Pendahuluan. Bab 1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pendahuluan. Bab 1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 Bab 1 Pendahuluan Latar Belakang Industri rokok di Indonesia semakin tertekan dengan banyaknya masalah yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi oleh industri rokok bersumber dari persaingan di antara pabrik rokok dalam industri; tekanan masyarakat anti rokok dan kebijakan industri hasil tembakau. Kultur dan struktur industri rokok di Indonesia berbeda dengan industri rokok di berbagai negara produsen rokok lainnya. Industri rokok di Indonesia tidak semua besar, tetapi yang terbanyak jumlahnya justru pabrik rokok mikro atau rumahan. Untuk kepentingan pengawasan sebagai barang kena cukai, pabrik dibagi menjadi tiga golongan yaitu golongan I (besar); golongan II (menengah/sedang) dan golongan III (kecil). Berdasarkan jumlah produksi maksimal yang diijinkan selama satu tahun, golongan I, minimal 2 milyar batang; golongan II, 500 juta batang sampai 2 milyar batang; golongan III, paling banyak jumlah produksi dalam satu tahun adalah 500 juta batang. Rokok mengacu pada pasar bebas. Persaingan terjadi di antara pabrik golongan I; pabrik golongan I dengan pabrik golongan II ; pabrik golongan I dengan pabrik golongan III; pabrik golongan II dengan golongan III; pabrik golongan III dengan pabrik golongan III; serta industri rokok nasional dengan industri rokok global. Masing-masing pabrik memiliki pangsa pasarnya sendiri, dan konsumen bebas melakukan pilihan berdasarkan kesukaan (aroma dan rasa), tanpa melihat golongan pabrik. Pabrik golongan I dan II pada 1

2 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya umumnya memproduksi rokok kretek dan rokok putih. Baik menggunakan tangan (sigaret kretek tangan) maupun menggunakan mesin (sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin). Sedangkan pabrik golongan III, memproduksi rokok kretek buatan tangan. Meski demikian pabrik dengan masing-masing golongan bersaing untuk mempertahankan pasar dan mencari pasar baru. Persaingan pasar bebas rokok tidak sepenuhnya bebas, karena ada tekanan masyarakat anti rokok terhadap keberadaan rokok karena rokok mengandung zat adiktif yang merugikan kesehatan. Penolakan masyarakat tersebut harus diperhatikan oleh industri dan pabrik karena menetapkan persyaratan persyaratan yang bertujuan untuk membatasi produksi, distribusi dan konsumsi rokok. Penolakan masyarakat anti rokok dengan alasan dampak asap rokok bagi kesehatan, telah diakomodasi pamerintah melalui berbagai kebijakan yang bertujuan membatasi produksi, peredaran dan konsumsi rokok dalam berbagai bentuk. Secara internasional WHO (2005) menerbitkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Tetapi telah diadopsi oleh pemerintah dalam berbagai peraturan, seperti lahirnya Undang-Undang No 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; kebijakan pembatasan iklan (UU Penyiaran); aturan tentang peringatan bahaya merokok; pembatasan kawasan merokok dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), fatwa haram terhadap rokok, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Bagi industri rokok, tuduhan tentang kandungan rokok (nikotin) sebagai zat adiktif dianggap sebagai tuduhan yang berlebihan dan dianggap tidak adil. Nikotin bukan hanya terdapat dalam tembakau tetapi juga pada sayuran dan buah yang satu famili dengan tanaman tembakau, seperti tomat, kentang, cabai, dan lain-lain. Dampak tuduhan terhadap zat adiktif pada tembakau tersebut mempengaruhi keberadaan rokok, dan pada akhirnya industri merespon dengan berbagai inovasi produk yang berorientasi membuat 2

3 Pendahuluan rokok sehat, dengan mengembangkan rokok putih rendah tar dan nikotin. Rokok kretek, awalnya berkembang karena manfaatnya menyembuhkan sakit asma Hj. Jamhari, penemunya. Selanjutnya Zahar dan Sutiman, mengembangkan teknologi nano dan menemukan divine kretek sebagai rokok sehat. Temuan ini melahirkan metode kesehatan berbasis rokok, yaitu metode balur tembakau sebagai media untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh (detoksifikasi) bukan hanya mengembalikan metabolisme tubuh tetapi sebagai pengobatan berbagai macam penyakit, seperti kanker, sakit yang disebabkan penyumbatan pada aliran darah seperti jantung, paru-paru, dan ginjal. Rokok, adalah salah satu barang kena cukai yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, yang diubah menjadi Undang-Undang No 39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Oleh karenanya rokok dikenakan cukai. Cukai merupakan pajak negara yang dibebankan kepada pemakai dan bersifat selektif serta pengenaannya berdasarkan sifat atau karakteristik obyek cukai. Pengenaan cukai juga mendasarkan pada prinsip keadilan dan keseimbangan, sebagai bagian dari insentif, pembatasan untuk perlindungan, netral sehingga tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian, kelayakan administrasi, serta kepentingan penerimaan negara. Pada saat yang bersamaan negara berkepentingan terhadap pendapatan cukai. Intervensi pemerintah ditujukan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui kebijakan kenaikan dan perubahan cukai. Kebijakan industri hasil tembakau (IHT) rokok, khususnya yang terkait dengan perubahan dan peningkatan tarif cukai, mendapat respon dari industri dan pabrik secara individu berbeda karena permasalahan dan kapasitasnya berbeda. Respon diberikan terhadap kebijakan sebagai bagian dari upaya untuk terus bertahan. Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai inovasi produk serta pasarnya karena pasar masih sangat potensial. Semakin banyak merek 3

