Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal"

Transkripsi

1 Bab 8 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Pengantar Persoalan penting yang dihadapi industri rokok dalam kajian ini adalah adanya tekanan yang mendorong munculnya stigma rokok illegal. Tekanan tersebut berasal dari persaingan, kebijakan dan masyarakat. Tekanan tersebut menyebabkan pergeseran kelembagaan. Kelembagaan industri yang formal, tersentral dan kaku menjadi kelembagaan informal, terdesentralisasi dan fleksibel. Persaingan, tekanan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam kepentingan yang berbeda, menyebabkan terjadinya konflik dan secara bersamaan terjadi kerja sama untuk mewujudkan kepentingan masing-masing. Namun konflik dan kerja sama ini terjadi dalam basis material rokok. Hasil kajian menemukan bahwa kompleksitas industri rokok, bukan hanya dipengaruhi oleh problematika nasional tetapi problematika global. Secara nasional, negara memiliki kepentingan terhadap pendapatan, secara bersamaan terkait dengan kepentingan kesehatan; hak anak dan perlindungan terhadap perempuan; identitas nasional, nilai-nilai lokal dan ekonomi kerakyatan sebagai aspekaspek yang secara bersamaan diperjuangkan. Dalam konteks global lebih terkait dengan pemenuhan standarisasi rokok sebagai bagian 193

2 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal dari bisnis global, dan kepentingan memproduksi substitusi rokok. industri farmasi yang Paparan di bawah ini selanjutnya menjelaskan kompleksitas tersebut dalam kelembagaan industri rokok. Kelembagaan Industri Rokok Informal, Fleksibel dan Stigma illegal Fakta yang ditemui dalalam penelitian ini, kelembagaan industri rokok bergeser menjadi semakin informal dan perubahan ini tidak diikuti dengan perubahan konsep yang digunakan oleh pemerintah dan lembaga lainnya yang terkait. Akibat dari perubahan ini maka kelembagaan industri rokok dianggap illegal. Rokok illegal menjadi masalah yang sangat birokratis dan administratif. Masalah illegal lebih berkaitan dengan pita cukai, dalam arti mematuhi kewajiban pajak yang ditentukan sebagai konsekuensi dari memproduksi barang kena cukai (BKC). Namun ketentuan ini tidak hanya terkait produk rokok yang dihasilkan tetapi juga lembaga yang memproduksi, proses, alat yang digunakan (mesin). Disisi lain pelaku usaha yang memiliki kapasitas beragam tidak semuanya dapat memahami mekanisme dan kemampuan adminsitratif procedural yang ditetapkan, misalnya pelaporan melalui sistem online, format administrasi, dan sistem pelaporan yang rutin dan terus menerus, serta akses pada birokrasi dan sumber informasi yang terkait. Ketentuan-ketentuan ini mempunyai dampak yang berbeda pada industri dan pabrik untuk berbagai golongan. Pada industri kecil (golongan III) yang faktanya merupakan bagian terbesar dari jumlah pabrik rokok secara keseluruhan, tidak selalu bisa memenuhi ketentuan tersebut karena kondisi yang terus berubah dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang relatif terbatas. Sebaliknya pada industri besar (golongan I dan II) memiliki kemampuan yang dimaksud. 194

3 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Dampak lainnya, mekanisme procedural ini diabaikan karena dianggap rumit dan menjadi kendala dalam berproduksi dan berbisnis rokok. Rokok illegal sebagai stigma yang diterima secara berbeda oleh pelaku usaha bahkan ada kecenderungan mengabaikannya dan lebih mengupayakan bagaimana produk rokok bisa terjual. Artinya, persoalan illegal sebenarnya bisa diantisipasi oleh negara. Pemerintah dapat mendorong kepatuhan pelaku usaha rokok dengan mengembangkan keberpihakan terhadap industri. Di samping itu affirmative action dapat dilakukan, sehingga pita cukai bukan menjadi kewajiban yang dipaksakan tetapi kewajiban yang disadari oleh pelaku usaha /industri rokok. Bab-bab empiris (bab 5, 6 dan 7) dalam kajian ini telah membahas bagaimana rokok illegal sebagai suatu stigma terjadi. Oleh karena itu, perubahan kelembagaan rokok yang semakin informal dan fleksibel merupakan bentuk upaya yang terus dilakukan tidak hanya menghadapi ketentuan di atas tetapi merupakan konsekuensi logis mencari cara-cara efisien menghadapi persaingan di pasar. Dalam kondisi kelembagaan rokok yang informal maka stigma illegal menjadi dipertanyakan, khususnya bagi pelaku usaha. Kompleksitas Relasi Industri Rokok yang Fleksibel dan Informal Industri Rokok melibatkan pabrik-pabrik dengan skala yang beragam, yaitu rokok golongan I, II dan III. Pabrik rokok dalam skala yang sama dan skala yang berbeda saling berinteraksi untuk mencapai tujuannya, menciptakan keuntungan dan keberlanjutan usaha. Kompleksitas relasi disebabkan karena masing-masing berdiri diatas kepentingan yang berbeda. Interaksi di dalamnya menjadi kompleks karena tidak menyangkut bagaimana menghasilkan rokok dengan segala konsekuensi aturannya dan stigma illegal, tetapi juga bagaimana bisa bertahan dan berkembang dalam kompleksitas tersebut. 195

4 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Dalam kompleksitas ini relasi timbal-balik inter dan antar aktor dalam industri didalamnya terjadi tidak hanya di antara pabrik yang memproduksi barang sejenis (rokok), juga terjadi dalam dan di antara industri pendukung rokok yaitu industri penyedia dan pemasok bahan baku dan pendukung rokok, seperti industri kertas, percetakan bungkus dan industri saos dan industri terkait. Industri terkait menjadi bagian dari rantai produksi dan pemasaran rokok, misalnya transportasi, lembaga keuangan (perbankan), perusahaan pita cukai dan lain-lain. Pelaku usaha ini melakukan serangkaian interaksi (jejaring) dalam kepentingan keberlanjutan usaha. Hal ini menyangkut tuntutan bagaimana terus memperkuat daya tawarnya terhadap pabrik secara individu, kelompok, antara kelompok yang terkait dan kelompok usaha yang mendukung sebagai satu sistem. Juga sekaligus di dalamnya mereka secara bersama menghadapi industri lainnya dalam rantai yang berbeda. Kompleksitas relasi disebabkan karena masing-masing berdiri di atas kepentingan yang berbeda tetapi sekaligus relatif sama yaitu bagaimana memperoleh keuntungan dan keberlangsungan usaha tetap terjaga. Persaingan antar pabrik pada skala yang sama atau berbeda; industri pendukung secara nasional dan global, industri sejenis secara nasional versus global; industri terkait secara nasional dan global. Persaingan yang terjadi berlangsung dalam sistem kelembagaan yang fleksibel dan informal. Dalam sistem seperti ini, stigma illegal terjadi sebagai suatu yang dibentuk. Dalam kondisi kelembagaan yang informal seperti itu sangat sulit untuk menerapkan aturan formal, karena semua nilai saling berinteraksi secara informal. Pada akhirnya peraturan terus berjalan dan stigma illegal akan terus ada bagi negara. Sebaliknya pelaku usaha tetap melakukan apa yang dianggap illegal, bagi pengusaha merupakan sesuatu yang normal karena tidak ada peraturan baku dan hanya menggunakan norma, misalnya penerapan ketentuan upah minimal regional (UMR), 196

5 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan lainnya terkait dengan peraturan ketenagakerjaan. Dampak Kompleksitas Kompleksitas permasalahan yang terjadi pada industri rokok menyebabkan kondisi relasi yang hirarchis dan eksploitatif. Hubungan yang berorientasi saling menghancurkan untuk mempertahankan keberadaannya baik dalam persaingan maupun kepentingan yang hanya dapat dicapai menggunakan bargaining position masing-masing. Interelasi yang merendahkan posisi dan keberadaan satu dengan yang lain, karena kompetensi dan kepentingan yang saling bertentangan atau berbenturan. Realitas ini mendukung pernyataan Williamson (1994), mengadaptasi dari Richgart Scott (2001), dan menyusun model yang merupakan skematis kelembagaan yang terdiri dari; lingkungan kelembagaan; pemerintah dan individu yang digambarkan secara hierarkis dan saling mempengaruhi. Dampak kompleksitas menyebabkan konflik berkepanjangan. Konnflik yang terjadi disebabkan adanya kontroversi karena perubahan kelembagaan pada industri rokok. Perubahan ini seharusnya diikuti oleh perubahan perspektif pihak-pihak yang berkepentingan. Tetapi karena perubahan tidak diikuti dengan penyesuaian target dan cara mencapainya maka akan terus terjadi konflik multi pihak sebagai dampak dari kompleksitas yang terjadi. Sinergi di Tengah Konflik Sinergi dan kerja sama dilakukan untuk mewujudkan tujuan saling menguntungkan di antara para pihak yang terlibat serta mencapai kepentingannya masing-masing. Sinergi dilakukan di antara industri dengan negara dan masyarakat, misalnya ditetapkannya golongan pabrik, tarif pita cukai, kawasan bebas rokok, 197

