Diagnosis Diferensial

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Diagnosis Diferensial"

Transkripsi

1 5 Diagnosis Diferensial Diagnose sebagian besar penyakit umumnya dapat ditentukan melalui tanda dan gejala klinis yang ada. Namun perlu dicermati bahwa tanda dan gejala demikian tidak selalu spesifik untuk satu penyakit, tetapi dapat terjadi karena berbagai proses penyakit. Oleh karena itu analisis akurat dan kritis mengenai berbagai facta klinis seperti lokasi, distribusi, tes khusus atau tanda dan gejala yang menyertainya sangat diperlukan dalam rangka menentukan diagnosis kerja atau diagnosis diferensialnya. Tidak tertutup kemungkinan diantara berbagai kelainan yang ada mempunyai etiologi atau faktor pre desposisi yang sating tumpang tindih. 5.1 Konsep diagnosis diferensial Diagnosis penyakit mulut khususnya yang menyangkut jaringan keras gigi seperti karies biasanya tidak sulit ditentukan. Manifestasi klinis kelainan tersebut spesifik atau dengan kata lain tidak ada penyakit yang menghasilkan kondisi serupa. Diagnosis penyakit atau kelainan nondental khususnya yang terjadi pada jaringan lunak mulut se ring tidak mudah ditetapkan karena manifestasi klinis dan penyebabnya bervariasi. Da-lam hal demikian maka perlu cara pendekatan agar dapat mengakomodasi berbagai faktor yang kemungkinan menjadi penyebab. Oleh karena itu untuk kasus nondental selalu dilakukan pendekatan melalui diagnosis diferential atau diagnosis banding. Diagnosis diferensial adalah menentukan diagnosis suatu penyakit dengan cara membandingkan dua atau lebih penyakit yang mempunyai beberapa tanda dan gejala yang sama. Pada dasarnya kegiatan demikian telah dimulai sejak permulaan anamnesis dan akan dilaksanakan terus setama melakukan pemeriksaan fisik. Bahkan diagnosis diferensial demikian akan memberikan arch untuk dilakukannya tes atau pemeriksaan khusus. Secara konseptual dan prosedural diagnosis diferensial dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: Tahap 1: Klasifikasi abnormalitas Tahap 2: Menentukan ciri-ciri klinis sekunder Tahap 3: Membuat daftar berbagai kondisi penyebab manifestasi primer. Tahap 4: Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin sebagai penyebab Tahap 5: Menyusun beberapa kemungkinan penyebab Tahap 6: Menentukan diagnosis kerja / diagnosis difinitif Universitas Gadjah Mada 1

2 Klasifikasi abnormalitas. Sebagian besar abnormalitas di mulut ditandai khas dengan perubahan penam pakan klinis mencolok yang menunjukkan sifat umum dari suatu lesi sehingga berbeda dengan jaringan normal. Manifestasi primer dari lesi oral demikian dipakai sebagai titik awal klasifikasi sebelum menentukan diagnosis diferensial. Secara umum manifestasi primer abnormalitas di mulut dapat dikelompokkan sebagai: (a) perubahan warna mukosa, (b) hilangnya integritas mukosa, (c) pembesaran jaringan, (d) perluasan dari lesi di dalam tulang atau (e) gabungan berbagai abnormalitas berbeda yang memberikan kecurigaan pada suatu sindrorp klinik. Untuk sifat-sifat khas yang lain dari suatu abnormalitas dipandang sebagai ciri-ciri klinis sekunder. Menentukan ciri-ciri klinis sekunder. Untuk lebih memahami abnormalitas yang dicurigai, maka berdasarkan klasifikasi manifestasi primer suatu abnormalitas tersebut di atas ditentukan secara obyektif ciri-ciri kfinis sekunder yang dapat memberikan bukti tambahan mengenai sifat dasar dari proses penyakit. Ciri klinis sekunder demikian sangat diperlukan dalam diagnosis diferensial antara penyakit-penyakit yang diketahui dapat menyebabkan manifestasi primer. Klinisi pemula sering terpancing untuk segera membuat diagnosis berdasarkan satu atau dua ciriciri obyektif tanpa melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dari suatu lesi. Perlu diperhatikan bahwa cara demikian sering menimbulkan kekeliruan diagnostik, yang lebih lanjut akan menimbulkan kecenderungan terjadinya salah interprestasi terhadap ciri klinis sekunder lainnya. Klinisi yang berpengalaman umumnya tidak akan mengeluarkan pendapat tentang diagnosis suatu lesi sampai dapat dikumpulkannya sebanyak mungkin informasi diagnostik untuk lesi tersebut. Setelah mukosa dibersihkan dari saliva dan sisa makanan, dilakukan inspeksi dengan seksama terhadap lesi untuk ditentukan lokasi, bentuk adan ukurannya. Perlu diperhatikan apakah abnormalitas tersebut berdiri sendiri (bersifat fokal) atau disertai dengan abnormalitas sama di tempat lain yang menunjukkan adanya proses multifokal. Batas lesi dengan jaringan sekitarnya harus diperiksa dengan seksama untuk menentukan bentuk dan ciri-ciri tepi abnormalitas teratur atau tidak. Penampakan klinis abnormalitas apakah bersifat homogen atau heterogen haws diperhatikan. Dengan palpasi diharapakan dapat diketahui konsisitensi jaringan yang terlibat dan ada tidaknya respon nyeri. Disamping tanda-tanda klinis lesi tersebut faktor penunjang yang lain seperti umur, jenis kelamin, ras dan riwayat medik dapat memberikan informasi dasar untuk diagnosis diferensial. Universitas Gadjah Mada 2

