ANALISIS EFEKTIVITAS PENGENDALIAN GULMA SECARA MEKANIS, KIMIA DAN KOMBINASI PADA KEBUN TEBU RAKYAT DI CIMAHPAR, BOGOR SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS EFEKTIVITAS PENGENDALIAN GULMA SECARA MEKANIS, KIMIA DAN KOMBINASI PADA KEBUN TEBU RAKYAT DI CIMAHPAR, BOGOR SKRIPSI"

Transkripsi

1 ANALISIS EFEKTIVITAS PENGENDALIAN GULMA SECARA MEKANIS, KIMIA DAN KOMBINASI PADA KEBUN TEBU RAKYAT DI CIMAHPAR, BOGOR SKRIPSI ABDUL MANAN F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 THE ANALYSIS EFFECTIVENESS OF WEED CONTROL BY MECHANICAL, CHEMICAL AND COMBINATION METHODS ON SUGARCANE PLANTATION SMALLHOLDER IN CIMAHPAR, BOGOR Abdul Manan 1 and Tineke Mandang 2 Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. abdulmanan_17@yahoo.com ABSTRACT This research aims to study any weed control methods on sugarcane plantation, was conducted on sugarcane plantation in Cimahpar, North Bogor Bogor from May to August The experimental used ten levels of weed control treatments and two replications. The treatments were Ko = without weed control, M = mechanical, MM = mechanical mechanical, MMM = mechanical mechanical - mechanical MK = mechanical chemical, MMK = mechanical mechanical chemical, MKM = mechanical chemical mechanical, K = chemical, KM = chemical mechanical and KMM = chemical mechanical mechanical. Controlling method chemically used two varies herbicide, gliphosate and paraquat, while controlling method mechanically was conducted by using walking type cultivator. Glyphosate herbicide has been used on sugarcane area dominated by Imperata cylindrica and paraquat herbicide has been used on sugarcane area dominated by grass or Paspalum conjugatum. The result showed that the treatment of MMK could suppress the growth of weeds, especially Imperata cylindrica is the best in the percentage of weeds by 0.75% and cm high weeds on domination Imperata cylindrica areas. MKM treatment showed suppression of growth of weeds, especially Paspalum conjugatum of the best weed in the percentage of weeds 9% and 4.39 cm high weeds on sugarcane Paspalum conjugatum areas. Paraquat herbicide usage caused poisoning symptoms in sugarcane with exist of color change on sugarcane stem, further symptoms was not causing death. Keywords: weed control, mechanical, chemical, combination, sugarcane 1 Student of Mechanical and Biosystem Engineering Department, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University 2 Lecture of Mechanical and Biosystem Engineering Department, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University

3 ABDUL MANAN. F Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor. Di bawah bimbingan Tineke Mandang RINGKASAN Gula memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia, adanya industri gula dapat menciptakan sumber pendapatan bagi petani yang tinggal di sekitar pabrik gula. Masalah utama mengenai gula saat ini adalah produksi gula dalam negeri yang belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan gula dalam negeri. Menurut Ditjenbun (2009) kebutuhan gula nasional tahun 2010 diperkirakan mencapai 4.8 juta ton sedangkan produksi gula dalam negeri sebesar 2.8 juta ton. Diketahui bahwa produsen gula dalam negeri terdiri dari Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta. Persentase poduksi gula terbesar berasal dari perkebunan rakyat (Ditjenbun, 2009) dan hasil ini pun selalu didukung oleh pemerintah dengan beberapa kebijakan seperti Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Diakui bahwa untuk memproduksi gula, diperlukan biaya yang besar, usaha yang keras untuk mengefisiensikan kerja pabrik dan sistem pengelolaan kebun yang baik. Salah satu kendala dalam pengelolaan kebun adalah adanya gangguan pada masa budidaya, diantaranya gangguan oleh gulma. Berbagai spesies gulma tumbuh dan mengganggu sejak tebu ditanam atau dikepras, sampai tebu hendak ditebang. Gangguan lainnya adalah gulma akan bersaing dalam hal mendapatkan air, unsur hara, sinar matahari dan ruang gerak pertumbuhan tebu. Pertumbuhan gulma yang lebat dan yang menutupi tajuk tebu seringkali menjadi penyebab rendahnya bobot hasil tebu. Keberadaan gulma pada tanaman tebu dapat menurunkan produksi sebesar % (Kuntohartono, 1998). Berdasarkan pengalaman populasi gulma hanya dapat diturunkan secara efektif dengan lebih dari satu cara pengendalian. Oleh karena itu, pengendalian gulma harus dilakukan secara terpadu dengan mengkombinasikan berbagai metoda yang ada, seperti dengan cara biologis, kimia, mekanis atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai metoda pengendalian gulma di kebun tebu yaitu secara kimia, mekanis dan kombinasi dengan melihat pertumbuhan kembali gulma, kapasitas lapang, perubahan dominansi gulma dan respon gulma terhadap alat dan mesin pengendalian. Metode pengendalian yang dipergunakan adalah kimia, mekanis dan kombinasi antara keduanya, penggunaan dua macam alat dan mesin yaitu walking type cultivator Yanmar Te 550 n dan sprayer otomatis SWAN tipe A-14/I. Beberapa perlakuan diaplikasikan di dua areal tebu dengan jenis gulma dominan yang berbeda, perlakuan tersebut diantaranya adalah M, MM, MMM, MK, MKM, MMK, K, KM, KMM dan kontrol (tanpa pengendalian). M merupakan aplikasi mekanis dengan menggunakan walking type cultivator dan K merupakan aplikasi kimia dengan menggunakan sprayer otomatis. Aplikasi kimia menggunakan dua buah jenis bahan aktif yang berbeda yaitu glyphosate dan paraquat. Herbisida berbahan aktif glyphosate digunakan untuk mengendalikan gulma pada areal tebu yang didominasi oleh alang-alang dan herbisida berbahan aktif paraquat digunakan untuk mengendalikan gulma pada areal tebu yang didominasi oleh rerumputan. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Jarak antar aplikasi dan waktu pengamatan adalah dua minggu selama 12 minggu. Hasil penelitian memperlihatkan MMK merupakan perlakuan yang terbaik dalam menekan pertumbuhan gulma di areal yang didominasi oleh alang-alang sedangkan di areal yang didominasi oleh rerumputan perlakuan terbaik adalah MKM. Hal ini ditunjukkan oleh kecilnya persentase penutupan gulma dan tinggi gulma pada saat 12 minggu setelah aplikasi (MSA). Perlakuan tiga kombinasi lainnya yaitu MKM dan KMM dapat menghentikan pertumbuhan alang-alang kembali yang ditunjukkan oleh SDR alang-alang yang bernilai 0% pada saat 12 MSA. Aplikasi mekanis ketiga pada perlakuan KMM di areal dominan alang-alang menunjukkan efisiensi kerja tertinggi, sedangkan di areal dominan rerumputan efisiensi kerja tertinggi dihasilkan oleh aplikasi mekanis pada perlakuan KM. Pengendalian gulma tebu secara mekanis dengan walking type cultivator Yanmar Te 550 n akan lebih efektif apabila areal tidak banyak ditumbuhi gulma, hal ini ditunjukkan oleh aplikasi mekanis ketiga pada perlakuan MMM yang menghasilkan kapasitas lapang efektif (KLE) tertinggi baik di areal dominan alang-alang maupun rerumputan. Penurunan persentase penutupan dan tinggi gulma lebih respon terhadap aplikasi mekanis dibandingkan dengan aplikasi kimia.

4 ANALISIS EFEKTIVITAS PENGENDALIAN GULMA SECARA MEKANIS, KIMIA DAN KOMBINASI PADA KEBUN TEBU RAKYAT DI CIMAHPAR, BOGOR SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh: ABDUL MANAN F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5 Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor : Abdul Manan : F Menyetujui, Pembimbing Akademik, (Prof.Dr.Ir.Tineke Mandang L, MS) NIP Mengetahui : Ketua Departemen, (Dr.Ir.Desrial, M.Eng) NIP Tanggal lulus : ii

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2011 Yang membuat pernyataan Abdul Manan F iii

7 Hak cipta milik Abdul Manan, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya. iv

8 BIODATA PENULIS Abdul Manan. Lahir di Kuningan pada tanggal 17 Oktober 1987, putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Wahid dan Ibu Cartinah. Penulis adalah tamatan SDN Kananga I pada tahun Penulis meneruskan pendidikannya di SLTPN 1 Cimahi dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan kembali jenjang pendidikannya ke SMA Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2006 serta pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi kemahasiswaan, antara lain: Badan Eksekutif Mahasiswa TPB IPB pada tahun 2006 sebagai staff Departemen Pengembangan Minat dan Bakat, Tahun 2007 hingga 2009 penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah Kuningan (HIMARIKA), pada tahun 2007 sebagai Kepala Departemen Infokom, tahun 2008 sebagai Kepala Departemen PSDM dan tahun 2009 menjadi Koordinator Badan Pengawas. Selain kegiatan organisasi, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum antara lain asisten praktikum mata kuliah Teknik Mesin Budidaya Pertanian, mata kuliah Motor dan Tenaga Pertanian serta mata kuliah Alat dan Mesin Perkebunan. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2009 di PT. Great Giant Pineapple, Lampung dengan judul Aspek Keteknikan Pertanian Pada Proses Budidaya Nanas di PT. Great Giant Pineapple, Terbanggi Besar Lampung. Untuk menyelesaikan program sarjana, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor. v

9 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Rob sekalian alam. Atas segala limpahan nikmat dan kasih sayang-nya yang tak terbatas sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi Pada Kebun Tebu di Cimahpar, Bogor dengan baik dan Insya Allah bermanfaat. Skripsi ini disusun untuk melengkapi syarat-syarat mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, MS yang telah sabar dan tekun memberikan bimbingan, saran, motivasi dan nasihat kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, MS dan Dr. Ir. M. Faiz Syuaib, M.Agr selaku dosen penguji skripsi atas saran dalam penyempurnaan laporan penelitian ini dan nasihat yang berharga bagi penulis. 3. Ayah dan Ibu tercinta atas usahanya yang tak terhenti untuk anaknya. 4. Mak Hj. Oom dan Pak Dwi yang telah menyediakan banyak fasilitas selama penelitian di Cimahpar. 5. Riva NF, Indra FB, Septian DS, dan L. Hanief R yang telah meluangkan waktu dan tenaganya selama pengambilan data di lapangan. 6. Pak Wana dan Pak Jul selaku teknisi Lab. TMBP yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian ini. 7. Teman-teman kontrakan Al-Hikmah (Fery, Reza, Ayip, Roni, Mojo, Bryan, Rauf dan Bayu) yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta do anya. 8. Teman-teman Teknik Pertanian 43 yang telah banyak membantu dan memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Dan hanya kepada Allah SWT kita serahkan segala urusan. Bogor, Juli 2011 Abdul Manan vi

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Gulma di Kebun Tebu... 4 B. Teknik Pengendalian Gulma Pengendalian Gulma Secara Kimia Pengendalian Gulma Secara Mekanis... 9 C. Alat dan Mesin Pengendalian Secara Kimia Fungsi Sprayer Klasifikasi Sprayer Komponen Utama Sprayer D. Alat dan Mesin Pengendalian Secara Mekanis III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Alat dan Bahan C. Metode Penelitian D. Tahapan Penelitian AnalisisVegetasi Gulma Pemetaan Plot Perlakuan Aplikasi Perlakuan Pengamatan dan Pengukuran Pengolahan Data IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum B. Analisis Vegetasi Gulma C. Pengaruh Pengendalian Tunggal Secara Kimia D. Pengaruh Pengendalian Secara Mekanis Perlakuan Tunggal Perlakuan Ganda Perlakuan Triple E. Pengaruh Pengendalian Secara Kombinasi Perlakuan Dua Kombinasi Perlakuan Tiga Kombinasi F. Pengaruh Pengendalian dengan Mesin Potong Rumput G. Pengaruh Perlakuan Terhadap Selisih Penutupan Gulma dan Tinggi Gulma V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN vii

11 B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Rekapitulasi luas panen dan produksi tebu menurut pengusahaan... 1 Tabel 2. Rekapitulasi Perkebunan Tebu Rakyat Provinsi Jawa Barat tahun Tabel 3. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan sawah... 5 Tabel 4. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan tegalan... 5 Tabel 5. Jenis dan dosis herbisida... 8 Tabel 6. Jenis dan konsentrasi herbisida untuk post emergence... 8 Tabel 7. Jenis herbisida dan gulma sasarannya... 9 Tabel 6. Perlakuan tunggal dan dua kombinasi Tabel 7. Perlakuan tiga kombinasi Tabel 8. Pemetaan plot pada masing-masing perlakuan Tabel 9. Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan pada masing-masing areal percobaan Tabel 10. Keadaan gulma sebelum perlakuan pada areal dominan rerumputan Tabel 11. Keadaan gulma sebelum perlakuan pada areal dominan alang-alang Tabel 12. Selisih persentase penutupan gulma di areal dominan alang-alang (%) Tabel 13. Selisih tinggi gulma di areal dominan alang-alang (cm) Tabel 14. Selisih persentase penutupan gulma di areal dominan rerumputan (%)...43 Tabel 15. Selisih tinggi gulma di areal dominan rerumputan (cm)...43 ix

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Penyemprot tipe gendong Gambar 2. Jenis torak pada pompa angin Gambar 3. Bentuk-bentuk nosel pada hand sprayer Gambar 4. Beberapa jenis alat penyiang mekanis Gambar 5. Cultivator 8 larikan Gambar 6. (a) hand sprayer otomatis, (b) walking type cultivator Gambar 7. Kwadran sampel Gambar 8. Tahapan penelitian Gambar 9. Layout areal tebu untuk percobaan Gambar 10. Ilustrasi pengukuran dalam kwadran sampel Gambar 11. Kondisi lahan sebelum aplikasi Gambar 12. Gulma dominan sebelum perlakuan Gambar 13. Pengaruh perlakuan tunggal kimia tunggal glyphosate terhadap penutupan gulma Gambar 14. Kondisi plot dan alang-alang pada perlakuan K glyphosate Gambar 15. Pengaruh perlakuan K paraquat terhadap penutupan gulma Gambar 16. Pengaruh perlakuan K paraquat terhadap SDR jenis gulma Gambar 17. Perubahan warna pada tebu setelah aplikasi K paraquat Gambar 18. Pengaruh perlakuan tunggal mekanis terhadap penutupan gulma Gambar 19. Pengaruh perlakuan ganda mekanis terhadap penutupan gulma Gambar 20. Pengaruh perlakuan triple mekanis terhadap penutupan gulma Gambar 21. Kerusakan daun tebu karena aplikasi mekanis Gambar 22. Gulma dan tanah lembab pada pisau rotary cultivator Gambar 23. Pengoperasian walking type cultivator Gambar 24. Pengaruh perlakuan dua kombinasi MK terhadap penutupan gulma Gambar 25. Pengaruh perlakuan dua kombinasi KM terhadap penutupan gulma Gambar 26. Perbandingan pengaruh perlakuan antar tiga kombinasi terhadap penutupan gulma di areal dominan alang-alang...40 Gambar 27. Perbandingan pengaruh perlakuan antar tiga kombinasi terhadap penutupan gulma di areal dominan rerumputan Gambar 28. Pengaruh mesin potong rumput terhadap SDR jenis gulma x

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Spesifikasi walking type cultivator Lampiran 2. Spesifikasi hand sprayer otomatis Lampiran 3. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan M Lampiran 4 Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MM Lampiran 5. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MMM Lampiran 6. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MK Lampiran 7. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MKM Lampiran 8. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MMK Lampiran 9. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan K Lampiran 10. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan KM Lampiran 11. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan KMM Lampiran 12. Data penutupan dan tinggi gulma kontrol (tanpa pengendalian) Lampiran 13. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan mesin potong rumput Lampiran 14. Data efisiensi pengendalian Lampiran 15. Data analisis vegetasi gulma sebelum perlakuan Lampiran 16. Data analisis vegetasi gulma setelah perlakuan Lampiran 17. Summed Dominance Ratio (SDR) dalam % pada setiap perlakuan di areal dominan alang- alang Lampiran 18. Summed Dominance Ratio (SDR) dalam % pada setiap perlakuan di areal dominan rerumputan Lampiran 19. Data kapasitas kerja penyemprotan (K) Lampiran 20. Kecepatan maju walking type cultivator pada areal dominan alang-alang Lampiran 21. Kecepatan maju walking type cultivator pada areal dominan rerumputan Lampiran 22. Kapasitas lapangan aplikasi mekanis di areal dominan alang-alang Lampiran 23. Kapasitas lapangan aplikasi mekanis di areal dominan rerumputan xi

15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri gula merupakan salah satu sumber pendapatan bagi petani yang tinggal di sekitar pabrik gula dan beberapa tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan gula. Selain itu, komoditas gula juga dapat mempengaruhi devisa negara karena adanya sistem ekspor-impor. Menurut Dirjen Perkebunan mengenai statistik perkebunan tebu yang dipublikasikan tahun 2010, pada kurun waktu rata-rata nilai impor gula hablur Indonesia mencapai 1.47 juta ton per tahun, sedangkan rata-rata nilai ekspor turunan produk gula lainnya sebesar 1,894 ton per tahun. Tingginya nilai impor dikarenakan laju pertumbuhan gula dalam negeri tidak diimbangi oleh laju pertumbuhan penduduk dan industri makanan-minuman. Kebutuhan gula nasional untuk tahun 2010 diperkirakan mencapai 4.8 juta ton sedangkan produksi gula dalam negeri diasumsikan mencapai 2.8 juta ton (Ditjenbun 2009). Hasil produksi ini merupakan gabungan dari tiga pengusahaan perkebunan tebu nasional yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Diakui bahwa sebenarnya luas panen dan produksi tebu setiap tahun semakin meningkat, namun cukup memprihatinkan jika mengingat sejarah pergulaan nasional yang mengalami kejayaan pada tahun 1930-an yang mencapai produktivitas gula ton/ha, sedangkan pada tahun 2008 produktivitas hanya mencapai 6.11 ton/ha. Sumbangsih terbesar untuk pergulaan nasional berasal dari perkebunan rakyat yang mencapai sekitar 53% (tabel 1). Besarnya persentase ini tidak terlepas dari program pemerintah yang menerapkan perubahan sistem penanaman tebu dari penyewaaan lahan petani oleh pabrik gula, menjadi pengusaha tanaman tebu yang dilakukan oleh petani di lahannya sendiri. Program ini dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang sesuai dengan Inpres No.9 Tahun Penyuluhan dan pengawasan pelaksanannya perlu ditingkatkan lagi, karena selain dapat memantapkan produksi gula juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Tabel 1. Rekapitulasi luas panen dan produksi tebu menurut pengusahaan Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah * ** (Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009) *) : angka sementara **) : angka estimasi Adanya TRI yang dijalankan dengan baik dapat menumbuhkembangkan kesadaran petani untuk menanam tebu dilahannya sendiri. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi produsen gula yang terus meningkatkan perkebunan rakyatnya. Berdasarkan Dirjen Perkebunan, pada tahun 2006

