BAB III KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Transkripsi

1 BAB III KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kajian Pustaka Pengertian Kebijakan Publik Konsep kebijakan, secara konseptual sering dikonsepsikan dengan terminologi kebijaksaan. Konsep kebijakan diartikan sebagai suatu pernyataan kehendak, dalam bahasa politik diistilahkan sebagai statement of intens atau perumusan keinginan (Marpaung, 2012:19). Sementara itu, Pasolong (2008) memandang kebijakan sebagai suatu rangkaian alternatif yang siap dipilih melalui analisis yang mendalam berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Secara umum, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaha pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan publik, dikatakan demikian karena kepentingan yang dilayani di sini adalah kepentingan-kepentingan publik yang dinamakan public interest. Maka yang aktif dan bekerja dalam hal ini ada beberapa lembaga publik yang dinamakan public institusions (Marpaung, 2012:19). Pada dasarnya, kebijakan publik menitikberatkan kepada publik dan masalah-masalahnya. Kebijakan publik membahas bagaimana isu-isu dan persoalan tersebut disusun, didefinisikan, serta bagaimana kesemua 23

2 24 persoalan tersebut diletakkan dalam agenda kebijakan. Selain itu, kebijakan publik juga merupakan studi bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif dan pasif pemerintah atau kebijakan publik adalah studi tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut (Marpaung, 2012:20). Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kebijakan sebagai a projected program of goals, value and pratices (Nugroho, 2006:23). Definisi kebijakan publik menurut Anderson (1975) adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan 2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah 3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan 4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

3 25 5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dalam kaitannya dengan definisi-definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan definisi kebijakan publik adalah kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan, baik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan, sedangkan secara negatif kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan (Marpaung, 2012:20) Implementasi Kebijakan Publik Implementasi kebijakan adalah tahap lanjut setelah kebijakan publik disahkan oleh pihak yang berwenang. Tahap implementasi merupakan tahap yang sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart (2000) implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses publik. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya tidak lebih dan tidak kurang (Marpaung, 2012:24).

4 26 Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut (Nugroho 2011:618). Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Kebijakan Publik Kebijakan Publik Penjelas Program Proyek Kegiatan Pemanfaatan (beneficiaries) Gambar 3.1 Sekuensi Implementasi Kebijakan Sumber : Nugroho (2011:618) Rangkaian implementasi kebijakan dari gambar diatas dapat dilihat dengan jelas yang dimulai dari program ke proyek dan ke kegiatan. Model tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik, sebagaimana digambarkan berikut ini:

5 27 Misi Visi Strategi/Rencana Kebijakan Umpan Balik (feedback) Program Proyek Kegiatan Gambar 3.2 Sekuensi Implementasi Kebijakan Sumber : Nugroho (2011 : 622) Misi adalah yang pertama, karena melekat pada organisasi. Misi menentukan ke mana akan pergi, atau visi. Jika visi melekat pada organisasi, dan tidak berubah selama organisasi ada, kecuali jika organisasi. Setiap pemimpin organisasi harus mempunyai visi ke mana organisasi dibawa selama di bawah kepemimpinannya. Menurut Nugroho (2011:622) penjabaran visi adalah strategi atau rencana. Strategi adalah makro atau politik dari upaya pencapaian tujuan.

6 28 Strategi ini dieksekusi dalam bentuk kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat publik maupun non publik. Jadi kebijakan publik dapat dikatakan keputusan politik terhadap pilihan atas stratgei. Tanpa keputusan politik, strategi tinggal konsep diatas kertas. Kebijakan ini dioperasionalkan dalam bentuk program-program yang berjalan paralel dengan itu, seperti penganggaran program. Program didetailkan dalam proyek-proyek, dan implementasinya dalam bentuk produk baik berupa pelayanan maupun barang. Istilah produk juga sering diganti dengan kegiatan, namun sengaja tidak digunakan karena ada keluaran yang berupa intangible product, yaitu jasa, dan tangible yaitu produk Loan to Value Definisi Loan to Value Rasio Loan to Value (LTV) adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai guna pada saat awal pemberian suatu kredit (Surat edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013). Kebijakan ini merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk mengantisipasi atau meminimalisir adanya gejolak dalam perekonomian sebagai akibat dari pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kepemilikan atas kendaraan bermotor yang terlalu berlebihan. Sehingga Bank Indonesia selaku penguasa moneter di Indonesia merasa perlu untuk memberikan batasan-batasan yang jelas terhadap jumlah uang muka yang

7 29 harus dimiliki seseorang jika ingin memiliki suatu perumahan atau kendaraan bermotor. Konsep Loan to value sebenarnya sama dengan Down Payment, hanya saja istilah Loan to value lebih condong digunakan pada properti (KPR) sedangkan Down Payment pada kendaraan bermotor. Loan to Value adalah jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank terhadap nilai agunan, sedangkan Down of Payment adalah pembayaran sebagian dari harga oleh pembeli kepada penjual sebagai tanda bahwa perjanjian jual beli yang diadakan telah mengikat. Tidak semua jenis KPR yang akan dikenakan kebijakan Loan to value, menurut Surat edaran No. 15/40/DKMP ruang lingkup KPR yang diatur dalam surat edaran tersebut adalah mencakup kredit konsumsi pemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun tidak termasuk kantor dan rumah toko. Aturan Loan to value (LTV) yang akan diterapkan adalah mengatur besaran uang muka KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) tipe di atas 70 meter persegi secara progresif. BI menetapkan uang muka LTV untuk rumah pertama minimal 30 persen, uang muka minimal 40 persen untuk KPR kedua, dan uang muka minimal 50 persen untuk kredit pemilikan rumah ketiga, dan seterusnya. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Bank Indonesia yang mendasari terbitnya aturan ataupun kebijakan Loan to value ini (surat edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP):

8 30 a. Semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) serta mengingat pertumbuhan KPR dan KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai resiko maka bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB. b. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga asset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank dengan eksposur kredit properti yang besar c. Untuk menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi tantangan sektor keuangan di masa yang akan datang, perlu adanya kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuanganuntuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang berlebihan. Dan kebijakan yang dimaksud adalah melalui penetapan besaran Loan to value (LTV) untuk KPR dan Down Payment untuk kredit kendaraan bermotor Perbandingan Penerapan Loan to Value di Berbagai Negara Sebelum dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP, di Indonesia belum pernah ada ketetapan yang mengatur secara jelas mengenai batasan-batasan dalam kebijakan Loan to Value ataupun Down Payment. Sebelumnya memang telah ada peraturan Bank

9 31 Indonesia yang mengatur prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat. Namun peraturan yang disusun lewat Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) ini tidak secara spesifik mengatur tingkat Loan to Value atau tingkat Down Payment. Namun kebijakan Loan to Value ini bukan kebijakan yang baru di gunakan di Indonesia. Sebelumnya yang sama walaupun harus tetap dipertimbangkan besaran angka Loan to Value di negara tersebut. Besar kecilnya angka Loan to Value di setiap negara akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masalah yang dihadapi oleh masing-masing negara. Pada Tabel 3.1 ditampilkan beberapa negara yang pernah menetapkan kebijakan yang sama di negara masing-masing dengan batasan nilai Loan to Value yang berbeda-beda Hasil Yang Diharapkan dari Kebijakan Loan to Value Setiap kebijakan yang dikeluarkan pasti diharapkan mampu mengatasi masalah yang hendak dipecahkan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan menggunakan suatu kebijakan telah dipelajari terlebih dahulu efek apa yang akan ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Begitu juga dengan penerapan Loan to Value ini, Bank Indonesia mengharapkan dengan adanya pembatasan maksimum Loan to Value suatu Bank dapat lebih berhati-hati dalam menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor yang selama ini dinilai telah melebihi ambang batas kenormalan.