6 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal standar tar dan nikotin dalam rokok, peringatan bahaya merokok dalam bentuk gambar yang dipatuhi oleh industri rokok. Negara dan industri bekerjasama dalam kebijakan yang mendua hati. Di satu sisi mengendalikan produksi rokok dan jumlah pabrik, di sisi lain terus mengijinkan pabrik baru. Memberantas rokok illegal, tetapi tidak melakukan pencegahan agar tidak melanggar. Yang dilakukan pemerintah hanyalah kegiatan untuk sosialisasi cukai yang tidak difokuskan kepada upaya pencegahan dari sisi perilaku pelaku usaha. Munculnya opportunis, oknum aparat yang bekerjasama dengan pelaku usaha untuk mendapatkan fasilitasi cukai, pembiaran pelanggaran, kebijakan yang sama diimplementasikan dengan cara berbeda untuk daerah dan individu yang berbeda. Fasilitasi penggunaan cukai yang tidak sesuai aturan dengan imbalan natura maupun inatura, dan terbukti sebagai modus pelanggaran yang ditemukan di lapangan. Pada awalnya banyak usaha rokok yang dimiliki bersama oleh aparat, atau usaha aparat yang dioperasikan oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Granovetter (1985), bahwa variasi dari struktur dan sifat dari ikatan antarpersonal menjelaskan integrasi vertikal perusahaan-perusahaan. Perusahaan menghadapi tekanan integrasi vertikal dalam pasar, di mana perusahaan-perusahaan yang bertransasksi kekurangan jaminan sosial dalam hubungan personal, sehingga pada akhirnya menimbulkan dan berada dalam masalah, kekacauan opportunism, atau kejahatan jabatan. Jadi biaya sosial berkaitan dengan ikatan antarpersonal dalam upaya menjauhkan dan memecahkan konflik ataupun dalam mengakumulasi kewajiban-kewajiban berdasarkan perhitungan rasional ketika mereka memperhitungkan bentuk-bentuk alternatif organisasi ekonomi. Dalam konsep kelembagaan ekonomi baru, yang mempertimbangkan kekhususan aset, dan keberadaan opportunist yang terpenting adalah biaya transaksi, biaya negosiasi, jaminan, dan penyelesaian transaksi melalui ekonomi pasar dan semua itu merupakan pilihan rasional (Coase, 1984); (Simons, 1957). 198

7 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Kepentingan industri adalah keberlanjutan usahanya. Sedangkan kepentingan negara terhadap pendapatan dan pengendalian rokok. Kepentingan masyarakat adalah pengendalian dampak asap rokok yang merugikan kesehatan di satu sisi, tetapi di sisi lain sebagian besar terus mendukung karena manfaat yang diberikan rokok secara ekonomi, sosial dan budaya. Industri bekerjasama dengan masyarakat baik kelompok yang mendukung maupun menolak melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi, sosial, kemanusiaan, pendidikan, seni. Di satu sisi perusahaan melakukan fungsi dan tanggung jawab sosial untuk membantu masyarakat, sekaligus mengokohkan posisi pabrik dan industri di tengah masyarakat. Penggunaan aval/ jengkok dan tornette sebagai bahan tembakau setelan, merupakan bentuk sinergi antara pabrik besar (golongan I) dengan pabrik golongan II dan III, sekaligus bentuk persaingan yang menggambarkan pertentangan di antara pabrik dalam berbagai skala karena kepentingan pasar. Penyediaan jasa membuat saos bagi pabrik yang membutuhkan adalah aplikasi hak-hak property yang tidak sejalan dengan pendapat Cheung, (1970,1974) ; North dan Thomas, (1973); Alchian (1950) dan Demsetz, 1983; North, (1973). Kerja sama di antara para pabrik untuk mengembangkan varian rokok merupakan bentuk insentif dari kelembagaan baru yang informal dan fleksibel tetapi dapat melemahkan pembaharuan (inovasi) dan hubungan pribadi para enterpreuners. Tetapi dalam waktu yang bersamaan kondisi ini dapat menguatkan hubungan dalam rantai bahan baku, produksi dan pemasarannya. Modal Sosial Sebagai Dasar Sinergi Modal sosial terdiri dari bounding, bridging dan linking (Putnam, 1993; Fukuyama, 1999). Pada industri rokok, bounding 199

8 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal terjadi pada proses dan sistem pengadaan bahan baku, produksi dan pemasaran yang terintegrasi secara horizontal. Sedangkan rantai industri rokok dengan industri terkait, terintegrasi secara vertikal. Proses, sistem produksi dan pemasaran merupakan arena (field) (Boerdieu, 1982) bagi pelaku usaha/industri untuk bertarung dalam rangka memenangkan persaingan. Pada rokok, proses dan sistem mengikuti produksi dan pasar yang ditetapkan oleh pabrik atau industri. Semakin pasar dapat dibentuk semakin stabil, dan sebaliknya, jika pabrik dan industri tidak dapat menciptakan pasar maka permintaan menjadi sangat dinamis dengan ketidak pastian tinggi. Dalam kondisi yang demikian maka proses dan sistem menjadi sangat fleksibel. Rantai produksi dan pasar tidak hanya mempertimbangkan faktor ekonomi tetapi juga non ekonomi. Kebiasaan masyarakat untuk mengintegrasikan diri kepada rantai suatu pabrik tertentu akan lebih menjamin kepastian pendapatan, keuntungan atau keberlanjutan usaha. Tetapi pada saat yang lain, rantai yang tidak terintegrasi dengan kuat hanya kepada salah satu pabrik memungkinkan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Misalnya ketika tembakau yang dihasilkan cocok dengan rokok yang akan diproduksi pabrik lain, dan dengan demikian pemasok dapat memperoleh harga yang lebih baik. Tembakau merupakan komoditas yang bersifat fancy product, harga ditentukan kualitas sedangkan kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang dapat bersifat khusus terkait jenis rokok yang akan diproduksi. Jenis rokok tertentu menggunakan jenis tembakau tertentu dalam komposisi tertentu. Informasi tentang kualitas tembakau yang diperlukan harus dapat diakses oleh organisasi yang ada dalam rantai pengadaan bahan baku (pengepul) yang juga memiliki akses kepada penguasa gudang tembakau, dan sampai kepada petani sebagai pemilik tembakau. Informasi diakses oleh aktor yang memiliki ikatan untuk mencapai keuntungan yang sama. 200

9 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Produksi rokok dengan kelembagaan yang sangat informal dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Mobilitas bahan baku, tenaga kerja dan faktor produksi lain dalam kelembagaan yang informal hanya mengandalkan kepentingan yang sama yang dibangun dan terlembaga dalam bentuk trust, oleh pabrik dan para aktor di dalamnya. Demikian juga untuk pemasaran, sekalipun dalam skala kecil (golongan III), pabrik memiliki jaringan agen yang bertugas sebagai informan pasar sekaligus agen pemasaran. Pabrik besar (golongan I dan II) agen dapat berdiri sendiri sebagai perusahaan dalam rantai atau perusahaan yang memiliki spesialisasi sebagai pemasar. Nilai dan kepentingan yang sama berkembang dengan memanfaatkan interaksi sosial secara horizontal (bounding) maupun vertikal (linking). Sehingga sepanjang rantai produksi dan pasar diikat oleh suatu kepercayaan (trust) dan perasaan saling memahami kondisi yang ada, maka sangat jarang terjadi kemarahan karena kesepakatan yang saling diingkari atau kejadian one prestasi di antara aktor dalam rantai. Rantai pemasok bahan baku dan pengadaan produksi serta pemasaran bekerjasama dalam rangka menghasilkan rokok sebagai produk yang menguntungkan semua pihak, atau menanggung resiko karena perubahan permintaan pasar atau kondisi lain yang tidak dapat dikendalikan. Kerjasama didasari oleh sinergi karena mempertimbangkan, mengembangkan dan memanfaatkan modal sosial masyarakat sebagai pendukung industri rokok. Konflik dan Pihak yang Dikorbankan Konflik merupakan dampak kontroversi yang berkepanjangan. Kontroversi para pihak yang terlibat dalam persaingan, tekanan masyarakat yang menolak dan mendukung keberadaan industri rokok, serta kebijakan negara. Kebijakan negara terhadap industri rokok bertentangan satu dengan lainnya. Di satu sisi kepentingan 201

10 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal pengendalian rokok, dan di sisi lainnya adalah peningkatan pendapatan cukai. Terjadinya konflik di antara para stakeholder pada akhirnya mengorbankan pihak-pihak yang memiliki daya tawar paling lemah, dan pabrik yang tidak memiliki akses kepada penguasa (layer 2). Keberadaan industri di layer 2 (dua) bersifat informal, keberadaannya semata-mata karena bertahan hidup (survive); sejarah usaha keluarga yang telah berlangsung turun-memurun sehingga harus dipertahankan serta sebagai bagian dari budaya (barang image atau makna ). Berbagai hal tersebut di atas digerakan oleh suatu kekuatan kapitalis sebagai desainernya. Kekuatan kapitalis bekerjasama dengan negara untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan masing-masing. Kapitalis juga bermain dalam proses dan sistem yang terbangun sebagai rantai. Kapitalis dalam kelembagaan rokok yang informal dapat berbentuk motif yang mendasari sikap para aktor yang mencari menang sendiri, untuk kepentingan sendiri dengan mendistribusikan segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan dengan tidak adil, hirarchis dan eksploitatif. Konflik yang terjadi merupakan konsekuensi dari adanya kontroversi dan perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan dapat dicapai dengan bersinergi tetapi pada suatu saat sinergi tidak akan menguntungkan secara optimal bagi semua stake holder. Oleh karena itu agar keuntungan maksimal, harus ada yang dikorbankan yaitu mereka yang memiliki bargaining paling lemah dan tidak memiliki informasi yang lengkap serta tidak mendapatkan akses terhadap sumber daya yang dipertentangkan. Kondisi tersebut membuktikan adanya peran kapitalis yang bekerja dalam kelembagaan rokok yang fleksibel dan informal, karena berbasis jaringan. Tekanan yang dihadapi industri mendorong maraknya rokok illegal. Hal ini terjadi karena persaingan yang ketat, menyebabkan kelembagaan pada rokok harus berubah. Dari kelembagaan yang formal, tersentral dan kaku menjadi kelembagaan yang informal, 202