4 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan persaingan semakin ketat. Pabrik rokok menghadapi permasalahan internal usaha karena kapasitas usahanya. Sekalipun dari sisi negara, industri rokok sebagai penghasil cukai dan oleh karenanya harus memenuhi persyaratan sebagai produsen barang kena cukai dan bersifat formal. Karena itu ditetapkan golongan pabrik dengan segala konsekuensinya tetapi faktanya industri rokok tidak semuanya bersifat formal. Rokok berkembang berbasis masyarakat, sehingga pelaku usahanya memiliki kultur yang embedded dengan kultur masyarakat. Rokok berkembang sebagai klaster alamiah, dan memiliki keterkaitan dengan industri lain. Terkait dengan banyak institusi sebagai pembina maupun pengawas, misalnya sebagai industri, berkaitan dengan Dinas Perindustrian; aspek ketenagakerjaannya dengan Dinas Tenaga Kerja, dan skala usaha produknya yang mikro/rumahan dan sedang terkait dengan Dinas UMKM. Sehingga klasifikasi pada industri rokok menggunakan ukuran yang berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan instansi yang terkait. Klasifikasi industri menurut Dinas Perindustrian sebagai institusi yang berwenang membina, mendasarkan diri pada UU Nomor 20 tahun 2008 Tentang UMKM berdasarkan aset yang dimiliki dan hasil penjualan. Berbeda dengan Dinas Tenaga Kerja yang mendasarkan pada penggunaan tenaga kerja. Sebagai barang kena cukai, Departemen Keuangan melalui kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai membagi industri rokok berdasarkan produksi maksimal yang diperbolehkan dalam waktu satu tahun. Bagi industri hal ini sangat membingungkan, apalagi bagi usaha skala kecil yang memiliki banyak keterbatasan, termasuk kapasitas sumber daya manusianya. Kebijakan pemerintah terhadap rokok tersebut dikenal dengan kebijakan industri hasil tembakau (IHT), khususnya rokok. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi jumlah pabrik rokok, khususnya pabrik rokok kecil/mikro /rumahan yang memproduksi 4

5 Pendahuluan rokok kretek. Pabrik akan menjadi industri besar. 1 Untuk mewujudkannya, ditetapkan kebijakan persyaratan lokasi usaha dengan minimal 200m², yang dimuat dalam Permenkeu Nomor 200/ PMK 0.4/ 2008 tentang Persyaratan Lokasi Pabrik. Aplikasi kebijakan tersebut menjadi akhir hidup industri rokok kecil, walaupun patuh membayar pajak, berkontribusi terhadap pendapatan negara, berjasa untuk mengurangi pengangguran di lingkungannya, tetapi telah dimatikan oleh pemerintah dengan cara tidak diberikan cukai karena tidak dapat memenuhi persyaratan lokasi pabrik yang diajukan pemerintah. Kepentingan negara sebagai sumber pendapatan di satu sisi, menjadi pertimbangan untuk membiarkan rokok tetap hidup walaupun tarif cukainya harus dinaikan. Negara menghadapi problem APBN jika industri rokok mengurangi setoran pajak (cukai), karena menurunnya jumlah perokok sebagai dampak isu bahaya merokok. Untuk menyelamatkan kondisi yang dilematis tersebut tanpa melanggar HAM dan hak kesehatan masyarakat yang harus dilindungi, maka ditetapkan berbagai kebijakan melalui berbagai institusi yang tidak secara tegas melarang produksi dan konsumsi rokok. Demi kepentingan pendapatan negara, pabrik rokok besar diposisikan sebagai teman oleh negara karena memberikan kontribusi setoran cukai secara signifikan. Pada saat yang sama demi kepentingan masyarakat anti rokok, rokok dalam posisi yang berhadapan dengan negara, industri rokok dianggap sebagai musuh. Industri rokok besar adakalanya berkolaborasi 2 menghadapi pabrik rokok kecil, karena dianggap tidak mempunyai peran yang sama, dan dianggap mengganggu keberadaan rokok besar dalam meraih konsumen sebanyak-banyaknya. Hal tersebut akan mempengaruhi pencapaian target cukai yang ditetapkan. Sekalipun ruang gerak rokok semakin dipersempit tetapi target penerimaan cukai selalu terlampaui. 1 Roadmap IHT, pada tahun 2020 industri rokok hanya akan menjadi 3-5 buah seperti di negara maju. 2 Kolaborasi dilakukan dengan berbagai cara, misalnya memberikan masukan untuk kebijakan IHT rokok. 5