10 32 Negara Tabel 3.1 Perbandingan Penerapan LTV di Berbagai Negara LTV Thailand Max 90% untuk pembelian apartemen seharga < Rp 2,8 M/unit Max 95% untuk pembelian rumah lainnya *tidak berlaku bagi Pegawai negeri atau pegawai BUMN karena resiko kredit dianggap lebih rendah China LTV properti : 1. 70%, properti 2 : 50% sedangkan pembelian property 3 dilarang India Maksimal 80% untuk housing loans Malaysia Maksimal 70% untuk pembelian property ke 3 Hongkong Korea Max 60% untuk Luxury property senilai diatas HK$ 12juta Max 70% untuk properti dibawah HK$12 juta dengan maksimum property value sebesar HK$ 7.2 juta Antara 40-50% tergantung daerah properti yang mengalami exessive growth Maximum 60% untuk kredit real estate Maximal 90% untuk housing loans Max 80%, kalau diatas 80% perlu ada mortage insurance Max 75% untuk housing loans Max 60% untuk mortage bonds Max 80% untuk housing loans Max 80% untuk housing loans Max 90% untuk housing loans Philipina Singapura Australia Canada Jerman Spanyol Prancis Belanda Finlandia Max 75% untuk mortage bondssebesar 60% Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan No.19, Edisi September 2012 Diharapkan Batasan Maksimum Loan to Value akan mempertemukan Bank dengan pihak pembeli yang potensial. Artinya pembeli tersebut memang sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal serta mempunyai kemampuan untuk membayarkannya. Setidaknya batasan yang tinggi terhadap uang muka pembelian suatu properti dapat mengurangi angsuran konsumen setiap bulannya sehingga kemungkinan kredit bermasalah semakin berkurang dan membuat angka Non Performing

11 33 Loan (NPL) semakin membaik (Kajian Stabilitas Keuangan No. 19, September 2012). Selain itu cara ini dianggap akan mampu mengurangi para spekulan yang memang menginginkan keuntungan dari kenaikan harga properti terutama di tipe diatas 70m 2. Para spekulan harus berpikir ulang karena membutuhkan uang yang banyak untuk dapat membeli suatu jenis properti tertentu. Untuk itu diharapkan Industri Properti dan Otomotif ini dapat menawarkan produk otomotif ataupun rumah dengan harga terjangkau bagi setiap segmen dalam masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan papan yang memang dianggap essensial kepentingannya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Pengertian KPR Istilah Kredit yang saat ini banyak digunakan berasal dari kata Romawi berupa Credere yang berarti percaya, atau credo yang berarti saya percaya. Sehingga hubungan dalam perkreditan harus didasari rasa saling percaya diantara Para Pihak untuk memenuhi segala ketentuan perjanjian. Sedangkan pengertian Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tidak ada yang baku, ada yang mendefinisikan KPR adalah suatu fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan

12 34 membeli atau memperbaiki rumah. Adapula yang mengartikan KPR sebagai salah satu bentuk dari kredit consumer yang dikenal dengan Housing Loan yang diberikan untuk konsumen yang memerlukan papan. Digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga dan tidak untuk tujuan komersil serta tidak memiliki pertambahan nilai barang dan jasa di masyarakat. Dari kedua pengertian tersebut dapat diambil inti dari KPR yaitu sebagai fasilitas kredit dari Bank untuk memenuhi kebutuhan perumahan Kredit Pemilikan Rumah Bersubsidi Subsidi dalam pembayaran atau transfer pendapatan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat, baik masyarakat produsen meupun masyarakat konsumen, yang biasanya digunakan sebagai instrument kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan perekonomian, yaitu kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengangguran yang rendah serta untuk stabilitas harga. Subsidi diberikan kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah.secara ekonomi tujuan subsidi adalah mengurangi harga atau menambah keluaran (output). Kebijakan subsidi ditujukan untuk membantu kelompok konsumen tertentu agar dapat membayar produk atau jasa yang diterimanya dengan

13 35 tarif dibawah harga pasar, atau dapat juga berupa kebijakan yang ditujukan yang ditujukan untuk membantu produsen agar memperoleh pendapatan di atas harga yang dibayar oleh konsumen, dengan cara memberikan bantuan keuangan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam rangka ketersediaan rumah bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), Pemerintah menetapkan kebijakan untuk memberikan subsidi pembiayaan perumahan. KPR Bersubsidi Merupakan kredit yang diperuntukkan kepada masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah yang telah dimiliki. Kredit subsidi ini diatur tersendiri oleh Pemerintah, sehingga tidak setiap masyarakat yang mengajukan kredit dapat diberikan fasilitas ini. Secara umum batasan yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam memberikan subsidi adalah penghasilan pemohon dan maksimum kredit yang diberikan. Subsidi diberikan kepada kelompok sasaran, baik yang berpenghasilan tetap maupun yang berpenghasilan tidak tetap, yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh fasilitasi kredit sesuai dengan ketentuan Bank. Pilihan skim subsidi yang diberikan lewat KPR Bersubsidi hanya berupa salah satu dari subsidi selisih bunga atau subsidi uang muka, dengan besaran nilai untuk masing-masing kelompok sasaran. Ketentuan Umum KPR Bersubsidi :

14 36 1. KPR Bersubsidi disediakan oleh Bank dalam rangka memfasilitasi pemilikan atau pembelian rumah sederhana sehat (Rs Sehat / RSH) oleh masyarakat berpenghasilan rendah sesuai kelompok sasaran. 2. Jenis rumah yang dapat dibeli atau dibangun / diperbaiki oleh masingmasing kelompok sasaran mencakup seluruh pilihan jenis Rs Sehat / RSH dan sesuai dengan batas harga rumah yang dapat dibeli melalui KPR Bersubsidi sebagai berikut : Kelompok Sasaran Tabel 3.2 Batas Harga Rumah Batas Harga Rumah (Rp.) Minimum Maksimum Minimum Uang Muka I ,5% II ,5% III ,5% Sumber : Kemenpera, KPR Bersubsidi diberikan kepada kelompok sasaran untuk memiliki rumah yang memenuhi batasan harga rumah dan memenuhi persyaratan yang diberlakukan atas: a. Maksimum uang muka b. Maksimum KPR c. Maksimum jangka waktu kredit (Tenor) d. Skim subsidi 4. Persyaratan atas minimum uang muka, maksimum KPR dan maksimum jangka waktu kredit (tenor) dimaksud adalah sebagai berikut :

15 37 Kelompok Sasaran Kel. Sasaran Min. UM (%) Subsidi Selisih Bunga Maks. KPR (Rp.) Tabel 3.3 Jenis Subsidi KPR Maks. Tenor (Thn) Min. UM (%) Subsidi Uang Muka Maks. KPR (Rp.) Maks. Tenor (Thn) I II III Sumber : Kemenpera, 2010 Jenis subsidi yang diberikan terhadap Kredit Subsidi tersebut terdiri : 1) Subsidi Selisih Bunga Dengan ketentuan : Tabel 3.4 Skema Subsidi Selisih Bunga Suku Bunga Bersubsidi (% Per Tahun) Tahun I II III Sumber :Kemenpera, : sesuai bunga pasar yang berlaku 2) Subsidi Uang Muka Besaran subsidi untuk setiap kelompok sasaran adalah sebagai berikut: Tabel 3.5 Maksimum Nilai Subsidi Kelompok Maksimum Nilai Subsidi / Rumah Tangga Sasaran (Rp.) Subsidi Selisih Bunga Subsidi Uang Muka I II III Sumber : Kemenpera, 2010

