupuk sebagai

Lebih terperinci