11 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya fleksibel yang memungkinkan pabrik dan industri bekerja secara efisien. Di sisi lain, kebijakan yang dibuat menggunakan paradigma lama, yaitu industri sebagai lembaga yang formal, kaku dan tersentral. Dalam aplikasinya konsep yang berbeda menyebabkan kebijakan tidak relevan dan saling berbenturan satu dengan lainnya. Konsep dan realitas tidak pernah bertemu. Segala sesuatu yang tidak sama dengan pemerintah (karena konsep yang digunakan tidak sama), menyebabkan munculnya stigma rokok illegal. Desentralisasi untuk Memenangkan Persaingan Industri rokok tumbuh sebagai klaster alamiah. Klaster bekerja sebagai rantai nilai (value chain) untuk mencapai nilai tambah (value added) (Porter, 2002). Lima aspek penting sebagai kekuatan kompetitif yang saling bersaing untuk memperebutkan pasar baru atau mempertahankan pasar yang telah dikuasai sebelumnya. Masing masing aspek memiliki daya tawar terhadap industri rokok. Pada saat yang sama pabrik dalam industri saling bersaing. Aspek-aspek sebagai kekuatan kompetitif dalam persaingan industri tersebut adalah para pemain baru (pabrik) yang terus muncul, konsumen, pemasok (supplier); produk pengganti (substitusi) rokok dan daya tawar pabrik yang menjadi bagian penting dalam persaingan dalam industri (Porter, 2002). Kelima aspek kekuatan kompetitif tersebut didalam industri rokok saling berinteraksi, bekerjasama dan terintegrasi secara vertikal atau horizontal dalam proses dan sistem produksi serta pemasaran. Secara bersamaan kekuatan kompetitif berinteraksi menentukan posisi persaingan pabrik. Kekuatan daya tawar kelima aspek ditentukan oleh biaya beralih dan atau hambatan masuk yang ditetapkan oleh pabrik di dalam industri. Lima kekuatan kompetitif (Porter, 2002) bekerja sebagai suatu sistem dalam rantai produksi dan pemasaran. Penyedia bahan baku rokok (tembakau dan cengkih)merupakan bagian rantai produksi yang penting bagi pabrik dalam industri. Daya tawar supplier lemah terhadap pabrik dalam industri. Pabrik besar merespon daya tawar 203

12 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal supplier bahan baku dengan suatu ikatan sebagai mitra dan menyebabkan supplier menjadi sangat tergantung. Pabrik memiliki hambatan terhadap pemasok, berupa kapasitas produksi yang disebabkan dinamika pasar. Pemasok bahan baku tidak hanya satu untuk satu pabrik tetapi lebih banyak pemasok untuk pabrik yang terbatas. Keterbatasan pabrik untuk menggunakan tembakau disebabkan oleh jenis tembakau tertentu digunakan untuk rokok tertentu, atau tidak semua tembakau cocok sebagai bahan semua rokok. Keterbatasan juga disebabkan karena tidak semua pabrik menggunakan tembakau dan cengkih asli. Kekuatan pemain baru dalam industri harus dapat mengatasi kekuatan pemain lama. Ketika pemain baru dapat membawa produk dengan image baru kemungkinan akan mendapatkan pasar, yang berasal dari konsumen yang beralih dari produk lama. Product image, merupakan salah satu respon terhadap entry barrier yang diciptakan oleh pabrik bagi para pemain baru. Daya tawar pemain baru lainnya adalah varian rasa dan harga. Bagi pasar yang terpengaruh issue kesehatan yang dikampanyekan oleh masyarakat anti rokok, maka rokok sehat adalah alasan untuk beralih. Tetapi bagi pasar yang tidak terpengaruh, apapun mereknya, asal memenuhi selera dan harganya murah akan mendapat respon positif dari pasar. Pabrik juga menghadapi produk pengganti, baik untuk jenis rokok putih maupun rokok kretek. Rokok putih dan rokok kretek khususnya akan menghadapi produk pengganti berupa rokok tingwe yang belakangan menjadi trend dikalangan orang muda, karena dalam proses nglinting dewe memiliki kepuasan tersendiri. Rokok tingwe menjadi suatu symbol budaya baru di kalangan orang muda, dari budaya orang tua yang telah berlangsung turun menurun. Produk pengganti dapat berupa pengganti rokok yang ditawarkan oleh pabrik yang tidak mendukung rokok. Permen dan obat untuk mengatasi kecanduan rokok yang diproduksi oleh pabrik global. 204

13 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Demikian pula rokok sehat yang memiliki standar tar dan nikotin tertentu sebagai rokok sehat. Industri rokok global dan perusahaan industri farmasi memanfaatkan situasi dan kondisi dilematis yang dihadapi oleh industri rokok nasional untuk memperjuangkan kepentingan mereka, dengan berlindung dibalik issue kesehatan. Pada saat memperjuangkan kepentingan kesehatan maka pabrik produk barang pengganti saling berhadapan dengan pabrik rokok. Konsep kesehatan dipahami dengan cara berbeda. Kesehatan yang menggunakan argument adiktif dalam arti luas dan adiktif dalam arti sempit. Rokok, merupakan produk sosial dan budaya yang bermanfaat bagi kesehatan, misalnya berbagai tradisi pengobatan yang dilakukan masyarakat secara turun menurun menggunakan bahan dasar rokok yaitu tembakau. Rokok kretek ditemukan dan berkembang sebagai obat bagi penemunya Haji Jamhari yang berasal dari Kudus. Perubahan kelembagaan disebabkan oleh perubahan di dalam daya tawar yang relatif terhadap peraturan. Perubahan-perubahan timbul karena mengutamakan perubahan perubahan yang terus menerus dari harga-harga relatif (North, 1984 : 260). Perubahan harga relatif digerakkan oleh perubahan demografis, perubahan informasi dan teknologi. Dinamika perubahan kelembagaan dalam teori North berakar dari interaksi yang berlangsung terus menerus antara lembaga-lembaga dan organisasi dalam konteks bersaing ketika sumber-sumber semakin langka. Pabrik yang berhasil membentuk product knowledge akan berhasil membuat image bagi konsumen dan menjadi hambatan konsumen untuk beralih. Kemampuan pabrik untuk mempertahankan konsumen dapat menyebabkan stabilitas permintaan. Sebaliknya, ketika pabrik tidak berhasil membentuk product knowledge maka permintaan pasar tidak dapat dikendalikan, dan bersifat sangat dinamis. Rokok, adalah produk simbolik, sehingga tidak hanya menjual selera dan rasa tetapi juga makna dan image kepada para penyukanya. Pengusaha pada berbagai skala pabrik bersaing sesuai 205

14 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal dengan kapasitas dan golongannya secara bebas, karena rokok mengacu pada pasar bebas. Perubahan permintaan pasar menyebabkan perubahan produksi. Perubahan produksi akan menentukan sistem dan organisasinya. Perubahan sistem dan organisasi mempengaruhi nilai yang disepakati oleh pelaku dalam rantai produksi dan pasarnya. Perubahan produksi karena persaingan yang dinamis harus disertai dengan strategi yang fleksibel. Misalnya kerja sama produksi dengan pabrik lain, melakukan spesialisasi hanya pada produksi saja dan menyerahkan proses distribusi pada perusahaan lain, atau melakukan sub-kontrak produksi dengan pabrik skala mikro/ kecil dan menengah. Sehingga kelembagaan pada industri rokok berubah dari pabrik konvensional menjadi pabrik yang modern, berbasis jaringan.terjadi sinergi pabrik secara horizontal maupun vertikal. Industri bekerja berbasis jaringan (network enterprise) (Castells, 2000). Perusahaan yang berbasis jaringan berdampak pada kelembagaan yang menjadi fleksibel. Perusahaan yang fleksibel sebagai bentuk yang tepat dalam merespon kondisi persaingan dalam industri rokok yang semakin ketat. Jaringan yang terbangun melibatkan pabrik sebagai rantai produksi dan pemasaran secara horizontal (bounding), maupun industri lain yang secara bersama terkait dengan industri rokok, misalnya pabrik kertas, pita cukai (bridging). Jaringan diantara para aktor dalam rantai diikat oleh trust, yang berkembang karena kepentingan yang sama (Fukuyama, 1999; Putnam, 1993). Penggunaan bahan baku rokok sampah, lebih pada bentuk persaingan yang terselubung karena pabrik pengguna tembakau dapat melakukan penggembosan terhadap pabrik yang memiliki rokok aslinya (yang menghasilkan limbah) karena rasanya sama, walaupun merek nya dibuat berbeda dan harganya lebih murah. Penggembosan, adalah bagian dari strategi persaingan yang dilakukan oleh pabrik 206