16 Fasilitasi Likuiditasi Pembiayaan Perumahan (FLPP) Latar Belakang FLPP Daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat terbatas terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dimana dengan harga lahan dan harga bahan bangunan yang semakin lama semakin meningkat menjadikan masyarakat berpenghasilan rendah belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut dan itu merupakan permasalahan mendasar bagi masyarakat Indonesia khususnya MBR. Keterbatasan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum sebanding dengan tingginya kebutuhan rumah. Di sisi lain, kebijakan bantuan pembiayaan perumahan yang selama ini diterapkan bersifat tidak bergulir. Sehingga perlu upaya dan inisiatif lain agar dana APBN yang terbatas tersebut dapat dioptimalkan untuk keperluan pembiayaan perumahan. Selama tahun 2010 kredit properti mengalami penurunan 0,2%, sementara pada tahun 2009 mengalami kenaikan 10,1%. Penurunan kredit itu dari terlambatnya pertumbuhan kredit untuk KPR yang pangsanya mencapai 63% dari total kredit properti. Selain pertumbuhan kredit properti ada satu lagi yang mengalami masalah yaitu tingginya tingkat suku bunga kredit perumahan yang disebabkan karena adanya ketidaksesuaian antara masa tenor pinjaman dengan tenor pendanaan bank. Dimana sumber dana bank

17 39 dari sumber jangka pendek dengan tingkat suku bunga tinggi sedangkan pembiayaan perumahan bersifat jangka panjang, sehingga akan memberatkan debitur. Sementara dalam pembangunan perumahan meliputi; teknologi, informasi, lahan, perijinan serta pembiayaan. Sedangkan untuk MBR tidak dapat memenuhi hal tersebut semua karena mereka memiliki akses yang sangat terbatas. Selain itu ada penyebab lain yang menyebabkan pasar perumahan MBR tidak berkembang, dimana rendahnya kemampuan mengangsur dikarenakan pendapatan mereka yang terlalu rendah, tingginya tingkat resiko kredit macet dan rendahnya nilai aset yang dimiliki MBR. Oleh karena itu, untuk membantu MBR dalam memenuhi kebutuhan perumahannya pemerintah perlu membuat kebijakan pembangunan perumahan yang berpihak pada kelompok MBR.Terdapat tiga pelaku utama dalam sistem pembiayaan pasar perumahan, yaitu : 1. Masyarakat, sebagai konsumen. 2. Pengembang, sebagai penyedia perumahan 3. Lembaga Penerbit Kredit/Pembiayaan, sebagai lembaga rumah bagi masyarakat, maupun kredit konstruksi bagi pengembang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas dan mendorong pertumbuhan perumahan MBR, pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 telah melakukan reformasi kebijakan bantuan pembiayaan perumahan dengan

18 40 memberikan subsidi berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dimana FLPP merupakan terobosan pemerintah dalam pengembangan pembiayaan perumahan jangka panjang. Gambar 3.3 Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Perumahan Sumber :Kemenpera, 2013 Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) adalah dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBM) dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat. Berdasarkan hal diatas, latar belakang dibuatnya kebijakan FLPP antara lain :

19 41 1. Kemampuan/Daya Beli Masyarakat masih sangat terbatas dan kenaikan penghasilan/pendapatan setiap tahunnya tidak signifikan dibadingkan dengan laju inflasi per tahun 2. Suku bunga yang dikenakan pada masyarakat masih cukup tinggi (regim suku bunga tinggi) 3. Optimalisasi pemanfaatan dana APBN dengan keterbatasan keuangan Negara 4. Pemupukan Dana Perumahan dalam jangka panjang 5. Daya tarik bagi Sumber Dana lain untuk berperan dalam Pembiayaan Perumahan (integrasi sumber-sumber pembiayaan) Fitur FLPP: 1. Bunga fix selama 15 tahun untuk KPR landed house bunga mulai dari 8,15% anuitas (sesuai dengan harga jual rumah) 2. Maksimal gaji pokok yang diperkenankan untuk memperoleh fasilitas ini adalah Rp 2,5 juta (gaji pokok bukan take home pay) sehingga cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) 3. Syarat lainnya yaitu belum mempunyai rumah tinggal yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Kelurahan setempat dan menyertakan NPWP dan SPT tahunan.

20 42 Gambar 3.4 Skema KPR Sejahtera Dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Sumber : Inforum Kemenpera, 2010 Selama tahun 2013 kredit properti mengalami kenaikan sebesar 20% sementara 2009 mengalami Secara umum perkembangan kredit properti Dilaksanakannya kebijakan FLPP dikarenakan kemampuan/daya beli masyarakat masih sangat terbatas dan kenaikan penghasilan/pendapatan setiap tahunnya tidak signifikan dibandingkan dengan laju inflasi per tahun keterjangkauan angsuran KPR Bersubsidi diberikan secara terbatas selama masa subsidi (4 s/d 25 tahun), optimalisasi pemanfaatan dana APBN sejalan dengan keterbatasan keuangan negara, memerangi rejim suku bunga tinggi melalui penyediaan dana murah jangka panjang. Selama tahun 2013 kredit properti mengalami kenaikan sebesar 20% sementara 2009 mengalami Secara umum perkembangan kredit properti Dilaksanakannya kebijakan FLPP dikarenakan kemampuan/daya beli masyarakat masih sangat terbatas dan kenaikan penghasilan/pendapatan

21 43 setiap tahunnya tidak signifikan dibandingkan dengan laju inflasi per tahun keterjangkauan angsuran KPR Bersubsidi diberikan secara terbatas selama masa subsidi (4 s/d 25 tahun), optimalisasi pemanfaatan dana APBN sejalan dengan keterbatasan keuangan negara, memerangi rejim suku bunga tinggi melalui penyediaan dana murah jangka panjang.permasalahan mendasarpembiayaan Perumahan Rakyat adalah unsur pelaksana Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Perumahan Rakyat yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.*) Tujuan dan Manfaat FLPP Dalam hal ini tujuan dari FLPP tersebut adalah memberikan bunga yang terjangkau dan tetap sepanjang masa pinjaman (fixed rate mortgage) bagi MBM dan MBR.Dengan adanya FLPP diharapkan dapat menyediakan dukungan pendanaan bagi lembaga keuangan untuk mendanai aktivitas kreditnya. Lembaga ini dibutuhkan karena timbulnya mismatch jatuh tempo hutang dan aset lembaga keuangan. Dari sisi pemerintah, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini diharapkan dapat membangun suatu pola pembiayaan yang berkelanjutan (sustainable housing finance) sehingga dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat ketergantungan sektor pembiayaan perumahan pada dana APBN.Dari sisi perbankan, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini diharapkan dapat merangsang sector perbankan untuk mendapatkan dana jangka panjang yang efektif dari pasar modal atau pasar uang. Penggunaan

22 44 sumber dana tradisional seperti tabungan dan deposito yang bersifat jangka pendek sudah tidak dapat diandalkan untuk mendanai pembiayaan perumahan yang sifatnya berjangka panjang. Dari sisi masyarakat, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini diharapkan mampu menyediakan pembiayaan atau kredit perumahan yang lebih terjangkau dengan ciri khas kredit perumahan dengan jenis suku bunga tetap sepanjang tenor (fix rate mortgage). Disamping itu, melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini ditargetkan pembiayaan atau kredit perumahan yang akan berlaku adalah pembiayaan atau kredit perumahan dengan suku bunga kurang dari 10% per tahun sepanjang tenor (single digit mortgage). Dengan demikian pembiayaan atau kredit perumahan yang dihasilkan dapat lebih terjangkau dan lebih aman dari sisi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah Mekanisme Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Melalui FLPP akan disediakan dana jangka panjang yang dapat berasal dari APBN (pos pembiayaan) atau sumber dana jangka panjang lainnya (misalnya Bapertarum dan Lembaga sejenis lainnya) untuk kemudian dipadukan dengan dana pihak ketiga dari Bank Pelaksana agar dapat memproduksi pembiayaan atau kredit perumahan yang lebih terjangkau.