16 jumlah petani tebu rakyat di Jawa Barat sebanyak 7,152 kepala keluarga, sedangkan tahun 2010 estimasi jumlah petani tebu rakyat sebanyak 15,437 kepala keluarga (tabel 2). Meningkatnya jumlah petani tebu di Jawa Barat ternyata tidak diikuti oleh produksi rata-rata, sejak tahun 2008 mengalami penurunan hingga tahun Beberapa indikasi disebabkan oleh faktor-faktor di lapangan seperti pada saat musim tanam (masalah bibit, biaya garap, dan pengorganisasian petani dalam produksi), pada saat panen (giliran tebang, pengangkutan, penetapan rendemen dan pemasaran gula bagian petani (IAGI 1975). Permasalahan lainnya ketika dalam proses budidaya tebu, para petani tebu tidak/ belum mendapatkan bimbingan teknis mengenai tebu baik prapanen maupun pascapanen (IAGI 1975). Tabel 2. Rekapitulasi Perkebunan Tebu Rakyat Provinsi Jawa Barat tahun 2008 Kabupaten Luas areal (ha) Produksi Rerata produksi Jumlah petani Tanam Panen (ton) (kg/ha) (KK) Subang Cirebon Kuningan Majalengka Sumedang Garut Indramayu Jumlah Tahun Jumlah Tahun Jumlah Tahun Jumlah Tahun 2009* Jumlah Tahun 2010** (Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009) *) : angka sementara **) : angka estimasi Pada tahun 2010 tebu rakyat sudah mulai diberlakukan di kabupaten Bogor, hal ini tergolong baru karena berdasarkan Tabel 2 tahun sebelumnya belum ada perkebunan tebu rakyat. Berkembangnya perkebunan tebu di provinsi Jawa Barat ini diharapkan dapat mampu memenuhi kebutuhan gula domestik, sehingga Indonesia dapat mengurangi impor gula. Diakui bahwa untuk memproduksi gula, diperlukan biaya yang besar, usaha yang keras untuk mengefisiensikan kerja pabrik dan sistem pengelolaan kebun yang baik. Salah satu kendala dalam pengelolaan kebun adalah adanya gangguan pada masa pertanaman, diantaranya gangguan oleh gulma yang makin sulit dikendalikan. Kelebatan tumbuhan gulma dan adanya beberapa spesies gulma baru menimbulkan masalah dalam pengendaliannya. Berbagai spesies gulma tumbuh dan mengganggu sejak tebu ditanam atau dikepras, sampai tebu hendak ditebang. Gangguan lainnya adalah gulma akan bersaing dalam hal mendapatkan air, unsur hara, sinar matahari dan ruang gerak pertumbuhan tebu. Pertumbuhan gulma yang lebat dan yang menutupi tajuk tebu seringkali menjadi penyebab rendahnya bobot hasil tebu. Keberadaan gulma pada tanaman tebu dapat menurunkan produksi sebesar % (Kuntohartono, 1998). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa gulma yang dibiarkan tumbuh dan tidak disiangi pada tanaman tebu dapat menurunkan hasil panen bobot tebu berkisar antara % (Marjayanti et al. 1991) dan 25% (Moenandir 1990). Untuk keluar dari masalah hasil pertanaman tebu ini, kiranya perlu dipikirkan cara yang diharapkan cukup jitu untuk 2

17 mengatasinya; antara lain penerapan metoda pengendalian yang mampu menghentikan pertumbuhan jenis gulma. Konsep pengendalian sejauh mungkin harus diserahkan pada tebunya sendiri untuk mampu melawan dan bersaing dengan gulma, sedangkan usaha untuk pengendalian gulma secara langsung dilakukan terutama pada saat tebu belum mampu mengatasinya sendiri. Prinsip utama dalam pengendalian gulma adalah melakukan upaya untuk mengurangi populasi gulma sebelum gulma itu merugikan pertanaman tebu, dan dilakukan dengan berbagai cara. Berdasarkan pengalaman populasi gulma hanya dapat diturunkan secara efektif dengan lebih dari satu cara pengendalian. Oleh karena itu, pengendalian gulma harus dilakukan secara terpadu dengan mengkombinasikan berbagai metoda yang ada, seperti dengan cara biologis, kimia, mekanis atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Pengendalian gulma secara kimia adalah pengendalian gulma dengan menggunakan bahan kimia yang dapat menekan pertumbuhan gulma, bahan kimianya disebut pestisida dan pestisida untuk mengendalikan gulma disebut herbisida. Aplikasi pestisida dapat dilakukan dengan cara penyemprotan (spraying), pengasapan (fogging), penghembusan (dusting), pencelupan (dipping), fumigasi, injeksi, penyiraman, penaburan dan pestisida butiran (Djojosumarto 2008). Penyemprotan merupakan cara yang paling umum dilakukan oleh para pelaku pertanian. Pada penyemprotan ini, cairan atau larutan dipecah menjadi butiran-butiran halus sehingga dapat disebarkan secara merata pada daerah permukaan ataupun ruang yang dilindungi. Pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Teknik pengendalian ini hanya mengandalkan kekuatan fisik atau mekanik alat yang digunakan. Aplikasi dalam teknik pengendalian gulma secara makanis dapat dilakukan melalui pengolahan tanah (land preparation), penggenangan, pencabutan (hand pulling), pembabatan (mowing), pembakaran (burning) (Sukman 2002). Alat-alat sederhana yang digunakan dalam teknik pengendalian gulma ini meliputi sabit, garpu, cangkul, kored, celandak, garu dengan hewan penggerak dan lain-lain, sedangkan alat-alat berat yang lebih modern seperti traktor dengan instrumen-instrumen penting yang dapat diubah-ubah sesuai dengan keperluan dan kondisi lapangan. Banyaknya jenis metoda pengendalian gulma di atas maka perlu ditelaah lebih lanjut ketika akan mengaplikasikannya, hal ini untuk menentukan metoda pengendalian gulma yang paling sesuai dengan keadaan tanaman yang dibudidayakan dan lingkungan sekitar. Areal yang sudah lama tidak digunakan untuk budidaya tanaman membuat keadaan areal dipenuhi oleh berbagai vegetasi gulma. Pengolahan tanah yang telah dilakukan untuk membuka lahan siap tanam sekaligus membenamkan gulma ke dalam tanah, ternyata belum mampu menghentikan pertumbuhan kembali gulma pada areal tersebut. Gulma sudah mulai tumbuh kembali pada masa kritis pertumbuhan tebu, bahkan ketinggian gulma lebih tinggi daripada tinggi tanaman tebu. Menurut Kuntohartono, 1987, masa kritis pertumbuhan tebu merupakan masa tebu untuk bertunas dan fase anakan sehingga harus terhindar dari persaingan dengan gulma. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dicari metoda pengendalian yang mampu menekan pertumbuhan kembali gulma selama mungkin atau minimalnya selama masa kritis pertumbuhan tebu. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji berbagai metoda pengendalian gulma yaitu secara kimia, mekanis dan kombinasi dalam kaitannya dengan efektivitas pengendalian gulma di kebun tebu. 3

18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gulma di Kebun Tebu Pengertian gulma selalu dikaitkan dengan perencanaan penggunaan sesuatu lahan, contohnya pada kondisi tertentu alang-alang masih berguna bagi manusia karena dapat mengurangi erosi dan meningkatkan bahan organik dalam tanah. Namun, bila lahan tersebut akan dipergunakan untuk budidaya tanaman pokok maka berubahlah statusnya menjadi gulma. Menurut Moenandir (1988) gulma selalu berada dimana ada tanaman tumbuh karena gulma selalu berasosiasi dengan tanaman tertentu. Dengan sendirinya gulma juga ada di sekitar tanaman dan saling berinteraksi. Salah satu bentuk interaksi adalah persaingan atau kompetisi. Persaingan gulma dalam memperebutkan unsur hara, air, cahaya matahari dan ruang akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pokok (Tjitrosoedirdjo et al 1984). Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diinginkan tumbuh pada tempat-tempat dimana tanaman pokok dibudidayakan oleh manusia (Humbert, 1968). Secara anthroposentris, gulma dapat didefinisikan sebagai semua jenis vegetasi atau tumbuhan yang menimbulkan gangguan pada lokasi tertentu terhadap tujuan yang diinginkan manusia dan sejenis tumbuhan yang individu-individunya sering kali tumbuh pada tempat-tempat dimana mereka menimbulkan kerugian pada manusia. Secara ekologis, gulma juga dapat didefinisikan sebagai tumbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktifitas manusia (Sastroutomo 1990). Gulma dapat berkembangbiak dengan menggunakan rhizome dan biji. Gulma yang berkembangbiak dengan biji sering sulit untuk dikontrol atau dikendalikan ketika gulma mencapai fase perkecambahan di sekeliling areal tanaman. Gulma yang berkembangbiak dengan akar sangat sulit dikontrol secara mekanis. Sering dijumpai beberapa akar gulma tetap berada pada kondisi yang sesuai untuk melanjutkan pertumbuhannya (Humbert 1968). Menurut Kuntohartono (1987), gulma merupakan kendala utama di areal perkebunan tebu terutama karena terjadi peningkatan kelebatan pertumbuhan gulma yang cepat dan lebat dengan berbagai macam spesies yang mendominasi. Padahal pada masa-masa tertentu tebu harus terhindar dari persiangan gulma, salah satunya adalah ketika tebu pada masa bertunas dan memulai fase anakan. Masa tersebut merupakan masa kritis pertumbuhan tebu dan selepas masa kritis tersebut tebu mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat umur tanaman tebu 8-12 minggu. Kehadiran gulma akan mempersulit pemeliharaan dan pemanenan serta menurunkan kualitas penebangan tebu, baik yang dilakukan secara manual, maupun mekanik. Peng (1984) menyatakan bahwa penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma pada pertanaman tebu bisa mencapai 6.6% 11.7% pada berbagai jenis tanah yang beragam. Pengaruh buruk yang diberikan oleh gulma dapat dilihat pada berkurangnya jumlah anakan tebu, batang tebu menjadi kecil, ruas pendek-pendek dan berwarna pucat. Menurut Setyamidjaja dan Azharni (1992), macam spesies gulma di kebun tebu sangat ditentukan oleh cara mengolah tanah dan macam tanaman budidayanya. Pengolahan tanah menyeluruh dengan membajak akan mengurangi kepadatan berbagai spesies gulma dari keluarga poaceae, tetapi dapat menambah pertumbuhan teki dan berbagai spesies gulma berdaun lebar. Pada lahan tegalan, macam spesies gulma pada pertanaman baru agak berbeda dengan keprasannya, karena waktu pertumbuhan tanaman baru jatuh pada awal musim hujan, sedangkan waktu pertumbuhan 4

19 keprasan adalah musim kemarau. Beberapa spesies gulma yang ada di kebun tebu dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4. Tabel 3. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan sawah Gulma Diolah secara Reynoso di kebun bibit di kebun produksi Diolah secara mekanis Cynodon dactylon Cynodon dactylon Echinochloa colonum Berdaun sempit Polytrias amaura Echinochloa colonum Leptochloa chinensis Panicum reptans Amaranthus spinosa Berdaun lebar Ipomoea triloba Euphorbia sp Portulaca oleraceae Teki-tekian Cyperus rotundus Cyperus rotundus Cyperus rotundus (Sumber: Setyamidjaja 1992) Tabel 4. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan tegalan Gulma Di pulau Jawa Di luar pulau Jawa Echinochloa colonum Echinochloa colonum Dactyloctenium aegyptium Dactyloctenium aegyptium Berdaun sempit Rottboelia exaltata Imperata cylindrica Digitaria sp Rottboelia exaltata Eleusine indica Amaranthus spinosus Amaranthus spinosus Berdaun lebar Commelina benghalenisis Mimosa invisa Centrosema pubescens Mikania cordata Ageratum conyzoides Boreria alata Teki-tekian Cyperus rotundus Cyperus rotundus (Sumber: Setyamidjaja 1992) B. Teknik Pengendalian Gulma Menurut Sukman (2002), pengertian pengendalian gulma (control) harus dibedakan dengan pemberantasan gulma (eradication). Pengendalian gulma (weed control) dapat didefinisikan sebagai proses membatasi gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien. Dalam pengendalian gulma tidak ada keharusan untuk membunuh seluruh gulma, melainkan cukup menekan pertumbuhan dan atau mengurangi populasinya sampai pada tingkat dimana penurunan produksi yang terjadi tidak berarti atau keuntungan yang diperoleh dari penekanan 5

20 gulma sedapat mungkin seimbang dengan usaha ataupun biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain pengendalian bertujuan hanya menekan populasi gulma sampai tingkat populasi yang tidak merugikan secara ekonomik atau tidak melampaui ambang ekonomik, sehingga sama sekali tidak bertujuan menekan populasi gulma sampai nol. Pemberantasan merupakan usaha mematikan seluruh gulma yang ada baik yang sedang tumbuh maupun alat-alat reproduksinya, sehingga populasi gulma sedapat mungkin ditekan sampai nol. Cara ini akan lebih baik dilakukan pada areal yang sempit dan tidak miring, sebab pada areal yang luas cara ini merupakan sesuatu yang mahal dan pada tanah miring kemungkinan besar menimbulkan erosi. Eradikasi pada umumnya hanya dilakukan terhadap gulma-gulma yang sangat merugikan dan pada tempat-tempat tertentu (Sukman 2002). Menurut Sukman (2002), terdapat beberapa metode/cara pengendalian gulma yang dapat dipraktikkan di lapangan, metode-metode tersebut diantaranya adalah: 1. Pengendalian dengan upaya preventif (pembuatan peraturan/ perundangan, karantina, sanitasi dan peniadaan sumber invasi). 2. Pengendalian secara mekanis/fisik (pengerjaan tanah, penyiangan, pencabutan, pembabatan, penggenangan dan pembakaran). 3. Pengendalian secara kultur-teknis (penggunaan jenis unggul terhadap gulma, pemilihan saat tanam, cara tanam-perapatan jarak tanam/heavy seeding, tanaman sela, rotasi tanaman dan penggunaan mulsa). 4. Pengendalian secara hayati (pengadaan musuh alami, manipulasi musuh alami dan pengelolaan musuh alami yang ada di suatu daerah). 5. Pengendalian secara kimiawi (herbisida dengan berbagai formulasi, surfaktan, alat aplikasi dsb). 6. Pengendalian dengan upaya memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti sayur, bumbu, bahan obat, penyegar, bahan/karton, biogas, pupuk, bahan kerajinan dan makanan ternak. 1. Pengendalian Gulma Secara Kimia Pengendalian secara kimiawi adalah mengenakan bahan-bahan kimia baik berupa cairan maupun padatan kepada bagian-bagian tanaman, bahan-bahan kimia atau obat-obatan tersebut disemprotkan dengan merang sebagai alat tradisional atau dengan alat penyemprot (sprayer) dan alat pedebu (duster) (Hermawan dkk 2010). Menurut Sukman (2002) bahan kimia atau obat-obatan yang dipergunakan sebagai pengendali gulma dikenal dengan nama herbisida. Sehingga menurutnya herbisida berarti suatu senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan gulma tanpa mengganggu tanaman pokok. Adapun keuntungan yang diberikan oleh herbisida adalah sebagai berikut (Sukman 2002): 1. Dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu 2. Dapat mengendalikan gulma di larikan tanaman 3. Dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman 4. Lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar 5. Dalam dosis rendah dapat sebagai hormon tumbuh 6. Dapat menaikkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan perlakuan penyiangan biasa. Disamping herbisida dapat memberikan kelebihan dan keuntungan, herbisida juga mempunyai kekurangan-kekurangan yang dapat merugikan. Kerugian itu antara lain adalah herbisida dapat menimbulkan: a) efek samping, b) spesies gulma yang resisten, c) polusi, dan d) residu dapat meracuni tanaman, pada pola pergiliran tanaman. 6

21 Pemilihan dan penggunaan jenis herbisida harus tepat dan sesuai dengan gulma yang ingin dikendalikan termasuk dengan tanaman yang di budidayakan. Oleh karenanya, menurut Sukman (2002) herbisida digolongkan menjadi beberapa macam. Penggolongan ini juga bertujuan untuk mempermudah pengenalan jenis herbisida yang sangat banyak jenisnya. Secara umum Sukman (2002) mengklasifikasikan herbisida menjadi empat, yaitu herbisida berdasarkan waktu aplikasi, herbisida berdasarkan aplikasi, herbisida berdasarkan molekul dan herbisida berdasarkan cara kerja. a. Herbisida Berdasarkan Waktu Aplikasi Waktu aplikasi herbisida ditentukan oleh stadia pertumbuhan dari tanaman maupun gulma. Berdasarkan hal tersebut, maka Sukman (2002) membagi waktu aplikasi herbisida menjadi: 1. Pre plant, maksudnya herbisida diaplikasikan pada saat tanaman (crop) belum ditanam, tetapi tanah sudah diolah 2. Pre emergence, maksudnya herbisida diaplikasikan sebelum benih tanaman (crop) atau biji gulma berkecambah. Pada perlakuan ini benih dari tanaman (crop) sudah ditanam dan gulma belum tumbuh 3. Post emergence, maksudnya herbisida diaplikasikan pada saat gulma dan tanaman sudah lewat stadia perkecambahan. Aplikasi herbisida bisa dilakukan pada waktu tanaman masih muda maupun pada waktu tanaman sudah tua. b. Herbisida Berdasarkan Cara Aplikasi Herbisida yang berdasarkan cara aplikasi ini Sukman (2002) membaginya menjadi dua yaitu melalui daun dan melalui tanah. Herbisida yang diaplikasikan melalui daun dibagi dua yaitu bersifat kontak dan sistemik. Bersifat kontak berarti herbisida hanya mematikan bagian hijau tumbuhan yang terkena semprotan, sedangkan yang bersifat sistemik herbisida yang diberikan pada gulma setelah diserap oleh jaringan daun kemudian ditranslokasikan keseluruh bagian tumbuhan (gulma) tersebut. Herbisida yang diaplikasikan melalui tanah adalah herbisida yang bersifat sistemik. Herbisida ini disemprotkan ke tanah yang kemudian akan diserap oleh akar gulma dan ditranslokasikan bersama aliran transpirasi sampai ke side of action pada jaringan daun dan menghambat proses pada photosystem II pada fotosíntesis. Penggunaan herbisida dalam mengendalikan gulma di kebun tebu berbeda-beda, hal ini tergantung dari keadaan di lapangan. Beberapa diantaranya tergantung dari masa tanam tebu, jenis gulma dominan, jenis tebu yang dibudidayakan dan penutupan gulma. Ardhita (2009) menjelaskan bahwa pengendalian gulma secara kimia pada kebun tebu terdiri dari dua jenis, yaitu pengendalian sebelum gulma tumbuh (pre-emergence) dan pengendalian setelah gulma tumbuh (post-emergence). Pengendalian gulma sebelum tumbuh (pre-emergence) adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat biji gulma atau rimpang dan tebu belum berkecambah atau tumbuh, dilakukan 3 hari setelah tanam untuk Plant Cane (PC), dan 3 hari setelah tebang untuk Ratoon Cane (RC). Setyamidjaja 1992 menerangkan bahwa PC atau yang bisa disebut juga tanaman pertama merupakan budidaya tebu yang ditanam dari bibit tebu baru, sehingga sebelum proses penanaman membutuhkan penyiapan lahan dan pengolahan tanah terlebih dahulu agar tanah memiliki kondisi yang baik dan siap untuk ditanami tebu. Sedangkan RC atau yang bisa disebut juga tanaman tebu keprasan adalah tanaman tebu yang berasal dari tanaman pertama setelah ditebang dan tunggul-tunggulnya dipelihara kembali sampai menghasilkan tunas-tunas baru menjadi tanaman baru. Pelaksanaan pre-emergence pada kondisi lahan lembab dan bersih dari bongkahan-bongkahan dan sampah. Aplikasi preemergence paling optimum dilakukan pada rentang waktu antara pukul , karena pada waktu itu kondisi lahan masih lembab dan tidak ada angin yang bertiup. 7