6 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Untuk kepentingan pembinaan industri rokok secara nasional, disusun peta jalan (roadmap) oleh Direktorat Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian pada tahun Di dalam roadmap, pembinaan diarahkan untuk mencapai target berkembangnya industri rokok, dengan indikator nilai ekspor ditetapkan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Di dalam roadmap industri hasil tembakau (IHT) secara eksplisit tidak bertujuan membinasakan industri rokok, tetapi membina. Roadmap akan berakhir pada tahun 2020, dengan tiga tahapan kondisi yang akan dicapai. Pada tahun , berorientasi pada tenaga kerja. Tahun , pembinaan berorientasi pada kepentingan pendapatan dan kesehatan. Tahun , mendukung kebijakan Indonesia Sehat. Industri rokok dikondisikan dalam posisi yang tidak pasti dan abu-abu. Negara dan industri dihadapkan pada problematik perlindungan kesehatan masyarakat, pendapatan negara dan kepentingan industri memenangkan persaingan. Pemerintah berkepentingan terhadap pendapatan cukai yang masih potensial, didorong untuk naik dengan cara meningkatkan tarif cukai, tetapi di sisi lain industri terus ditekan agar berkurang jumlahnya dengan cara dimatikan dengan berbagai kebijakan. Industri rokok berkepentingan untuk bertahan hidup dari tekanan negara. Tekanan kebijakan mendorong munculnya berbagai upaya industri rokok untuk bertahan hidup, karena ketika industri rokok tunduk pada peraturan pemerintah berarti akan mati. Pabrik perlu menetapkan strategi untuk bertahan atau melawan kebijakan dan kondisi yang dianggap menekan dengan berbagai kreativitas untuk membuat rokok, tetapi oleh negara dianggap sebagai rokok illegal. Peraturan yang dibuat memposisikan negara lebih kepada kepentingannya sendiri, dan mengorbankan industri rokok, serta kepentingan nasional. Kebijakan yang terkait rokok tingkat daerah pada masa otonomi daerah, salah satunya adalah melakukan pembagian kewenangan, dan sharing pendapatan atau pembagian hasil dari sumber daya daerah kepada pemerintah pusat. Sharing pendapatan dalam bentuk alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau 6

7 Pendahuluan (DBHCHT). Selama ini daerah lebih banyak menanggung beban, dan tidak semua hasil dinikmati oleh daerah. DBHCHT diberikan kepada daerah secara proporsional sesuai perannya, apakah sebagai produsen, pendukung industri rokok, atau daerah distribusi, disertai ramburambu penggunaannya yang ditujukan untuk pembinaan langsung dan tidak langsung kepada industri dan lingkungannya, serta secara eksplisit digunakan untuk membiayai pemberantasan rokok illegal. Kebijakan pemberian dan alokasi DBHCHT rokok mengandung kontroversi bagi daerah. Daerah akan mendapatkan pengembalian DBHCHT rokok semakin besar apabila menyetorkan cukai semakin besar. Oleh karena itu daerah akan terus mendorong pengembangan industri rokok (produk, distribusi dan konsumsi) agar setoran semakin besar, dan pengembalian juga besar. Upaya secara tidak langsung untuk mengamankan penerimaan DBHCHT rokok tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi oleh berbagai lembaga dan masyarakat yang dapat mengakses dana tersebut. Tidak hanya oleh daerah produsen, karena daerah distribusi dan daerah penyangga industri semua mendapatkan bagian walaupun dengan proporsi yang berbeda. Sehingga sebetulnya semua daerah mendapatkan pengembalian DBHCHT rokok. Gerakan untuk mengamankan pengembalian DBHCHT rokok berbentuk perlawanan, penolakan atau pengabaian terhadap kebijakan pengendalian tembakau, dengan suatu kerja sama antara masyarakat, aparat dan pengusaha. Kerja sama aparat dan pengusaha banyak ditemukan di lapangan, salah satu bentuknya adalah implementasi kebijakan yang berbeda untuk pengusaha yang berbeda dan daerah yang berbeda. Di satu sisi kebijakan pengembalian DBHCHT rokok tersebut dapat membantu daerah untuk membangun. Secara regional memperluas lingkup dukungan terhadap industri hasil tembakau, misalnya pertanian tembakau, produsen rokok, dan daerah penyangga industri tembakau atau rokok lainnya. Tetapi di sisi lain merugikan pabrik rokok yang telah eksis karena menambah jumlah pabrik baru di daerah yang semula tidak memiliki pabrik, sehingga mendorong persaingan yang semakin ketat untuk memperebutkan pasar. 7

8 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Semakin banyak daerah yang menyetor cukai, semakin besar pengembalian DBHCHT rokok diberikan. Ada kontradiksi kebijakan pada tingkat daerah antara mengembangkan industri rokok untuk tujuan pengembalian DBHCHT rokok atau mendukung kebijakan yang mengendalikan produksi, mengurangi jumlah pabrik, dan tarif cukai dinaikan sedemikian rupa. Problematik pusat daerah, bukan hanya sharing pendapatan tetapi kepentingan untuk saling menguntungkan yang menyebabkan posisi pusat dan daerah berada pada area abu-abu. Kenaikan tarif cukai menyebabkan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE), dan sebaliknya kenaikan HJE menyebabkan perubahan (kenaikan) penetapan tarif pita cukai. Pabrik rokok kecil banyak yang mati atau bangkrut karena tidak mampu bertahan dengan HJE yang sama sehingga ditinggalkan konsumennya dan beralih pada rokok lain (buatan pabrik golongan III milik pabrik golongan I), akibat tidak mampu bersaing dengan rokok buatan pabrik pada golongan yang sama (III) yang mampu merekayasa bahan baku sehingga dapat menghemat biaya produksi (efisien). Realitasnya bahwa pengusaha dan rantainya harus terus hidup, sehingga terus memproduksi rokok dengan berbagai cara sekalipun tidak menggunakan pita cukai. Kepentingan yang berbeda antara industri, masyarakat, dan negara membawa konsekuensi yang dihadapi industri rokok, menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi (fisik pabrik, golongan). Dampak dari kebijakan atau intervensi negara, serta persaingan menyebabkan tekanan yang melumpuhkan usaha bahkan mematikan banyak pabrik rokok kecil (golongan III) dan pabrik yang memproduksi rokok kretek. Kematian kretek berarti matinya kebanggaan bangsa. Permasalahan dalam penelitian adalah terdapat rokok illegal yang semakin ditindak semakin marak. Maraknya rokok illegal didasarkan pada hasil penindakan oleh Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus yang semakin meningkat baik jumlah maupun modusnya. Dilihat dari modusnya rokok illegal sebagai rokok yang tidak berpita cukai, berpita cukai 8