23 45 RESUME MEKANISME FLPP DANA MURAH JANGKAPANJANG APBN SUBSIDI DANA PIHAKKETIGA SISI PASOKAN KREDIT KONSTRUKSI BAPERTARUM DAN LEMBAGA SEJENIS LAINNYA BLU PPP BANK PELAKSANA SISI PERMINTAAN KPR REPAYMENT REPAYMENT Gambar 3.5 Mekanisme FLPP Sumber : Inforum Kemenpera, Perbandingan Fasilitas Likuiditas dengan Skim Lama Tujuan pemberian FL adalah memberikan bunga kredit yang terjangkau dan tetap sepanjang masa pinjaman (single digit dan fixed rate mortgage) bagi MBM dan MBR.Sedangkan subsidi yang selama ini diberikan oleh Pemerintah umumnya berupa subsidi selisih bunga, artinya Pemerintah hanya menanggung sebagian angsuran bunga KPR dengan masa subsidi untuk beberapa tahun dan tidak sepanjang masa pinjaman.

24 46 Gambar 3.6 Struktur Kebijakan FLPP Sumber : Deputi Pembiayaan Kemenpera, 2010 Sebagai contoh debitur KPR Bersubsidi yang penghasilannya masuk dalam katagori I yaitu debitur dengan penghasilan antara Rp.1,7 juta sampai Rp.2,5 juta/bulan, hanya menikmati angsuran yang disubsidi selama 6 tahun pertama sedangkan angsuran setelah masa subsidi selesai akan mengikuti atau berfluktuasi sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku pada Bank tersebut. Perbandingan antara fasilitas likuiditas dengan skim subsidi dapat dilihat pada tabel di samping ini yang berdasarkan antara lain besaran angsuran, suku bunga, dan manfaat yang diterima oleh masyarakat. Gambar 3.7 Grafik Tingkat Suku Bunga Per Periode Sumber : Inforum Kemenpera, 2010

25 47 Tabel 3.6 Perbandingan antara Skim Subsidi Pola Lama dengan Skim FLPP SKIM SUBSIDI Masa Subsidi Terbatas, jangka waktu tertentu Suku Bunga Bunga bersubsidi dalam jangka waktu tertentu dan dilanjutkan bunga komersial (bank yang bersangkutan) Angsuran Angsuran selama masa subsidi 1/3 penghasilan, dan selanjutnya cenderung 1/3 penghasilan tergantung bunga komersial Dana APBN Belanja Subsidi, merupakan dana habis (tidak kembali) SKIM FASILITAS LIKUIDITAS Sepanjang masa pinjaman Bunga yang ditetapkan satu digit sepanjang masa pinjaman (fixed rate) Angsuran selama masa pinjaman 1/3 penghasilan Belanja FL dalam pos pembiayaan/investasi sehingga bukan dana habis dan merupakan revolving fund Alokasi APBN Terus menerus Setelah beberapa periode tertentu semakin berkurang dan terus mengecil sampai akhirnya tidak perlu ada alokasi atau ketika Tabungan Perumahan Nasional sudah melembaga Sumber Dana APBN APBN + sumber dana lain Penggunaan Hanya untuk sisi permintaan (KPR Bersubsidi) Sumber : Inforum Kemenpera, 2010 Untuk sisi permintaan (KPR) dengan tingkat bunga terjangkau (satu digit) dengan tenor sampai dengan 15 tahun Untuk sisi pasokan (Kredit Konstruksi) dengan tingkat bunga terjangkau (satu digit) dengan tenor sampai dengan 24 bulan Fasilitas likuiditas merupakan kebijakan Pemerintah yang mengintervensi pokok pinjaman KPR Sejahtera dengan tujuan untuk memberikan suku bunga KPR yang terjangkau bagi MBM dan MBR. Suku

26 48 bunga terjangkau ini diperoleh karena sumber dana FL berasal dari dana APBN yang masuk dalam pos pembiayaan dan bersifat jangka panjang. Berbeda dengan pola subsidi sebelumnya, intervensi pemerintah dilakukan atas bunga pinjaman KPR dan dalam masa subsidi tertentu. Berdasarkan Tabel 3.6, perbedaan antara kebijakan skim subsidi dengan skim FLPP bahwa untuk mengetahui skim yang paling menguntungkan bagi MBR dilihat dari nilai manfaat atau selisih antara angsuran KPR dengan menggunakan bunga pasar dan angsuran KPR yang menggunakan FLPP sepanjang masa tenor. Gambar 3.8 Tahapan Proses Terobosan Kebijakan Pembiayaan Perumahan bagi MBM/MBR Sumber : Inforum Kemenpera, 2010

27 49 Kredit/Pembiayaan rumah diberikan melalui KPR Sejahtera, yang meliputi : 1. KPR Sejahtera Tapak 2. KPR Sejahtera Susun 3. KPR Sejahtera Syariah Tapak 4. KPR Sejahtera Syariah Susun Hingga saat ini Bank Pelaksana yang telah melakukan MoU/PKO dengan Kemenpera yaitu Bank BTN, Bank BTN Syariah dan Bank BNI. Gambar 3.9 Presentase KPR Bersubsidi Sumber : Inforum Kemenpera, 2010 Dalam kurun waktu lima tahun terakhir semenjak diluncurkannya program FLPP pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, Kementerian Perumahan Rakyat telah menyalurkan dana Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) sebesar Rp 13,152 triliun. Dana itu telah digunakan untuk pembiayaan subsidi

28 50 rumah sebanyak unit rumah (Sri Hartoyo, Deputi Pembiayaan Kemenpera). Sedangkan target untuk tahun ini adalah Rp 4,5 triliun dengan jumlah rumah sebanyak unit. Dana yang telah disalurkan setiap tahunnya adalah : 1. Tahun 2010 tersalur unit rumah dengan dana Rp 242,65 milyar 2. Tahun 2011 tersalur unit rumah dengan dana Rp 3,6 triliun 3. Tahun 2012 tersalur unit rumah dengan dana Rp 2,5 triliun 4. Tahun 2013 tersalur unit rumah dengan dana Rp 5,3 triliun 5. Tahun 2014 tersalur unit rumah dengan dana Rp 1,7 triliun Dapat dilihat dari data diatas pada tahun 2014 sudah mencapai 40 persen yang telah dikeluarkan dari yang dianggarkan sebesar Rp 4,5 triliun. 3.7 Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini penulis memaparkan enam penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang analisis Dampak Kebijakan Loan to Value (LTV) Terhadap Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Lokot Zein Nasution (2012) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Loan to Value dan Shock Variabel Makro Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Industri Properti Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value berpengaruh terhadap permintaan kredit property sehingga menjadi menurunnya minat dalam membeli perumahan.