22 Lebih lanjut Ardhita (2009) memaparkan bahwa pengendalian gulma setelah tumbuh (postemergence) adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat gulma dan tebu sudah tumbuh, dilakukan dengan menggunakan herbisida. Pelaksanaan pengendalian gulma secara post-emergence untuk tanaman tebu biasanya dilakukan 1 2 kali. Namun demikian, jika kondisi tajuk tebu (kanopi) sudah saling menutup, maka post-emergence hanya dilakukan 1 kali. Pada kondisi tertentu dimana masih dijumpai gulma yang tumbuh atau gulma yang merambat sebagai akibat lebih awalnya aplikasi post-emergence I atau kurang sempurnanya aplikasi post-emergence I, maka perlu dilaksanakan aplikasi post-emergence II. Post-emergence I dilakukan pada saat umur tanaman sekitar 2 bulan dan post-emergence II dilakukan pada sekitar umur 4 bulan. Post-emergence baik I maupun II dilakukan dengan peralatan hand sprayer. Menurut Ardhita (2009), herbisida banyak dijual di pasaran dengan berbagai nama dagang, akan tetapi yang terpenting dalam pemilihan suatu herbisida adalah bahan aktif yang terkandung di dalam herbisida tersebut. Baik pre-emergence ataupun post-emergence memerlukan dosis yang tepat pada setiap aplikasinya. Tabel di bawah ini menampilkan beberapa jenis herbisida, konsentrasi dan dosis yang sering digunakan untuk pengendalian gulma di perkebunan tebu : Tabel 5. Jenis dan dosis herbisida Waktu Aplikasi Jenis Tebu Umur Tanaman (hari) Dosis (liter/ha) Diuron Ametryn 2.4D Paraquat Sticker Pre-emergence PC/RPC/RC Post-Emergence 1 PC/RPC/RC Post-Emergence 2 PC/RPC/RC (Sumber: Arditha 2009) Tabel 6. Jenis dan konsentrasi herbisida untuk post emergence Aplikasi Post Emergence 1 Post Emergence 2 - Alternatif 1 - Alternatif 2 (Sumber: Arditha 2009) Jenis dan konsentrasi herbisida/200 liter air Ametry n Paraquat 2-4 Diamin Stiker

23 Jika berdasarkan jenis gulma dan waktu aplikasinya, herbisida dapat dikelompokkan seperti dalam tabel 7: Tabel 7. Jenis herbisida dan gulma sasarannya Sifat Herbisida Objek Pengendalian Jenis Daun Daun Alangalang Herbisida Sistemik Kontak Sempit Lebar Keterangan Diuron Pre-emergence Ametrin Post-emergence 2-4 D. Amine Pre/Postemergence Paraquat - - Post-emergence Glyphosate - Post-emergence (Sumber: Arditha 2009) 2. Pengendalian Gulma Secara Mekanis Menurut Sukman (2002) pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Dalam praktiknya dilakukan secara tradisional dengan tangan, alat sederhana sampai penggunaan alat berat yang lebih modern, sehingga pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan cara; pengolahan tanah, pencabutan, pembabatan, pembakaran dan penggenangan. Setyamidjaja (1992) menyatakan pengendalian secara mekanis secara tidak langsung ditujukan untuk menekan populasi gulma dengan cara mengolah tanahnya pada persiapan penanaman tebu. Dengan pengolahan tanah yang baik dimana tanah dihaluskan dan digemburkan serta pada kadar air tanah yang tepat, populasi gulma dan macam spesies gulma berubah dan dengan demikian dapat mengurangi persaingan terhadap tanaman tebu. Pengolahan tanah dengan alat-alat seperti cangkul, bajak, garu, traktor dan sebagainya, pada umumnya juga berfungsi untuk mengendalikan gulma. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik karena dapat memotong akar gulma sehingga gulma mati disebabkan potongan-potongan akar akan mengering sebelum pulih kembali serta mengganggu kondisi hara tersebut (Sukman 2002). Metode pengolahan tanah dapat menentukan pertumbuhan dan perkembangan gulma pada suatu pertanaman. Hasil penelitian Pramuhadi (2005) menunjukkan bahwa penutupan gulma dan bobot kering gulma pada pertanaman tebu cenderung meningkat dengan bertambahnya intensitas penggaruan tanah, tetapi cenderung menurun dengan bertambahnya intensitas pembajakan tanah, terutama pembajakan dengan bajak singkal. Gulma kalah bersaing dengan tebu pada kondisi densitas dan tahanan penetrasi tanah yang rendah. Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah minimum yang menghasilkan densitas dan tahanan penetrasi sebesar g/cc dan kgf/cm 2 menyebabkan pertumbuhan gulma menjadi tertekan. Menurut Hermawan dkk (2010) penyiangan atau pemberantasan gulma secara mekanis dapat dilakukan dengan cara memotong, mencabut akar atau menutup gulma tersebut. Cara penyiangan dengan memotong atau mencabut akar gulma akan lebih mudah dan baik dilakukan bila gulma tersebut sudah cukup tinggi, sedangkan penyiangan dengan menutup gulma (covering) akan lebih 9

24 efektif dilakukan untuk gulma yang pendek. Sembiring (1981) menyatakan mengenai cara pemberantasan alang-alang/gulma secara mekanis bermaksud menekan pertumbuhan alang-alang dengan memotong-motong rhizom, mengangkatnya ke permukaan untuk dikeringkan, membenamkan potongan rhizom ke dalam tanah. Soeryani (1970) diacu dalam Sembiring (1981) menyatakan terpotong-potongnya rhizom dapat mematahkan dominasi pucuk (apical dominance) yang menyebabkan tumbuhnya mata tunas dan mengakibatkan berkurangnya cadangan makanan dalam rhizom. Perihal waktu pelaksanaannya Setyamidjaja (1992) menyatakan bahwa pengendalian gulma secara mekanis lebih tepatnya dimulai sejak tanaman berumur 3-4 minggu dan diulangi 1-2 kali pada waktu gulma telah tumbuh lebat. C. Alat dan Mesin Pengendalian Secara Kimia Masalah pengendalian hama serangga dan penyakit tumbuhan menyebabkan perlunya sebagian petani dan pekebun buahan-buahan untuk menambahkan dalam alat usahatani mereka mesin-mesin untuk pemberian pestisida baik dalam bentuk debu maupun cairan (Smith dan Wilkes 1976). Berdasarkan pernyataan tersebut maka untuk mengaplikasikan bahan kimia termasuk herbisida diperlukan alat dan mesin. Menurut Daywin (1992), saat ini sudah ada dua jenis alat yaitu sprayer dan duster, duster adalah alat yang digunakan untuk menghembuskan bahan kimia berbentuk tepung atau butiran halus sedangkan sprayer merupakan alat yang digunakan untuk menghembuskan bahan kimia berbentuk cairan. Duster memiliki konstruksi yang lebih sederhana dibandingkan sprayer dan bagian-bagian yang bergerak lebih sedikit. Sprayer pertama kali dikembangkan dan digunakan untuk pemberian fungisida dalam pengendalian penyakit tanaman anggur di sekitar Borduex, Perancis. Sprayer tangan untuk memberantas serangga dikembangkan antara tahun oleh John Bean dari California, D. B. Smith dari New York dan Brandt bersaudara dari Minnesota. Sprayer dengan tenaga motor bensin dikembangkan sekitar tahun Penyemprot yang dipasang pada traktor belum dikembangkan sampai beberapa tahun setelah diperkenalkan traktor untuk tanaman larikan pada tahun Palang penyemprot dipasang pada pesawat udara pertama kali pada awal tahun 1940-an (Smith dan Wilkes 1976). 1. Fungsi Sprayer Menurut Bronson dan Anderson dalam Smith (1990), fungsi utama dari suatu sprayer adalah memecah cairan menjadi tetes-tetes dengan ukuran yang efektif untuk didistribusikan secara merata di atas permukaan atau ruang yang harus dilindungi. Fungsi lain adalah mengatur banyaknya pestisida untuk menghindarkan pemberian yang berlebihan yang terbukti bersifat merusak atau merupakan pemborosan. Sedangkan tujuan utama dari penyemprotan obat anti hama dengan menggunakan sprayer adalah untuk melindungi tanaman dari jasad pengganggu dalam batas-batas yang menguntungkan petani (Daywin et al 1992). 2. Klasifikasi Sprayer Tenaga yang digunakan untuk menggerakkan pompa pada sprayer bisa berasal dari tenaga manusia sebagai operator, motor bakar bensin, ataupun putaran dari PTO suatu traktor. Menurut Smith (1990), sprayer dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan tenaga penggeraknya, yaitu: a. Sprayer dengan penggerak tangan (hand operated sprayer), yang terdiri atas: 1) Hand sprayer, yaitu sprayer yang berukuran kecil dan khusus untuk keperluan di lapangan rumah, taman dan penyemprotan ringan lainnya. 10

25 2) Sprayer otomatis: yaitu sprayer dengan tekanan tinggi dimana tekanan diberikan atau dibentuk melalui pemompaan sebelum penyemprotan dilakukan. Sprayer ini disebut juga comprassed air sprayer dengan tekanan dalam tangki sekitar psi atau kg/cm 2. 3) Sprayer semi otomatis, yaitu sprayer yang bentuk fisiknya menyerupai sprayer otomatis tetapi tidak memerlukan tekanan tinggi. Pembentukan tekanan melalui pemompaan yang diberikan sebelum dan selama penyemprotan berlangsung. 4) Jenis-jenis lainnya seperti bucket sprayer, barrel sprayer, cheel barrow sprayer, slide pump sprayer. Pada tipe-tipe ini tangki dan pompa tidak tersusun dalam satu unit, melainkan saling terpisah. b. Sprayer bermotor (power sprayer): menggunakan sumber tenaga penggerak dari motor bakar atau motor listrik atau PTO traktor. Ada beberapa tipe dari power sprayer yaitu hydraulic sprayer sprayer, hydraulic-pneumatic sprayer: blower sprayer: aerosol generator. Menurut Barus (2003) sprayer dibagi menjadi tiga jenis yaitu hand atau knapsack sprayer, motor sprayer dan CDA sprayer. Controlled Droplet Application (CDA) sprayer merupakan sprayer yang tidak menggunakan tekanan udara untuk menyebarkan larutan herbisida ke arah gulma sasaran, melainkan berdasarkan gaya gravitasi dan putaran piringan. Putaran piring digerakkan oleh dynamo dengan sumber tenaga baterai 12 volt. Putaran piringan sekitar 2000 rpm dan butiran yang keluar berbentuk seragam dengan ukuran 250 mikron. Ukuran butiran 250 mikron merupakan ukuran butiran yang optimal untuk membasahi permukaan gulma dan meresap ke dalam jaringan gulma. Menurut Barus (2003) hand sprayer atau alat semprot punggung merupakan sprayer yang paling banyak digunakan di perkebunan. Prinsip kerjanya, larutan dikeluarkan dari tangki akibat adanya tekanan udara melalui tenaga pompa yang dihasilkan oleh gerakan tangan penyemprot, pada waktu gagang pompa digerakkan, larutan keluar dari tangki menuju tabung udara sehingga tekanan di dalam tabung meningkat. Keadaan ini menyebabkan larutan herbisida dipaksa keluar melalui klep dan selanjutnya diarahkan oleh nosel ke gulma sasaran. Pada penggunaan hand sprayer, tekanan udara yang dihasilkan harus diusahakan agar tetap konstan, tekanan pompa yang tidak konstan mengakibatkan butiran-butiran herbisida tidak seragam dari waktu ke waktu. Dari seluruh butiran yang dihasilkan, sekitar 80% berukuran 100 mikron. Hal ini menyebabkan terjadinya drift karena butiran yang kecil dan halus mudah terbawa oleh hembusan angin. Menurut Hardjosentono dkk (2000) ada dua jenis alat penyemprot tangan/penyemprot gendong (hand sprayer) yang lebih dikenal di Indonesia yaitu penyemprot semi otomatis (lihat gambar 1a) dan penyemprot otomatis (lihat gambar 1b). Perbedaan kedua penyemprot tersebut terletak pada sistem pemompaan. Penyemprot semi otomatis menggunakan tipe pompa cairan (pompa isap), dalam pengoperasiannya pemompaan tambahan diperlukan terus-menerus selama pekerjaan penyemprotan berlangsung agar diperoleh kondisi semprotan yang konstan. Penyemprot otomatis menggunakan tipe pompa angin, dalam pengoperasiannya memerlukan sejumlah pemompaan untuk memasukkan angin (udara) sehingga terdapat cukup tekanan udara untuk menyemprotkan habis seluruh cairan yang ada di dalam tangki, tanpa pemompaan ulang. 11

26 (a) (b) Gambar 1. Penyemprot tipe gendong (Hardjosentono 2000); (a) Tipe semi otomatis (b) Tipe otomatis 3. Komponen Utama Sprayer Berdasarkan Hardjosentono dkk (2000), penyemprot tipe gendong terdiri atas 3 (tiga) bagian utama, yaitu tangki, pompa dan bagian pengabut. a. Bagian tangki (reservoir) Tangki pada sprayer merupakan tempat atau wadah untuk menyimpan cairan yang akan disemprotkan. Adapun bahan yang biasa digunakan untuk membuat tangki adalah bahan plastik dan bahan logam. Bahan dari plastik memiliki keunggulan terutama dari segi dimensi yang lebih ringan dibandingkan bahan dari logam. Akan tetapi bahan dari logam memiliki keunggulan dalam penggunaannya, contohnya adalah kemudahan pada saat membersihkan tangki dari sisa-sisa bahan semprot (Smith dan Wilkes 1990). Ukuran tangki berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan, untuk hand sprayer kapasitas yang digunakan biasanya berkisar 10 sampai 17 liter. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan operator untuk menggendongnya, selain itu hand sprayer hanya diperuntukkan bagi tugas penyemprotan ringan dengan areal yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk penyemprotan bahan yang lebih luas digunakan boom sprayer yang dipasang pada traktor dengan tangki berkapasitas sampai 500 galon atau 1892 liter (Smith dan Wilkes 1990). Menurut Hardjosentono dkk (2000), ada 2 macam bentuk tangki yang sangat popular, yaitu: 1) Bentuk bulat panjang atau silinder. Penyemprot otomatis menggunakan tangki berbentuk silinder. 2) Bentuk pipih (penampang melintang), berbentuk elips, dan bagian belakang disesuaikan dengan lekuk punggung. Pelengkap tambahan lainnya adalah manometer, komponen ini berfungsi sebagai penunjuk tekanan. Menurut Smith dan Wilkes (1990), manometer merupakan komponen pengukuran tekanan yang telah dikalibrasi dengan cermat dalam kisaran tekanan pompa, disediakan pada saluran pengeluaran untuk memandu operator dalam pengaturan tekanan untuk setiap pekerjaan dalam penyemprotan. Dengan demikian operator dapat menyesuaikan tekanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan ukuran diameter dan pola butiran semprot yang diinginkan. Bila operator menginginkan butiran yang halus, maka tekanan yang digunakan harus cukup kuat. Pada hand sprayer SWAN tipe A-14 kisaran tekanan pada 12

27 manometer adalah 0 sampai 10 kg/cm 2, sedangkan tekanan yang dianjurkan oleh pihak produsen berkisar dari 4 sampai 6 kg/cm 2 dan kisaran 6 sampai 10 kg/cm 2 merupakan ambang maksimum tekanan yang diperbolehkan. Sehingga di manometer yang ada pada sprayer, kisaran tekanan 6 sampai 10 kg/cm 2 diberi warna merah. b. Bagian Pompa (unit pompa) Unit pompa merupakan komponen yang terpenting dari penyemprot tipe gendong karena dari konstruksinya dapat mengetahui mengenai perbedaan tipe pompa, cara kerja dan perbedaan bentuk alat penyemprot secara keseluruhannya. Pompa inilah yang dapat menghasilkan tekanan udara di dalam pipa komponen pemompa. Selanjutnya tekanan udara tersebut mendorong cairan pada tangki yang berisi larutan pestisida sehingga akan terdorong dengan cairan yang mengalir ke dalam pipa pengeluaran dan selanjutnya akan tersemprot keluar melalui nosel. Dekat atau jauhnya pancaran larutan nosel tersebut sangat tergantung pada besarnya tekanan pompa. Semakin kuat tekanan pompa maka pancaran larutan dari nosel akan jauh dan sebaliknya semakin lemah tekanan pompa maka pancaran larutan dari nosel akan dekat. Ada dua tipe pompa penyemprot gendong yang paling umum, yaitu tipe pompa angin atau pompa torak dan tipe pompa isap (tekan). Tipe pompa isap digunakan pada hand sprayer tipe semi otomatis, sedangkan tipe pompa torak digunakan pada hand sprayer tipe otomatis (Hardjosentono 2000). Kampas (torak) merupakan salah satu komponen yang paling penting pada tipe pompa torak, torak berfungsi untuk menekan angin/udara di dalam tabung pompa. Smith dan Wilkes (1990) menyatakan pompa torak telah menjadi standar dalam industri penyemprotan selama bertahun-tahun karena penampilannya yang sangat baik dalam pemompaan hampir setiap bahan semprotan, termasuk bentuk pestisida serbuk yang dapat dibasahkan. Pompa tipe torak biasanya dipergunakan dalam kisaran keluaran kurang dari 2 8 galon per menit ( liter per menit) dengan tekanan mencapai kisaran 400 psi (27.6 kg/cm 2 ) atau lebih. Menurut Hardjosentono (2000), kampas (torak) pompa angin ada 2 macam yaitu torak bentuk mangkuk yang terbuat dari kulit (lihat gambar 2a) dan torak bentuk paking yang terbuat dari karet (lihat gambar 2b). (a) (b) Gambar 2. Jenis Torak pada pompa angin (Hardjosentono 2000) c. Bagian Pengabut (Unit Selang dan Pelengkap nosel) Hardjosentono (2000) menyatakan unit komponen pengabut terdiri atas tiga bagian penting antara lain selang, laras penyembur dan kepala penyemprot. 1) Selang Panjang selang penyembur rata-rata 1 meter. Salah satu ujung diberi mur penguat yang ditautkan pada pipa (keran utama) tangki, sedangkan ujung lainnya terpaut pada pegangan (handle) lengkap dengan keran semprot. Selang dibuat sedemikian rupa sehingga tahan 13