15 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya rokok kecil (golongan I dan II) terhadap pabrik golongan I dengan cara mendaur ulang limbah menjadi rokok baru. Rokok Industri Pendukung Industri yang Tidak Mendukung Gambar 32 Persaingan Industri Rokok Pada Layer 2, Kapitalistik Penggunaan tembakau setelan tidak menyebabkan adanya stigma rokok illegal, selama tetap menggunakan pita cukai sesuai peraturan. Penggunaan tembakau setelan adalah bentuk inovasi untuk menciptakan efisiensi dan memaksimalkan keuntungan. Tembakau setelan merupakan hasil pemikiran yang rasional-ekonomis untuk merespon persaingan dan menyesuaikan (coping) dengan kondisi yang terjadi. Rokok illegal bukan pada bahan baku tetapi pada motivasi dan praktek pemalsuan rokok, atau penggunaan pita cukai yang tidak sesuai peraturan. Perbedaan konsep terjadi dalam persaingan, kepentingan global berhadapan dengan kepentingan nasional; kepentingan pabrik berhadapan dengan kepentingan pabrik lainya dalam berbagai golongan. Persaingan semakin ketat ketika terjadi restrukturisasi kelembagaan ekonomi global. Dampak restrukturisasi terjadi sampai pada skala pabrik. Sejalan dengan Furubotn dan Richter (1993); Harris, et al (1995), restrukturisasi menyebabkan perubahan institusi dan kelembagaan. Pada industri rokok hal tersebut juga terjadi, ketika pada era global dan persaingan global terjadi restrukturisasi yang berdampak sampai kepada skala pabrik. Oleh karena itu pada skala pabrik dituntut untuk selalu melakukan adaptasi (coping) dengan 207

16 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal bekerja dalam kondisi efisien dan harga yang bersaing. Pada saat yang sama berkembang issue rokok yang merugikan kesehatan, dan harus diakomodasi. Sehingga cara produksi dan kelembagaan pada skala pabrik berubah. Pabrik harus menciptakan efisiensi untuk keberlanjutan dan di sisi lain menjaga tekanan masyarakat nasional dan global terkait issue kesehatan. Sinergi yang terjadi adalah bagaimana menciptakan kinerja yang efisien dan keuntungan yang maksimal, sharing keuntungan, keputusan produksi dan menjaga issue global tentang kesehatan terekspresikan dalam penetapan golongan pabrik dan semua konsekuensinya termasuk hak-hak yang ditetapkan. Sekalipun dalam implementasinya tidak adil antara golongan I,II dan III. Ada kekuatan (sistem) yang melembaga dan bergerak dalam area kelembagaan informal. Dalam hal ini New Institusional Economic (NIE) dimengerti bukan dalam suatu bentuknya yang formal tetapi dalam konteks informal lebih kuat. NIE, termasuk nilai-nilai yang berkembang, dianut dan disepakati serta terlekat (embedded) di dalam diri para aktor (Granovetter,1985) yang terekspresikan melalui interaksi para aktor di dalam field (Boerdieu, 1982), yaitu rantai produksi dan rantai pemasaran. Dampak persaingan yang ketat menyebabkan industri mengubah proses dan sistem yang terpusat, kaku dan formal menjadi berbagi peran (sharing), atau menyerahkan bagian pekerjaan/kegiatan kepada pihak lain. Desentralisasi, dalam bentuk sub-kontrak, spesialisasi, maklon menyerahkan produksi, pengadaan bahan baku, dan pemasaran. Desentralisasi dianggap paling tepat karena memungkinkan pabrik dan industri bekerja dengan efisien. Keuntungan yang diperoleh bukan hanya optimum tetapi maksimal sekalipun harus melakukan sharing profit dengan perusahaan lain. Keuntungan yang diperoleh semakin besar bukan hanya dapat menutupi biaya produksi yang dinamis, tetapi juga memungkinkan pabrik dan industri melakukan berbagai inovasi. Inovasi produk dilakukan untuk mendesain pasar. Pasar sangat dinamis karena sifat produk di satu sisi dan karakteristik konsumen di 208

17 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya sisi lain. Konsumen sangat mudah beralih karena rokok sebagai barang preferen. Tetapi konsumen dapat sangat loyal karena rokok adalah produk image. Ketika pabrik dan industri mampu menciptakan image bagi konsumennya maka pabrik dapat mengendalikan konsumen sedemikian rupa dan permintaan pasar terus dapat menjamin keberlanjutan pabrik. Demikian juga ketika pabrik dan industri mampu melakukan inovasi produk, menciptakan diversifikasi produk dan variannya sesuai selera dan tuntutan masyarakat, maka akan selalu tercipta pasar baru dan konsumen baru. Pabrik dengan industri pendukung bekerjasama untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya. Pada saat yang bersamaan pabrik dalam skala dan pabrik yang berbeda skala bersaing untuk memperebutkan konsumen. Dampak inovasi yang dilakukan dalam kerjasama pabrik dengan industri pendukung menghasilkan semakin banyak merek dan varian (rasa) rokok, sekaligus image yang tercipta semakin bervariasi mengikuti gaya hidup masyarakat. Persaingan di antara pabrik dalam industri semakin ketat. Dalam kondisi seperti ini pabrik yang memiliki kapasitas dan daya tawar paling lemah akan menjadi korban. Industri rokok bukan hanya industri yang tampak di permukaan, sebagai industri yang formal. Industri rokok sebagai jaringan yang terdiri dari layer-layer dimana terdapat layer yang tidak tampak di permukaan dan bersifat informal, tidak terintegrasi, fleksibel, yang melembaga sedemikian rupa karena diikat oleh trust. Munculnya trust karena nilai dan norma yang sama, disepakati untuk mencapai tujuan bersama. Pada saat yang sama saling bersaing untuk mancapai tujuan masing-masing. 209

18 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Industri Formal Bhn Baku I Industri II Informal Industri Yang tidak terlihat Pemasar Industri Produksi RT Cukai III Gambar 33 Industri Rokok, sebagai network enterprise Kapitalis global sebagai desainer, tidak selalu terkait sebagai pemilik usaha. Sebagai industri jaringan tidak ada lagi kepemilian pribadi terhadap suatu pabrik. Industri yang bekerja berbasis jaringan, terintegrasi kuat secara horizontal dan vertikal dengan industri sejenis maupun industri terkait (bersifat informal). Tujuan utamanya adalah mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu harus bekerja efisien. Agar dapat bekerja secara efisien, maka pabrik dan industri harus melakukan inovasi, baik produk maupun pasar. Sehingga kerja sama antara pabrik rokok dan industri pendukung untuk mencapai kepentingan masing-masing dapat tercapai. Kapitalis tidak identik dengan pemilik perusahaan. Burawoy (1979), mengintegrasikan pendapat konsep Marxis dalam industri. Dalam kelembagaan yang informal dan fleksibel, pemilik perusahaan (owner) jarang ditampilkan sebagai pemegang otoritas. Desentralisasi yang terjadi memungkinkan pabrik terpecah sebagai anak rantai yang terorganisir secara terpisah dan mandiri. Dalam kondisi seperti ini tidak efisien untuk melibatkan pemilik. Pemilik semakin kecil wilayah fisiknya, tetapi kekuatan kapitalis dapat menguasai dan memiliki otoritas untuk mengendalikan seluruh rantai. Kapitalisme dalam bentuk murni menghendaki adanya kebebasan individu yang mutlak dan tidak dibenarkan adanya 210

19 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya pengaturan ekonomi oleh pemerintah kecuali dalam hal-hal yang tidak diatur sendiri oleh individu (Ma arif, 2006: 100). Sehingga pemerintah dengan intervensinya tidak boleh mengganggu kemampuan dan hasil inovasi pabrik. Konsumen adalah bagian terpenting dari persaingan industri rokok. Konsumen tidak hanya tumbuh secara alami tetapi pabrik harus dapat menciptakan pasarnya. Sehingga konsumen adalah pasar yang didesain oleh pabrik agar memiliki loyalitas, tumbuh konsumen baru dan pada akhirnya secara berkelanjutan dapat menciptakan permintaan yang efektif terhadap produk rokok. Sebagai produk image, pabrik dan konsumen bekerjasama untuk mencapai kepentingan masing-masing. Konsumen dipuaskan karena image yang diciptakan bagi mereka, dan pabrik mendapatkan jaminan keberlanjutannya. Pada saat yang bersamaan, konsumen yang terpengaruh issue kesehatan hanya akan memilih rokok sehat. Sehingga terjadi konflik antara konsumen dan pabrik karena issue kesehatan dan rokok sehat. Tetapi pabrik akan terus menciptakan varians (rasa) rokok bagi penyukanya sebagai barang preferens. Pasar akan selalu dimanjakan dengan hasil inovasi yang melahirkan rokok baru dengan mengikuti karakteristik, budaya dan selera konsumennya. Bahkan konsumen dapat menjadi raw models yang diciptakan oleh pabrik untuk mencapai kepentingan konsumen yang mendukung rokok. Sejalan dengan pendapat (Simons, 1957) tentang pilihan rasional, bahwa perubahan kelembagaan melihat organisasi-organisasi sebagai pelaku rasional dalam mengejar keuntungan yang berasal dari perubahan harga relatif. Masyarakat dan Kontroversi Rokok Penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok karena dampak asapnya yang merugikan kesehatan, diaplikasikan pada peraturan tentang iklan, batasan tar dan nikotin, peringatan bahaya merokok pada bungkusnya, serta kawasan bebas rokok. Kondisi ini 211