29 51 Erwin Syah Putra D (2013) melakukan penelitian dengan judul Dampak Kebijakan Loan to Value Terhadap Permintaan Properti di Kota Pematangsiantar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value berdampak negative terhadap permintaan property di kota Pematangsiantar. Hal ini dikarenakan semakin sedikitnya minat konsumen membeli rumah tipe diatas 70 m 2 yang dikenakan kebijakan Loan to Value karena harus menyediakan uang yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Noor Sagita Hersiwi (2013) melakukan penelitian thesis dengan judul Dampak Implementasi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pembatasan Loan to Value Pada Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor Bagi Saham-Saham Perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil dari penelitian ini dimana secara umum, implementasi kebijakan pembatasan maksimum loan to value (LTV) pada kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor perbankan tidak memiliki kandungan informasi karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata abnormal return yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa. Ahmad Yusuf (2013), peneliti melakukan penelitian berjudul Aturan Loan to Value KPR Sebagai Bentuk Pengendalian Inflasi dan Risiko Gagal Bayar di Sektor Properti Saat Suku Bunga Meningkat. Hasil dari penelitian ini adalah dengan dikeluarkannya aturan loan to value (LTV) oleh Bank Indonesia dalam mengatur besaran LTV sebagai bagian dari mitigasi risiko inflasi akibat permintaan property yang meningkat

30 52 pesat akibat banyaknya spekulan yang ikut bermain di pasar property, dan nampaknya kebijakan ini cukup mengendalikan inflasi sektor perumahan. Yuniardini Putri Siswanto (2013), melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP Terhadap Risiko Kredit Perbankan Serta Pengaruh Pada Sektor Properti dan Otomotif. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Dengan adanya kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kredit yang diberikan kepada masyarakat, sehingga dapat membantu perbankan untuk mengurangi risiko kredit macet, (2) Bagi perusahaan otomotif dan properti terjadi penurunan penjualan, dimana penurunan ini hanya berdampak signifikan pada perusahaan yang memiliki target konsumen menengah kebawah, baik perusahaan properti maupun perusahaan otomotif. Jeanne Ananti Susanto (2012), melakukan penelitian yang berjudul Analisis Dampak Rencana Regulasi Loan to Value (LTV) Pada Kredit Konsumsi Indonesia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa skema regulasi LTV akan memiliki dampak yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dampak menguntungkan adalah meningkatnya kualitas kredit dan transisi diharapkan untuk kredit produktif sehingga dapat menumbuhkan perekonomian. Sedangkan dampak negatifnya terutama dalam industri otomotif adalah penurunan jumlah penjualan mobil. Joshua Bangun Gunanta (2012) melakukan penelitian dengan judul Dampak Aturan Pembatasan Loan to Value Terhadap Harga Saham Properti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to

31 53 Value yang ditetapkan melalui surat edaran Bank Indonesia No.14/10/DPNP berpengaruh terhadap perubahan saham perusahaan property dan real estate mengalami penurunan harga dibandingkan dengan sebelum aturan pembatasan tersebut efektif ditetapkan. Penelitian oleh Dewi Restu Mangeswuri (2013) yang berjudul Kebijakan Loan to Value Guna Membatasi Pemberian Kredit. Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah Pemerintah menyiapkan aturan pendukung dari kebijakan BI terkait dengan LTV sektor properti untuk menghindari bubble. I Gede Hendra Setiawan dan Ni Putu Sri Harta Mimba (2015) melakukan penelitian Reaksi Pasar Pada Regulasi Loan to Value, yang bertujuan melihat reaksi pasar modal pada pengumuman regulasi SE BI No. 15/40/DKMP sebelum dan sesudah peristiwa pada saham sektor property di BEI. Dan hasil dari penelitian adalah Terdapat reaksi pasar yang signifikan terhadap pengumuman yaitu hari ke t-1 (1 hari sebelum pengumuman), t-0 (saat pengumuman) dan t+2 (2 hari sesudah pengumuman) pengumuman regulasi loan to value. Ida Ayu Putri Saraswati (2014) melakukan penelitian Analisis Kebijakan Bank Indonesia Tentang Loan to Value Pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Cabang Singaraja. Hasil penelitiannya adalah BTN Cabang Singaraja melaksanakan ketentuan Loan To Value yang diterbitkan oleh Bank Indonesia di dalam meyalurkan kredit KPRnya, (2) dampak yang dihadapi oleh BTN Cabang Singaraja berupa

32 54 penurunan jumlah kredit dan adanya persaingan antar bank di dalam menyalurkan KPR, (3) cara BTN Cabang Singaraja menanggulangi dampak yang dihadapi yaitu dengan melakukan kerjasama dengan developer didalam penyediaan KPR dan BTN cabang Singaraja perlu melakukan pemasaran yang lebih agresif, serta layanan dan proses kredit cepat dan berkualitas. 3.8 Rerangka Pemikiran Rerangka Pemikiran menurut Erlina (2008:34) merupakan suatu model yang menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktorfaktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka maka kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat dari Gambar Hipotesis Dalam penelitian ini perlu diberikan hipotesis dimana hipotesis ini merupakan dugaan yang mungkin benar mungkin salah. Dalam penelitian ini mengukur dan menganalis apakah ada pengaruh antara kebijakan Loan to Value terhadap jumlah unit dan besarnya dana KPR FLPP. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan jumlah unit penjualan dan besarnya dana KPR FLPP antara sebelum dan sesudah kebijakan Loan to Value.

33 55 2. Ada perbedaan yang signifikan jumlah unit penjualan dan besarnya dana KPR FLPP antara sebelum dan sesudah kebijakan Loan tovalue. Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP Kebijakan Loan to Value / Down Payment *DP : Kendaraan Bermotor Minimal 30% dari Harga Jual LTV : Properti/Perumahan Diatas Tipe 70 m2 Maksimal Pembiayaan Oleh Bank 70% dari Harga Jual LTV pada KPR Subsidi FLPP pada pembelian rumah ke-2 dan seterusnya Jumlah Unit Penjualan dan Besarnya Dana FLPP Sebelum Kebijakan (April 2010 Juni 2012) Jumlah Unit Penjualan dan Besarnya Dana FLPP Setelah Kebijakan (Juli 2012 Agustus 2014) Dampak Kebijakan Analisis Dampak Kebijakan LTV Terhadap KPR FLPP Gambar 3.10 Rerangka Pemikiran Sumber : Bank Indonesia, 2012

BAB I PENDAHULUAN. perumahan sebagai kebutuhan dasar. Rumah merupakan kebutuhan dasar. manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan

BAB I PENDAHULUAN. perumahan sebagai kebutuhan dasar. Rumah merupakan kebutuhan dasar. manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selain memerlukan sandang dan pangan, juga memerlukan perumahan sebagai kebutuhan dasar. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Berdasarkan data yang diperoleh dari

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Berdasarkan data yang diperoleh dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan rumah tinggal di Indonesia masih menjadi suatu masalah yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pekerjaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Inflation Targeting Framework (ITF) tidaklah cukup untuk mengatasi. krisis ekonomi dan keuangan, maka perlu adanya sebuah instrument