28 terhadap tekanan dan lekukannya tidak mengakibatkan selang melipat. Untuk mengatasi masalah tersebut, bagian dalam keran diberi lapis (kain) atau kawat spiral baja yang halus. 2) Laras Penyembur Panjang laras penyembur rata-rata cm. Laras penyemprot terbuat dari logam campuran. 3) Kepala Penyemprot (nosel) Nosel penyemprot merupakan komponen terpenting yang berfungsi untuk memecah cairan semprotan menjadi tetes-tetes dengan ukuran yang diinginkan dan memancarkannya ke permukaan yang harus disemprot (Smith dan Wilkes, 1990). Bentuk kepala penyemprot ada bermacam-ragam, tetapi hanya beberapa saja yang umum terdapat pada hand sprayer (lihat gambar 3), antara lain: a) Jenis tunggal, terdapat dalam bentuk I dan L b) Jenis ganda, terdapat dalam bentuk U, T dan O Gambar 3. Bentuk-bentuk nosel pada hand sprayer (Hardjosentono 2000) D. Alat dan Mesin Pengendalian Secara Mekanis Menurut Smith dan Wilkes (1990) alat yang pertama yang digunakan untuk pengendalian gulma adalah cangkul. Di zaman dulu, hampir kebanyakan tanaman ditanam dengan cara disebar, dan cangkul merupakan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk membasmi gulma di antara tanaman. Hal ini diperkuat oleh Sukman (2002) yang menyatakan bahwa meskipun cangkul merupakan alat pengolah tanah tetapi dapat juga digunakan untuk pengendalian gulma terutama untuk pertanian di lahan kering, meskipun tidak keseluruhan akar gulma terpotong. Selain cangkul, alat sederhana lain yang digunakan untuk mengendalikan gulma secara mekanis adalah sabit, garpu, kored, lalandak dan garu dengan hewan penggerak. Alat pemotong berupa parang atau sabit/celurit biasanya hanya memotong bagian atas saja sehingga untuk pertanaman semusim kurang dianjurkan dan pemotongan biasa dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan semak belukar. Sedangkan lalandak alat pengendali gulma pada tanah sawah dan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik biasanya penggunaan lalandak disertai dengan pencabutan (Sukman 2002). Alat sederhana biasanya dikerjakan secara manual. Seiring dengan kemajuan teknologi dan banyaknya pengembangan dari alat sederhana telah banyak melahirkan alat modern/besar untuk mengendalikan gulma secara mekanis. Seperti halnya menurut Sukman (2002) yang menyatakan bahwa penggunaan peralatan besar seperti kultivator dan rotary weeder merupakan kemajuan besar menyusul penggunaan peralatan pengendalian gulma dengan tangan (manual weed control). Penggunaan kultivator dan rotary weeder untuk jalur tanaman yang lurus dengan jarak antar jalur sesuai dengan peralatan. Menurut Setyamidjadja (1992) pengendalian gulma secara mekanis dilaksanakan dengan menggunakan traktor yang menarik alat penyiang mekanis seperti weeder rake, multi-weeder dan spinner weeder. Cara ini dilaksanakan oleh perkebunan besar tebu terutama di areal tanaman yang luas dan dimaksudkan untuk mengatasi 14

29 kesulitan tenaga kerja atau karena mahalnya tenaga kerja untuk melaksanakan pengendalian gulma secara manual. Beberapa jenis alat penyiang disajikan pada gambar 4. (a) (b) Gambar 4. Beberapa jenis alat penyiang mekanis (Hermawan dkk 2010); (a) Tipe manual (b) Kultivator dengan taktor Menurut Smith dan Wilkes (1990), sejarah berkembangnya kultivator pada akhir tahun an, kultivator mulai dioperasikan dengan ditarik oleh seekor kuda satu larik dengan berjalan dan dikendarai. Pada tahun 1900 kultivator ditarik dengan dua kuda dengan dikendarai. Kultivator tanaman larikan tanaman pertama yang digunakan dengan traktor adalah kultivator yang ditarik kuda yang disesuaikan dengan penyambungan di belakang traktor. B. F. Avery Company membuat kultivator yang dipasang pada traktor sekitar tahun Kultivator yang terpasang secara terpadu pertama pada traktor dikembangkan kira-kira tahun 1925 oleh International Harvester Company. Rangkaian alatnya diangkat dengan tuas-tuas yang dioperasikan secara manual. Kultivator dengan daya (penggerak) baru dikembangkan menjelang tahun 1933 (Smith dan Wilkes 1990). Smith dan Wilkes (1990) menyatakan bahwa kultivasi merupakan suatu bentuk kegiatan yang membutuhkan semacam alat yang akan mengaduk permukaan tanah sampai kedalaman yang sedikit saja dengan cara sedemikian rupa, hingga gulma yang masih kecil akan dibinasakan dan pertumbuhan tanaman budidaya dapat ditingkatkan. Dengan demikian tujuan kultivasi adalah (Smith dan Wilkes 1990) : a) Menahan lengas dengan membasmi gulma, melonggarkan mulsa pada permukaan dan menahan air. b) Mengembangkan bahan makan tanaman. c) Aerasi tanah yang memungkinkan oksigen masuk ke dalam tanah. d) Meningkatkan kegiatan jasad renik (mikroorganisme) Sukman (2002) menerangkan lebih lanjut mengenai cara kerja kultivator dengan 2 cara yaitu memotong pucuk gulma seperti dalam pemangkasan rumput atau memecah ke sistem bawah tanah dan membenamkan bagian potongan ke dalam tanah. Banyak tipe kultivator telah digunakan, mulai dari kultivator kecil yang digunakan dengan tangan yang cocok untuk kebun keluarga sampai kultivator besar untuk 8 larikan yang terpasang pada traktor yang mampu mengkultivasi hektar per hari ( lihat gambar 5). Namun menurut Srivastava (1993) pada dasarnya terdapat dua tipe kultivator, yaitu field cultivator dan row crop cultivator. Field cultivator sering digunakan sebagai pengolahan tanah kedua untuk mempersiapkan persemaian. Field cultivator memiliki penampilan mirip dengan bajak chissel tetapi memiliki kemampuan kedalaman lebih dangkal. Row crop cultivator digunakan untuk perawatan dan pengendalian gulma selama periode pertumbuhan tanaman dalam baris. Field cultivator merupakan salah satu tipe penggandengan secara mounted atau pull type dengan roda untuk untuk mengatur 15

30 kedalaman pengolahan. Menurut The Illustrated Science and Invention Encyclopedia ada juga jenis kultivator lainnya yaitu rotary cultivator, yakni salah satu implemen traktor yang memiliki prinsip memotong tanah dan menghaluskan sehingga kondisinya sesuai untuk persemaian benih. Selain itu, kultivator dapat memotong tanaman yang tidak diinginkan menjadi mulch (campuran batang, daun dan jerami) kemudian dikomposkan sebagai pupuk untuk tanaman selanjutnya. Disebut rotary cultivator karena mempunyai rangkaian pisau bergulir. Gambar 5. Kultivator 8 larikan (Smith dan Wilkes 1990) 16

31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Agustus Bertempat di salah satu kebun tebu di Kelurahan Cimahpar Kecamatan Bogor Utara Bogor. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah: 1. Satu unit hand sprayer otomatis merk SWAN tipe A-14/I (gambar 6a) 2. Satu unit walking type cultivator (gambar 6b) 3. Kwadran sampel dengan ukuran 50 cm x 50 cm (gambar 7) 4. Meteran dan pita ukur 5. Stopwatch 6. Gelas ukur 7. Patok a b Gambar 6. (a) hand sprayer otomatis, (b) walking type cultivator Gambar 7. Kwadran sampel Bahan kimia yang digunakan adalah herbisida dengan bahan aktif glyphosat dan paraquat. Bahan kimia tersebut akan dilarutkan kedalam 100 liter air dengan masing-masing konsentrasi: 17

32 glyphosate 0.6 liter dengan dosis 4.9 liter/ha (Sembiring 1981) dan paraquat liter dengan dosis 1.5 liter/ha (Arditha 2009). Glyphosate merupakan jenis herbisida yang bersifat sistemik sedangkan paraquat merupakan jenis herbisida yang bersifat kontak, keduanya dapat mengendalikan jenis gulma daun sempit dan lebar. C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa perlakuan yang terdiri dari satu atau lebih aplikasi pengendalian gulma, aplikasi herbisida dilakukan maksimal satu kali setiap perlakuan dengan tujuan mengurangi dampak negatif penggunaan bahan kimia terhadap lingkungan dan lainnya. Beberapa perlakuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Areal tebu dengan gulma dominan alang-alang 1) K (K) 2) K 2 minggu M (KM) 3) K 2 minggu M 2 minggu M (KMM) 4) M 2 minggu K (MK) 5) M 2 minggu K 2 minggu M (MKM) 6) M (M) 7) M 2 minggu M (MM) 8) M 2 minggu M 2 minggu K (MMK) 9) M 2 minggu M 2 minggu M (MMM) 10) Ko (Ko 1 ) 11) P (P) Bahan kimia yang digunakan adalah herbisida berbahan aktif glyphosate 2. Areal tebu dengan gulma dominan rerumputan 1) K (K) 2) K 2 minggu M (KM) 3) K 2 minggu M 2 minggu M (KMM) 4) M 2 minggu K (MK) 5) M 2 minggu K 2 minggu M (MKM) 6) M (M) 7) M 2 minggu M (MM) 8) M 2 minggu M 2 minggu K (MMK) 9) M 2 minggu M 2 minggu M (MMM) 10) Ko (Ko) Bahan kimia yang digunakan adalah herbisida berbahan aktif paraquat Keterangan: K = Metoda tunggal kimia dengan herbisida yang disemprotkan oleh hand sprayer otomatis M = Metoda tunggal mekanis dengan walking type cultivator (Yanmar Te 550 n) MK = Metoda kombinasi mekanis dan kimia KM = Metoda kombinasi kimia dan mekanis MM = Metoda ganda mekanis 18

33 KMM = Metoda kombinasi kimia dan ganda mekanis MMK = Metoda kombinasi ganda mekanis dan kimia MMM = Metoda triple mekanis MKM = Metoda kombinasi ganda mekanis yang diselingi kimia Ko = Kontrol (tanpa pengendalian) P = Metoda tunggal dengan mesin potong rumput Jumlah perlakuan yang diaplikasikan sebanyak 10 metoda dan satu metoda tambahan yaitu perlakuan dengan mesin rumput yang diaplikasikan pada areal tebu dengan gulma dominan alangalang. Metoda-metoda tersebut dilaksanakan pada lahan tebu dengan umur tanaman 10 minggu dan sudah ditumbuhi gulma. Gulma sasaran yang dikendalikan adalah alang-alang dan rerumputan pada lokasi yang berbeda sehingga 11 perlakuan untuk gulma alang-alang dan 10 perlakuan untuk gulma rerumputan. Setiap perlakuan diaplikasikan di antara baris tanaman tebu sepanjang 10 m secara acak dengan ulangan sebanyak dua kali, sehingga seluruhnya berjumlah 42 petak percobaan/daerah aplikasi. D. Tahapan Penelitian Proses dan tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar berikut: Mulai Analisis vegetasi Pemetaan plot perlakuan Aplikasi perlakuan Pengamatan dan pengukuran Pengolahan data Selesai Gambar 8. Tahapan penelitian 19

34 1. Analisis Vegetasi Gulma Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui jenis gulma yang dominan di areal, dilakukan sebelum perlakuan yaitu pada 0 minggu setelah aplikasi (0 MSA) dan di akhir pengamatan selesai (12 MSA). Metode analisis yang digunakan adalah metode kuadrat. Pengamatan dilakukan dalam distribusi petak contoh secara sampling acak tidak langsung. Parameter yang diamati dan diukur adalah dominansi dan frekuensi. Dari dua parameter tersebut didapatkan Summed Dominance Ratio (SDR) atau perbandingan nilai penting, sehingga dapat diketahui hubungan jumlah dominansi suatu jenis gulma dengan jenis gulma lainnya dalam satu komunitas (Tjitrodoedirdjo 1984). Identifikasi mengenai jenis atau nama gulma dengan menggunakan buku panduan identifikasi gulma. Penghitungan SDR dengan cara berikut: Dominansi nisbi suatu jenis = (1) Frekuensi nisbi suatu jenis = % (2) Nilai penting suatu jenis = Dominansi nisbi + frekuensi nisbi (3) SDR suatu jenis = (4) 2. Pemetaan Plot Perlakuan Pemetaan plot lebih ditekankan pada penentuan daerah aplikasi dalam melakukan suatu perlakuan. Pada pengamatan pendahuluan telah ditentukan tiga areal/petak yang telah ditumbuhi tebu yang secara visual 2 areal (II dan III) banyak ditumbuhi alang-alang dan satu (I) areal lainnya banyak ditumbuhi rerumputan (gambar 9). Pada masing-masing areal tersebut akan ditentukan suatu daerah aplikasi percobaan yaitu di antara barisan tebu dengan panjang 10 m dan batasan lebar dari lembah guludan tebu yang satu ke lembah guludan tebu yang lainnya. Jumlah daerah aplikasi disesuaikan dengan jumlah perlakuan dan penentuannya dilakukan secara acak. 20

35 Gambar 9. Layout areal tebu untuk percobaan Hasil dari pengacakan perlakuan terhadap daerah aplikasi atau nomor plot ditunjukkan pada tabel di bawah ini: Tabel 8. Pemetaan plot pada masing-masing perlakuan 21

36 3. Aplikasi Perlakuan Sebelum aplikasi perlakuan, semua alat dan bahan sudah disiapkan serta daerah aplikasi sudah ditentukan. Semua perlakuan dilakukan pada pagi hari terutama aplikasi kimia dan diperkirakan tidak turun hujan pada saat penyemprotan serta selama enam jam setelah penyemprotan. Beberapa aplikasi dilakukan setiap 2 minggu sekali berdasarkan komposisi perlakuan yang sudah ditentukan. Adapun pembatas-pembatas yang kemudian digunakan adalah: aplikasi penyemprotan/kimia dilakukan dengan ketinggian semprot yang minimal, tekanan yang maksimal dan nosel yang jumlah lubangnya paling sedikit. Ketiga faktor ini akan dapat menghasilkan taraf keseragaman butiran semprot yang optimal, berdasarkan hasil penelitian Susanto (2001) nosel dari tanah setinggi 50 cm dengan tekanan 8 kg/cm 2 dan nosel yang memiliki satu lubang. Selama aplikasi, nosel dipertahankan setinggi 50 cm dari tanah atau kira-kira setinggi lutut dan tekanan dipertahankan antara 4 8 kg/cm 2. Sehingga, ketika dipertengahan aplikasi tekanannya kurang dari 4 kg/cm 2, maka hand sprayer dipompa kembali hingga tekanannya mencapai 8 kg/cm 2. Aplikasi mekanis dilakukan dengan mengoperasikan walking type cultivator Yanmar Te 550 n dengan kecepatan gigi dua dan tingkat gas maksimal/penuh. Hal ini dipilih setelah dilakukan percobaan, apabila kecepatan gigi tiga dan empat mesin cultivator akan mati sedangkan pada kecepatan gigi satu putaran rotor pisau lebih rendah daripada posisi kecepatan gigi dua. Pisau rotary walking type cultivator dipasang pada hexagon rotor dan dibagian belakang walking type cultivator dipasangkan Bar Resistance H. 4. Pengamatan dan Pengukuran Pengamatan dan pengukuran dimulai sebelum aplikasi dan setiap dua minggu, meliputi pengamatan pada tanaman tebu dan gulma selama 12 minggu. Parameter yang diukur meliputi : a. Penutupan Gulma Pengukuran dilakukan secara visual pada setiap alur tanaman yang disebabkan oleh gulma re-growth (pertumbuhan gulma kembali) dan new-growth (gulma baru). Selang penutupan gulma antara 0% - 100% yang diamati pada 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MSA. Pengukuran penutupan gulma dilakukan dengan cara mengambil sampel secara acak dengan menggunakan kwadran sampel berukuran 50 cm x 50 cm. Pada kwadran sampel tersebut terdapat petakan-petakan berukuran 5 cm x 5 cm, sehingga dalam kwadran sampel terdapat 100 petak. Petak yang terisi gulma (lebih dari setengahnya) dihitung sebagai petak terisi gulma, seperti yang diilustrasikan dalam gambar 10 berikut ini (satuan dalam cm). Gambar 10. Ilustrasi pengukuran dalam kwadran sampel 22

37 Penutupan gulma diukur 2 kali ulangan setiap perlakuan. Evaluasi hasil pengendalian dilakukan dua minggu setelah aplikasi dilakukan. Evaluasi dilakukan dengan cara menghitung jumlah gulma yang masih tumbuh setelah pengendalian dengan menggunakan kwadran. Dari hasil evaluasi hasil ini dapat dihitung efisiensi pengendalian dengan persamaan (Hermawan dkk, 2010): Ef = x 100% (5) dimana: Ef = efisiensi pengendalian gulma (%) n awal = jumlah gulma awal pengukuran n akhir = jumlah gulma akhir pengukuran b. Tinggi Gulma Dalam kwadran sampel diukur juga mengenai tinggi gulma. Pengukuran tinggi dengan menggunakan mistar mulai dari dasar tanah hingga puncak gulma dengan mengambil satu jenis gulma tertinggi dalam petak kwadran. Tinggi gulma diukur 5 kali ulangan setiap kwadran sampel/pengukuran penutupan gulma. c. Kerusakan Tanaman Tebu Tingkat kerusakan tebu meliputi keracunan disebabkan oleh aplikasi herbisida dan cacat oleh aplikasi cultivator, bagian yang diamati adalah daun dan batang tebu. Keracunan ditandai dengan adanya perubahan warna secara tidak normal pada bagian-bagian tebu. Cacat tebu ditandai dengan rusaknya bagian-bagian tebu secara fisik. 5. Pengolahan Data Semua data yang didapatkan kemudian diolah dengan merata-ratakan dari beberapa ulangan pengukuran yang dilakukan. Penghitungan rerata dilakukan pada hasil pengaruh setiap perlakuan yaitu penutupan gulma dan tinggi gulma. Penghitungan SDR dengan menggunakan persamaan (4) efisiensi pengendalian dengan menggunakan persamaan (5) dan kapasitas kerja dengan menggunakan persamaan berikut: KLE = (6) KLT = 0.36 x l k x V t (7) V t = (8) E = (9) Keterangan: KLE : kapasitas lapang ekeftif (ha/jam) KLT : kapasitas lapang teoritis (ha/jam) L : luas lahan yang diolah (m 2 ) Wk : waktu kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan lahan terolah (menit) l k : lebar kerja (m) 23

38 Keterangan (lanjutan): t 10 : waktu tempuh pada jarak 10 m (s) E : Efisiensi (%) Pengambilan data untuk kapasitas kerja adalah sebagai berikut; pada saat kultivator dioperasikan, dicatat waktu mulai kerja, lalu pada saat kultivator mulai beroperasi (mengkultivasi gulma) dilakukan pengukuran kecepatan maju, untuk mengkultivasi lahan yang baru atau pindah alur rotary kultivator dibersihkan terlebih dahulu dan saat kultivator menyelesaikan pekerjaan seluruh lahan dicatat waktu selesai. Kecepatan maju (V t ) diukur dengan mengukur waktu tempuh (t 10 ) dalam jarak (antar patok) 10 m. 24