20 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal berdampak secara langsung terhadap pabrik besar, tetapi tidak secara langsung dirasakan oleh pabrik kecil. Pabrik besar memproduksi rokok untuk masyarakat yang memiliki pendapatan menengah dan tinggi dengan pemahaman terhadap kampanye anti rokok lebih baik. Pabrik kecil, memproduksi rokok dengan konsumen yang lebih banyak di daerah pedesaan yang terpencil, kurang memahami dan merespon kampanye anti rokok, karena memiliki ikatan kuat terhadap rokok sebagai bagian dari kehidupan sosial dan budayanya. Masyarakat konsumen pada segmen tersebut kurang terpengaruh pada ada atau ketiadaan iklan, batasan tar dan nikotin, peringatan bahaya merokok serta peraturan tentang kawasan bebas merokok. Bagi mereka rokok semakin mantap, apabila kadar tar dan nikotinnya semakin tinggi. Hal ini bertentangan dengan peraturan pemerintah dengan standarisasi tar dan nikotin rendah. Perbedaan persepsi terhadap keberadaan rokok, yang merugikan kesehatan dengan manfaat ekonomi, sosial dan budaya yang dirasakan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat sebagai bagian dari rantai produksi dan bisnis rokok terus akan berlanjut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Newstorm dan Davis (1977), bahwa konflik yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan dan perbedaan persepsi akan mendorong munculnya kontroversi yang terus menerus. Faktanya, pertentangan yang terjadi dalam masyarakat tidak akan mencapai titik temu, selama masih ada masyarakat yang mendukung keberadaan rokok dengan berbagai alasannya sendiri yng berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang menolak keberadaan rokok. Masyarakat yang menolak dan mendukung rokok tidak dapat dipisahkan, karena mereka senantiasa berhubungan satu dengan lainnya sebagai sistem dalam komunitas masyarakat. Pada suatu saat mereka akan saling berhubungan dalam berkehidupan dan pada saat yang bersamaan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap rokok. Sehingga konflik tidak dapat dihindari. Hal ini sejalan dengan pendapat Gibson, et al (1997:437) dan Robbin (1996), bahwa adanya interelasi yang melibatkan kelompok masyarakat yang memiliki 212

21 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya tujuan atau kepentingan berbeda tidak dapat menghindari adanya konflik. Menurut pandangan konvensional, konflik harus dihindari karena merugikan masyarakat yang terlibat dalam konflik. Tetapi pandangan modern, konflik yang berkembang menjadi kontroversi dapat mendorong munculnya dampak baik terhadap industri, dan masyarakat karena dapat meningkatkan kinerja organisasi (Stoner dan Freeman,1989). Industri rokok akan semakin terdorong untuk melakukan berbagai inovasi produk dan pasar untuk menjawab keberatan yang menyebabkan adanya penolakan terhadap rokok. Kontroversi, mendorong adanya peluang berbagai kajian dan temuan yang mendukung pendapat dan pandangan masing-masing kelompok. Selama terjadi kontroversi terhadap rokok karena dampak buruknya bagi kesehatan, maka telah ditemukan metode balur tembakau untuk kesehatan menggunakan teknologi nano. Namun juga semakin banyak temuan untuk mendukung pendapat bahwa rokok merugikan, baik secara ekonomi, sosial, budaya. Temuan tersebut akan semakin memperkuat fakta, baik yang merugikan atau menguntungkan masyarakat. Di sisi lain konflik dan kontroversi terhadap keberadaan rokok tidak akan segera usai. Pengelolaan konflik oleh pemerintah dengan mengakomodasi keberatan melalui peraturan yang ada tidak akan mudah untuk menghasilkan kolaborasi. Karena masing-masing kelompok yang memiliki pandangan berbeda tidak dapat melakukan komunikasi dan negosiasi dengan baik. Jun Qura, (2007) dan Sobirin, (2010) mengusulkan pilihan-pilihan di antara pengabaian, mendorong kolaborasi diantara masyarakat yang berkonflik karena dampaknya lebih ringan dibanding jika tidak berhasil mengelola dengan baik akan terjadi konfrontasi dalam berbagai bentuk, mulai saling menyerang dengan opini masing-masing sampai kepada tindak kekerasan dan ancaman antara kelompok yang satu dengan lainnya. Realitas yang terjadi dalam masyarakat antara yang pro dan menolak rokok tidak benar-benar melakukan ancaman terhadap 213

22 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal industri rokok, tetapi secara individu yang anti rokok kepada individu lainnya yang pro rokok. Secara sistem, penolakan terhadap rokok tidak akan berhasil karena industri mendapat dukungan dari kelompok masyarakat pro rokok. Sebagai dampak adanya konfrontasi, pada akhirnya pemerintah akan melakukan ancaman, antara lain dengan memberikan stigma terhadap rokok yang melanggar peraturan sebagai rokok illegal. Fatwa haram terhadap rokok, tidak efektif dipatuhi oleh masyarakat karena masyarakat memiliki keyakinan yang berbeda dengan dasar yang digunakan untuk mengharamkan rokok. Pada akhirnya fatwa haram diabaikan oleh kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berbeda. Rokok tidak haram tetapi makruh. Pembatasan rokok melalui kawasan bebas rokok hanya efektif dalam interaksi masyarakat secara individu, karena peraturan daerah yang telah dibuat di berbagai daerah tidak disertai sanksi bagi para pelanggarnya. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok bukan semata-mata didorong kepentingan masyarakat tetapi oleh kepentingan lain yang memanfaatkan kesempatan pada situasi konflik tersebut. Kepentingan lain tersebut adalah industri tembakau global yang berkepentingan memasarkan produk rokok putih yang diklaim sebagai rokok yang lebih sehat dibanding rokok kretek. Sehingga tekanan masyarakat memberi peluang persaingan antara industri rokok nasional dan industri rokok global untuk kepentingan masing masing. Argumentasi masyarakat yang menolak keberadaan rokok, karena rokok bukan hanya merugikan para perokok aktif tetapi juga para perokok pasif. Para perokok adalah orang sakit yang perlu diobati atau diberikan produk lain yang dapat menghilangkan kecanduan mereka terhadap rokok. Sehingga industri farmasi global yang memproduksi pengganti rokok dan obat kecanduan rokok berkepentingan terhadap konsumen rokok di Indonesia yang sangat 214

23 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya besar jumlahnya dan masih potensial dengan memanfaatkan peluang yang muncul akibat konflik yang terjadi. Nilai-nilai global digunakan untuk semakin menekan industri tembakau yang hanya mengijinkan rokok tidak beraroma, yaitu rokok putih. Nilai tersebut bertentangan dengan budaya lokal masyarakat Indonesia sejak turun temurun memanfaatkan tembakau dan produknya sebagai obat. Dalam perkembangannya nilai-nilai lokal tidak hanya berkembang pada bagaimana rokok yang mengandung cengkih bermanfaat untuk obat sakit ashma, tetapi dengan teknologi nano paparan asap rokok yang menjadi issue kesehatan menjadi obat yang berguna untuk pemuliaan sel dalam tubuh manusia. Nilai lokal berhadapan dengan nilai global. Argumentasi yang digunakan oleh masyarakat yang menolak keberadaan rokok adalah zat adiktif yang ada dalam tembakau-rokok dan merugikan kesehatan. Issue kesehatan yang bersumber dari zat adiktif, yang ada pada tembakau dan produk-produknya. Padahal nikotin yang dianggap sebagai zat adiktif bukan hanya berasal dari tembakau saja. Sehingga menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua, masyarakat yang menolak dan masyarakat yang mendukung rokok. Terhadap industri rokok, tekanan masyarakat yang menolak dan mendukung dapat saling bekerjasama dan sekaligus terjadi konflik karena kepentingan masing-masing. Masyarakat yang mendukung bukan hanya berkepentingan terhadap rokok dari sisi ekonomi, sosial dan budaya tetapi merespon issue kesehatan dari perspektif yang berbeda. Bukan hanya kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan sosial dan budaya bahkan aspek spiritual masyarakat dalam arti luas. Kepentingan masyarakat yang menolak adalah bahwa udara harus bersih dan bebas dari asap rokok, oleh karenanya rokok perlu dibatasi dengan berbagai peraturan yang menyangkut kesehatan, distribusinya melalui pembatasan iklan dan peringatan bahaya merokok, kawasan (daerah) bebas rokok, serta pembatasan tar dan nikotin. Industri merespon semua peraturan yang ditetapkan sebagai wujud kerjasama, dengan terus memproduksi rokok yang dianggap sehat agar pabrik terus dapat beroperasi. Pada saat yang bersamaan 215