I. PENDAHULUAN. Inflation Targeting Framework (ITF) tidaklah cukup untuk mengatasi. krisis ekonomi dan keuangan, maka perlu adanya sebuah instrument I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju dapat menyebabkan stabilitas keuangan dan sistem pembayaran terganggu. Bagi pembuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bank merupakan salah satu pelaku utama dari perekonomian negara karena berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku ekonomi tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah bank, nasabah, pengembang atau developer, pemerintah, serta Bank

BAB I PENDAHULUAN. adalah bank, nasabah, pengembang atau developer, pemerintah, serta Bank BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan sebuah kredit bersifat konsumtif yang diberikan oleh pihak bank kepada masyarakat untuk memiliki rumah dengan jaminan atau agunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Ekonomi Makro 2.1.1.1 Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro Makro ekonomi adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang membahas perilaku perekonomian

Lebih terperinci

No. 14/ 10 /DPNP Jakarta, 15 Maret 2012. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 14/ 10 /DPNP Jakarta, 15 Maret 2012. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 14/ 10 /DPNP Jakarta, 15 Maret 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dianggap investasi tersebut menguntungkan. Menurut Tandelilin (2010) investasi

BAB I PENDAHULUAN. dianggap investasi tersebut menguntungkan. Menurut Tandelilin (2010) investasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seorang investor bersedia menanamkan dananya pada suatu investasi apabila dianggap investasi tersebut menguntungkan. Menurut Tandelilin (2010) investasi dapat diartikan

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN LOAN TO VALUE (LTV) TERHADAP PERKEMBANGAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH Oleh Tim Riset SMF

DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN LOAN TO VALUE (LTV) TERHADAP PERKEMBANGAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH Oleh Tim Riset SMF DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN LOAN TO VALUE (LTV) TERHADAP PERKEMBANGAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH Oleh Tim Riset SMF A. Latar Belakang Perlambatan ekonomi domestik yang terjadi ditengah perekonomian global yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

BAB I PENDAHULUAN. terutama dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kolektibilitas adalah tingkat atau ukuran kualitas suatu kredit. Penggolongan

I. PENDAHULUAN. Kolektibilitas adalah tingkat atau ukuran kualitas suatu kredit. Penggolongan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolektibilitas adalah tingkat atau ukuran kualitas suatu kredit. Penggolongan kualitas kredit tersebut didasarkan pada kemampuan membayar, sesuai dengan yang tertera pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia. Selain itu, kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap perusahaan bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap perusahaan bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba yang optimal. Dalam mewujudkan tujuan tersebut perusahaan tidak terlepas dari berbagai masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akan barang dan jasa juga semakin meningkat. Kebutuhan suatu kendaraan

I. PENDAHULUAN. akan barang dan jasa juga semakin meningkat. Kebutuhan suatu kendaraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan berjalannya waktu yang semakin maju, maka kebutuhan manusia akan barang dan jasa juga semakin meningkat. Kebutuhan suatu kendaraan merupakan kebutuhan yang

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERUMAHAN TANTANGAN, VISI, DAN ARAHAN PROGRAM

PEMBANGUNAN PERUMAHAN TANTANGAN, VISI, DAN ARAHAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN TANTANGAN, VISI, DAN ARAHAN PROGRAM MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BAPPENAS JAKARTA, 25 NOVEMBER 2013 Outline Isu dan Tantangan Perumahan dan Permukiman Kebijakan dan

Lebih terperinci

-1- MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

-1- MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG -1- MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH SEJAHTERA DENGAN

Lebih terperinci

No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September 2013. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September 2013. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September 2013 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dapat dilakukan dibanyak sektor, salah satunya adalah sektor

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dapat dilakukan dibanyak sektor, salah satunya adalah sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi dapat dilakukan dibanyak sektor, salah satunya adalah sektor properti. Pada umumnya banyak masyarakat yang tertarik menginvestasikan dananya di sektor properti

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan Bank Indonesia, industri properti Indonesia tahun 2011 terus menunjukkan tren meningkat terutama pada sektor konsumsi yang didominasi oleh kredit kepemilikan

Lebih terperinci

2 berkeinginan untuk membeli Properti maupun kendaraan bermotor. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan pelonggaran Rasio Loan to Value atau Rasi

2 berkeinginan untuk membeli Properti maupun kendaraan bermotor. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan pelonggaran Rasio Loan to Value atau Rasi TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERBANKAN. BI. Rasio. Loan To Value. Financing To Value. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 141). PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi sekarang ini perubahan laju pembangunan terus mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi sekarang ini perubahan laju pembangunan terus mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi sekarang ini perubahan laju pembangunan terus mengalami peningkatan. Khususnya Indonesia yang merupakan negara berkembang, di mana segala upaya dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Perbankan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Perbankan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Perbankan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

Lebih terperinci

TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR BERSUBSIDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR BERSUBSIDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 03/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 05/PERMEN/M/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 05/PERMEN/M/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 05/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPRS/KPRS MIKRO BERSUBSIDI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

STUDI PELAKSANAAN KREDIT PERBAIKAN RUMAH SWADAYA MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

STUDI PELAKSANAAN KREDIT PERBAIKAN RUMAH SWADAYA MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR STUDI PELAKSANAAN KREDIT PERBAIKAN RUMAH SWADAYA MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: LATIFAH HANUM A. M. L2D 005 372 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

FOURANCY NOVERIA

FOURANCY NOVERIA ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN LOAN TO VALUE (LTV) TERHADAP KREDIT PEMILIKAN RUMAH FASILITAS LIKUIDITAS PEMBIAYAAN PERUMAHAN TESIS FOURANCY NOVERIA 55109120156 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan data yang tersedia di idx, jumlah perusahaan yang tercatat sampai dengan bulan Januari 2016 adalah sejumlah 523 emiten (www.idx.co.id).

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil kajian penulis selama kegiatan Kuliah Kerja

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil kajian penulis selama kegiatan Kuliah Kerja BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian penulis selama kegiatan Kuliah Kerja Praktek berlangsung, baik hasil kajian dari data primer yang merupakan hasil wawancara, maupun dari

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 07/PERMEN/M/2008 TENTANG

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 07/PERMEN/M/2008 TENTANG MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 07/PERMEN/M/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 03/PERMEN/M/2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alternatif masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alternatif masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang penelitian Berbagai macam sektor yang menggerakkan roda perekonomian, salah satunya adalah sektor properti. Investasi dalam bentuk properti masih menjadi alternatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang investor bersedia menanamkan dananya di suatu investasi jika

BAB I PENDAHULUAN. Seorang investor bersedia menanamkan dananya di suatu investasi jika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang investor bersedia menanamkan dananya di suatu investasi jika investasi itu dianggap menguntungkan. Salah satu pilihan investasi yang menguntungkan yaitu perdagangan

Lebih terperinci

No. 14/ 33 /DPbS Jakarta, 27 November Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA

No. 14/ 33 /DPbS Jakarta, 27 November Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA No. 14/ 33 /DPbS Jakarta, 27 November 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 05/PERMEN/M/2006 TENTANG

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 05/PERMEN/M/2006 TENTANG MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 05/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN ASURANSI KPR/KPRS UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT MENTERI NEGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut UU No.10 tahun 1998 : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

Lebih terperinci

-1- MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG

-1- MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG -1- REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGADAAN PERUMAHAN MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH SEJAHTERA DENGAN DUKUNGAN BANTUAN FASILITAS LIKUIDITAS PEMBIAYAAN