9 Pendahuluan palsu, dan menggunakan pita cukai yang bukan peruntukannya. Lembaga usaha/ industri yang tidak berijin lengkap sebagai produsen barang kena cukai serta menggunakan alat yang tidak didaftarkan. Maraknya rokok illegal terjadi secara bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok, perubahan dan kenaikan tarif cukai, kontroversi rokok yang semakin berkembang dan meluas di kalangan masyarakat yang menolak keberadaan rokok maupun yang mendukungnya, serta semakin ketatnya persaingan rokok pada skala nasional maupun global. Pernyataan penelitian adalah: bahwa tekanan yang dihadapi industri rokok mendorong munculnya rokok illegal. Selanjutnya timbul pertanyaan : bagaimana persaingan industri rokok terjadi dan mendorong maraknya rokok illegal ; bagaimana kebijakan pemerintah terhadap rokok diimplementasikan dan mendorong maraknya rokok illegal, serta bagaimana penolakan masyarakat mendorong maraknya rokok illegal? Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap studi ekonomi kelembagaan baru pada industri rokok. Secara praktis hasil penelitian akan berkontribusi untuk memberikan masukan kepada para penentu kebijakan. Karena pada industri rokok merupakan industri yang kompleks, dan terdapat wilayah abu-abu yang menyebabkan adanya fenomena legal dan illegal baik dari sisi orang, lembaga, produk, kelembagaan, cukai, dan lain-lainnya yang tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi sosial, budaya, dan politik kelembagaan. Penerapan program yang terkait dengan pembinaan industri rokok secara luas kesejahteraan buruh, peningkatan kepatuhan pengusaha terhadap kewajiban cukai, dan program lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis industri. Memahami kondisi yang menekan industri rokok berarti harus memiliki perspektif dari sisi pelaku industri rokok. Berbagai publikasi dan kajian terhadap permasalahan yang dihadapi oleh industri rokok dari perspektif kepentingan masing-masing pihak yang melakukan. 9

10 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Memahami permasalahan dari perspektif industri memerlukan empati, karena selama ini industri tetap tegak berdiri berkat dukungan masyarakat. Sekalipun mengalami tekanan dan pasang surut, industri rokok merupakan industri nasional yang berbasis masyarakat sesungguhnya. Beberapa publikasi dan kajian dari perspektif industri antara lain: Salamuddin Daeng, et al. (2011), dalam bukunya yang berjudul Kriminalisasi Berujung Monopoli, membahas posisi dilematis industri rokok di Indonesia yang berdampak matinya produsen rokok. Kabupaten Kudus sebagai daerah produsen merupakan contoh di mana jumlah pabrik rokok menurun secara drastis akibat tekanan kebijakan. Selanjutnya Daeng (2013) menyatakan bahwa indikasi terjadinya dominasi asing pada industri rokok di Indonesia sudah semakin nyata ketika dilihat dari kecenderungan industri tembakau global dan pergerakan perusahaan rokok transnasional, serta lahirnya regulasi dalam PP Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif, Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan oleh Departemen Kesehatan. yang memuat persyaratan ketat bagi pertanian tembakau dan industri rokok nasional. Hal ini membawa konsekuensi terhadap keberadaan industri rokok di Indonesia, yang memiliki kultur dan struktur yang beragam. Sebagian telah menuju pada industri berskala global tetapi selebihnya masih berorientasi pada pasar domestik. Industri rokok di Indonesia berakar pada masyarakat dan masih menjadi tumpuan hidup masyarakat. Tata niaga rokok yang panjang, terintegrasi dari hulu sampai hilir dan problematiknya terhadap anggota, berada dalam mata rantai baik produk maupun bisnisnya (Wedhaswary, 2010). Petani tembakau menempati mata rantai paling ujung di posisi hulu, sebagai pihak yang tidak memiliki bargaining terhadap tembakau dan nasibnya sangat tergantung pada pabrik rokok yang berada pada posisi hilir. Pabrik rokok mendapatkan keuntungan paling besar dari rantai yang memberikan nilai tambah paling besar dibanding industri lainnya di Indonesia. Problematik petani tembakau dan asosiasinya menjadi pihak yang dikorbankan dalam persaingan industri, karena ketergantungannya pada pabrik rokok. 10