39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Kondisi tanaman tebu pada awal penelitian terlihat kurang baik, gulma dan tebu hampir sama tinggi bahkan terlihat dominan gulma dari pada tebu (Gambar 11). Aplikasi herbisida dilakukan pada pagi hari yang diperkirakan tidak turun hujan dan maksimal tidak turun hujan 6 jam setelah aplikasi, sedangkan aplikasi secara mekanis dilakukan sepanjang hari selama tidak hujan dan tidak menghiraukan 6 jam setelah aplikasi hujan atau tidak. Selama penelitian ini berlangsung intensitas hujannya cukup tinggi sehingga mempengaruhi populasi gulma yang ada. Pengaruh tersebut berupa peningkatan pertumbuhan gulma (re-growth) dan pertumbuhan gulma baru (new-growth) serta mempercepat pertumbuhan biji gulma. Pengamatan dan pengukuran dilakukan selama 12 MSA dengan aplikasi maksimal 6 MSA, selanjutnya frekuensi turun hujan lebih sering di areal penelitian sehingga banyak gulma yang mengalami pertumbuhan dan akhirnya aplikasi tidak mampu menekan pertumbuhan gulma lebih efektif lagi. Pada saat turun hujan terkadang terjadi tiupan angin yang cukup besar, sehingga beberapa batang tebu ada yang roboh termasuk di areal penelitian. Berdasarkan Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air wilayah sungai Ciliwing-Cisadane bahwa rata-rata curah hujan tahunan untuk Katulampa dan sekitarnya (termasuk daerah Cimahpar) adalah 4075 mm. B. Analisis Vegetasi Gulma Gambar 11. Kondisi lahan sebelum aplikasi Analisis vegetasi dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan untuk mengetahui jenis gulma dominan di areal percobaan. Spesies gulma dominan ditunjukkan oleh besarnya Summed Dominance Ratio (SDR) dalam % pada areal percobaan. Summed Dominance Ratio (SDR) merupakan rata-rata jumlah penutupan nisbi dan nilai frekuensi nisbi yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi terhadap areal percobaan. Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan disajikan pada tabel 9. Berdasarkan hasil analisis tersebut didapatkan lima spesies gulma dominan yang memiliki nilai SDR lebih dari 10%, diantaranya adalah Imperata cylindrica (Gambar 12a), Asystasia gangetica (Gambar 12b), Ageratum conyzoides (Gambar 12c), Paspalum conjugatum (Gambar 12d) dan Euphorbia hirta (Gambar 12e). 25

40 Tabel 9. Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan pada masing-masing areal percobaan No Spesies Gulma SDR (%) Areal I Areal II Areal III 1 Imperata cylindrica Asystasia gangetica Ageratum conyzoides Phyllanthus niruri Paspalum conjugatum Euphorbia hirta Cyperus kyllingia Eclipta prostrata Axonopus compressus Gulma lainnya (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 12. Gulma dominan sebelum perlakuan Gulma yang lebih dominan pada areal percobaan II dan III adalah Imperata cylindrica atau alang-alang dengan nilai SDR masing-masing sebesar 50% dan 54.10%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian luasan areal tebu tersebut dipenuhi oleh alang-alang dan sebagian luasan lagi dipenuhi oleh beberapa jenis gulma yang lain dengan komposisi penutupan yang berbeda-beda (lihat tabel 9). Berdasarkan pengaruh gulma terhadap tanaman perkebunan, Barus (2003) menggolongkan gulma menjadi lima kelas yaitu gulma kelas A, B, C, D dan E. Alang-alang termasuk gulma golongan kelas A, yakni jenis gulma yang sangat berbahaya bagi tanaman perkebunan sehingga harus diberantas secara tuntas. Sedangkan gulma yang lebih dominan pada satu areal percobaan I adalah gulma dengan spesies Paspalum conjugatum atau rumput pait dengan nilai SDR 40.39%. Rumput pait termasuk gulma golongan kelas C, yakni gulma yang merugikan tanaman perkebunan dan memerlukan tindakan pengendalian, namun tindakan pengendalian tersebut tergantung pada keadaan seperti ketersediaan 26

41 biaya atau mempertimbangkan segi estetika (kebersihan kebun). Besarnya nilai SDR untuk alangalang dan rumput pait yang ditunjukkan dari hasil analisis vegetasi ini sesuai dengan pengamatan awal secara visual, bahwa alang-alang lebih dominan di areal percobaan II dan III serta rumput pait lebih dominan di areal percobaan I. Baik alang-alang maupun rumput pait ini menjadi target pengendalian dalam menerapkan beberapa aplikasi perlakuan termasuk keputusan menentukan jenis herbisida yang dipilih. Sebelum perlakuan juga dilakukan pengukuran penutupan dan tinggi gulma pada masingmasing plot percobaan. Dari hasil pengukuran beberapa plot percobaan pada areal I yang didominasi oleh rerumputan dapat diketahui bahwa penutupan gulma rata-rata mencapai 92.03% dengan tinggi gulma rata-rata hingga 8.65 cm (lihat tabel 10). Penutupan gulma rata-rata dan tinggi gulma rata-rata pada areal dominan alang-alang masing-masing sebesar 90.18% dengan tinggi gulma rata-rata hingga cm, seperti yang disajikan pada tabel 11. Besarnya tingkat penutupan dan tinggi gulma ini dipengaruhi oleh tidak adanya tindakan pengendalian setelah pengolahan tanah hingga penanaman tebu. Perbedaan tinggi gulma yang cukup besar ini karena pada areal percobaan II dan III didominasi oleh alang-alang yang pada dasarnya memiliki ketinggian yang lebih panjang daripada rumput pada areal percobaan I. Tabel 10. Keadaan gulma sebelum perlakuan pada areal dominan rerumputan No plot Penutupan gulma rata-rata (%) Tinggi gulma rata-rata (cm) I.4a I.9b I.8a I.8b I.9a I.2b I.6a I.4b I.3a I.5b I.1b I.5a I.1a I.7b I.2a I.3b I.7a I.6b I.10a I.10b Rata-rata

42 Tabel 11. Keadaan gulma sebelum perlakuan pada areal dominan alang-alang No plot Penutupan gulma rata-rata (%) Tinggi gulma rata-rata (cm) III II II III III.3a III.1b III II II III.1a II.2a II II III.3b III III.2b II.3a II.3b II II.2b II III.2a Rata-rata C. Pengaruh Pengendalian Tunggal Secara Kimia Pengendalian gulma tunggal secara kimia yang dalam penelitian ini dinotasikan dengan huruf H menggunakan dua jenis herbisida berbahan aktif glyphosate dan paraquat. Berdasarkan hasil analisis vegetasi gulma sebelum perlakuan diketahui bahwa alang-alang (Imperata cylindrica) dan rumput pait (Paspalum conjugatum) merupakan dua jenis gulma yang lebih dominan bila dibandingkan dengan jenis-jenis gulma lain, oleh karena itu untuk mengendalikannya digunakan dua jenis bahan aktif herbisida yang berbeda. Sebelum perlakuan, penutupan gulma rata-rata sebesar 93.75% dengan tinggi gulma rata-rata cm. Nilai SDR tertinggi untuk kedua plot ini adalah alang-alang yaitu sebesar 59.55%. Tingginya nilai SDR ini menunjukkan bahwa alang-alang menempati lebih dari setengah luasan plot- 28

43 plot (baris antar tebu) tersebut. Selain alang-alang, di dalam dua plot tersebut juga terdapat Asystasia gangetica (SDR 9.37%), Ageratum conyzoides (SDR 20.20%), Phyllanthus niruri (SDR 4.55) dan gulma-gulma lain (SDR 2.14%). Perlakuan untuk herbisida paraquat pada awalnya memiliki penutupan gulma rata-rata 96.75% dengan tinggi gulma rata-rata 7.43 cm yang sebagian besar didominasi oleh rumput pait dengan SDR 34.11%. SDR tertinggi kedua adalah jenis gulma Euphorbia hirta dengan 29.21% dan sisanya memiliki SDR dibawah 10% yaitu jenis Asystasia gangetica, Ageratum conyzoides, Cyperus kyllingia, Eclipta prostrata, Phyllanthus niruri, Axonopus compressus dan gulma-gulma lainnya. Respon gulma terhadap metode pengendalian dapat dilihat dari besarnya penutupan gulma setelah perlakuan. Persentase penutupan gulma diperoleh dari penutupan gulma hasil pertumbuhan potensi gulma yang ada dalam tanah. Hasil dari perubahan penutupan gulma akibat perlakuan secara kimia dengan dua jenis bahan aktif herbisida disajikan pada gambar 13 dan 14. Aplikasi dari perlakuan kimia yang diberikan menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian memberikan pengaruh terhadap turun-naiknya penutupan gulma. Perlakuan kimia dengan bahan aktif glyphosate dapat menekan penutupan gulma terutama alang-alang pada 6 minggu setelah aplikasi (MSA), karena pada saat tersebut alang-alang mati/kering secara keseluruhan. Keadaan ini tidak berubah hingga 12 MSA, kalaupun ada alang-alang yang masih hidup kondisi batangnya sudah tidak kokoh lagi/tampak layu. Ketika 12 MSA di sepanjang plot pada kedua ulangan ditemukan alang-alang sebanyak tiga batang dengan ketinggian rata-rata 38.4 cm. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 13 bahwa herbisida berbahan aktif glyphosate belum terlalu berpengaruh terhadap penekanan pertumbuhan gulma pada 2 MSA dan pada saat 4 MSA sudah sangat berpengaruh. Pada 2 MSA pengaruh herbisida terhadap alang-alang secara visual hanya menyebabkan daun alang-alang berubah warna dari hijau menjadi kuning, adapun daun yang mengering hanya pada bagian ujung dan samping daun sedangkan bagian tengah daun rata-rata masih berwarna hijau. Herbisida berbahan aktif glyphosate merupakan jenis herbisida sistemik, herbisida yang bersifat sistemik akan mematikan gulma setelah diserap oleh jaringan daun kemudian ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan gulma tersebut (Sukman, 2002). Kemungkinan besar karena itulah, glyphosate membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mematikan gulma secara menyeluruh. Peningkatan penutupan gulma dari 6 hingga 12 MSA itu karena adanya pertumbuhan oleh gulma berdaun lebar seperti Asystasia gangetica, Ageratum conyzoides dan Eclipta prostrate, sedangkan pertumbuhan alang-alang (re-growth) berhenti. Dengan demikian setelah perlakuan terjadi pergesaran dominasi komposisi gulma dari alang-alang ke Asystasia gangetica dengan SDR 49.69% (Lampiran 18). Gambar 13. Pengaruh perlakuan tunggal kimia glyphosate terhadap penutupan gulma 29

44 Gambar 14 menunjukkan pengaruh perlakuan K glyphosate terhadap gulma dan tebu. Pada 2 MSA alang-alang masih tampak hijau dan pada saat 4 MSA sudah mulai mati secara keseluruhan, sedangkan gulma lainnya masih membutuhkan waktu yang lebih lama lagi (8 MSA) untuk mati secara keseluruhan (gambar 14c dan gambar 14d). Pada kurun waktu pengamatan dari 0 MSA hingga 12 MSA untuk perlakuan dengan glyphosate ini tidak menunjukkan adanya gejala keracunan pada tanaman tebu. (a) plot pada 0 MSA (b) plot pada 12 MSA (c) alang-alang pada 2 MSA (d) alang-alang pada 4 MSA Gambar 14. Kondisi plot dan alang-alang pada perlakuan K glyphosate Perlakuan kimia dengan paraquat untuk mengendalikan rerumputan (areal I) mampu menekan gulma dengan baik, respon gulma terhadap herbisida ini dapat dilihat 3 hari setelah aplikasi. Tiga hari setelah aplikasi kimia, gulma terutama rerumputan sudah mengering dan pada 2 MSA pertumbuhan gulmasudah tertekan (gambar 15). Respon ini lebih cepat daripada respon yang terjadi pada aplikasi Penutupan gulma (%) Minggu Setelah Aplikasi Gambar 15. Pengaruh perlakuan K paraquat terhadap penutupan gulma 30

45 kimia dengan glyphosate. Lebih cepatnya respon gulma terhadap paraquat karena herbisida paraquat bersifat kontak dan nonselektif. Bersifat kontak karena herbisida ini akan mematikan pada bagian gulma yang terkena herbisida. Bersifat non selektif karena herbisida ini mempengaruhi semua jenis tumbuhan yang terkena herbisida ini. Dengan demikian herbisida ini dapat mengendalikan semua jenis gulma apabila penggunaannya benar. Herbisida ini sering digunakan untuk tujuan pengendalian gulma saat pra tanam dan juga untuk tujuan pemeliharaan tanaman perkebunan dengan teknis-teknis tertentu. Sebagai sarana pemeliharaan tanaman sering digunakan untuk mengendalikan pada saat tanaman tumbuh dan berkembang. Herbisida ini digunakan untuk mengendalikan gulma yang dapat memberikan pengaruh kompetisi dan menghalangi serta mempersulit operasi pemeliharaan tanaman di antara barisan (Utomo dan Roesmanto, 2005). Berdasarkan analisis vegetasi gulma mengenai jenisjenis gulma yang dominan dalam plot dari dua kali ulangan, herbisida paraquat dapat mengendalikan atau mematikan Paspalum conjugatum dan Euphorbia hirta. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya SDR kedua gulma tersebut pada 12 MSA, namun herbisida paraquat tidak dapat menekan jenis gulma lainnya seperti Asystasia gangetica dan Cyperus kylingia, pada 12 MSA SDR kedua gulma ini lebih besar dari 0 MSA dan selisihnya cukup besar. Pengaruh paraquat terhadap nilai SDR jenis-jenis gulma pada areal percobaan I terhadap aplikasi kimia dengan paraquat ditunjukkan pada gambar 16. Sebelum perlakuan gulma yang mendominasi di areal dominan rerumputan ini adalah paspalum conjugatum atau rumput pait dengan SDR 49.83%. Setelah perlakuan kimia spesies gulma ini mempunyai SDR 22.62% dan gulma yang mendominasi berubah menjadi Ageratum conyzoides dengan SDR 47.62%. Gambar 16. Pengaruh perlakuan K paraquat terhadap SDR jenis gulma Herbisida paraquat dapat memberikan pengaruh negatif terhadap tanaman tebu. Secara visual adanya perubahan warna pada tanaman tebu yaitu dibagian daun dan batang. Perubahan warna dibagian daun tebu karena adanya kontak langsung dengan herbisida pada saat aplikasi penyemprotan, Namun tidak semua daun tebu mengalami perubahan warna, hanya daun-daun yang terletak di antara plot saja yang rata-rata mengalami perubahan warna (gambar 17a). Perubahan warna dibagian batang tebu terjadi pada beberapa batang yang berada di dua sisi plot tempat aplikasi paraquat dilakukan (gambar 17b). Gejala ini terjadi pada 2 MSA, beberapa batang tebu tebu yang awalnya berwarna hijau berubah menjadi merah-kecokelatan. Pada saat 12 MSA batang-batang tebu tersebut berubah 31

46 warna menjadi hitam, namun hal ini tidak menimbulkan gejala lebih lanjut karena meskipun lebih dari 12 MSA tanaman tebu tersebut tidak mati. (a) Gambar 17. Perubahan warna pada tebu setelah aplikasi K paraquat (b) Berubahnya penutupan gulma setiap minggu menunjukkan adanya pengaruh teknik pengendalian gulma terhadap gulma sasaran. Respon gulma terhadap teknik pengendalian dapat berupa terhentinya pertumbuhan, tumbuh kembali ataupun muncul gulma baru. Respon-respon tersebut terjadi dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat dievaluasi hasilnya dan dari hasil evaluasi ini dapat diketahui efisiensi teknik pengendaliannya. Evaluasi ini dilakukan setiap dua minggu untuk aplikasi yang seragam dari beberapa perlakuan. Efisiensi perlakuan K glyphosate untuk dua minggu pertama rata-rata 24.72%, yaitu efisiensi yang diperoleh dari perlakuan K, KM dan KMM. Sedangkan efisiensi tunggal (perlakuan K glyphosate) untuk dua minggu pertama hingga dua minggu keempat (8 MSA) masing-masing adalah 20.63%, 90.97%, 96.50% dan 91.18%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan K dapat mengendalikan gulma pada 6 MSA karena pada saat itu nilai efisiensinya paling besar. Pada dua minggu selanjutnya nilai efisiensi menurun yang menandakan bahwa sudah ada gulma yang tumbuh kembali. Efisiensi perlakuan K paraquat untuk dua minggu pertama rata-rata sebesar 46.39%. Sedangkan efisiensi tunggal (perlakuan K paraquat) untuk dua minggu pertama hingga dua minggu keempat (8 MSA) masing-masing adalah 50.87%, 56.22%, 52.91% dan 47.56%. Efisiensi paling besar untuk perlakuan K paraquat adalah pada saat 4 MSA, sedangkan dua minggu berikutnya nilai efisiensi semakin menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa paraquat mampu mengendalikan gulma secara optimal sampai 4 minggu saja, karena dari 6 minggu dan seterusnya gulma sudah tumbuh kembali yang ditandai dengan kecilnya nilai efisiensi atau semakin besarnya penutupan gulma. Kapasitas penyemprotan dalam waktu dihitung dari waktu dibutuhkan untuk menyemprotkan herbisida pada luasan areal. Pada perlakuan K glyphosate waktu yang dibutuhkan rata-rata detik per m 2 dan waktu yang dibutuhkan rata-rata untuk menyemprotkan paraquat adalah detik per m 2, sehingga rata-ratanya detik per m 2 (Lampiran 20). Dengan asumsi efisiensi kerja sebesar 80% maka diperkirakan kapasitas kerja efektifnya adalah jam/ha. Bila jam kerja efektif sehari-hari sebesar 7 jam berarti dibutuhkan waktu selama 4 hari untuk menyelesaikan penyemprotan seluas 1 ha. Mengingat intensitas hujan di Bogor tinggi, maka aplikasi penyemprotan harus dimulai sepagi mungkin. 32

47 D. Pengaruh Pengendalian Secara Mekanis 1. Perlakuan Tunggal Kondisi plot pada areal dominan alang-alang sebelum perlakuan M mempunyai penutupan gulma rata-rata 81.75% dan tinggi rata-rata cm. Penutupan gulma tersebut didominasi oleh alang-alang yang memiliki nilai SDR 53.83% (Lampiran 3). Pada areal dominan rerumputan penutupan gulma sebesar 79.5% dengan tinggi rata-rata 8.63 cm yang didominasi oleh rumput pait dengan SDR 41.90% (Lampiran 3). Setelah dilakukan aplikasi tunggal secara mekanis oleh walking type cultivator kondisi plotplot perlakuan ini berubah. Dengan membandingkan kondisi ketika sebelum perlakuan atau 0 MSA, kondisi plot pada saat 12 MSA penutupan gulma rata-rata areal dominan alang-alang ini turun menjadi 30.75% dengan tinggi gulma rata-rata 9.35 cm. Tingkat dominasinya pun berubah, SDR alang-alang menjadi 18.63% dan Ageratum conyzoides mempunyai SDR yang paling besar yaitu 52.55%. Di areal dominan rerumputan perubahan penutupan gulmanya tidak terlalu besar yakni sebesar 75.75% dengan tinggi gulma cm. Spesies gulma yang mendominasi masih tetap rumput pait namun nilai SDRnya menurun menjadi 37.14%. Dinamika penutupan gulma yang terjadi akibat pengendalian tunggal secara mekanis dapat dilihat pada gambar 18. Kenaikan yang terjadi di areal dominan alang-alang lebih landai daripada kenaikan di areal dominan rerumputan. Di areal dominan alang-alang terjadi pergantian dominasi gulma yang menempatinya yaitu dari alang-alang berubah menjadi Ageratum conyzoides. Di areal dominan rerumputan meskipun sudah dilakukan aplikasi tunggal secara mekanis gulma yang mendominasi baik sebelum maupun sesudah perlakuan tidak berubah yaitu tetap spesies paspalum conjugatum, namun SDR nya turun (Lampiran 19). Paspalum conjugatum merupakan rumput tahunan, tumbuh berumpun dan membentuk geragih yang panjang beruas-ruas, dari bukunya terbentuk tunas dan akar, membentuk sheet. Tiap ruas geragih potensial untuk tumbuh menjadi tumbuhan baru, sehingga pembabatan tidak dapat membarantas gulma ini, melainkan dapat memperluas penyebarannya. Selain itu bijinya ringan, mudah melekat pada alat-alat pengolahan tanah sehingga mempermudah penyebarannya. Mungkin karena itulah re-growth gulma ini lebih cepat dari pada gulma yang ada di areal dominan alang-alang serta dapat dikatakan bahwa pengendalian tunggal secara mekanis belum dapat menekan gulma yang didominasi oleh paspalum conjugatum. Pada 12 MSA di areal dominan alang-alang terdapat alang-alang yang masih tumbuh (re-growth) dengan SDR sebesar 18.63%, sehingga perlakuan tunggal secara mekanis juga belum dapat mematikan dan menekan pertumbuhan alang-alang. Penutupan gulma (%) MSA 2 MSA 4 MSA 6 MSA 8 MSA 10 MSA 12 MSA M di areal dominan alang-alang M di areal dominan rerumputan Gambar 18. Pengaruh perlakuan tunggal mekanis terhadap penutupan gulma selama 12 MSA 33