Lebih terperinci

No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September 2013 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH Perkembangan Perbankan Aceh PERKEMBANGAN PERBANKAN DI ACEH 38 KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROV. ACEH TRIWULAN 2-2013 Perbankan Aceh Kinerja perbankan (Bank

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 7/PERMEN/M/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 7/PERMEN/M/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 7/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUN BERSUBSIDI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang semakin kuat sangat berpengaruh dalam pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang semakin kuat sangat berpengaruh dalam pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu sektor usaha yang mempengaruhi perkembangan perekonomian di Indonesia yaitu sektor perbankan, dimana sektor ini memberikan dampak dalam upaya peningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat tetap hidup setiap hari. Setiap manusia butuh makan dan minum.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat tetap hidup setiap hari. Setiap manusia butuh makan dan minum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebutuhan primer makhluk hidup adalah papan selain sandang dan pangan. Sandang dan pangan merupakan penunjang yang membuat manusia untuk dapat tetap hidup

Lebih terperinci

Analisa Statistik Uang Beredar (M2) dan Perkembangan Dana, Kredit serta Suku Bunga Perbankan

Analisa Statistik Uang Beredar (M2) dan Perkembangan Dana, Kredit serta Suku Bunga Perbankan Analisa Statistik Uang Beredar (M2) dan Perkembangan Dana, Kredit serta Suku Bunga Perbankan ober Uang Beredar dalam arti luas (M2) yang terdiri dari uang kartal dan dana masyarakat di perbankan, pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan perekonomian. Begitu penting perannya sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan "nyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini industri perbankan pasca krisis multidimensi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini industri perbankan pasca krisis multidimensi yang melanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini industri perbankan pasca krisis multidimensi yang melanda Indonesia telah memperoleh banyak pelajaran berharga tentang pentingnya suatu kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak perekonomian yang mempengaruhi seluruh aspek masyarakat. Salah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Persaingan bisnis pada era globalisasi saat ini menuntut perusahaan untuk meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif. Pasar yang semakin luas dan selera konsumen yang

Lebih terperinci

Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Mempengaruhi

Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Mempengaruhi wa Desember 2016 Pertumbuhan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) meningkat pada Desember 2016. Posisi M2 tercatat sebesar Rp5.003,3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terus tumbuh, namundengan tetap memperhatikan prinsip kehatian-hatian

BAB I PENDAHULUAN. dapat terus tumbuh, namundengan tetap memperhatikan prinsip kehatian-hatian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai jembatan antara pihakyang kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana. Bank diharapkan dapatmemberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan tercapainya tujuan dari perusahaan, jika sumber daya manusia tidak

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan tercapainya tujuan dari perusahaan, jika sumber daya manusia tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan tercapainya tujuan dari perusahaan, jika sumber daya manusia tidak didukung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tolak ukur kemajuan negara tersebut. Menurut Kasmir (2014) bank adalah

BAB I PENDAHULUAN. tolak ukur kemajuan negara tersebut. Menurut Kasmir (2014) bank adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bank merupakan lembaga yang memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara. Kemajuan bank di suatu negara dapat dijadikan tolak ukur kemajuan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pusat perkantoran (Rusteliana, 2014). Pertumbuhan bisnis properti ini

BAB I PENDAHULUAN. dan pusat perkantoran (Rusteliana, 2014). Pertumbuhan bisnis properti ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan bisnis properti di Indonesia semakin pesat seiring dengan kemajuan perekonomian Indonesia, bisa dilihat dari banyaknya pembangunan perumahan, apartemen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia pernah mengalami krisis pada tahun 1997, ketika itu nilai tukar rupiah merosot tajam, harga-harga meningkat tajam yang mengakibatkan inflasi yang tinggi,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/10/PBI/2015 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik meskipun perekonomian global mengalami ketidakpastian dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang baik meskipun perekonomian global mengalami ketidakpastian dan banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian Indonesia pada dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang baik meskipun perekonomian global mengalami ketidakpastian dan banyak negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurunnya nilai indeks bursa saham global dan krisis finansial di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di seluruh media massa dan dibahas

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia PEMBIAYAAN UMKM DALAM PAKET KEBIJAKAN EKONOMI SEPTEMBER 2015

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia PEMBIAYAAN UMKM DALAM PAKET KEBIJAKAN EKONOMI SEPTEMBER 2015 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia PEMBIAYAAN UMKM DALAM PAKET KEBIJAKAN EKONOMI SEPTEMBER 2015 SURABAYA, 8 OKTOBER 2015 OUTLINE PEMBIAYAAN UMKM DALAM PAKET KEBIJAKAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi dapat terwujud melalui dana perbankan atau potensi

I. PENDAHULUAN. sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi dapat terwujud melalui dana perbankan atau potensi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kehidupan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta peran penting sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. ditujukan bagi MBR yang memenuhi kriteria, yaitu Untuk pembelian rumah

BAB IV PENUTUP. ditujukan bagi MBR yang memenuhi kriteria, yaitu Untuk pembelian rumah BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Sejahtera FLPP adalah kredit pemilikan rumah program kerjasama dengan Kementerian Perumahan Rakyat dengan suku bunga rendah, cicilan ringan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Berdasarkan kebutuhan, setiap masyarakat memiliki kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Berdasarkan kebutuhan, setiap masyarakat memiliki kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian di Indonesia pada saat ini yang serba canggih perkembangannya menuntut masyarakat untuk berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tuntutan itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tapak maupun apartemen yang dibangun oleh pengembang. Keputusan Bank Indonesia untuk menaikan Down Payment untuk kredit

BAB I PENDAHULUAN. tapak maupun apartemen yang dibangun oleh pengembang. Keputusan Bank Indonesia untuk menaikan Down Payment untuk kredit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri properti dan real estate merupakan industri yang berkembang dalam beberapa tahun ini di Indonesia. Dari segi fisik terlihat banyak proyek rumah tapak maupun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 06/PERMEN/M/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 06/PERMEN/M/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 06/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPRS/KPRS MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 13 /PERMEN/M/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 13 /PERMEN/M/2008 TENTANG Draft 2/6/08 PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 13 /PERMEN/M/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 07/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas sehingga

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.401, 2011 KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT. Pengadaan Perumahan. Rumah Sejahtera Tapak. Fasilitas Likuiditas Pembiayaan. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT

Lebih terperinci

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 06/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBANGUNAN/PERBAIKAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO DENGAN

Lebih terperinci

LIST PERTANYAAN DAN JAWABAN TERKAIT PENERAPAN KETENTUAN LOAN TO VALUE

LIST PERTANYAAN DAN JAWABAN TERKAIT PENERAPAN KETENTUAN LOAN TO VALUE LIST PERTANYAAN DAN JAWABAN TERKAIT PENERAPAN KETENTUAN LOAN TO VALUE (LTV) KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) DAN DOWN PAYMENT (DP) KREDIT KENDARAAN BERMOTOR (KKB) PERBANKAN NO PERTANYAAN JAWABAN I. HAL UMUM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pengertian Bank menurut Kasmir (2011 : 3), Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. statistik menunjukan perputaran keuangan pada sektor perbankan 2011