3 Membuat daftar berbagai kondisi yang dapat menyebabkan manifestasi primer. Pada tahapan ini perlu dipikirkan mengenai berbagai kondisi yang diketahui dapat menyebabkan manifestasi primer. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa diagnosis diferensial yang akurat suatu abnormalitas nondental perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan penyebab. Untuk itu maka dibuat daftar mengenai kondisikondisi yang dapat menyebabkan menifestasi primer. Bagi klinisi pemula sering hanya memperhatikan kondisikondisi yang mudah diingat dan dapat menimbulkan satu tanda spesifik dari suatu lesi. Ada kecenderungan mereka hanya memperhatikan beberapa kondisi yang umum dan mengiterprestasikan beberapa temuan klinis untuk di cocokkan dengan salah satu penyakit. Cara demikian merupakan metode diagnostik yang keliru. Diagnosis diferensial akan mendekati suatu diagnosis yang benar jika ciri-ciri khas dari berbagai kemungkinan penyakit dibandingkan dengan abnormalitas yang ada pada pasien. Untuk itu pemaharpan dan interprestasi tanda dan gejala klinis serta patofisiologi penyakit sangat diperlukan. Sebagai contoh misalnya abnormalitas karena perubahan warna mukosa oral menjadi lebih putih ( white lesion ); kondisi demikian dapat disebabkan karena penebalan epitel, penimbunan material dipermukaan mukosa atau perubahan didalam jaringan submukosa. Ketiga kondisi tersebut secara konsisten menyebabkan penampakan klinis yang berbeda dan mudah diidentifikasi sehingga ketiganya harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial untuk lesi putih. Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin sebagai penyebab. Setelah dibuat daftar mengenai ciri-ciri diagnostik suatu lesi dan kemungkinan penyebab manifestasi primernya, berbagai ciri klinis sekunder dan informasi klinik tambahan yang lain dibandingkan untuk mengesampingkan penyebab yang tidak mungkin. Pada tahapan ini dilakukan penilaian mengenai kesesuaian antara berbagai kemungkinan diagnosis dengan temuan klinis yang ada pada pasien. Bila terdapat temuan yang kontradiktif antara temuan klinis pada pasien dengan ciri-ciri diagnostik suatu penyakit, maka kemungkinan diagnose penyakit tersebut dapat dikesampingkan. Untuk kebanyakan kasus strategi diagnosis diferensial yang efisien didasarkan pada beberapa ciri diagnostik yang mudah diinterprestasikan dan secara konsisiten dapat dipercaya untuk mengesampingkan kondisi-kondisi tertentu. Dengan melakukan klasifikasi abnormalitas ke dalam kelompok lesi seperti di atas akan memberi kemu dahan untuk menentukan berbagai ciri klinis sekunder yang sesuai atau paling dapat dipercaya. Sasaran utama pada tahapan ini ialah mengurangi sebanyak mungkin berbagai penyebab yang harus dipertimbangkan, sehingga kasus-kasus yang serupa akan lebih mudah diperhatikan. Sebagai contoh misalnya pada lesi putih seperti yang telah dikemukakan sebelumnya; jika warna putih pada mukosa hilang setelah dibersihkan dengan usapan kain Universitas Gadjah Mada 3

4 kasa maka kemungkinan penebalan epitel atau perubahan pada jaringan subepitel sebagai penyebab lesi putih dapat dikesampingkan. Pemikiran kearah kondisi-kondisi yang disertai dengan penimbunan material atau jaringan nekrotik seperti pseudomembrane candidiasis, chemical burn, atau bahkan suatu ulkus lebih dapat diperhatikan. Perlu diperhatikan bahwa eliminasi kondisi-kondisi serius tertentu seperti keganasan sebagai kemungkinan penyebab akan mempunyai nilai lebih penting. Menyusun beberapa kemungkinan penyebab. Setelah berbagai kondisi yang tidak mungkin sebagai diagnosis yang potensial dikesampingkan maka langkah berikutnya ialah membuat daftar urutan penyakitpenyakit yang dapat menjelaskan terjadinya abnormalitas, tanda dan gejala klinis yang menyertainya. Urutan kemungkinan sebagai diagnosis didasarkan pada besarnya frekuensi kejadian dari masing-masing penyebab dan banyaknya kesesuaian antara tanda-tanda klinis skunder dengan ciri-ciri khas dari masing-masing kemungkinan diagnosis. Dalam berbagai situasi hal demikian relatif subyektif, sehingga penilaian terhadap berbagai tampilan klinis antara klinisi yang satu dapat berbeda dengan yang lain. Kecenderungan demikian dan sifat biologik proses penyakit yang kadang sulit diprediksi serta pengaruhnya terhadap tahapan perjalanan suatu penyakit tertentu pada individu harus selalu dipertimbangkan. Dalam membandingkan ciri-ciri lesi pada pasien dengan ciri-ciri khusus dari suatu kemungkinan diagnosis tidak jarang diperoleh kesan bahwa diagnosis yang kemungkinannya besar belum tentu menunjukkan yang benar atau sebaliknya yang kelihatannya sepele atau tidak begitu menonjol tetapi mempunyai kemungkinan / peluang kebenaran yang besar. Menentukan diagnosis kerja. Kondisi yang paling mungkin menjadi penyebab dari lesi yang ada pada pasien dipandang sebagai diagnosis kerja atau diagnosis sementara. Diagnosis kerja dan diagnosis yang paling kecil kemungkinannya akan memberikan dasar pemikiran untuk dilakukannya prosedure diagnostik tambahan seperti biopsi, atau tes laboratorium dan untuk menentukan management klinis awal dari kondisi tersebut. Hasil tes dan pemeriksaan penunjang disgnostik tambahan ini biasanya dapat dipakai untuk membedakan secara efektif diagnosis yang tepat dari beberapa kemungkinan penyebab sehingga diagnosis akhir atau diagnosis definitif dapat ditegakkan. Jika tidak ada test pembeda atau jika diperlukan perawatan yang segera, maka dapat diberikan perawatanan dengan assumsi bahwa diagnosis kerja adalah benar. Universitas Gadjah Mada 4