24 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal masing-masing saling berkonflik, karena issue kesehatan yang diperjuangkan menimbulkan dilema dan masing-masing melakukan upaya pembuktian atas argumentasi yang diajukan. Kematian bukan hanya karena rokok, agar bisa merokok dengan nikmat orang harus sehat. Kalau tidak sehat rokok akan terasa pahit ketika diisap. Rokok seperti halnya obat, jika dikonsumsi tidak dalam takaran yang pas akan menjadi racun dalam tubuh, tetapi ketika dikonsumsi dalam takaran yang pas akan menyembuhkan. Penolakan masyarakat terhadap rokok menjadi suatu gerakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non Government Organization (NGO) pada tingkat nasional maupun global. Penolakan menimbulkan konflik dengan gerakan yang sama tetapi mendukung keberadaan rokok. Fatwa haram terhadap rokok oleh Majelis Ulama Indonesia; Bloomberg Initiative yang mendukung kampanye anti tembakau-rokok; berhadapan dengan Masyarakat Bangga Produksi Indonesia (MBPI); Komunitas Balur Tembakau dll. Pada saat yang sama, masing-masing bekerjasama dan menyepakati bahwa yang haram terhadap rokok adalah anak-anak dan perempuan hamil. Nilai nilai lokal yang terkait dengan rokok terus dikembangkan untuk merespon nilai nilai global yang digunakan untuk menekan industri rokok. Pada tataran praktis, selalu ada kontroversi karena perbedaan konsep seperti yang dikemukakan oleh Newstorm dan Davis (1977). Gibson, et al (1997:437), tentang tuduhan adiktif secara sempit dengan segala konsekuensinya dan pemahaman adiktif secara luas. Kontroversi ini akan terus terjadi karena kedua kelompok terus saling berinterelasi dalam kehidupan (Robbin, 1996). 216

25 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Negara dan Industri, Kompleksitas Kepentingan Jutting (2003), menjelaskan bagaimana pemerintah sebagai representasi negara berkepentingan dalam pembangunan dengan mengembangkan kelembagaan yang ada untuk tujuan pembangunan secara komprehensif. Kepentingan negara untuk membatasi rokok, karena rokok merupakan barang kena cukai. Kebijakan terkait cukai digunakan untuk membatasi produk, distribusi dan konsumsi rokok. Untuk memudahkan pengawasan maka negara bernegosiasi dengan industri, dan membagi pabrik dalam industri dalam golongan yang berdasarkan pada produksi maksimal yang diijinkan. Sekalipun dalam aplikasinya tidak adil, karena untuk golongan I, II dan III berbeda. Kebijakan adalah perwujudan apa yang akan dan tidak dilakukan oleh pemerintah (Dye,2002). Pemerintah berkepentingan terhadap rokok karena rokok merupakan barang kena cukai (BKC). Oleh karenanya pemerintah melakukan intervensi melalui kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan produk, peredaran dan konsumsinya. Kenaikan dan perubahan tarif cukai berhasil mengurangi jumlah pabrik, khususnya yang tidak mampu bersaing karena beban pita cukai yang semakin berat. Pabrik yang bangkrut kebanyakan berskala kecil (golongan III). Tetapi berkurangnya pabrik tidak secara signifikan mengurangi jumlah produksi, distribusi dan konsumsi rokok. Pengusaha pabrik yang bangkrut sulit untuk beralih usaha. Kepentingan pabrik untuk kembali beroperasi karena tuntutan hidup; bahwa rokok merupakan satu-satunya keahlian yang dimiliki; pabrik menanggung banyak orang yang terlibat dalam rantai produksi, dan bisnisnya. Masing-masing dengan tanggungannya, yang terus berusaha bertahan hidup dan rentan terhadap kondisi kemiskinan. Fleksibilitas sebagai usaha mikro / rumahan memungkinkan mereka beroperasi lagi walaupun tidak dalam legalitas sebagai pabrik rokok sesuai peraturan. Aplikasi kebijakan saling berbenturan, membingungkan pelaku usaha/industri rokok yang seringkali justru diabaikan oleh pelaku usaha/industri. Disisi lain, pengabaian terhadap berbagai peraturan mendorong munculnya stigma rokok illegal. 217

26 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Pada saat yang bersamaan pabrik baru terus tumbuh, bukan hanya pabrik golongan III, tetapi juga pabrik golongan I yang membeli pabrik golongan II dan III; serta pabrik golongan I dan II yang melakukan ekspansi dengan mengembangkan pabrik atau mendirikan pabrik baru. Investasi rokok asing di Indonesia dapat dilihat dari beroperasinya pabrik rokok asing, maupun alih kepemilikan industri rokok nasional oleh industri global. Kepentingan negara untuk membatasi rokok karena sebagai barang kena cukai dalam aplikasinya bertentangan dengan kepentingan pemerintah terhadap rokok sebagai sumber pendapatan, berupa pajak (cukai). Kebijakan kenaikan cukai ditujukan untuk mencapai target pendapatan yang ditetapkan. Target penerimaan cukai ditetapkan semakin meningkat dari waktu ke waktu dan selalu dapat terlampaui. Fungsi cukai sebagai pajak rokok bertentangan dengan maksud untuk membatasi dan mengendalikan rokok. Kebijakan publik berkaitan tentang bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) yang dilakukan pemerintah (Heidenheimer et al, 1990:3, dalam Parson, 2006). Hal tersebut didukung oleh Dye (2002:1), yang menitik beratkan kebijakan publik pada apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut. Pembatasan yang semakin ketat dalam realitasnya justru mendorong tumbuhnya pabrik rokok dalam jumlah dan skalanya. Munculnya pabrik baru, alih kepemilikan dari pabrik yang hampir mati oleh pabrik rokok, ekspansi, bertambahnya investasi asing dan operasi pabrik asing di Indonesia. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan perlindungan kesehatan masyarakat sebagai akibat dari paparan asap rokok, dan zat adiktif yang ada di dalamnya. Oleh karena itu pabrik rokok harus dikurangi menjadi hanya 3-5 pabrik saja, produknya dibatasi hanya 260 milyar batang pada tahun Target ini ditetapkan untuk mendukung kebijakan Indonesia sehat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah membiarkan rokok untuk terus hidup karena kepentingannya terkait issue kemiskinan dan pengangguran. 218

27 Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Tetapi kebijakan ditetapkan untuk menjadikan industri rokok di Indonesia berskala besar semua dengan mematikan industri rokok kecil dengan kebijakan persyaratan lokasi pabrik, minimal 200 m². Dalam kondisi pabrik golongan tiga banyak yang mati, produksi rokok telah mencapai lebih dari 240 milyar batang pada tahun Sifat kebijakan yang ambigu mengakibatkan kebijakan yang sering berubah, diskriminatif, tumpang tindih, membingungkan pengusaha. Kemungkinan respon pelaku usaha yang salah dapat terjadi mengingat pengusaha rokok memiliki kapasitas dan kepentingan yang beragam. Kepentingan pemerintah terhadap pengendalian rokok dan pendapatan mendorong implementasi kebijakan yang saling berbenturan. Kondisi tersebut menyebabkan pengusaha memberikan respon yang salah, tidak merespon atau mengabaikan ketentuan karena pengusaha juga memiliki kepentingan sendiri yang bertentangan dengan pemerintah. Pada akhirnya apa yang dilakukan pengusaha untuk mencapai tujuan dan kepentingannya bertentangan (tidak sejalan) dengan apa yang ditetapkan pemerintah, karena pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda. Hal ini bertentangan dengan pendapat Dewey (1927, dalam Parson, 2006:5-10), bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang menekankan pada publik dan problem-problemnya. Issue kesehatan yang dikembangkan secara global menekan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah merespon dengan kebijakan yang ditujukan semakin membatasi industri rokok. Standarisasi produk yang ditetapkan oleh global diadopsi untuk menetapkan standarisasi rokok nasional. Kepentingan nasional dikorbankan untuk kepentingan global. Terjadi konflik antara industri rokok dan pemerintah. Puncaknya adalah lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan. yang memuat peraturan tentang persyaratan iklan yang menggunakan media baliho dalam posisi melintang, peringatan bahaya merokok dengan gambar, standarisasi rasa dan aroma, termasuk tidak diperbolehkan menggunakan cengkih, standar tembakau sebagai bahan baku industri 219

Sekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan

Sekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan Bab 9 Kesimpulan Di era ekonomi global persaingan industri semakin ketat. Peran teknologi informasi sangat besar yang menyebabkan cakupan wilayah produksi dan pemasaran barang dan jasa tidak dapat dibatasi

Lebih terperinci

Pendahuluan. Bab 1. Latar Belakang

Pendahuluan. Bab 1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan Latar Belakang Industri rokok di Indonesia semakin tertekan dengan banyaknya masalah yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi oleh industri rokok bersumber dari persaingan di antara

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU Oleh: Surono Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstraksi: Kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2013 dilandasi

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan baru dan jenis atau

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan baru dan jenis atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan industri rokok di Indonesia cukup menggairahkan. Hal ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan baru dan jenis atau merek yang beredar di pasaran.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh 180 BAB V PENUTUP Penelitian Pertarungan Tanda dalam Desain Kemasan Usaha Kecil dan Menengah ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Praktik dan Modal Usaha Kecil Menengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, dengan total produksi nasional rata-rata mencapai 220 milyar batang per tahun dan nilai penjualan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk selalu dapat bersaing dalam hal peningkatan mutu produk barang dan

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk selalu dapat bersaing dalam hal peningkatan mutu produk barang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang semakin mengglobal membawa dampak pada dunia usaha. Adanya perkembangan dan kemajuan teknologi, dunia usaha dituntut