48 Aplikasi tunggal mekanis M dari beberapa perlakuan seperti M, MM, MMM, MK, MKM dan MMK mempunyai efisiensi pengendalian rata-rata sebesar 88.29% di areal dominan alang-alang dan 91.76% di areal dominan rerumputan (Lampiran 14). Khusus untuk perlakuan tunggal mekanis M efisiensi pengendalian di areal dominan alang-alang sebesar 86.13%, efisiensi ini merupakan efisiensi 2 minggu setelah aplikasi M sedangkan pada 4 dan 6 minggu setelah aplikasi efisiensinya menurun masing-masing menjadi 77.10% dan 66.8%. Menurunnya efisiensi pengendalian karena penutupan gulma setelah aplikasi semakin bertambah, sehingga dapat memperbesar selisih antara pentupan sebelum dan setelah aplikasi. Efisiensi pengendalian di areal dominan rerumputan sebesar 88.85% dan pada 4 minggu setelah aplikasi efisiensinya sebesar 65.56%, pada 6 minggu sudah tidak efisien karena penutupan gulma 6 MSA lebih besar daripada penutupan gulma 0 MSA, kondisi ini terjadi di salah satu ulangan sehingga jika dihitung nilai efisiensinya negatif. Efisiensi pengendalian pada areal dominan alang-alang lebih besar dari areal dominan rerumputan, hal ini disebabkan oleh re-growth di areal dominan rerumputan lebih besar dan di areal dominan alang-alang perubahan dominansi spesies gulma lebih besar. 2. Perlakuan Ganda Sebelum perlakuan ganda mekanis (MM) keadaan penutupan gulma di plot areal dominan alang-alang sebesar 83.5% yang didominasi oleh alang-alang dan tinggi 21.94%. Rasio dominasinya (SDR) mencapai 44.96%, sisanya 22.59% Ageratum conyzoides, 16% Asystasia gangetica, 3.85% phyllanthus niruri dan 8.41% gulma-gulma lainnya. Di areal dominan rerumputan penutupan gulma sebesar 89.5% yang didominasi oleh rumput pait dengan SDR sebesar 42.03% (Lampiran 19). Setelah perlakuan, untuk areal dominan alang-alang pada 2 MSA penutupan gulma turun hingga 10.5% dan setelah itu karena adanya aplikasi mekanis yang kedua penutupan gulmanya turun lagi menjadi 0% pada 4 minggu setelah aplikasi mekanis yang pertama. Perubahan mengenai penutupan gulma dapat dilihat pada gambar 19. Dua minggu setelah aplikasi mekanis yang kedua gulma sudah mulai tumbuh dan semakin meningkat hingga pada 12 MSA namun peningkatannya landai. Berbeda dengan aplikasi mekanis ganda di areal dominan rerumputan, dua minggu setelah aplikasi mekanis yang kedua peningkatan penutupan gulmanya meningkat tajam. Pada 12 MSA penutupan gulmanya mencapai 72.25% dan terjadi perubahan dominasi spesies gulma. Gulma yang mendominasi di areal dominan rerumputan ini adalah Asystasia gangetica dengan SDR 54.29% sedangkan SDR rumput pait turun menjadi 26.11%. Penutupan gulma (%) MSA 2 MSA 4 MSA 6 MSA 8 MSA 10 MSA 12 MSA MM di areal dominan alang-alang MM di areal dominan rerumputan Gambar 19. Pengaruh perlakuan ganda mekanis terhadap penutupan gulma selama12 MSA 34

49 Dua areal yang telah dilakukan perlakuan ganda mekanis mempunyai efisiensi pengendalian optimal yang sama yaitu pada 4 MSA, perlakuan yang dilakukan di areal dominan alang-alang efisiensi pengendaliannya sebesar 100% dan perlakuan yang dilakukan di areal dominan rerumputan efisiensinya sebesar 97.23%. Seiring dengan bertambahnya penutupan gulma pada 6 MSA dan seterusnya, maka nilai efisiensi pengendaliannya menurun. Di areal dominan alang-alang, pada 6 dan 8 MSA efisiensinya sebesar 99% dan menjadi 96.84% ketika 10 MSA. Di areal dominan rerumputan, efisiensi pengendalian pada 6 dan 8 MSA masing-masing adalah 87.71% dan 54.90% (Lampiran 14). Secara keseluruhan dari beberapa perlakuan yang terdapat aplikasi MM seperti MMM dan MMK maka efisiensi pengendalian rata-rata pada 4 MSA adalah 99.71% di areal dominan alang-alang serta 97.84% di areal dominan rerumputan. Tercapainya efisiensi pengendalian yang mencapai 100% ini dikarenakan gulma mendapat gangguan mekanis oleh walking type cultivator sebanyak dua kali dalam kurun waktu dua minggu sehingga gulma tidak diberi kesempatan untuk tumbuh kembali dalam waktu singkat. Pada areal dominan alang-alang, alang-alang dapat dikendalikan yang ditandai dengan turunnya nilai SDR ketika 12 MSA, namun disisi lain ketika alang-alang mulai hilang gulma lain tumbuh cepat melebihi pertumbuhan alang-alang, gulma tersebut salah satunya adalah Ageratum conyzoides (berdaun lebar). Hal ini diindikasikan bahwa Ageratum conyzoides mendapat sinar matahari yang lebih banyak daripada ketika disekelilingnya ada alang-alang. Pertumbuhan gulma di areal dominan rerumputan setelah perlakuan selesai (4 MSA) lebih cepat dari pada pertumbuahan gulma di areal dominan alang-alang. Hal ini karena areal dominan rerumputan sebelum perlakuan didominasi oleh rumput pait, karena adanya pengolahan tanah yang cukup intensif rangsangan gulma lain untuk tumbuh cukup tinggi. Pada 12 MSA nilai SDR tertinggi adalah spesies Asystasia gangetica sebesar 54.29%. Hal ini sesuai dengan Setyamidjaja dan Azharni (1992) yang memaparkan bahwa macam spesies gulma di kebun tebu sangat ditentukan oleh cara mengolah tanah dan macam tanaman budidayanya. Pengolahan tanah menyeluruh dengan membajak akan mengurangi kepadatan berbagai spesies gulma dari keluarga poaceae, tetapi dapat menambah pertumbuhan spesies gulma teki dan berbagai spesies gulma berdaun lebar. Diketahui bahwa suku rumput pait adalah gramineae (poaceae) dan Asystasia gangetica adalah jenis gulma berdaun lebar. 3. Perlakuan Triple Perlakuan triple mekanis (MMM) yang dilakukan di areal dominan alang-alang memiliki penutupan gulma sebelum perlakuan sebesar 94.75% dan tinggi rata-rata cm. Penutupan gulma tersebut didominasi oleh alang-alang dengan SDR sebesar 56.03%. Setelah perlakuan atau ketika 12 MSA penutupan gulma turun menjadi 2% dengan tinggi 1.91 cm dan didominasi oleh gulma lain dengan SDR 68.75%. Kondisi areal dominan rerumputan sebelum perlakuan MMM rata-rata penutupan gulmanya 94.5%, tinggi 7.85 cm dan SDR tertinggi oleh rumput pait sebesar 41.63%. Ketika setelah perlakuan pada 12 MSA penutupan gulmanya menjadi 31%, tinggi 7.82 cm dan SDR tertinggi oleh Asystasia gangetica dengan 43.23%, sedangkan SDR rumput pait turun menjadi 23.93%. Perubahan penutupan gulma untuk perlakuan triple mekanis selama 12 MSA dapat dilihat pada gambar 20. Efisiensi pengendalian perlakuan triple mekanis adalah 100% dan merupakan efisiensi pengendalian yang paling besar baik yang dilakukan di areal dominan alang-alang maupun di areal dominan rerumputan. Hal ini terjadi ketika 6 MSA atau tepat dua minggu setelah aplikasi mekanis yang ketiga. Pada saat itu penutupan gulmanya 0% dan beberapa minggu berikutnya mengalami kenaikan. Namun kenaikan penutupan gulma antara kedua areal berbeda, areal dominan alang-alang kenaikannya lebih landai daripada areal dominan rerumputan. Kejadian ini hampir sama dengan pengaruh perlakuan dengan double secara mekanis, ketika tanah yang didominasi oleh gulma jenis rerumputan diolah maka selain berkurangnya gulma rerumputan akan terjadi peningkatan gulma berdaun lebar (Setyamidjaja dan Azharni., 1992). Jika perlakuan triple mekanis dibandingkan dengan perlakuan double dan tunggal mekanis, pengaruh pertumbuhan gulma akan lebih berpengaruh oleh 35

50 perlakuan triple mekanis, dalam hal ini ditandai dengan rendahnya penutupan gulma pada saat 12 MSA. Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah semakin tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan gulma semakin rendah. Murwandono et al (1993) melaporkan bahwa metode pengolahan tanah dengan intensitas tinggi pada tanah alluvial di Bakalan, Pasuruan mampu menekan pertumbuhan gulma lebih besar dibanding metode pengolahan tanah intensitas rendah. Pengendalian gulma secara mekanis dengan menggunakan walking type cultivator temasuk kedalam kegiatan pengolahan tanah, karena tanah diolah/dicacah oleh pisau rotary. Penutupan gulma (%) MSA 2 MSA 4 MSA 6 MSA 8 MSA 10 MSA 12 MSA MMM di areal dominan alang-alang MMM di areal dominan rerumputan Gambar 20. Pengaruh perlakuan triple mekanis terhadap penutupan gulma selama12 MSA Rata-rata aplikasi mekanis dilakukan sebanyak dua kali atau dua lintasan dalam setiap baris tanamnya. Selama aplikasi di lapangan, terdapat kelemahan dalam melakukan beberapa aplikasi mekanis. Kelemahannya yaitu daun tebu melilit ke pisau rotary cultivator, sehingga dapat menyebabkan kerusakan fisik pada tanaman tebu, seperti yang terlihat pada gambar 21. Lilitan daun tebu yang tidak segera terlepas dari pisau rotary cultivator dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah yaitu pisau cultivator akan menarik batang tebu dan dapat menyebabkan batang tebu miring atau runtuh. Kejadian ini terjadi pada 4 MSA atau ketika aplikasi mekanis yang ketiga. Daun tebu pada 4 MSA ini rata-rata sudah tumbuh besar dan beberapa diantaranya berada di antara baris tanaman atau menempel di atas tanah. Namun, daun tebu yang melilit pada pisau rotary cultivator rata-rata adalah daun tebu yang sudah kering sehingga akan segera terlepas dengan sendirinya. Gambar 21. Kerusakan daun tebu karena aplikasi mekanis Performance kerja walking type cultivator memberikan hasil yang berbeda-beda antara aplikasi mekanis yang pertama, kedua dan ketiga (Lampiran 23 dan 24). Di areal dominan alang-alang 36

51 efisiensi kerja cultivator pada aplikasi mekanis ketiga merupakan efisiensi yang paling tinggi daripada efisiensi aplikasi mekanis pertama dan kedua. Efisiensi paling tinggi untuk mekanis ketiga adalah pada lahan yang sebelumnya sudah mendapat perlakuan aplikasi kimia dan mekanis yakni sebesar % dengan kapasitas lapang efektif (KLE) sebesar ha/jam, bila jam kerja efektif sehari adalah 7 jam maka diperlukan kurang lebih 12 hari/ha dalam usaha pengendalian gulmanya. Namun aplikasi mekanis yang paling efektif adalah pada lahan yang sebelumnya sudah mendapat perlakuan aplikasi mekanis dua kali yakni sebesar ha/jam, dengan kondisi yang sama maka aplikasi mekanis ini diperlukan 9 hari/ha. Efisiensi kerja di areal dominan rerumputan yang paling tinggi adalah pada aplikasi mekanis kedua pada lahan yang sebelumnya sudah mendapat perlakuan kimia yaitu sebesar % dengan kapasitas lapang efektif (KLE) sebesar ha/jam, sehingga dapat diselesaikan selama 12 hari/ha dalam usaha pengendalian gulmanya. Namun aplikasi yang paling efektif adalah pada lahan yang sebelumnya sudah mendapat perlakuan dua kali mekanis yaitu sebesar ha/jam, sehingga diperlukan 6 hari/ha dalam usaha pengendalian gulmanya. Perlakuan triple mekanis menghasilkan kapasitas lapang efektif paling tinggi dari pada perlakuan lain baik di lahan dominan alang-alang maupun rerumputan. Hal ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya waktu yang terbuang. Lahan yang sebelumnya mendapat perlakuan secara mekanis dua kali telah mematikan gulma dengan baik, sehingga ketika aplikasi mekanis ketiga gulma yang tersangkut di pisau rotary sedikit, hal ini tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk membersihkannya. Waktu yang dibutuhkan untuk mengendalikan gulma atau mengkultivasi tanah rata-rata detik per 10 m, waktu belok rata-rata detik dan waktu lainnya digunakan untuk membersihkan pisau rotary cultivator dari lilitan gulma. Membersihkan pisau rotary cultivator pada saat setelah selesai melakukan aplikasi setiap plot atau baris antar tanaman, waktu yang dibutuhkan untuk membersihkannya rata-rata detik. Pada aplikasi mekanis pertama yang dilakukan di areal dominan alang-alang waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan pisau rotary rata-rata sebesar detik atau 4.05 menit, banyaknya gulma terutama alang-alang yang melilit disertai dengan menempelnya tanah lembab pada pisau rotary menyebabkan semakin lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membersihkannya, seperti yang ditunjukkan pada gambar 22. Pada kondisi lain, seperti aplikasi mekanis di areal dominan rerumputan atau aplikasi ketiga di areal dominan alangalang dengan tidak adanya alang-alang yang melilit waktu yang dibutuhkan untuk membersihkannya pun lebih singkat yaitu rata-rata Gambar 22. Gulma dan tanah lembab pada pisau rotary cultivator detik. Tidak mudahnya pengoperasian walking type cultivator untuk maju secara konstan menyebabkan adanya perbedaan kecepatan maju yang cukup jauh antara yang satu dengan yang lainnya (Lampiran 23 dan 24). Tidak konstannya gerak maju disebabkan oleh pisau rotary cultivator yang berfungsi untuk mengendalikan gulma atau mengolah tanah juga berfungsi sebagai penggerak walking type cultivator untuk maju. Lebar plot atau baris antar tanaman yang rata-rata 125 cm tidak sebanding dengan lebar pisau rotary cultivator yang selebar 60 cm, sehingga aplikasi mekanis setiap plotnya membutuhkan dua atau tiga kali lintasan. Hal ini dilakukan supaya wilayah baris antar 37

52 tanaman tersebut dapat teraplikasi mekanis semua. Pada kenyataannya, jika aplikasi mekanis dilakukan dua lintasan maka lebar baris antar tanaman yang kurang dari 120 cm ada beberapa daerah yang teraplikasi dua kali sehingga luas areal yang teraplikasi berkurang atau jauh dari perhitungan luas secara teoritis, jika lebar baris antar tanaman lebih dari 120 cm dan tidak mendekati 180 cm maka ada beberapa sentimeter yang tidak teraplikasi. Gambar 23 menunjukkan pengoperasian walting type cultivator dan kondisi lebar plot dengan pisau cultivator. Kemungkinan faktor-faktor ini mempengaruhi kecilnya efisiensi penggunaan walking type cultivator Yanmar Te 550 n dalam mengendalikan gulma di areal perkebunan tebu. Gambar 23. Pengoperasian walking type cultivator E. Pengaruh Pengendalian Secara Kombinasi 1. Perlakuan Dua Kombinasi Perlakuan dua kombinasi antara kimia dengan mekanis dilakukan dengan dua jenis kombinasi yaitu perlakuan yang didahului secara mekanis dan dua minggu kemudian secara kimia (MK) serta perlakuan yang didahului secara kimia dan dilanjutkan secara mekanis dua minggu kemudian (KM). Sebelum perlakuan di areal dominan alang-alang didominasi oleh alang-alang dan setelah perlakuan didominasi oleh Ageratum conyzoides, di areal dominan rerumputan sebelum perlakuan didominasi oleh rumput pait dan setelah perlakuan didominasi oleh Asystasia gangetica. Efisiensi pengendalian dari dua perlakuan yaitu MK dan MKM dengan rata-rata sebesar 90.97% untuk areal dominan alang-alang serta 98.30% untuk areal dominan rerumputan. Efisiensi pengendalian ini diperoleh dua minggu setelah perlakuan MK selesai atau tepatnya ketika 4 MSA dari aplikasi mekanis yang pertama. Jika diamati setiap dua minggu hingga 12 MSA, efisiensi pengendalian di areal dominan alang-alang terus mengalami kenaikan. Berturut-turut besarnya efisiensi pengendalian dari 4 MSA hingga 12 MSA adalah 88.44%, 91.93%, 92.26%, 93.48% dan 93.48%. Sehingga efisiensi paling besar untuk perlakuan MK di areal dominan alang-alang adalah pada saat 10 dan 12 MSA. Efisiensi pengendalian paling besar di areal dominan rerumputan adalah ketika perlakuan MK selesai atau 2 minggu setelah aplikasi kimia yaitu sebesar 98.18%. Setiap dua minggu berikutnya efisiensi pengendaliannya semakin rendah, pada 12 MSA efisiensinya menjadi 52.54%. Hal ini menunjukkan bahwa gulma sudah mulai tumbuh lebih dari setengahnya dari kondisi gulma sebelum perlakuan. Perubahan penutupan gulma selama pengamatan dapat dilihat pada gambar