5 Kontrol atau pemeriksaan ulang merupakan aspek klinis lain yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial. Perkembangan kondisi abnormal selama periode waktu tertentu balk dengan perawatan atau tanpa perawatan khusus merupa kan salah satu sumber informasi penting untuk konfirmasi diagnostik. Suatu perjalanan klinis yang tidak terduga dari abnormalitas sering mengungkap adanya kesalahan diag nostik atau diagnosis difinitif yang tidak benar. Disisi lain lesi-lesi dengan diagnosis yang benar mungkin kambuh dan memerlukan perawatan tambahan. Untuk kedua alasan tersebut maka kontrol pasien dan pemeriksaan ulang merupakan unsur yang esensial dalam proses diagnosis diferensial 5.2 Klasifikasi abnormalitas berdasarkan lokasi dan manifestasi primer Setelah menjumpai suatu abnormalitas, klinisi harus segera menentukan dua keputusan awal yaitu: (1) menentukan apakah abnormalitas tersebut merupakan variasi normal atau sebagai tanda-tanda aktual adanya penyakit, dan (2) kalau abnormalitas tersebut merupakan bukti aktual adanya penyakit maka klasifikasi atau kelompok lesi yang mana paling cocok untuk mengungkap diagnosis diferensial abnormalitas tersebut. Untuk menentukan kedua keputusan tersebut khususnya bagi klinisi yang belum berpengalaman sering mendapat kesulitan. Namun perlu diperhatikan bahwa kesalahan pada salah satu dari keputusan tersebut akan memberikan konsekuensi bahwa diagnosis diferensial akan berjalan pada jalur yang salah, dan biasanya penilaian yang dilakukan terhadap abnormalitas sering keliru. Tahapan awal klasifikasi abnormalitas di mukosa mulut dapat di lihat pada gambar di halaman berikutnya. Pengelompokkan abnormalitas berdasarkan jaringan yang terlibat dan manifesatsi primernya seperti terlihat pada bagan berikut dimaksudkan agar klinisi lebih mudah untuk memfokuskan pada kondisi-kondisi yang kemungkinan menjadi penyebab. Dan sisi yang lain dengan cara demikian beberapa penyakit yang menyebabkan manifestasi primer berbeda dapat dikeluarkan dari pertimbangan awal diagnosis diferensial. Berdasarkan jaringan yang terlibat lesi oral dapat dikelompokkan sebagai lesi pada permukaan mukosa, lesi jaringan lunak yang lebih dalam atau lesi di dalam tulang. Perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa kondisi yang ditandai khas adanya abnormalitas yang multiple melibatkan beberapa jaringan atau lokasi anatomis yang berbeda. Dalam klasifikasi abnormalitas di mukosa, perubahan penampilan klinis permukaan mukosa dipandang sebagai manifestasi primer dari suatu abnormalitas. Temuan tambahan seperti pembesaran jaringan atau adanya hubungan dengan lesi tulang, keterlibatan jaringan lain yang mengisyaratkan bahwa perubahan mukosa tersebut terjadi sebagai akibat sekunder dari proses penyakit, maka secara tidak langsung lesi tersebut harus dipandang sebagai kelompok diagnosis diferensial yang lain. Lesi mukosa oral tanpa disertai pembesaran Universitas Gadjah Mada 5

6 jaringan berdasarkan penampilan klinisnya dapat dikelompokkan sebagai white lesion, dark lesion dan hilangnya integritas permukaan. Gambar5-1: Pengelompokan abnormalitas mukosa oral berdasarkan manifestasi primer dan ciri sekunder Lesi putih ( White mucosal lesions ) lesi putih atau white lesion pada mukosa oral ditandai khas oleh manifestasi primer dari suatu abnormalitas perubahan warna putih atau pucat pada mukosa tanpa disertai pembesaran atau ulserasi. Perubahan demikian disebabkan karena tiga kondisi utama yaitu (1) penebalan epitel, (2) penimbunan material dipermukaan mukosa dan (3) perubahan didalam jaringan submukosa. Ketiga kondisi tersebut secara konsisten menyebabkan penampakan klinis yang berbeda dan mudah diidentifikasi, sehingga ketiganya harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial lesi putih. Ciri-ciri klinis sekunder dari lesi putih di mukosa oral sangat diperlukan dalam diagnosis diferensial. Ciri permukaan lesi halus, kasar atau tampak menebal dapat memberi petunjuk mengenai jenis lesi yang ada. Keberadaan lesi putih apakah mudah terlepas atau tidak waktu dibersihkan, distribusi lesi apakah bersifat fokal (setempat) atau difus atau multifokal merupakan informasi yang penting untuk diagnosis diferensial. Ada tidaknya gejala-gejala yang menyertai lesi, lokasi, durasi serta informasi mengenai kebiasaan pasien menggunakan alkohol atau merokok perlu mendapat perhatian didalam riwayat pasien. Universitas Gadjah Mada 6