11 Pendahuluan Bagaimana peran pabrik rokok dan aksi petani merespon berbagai kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) khususnya rokok (Latif, 2010). Dilema dan Problematika Rokok di Indonesia Dari Sisi Hukum dan Ancamannya, menjadi rangkuman hasil diskusi di Universitas Muria Kudus, disunting oleh Zamhuri (2011), yang berisi tentang berbagai pandangan pro dan kontra keberadaan industri rokok di Indonesia dari perspektif pengusaha, petani, MUI, dan komponen masyarakat lainnya. Wibowo (2003), dalam Potret Industri Rokok di Indonesia, memberikan gambaran tentang kondisi dan keberadaannya hingga saat ini. Aditama (2011), membahas tentang jumlah kematian akibat rokok yang semakin meningkat, dan Indonesia termasuk negara peringkat tinggi sebagai produsen dan konsumen rokok. Ahira (2010), memaparkan dampak negatif rokok yang mengerikan. Zahar dan Sutiman (2011) menemukan divine kretek yang menggunakan teknologi nano untuk mengubah dampak zat yang terkandung dalam rokok kretek yang dituduh merugikan menjadi suatu manfaat bagi kesehatan. Penelitian yang saat ini diaplikasikan pada berbagai layanan kesehatan alternatif berupa balur tembakau berdiri di berbagai kota di Indonesia. Upaya ini dimaksudkan sebagai bentuk bukti argumen bahwa nikotin bukan zat yang merugikan kesehatan seperti yang dituduhkan selama ini terhadap dampak kesehatan akibat kepulan asap rokok. Wisnu Brata (2012), sebagai seorang petani menggambarkan bagaimana kesaksian, kegelisahan, dan harapan petani tembakau sehingga hanya memiliki pilihan tembakau atau mati yang menjadi judul tulisannya. Rokok dari sisi yang dianggap merugikan, antara lain : aspek ekonomi, kesehatan, dan bisnis global antara lain: Adioetomo (2001), yang menkaji perilaku merokok dan pola konsumsi masyarakat, di mana semakin miskin keluarga tersebut semakin besar alokasi belanjanya terhadap rokok. Ahsan dan Wiyono (2003), LDFEUI bekerjasama dengan SEACTA mengkaji tentang Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap perekonomian dan ketenagakerjaan di Indonesia. Pratiwi (2011), melakukan analisis struktur, kinerja dan perilaku industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991 dan 2008, menemukan bahwa struktur industri rokok 11

12 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya mengalami perubahan trend dari monopoli ketat kepada oligopoly sedang. Industri rokok putih memiliki kinerja yang lebih baik dibanding rokok kretek. Sebabnya adalah intervensi pemerintah dalam penentuan harga jual rokok melalui sistem penentuan tarif cukai. Hal ini mempengaruhi kinerja industri dalam mencapai dan mempertahankan rokok. Upaya yang dilakukan untuk memenangkan persaingan pasar oleh industri meningkatkan belanja iklan dan promosi. Strategi tersebut dipilih berdasarkan strategi bisnis setiap pabrik berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh pabrik secara spesifik, yang ditemukan oleh Noorida (2000) dalam perumusan strategi bisnis dengan pendekatan game theory. Saputra (2003) dalam analisis industri rokok kretek di Indonesia menemukan bahwa industri rokok (kretek) khususnya, mengalami banyak tantangan yang berdampak terhadap daya saing. Seperti krisis yang berkepenjangan, daya beli masyarakat yang menurun, tarif cukai yang terus meningkat, upah buruh dan biaya hidup masyarakat yang semakin naik. Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gajah Mada melakukan kajian yang berhasil mengestimasi potensi kerugian negara akibat beredarnya rokok illegal mencapai Rp. 200 miliar sampai Rp. 300 miliar rupiah per tahunnya, dalam sebuah kajian tentang Survey Rokok Illegal di Indonesia. Kajian tersebut menemukan potensi adanya rokok illegal yang bersumber dari adanya pengusaha yang tidak memiliki ijin usaha. Dalam kenyataannya pengusaha dan barang bukti tidak selalu dibuat oleh pabrik yang tidak berijin, tetapi juga pabrik yang berijin tetapi tidak memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Dalam kajian tersebut tidak membahas penyebab munculnya rokok illegal, sekalipun dapat mengidentifikasi rokok illegal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 yang diubah dengan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Mengkaji rokok illegal dan penyebabnya dari sisi persaingan, penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok serta kebijakan yang ditetapkan untuk rokok, belum pernah ditemukan. Rokok illegal disinggung dalam penelitian hanya sebagai dampak kebijakan. 12

13 Pendahuluan Dari berbagai kajian belum memperhatikan bagaimana menangkap penyebab munculnya rokok illegal dari pendekatan kelembangaan ekonomi baru, dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi industri rokok. Hasil penelitian ini merupakan akhir proses penyusunan disertasi. Sistematika penyajiannya disusun menjadi: Bab 1, merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang problematika yang dihadapi industri rokok yang berawal dari persaingan, tekanan masyarakat anti rokok dan kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok. Permasalahan penelitian; pertanyaan penelitian; sistematika penulisan hasil penelitian. Bab 2, berisi tinjauan pustaka. Pada bagian ini akan memaparkan teori yang dipinjam untuk memahami fenomena yang ditemukan di lapangan, teori New Institusional Economics (NIE) dalam kompleksitas industri. Kebijakan dan persaingan dalam industri rokok; Bab 3, menjelaskan pengalaman penelitian yang telah dilakukan. Bab 4, Konteks penelitian, industri rokok di Kabupaten Kudus. Bab 5, Persaingan industri rokok. Bab 6, Rokok dan tekanan masyarakat. Bab 7, Penerapan kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok. Bab 8, Sintesa, Kelembagaan industri rokok yang semakin fleksibel dan informal. Bab 9, Kesimpulan. 13

Sekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan

Sekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan Bab 9 Kesimpulan Di era ekonomi global persaingan industri semakin ketat. Peran teknologi informasi sangat besar yang menyebabkan cakupan wilayah produksi dan pemasaran barang dan jasa tidak dapat dibatasi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU Oleh: Surono Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstraksi: Kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2013 dilandasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, dalam. terhadap penerimaan negara. (Bapeda Bandung, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, dalam. terhadap penerimaan negara. (Bapeda Bandung, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri rokok di Indonesia merupakan salah satu industri hasil tembakau yang mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional, karena mempunyai dampak yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara

I. PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara mengkonsumsinya), karena produk ini memberikan kepuasan kepada konsumen melalui asap (hasil pembakaran