53 Penutupan gulma (%) MSA 2 MSA 4 MSA 6 MSA 8 MSA 10 MSA 12 MSA MK di areal dominan alang-alang MK di areal dominan rerumputan Gambar 24. Pengaruh perlakuan dua kombinasi MK terhadap penutupan gulma selama12 MSA Perlakuan dua kombinasi yang dimulai dengan aplikasi kimia dan dilanjutkan dua minggu berikutnya (KM) hasilnya berbeda dengan perlakuan MK. Sebelum perlakuan di areal dominan alang-alang didominasi oleh alang-alang sedangkan setelah perlakuan didominasi oleh Ageratum conyzoides. di areal dominan rerumputan sebelum perlakuan didominasi oleh rumput pait dan setelah perlakuan mengalami pergeseran dominasi gulma yaitu oleh Asystasia gangetica. Efisiensi pengendalian perlakuan KM rata-rata termasuk dari perlakuan KMM adalah 97.53% di areal dominan alang-alang serta 100% di areal dominan rerumputan. Efisiensi pengendalian areal dominan alang-alang pada 4 MSA dan dua minggu berikutnya adalah 98%, 98% dan 97%, areal dominan rerumputan pada 4 MSA dan dua minggu berikutnya adalah 100%, 96.46% dan 88.44%. Aplikasi kimia yang merupakan aplikasi awal dari perlakuan ini belum dapat mengendalikan gulma secara optimal, terlihat dari penutupan gulma yang masih tinggi pada saat 2 MSA. Hal ini sudah dibuktikan pada perlakuan tunggal kimia bahwa pengendalian kimia mencapai efisiensi optimal ketika 6 MSA. Dengan adanya perlakuan KM, maka setelah aplikasi mekanis tepatnya setelah dua minggu penutupan gulma mencapai titik terendah hingga mencapai 0%. Namun dua minggu berikutnya secara berturut-turut penutupan gulma mengalami kenaikan. Perubahan penutupan gulma perlakuan KM selama 12 MSA disajikan pada gambar 25. Penutupan gulma (%) MSA 2 MSA 4 MSA 6 MSA 8 MSA 10 MSA 12 MSA KM di areal dominan alang-alang KM di areal dominan rerumputan Gambar 25. Pengaruh perlakuan dua kombinasi KM terhadap penutupan gulma selama12 MSA 39

54 2. Perlakuan Tiga Kombinasi Perlakuan tiga kombinasi terdiri dari satu kali aplikasi kimia dan dua kali aplikasi mekanis, dimana jarak waktu antar aplikasi adalah dua minggu. Perlakuan tiga kombinasi yang dilakukan terdiri dari MMK, MKM dan KMM. Pada areal dominan alang-alang sebelum perlakuan baik MMK, MKM maupun KMM didominasi oleh alang-alang, masing-masing dengan SDR sebesar 47.95%, 40.51% dan 50.37%. Setelah perlakuan nilai SDR alang-alang pada ketiga perlakuan tersebut adalah 0%. Hal ini berarti bahwa alang-alang sudah tidak tumbuh lagi pada 12 MSA, jenis gulma lain tetap tumbuh yakni pada perlakuan KMM dan MKM ditumbuhi Asystasia gangetica dan Ageratum conyzoides, sedangkan perlakuan MMK hanya ditumbuhi oleh Ageratum conyzoides. Ageratum conyzoides merupakan gulma yang lebih dominan dibandingkan dengan Asystasia gangetica. Efisiensi pengendalian paling besar ketiga perlakuan ini pada saat 6 MSA yaitu sebesar 100% dan setiap dua minggu berikutnya efisiensi pengendalian mulai menurun seiring dengan naiknya penutupan gulma. Namun kenaikan penutupan gulmanya berbeda-beda, seperti yang terihat pada gambar MSA 2 MSA 4 MSA 6 MSA 8 MSA 10 MSA 12 MSA MMK MKM KMM Gambar 26. Perbandingan pengaruh perlakuan antar tiga kombinasi terhadap penutupan gulma di areal dominan alang-alang Jika sebelum perlakuan pada areal dominan alang-alang semuanya didominasi oleh alangalang, pada areal dominan rerumputan sebelum perlakuan MMK, MKM dan KMM semuanya didominasi oleh rumput pait dengan SDR masing-masing 40.3%, 44.49% dan 34.01%. Setelah perlakuan atau tepatnya pada saat 12 MSA rumput pait masih tumbuh namun SDRnya turun menjadi 10.82%, 8.33% dan 3.57%, gulma yang paling dominan setelah ketiga perlakuan ini adalah Asystasia gangetica dengan nilai SDR yang lebih dari 50% (Lampiran 19). Ketiga perlakuan mencapai efisiensi pengendalian paling besar pada saat 6 MSA, perlakuan KMM dan MKM sebesar 100% sedangkan sebesar MMK 99.44%. Setiap dua minggu berikutnya efisiensi pengendalian turun karena penutupan mengalami kenaikan. Perlakuan MKM merupakan perlakuan dengan kenaikan penutupan gulma yang paling lambat dibandingkan dengan dua perlakuan tiga kombinasi lainnya. Perubahan penutupan gulma terhadap pengaruh ketiga perlakuan kombinasi tersebut disajikan pada gambar

55 MSA 2 MSA 4 MSA 6 MSA 8 MSA 10 MSA 12 MSA MMK MKM KMM Gambar 27. Perbandingan pengaruh perlakuan antar tiga kombinasi terhadap penutupan gulma di areal dominan rerumputan F. Pengaruh Pengendalian dengan Mesin Potong Rumput Perlakuan mesin potong rumput hanya dilakukan di areal dominan alang-alang. Hal ini dilakukan karena cara pengendalian ini telah diterapkan oleh pemilik kebun tebu di Cimahpar sejak pertama kali membudidayakan komoditas tebu. Bentuk fisik alang-alang yang cenderung lebih tinggi daripada rerumputan biasa merupakan salah satu alasannya. Oleh mesin ini alang-alang dipotong dibagian pangkal, sehingga rhizomnya masih hidup karena berada di dalam tanah. Penutupan gulma mulai bertambah pada 2 MSA ke 3 MSA hingga 12 MSA (Lampiran 13). Meskipun penutupan gulma pada 12 MSA lebih kecil daripada 0 MSA tetapi areal tersebut masih didominasi oleh alang-alang yang ditandai dengan tingginya SDR seperti gambar 28. Sebelum perlakuan SDR alang-alang sebesar 50.96% dan ternyata meningkat menjadi 54.47% pada 12 MSA. Rhizom alang-alang yang tidak dapat dimatikan oleh mesin ini memungkinkan alang-alang untuk berkembang biak kembali MSA 12 MSA Imperata cylindrica Asystasia gangetica Ageratum conyzoides Gambar 28. Pengaruh mesin potong rumput terhadap SDR jenis gulma 41

56 G. Pengaruh Perlakuan Terhadap Selisih Penutupan Gulma dan Tinggi Gulma Adanya perlakuan yang terdiri dari satu atau lebih aplikasi dapat mempengaruhi penutupan gulma dan ketinggian gulma, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun pengaruhnya berbedabeda, dengan menghitung selisih setiap 2 MSA antar kedua parameter tersebut dapat diketahui parameter yang lebih respon terhadap aplikasi alat. Tabel 12 dan tabel 13 merupakan selisih atau ratarata kenaikan pada penutupan gulma dan tinggi gulma di areal dominan alang-alang. Angka negatif merupakan respon parameter yang mengalami penurunan dari 2 MSA sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa penurunan penutupan gulma tidak berbanding lurus dengan penurunan tinggi gulma, hal tersebut ditandai dengan tidak samanya tanda negatif pada beberapa kolom-baris antara tabel penutupan dan tabel tinggi. Salah satunya adalah perlakuan MK pada periode 4 ke 6 MSA pada areal dominan alang-alang, untuk penutupan gulma mengalami penurunan tetapi untuk tinggi gulma mengalami kenaikan. Semua perlakuan pada aplikasi pertama (0 ke 2 MSA) dapat menurunkan penutupan gulma dan tinggi gulma. Penurunan karena aplikasi mekanis lebih tinggi daripada penurunan karena aplikasi kimia. Di areal dominan rerumputan pun demikian, selisih penutupan gulma tidak berbanding lurus dengan selisih kenaikan tinggi gulma. Penurunan penutupan gulma dan tinggi gulma lebih lebih respon terhadap aplikasi mekanis daripada aplikasi kimia. Tabel 12. Selisih penutupan gulma di areal dominan alang-alang (%) Tabel 13. Selisih tinggi gulma di areal dominan alang-alang (cm) 42

57 Tabel 14. Selisih penutupan gulma di areal dominan rerumputan (%) Tabel 15. Selisih tinggi gulma di areal dominan rerumputan (cm) Secara analisa tabulasi terlihat bahwa kombinasi dua kali aplikasi mekanis dan aplikasi kimia satu kali dengan bahan aktif glyiphosate (MMK) pada interval 2 minggu menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengendalikan gulma di areal dominan alang-alang. Keadaan sebelum aplikasi areal tebu ini didominasi oleh alang-alang dan perlakuan MMK dapat menghentikan pertumbuhan alang-alang hingga tidak terjadinya re-growth. Selain perlakuan MMK yang dapat menghilangkan atau menghentikan alang-alang dari areal dominan alang-alang adalah perlakuan KMM dan MKM. Hilangnya pertumbuhan alang-alang ini ditandai dengan SDR alang-alang yang bernilai 0%. Namun permasalahan baru telah muncul dengan tumbuh dan meningkatnya dominasi gulma lain yang sebelum perlakuan merupakan gulma minoritas. Pengaruh perlakuan MMK lainnya adalah gulma yang tumbuh pada 12 MSA hanya satu jenis yaitu Ageratum conyzoides. Pengendalian gulma di areal dominan rerumputan yang sebelum perlakuan didominasi oleh gulma berspesies paspalum conjugatum atau rumput pait dapat dikendalikan secara baik oleh perlakuan aplikasi mekanis dua kali dengan aplikasi kimia diantara aplikasi mekanis (MKM). Perlakuan ini menunjukkan hasil penekanan pertumbuhan gulma terbaik dalam penutupan gulma dan tinggi gulma. Perlakuan MK merupakan perlakuan terbaik dalam mengurangi jumlah jenis gulma. Perlakuan KMM merupakan perlakuan terbaik dalam menekan dominasi rumput pait. Masalah baru pada perlakuan yang diaplikasikan di areal dominan rerumputan pun sama dengan yang dilakukan di areal dominan alang-alang yaitu muncul dan tingginya dominasi gulma baru. Asystasia gangetica dan Ageratum conyzoides merupakan dua spesies gulma yang sering ditemukan setelah perlakuan. Pengendalian pada lahan dominasi alang-alang lebih berat dibandingkan dengan pengendalian pada lahan yang ditumbuhi 43

58 rerumputan biasa, karena alang-alang selain mempunyai kerapatan yang tinggi juga karena adanya rhizome di dalam tanah yang memiliki daya tumbuh yang kuat. Keuntungan dari penggunaan walking type cultivator sebagai alat pengendalian gulma adalah karena gulma tidak saja mengalami pemotongan rhizomenya tetapi juga mengalami pembalikan dalam arti bahwa rhizome yang terpotong tersebut dikeluarkan dari dalam tanah sehingga oleh panas matahari menjadi kering dan tidak dapat berkecambah lagi. Meskipun alat ini tidak sepenuhnya dapat menghilangkan alang-alang tetapi masih lebih baik bila dibandingkan dengan alat lainnya yang hanya berfungsi sebagai alat/pemangkas alangalang diatas permukaan tanah. Alat pemangkas alang-alang contohnya adalah mesin potong rumput. Pembabatan alang-alang merupakan cara pemberantasan yang paling cepat tetapi sifatnya hanya sementara, karena dalam kurun waktu yang singkat alang-alang dapat tumbuh subur kembali bahkan kerapatan dapat melebihi kerapatan semula (Satari, a.m dalam Lumintang). Dari hasil pengendalian gulma dengan mesin potong rumput bahwa penutupan gulma pada 12 MSA sebesar 24.25% yang masih didominasi oleh alang-alang dengan rasio sebesar 50.33%. Agar teknik pengendalian gulma lebih mudah, maka pada areal tebu yang didominasi oleh alang-alang sebaiknya diberantas terlebih dahulu oleh mesin potong rumput dan kemudian dilanjutkan dengan walking type cultivator. Sehingga, pekerjaan dengan walking type cultivator tidak terlalu berat dan alang-alang tidak tumbuh lagi. 44

59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Perlakuan aplikasi mekanis dua kali dengan aplikasi kimia oleh glyphosate setelah aplikasi mekanis (MMK) menunjukkan hasil penekanan pertumbuhan gulma terutama alang-alang yang terbaik dalam persentase penutupan dan tinggi gulma. 2. Perlakuan aplikasi mekanis dua kali dengan aplikasi kimia oleh paraquat diantara aplikasi mekanis (MKM) menunjukkan hasil penekanan pertumbuhan gulma terutama rumput pait yang terbaik dalam persentase penutupan dan tinggi gulma. 3. Perlakuan tiga kombinasi (MKM dan KMM) dapat menghentikan pertumbuhan alang-alang kembali atau re-growth dengan nilai Summed Dominance Ratio (SDR) sebesar 0% pada 12 MSA. 4. Aplikasi kimia dengan paraquat dapat menimbulkan gejala keracunan pada tebu karena adanya perubahan warna namun tidak menyebabkan kematian dan aplikasi kimia dengan glyphosate tidak menimbulkan gejala keracunan pada tebu. B. Saran 1. Hand sprayer dan walking type cultivator harus dapat dipastikan dalam keadaan baik hingga penelitian selesai atau ada cadangan dengan hasil kalibrasi yang sama, karena penelitian dilakukan secara kontinu dan tidak bisa ditunda ketika sudah mulai. 2. Perlu dicari suatu metoda pengendalian gulma secara kimia, mekanis dan kombinasi pada dosis, jenis bahan aktif dan interval waktu yang lain. 3. Penelitian selanjutnya ada kajian mengenai biaya yang dikeluarkan dari setiap perlakuan, sehingga dapat menentukan metode pengendalian yang lebih tepat dalam menekan pertumbuhan gulma dan biaya. 4. Fungsi pisau rotary walking type cultivator Yanmar Te 550 n untuk mengkultivasi tanah dan sebagai penggerak cultivator untuk bergerak maju, hal ini menyulitkan operator dalam menjaga kekonstanan kecepatan kerja sehingga pengukuran kapasitas kerja kurang akurat. Oleh karena itu, perlu dicari mesin lain untuk menerapkan aplikasi mekanis. 45

60 DAFTAR PUSTAKA Arditha DG Teknik Pemeliharaan dan Pemanenan Pada Budidaya Tebu Lahan Kering Di PT. Laju Perdana Indah Site Komering Oku Timur Sumatera Selatan. [Laporan Praktek Lapang]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Barus E Pengendalian Gulma di Perkebunan Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Jogjakarta. Daywin FJ, Sitompul RG, Hidayat H Mesin-Mesin Budidaya Pertanian. JICA-DGHE/IPB Project. Bogor. Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan) Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan. Djojosumarto P Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Hardjosentono dkk Mesin-Mesin Pertanian. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Hermawan W dkk Pedoman Praktikum Teknik Mesin Budidaya Pertanian. Departemen Teknik Pertanian. Fateta IPB. Bogor. Humbert RP The Growing of Sugar Cane. Amsterdam: Elsevier Publishing Company. Kuntohartono Pergesaran Gulma di Kebun Tebu dan Penanggulangannya. Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. Pasuruan. 7 hal Kuntohartono Pengendalian Gulma terpadu sebagai Upaya Mengurangi Ketergantungan akan Herbisida Impor. Gula Indonesia 23 (1) : Lumintang TM Aspek Fisik dan Mekanik Tanah dalam Modifikasi Lingkungan Perakaran melalui Pengolahan Tanah secara Mekanis pada Lahan Alang-alang [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, IPB. Marjayanti ST, Kuntohartono, Dianyo Keragaman dan Nilai Ekonomis Gulma pada Pertanaman Tebu Keprasan di Jawa. Prosiding Pertemuan Teknis II. Pasuruan Moenandir J Fisiologi Herbisida. Rajawali Press. Jakarta.pp.142. Peng SY The Biology and Control of Weeds in Sugarcanes. Elsevier Science Publishing Company Inc. New York. 336 p. Pramuhadi G Produktivitas Tebu Sebagai Fungsi dari Manipulasi Mekanik Tanah dalam: Prosiding Gelar Teknologi dan Seminar Nasional Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Jogjakarta. Sastroutomo SS Ekologi Gulma. Jakarta. PT Gramedia. Sukman Y Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Tjitrosoedirdjo S, Utomo IH, Wiroatmodjo J(Eds) Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Kerjasama Biotrop Bogor PT. Gramedia. Satari AM Kemungkinan Reklamasi Wilayah Alang-alang. Bogor. Fakultas Pertanian, IPB. Sembiring EN, Soepardjo S Studi Penyiapan Lahan Alang-Alang Secara Khemis dan Mekanis untuk Pemukiman Transmigrasi. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Medan. Setyamidjaja D, Azharni H Tebu Bercocok Tanam dan Pascapanen. CV. Yasaguna. Jakarta. Smith HP, Wilkes LH Mesin dan Peralatan Usaha Tani. (edisi keenam penerjemah Ir. Tri Purwadi, M. Eng) Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soeryani M Alang-Alang Imperata Cylindrica L BEAUV Pattern of Growth as Related to its Problem of Control. Srivastava AK Engineering Principles of Agricultural Machines. ASAE. Michigan. USA. 46

61 Susanto Pengaruh Tekanan Penyemprot, Nosel, dan Ketinggian Terhadap Ukuran dan Jumlah Butiran Semprot Pada Hand Sprayer Merk Swan Tipe A-14/I [Skripsi]. Bogor. Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 47

62 LAMPIRAN 48

63 Lampiran 1. Spesifikasi walking type cultivator Model Te 550 n Uraian Satuan Posisi Stang Kemudi Atas Tengah Bawah Panjang keseluruhan mm Dimensi dengan roda karet Lebar keseluruhan mm 495 Tinggi keseluruhan mm Berat kosong Berat rangka dengan roda karet Model Volume silinder kg - cc 61 Robin EY Motor penggerak Tenaga maksimum hp/rpm 5.0/2000 Tenaga rata-rata hp/rpm 3.5/1800 Sistem pendinginan Berat kosong - kg Udara 16 Penerusan daya Kopeling utama - Puli penegang tali sabuk Ukuran tali sabuk - COGGED V-BELT REC H-P IISSB35 Maju ke-1 (F1) ke-2 (F2) km/jam km/jam Kecepatan jalan (Roda Karet) ke-3 (F3) km/jam 5.69 ke-4 (F4) km/jam 9.32 Mundur ke-1 (R1) ke-2 (R1) km/jam km/jam Stang kemudi Roda karet Penyetelan posisi lebar mm 640 Axie rotary Rotary, R+L berat kg 11 Jumlah pisau buah 24 Bar resistance "A" berat kg 1.2 lebar mm 700 Hexagon rotor Rotary, R+L berat kg 11.4 Jumlah pisau buah 18 Perlengkapan kerja Bar resistance "H" berat kg 1.2 lebar mm 350 Rotary set berat kg 25 jumlah pisau putar maju buah 12 Rear rotary jumlah pisau putar mundur buah 12 Ridger Iron wheel R/L diameter mm berat kg Skid berat kg lebar mm berat kg

64 Lampiran 2. Spesifikasi hand sprayer otomatis Nama alat : Alat semprot tangan (hand sprayer) Produsen : PT. Golden Agin Nusa, Depok Merk/tipe : SWAN tipe A-14 Model : Tipe otomatis dengan pompa udara (tangki dipompa sebelum digunakan) Material : Stainless steel sheet AISI-304-BA Tipe pompa : Pompa piston (torak) Tekanan operasi maksimal : 10 kg/cm 2 Kapasitas tangki : 14 liter Berat kosong : 5.5 kg 50

65 Lampiran 3. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan M Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 51

66 Lampiran 4. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MM Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 52

67 Lampiran 5. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MMM Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 53

68 Lampiran 6. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MK Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 54

69 Lampiran 7. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MKM Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 55

70 Lampiran 8. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MMK Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 56

71 Lampiran 9. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan K Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 57

72 Lampiran 10. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan KM Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 58

73 Lampiran 11. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan KMM Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 59

74 Lampiran 12. Data penutupan dan tinggi gulma kontrol (tanpa pengendalian) Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 60

75 Lampiran 13. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan mesin potong rumput Keterangan: U1 = Ulangan 1 U2 = Ulangan 2 61

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gulma di Kebun Tebu Pengertian gulma selalu dikaitkan dengan perencanaan penggunaan sesuatu lahan, contohnya pada kondisi tertentu alang-alang masih berguna bagi manusia karena

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Agustus 2010. Bertempat di salah satu kebun tebu di Kelurahan Cimahpar Kecamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula.