7 Perlu diperhatikan disini bahwa bila terdapat kondisi campuran yaitu perubahan warna putih dengan ulkus maka lesi tersebut dikelompokkan sebagai ulkus. Lesi Gelap ( Dark mucosal lesions ) Sebagian besar lesi ini berhubungan dengan timbunan darah abnormal, akumulasi pig-men darah atau melanin yang berlebihan, dan agregasi benda asing. Jenis pigmentasi yang terjadi sering dapat diperkirakan melalui warna pada lesi tersebut merah, coklat atau hitam. Untuk lesi merah harus dipalpasi atau pemeriksaan diaskophi untuk menentukan adanya perubahan menjacii pucat atau tidak. Semua merupakan ciri-ciri sekunder yang sangat berharga dalam diagnosis diferensial. Disamping warna, jumlah dan distribusi lesi tersebut fokal, multifokal atau difus sangat membantu dalam diagnosis diferensial. Semtia lesi berwarna gelap di mulut harus segera diperiksa untuk menentukan lesi tersebut sebagai proses lokal atau proses sistemik. Pigmentasi multifokal dan difus dapat disebabkan karena abnormalitas perkembangan, metabolik atau hormonal. Hilangnya integritas mukosa Termasuk kelompok ini ialah ulkus atau lesi-lesi yang secara tipikal didahului dengan ulserasi. Banyak kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya ulkus di mukosa mulut. Beberapa penyebab ulkus dapat dibed akan dengan menelusuri riwayat terjadinya apakah akut atau bertahap. Distribusi ulkus apakah bersifat fokal atau multi fokal merupakan ciri-ciri diagnostik yang penting. Karena ulkus sering disertai nyeri biasanya pasien dapat memberikan gambaran mengenai durasi, keparahan dan faktor-faktor presipitasi serta informasi klinis lain. Karena pada kondisi tertentu ulserasi di mulut dapat disertai dengan lesi di kulit, mukosa genital dan konjunctiva maka riwayat mengenai keterlibatan bagianbagian tubuh yang lain tersebut perlu ditanyakan. Diagnosis untuk beberapa lesi yang akut, penyakit genetik, ulkus kambuhan atau idiopatik biasanya dapat ditentukan atas dasar temuan klinis, namun untuk diagnosis difinitif kondisi ulseratif yang destruktif atau karena penyakit autoimune memerlukan pemeriksaan biopsi. Pembesaran jaringan lunak. Pembesaran jaringan lunak merupakan manifesatsi klinis primer abnormalitas yang disebabkan karena berbagai kondisi yang berbeda. Disamping karena struktur anatomis yang normal, beberapa proses patologi seperti radang, anomali perkembang an, dan neoplasma dapat menyebabkan pembesaran jaringan lunak Ciri-ciri pembesaran demikian Universitas Gadjah Mada 7

8 dapat dikaji dengan palpasi untuk mengetahui komposisi dan ada tidaknya tenderness. Sebagian besar pembesaran jaringan lunak di mulut adalah soliter, tetapi perlu pemeriksaan yang seksama untuk mengetahui adanya pembesaran jaringan yang lainnya. Pada lesi ini perlu dicatat ciri-ciri permukaan lesi karena dapat memberi petunjuk mengenai komposisi atau kemungkinan penyebabnya. Lokasi yang tepat pembesaran jaringan ini harus ditentukan karena dapat dipakai untuk memperkirakan asal dari lesi tersebut. Kecepatan pertumbuhan, perubahan perangai permukaan mukosa, kurang tegasnya Batas tepi lesi dan luasnya kerusakan jaringan dapat mengingatkan pada kondisi yang ganas. Pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk menegakkan diagnosis difinitif. Lesi radiografik Radiograf memberikan informasi penting mengenai komposisi, kecepatan pertumbuhan, relasi terhadap struktur anatomis dan diagnosis diferensial untuk lesi di dalam tulang rahang. Strategi diagnosis diferential diawali dengan mengklasifikasikan satu abnormalitas radiografik sebagai lesi radiolusen, radiopak atau campuran keduanya. Bentuk, lokasi dan gambaran tepi lesi perlu diperhatikan. Pasien harus diperika secara seksama untuk identifikasi setiap temuan klinis yang mungkin terkait dengan lesi terse-but, seperti ekspansi tulang, krepitasi, timbulnya nyeri dan abnormalitas gigi pada regio tersebut serta perubahan mukqsa terkait. Dengan menggabungkan berbagai temuan klinis, gejalagejala, umur pasien dan hasil interpretasi radiografik dari suatu lesi akan dapat diperoleh satu dasar pemikiran untuk menentukan diagnosis kerja dan manajemen yang realistik. Sindrom klinik Istilah syndrome didifinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala yang berhu bungan dengan berbagai proses abnormal yang bersama-sama merupakan gambaran dari suatu penyakit. Beberapa ciri-ciri klinis yang kelihatan berbeda sebenarnya merupakan manifestasi dari satu penyebab. Terdapatnya manifesatasi lesi yang multiple kemungkinan termasuk abnormalitas yang berhubungan dengan perkembangan umum atau kondisi metabolik tertentu. Kondisi demikian memberikan kecurigaan pada suatu sindrom klinik. Beberapa faktor yang mempersulit indentifikasi dan evaluasi sindrom klinik. Pertama ialah bahwa sebuah penyakit yang menyebabkan lesi multiple dengan ciri-ciri sama dapat dikelompokkan sebagai manifestasi primer yang bersifat multifokal daripada abnormalitas multiple dari suatu simdrom klinik. Kedua bahwa manifestasi multiple yang mempunyai latar belakang satu proses dapat sulit dibedakan dengan manifestasi primer dari beberapa kondisi yang berbeda yang secara kebetulan terjadi pada pasien. Faktor ke tiga bahwa banyak pasien khususnya pada usia lanjut menunjukkan beberapa abnor- Universitas Gadjah Mada 8