Lebih terperinci

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU Disampaikan Oleh: Djaka Kusmartata Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Jakarta,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu wujudkan masyarakat adil dan makmur kita perlu melaksanakan pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, dengan total produksi nasional rata-rata mencapai 220 milyar batang per tahun dan nilai penjualan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seperti kita ketahui bersama, Indonesia selain menyelenggarakan pemerintahan juga melaksanakan pembangunan.dan untuk menjalankan pembangunan suatu Negara membutuhkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL 1 KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI Disampaikan Dalam Acara Kongres II InaHEA: Pengendalian Rokok Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk

1. PENDAHULUAN. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk Tahun 2013 dengan besaran rata-rata sekitar 8,5 persen atau mulai Rp 5,00 sampai

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (Lembaran Negara Republik Indon

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (Lembaran Negara Republik Indon BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1261, 2015 KEMENPERIN. Tembakau. Produksi Industri. ROADMAP. Pencabutan PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63/M-IND/PER/8/2015 TENTANG PETA JALAN

Lebih terperinci

PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN Disampaikan dalam rangka menjadi pembicara pada Diskusi Panel kenaikan cukai dan harga rokok sebagai Instumen pengendalian tembakau

Lebih terperinci

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur bahwa iklan rokok hanya dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu yang ditetapkan.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur bahwa iklan rokok hanya dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu yang ditetapkan. PENJELASAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN UMUM Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN ( Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 81 Tahun 1999 tanggal 5 Oktober 1999 ) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan hak asasi manusia

Lebih terperinci

Kebijakan Kementerian Keuangan dalam Cukai dan Pajak Rokok

Kebijakan Kementerian Keuangan dalam Cukai dan Pajak Rokok Kebijakan Kementerian Keuangan dalam Cukai dan Pajak Rokok Disampaikan pada Indonesia Conference on Tobacco or Health Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan www.fiskal.depkeu.go.id

Lebih terperinci

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Bab 8 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Pengantar Persoalan penting yang dihadapi industri rokok dalam kajian ini adalah adanya tekanan yang mendorong munculnya stigma

Lebih terperinci

dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010).

dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi rokok merupakan salah satu epidemi terbesar dari berbagai masalah kesehatan masyarakat di dunia yang pernah dihadapi, membunuh sekitar 6 juta orang setiap tahunnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita temui di kehidupan sekitar kita. Merokok sudah menjadi salah satu budaya dan trend di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsumsi tembakau merupakan salah satu penyebab kerusakan kesehatan yang berkembang cukup pesat di dunia. Tingkat konsumsi Hasil Tembakau khususnya konsumsi

Lebih terperinci

ROKOK : KEMUBAZIRAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI KALANGAN SANTRI. Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

ROKOK : KEMUBAZIRAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI KALANGAN SANTRI. Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng ROKOK : KEMUBAZIRAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI KALANGAN SANTRI Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng Data global mencatat bahwa 6 juta orang meninggal dunia tiap tahun akibat penyakit terkait

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI PROVINSI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PAYUNG HUKUM PENGUSAHAAN TEMBAKAU DI INDONESIA Disampaikan Pada Musyawarah Nasional Asosiasi Tembakau di Indonesia Di Temanggung, 19 Desember 2009

PAYUNG HUKUM PENGUSAHAAN TEMBAKAU DI INDONESIA Disampaikan Pada Musyawarah Nasional Asosiasi Tembakau di Indonesia Di Temanggung, 19 Desember 2009 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PAYUNG HUKUM PENGUSAHAAN TEMBAKAU DI INDONESIA Disampaikan Pada Musyawarah Nasional Asosiasi Tembakau di Indonesia Di Temanggung, 19 Desember 2009 Assalamu

Lebih terperinci

KAJIAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) PADA SEKTOR KESEHATAN KHUSUSNYA PRODUKSI TEMBAKAU/ROKOK

KAJIAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) PADA SEKTOR KESEHATAN KHUSUSNYA PRODUKSI TEMBAKAU/ROKOK KAJIAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) PADA SEKTOR KESEHATAN KHUSUSNYA PRODUKSI TEMBAKAU/ROKOK Indonesian Conference on Tobacco or Health 2017 Balai Kartini, Jakarta 15-16

Lebih terperinci

KONSUMSI ROKOK RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA DAN PENYUSUNAN AGENDA KEBIJAKANNYA

KONSUMSI ROKOK RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA DAN PENYUSUNAN AGENDA KEBIJAKANNYA KONSUMSI ROKOK RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA DAN PENYUSUNAN AGENDA KEBIJAKANNYA Chriswardani S *, L. Ratna K* Ki Hariyadi ** *Fak. Kesehatan Masy UNDIP ** PMPK FK UGM LATAR BELAKANG Jumlah perokok di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, pemerintah memerlukan dana yang tidak sedikit, dimana dana

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, pemerintah memerlukan dana yang tidak sedikit, dimana dana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang sedang berkembang baik dari segi pendidikan, infrastruktur, perekonomian, dan sebagainya. Untuk dapat terus berkembang,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan jumlah perokok yang terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. WHO mencatat jumlah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang : a. bahwa Pajak Rokok merupakan sumber pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pungutan cukai merupakan salah satu komponen penerimaan negara yang memiliki ciri khusus dan berbeda dengan pungutan pajak lainnya. Ciri khusus yang dimaksud