TINJAUAN PUSTAKA. Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis

Lebih terperinci

Lampiran 1. Spesifikasi walking type cultivator

Lampiran 1. Spesifikasi walking type cultivator LAMPIRAN 48 Lampiran 1. Spesifikasi walking type cultivator Model Te 550 n Uraian Satuan Posisi Stang Kemudi Atas Tengah Bawah Panjang keseluruhan mm 1504 1472 1418 Dimensi dengan roda karet Lebar keseluruhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi

TINJAUAN PUSTAKA. yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Jarak Tanam Salah satu faktor penentu produktivitas jagung adalah populasi tanaman yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi tanaman tersebut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) berasal dari Brazil, Amerika

I. PENDAHULUAN. Tanaman karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) berasal dari Brazil, Amerika 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) berasal dari Brazil, Amerika Selatan, pertama kali ada di Indonesia sebagai tanaman koleksi yang ditanam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi kehidupan manusia yang dapat memenuhi kebutuhan akan minyak nabati. Tanaman lain yang

Lebih terperinci

Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut

Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut Penyusun E. Sutisna Noor Penyunting Arif Musaddad Ilustrasi T. Nizam Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dipakai untuk membudidayakan tanaman. Gangguan ini umumnya berkaitan

I. PENDAHULUAN. yang dipakai untuk membudidayakan tanaman. Gangguan ini umumnya berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gulma adalah tumbuhan yang mudah tumbuh pada setiap tempat yang berbeda- beda, mulai dari tempat yang miskin nutrisi sampai tempat yang kaya nutrisi. Sifat inilah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma Masalah gulma timbul pada suatu jenis tumbuhan atau sekelompok tumbuhan mulai mengganggu aktifitas manusia baik kesehatannya maupun kesenangannya. Istilah gulma bukanlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di Pulau

I. PENDAHULUAN. mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di Pulau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah iklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai

Lebih terperinci

Pada mulsa eceng gondok dan alang-alang setelah pelapukan (6 MST), bobot gulma naik dua kali lipat, sedangkan pada mulsa teki dan jerami terjadi

Pada mulsa eceng gondok dan alang-alang setelah pelapukan (6 MST), bobot gulma naik dua kali lipat, sedangkan pada mulsa teki dan jerami terjadi PEMBAHASAN Sebagian besar perubahan jenis gulma pada setiap perlakuan terjadi pada gulma golongan daun lebar, sedangkan golongan rumput relatif tetap pada 3 MST dan 6 MST. Hal ini diduga dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)

Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Efficacy Trial of Pre Emergence Herbicides to Control Weeds in Sugarcane (Saccharum officinarum L.) Plantation

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting sebagai bahan pembuatan gula yang sudah menjadi kebutuhan industri dan rumah

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI 1 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI Oleh NUR AYSAH NIM. 080500129 PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia seharihari,

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia seharihari, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia seharihari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara luas di Indonesia. Tebu sendiri adalah bahan baku dalam proses pembuatan gula. Dalam

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI HERBISIDA AMETRIN DAN 2,4-D DALAM MENGENDALIKAN GULMA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.)

PENGARUH APLIKASI HERBISIDA AMETRIN DAN 2,4-D DALAM MENGENDALIKAN GULMA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) 72 JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 2 MEI-2013 ISSN: 2338-3976 PENGARUH APLIKASI HERBISIDA AMETRIN DAN 2,4-D DALAM MENGENDALIKAN GULMA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) THE EFFECT OF HERBICIDE

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Efektivitas Penyemprotan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum pengaplikasian herbisida, terlebih dahulu diukur jumlah persentase gulma dilahan A, B, dan C. Menurut usumawardani (1997) penutupan gulma

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Taksonomi tanaman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila),

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila), III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila), Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein nabati yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Biji kedelai digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gulma di Kebun Tebu Gulma pengganggu pada tanaman tebu, seperti pada tanaman lainnya, dapat digolongkan atas gulma yang berdaun lebar, yang berdaun sempit, dan teki-tekian (Cyperaceae).

Lebih terperinci

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F14104084 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR vii UJI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan tanaman tebu PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang yang terletak di blok Cidangdeur, desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Aspek Teknis

PEMBAHASAN Aspek Teknis 47 PEMBAHASAN Aspek Teknis PT. Gula Putih Mataram menggunakan sistem mekanisasi dalam kegiatan pengolahan lahan, hal ini menyebabkan dalam pelaksanaan pengolahan tanah sangat tergantung pada kondisi tanah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Jagung menjadi salah satu bahan pangan dunia yang terpenting karena

I. PENDAHULUAN. dunia. Jagung menjadi salah satu bahan pangan dunia yang terpenting karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan salah satu tanaman serealia yang tumbuh hampir di seluruh dunia. Jagung menjadi salah satu bahan pangan dunia yang terpenting karena mempunyai kandungan

Lebih terperinci

TUGAS I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN KELAPA SAWIT

TUGAS I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN KELAPA SAWIT TUGAS I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN KELAPA SAWIT NAMA INSTANSI FASILITATOR : MU ADDIN, S.TP : SMK NEGERI 1 SIMPANG PEMATANG : Ir. SETIA PURNOMO, M.P. Perencanaan pemeliharaan merupakan tahapan awal yang sangat

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi (Oriza sativa) adalah salah satu jenis serealia yang umumnya dibudidayakan melalui sistem persemaian terlebih dahulu. Baru setelah bibit tumbuh sampai

Lebih terperinci

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT Oleh: VIDY HARYANTI F14104067 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

Mengenal Gulma di Pertanaman Tebu

Mengenal Gulma di Pertanaman Tebu Mengenal Gulma di Pertanaman Tebu Gulma tumbuh di sela barisan tanaman tentu merupakan pemandangan yang seringkali terlihat di lahan tebu. Meskipun lumrah namun keberadaannya ternyata cukup mengganggu,

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN BAB III PERSIAPAN LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU

Lebih terperinci

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU Ubi kayu diperbanyak dengan menggunakan stek batang. Alasan dipergunakan bahan tanam dari perbanyakan vegetatif (stek) adalah selain karena lebih mudah, juga lebih ekonomis bila

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tebu untuk keperluan industri gula dibudidayakan melalui tanaman pertama atau plant cane crop (PC) dan tanaman keprasan atau ratoon crop (R). Tanaman keprasan merupakan

Lebih terperinci

JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 4 SEPTEMBER-2013 ISSN:

JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 4 SEPTEMBER-2013 ISSN: JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 4 SEPTEMBER-2013 ISSN: 2338-3976 PENGARUH DOSIS PUPUK ANORGANIK DAN PENGENDALIAN GULMA PADA PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) VARIETAS PS.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak dibudidayakan di dunia, termasuk di Indonesia. Tanaman jagung selain digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Desa Muara Putih Kecamatan Natar Lampung Selatan dengan titik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seorang ahli botani bernama Linnaeus adalah orang yang memberi nama latin Zea mays

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seorang ahli botani bernama Linnaeus adalah orang yang memberi nama latin Zea mays BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Jagung Seorang ahli botani bernama Linnaeus adalah orang yang memberi nama latin Zea mays untuk spesies jagung (Anonim, 2007). Jagung merupakan tanaman semusim

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten 30 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

METODELOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

METODELOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung III. METODELOGI PERCOBAAN 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan ini dilakukan mulai bulan Oktober 2007 hingga Februari 2008. Selama berlangsungnya percobaan, curah hujan berkisar antara 236 mm sampai dengan 377 mm.

Lebih terperinci

PEMELIHARAAN TANAMAN JAGUNG

PEMELIHARAAN TANAMAN JAGUNG PEMELIHARAAN TANAMAN JAGUNG Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP.,MP. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung sebagai tanaman pangan di Indosesia, menduduki urutan kedua setelah padi. Namun Jagung mempunyai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dengan kondisi lahan sebelum pertanaman adalah tidak ditanami tanaman selama beberapa bulan dengan gulma yang dominan sebelum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jenis - Jenis Gulma 2.1.1. Penggolongan Berdasarkan Habitat a. Gulma Air (Aquatic Weeds) Pada umumnya, gulma air tumbuh di air, baik mengapung, tenggelam, ataupun setengah tenggelam.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai

BAHAN DAN METODE. Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai September 2012 oleh Septima (2012). Sedangkan pada musim tanam kedua penelitian dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Budidaya tanaman pare ini dilakukan dari mulai pengolahan lahan manual dengan menggunakan cangkul, kemudian pembuatan bedengan menjadi 18 bedengan yang

Lebih terperinci

Jurnal Pertanian Tropik ISSN No : Vol.4, No.3. Desember (22) :

Jurnal Pertanian Tropik ISSN No : Vol.4, No.3. Desember (22) : PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays. L) PADA BERBAGAI PENGELOLAAN GULMA DI KABUPATEN DELI SERDANG Growth and Production of Maize (Zea mays L) in the Various of Weed Control in Distric Deli Serdang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang artinya pertanian memegang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang artinya pertanian memegang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Negara Indonesia merupakan negara agraris yang artinya pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Sub sektor perkebunan mempunyai peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil minyak masak, bahan industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunan kelapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan semusim yang termasuk golongan rerumputan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan semusim yang termasuk golongan rerumputan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan tanaman pangan semusim yang termasuk golongan rerumputan berumpun. Umur tanaman padi mulai dari benih sampai bisa dipanen kurang lebih 4 bulan.

Lebih terperinci

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny TEKNIK PENANAMAN RUMPUT RAJA (KING GRASS) BERDASARKAN PRINSIP PENANAMAN TEBU Bambang Kushartono Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Prospek rumput raja sebagai komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI TUGAS AKHIR (TA)

III. METODOLOGI TUGAS AKHIR (TA) III. METODOLOGI TUGAS AKHIR (TA) A. Tempat Pelaksanaan Kegiatan Tugas Akhir (TA) akan dilaksanakan pada lahan kosong yang bertempat di Dusun Selongisor RT 03 / RW 15, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah plastik Laboratorium Lapang Terpadu Natar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah plastik Laboratorium Lapang Terpadu Natar 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah plastik Laboratorium Lapang Terpadu Natar Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Kecamatan Natar, Kabupaten

Lebih terperinci

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat Syarat Tumbuh Tanaman Jahe 1. Iklim Curah hujan relatif tinggi, 2.500-4.000 mm/tahun. Memerlukan sinar matahari 2,5-7 bulan. (Penanaman di tempat yang terbuka shg

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Ubi Kayu Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu sumber karbohidrat yang berasal dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu berasal dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber kalori yang relatif murah. Kebutuhan akan gula meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. sumber kalori yang relatif murah. Kebutuhan akan gula meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang

Lebih terperinci

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah Latar Belakang Di antara pola tanam ganda (multiple cropping) yang sering digunakan adalah tumpang sari (intercropping) dan tanam sisip (relay

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Aspek Khusus 6.1.1. Pengelolaan Kebun Bibit Datar di PG. Krebet Baru Pengelolaan kebun bibit berjenjang dilakukan mulai KBP (Kebun Bibit Pokok), KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN GULMA TANAMAN PERKEBUNAN Pengenalan Knapsack Sprayer

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN GULMA TANAMAN PERKEBUNAN Pengenalan Knapsack Sprayer LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN GULMA TANAMAN PERKEBUNAN Pengenalan Knapsack Sprayer Disusun oleh : Sofyan Asiddiq 12-05-0111 BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN D IV POLITEKNIK PERKEBUNAN LPP YOGYAKARTA 2014 BAB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari permintaan pasar internasionalyang terus meningkat dari tahun ke tahun. Nanas

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI ( Coffea Sp ) Oleh ALI IMRON NIM :

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI ( Coffea Sp ) Oleh ALI IMRON NIM : 1 EFEKTIFITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI ( Coffea Sp ) Oleh ALI IMRON NIM : 080500107 PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK

Lebih terperinci

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah Oleh : Juwariyah BP3K garum 1. Syarat Tumbuh Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat tumbuh yang sesuai tanaman ini. Syarat tumbuh tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan potensial masa

I. PENDAHULUAN. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan potensial masa 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan potensial masa depan karena mengandung karbohidrat sehingga dapat dijadikan alternatif makanan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, Kasihan, Bantul dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu komoditas perkebunan

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu komoditas perkebunan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu komoditas perkebunan penting yang ditanam untuk bahan baku utama gula. Hingga saat ini, gula merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang batangnya mengandung zat gula sebagai bahan baku industri gula. Akhir-akhir ini

Lebih terperinci

PENYIAPAN LAHAN. Oleh : Juwariyah BP3K Garum

PENYIAPAN LAHAN. Oleh : Juwariyah BP3K Garum PENYIAPAN LAHAN Oleh : Juwariyah BP3K Garum Indikator Keberhasilan : Setelah selesai berlatih peserta diharapkan mampu : a. Menjelaskan kembali tentang pembersihan lahan tanaman bawang merah dengan baik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. di dunia. Dan merupakan makanan pokok ketiga di dunia setelah gandum dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. di dunia. Dan merupakan makanan pokok ketiga di dunia setelah gandum dan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jagung Tanaman jagung merupakan jenis tanaman semusim yang banyak dibudidayakan di dunia. Dan merupakan makanan pokok ketiga di dunia setelah gandum dan padi. Tanaman

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Tanaman tebu dalam dunia tumbuh-tumbuhan memiliki sistematika sebagai berikut : Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Glumaceae Famili : Graminae

Lebih terperinci

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso BUDIDAYA PADI RATUN Marhaenis Budi Santoso Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui peningkatan indeks panen dan peningkatan produksi tanaman setiap musim tanam. Padi Ratun merupakan salah satu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) diklasifikasikan ke dalam kelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) diklasifikasikan ke dalam kelas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) diklasifikasikan ke dalam kelas Angiospermae, subkelas Monocotyledonae, ordo Palmales, famili Palmae, genus Elaeis,

Lebih terperinci

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tebu dan Morfologi Tebu Tebu adalah salah satu jenis tanaman monokotil yang termasuk dalam famili Poaceae, yang masuk dalam kelompok Andropogoneae, dan masuk dalam genus Saccharum.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), kebun percobaan Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dengan

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

Budi Daya Kedelai di Lahan Pasang Surut

Budi Daya Kedelai di Lahan Pasang Surut Budi Daya Kedelai di Lahan Pasang Surut Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Budi Daya Kedelai di Lahan Pasang Surut Penyusun I Wayan Suastika

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Sanggar Penelitian, Latihan dan Pengembangan Pertanian (SPLPP) Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

Pengembangan Jasa Pengolahan Tanah Sawah Secara Mekanis di Kabuapten Kuningan

Pengembangan Jasa Pengolahan Tanah Sawah Secara Mekanis di Kabuapten Kuningan Pengembangan Jasa Pengolahan Tanah Sawah Secara Mekanis di Kabuapten Kuningan SKRIPSI DIYANTI WEDA SARI F14103060 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL TANAMAN WIJEN (Sesamum indicum L.) PADA BERBAGAI FREKUENSI DAN WAKTU PENYIANGAN GULMA PENDAHULUAN

PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL TANAMAN WIJEN (Sesamum indicum L.) PADA BERBAGAI FREKUENSI DAN WAKTU PENYIANGAN GULMA PENDAHULUAN P R O S I D I N G 30 PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL TANAMAN WIJEN (Sesamum indicum L.) PADA BERBAGAI FREKUENSI DAN WAKTU PENYIANGAN GULMA Husni Thamrin Sebayang 1) dan Wiwit Prihatin 1) 1) Jurusan Budidaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang tingkat

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang tingkat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang tingkat konsumsinya cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hampir pada setiap masakan, sayuran ini selalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan sumber bahan makanan ketiga setelah padi dan jagung.

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan sumber bahan makanan ketiga setelah padi dan jagung. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan masalah Ubikayu merupakan sumber bahan makanan ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan ubikayu bagi penduduk dunia, khususnya pada negara tropis setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam. dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta

BAB I PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam. dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam industri gula. Pengembangan industri gula mempunyai peranan penting bukan saja dalam rangka mendorong pertumbuhan

Lebih terperinci

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR Oleh : FERI F14103127 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia

I. PENDAHULUAN. Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia sehingga manusia berusaha untuk mengendalikannya. Kerugian yang disebabkan oleh kehadiran gulma

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, kelapa sawit pertama kali didatangkan oleh pemerintah Hindia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, kelapa sawit pertama kali didatangkan oleh pemerintah Hindia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit Di Indonesia, kelapa sawit pertama kali didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Penanaman dilakukan dengan menanam di Kebun Raya Bogor,

Lebih terperinci

PERGESERAN DOMINANSI SPESIES GULMA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SETELAH APLIKASI HERBISIDA SISTEMIK

PERGESERAN DOMINANSI SPESIES GULMA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SETELAH APLIKASI HERBISIDA SISTEMIK PERGESERAN DOMINANSI SPESIES GULMA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SETELAH APLIKASI HERBISIDA SISTEMIK Araz Meilin 1 ABSTRACT This research aims at identification of 1) weeds domination in palm oil plantation

Lebih terperinci

MENGENAL DAN MERAWAT MESIN PENYEMPROT

MENGENAL DAN MERAWAT MESIN PENYEMPROT MENGENAL DAN MERAWAT MESIN PENYEMPROT Pada budidaya tanaman untuk mengendalikan gulma, hama dan penyakit tanaman umumnya digunakan pestisida berbentuk cair dan tepung. Untuk mengaplikasikannya pestisida

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

PENGENALAN DAN PENGELOLAAN GULMA PADA KEDELAI RINGKASAN

PENGENALAN DAN PENGELOLAAN GULMA PADA KEDELAI RINGKASAN PENGENALAN DAN PENGELOLAAN GULMA PADA KEDELAI Arief Harsono Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi E-mail: rifharsono@yahoo.co.id RINGKASAN Kanopi tanaman kedelai baru menutup tanah pada umur sekitar

Lebih terperinci

PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN KOMPOS BLOTONG PADA TEBU LAHAN KERING (Saccharum officinarum L.) VARIETAS PS 862 dan PS 864

PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN KOMPOS BLOTONG PADA TEBU LAHAN KERING (Saccharum officinarum L.) VARIETAS PS 862 dan PS 864 PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN KOMPOS BLOTONG PADA TEBU LAHAN KERING (Saccharum officinarum L.) VARIETAS PS 862 dan PS 864 Oleh: KARTIKA KIRANA SM A34103020 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR 13 BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir dilaksanakan di Dusun Kwojo Wetan, Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. B. Waktu Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2012 hingga April 2012 di areal lahan hak guna usaha (GU) Divisi I PT PG Laju Perdana Indah site OKU, Palembang,

Lebih terperinci

ALAT DAN MESIN PEMUPUKAN TANAMAN

ALAT DAN MESIN PEMUPUKAN TANAMAN ALAT DAN MESIN PEMUPUKAN TANAMAN Pemupukan merupakan usaha memasukkan usaha zat hara kedalam tanah dengan maksud memberikan/menambahkan zat tersebut untuk pertumbuhan tanaman agar didapatkan hasil (produksi)

Lebih terperinci