9 malitas yang disebabkan karena beberapa penyakit yang berbeda dan secara keseluruhan tidak berhubungan tetapi berpengaruh pada pasien yang sama. Disamping faktor-faktor tersebut sejumlah besar dari sindrom yang berbeda dan relatif jarang terjadi pada jaringan oral dan perioral merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh klinisi. Menyadari akan hal ini maka bilamana seorang pasien disertai dengan beberapa abnormalitas yang tampaknya tidak sama maka perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya sindrome klinik. Universitas Gadjah Mada 9

Metode Diagnostik. Universitas Gadjah Mada 1

Metode Diagnostik. Universitas Gadjah Mada 1 3 Metode Diagnostik Profesi di bidang kesehatan dalam prakteknya akan banyak menggunakan pengetahuan dan ketrampilan untuk memulihkan dan mempertahankan kesehatan pasien. Tujuan demikian tidak selalu dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA Gingiva merupakan bagian dari jaringan periodonsium yang menutupi gigi dan berfungsi sebagai jaringan penyangga gigi. Penyakit periodontal yang paling sering

Lebih terperinci

Manifestasi Infeksi HIV-AIDS Di Mulut. goeno subagyo

Manifestasi Infeksi HIV-AIDS Di Mulut. goeno subagyo Manifestasi Infeksi HIV-AIDS Di Mulut goeno subagyo Jejak-jejak HIV-AIDS di mulut Mulut adalah organ yang unik Mikroorganisme penghuni nya banyak; flora normal dan patogen Lesi mulut dijumpai pada hampir

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM. Oleh : Ichda Nabiela Amiria Asykarie J Dosen Pembimbing : Drg. Nilasary Rochmanita FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

LAPORAN PRAKTIKUM. Oleh : Ichda Nabiela Amiria Asykarie J Dosen Pembimbing : Drg. Nilasary Rochmanita FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI LAPORAN PRAKTIKUM Oral Infection by Staphylococcus Aureus in Patients Affected by White Sponge Nevus: A Description of Two Cases Occurred in the Same Family Oleh : Ichda Nabiela Amiria Asykarie J 52010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non melanoma dibedakan atas karsinoma sel basal (KSB), karsinoma sel skuamosa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena beberapa penyakit sistemik dapat bermanifestasi ke rongga mulut (Mays dkk., 2012). Stomatitis aftosa

Lebih terperinci

ENDODONTIC-EMERGENCIES

ENDODONTIC-EMERGENCIES ENDODONTIC-EMERGENCIES (Keadaan darurat endodontik) Keadaan darurat adalah masalah yang perlu diperhatikan pasien, dokter gigi dan stafnya. Biasanya dikaitkan dengan nyeri atau pembengkakan dan memerlukan

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti (Kumar et al.,

BAB I PENDAHULUAN. walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti (Kumar et al., BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Neoplasma adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal serta terus berlanjut

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG OSTEOSARCOMA PADA RAHANG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi Oleh : AFRINA ARIA NINGSIH NIM : 040600056 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Masalah kesehatan gigi dewasa ini tidak hanya membahas gigi geligi saja, tetapi telah meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan mulut merupakan hal yang sangat penting dan berpengaruh pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut sering kali menjadi prioritas

Lebih terperinci

Kanker Servix. Tentu anda sudah tak asing lagi dengan istilah kanker servik (Cervical Cancer), atau kanker pada leher rahim.

Kanker Servix. Tentu anda sudah tak asing lagi dengan istilah kanker servik (Cervical Cancer), atau kanker pada leher rahim. Kanker Servix Tentu anda sudah tak asing lagi dengan istilah kanker servik (Cervical Cancer), atau kanker pada leher rahim. Benar, sesuai dengan namanya, kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi dan Etiologi Trauma gigi sulung anterior merupakan suatu kerusakan pada struktur gigi anak yang dapat mempengaruhi emosional anak dan orang tuanya. Jika anak mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks, obstruksi limfoid, fekalit, benda asing, dan striktur karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan migrasi epitel jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang

BAB I PENDAHULUAN. dengan migrasi epitel jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Periodontitis merupakan inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang dan resorpsi tulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Urtikaria adalah suatu kelainan yang berbatas pada bagian

Lebih terperinci

Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti. Dipresentasikan di forum ilmiah PDGI Jakarta Timur - Juni 2008

Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti. Dipresentasikan di forum ilmiah PDGI Jakarta Timur - Juni 2008 Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti Dipresentasikan di forum ilmiah PDGI Jakarta Timur - Juni 2008 Pemeriksaan radiografik Pemeriksaan lanjutan non interventif untuk memperoleh informasi diagnostik

Lebih terperinci

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap A. Pemeriksaan penunjang - Darah lengkap Darah lengkap dengan diferensiasi digunakan untuk mengetahui anemia sebagai penyebab depresi. Penatalaksanaan, terutama dengan antikonvulsan, dapat mensupresi sumsum