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka Industri merupakan salah satu indikator kemajuan suatu negara. Semakin besar kontribusi industri pada pendapatan nasional semakin maju negara tersebut. Saat ini dunia berada dalam

Lebih terperinci

PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN Disampaikan dalam rangka menjadi pembicara pada Diskusi Panel kenaikan cukai dan harga rokok sebagai Instumen pengendalian tembakau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan sejarah diketahui bahwa masyarakat Indonesia sudah menegenal ekonomi yang disebut pasar. Pasar merupakan kegiatan jual-beli itu, biasanya (1) berlokasi yang mudah didatangi

Lebih terperinci

TUGAS LAPORAN. Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur. PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

TUGAS LAPORAN. Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur. PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah TUGAS LAPORAN Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Proses Bisnis (APB) Disusun Oleh : Nama : Andrian Ramadhan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi pasar tradisional, supermarket, minimarket ataupun warung-warung yang ada di pinggir jalan,

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

ANDRI HELMI M, SE., MM MANAJEMEN OPERASI INTERNASIONAL

ANDRI HELMI M, SE., MM MANAJEMEN OPERASI INTERNASIONAL ANDRI HELMI M, SE., MM MANAJEMEN OPERASI INTERNASIONAL 1 STRATEGI OPERASI DALAM LINGKUNGAN GLOBAL Manajemen Operasional di lingkungan global dan pencapaian keunggulan kompetitif melalui operasional 2 APA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. relevan dalam konteks ekonomi saat ini (Garzella & Fiorentino, 2014). Mardikanto (2014:83)

BAB I PENDAHULUAN. relevan dalam konteks ekonomi saat ini (Garzella & Fiorentino, 2014). Mardikanto (2014:83) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelestarian lingkungan dan tanggung jawab sosial perusahaan menjadi isu yang semakin relevan dalam konteks ekonomi saat ini (Garzella & Fiorentino, 2014). Mardikanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste),

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), produknya unik, konsumen loyal, bersifat konsumtif, segmen pasar usia produktif dan maskulin,

Lebih terperinci

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaruan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di dunia

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan hak asasi manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara

I. PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara mengkonsumsinya), karena produk ini memberikan kepuasan kepada konsumen melalui asap (hasil pembakaran

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tembakau merupakan tanaman dilematis bagi Indonesia yang melahirkan dua sisi yang saling bertentangan. Pada satu sisi tembakau dianggap sebagai komoditas yang harus dibatasi

Lebih terperinci

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Ringkasan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan, dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan

Lebih terperinci

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Penerapan otonomi daerah sejatinya diliputi semangat untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada Proses peralihan kepemilikan lahan kosong terjadi sejak akhir 2004 dan selesai pada tahun 2005, dan sejak

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN ( Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 81 Tahun 1999 tanggal 5 Oktober 1999 ) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5360 KESEJAHTERAAN. Pangan. Ketahanan. Ketersediaan. Keamanan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan memiliki kewajiban sosial atas apa yang terjadi di sekitar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan memiliki kewajiban sosial atas apa yang terjadi di sekitar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Perusahaan memiliki kewajiban sosial atas apa yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat. Selain menggunakan dana dari pemegang saham, perusahaan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN I. UMUM Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan

Lebih terperinci

Studi kasus untuk merancang intervensi tingkat perusahaan untuk mempromosikan produktivitas dan kondisi kerja di UKM SCORE

Studi kasus untuk merancang intervensi tingkat perusahaan untuk mempromosikan produktivitas dan kondisi kerja di UKM SCORE Studi kasus untuk merancang intervensi tingkat perusahaan untuk mempromosikan produktivitas dan kondisi kerja di UKM SCORE 1. Persoalan apa yang akan diselesaikan? Pertumbuhan produktivitas di negara-negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebiasaan merokok telah lama dikenal oleh masyakarat Indonesia dan dunia dan jumlah perokok semakin terus bertambah dari waktu ke waktu. The Tobacco Atlas 2009 mencatat,

Lebih terperinci

Bab 5 Persaingan Industri Rokok

Bab 5 Persaingan Industri Rokok Bab 5 Persaingan Industri Rokok Rokok sebagai barang kena cukai, pabriknya dibedakan menjadi golongan I, II, dan III. Kriteria golongan pabrik berdasarkan produksi maksimal yang boleh dilakukan dalam satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah dengan mengurangi pengkonsumsian zat-zat yang bersifat toxic seperti

I. PENDAHULUAN. adalah dengan mengurangi pengkonsumsian zat-zat yang bersifat toxic seperti I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, tren gaya hidup sehat semakin mendapat perhatian dari masyarakat. Biaya pengobatan yang semakin tinggi mendorong masyarakat untuk lebih menghargai kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang sangat pesat secara tidak langsung telah merubah pola hidup dan pola pikir

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang sangat pesat secara tidak langsung telah merubah pola hidup dan pola pikir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini persaingan dalam dunia usaha semakin ketat terlebih dengan semakin meningkatnya kebutuhan dan keinginan konsumen. Perkembangan zaman yang sangat

Lebih terperinci

Pembahasan Materi #5

Pembahasan Materi #5 1 EMA402 Manajemen Rantai Pasokan Pembahasan 2 Latar Belakang Kunci Sukses SCM Manajemen Logistik Fungsi dan Kegunaan Pengendalian Logistik Konvensional dan Logistik Mengelola Jaringan SC Strategi Proses

Lebih terperinci

C. TEORI PERUSAHAAN D. PENGUKURAN LABA - Pengukuran Profitabilitas Perusahaan - Perbedaan Profitabilitas Dari Berbagai Perusahaan

C. TEORI PERUSAHAAN D. PENGUKURAN LABA - Pengukuran Profitabilitas Perusahaan - Perbedaan Profitabilitas Dari Berbagai Perusahaan PENDAHULUAN Ari Darmawan, Dr. S.AB, M.AB Email: aridarmawan_fia@ub.ac.id A. PENDAHULUAN - Konsep Ekonomi - Konsep Sumber Daya B. EKONOMI MANAJERIAL - Hubungan ekonomi manajerial dengan ilmu ekonomi lainnya

Lebih terperinci

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Pemasaran (Marketing) Pemasaran adalah proses penyusunan komunikasi terpadu yang bertujuan untuk memberikan informasimengenai barang atau jasa dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menganggap gagasan mereka mutlak benar atau sudah self evident.

BAB I PENDAHULUAN. menganggap gagasan mereka mutlak benar atau sudah self evident. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis data di atas, kesimpulan dari analisis strategi yang

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis data di atas, kesimpulan dari analisis strategi yang BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data di atas, kesimpulan dari analisis strategi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan industri ini kurang

Lebih terperinci

Program Peningkatan Kemampuan Pemasok secara Efektif Nike 1. Apa persoalan yang perlu diselesaikan?

Program Peningkatan Kemampuan Pemasok secara Efektif Nike 1. Apa persoalan yang perlu diselesaikan? Studi Kasus dalam merancang intervensi tingkat perusahaan mempromosikan produktivitas dan kondisi kerja di UKM Program Peningkatan Kemampuan Pemasok secara Efektif Nike 1. Apa persoalan yang perlu diselesaikan?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Pada umumnya para remaja sekarang senang berbelanja tertutama

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Pada umumnya para remaja sekarang senang berbelanja tertutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada umumnya para remaja sekarang senang berbelanja tertutama pada mahasiswa, semakin berkembangnya social media maka banyak yang membuka usaha di social media contohnya

Lebih terperinci

Bab VII Pemanfaatan Modal (Capital) Oleh Pengusaha Penduduk Lokal dan Pengusaha Migran dalam Dinamika Berwirausaha

Bab VII Pemanfaatan Modal (Capital) Oleh Pengusaha Penduduk Lokal dan Pengusaha Migran dalam Dinamika Berwirausaha Bab VII Pemanfaatan Modal (Capital) Oleh Pengusaha Penduduk Lokal dan Pengusaha Migran dalam Dinamika Berwirausaha Pengantar Pemanfaatan Modal oleh pengusaha penduduk lokal dan pengusaha migran, menunjukan

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah Kecamatan Kahayan Kuala merupakan salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Pulang Pisau yang sangat

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS INTERNASIONAL. Week 5

ETIKA BISNIS INTERNASIONAL. Week 5 ETIKA BISNIS INTERNASIONAL Week 5 Bisnis Internasional Bisnis internasional yakni bisnis yang kegiatannya melewati batas-batas negara. Definisi ini termasuk perdagangan internasional, pemanufakturan diluar

Lebih terperinci

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN Pertimbangan disusunnya PP No.19 tahun 2003 : a. Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sementara pesaing juga melakukan hal yang serupa. Kondisi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. sementara pesaing juga melakukan hal yang serupa. Kondisi tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan berusaha untuk mencari keunggulan kompetitif, sementara pesaing juga melakukan hal yang serupa. Kondisi tersebut merupakan konsekuensi dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Strategi Menurut Glueck dan Jauch (1998, p.12) Strategi adalah rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan strategi perusahaan dengan tantangan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Risiko Risiko (risk) menurut Robinson dan Barry (1987) adalah peluang terjadinya suatu kejadian yang dapat diketahui oleh pelaku bisnis sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin ketat suatu perusahaan dituntut untuk terus tumbuh dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin ketat suatu perusahaan dituntut untuk terus tumbuh dengan tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Untuk mencapai kesinambungan keuntungan dan bertahan dalam kompetisi yang semakin ketat suatu perusahaan dituntut untuk terus tumbuh dengan tujuan akhir meningkatkan

Lebih terperinci

Lingkungan Pemasaran

Lingkungan Pemasaran Lingkungan Pemasaran Topik Pembahasan Mempelajari pemeran lain dalam lingkungan pasar Mempelajari kekuatan2 utama yang mempengaruhi kondisi pasar Kedua hal di atas akan membentuk peluang, ancaman serta

Lebih terperinci

MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI

MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI PENDAHULUAN Model organisasi birokratis diperkenalkan pertama kali oleh Max Weber. Dia membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat dan mencoba menjawab

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN SISTEM INFORMASI, ORGANISASI DAN STRATEGI

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN SISTEM INFORMASI, ORGANISASI DAN STRATEGI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BUDI LUHUR SISTEM INFORMASI MANAJEMEN SISTEM INFORMASI, ORGANISASI DAN STRATEGI 1 ORGANISASI DAN SISTEM INFORMASI Sistem Informasi dan Organisasi mempengaruhi satu sama lain.