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 82 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 82 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 82 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PELAKSANAAN PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia ini senantiasa tidak terlepas dari sumber penerimaan pajak yang dapat diandalkan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Kebutuhan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa agar pengelolaan dana bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi saat ini banyak masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah serta masyarakat umum. Salah satu masalah yang sangat umum sekarang adalah meningkatnya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyalahgunaan tembakau pada dasarnya merupakan penyebab kematian yang dapat dihindari. Namun, kecanduan dalam merokok masih belum bisa lepas dari masyarakat di dunia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebiasaan merokok telah lama dikenal oleh masyakarat Indonesia dan dunia dan jumlah perokok semakin terus bertambah dari waktu ke waktu. The Tobacco Atlas 2009 mencatat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang merupakan kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang merupakan kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan dengan upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan nasional merupakan usaha meningkatkan

Lebih terperinci

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA Penyunting Humphrey Wangke Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2011

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA KUNJUNGAN KERJA DI PT. GUDANG GARAM TBK Kediri, 27 Maret 2015

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA KUNJUNGAN KERJA DI PT. GUDANG GARAM TBK Kediri, 27 Maret 2015 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA KUNJUNGAN KERJA DI PT. GUDANG GARAM TBK Kediri, 27 Maret 2015 Assalamu alaikum Wr Wb. Yth. Direktur Utama PT. Gudang Garam Tbk dan Jajarannya Yth. Para hadirin sekalian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU Kesehatan No.23/1992). Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat konsumsi yang relatif tinggi di masyarakat. Masalah rokok juga masih menjadi masalah nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen. Perusahaan berusaha membuat suatu produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berskala menengah dan kecil (home industry) dan memproduksi rokok kretek.

BAB I PENDAHULUAN. berskala menengah dan kecil (home industry) dan memproduksi rokok kretek. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia terdapat lebih dari 100 produsen rokok, dimana kebanyakan berskala menengah dan kecil (home industry) dan memproduksi rokok kretek. Produsen rokok yang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN SUBSIDI KESEHATAN BAGI RUMAH TANGGA MISKIN, KONSUMSI ROKOK DAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2001 Dan 2004

KEBIJAKAN SUBSIDI KESEHATAN BAGI RUMAH TANGGA MISKIN, KONSUMSI ROKOK DAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2001 Dan 2004 KEBIJAKAN SUBSIDI KESEHATAN BAGI RUMAH TANGGA MISKIN, KONSUMSI ROKOK DAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2001 Dan 2004 Juanita, Laksono T, Ghufron A.M, Yayi S.P Disampaikan pada Forum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara. Kegiatan perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tembakau merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR /6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR /6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR /6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan

Lebih terperinci

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan perolehan devisa, baik dari sektor migas maupun dari sektor non migas. Namun dengan semakin menipisnya sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi pasar tradisional, supermarket, minimarket ataupun warung-warung yang ada di pinggir jalan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan rokok di Indonesia sampai saat ini masih menjadi masalah nasional yang perlu diupayakan penanggulangannya, karena menyangkut berbagai aspek permasalahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 81 TAHUN 1999 (81/1999) TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 81 TAHUN 1999 (81/1999) TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 81 TAHUN 1999 (81/1999) TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK.07/2008 TENTANG PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari setiap negara. Salah satu indikatornya adalah meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari setiap negara. Salah satu indikatornya adalah meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan yang layak dan kesejahteraan penduduk merupakan tujuan pembangunan dari setiap negara. Salah satu indikatornya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu,

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu, BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan bagi segenap bangsa Indonesia sesuai dengan

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan

INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan Tujuan Pembangunan Indonesia The 4th ICTOH Balai Kartini,

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN KOMPETISI PEMIKIRAN KRITIS MAHASISWA

LEMBAR PENGESAHAN KOMPETISI PEMIKIRAN KRITIS MAHASISWA LEMBAR PENGESAHAN KOMPETISI PEMIKIRAN KRITIS MAHASISWA 1. Judul Presentasi : RATIFIKASI FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL (FCTC) SEBAGAI LANGKAH TERBAIK DALAM MENGENDALIKAN TEMBAKAU DI INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan baru dan jenis atau

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan baru dan jenis atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan industri rokok di Indonesia cukup menggairahkan. Hal ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan baru dan jenis atau merek yang beredar di pasaran.

Lebih terperinci

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO.

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO. BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO. 109 TAHUN 2012 3.1 Kewenangan Pengawasan Terhadap Label Produk Rokok Kewenangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya kesehatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tembakau dengan budidayanya merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Jumlah perokok dari tahun ketahun mengalami peningkatan, baik laki-laki, perempuan. Usia perokok juga bervariasi dari yang dewasa sampai remaja bahkan anak dibawah umur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok merupakan sebuah fenomena biasa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Keyakinan akan mitos menyesatkan bagi masyarakat Indonesia, seperti merokok bisa memecahkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan silent disease yang menjadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan silent disease yang menjadi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan silent disease yang menjadi penyebab kematian terbanyak diseluruh dunia. Penyakit Tidak Menular (PTM) umumnya dikenal sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR : 32 TAHUN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR : 32 TAHUN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR : 32 TAHUN 2013. TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka optimalisasi pelaksanaan

Lebih terperinci

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN Pertimbangan disusunnya PP No.19 tahun 2003 : a. Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pada FISIP UPN Veteran Jawa Timur OLEH :

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pada FISIP UPN Veteran Jawa Timur OLEH : IMPLEMENTASI PERDA KOTA SURABAYA NO 5 TAHUN 2008 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DAN KAWASAN TERBATAS MEROKOK ( Studi tentang KawasanTanpa Rokok di Kampus UPN veteran Jawa Timur ) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menanggulangi terjadinya peredaran rokok ilegal dan pita cukai palsu.