BAB I PENDAHULUAN. statistik menunjukan perputaran keuangan pada sektor perbankan 2011 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbankan merupakan sarana yang strategis dalam rangka pembangunan ekonomi, peran yang strategis tersebut disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai penghimpun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan bisnis perbankan di Indonesia terus mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bank-bank dituntut untuk menjadi lebih dinamis terhadap perubahan agar siap bersaing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembelian rumah bisa dilakukan dengan cara tunai ataupun kredit.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembelian rumah bisa dilakukan dengan cara tunai ataupun kredit. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelian rumah bisa dilakukan dengan cara tunai ataupun kredit. Seseorang dapat membeli rumah secara tunai apabila orang tersebut memiliki uang yang nilainya sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah Indonesia terbelit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan usaha. sejak tahun 1897 dengan nama Postspaarbank. Di era kemerdekaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan usaha. sejak tahun 1897 dengan nama Postspaarbank. Di era kemerdekaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan usaha 1.1.1 Bentuk Usaha PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau yang lebih dikenal dengan nama Bank BTN memiliki sejarah yang sangat panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dalam dunia perbankan saat ini semakin pesat, banyak

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dalam dunia perbankan saat ini semakin pesat, banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dalam dunia perbankan saat ini semakin pesat, banyak berdiri bank-bank pemerintah maupun swasta dan kondisi dunia perbankan di Indonesia telah banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia. Manusia melakukan kegiatan konsumsi berarti mereka juga melakukan pengeluaran. Pengeluaran untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Merkusiwati, 2007:100)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Merkusiwati, 2007:100) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perbankan memiliki peranan yang sangat strategis dalam menunjang berjalannya roda perekonomian dan pembangunan nasional mengingat fungsinya sebagai lembaga

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PERBANKAN. BI. Pembiayaan. Kredit. Uang Muka. Properti. Kendaraan Bermotor. LTV. FTV. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 178)

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA ITAS JASA K OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN INDONESIA SA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit.

BAB I PENDAHULUAN. kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia telah mengalami perkembangan ekonomi yang sangat cepat. Perkembangan tersebut tidak lepas dari peran bank sebagai lembaga keuangan yang mengatur,

Lebih terperinci

Bab 10 Pasar Keuangan

Bab 10 Pasar Keuangan D a s a r M a n a j e m e n K e u a n g a n 133 Bab 10 Pasar Keuangan Mahasiswa diharapkan dapat memahami mengenai pasar keuangan, tujuan pasar keuangan, lembaga keuangan. D alam dunia bisnis terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan menjadi Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan menjadi Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peran perbankan di era globalisasi dan perdagangan bebas seperti sekarang ini benar benar amat dirasakan keberadaannya. Tingginya arus perputaran uang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Bursa Efek Indonesia (dahulu Bursa Efek Jakarta) yang disingkat BEI merupakan lembaga yang mengelola pasar modal di Indonesia. Bursa Efek Indonesia

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH DI BANK JATIM CABANG PEMBANTU WARU SIDOARJO RANGKUMAN TUGAS AKHIR

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH DI BANK JATIM CABANG PEMBANTU WARU SIDOARJO RANGKUMAN TUGAS AKHIR PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH DI BANK JATIM CABANG PEMBANTU WARU SIDOARJO RANGKUMAN TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Penyelesaian Program Pendidikan Diploma III Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kredit bermasalah yang terjadi dalam suatu bank. Semakin tinggi

BAB I PENDAHULUAN. kredit bermasalah yang terjadi dalam suatu bank. Semakin tinggi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyaluran kredit dilakukan sebagai salah satu akibat dari besarnya kredit bermasalah yang terjadi dalam suatu bank. Semakin tinggi produktivitas suatu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TERKINI

PERKEMBANGAN TERKINI PT BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK. PERKEMBANGAN TERKINI KINERJA OPERASIONAL PERSEROAN Perbandingan Periode Sembilan bulan yang Berakhir pada tanggal 30 September 2011 dan 30 September 2012 Pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang memiliki peran penting dalam menopang perekonomian nasional. Hal ini

I. PENDAHULUAN. yang memiliki peran penting dalam menopang perekonomian nasional. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perbankan sampai saat ini masih merupakan lembaga keuangan yang memiliki peran penting dalam menopang perekonomian nasional. Hal ini karena sektor perbankan merupakan

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.

II. LANDASAN TEORI. atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. II. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Bank Bank adalah salah satu badan financial yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk

Lebih terperinci

Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan Mikro

Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan Mikro Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan Mikro I Pendahuluan Keuangan mikro merupakan alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan oleh Pemerintah Indonesia dalam tiga hal sekaligus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dewasa ini perkembangan teknologi terus meningkat dengan pesat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dewasa ini perkembangan teknologi terus meningkat dengan pesat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini perkembangan teknologi terus meningkat dengan pesat, menyebabkan semakin diperlukannya keahlian dalam menganalisis laporan keuangan. Dalam hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis yang berkembang dengan pesat sehingga sangat diperlukan sumber-sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis yang berkembang dengan pesat sehingga sangat diperlukan sumber-sumber 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin majunya perkembangan perekonomian saat ini semakin banyak pula bisnis yang berkembang dengan pesat sehingga sangat diperlukan sumber-sumber dana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berusaha dengan giat melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan juga mempengaruhi minat investor untuk menanam atau menarik investasinya

BAB I PENDAHULUAN. dan juga mempengaruhi minat investor untuk menanam atau menarik investasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan di dunia bisnis menjadi prioritas utama bagi manajemen perusahaan untuk menampilkan yang terbaik dari perusahaan yang dipimpinnya, karena baik buruknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia ekonomi di Indonesia semakin meningkat. Hal ini tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia ekonomi di Indonesia semakin meningkat. Hal ini tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini perkembangan dunia ekonomi di Indonesia semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas dari peran semakin meningkatnya sektor usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan. Seperti telah

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan. Seperti telah BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Bank merupakan perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan. Seperti telah ditegaskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyaknya sektor yang tergantung

BAB I PENDAHULUAN. baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyaknya sektor yang tergantung BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perbankan merupakan urat nadi perekonomian di seluruh negara. Tidak sedikit roda-roda perekonomian terutama di sektor riil digerakkan oleh perbankan baik secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perbankan memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan stabilitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perbankan memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan stabilitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perbankan memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan stabilitas ekonomi suatu negara. Sebab sektor perbankan mempunyai tugas utama sebagai lembaga penghimpun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bank Semua sektor usaha baik sektor industri, perdagangan, pertanian, perkebunan, jasa, perumahan, dan lainnya sangat membutuhkan bank sebagai mitra dalam mengembangkan

Lebih terperinci

Pedoman Penilaian dan Laporan Perkembangan Pembangunan Properti terkait LTV

Pedoman Penilaian dan Laporan Perkembangan Pembangunan Properti terkait LTV Pedoman Penilaian dan Laporan Perkembangan Pembangunan Properti terkait LTV 1. Latar Belakang Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada

Lebih terperinci

2 Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tent

2 Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tent LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2015 PERBANKAN. BI. Rasio. Loan To Value. Financing To Value. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5706). FPERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan. Untuk dapat mempengaruhi pembeli produsen harus. mengetahui bagaimana perilaku yang akan menjadi sasaran

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan. Untuk dapat mempengaruhi pembeli produsen harus. mengetahui bagaimana perilaku yang akan menjadi sasaran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan kegiatan pemasaran adalah untuk mempengaruhi pembeli untuk bersedia membeli produk pada saat konsumen tersebut membutuhkan. Untuk dapat mempengaruhi pembeli

Lebih terperinci