Lebih terperinci

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Penyakit pulpa dan periapikal Kondisi normal Sebuah gigi yang normal bersifat (a) asimptomatik dan menunjukkan (b) respon ringan sampai moderat yang bersifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benjolan pada payudara merupakan keluhan yang paling sering ditemui pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang bersifat jinak mengalami peningkatan

Lebih terperinci

mendiagnosis penyakit meramalkan prognosis merencanakan perawatan Klasifikasi mengalami perubahan sejalan dgn bertambahnya pemahaman ttg etiologi dan

mendiagnosis penyakit meramalkan prognosis merencanakan perawatan Klasifikasi mengalami perubahan sejalan dgn bertambahnya pemahaman ttg etiologi dan Pengklasifikasian penyakit perlu untuk: mendiagnosis penyakit meramalkan prognosis merencanakan perawatan Klasifikasi mengalami perubahan sejalan dgn bertambahnya pemahaman ttg etiologi dan patologi penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 5 15% wanita usia reproduktif pada populasi umum. rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr.

BAB 1 PENDAHULUAN. 5 15% wanita usia reproduktif pada populasi umum. rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium yang paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan ginekologi.

Lebih terperinci

BAB 2 PENGERTIAN, ETIOLOGI, TANDA DAN GEJALA OSTEOSARKOMA. Osteosarkoma adalah suatu lesi ganas pada sel mesenkim yang mempunyai

BAB 2 PENGERTIAN, ETIOLOGI, TANDA DAN GEJALA OSTEOSARKOMA. Osteosarkoma adalah suatu lesi ganas pada sel mesenkim yang mempunyai BAB 2 PENGERTIAN, ETIOLOGI, TANDA DAN GEJALA OSTEOSARKOMA 2.1 Definisi dan Etiologi Osteosarkoma 2.1.1 Definisi Osteosarkoma adalah suatu lesi ganas pada sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Karsinoma rongga mulut merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat kanker terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan ortodontik merupakan suatu faktor penting dalam pemeliharaan gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan umum perawatan ortodontik

Lebih terperinci

Tahap-tahap penegakan diagnosis :

Tahap-tahap penegakan diagnosis : Tahap-tahap penegakan diagnosis : Pada dasarnya, penegakan diagnosis terbagi menjadi beberapa poin penting yang nantinya akan mengarahkan kita menuju suatu diagnosis yang tepat. Oleh karena itu, kita perlu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dipengaruhi oleh berbagai kondisi sistemik maupun non-sistemik (Coulthard dkk.,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dipengaruhi oleh berbagai kondisi sistemik maupun non-sistemik (Coulthard dkk., I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Struktur normal mukosa mulut memiliki banyak variasi dan dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi sistemik maupun non-sistemik (Coulthard dkk., 2008). Ulkus mulut merupakan

Lebih terperinci

III. KELAINAN DENTOFASIAL

III. KELAINAN DENTOFASIAL III. KELAINAN DENTOFASIAL PEN DAHULUAN Klasifikasi maloklusi dan oklusi Occlusion = Oklusi Pengertian Oklusi adalah hubungan gigi geligi rahang atas dan rahang bawah bila rahang bawah digerakkan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom nefrotik (SN, Nephrotic Syndrome) merupakan salah satu penyakit ginjal terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

NEOPLASMA TULANG. Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma

NEOPLASMA TULANG. Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma NEOPLASMA TULANG Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma Ganas : Osteosarkoma, parosteal osteosarkoma Berasal dari Tulang rawan : Jinak : Kondroma, Osteokondroma,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu. penyakit peradangan idiopatik pada traktus

BAB I PENDAHULUAN. Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu. penyakit peradangan idiopatik pada traktus BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu penyakit peradangan idiopatik pada traktus gastrointestinal yang umumnya menyerang daerah kolon dan rektal. Etiologi

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. A. Definisi Nyeri Orofasial Kronis

Bab 1. Pendahuluan. A. Definisi Nyeri Orofasial Kronis Bab 1 Pendahuluan A. Definisi Nyeri Orofasial Kronis Berdasarkan durasi terjadinya nyeri, nyeri orofasial dapat dibedakan menjadi nyeri orofasial akut serta nyeri orofasial kronis. Nyeri orofasial akut

Lebih terperinci

DETEKSI DAN MANAJEMEN PENYAKIT SISTEMIK PADA PASIEN GIGI-MULUT DENGAN KOMPROMIS MEDIS. Harum Sasanti FKG-UI, Departemen Ilmu Penyakit Mulut

DETEKSI DAN MANAJEMEN PENYAKIT SISTEMIK PADA PASIEN GIGI-MULUT DENGAN KOMPROMIS MEDIS. Harum Sasanti FKG-UI, Departemen Ilmu Penyakit Mulut DETEKSI DAN MANAJEMEN PENYAKIT SISTEMIK PADA PASIEN GIGI-MULUT DENGAN KOMPROMIS MEDIS Harum Sasanti FKG-UI, Departemen Ilmu Penyakit Mulut Alur Presentasi Pendahuluan Tujuan presentasi Rasional deteksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengetahuan perawat tentang penilaian nyeri dan intervensi sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengetahuan perawat tentang penilaian nyeri dan intervensi sangat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengetahuan perawat tentang penilaian nyeri dan intervensi sangat penting untuk management nyeri yang efektif dan berkualitas dalam perawatan pasien (Patricia 2010).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 3,4

BAB 1 PENDAHULUAN 3,4 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radiografi dental merupakan salah satu bagian terpenting dari diagnosis oral moderen. Dalam menentukan diagnosis yang tepat, setiap dokter harus mengetahui nilai dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah anak yang mengalami gangguan fisik atau biasa disebut tuna daksa.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah anak yang mengalami gangguan fisik atau biasa disebut tuna daksa. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis ketunaan pada anak yang perlu mendapat perhatian serius adalah anak yang mengalami gangguan fisik atau biasa disebut tuna daksa. Kondisi anak yang megalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Tumbuh Kembang Anak Perubahan morfologi, biokimia dan fisiologi merupakan manifestasi kompleks dari tumbuh kembang yang terjadi sejak konsepsi sampai maturitas/dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding

BAB I PENDAHULUAN. Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding indera lainnya. Para ahli mengatakan, jalur utama informasi 80% adalah melalui mata. Mata sering disebut

Lebih terperinci

Pengantar skills lab INTERPRETASI RADIOGRAFIK DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI. Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti

Pengantar skills lab INTERPRETASI RADIOGRAFIK DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI. Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti Pengantar skills lab INTERPRETASI RADIOGRAFIK DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti Interpretasi radiografik kemampuan membaca, menafsirkan dan menjelaskan apa yang terlihat

Lebih terperinci

Hasil. Kesimpulan. Kata kunci : Obat-obatan kausatif, kortikosteroid, India, SCORTEN Skor, Stevens - Johnson sindrom, Nekrolisis epidermal

Hasil. Kesimpulan. Kata kunci : Obat-obatan kausatif, kortikosteroid, India, SCORTEN Skor, Stevens - Johnson sindrom, Nekrolisis epidermal LATAR BELAKANG Stevens - Johnson sindrom (SJS) dan Nekrolisis epidermal (TEN) adalah reaksi obat kulit parah yang langka. Tidak ada data epidemiologi skala besar tersedia untuk penyakit ini di India. Tujuan

Lebih terperinci

Sosialisasi Kaidah Koding sesuai Permenkes 76 tahun RIRIS DIAN HARDIANI Tim Teknis Ina CBG Kementerian Kesehatan

Sosialisasi Kaidah Koding sesuai Permenkes 76 tahun RIRIS DIAN HARDIANI Tim Teknis Ina CBG Kementerian Kesehatan Sosialisasi Kaidah Koding sesuai Permenkes 76 tahun 2016 RIRIS DIAN HARDIANI Tim Teknis Ina CBG Kementerian Kesehatan PENULISAN DIAGNOSA DAN TINDAKAN LENGKAP DAN SPESIFIK KETEPATAN KODING INA-CBG YANG

Lebih terperinci

PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 SKRIPSI Oleh Siska Yuni Fitria NIM 042010101027 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang sering dijumpai pada anak-anak dan dewasa. Ketepatan diagnosis pada keganasan tulang sangat penting karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

DESKRIPSI KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA PENDIDIKAN KEDOKTERAN

DESKRIPSI KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA PENDIDIKAN KEDOKTERAN 7 LAMPIRAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA UNTUK PENDIDIKAN KEDOKTERAN DESKRIPSI UMUM DESKRIPSI KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada anak dan paling sering jadiindikasi bedah abdomen emergensi pada anak.insiden apendisitis secara

Lebih terperinci

Xpidemiologi Klinik adalah Penerapan prinsip prinsip dan metode

Xpidemiologi Klinik adalah Penerapan prinsip prinsip dan metode UJI DIAGNOSTIK DALAM EPIDEMIOLOGI KLINIK Xpidemiologi Klinik adalah Penerapan prinsip prinsip dan metode metode epidemiologi ke dalam praktek kedokteran klinik. Epidemiologi klinik merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benjolan pada payudara biasanya didefinisikan. sebagai massa yang teraba pada payudara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benjolan pada payudara biasanya didefinisikan. sebagai massa yang teraba pada payudara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benjolan pada payudara biasanya didefinisikan sebagai massa yang teraba pada payudara. Penyakit pada payudara biasanya ditunjukkan dengan adanya massa pada payudara.

Lebih terperinci

dan menjadi dasar demi terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.

dan menjadi dasar demi terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama dan menjadi dasar demi terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani. Indonesia masih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO)

Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO) 1 Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO) Sakit : pola respon yang diberikan oleh organisme hidup thd

Lebih terperinci

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Distribusi Trauma Gigi Trauma gigi atau yang dikenal dengan Traumatic Dental Injury (TDI) adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras dan atau periodontal karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tumor secara umum merupakan sekumpulan penyakit. yang membuat sel di dalam tubuh membelah terlalu banyak

BAB I PENDAHULUAN. Tumor secara umum merupakan sekumpulan penyakit. yang membuat sel di dalam tubuh membelah terlalu banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumor secara umum merupakan sekumpulan penyakit yang membuat sel di dalam tubuh membelah terlalu banyak dari yang seharusnya dan seringkali akan membuat tonjolan massa.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA mulut. 7 Gingiva pada umumnya berwarna merah muda dan diproduksi oleh pembuluh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit periodontal adalah inflamasi yang dapat merusak jaringan melalui interaksi antara bakteri

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL JUDUL. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan usia. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan jenis kelamin

DAFTAR TABEL JUDUL. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan usia. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan jenis kelamin DAFTAR TABEL NO JUDUL HAL 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 3.15 3.16 Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan usia Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan jenis kelamin Distribusi

Lebih terperinci

KARTU PENCATATAN ASUHAN KEPERAWATAN GIGI DAN MULUT

KARTU PENCATATAN ASUHAN KEPERAWATAN GIGI DAN MULUT KARTU PENCATATAN ASUHAN KEPERAWATAN GIGI DAN MULUT A. PENGKAJIAN 1. Identitas Pasien Nama Lengkap : Nadia Jenis Kelamin : L / P Tempat tgl. Lahir : 29/12/1990 Agama :hindu... Pekerjaan : mahasisiwa Bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ovarium merupakan kelenjar kelamin (gonad) atau kelenjar seks wanita. Ovarium berbentuk seperti buah almond, berukuran panjang 2,5 sampai 5 cm, lebar 1,5 sampai 3 cm

Lebih terperinci

Yang paling sering : Itching (Pruritus) Ekimosis Dryness Lumps (Bengkak)

Yang paling sering : Itching (Pruritus) Ekimosis Dryness Lumps (Bengkak) Pengkajian Sistem Integumen I. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama Yang paling sering : Itching (Pruritus) Ekimosis Dryness Lumps (Bengkak) Lesions Massa b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu Beberapa penyakit

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

TINJAUAN PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 TINJAUAN PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

Metodologi Asuhan Keperawatan

Metodologi Asuhan Keperawatan Metodologi Asuhan Keperawatan A. Pendahuluan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maloklusi merupakan suatu keadaan kedudukan gigi geligi yang menyimpang dari oklusi normal.1 Masalah maloklusi ini mendapat perhatian yang besar dari praktisi dan dokter

Lebih terperinci

Pengelolaan Pasien Dengan Angular cheilitis

Pengelolaan Pasien Dengan Angular cheilitis Pengelolaan Pasien Dengan Angular cheilitis Dosen Pembimbing: drg. Anggani Hartiwi Disusun oleh : Didit Chandra Halim 208.121.0041 KEPANITERAAN KLINIK MADYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian dari hubungan gigi atau rahang yang menyimpang dari normal. 1 Maloklusi merupakan sebuah penyimpangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung relatif tinggi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik

BAB I PENDAHULUAN. aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh peningkatanan tekanan vena. Varises ini merupakan suatu manifestasi yang dari sindrom insufisiensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal juga dengan Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi yang tersebar

Lebih terperinci

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar.

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar. Kehadiran Candida sebagai anggota flora komensal mempersulit diskriminasi keadaan normal dari infeksi. Sangat penting bahwa kedua temuan klinis dan laboratorium Data (Tabel 3) yang seimbang untuk sampai

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual 3.1.1 Skema Kerangka Konseptual Pola Penggunaan Angiotensin Reseptor Bloker pada Pasien Stroke Iskemik Etiologi - Sumbatan pembuluh darah otak - Perdarahan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian analitik observasional menggunakan metode potong silang. Desain penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita Saat menemukan penderita ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menentukan tindakan selanjutnya, baik itu untuk mengatasi situasi maupun untuk mengatasi korbannya. Langkah langkah penilaian pada penderita

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi : : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi Pigmentasi : penggunaan dermoskopi telah membuka dimensi baru mengenai lesi pigmentasi. Dermoskopi merupakan metode non-invasif yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik dan emosi (Lubis, 2005). Stres fisik dan stres psikis dapat dialami oleh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik dan emosi (Lubis, 2005). Stres fisik dan stres psikis dapat dialami oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres adalah respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi secara terus menerus yang dapat mempengaruhi kondisi fisik dan emosi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar 2013, perokok aktif mulai dari usia 15 tahun ke

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB II ISI

BAB I PENDAHULUAN BAB II ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum kanker serviks diartikan sebagai suatu kondisi patologis, dimana terjadi pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol pada leher rahim yang dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar. pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. 2

BAB I PENDAHULUAN. muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar. pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Melasma adalah hipermelanosis yang didapat yang umumnya simetris berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 25 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah explanatory study atau disebut juga dengan penelitian deskriptif, menggunakan kuesioner yang diisi oleh Odapus dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perubahan dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan stress. Stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan yang erat kaitannya dengan pola hidup. Akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningioma adalah tumor jinak pada CNS yang. berasal dari selubung meninges pada otak dan korda

BAB I PENDAHULUAN. Meningioma adalah tumor jinak pada CNS yang. berasal dari selubung meninges pada otak dan korda BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Meningioma adalah tumor jinak pada CNS yang berasal dari selubung meninges pada otak dan korda spinalis. Walaupun sel asalnya masih belum dapat dipastikan, kemungkinan

Lebih terperinci

PROFIL LULUSAN DOKTER GIGI DI INDONESIA

PROFIL LULUSAN DOKTER GIGI DI INDONESIA PROFIL LULUSAN DOKTER GIGI DI INDONESIA Lulusan dokter gigi yang diharapkan sesuai dengan standar pendidikan dan kompetensi sebagai berikut: DOMAIN I : PROFESIONALISME Melakukan praktik di bidang kedokteran

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Does Dimenhydrinate Suppress Skin Prick Test (SPT) Response? A. Preliminary Study of Histamine Skin Test

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Does Dimenhydrinate Suppress Skin Prick Test (SPT) Response? A. Preliminary Study of Histamine Skin Test : : Does Dimenhydrinate Suppress Skin Prick Test (SPT) Response? A Preliminary Study of Histamine Skin Test : anti histamine oral akan menekan respon kulit pada uji tusuk kulit (UTK). Dimenhidrinat, yang

Lebih terperinci

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Apakah kanker rahim itu? Kanker ini dimulai di rahim, organ-organ kembar yang memproduksi telur wanita dan sumber utama dari hormon estrogen dan progesteron

Lebih terperinci