Lebih terperinci

Tantangan Dasar Desain Organisasi

Tantangan Dasar Desain Organisasi Modul ke: Tantangan Dasar Desain Organisasi Fakultas Pasca Sarjanan Dr. Ir. Sugiyono, Msi. Program Studi Magister Manajemen www.mercubuana.ac.id Source: Jones, G.R.2004. Organizational Theory, Design,

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Modal Sosial Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU Kesehatan No.23/1992). Kesehatan

Lebih terperinci

Copyright Rani Rumita

Copyright Rani Rumita Strategi Distribusi Topik yang Dibahas Bagaimana sifat saluran pemasaran dan mengapa saluran pemasaran penting? Bagaimana perusahaan saluran berinteraksi dan diatur untuk melakukan pekerjaan saluran? Masalah

Lebih terperinci

Desain Struktur Organisasi: Spesialisasi dan Koordinasi

Desain Struktur Organisasi: Spesialisasi dan Koordinasi Modul ke: Desain Struktur Organisasi: Spesialisasi dan Koordinasi Fakultas Pasca Sarjanan Dr. Ir. Sugiyono, Msi. Program Studi Magister Manajemen www.mercubuana.ac.id Source: Jones, G.R.2004. Organizational

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dunia usaha ditandai dengan terbukanya persaingan yang ketat di segala bidang. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB. III PEMASARAN SOSIAL DAN HIJAU

BAB. III PEMASARAN SOSIAL DAN HIJAU BAB. III PEMASARAN SOSIAL DAN HIJAU Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan; 1) Perkembangan permasalahan sosial 2) Pelaksanaan Pemasaran Hijau 3) Implementasi Pemasaran Sosial

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN UMUM Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan salah satu tujuan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pula pada kemampuan pengusaha untuk mengkombinasikan fungsi-fungsi. tersebut agar usaha perusahaan dapat berjalan lancar.

BAB I PENDAHULUAN. pula pada kemampuan pengusaha untuk mengkombinasikan fungsi-fungsi. tersebut agar usaha perusahaan dapat berjalan lancar. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh para pengusaha dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang

Lebih terperinci

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN. SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 =========================

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN. SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 ========================= KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 ========================= Yth. Ketua Umum APRINDO dan jajarannya, Yth. Ketua Komisi

Lebih terperinci

MANAJEMEN STRATEJIK DAN BUDAYA PERUSAHAAN: DAMPAK SERTA IMPLEMENTASI

MANAJEMEN STRATEJIK DAN BUDAYA PERUSAHAAN: DAMPAK SERTA IMPLEMENTASI Media Informatika Vol.16 No.2 (2017) MANAJEMEN STRATEJIK DAN BUDAYA PERUSAHAAN: DAMPAK SERTA IMPLEMENTASI Muksin Wijaya Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer LIKMI Jl. Ir. Juanda 96 Bandung

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam melihat ketahanan pasar nagari di Minangkabau dalam menghadapi ekonomi dunia/supra

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan usahanya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan usahanya. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dunia usaha yang selalu bergerak dinamis, pelaku usaha selalu mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan usahanya. Hal ini semakin terasa di era global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pandang, gaya hidup dan budaya suatu masyarakat, bahkan perseorangan.

BAB I PENDAHULUAN. pandang, gaya hidup dan budaya suatu masyarakat, bahkan perseorangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan pada bidang teknologi informasi, membuat arus informasi semakin mudah diakses oleh setiap individu dan kelompok yang membutuhkannya. Dengan demikian, informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan merupakan tantangan serius pada saat ini. Produk-produk berbasis

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan merupakan tantangan serius pada saat ini. Produk-produk berbasis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global dan kerusakan lingkungan merupakan tantangan serius pada saat ini. Produk-produk berbasis lingkungan harus

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

Jenis dan Bentuk Perubahan Organisasi

Jenis dan Bentuk Perubahan Organisasi Modul ke: Jenis dan Bentuk Perubahan Organisasi Fakultas Pasca Sarjanan Dr. Ir. Sugiyono, Msi. Program Studi Magister Manajemen www.mercubuana.ac.id Source: Jones, G.R.2004. Organizational Theory, Design,

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anita Indriana, 2014 Wacana Polemik Pemberitaan Rokok dalam Harian Umum Kompas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anita Indriana, 2014 Wacana Polemik Pemberitaan Rokok dalam Harian Umum Kompas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Seiring perkembangannya, media massa merupakan bagian pelengkap kehidupan manusia. Dengan media massa manusia mendapatkan informasi yang dan pengalaman.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Sejarah Budaya Organisasi Organisasi telah ada sejak ratusan tahun lalu dimuka bumi, tidak ada literatur yang secara jelas menjelaskan asal muasal terjadinya organisasi. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Pemasaran 2.1.1 Pengertian Pemasaran Pemasaran sering diartikan oleh banyak orang sebagai kegiatan atau aktivitas dalam menjual beli barang di pasaran. Sebenarnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh terjadinya Global warming yang terjadi pada saat ini. Hal ini sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh terjadinya Global warming yang terjadi pada saat ini. Hal ini sangat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Di era modern seperti sekarang ini banyak sekali kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia berdampak tidak baik bagi lingkungan. Saat ini adalah dimana terjadinya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi serta perubahan struktur sosial ekonomi

Lebih terperinci

Materi Minggu 10. Implementasi Strategik, Evaluasi dan Pengawasan

Materi Minggu 10. Implementasi Strategik, Evaluasi dan Pengawasan M a n a j e m e n S t r a t e g i k 77 Materi Minggu 10 Implementasi Strategik, Evaluasi dan Pengawasan 10.1 Implementasi Strategi Implementasi strategi adalah jumlah keseluruhan aktivitas dan pilihan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tembakau merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dikelola untuk menghasilkan barang atau jasa (output) kepada pelanggan

BAB 1 PENDAHULUAN. dikelola untuk menghasilkan barang atau jasa (output) kepada pelanggan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum, perusahaan atau business merupakan suatu organisasi atau lembaga dimana sumber daya (input) dasar seperti bahan baku dan tenaga kerja dikelola

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Anda mungkin memiliki banyak pengalaman bekerja dalam kelompok, seperti halnya tugas kelompok, tim olahraga dan lain sebagainya. Kelompok kerja merupakan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM (RDPU) BADAN LEGISLASI DENGAN GABUNGAN PERSERIKATAN PABRIK ROKOK INDONESIA (GAPPRI), ASSOSIASI PETANI TEMBAKAU INDONESIA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki kehidupan dan kegiatan yang bersifat konsumtif sehingga memudahkan pelaku usaha untuk menawarkan berbagai produk baik barang dan/atau jasa kepada masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting dalam menanggapi proses. yang strategis baik secara ekonomi maupun sosial politis.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting dalam menanggapi proses. yang strategis baik secara ekonomi maupun sosial politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya pengembangan usaha mikro sangat relevan dan sejalan dengan arus pemikiran global yang sedang berkembang saat ini. Pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang bernilai dengan orang lain (Kotler, 2008). Oleh karena itu, kegiatan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang bernilai dengan orang lain (Kotler, 2008). Oleh karena itu, kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan dalam dunia usaha semakin ketat, terlebih dengan semakin meningkatnya kebutuhan dan keinginan konsumen. Perkembangan zaman yang sangat pesat secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang berada di daerah tropis merupakan negara yang kaya

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang berada di daerah tropis merupakan negara yang kaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang berada di daerah tropis merupakan negara yang kaya akan jenis tanaman termasuk tanaman obat. Tanaman obat yang telah diketahui memiliki khasiat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Definisi Pemasaran Banyak orang beranggapan bahwa pemasaran adalah sebuah kegiatan menjual atau mengiklankan suatu produk. Pada sebagian besar

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Jumlah perokok dari tahun ketahun mengalami peningkatan, baik laki-laki, perempuan. Usia perokok juga bervariasi dari yang dewasa sampai remaja bahkan anak dibawah umur.

Lebih terperinci

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012 KONFLIK ORGANISASI Salah satu yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam organisasi. Sebagaimana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara keseluruhan

Lebih terperinci