BAB I PENDAHULUAN. menanggulangi terjadinya peredaran rokok ilegal dan pita cukai palsu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengendalian dan penegakan hukum yang tepat dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya peredaran rokok ilegal dan pita cukai palsu. Terjadinya peredaran rokok ilegal

Lebih terperinci

-1- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN

-1- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN -1- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.876, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pengawasan. Iklan. Kemasan. Produk Tembakau. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41

Lebih terperinci

MENELISIK POLITIK HUKUM RUU PERTEMBAKAUAN Oleh : Chairul Umam, S.H., M.H. *

MENELISIK POLITIK HUKUM RUU PERTEMBAKAUAN Oleh : Chairul Umam, S.H., M.H. * MENELISIK POLITIK HUKUM RUU PERTEMBAKAUAN Oleh : Chairul Umam, S.H., M.H. * Industri rokok di tanah air telah memainkan peranan dan dampak perekonomian yang tidak kecil di tengah masyarakat. Sejarah panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden diseases. Di satu sisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai dengan masih sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1 miliar yang terdiri dari 47% pria, 12% wanita dan 41% anak-anak (Wahyono, 2010). Pada tahun 2030, jumlah

Lebih terperinci

Anhari Achadi* ADMINISTRASI KEBIJAKAN KESEHATAN Regulasi Pengendalian Masalah Rokok di Indonesia

Anhari Achadi* ADMINISTRASI KEBIJAKAN KESEHATAN Regulasi Pengendalian Masalah Rokok di Indonesia ADMINISTRASI KEBIJAKAN KESEHATAN Regulasi Pengendalian Masalah Rokok di Indonesia Anhari Achadi* Abstrak Regulasi pengendalian masalah merokok di Indonesia ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadi dalam lingkungan kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Tobacco

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadi dalam lingkungan kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Tobacco BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku merokok merupakan salah satu masalah kesehatan kompleks yang terjadi dalam lingkungan kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Tobacco Control Support Center

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1121, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Cukai. Tembakau. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah,

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan umum pembangunan perkebunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan 2010 sd 2014, yaitu mensinergikan seluruh sumber

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN PRODUK TEMBAKAU YANG BEREDAR, PENCANTUMAN PERINGATAN KESEHATAN DALAM IKLAN DAN KEMASAN PRODUK TEMBAKAU, DAN PROMOSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti buku, block note, buku hard cover, writing letter pad, dan lainnya. Industri

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti buku, block note, buku hard cover, writing letter pad, dan lainnya. Industri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri produk kertas yang juga termasuk dalam industri stasioneri adalah salah satu industri manufaktur yang mengolah kertas menjadi barang dari kertas seperti buku,

Lebih terperinci

Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan pasal 26 sampai dengan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu membenfuk

Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan pasal 26 sampai dengan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu membenfuk PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK PROVINSI SUMATERA U?ARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN FASILITASI SERTIFIKASI PRODUK DAN PROSES PRODUKSI TA. 2016

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN FASILITASI SERTIFIKASI PRODUK DAN PROSES PRODUKSI TA. 2016 LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN FASILITASI SERTIFIKASI PRODUK DAN PROSES PRODUKSI TA. 2016 DINAS PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOPERASI DAN UMKM KOTA PEKALONGAN 2016 DAFTAR ISI Prakata Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif)

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif) tetapi juga pada orang yang tidak merokok yang berada di sekitar para perokok (perokok pasif).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bagian penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara, sehingga merupakan harapan bangsa dan memberikan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2008 DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. MESIN. Pelinting. Sigaret. Pengawasan. Penggunaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2008 DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. MESIN. Pelinting. Sigaret. Pengawasan. Penggunaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2008 DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. MESIN. Pelinting. Sigaret. Pengawasan. Penggunaan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 72/M-IND/PER/10/ TENTANG

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis dan Sintesis Dampak Positif dan Dampak Negatif Penerapan Ketentuan-Ketentuan Pokok FCTC bagi Pemerintah Indonesia

IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis dan Sintesis Dampak Positif dan Dampak Negatif Penerapan Ketentuan-Ketentuan Pokok FCTC bagi Pemerintah Indonesia IV PEMBAHASAN 4.1 Analisis dan Sintesis Dampak Positif dan Dampak Negatif Penerapan Ketentuan-Ketentuan Pokok FCTC bagi Pemerintah Indonesia Merujuk pada Bab Pendahuluan dapat diketahui bahwa Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tembakau dengan budidayanya merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kebiasan merokok adalah pemandangan yang tidak. asing lagi untuk kita lihat. Menurut laporan WHO (2002),

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kebiasan merokok adalah pemandangan yang tidak. asing lagi untuk kita lihat. Menurut laporan WHO (2002), BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebiasan merokok adalah pemandangan yang tidak asing lagi untuk kita lihat. Menurut laporan WHO (2002), negara-negara industri menganggap merokok adalah hal umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan himbauan-himbauan untuk menghentikan kebiasaan merokok dan

BAB I PENDAHULUAN. dan himbauan-himbauan untuk menghentikan kebiasaan merokok dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, kesadaran dunia mengenai dampak tembakau terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi semakin besar, terlihat dari semakin banyaknya gerakangerakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste),

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), produknya unik, konsumen loyal, bersifat konsumtif, segmen pasar usia produktif dan maskulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkompetisi menghasilkan, mengeluarkan sebanyak-banyaknya berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. berkompetisi menghasilkan, mengeluarkan sebanyak-banyaknya berbagai macam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi sekarang ini perkembangan perekonomian Indonesia mengalami peningkatan produktifitas yang tinggi di masyarakat untuk berkompetisi menghasilkan,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci