SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR"

Transkripsi

1 TESIS SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR YOGA IBNU GRAHA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

2 TESIS SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR YOGA IBNU GRAHA NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

3 SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Udayana YOGA IBNU GRAHA NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii

4 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 9 JULI 2015 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. NIP I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD. NIP Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS. NIP Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP iii

5 PENETAPAN PANITIA PENGUJI Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 24 Juni 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1854/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 18 Juni 2015 Ketua : Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. Anggota : 1. I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD. 2. Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS. 3. Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc. iv

6 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Yoga Ibnu Graha NIM : Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan Judul Tesis : Simpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Denpasar, 9 Juli 2015 Hormat Saya, Yoga Ibnu Graha NIM v

7 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan hidayah-nya maka tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD selaku pembimbing I yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran selama penyelesaian tesis ini. 2. Bapak I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS selaku penguji yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. 4. Ibu Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc selaku pembahas yang dengan penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam mengkoreksi dan memberikan masukan, saran sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. 5. Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Program Pascasarjana Universitas Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister serta dorongan agar menyelesaikan tesis. 6. Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Denpasar ( Bapak Ir. Ikram Sangadji, M.Si) beserta para Kepala Seksi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang magister. vi

8 7. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dosen-Dosen pengajar di PSMIL yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada saat perkuliahan. 8. Pegawai Sekretariat PSMIL (Bli Made, Ari dan Mbok Tu) yang telah membantu di dalam urusan administrasi. 9. Dosen-dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana (mas Dwi, Bu Elok, mas Aan) beserta para mahasiswa FKP (Sabil dkk) yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini. 10. Pegawai Lab Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana (Bu Bona dan Bapak Udin) yang telah banyak membantu dan memberikan informasi dalam analisa sampel penelitian. 11. Teman-teman kuliah PSMIL angkatan 2012, mba Ipah, Eka, Benita, Ismid dan Pak Reza atas masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini. 12. Teman-teman dan senior di BPSPL Denpasar yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis. 13. Terima kasih kepada keluarga tercinta (Papah Kasmadi, Mamah Tuti dan saudara tercinta), orang tersayang (Intan) dan sahabat-sahabat lain yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat-nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksaan dan penyelesaian tesis ini. Akhirnya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan tulisan-tulisan ilmiah berikutnya. Denpasar, Juli 2015 Penulis vii

9 ABSTRACT SEAGRASS FOR CARBON STORAGE IN SANUR COASTAL AREA, DENPASAR CITY Seagrass is one of the marine resources that considerably potential as a CO 2 absorbent and functioned as carbon sinks in the oceans known as blue carbon. The result of carbon sequestration from the process of photosynthesis is stored as carbon stocks on seagrass tissue, or streamed to multiple compartments, such as sediment, herbivores and other ecosystems. This study aims to assess the potential for carbon stock storage in biomass on a tissue of seagrass in Sanur Beach coastal area. The observations of seagrass are included the seagrass type, seagrass stands, and measurement of environmental parameters. Then the sampling was conducted to obtain the value of seagrass biomass. The carbon stocks obtained through the conversion of biomass by using carbon concentration analysis of seagrass tissue and then carried a spatial distribution of carbon stocks. Types of seagrass found in Sanur Beach coastal area consist of eight species that are Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis and Halodule pinifolia. The result of the carbon stock seagrass in the bottom substrate is 60% greater than the carbon stock in the top substrate which is 40%. Seagrass covering 322 ha of Sanur Beach coastal area with a total potential carbon storage of tons or 0.21 tons /ha. Seagrass key role as a carbon storage is on the bottom substrate tissue, and Enhalus acoroides is a seagrass species that contributes the most to the carbon storage. Keywords: carbon storage, Sanur Beach, seagrass. viii

10 ABSTRAK SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas CO 2 adalah padang lamun dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) dikenal dengan istilah blue carbon. Hasil penyerapan karbon pada proses fotosintesis disimpan sebagai stok karbon pada jaringan lamun, atau dialirkan ke beberapa kompartemen, seperti sedimen, herbivora dan ekosistem lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi penyimpanan stok karbon dalam biomassa pada jaringan lamun di kawasan Pantai Sanur. Pengamatan lamun yang dilakukan meliputi jenis, tegakan lamun dan pengukuran parameter lingkungan. Kemudian dilakukan pencuplikan sampel lamun untuk memperoleh nilai biomassa. Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan menggunakan analisis konsentrasi karbon jaringan lamun dan kemudian dilakukan distribusi stok karbon secara spasial. Jenis lamun yang ditemukan di kawasan Pantai Sanur sebanyak delapan jenis spesies yakni Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis dan Halodule pinifolia. Hasil stok karbon lamun bagian bawah substrat sebesar 60 % lebih besar dibandingkan stok karbon di bagian atas substrat sebesar 40 %. Padang lamun di kawasan Pantai Sanur mempunyai luas 322 ha dengan potensi total stok karbon sebesar 66,60 ton atau 0,21 ton/ ha. Peran kunci lamun sebagai penyimpan karbon terletak pada jaringan bawah substrat, sementara jenis lamun yang berkontribusi besar terhadap stok karbon yaitu jenis Enhalus acroides. Kata kunci: lamun, Pantai Sanur, stok karbon. ix

11 RINGKASAN SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR Peran vegetasi sebagai penyerap karbon sebelumnya hanya fokus terhadap vegetasi darat seperti hutan dan perkebunan. Bukti ilmiah hingga kini juga sudah menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan sebagai rosot karbon (carbon sinks). Potensi ekosistem laut yang berperan dalam menyerap karbon dari atmosfer lewat fotosintesis, yaitu berupa plankton yang mikroskopis maupun yang berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon. Padang lamun yang hidup di kawasan Pantai Sanur selain sebagai penyeimbang ekosistem disekitarnya, diharapkan juga dapat memberikan peranan lain secara optimal yaitu sebagai salah satu penyerap CO 2 dari atmosfer. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul Potensi Penyimpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma). Waktu penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2014 sampai dengan Februari Lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar delapan km yang terbentang dari Pantai Sanur sampai dengan Pantai Mertasari. Pengamatan lamun (jenis dan kerapatan) dan pengambilan sampel biomassa dilakukan di delapan stasiun yang tersebar di lokasi penelitian, dimana tiap stasiun memiliki substasiun yang terdiri dari tiga titik transek kuadran (a,b dan c) sehingga total titik pengamatan (transek kuadran) yang dilakukan sebanyak 24 titik. Pengamatan lamun untuk mengetahui jenis dan kerapatannya dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100cm x 100cm. Pengambilan sampel biomassa dilakukan dengan transek kuadrat berukuran 20cm x20cm sebanyak tiga kali pengambilan di dalam transek kuadrat yang berukuran 100cm x 100 cm tersebut. Penghitungan kandungan karbon dilakukan pada 8 titik yakni pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b) dari masing-masing garis transek. Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan menggunakan hasil analisis konsentrasi karbon jaringan lamun yang dilakukan dengan metode x

12 Pengabuan dan metode Walkley & Black dan kemudian dilakukan distribusi stok karbon secara spasial. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan delapan jenis spesies lamun di wilayah perairan Pantai Sanur yaitu Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis (famili Hydrocharitaceae), Cymodocea rotundata, Cymodocea serulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium (famili Potamogetonaceae). Tingkat keanekaragaman jenis lamun di kawasan Pantai Sanur termasuk dalam kriteria yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation). Nilai kerapatan lamun tertinggi yaitu pada jenis lamun Syringodium isoetifolium berkisar pada individu/ m 2 dan Halophila ovalis sebesar individu/ m 2. Untuk kemunculan jenis lamun tertinggi pada masing-masing stasiun ditemukan pada jenis Enhalus acroides dan diikuti oleh Halodule uninervis. Nilai total biomassa lamun perkuadran (m 2 ) yang diperoleh dari 8 stasiun yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26, gram berat kering (gbk)/ m 2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar 16,08 97,17 gbk/ m 2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma) sebesar 9,92 145,67 gbk/ m 2. Nilai kandungan karbon dibawah substrat (akar dan rhizoma) berkisar antara 1,62 29,54 gc/m2 dan nilai kandungan karbon diatas substrat (daun) berkisar antara 3,21 18,10 gc/m 2. Sedangkan untuk hasil perhitungan total stok karbon lamun dibawah substrat sebesar 39,85 ton karbon atau 60 % lebih besar dibandingkan dengan total stok karbon lamun diatas substrat yang hanya 40 % (26,75 ton karbon). Luas area padang lamun di kawasan Pantai Sanur diestimasi sekitar 322 Ha dan untuk total stok karbon lamun diperoleh total sebesar gc atau sebesar 66,60 ton karbon. Sehingga padang lamun yang tumbuh dikawasan pantai Sanur mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 66,60 ton atau setara dengan 0,21 ton/ha karbon yang terdiri dari bagian lamun diatas substrat dan dibawah substrat. Pendugaan konstribusi stok karbon terbesar disumbangkan oleh jenis Enhalus acroides. Konstribusi ini dilihat dari hubungan antara kerapatan lamun, nilai frekuensi kemunculan, nilai biomassa dan nilai kandungan karbon yang menjelaskan bahwa hampir semua masing-masing transek yang ditemukan jenis lamun Enhalus acroides baik yang tunggal (hanya Enhalus acroides) ataupun campuran yang didominasi oleh Enhalus acroides maka nilai biomassa dan kandungan karbonnya lebih tinggi daripada transek lain yang ditemukan lamun dengan jenis lain. Fungsi penting peran lamun sebagai carbon sink adalah stok karbon yang tersimpan pada jaringan lamun yakni sebagai biomassa dan karbon yang dialirkan atau tersimpan (terkubur) ke sedimen. xi

13 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRACT... viii ABSTRAK... ix RINGKASAN... x DAFTAR ISI... xii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Wilayah Penelitian Definisi Padang Lamun Klasifikasi Lamun Morfologi Lamun Akar Rhizoma dan Batang 14 xii

14 2.4.3 Daun Fotosintesis Definisi Fotosintesis Fotosintesis Tumbuhan Air Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut Interpolasi Data. 30 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi Dan Waktu Penelitian Ruang Lingkup Variabel Pengamatan Bahan Dan Instrument Penelitian Prosedur Penelitian Kondisi Umum Lamun Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun Total Stok Karbon Metode Interpolasi Data Analisa Data Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan Biomassa dan Konsentrasi Karbon Lamun Total Stok Karbon Interpolasi Data 52 BAB V HASIL PENELITIAN Kondisi Umum Lamun xiii

15 5.1.1 Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun Kerapatan Frekuensi Kemunculan Lamun Biomassa Lamun Parameter Lingkungan Perairan Pantai Sanur Karbon Lamun Kandungan Karbon Jaringan Lamun Total Penyimpanan Stok Karbon BAB VI PEMBAHASAN Kondisi Komunitas Lamun Kondisi Parameter Lingkungan Stok Karbon Lamun Peran Lamun Sebagai Carbon Sink BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN xiv

16 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Deskripsi Substrat Jenis Lamun di Indonesia Perbedaan Antara Tumbuhan C3, C4 dan CAM Perkiraan Area Potensi sebagai Carbon Sink Letak Geografis Lokasi Penelitian Instrumen yang digunakan dalam Penelitian Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun di Pantai Sanur Kerapatan Lamun Biomassa Lamun Perjaringan Lamun Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun Estimasi Kandungan Karbon Lamun Dengan Metode Wilkley & Black Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Pengabuan Rerata Nilai Kandungan Karbon Lamun Kategori Kelas Ukuran Karbon xv

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1. Peta Wilayah Administrasi Kota Denpasar Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur Jenis Lamun Di Indonesia Ilustrasi Fotosintesis Lamun Hasil Metode IDW Bagan Kerangka Konsep Penelitian Bagan Alur Kegiatan Penelitian Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun Contoh Peletakan Transek Garis dan Transek Kuadrat Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon Pada Titik Pengamatan Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu Hamparan Padang Lamun di Pantai Ina Grand Bali Beach Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur Dendogram Pengelompokan Stasiun Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun Grafik Sebaran Biomassa Lamun Grafik Persentase Biomassa lamun Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun Rata-Rata Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat di Kawasan 82 xvi

18 Pantai Sanur Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Bawah Substrat di Kawasan Pantai Sanur Total Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek Peta Total Sebaran Stok Karbon Lamun di Kawasan Pantai Sanur Persentase Konstribusi Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat Dan Bagian Bawah Substrat xvii

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Pengukuran Berat Kering (Biomassa) Sampel Lamun Hasil Analisis Mann-Whitney Nilai Karbon Dokumentasi Penelitian xviii

20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan, dimana aktivitas manusia adalah penyumbang gas karbon dioksida (CO2) terbanyak ke udara. Kegiatan manusia yang dapat melepaskan emisi CO2 adalah pembakaran lahan, emisi kendaraan bermotor, limbah pabrik dan lain sebagainya yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan keseimbangan radiasi berubah sehingga suhu bumi meningkat. Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). GRK yang penting diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida, metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Karbon dioksida memiliki kontribusi lebih dari 55% terhadap kandungan GRK, maka dari itu karbon dioksida yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar (Darussalam, 2011). Sebelumnya, fokus perhatian para pakar hanya tertuju pada peran vegetasi darat sebagai penyerap karbon seperti hutan dan perkebunan (Ulumuddin, et al. 2005; Aminudin, 2008), dan mengabaikan peran ekosistem pesisir. Bukti ilmiah hingga kini juga sudah menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan sebagai rosot karbon (carbon sinks). Fourqurean et al (2012) mengemukakan bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan metrik ton karbon

21 2 dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat dari kemampuan hutan menyerap karbon: yaitu sekitar metrik ton dalam setiap kilometer perseginya. Dengan kemampuan menyimpan karbon di bagian tanah, para peneliti menyatakan bahwa hamparan lamun menyimpan 10 persen dari kandungan karbon di lautan di seluruh dunia. Dengan fungsi ini berarti ekosistem tersebut berkemampuan menyerap dan memindahkan jumlah besar karbon dari atmosfir setiap harinya, dan mengendapkannya dalam badan tumbuhan atau sedimen tempat tumbuh untuk waktu yang lama. Maka dari itu sangat diperlukan jasa ekosistem laut dalam penyerapan/ sekuestrasi karbon (Carbon sequestration ). Ekosistem laut yang berpotensi menyerap karbon dari atmosfer lewat fotosintesis, yaitu berupa plankton yang mikroskopis maupun yang berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Meskipun tumbuhan pantai (mangrove, padang lamun, dan rawa payau) tersebut luas totalnya kurang dari setengah persen dari luas seluruh laut, ketiganya dapat mengunci lebih dari separuh karbon laut ke sedimen dasar laut (Kawaroe, 2009). Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas CO 2 adalah padang lamun. Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground),

22 3 pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988) dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe, 2009). Lamun yang ada di Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar 8 km yang terbentang dari Pantai Sanur sampai Mertasari. Substrat dasar tempat lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan karang, karang mati, batuan massif, karang dan algae (Bali Beach Conservation Project, 1998; Arthana, 2004). Keberadaan ekosistem padang lamun di Pantai Sanur memiliki peranan penting terhadap ekosistem pantai di sekitarnya dan juga kaitannya dalam mengurangi emisi karbon dalam proses pemanasan global, maka diperlukan suatu perhitungan estimasi potensi penyimpanan karbon pada jaringan lamun yang terdapat di Pantai Sanur. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang lamun yang terdapat di Pantai Sanur? 2. Bagaimana estimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur?

23 4 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang lamun yang terdapat di Pantai Sanur. 2. Mengestimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai data awal untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan pada lamun di Pantai Sanur kaitannya untuk mengurangi emisi karbon dalam proses pemanasan global (global warming). 2. Memberi informasi mengenai potensi penyimpanan karbon pada jaringan lamun (daun, akar dan rhizoma) di Pantai Sanur dalam usaha untuk perbaikan kualitas lingkungan. 3. Pentingnya fungsi lain dari ekosistem padang lamun yaitu sebagai penyerap karbon di atmosfer sehingga diharapkan masyarakat dan pemerintah dapat melakukan usaha pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan untuk menjaga keberadaan ekosistem pesisir khususnya ekosistem padang lamun.

24 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian Pantai Sanur terletak pada dan LS, dan BT. Luas wilayah kawasan pariwisata Pantai Sanur adalah 1.548,27 Ha. Secara administratif Pantai Sanur terletak di Kecamatan Denpasar Selatan dan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Kawasan Pantai Sanur di Denpasar Selatan meliputi wilayah Kelurahan Sanur, wilayah Desa Sanur Kaja, wilayah Desa Sanur Kauh, serta di Kecamatan Denpasar Timur meliputi wilayah Desa Kesiman Petilan dan wilayah Desa Kesiman Kertalangu (Astuti, 2002). Kawasan pariwisata Sanur memiliki garis pantai dengan panjang ± 8 km, merupakan pantai di sebelah Timur yang membentang dari utara ke selatan (Astuti, 2002). Kawasan pariwisata Sanur berada pada ketinggian antara 0 6 mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan untuk wilayah (relief) datar dengan kemiringan lereng antara 0 2 % dan di beberapa bagian wilayah Sanur merupakan daerah bergelombang dan berombak dengan kemiringan lereng antara 3 8 % (Gautama, 2011). Wilayah tersebut terutama ada di daerah sekitar sepanjang Sungai Ayung yang memisahkan antara Desa Kesiman Kertalangu dengan Desa Kesiman Petilan serta di sebagian wilayah Kelurahan Sanur. Dataran bermedan landai dengan ciri fisik tersebut mempunyai tingkat erosi permukaan yang kecil dan beberapa tempat terdapat abrasi serta proses pengendapan aktif di sekitar muara sungai. Sebagai daerah pantai, kawasan Sanur merupakan daerah yang relatif datar sehingga berpotensi untuk tergenang di beberapa tempat pada 5

25 6 musim penghujan (Astuti, 2002). Adapun kawasan pariwisata Pantai Sanur dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut: Gambar 2.1. Peta administrasi Kota Denpasar Sebaran ekosistem lamun terdapat di Sanur yakni seluas 322 ha, tersebar dari Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit sampai Pantai Mertasari (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014). Habitat padang lamun di Pantai Sanur dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut antara pantai dan tubir karang. Lebar sebaran padang lamun bervariasi tergantung lebar laguna. Jangkauan pertumbuhan padang lamun paling lebar terdapat di Pantai Semawang yaitu mencapai 820 meter, disusul Pantai Mertasari mencapai 750 meter. Lebar sebaran padang lamun di kawasan Pantai Sanur (depan Inna

26 7 Grand Bali Beach Hotel) adalah 180 meter (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar, 2013). 2.2 Definisi Padang Lamun Lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas (Den Hartog, 1977). Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai pada terumbu karang. Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah (Den Hartog, 1977): 1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/ pasir. 2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang.

27 8 3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung. 4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan. 5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif. 6. Mampu hidup di media air asin. 7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik. Sebaran dan kondisi padang lamun yang menutupi areal pantai dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut: Gambar 2.2. Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur Padang lamun adalah ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan. Lamun adalah kelompok tumbuhan berbiji tertutup dan berkeping tunggal (monokotil) yang mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut (Sheppard et al, 1996). Komunitas lamun berada di

28 9 antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Sitania, 1998). 2.3 Klasifikasi Lamun Tanaman lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi. Terdapat empat ciri-ciri pada lamun menurut Endrawati (2000), yakni: 1. Toleransi terhadap kadar garam lingkungan. 2. Tumbuh pada perairan yang selamanya terendam. 3. Mampu bertahan dan mengakar pada lahan dari hempasan ombak dan arus. 4. Menghasilkan polinasi hydrophilous (benang sari yang tahan terhadap kondisi perairan). Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, di mana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yang termasuk ke dalam dua famili: (1) Hydrocharitaceae, dan (2) Cymodoceae. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatum. Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan Calumpong (1983) adalah sebagai berikut :

29 10 Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Sub Kelas : Monocotyledonae Ordo : Helobiae Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus Spesies : Enhalus acroides Genus : Halophila Spesies : Halophila decipiens : Halophila ovalis : Halophila minor : Halophila spinulosa Genus : Thalasia Spesies : Thalasia hemprichii Famili : Cymodoceae Genus : Cymodocea Spesies : Cymodocea rotundata : Cymodocea serrulata Genus : Halodule Spesies : Halodule pinifolia : Halodule uninervis Genus : Syringodium Spesies : Syringodium isoetifolium Genus Thalassodendron Spesies : Thalassodendron ciliatum Contoh jenis-jenis lamun yang terdapat di Indonesia dapat disajikan pada Gambar 2.3 sebagai berikut:

30 11 Thalassia hemprichii Thalassodendron ciliatum Syringodium isoetifolium Halodule uninervis Halophila spinulosa Halodule pinifolia Halophila ovalis Halophila minor Halophila decipiens Enhalus acoroides Cymodocea serrulata Cymodocea rotundata Gambar 2.3 Jenis-Jenis Lamun di Indonesia (Sumber:

31 Morfologi Lamun Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologis lamun (Den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam, mulai dari laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas rata-rata daerah surut. Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine alga/ seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas. Deskripsi substrat dari jenis-jenis lamun dapat disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut: Tabel 2.1 Deskripsi Substrat Jenis-Jenis Lamun di Indonesia No Jenis Lamun Deskripsi 1 Cymodocea rotundata Tumbuh dominan di daerah intertidal 2 Cymodocea serrulata Tumbuh di daerah yang berbatasan dengan mangrove 3 Enhalus acoroides Tumbuh di substrat pasir berlumpur 4 Halodule pinifolia Spesies pionir, dominan di daerah intertidal 5 Halodule uninervis Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak 6 Halophila minor Tumbuh pada substrat berlumpur 7 Halophila ovalis Tumbuh di daerah yang intensitas cahayanya kurang 8 Halophila decipiens Tumbuh pada substrat berlumpur 9 Halophila spinulosa Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak 10 Syringodium isoetifolium Tumbuh pada substrat lumpur yang dangkal 11 Thalassia hemprichii Tumbuh pada substrat pasir berlumpur dan pecahan karang 12 Thalassodendron ciliatum Tumbuh pada daerah subtidal (Sumber: Bengen 2004)

32 Akar Akar pada beberapa spesies seperti Halophila sp dan Halodule sp memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron sp memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat. Patriquin (1972), menjelaskan bahwa lamun mampu menyerap nutrien dari dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi nitrogen yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam rhizosper Halophila ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii cukup tinggi lebih dari 40 mg N.m -2.day -1. Koloni bakteri yang ditemukan di lamun memiliki peran yang penting dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen merupakan proses yang penting karena nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam metabolisme untuk menyusun struktur komponen sel. Larkum et al (1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen. Dengan demikian

33 14 pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO 2 di jaringan akar relatif tinggi Rhizoma dan Batang Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60 80% biomas lamun Daun Spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk lengkungan dan berserat, sedangkan Cymodocea rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun

34 15 menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah. Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikula yang tipis. Kutikula daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-tumbuhan untuk penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis Fotosintesis Definisi Fotosintesis Fotosintesis berasal dari kata foton yang berarti cahaya dan sintesis yang berarti penyusunan. Jadi fotosintesis adalah proses penyusunan dari zat organic H 2 O dan CO 2 menjadi senyawa organik yang kompleks yang memerlukan cahaya. Fotosintesis hanya dapat terjadi pada tumbuhan yang mempunyai klorofil, yaitu pigmen yang berfungsi sebagai penangkap energi cahaya matahari (Kimball, 2002). Proses ini hanya akan terjadi jika ada cahaya dan melalui perantara pigmen hijau daun yaitu klorofil yang terdapat dalam kloroplas. Jika fotosintesis adalah suatu proses penyusunan (anabolisme atau asimilasi) di mana energi diperoleh dari sumber cahaya dan disimpan sebagai zat kimia, maka proses respirasi adalah suatu proses pembongkaran (katabolisme atau disasimilasi) di mana energi yang tersimpan dibongkar kembali untuk menyelenggarakan proses proses kehidupan. Tumbuhan terutama tumbuhan tingkat tinggi, untuk memperoleh makanan sebagai kebutuhan pokoknya agar tetap bertahan hidup, tumbuhan tersebut harus

35 16 melakukan suatu proses yang dinamakan proses sintesis karbohidrat yang terjadi di bagian daun satu tumbuhan yang memiliki klorofil, dengan menggunakan cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang diperlukan tumbuhan untuk proses tersebut. Tanpa adanya cahaya matahari tumbuhan tidak akan mampu melakukan proses fotosintesis, hal ini disebabkan kloropil yang berada di dalam daun tidak dapat menggunakan cahaya matahari karena klorofil hanya akan berfungsi bila ada cahaya matahari. Tumbuhan hijau memiliki kemampuan menggunakan CO 2 dari udara yang akan diubah menjadi bahan organik dengan bantuan cahaya matahari. Persamaan kimia fotosintesis dapat direpresentasikan pada persamaan (1) sebagai berikut: Cahaya 6CO 2 + 6H 2 O C 6 H 12 O 6 + 6O 2.. (1) Tidak semua radiasi cahaya matahari dapat dimanfaatkan untuk kegiatan fotosintesis, hanya pada radiasi cahaya tampak ( nm). Cahaya tampak terbagi atas cahaya merah ( ), hijau kuning ( nm), biru ( nm), dan violet. Berdasarkan proses reaksinya, fotosintesis dibagi menjadi 2 yaitu (Benyamin, 2004): a. Reaksi Terang, yaitu reaksi fotosintesis dimana klorofil mengubah energi matahari menjadi energi kimia dalam bentuk ATP (Adenosine Tri Phosphate) dan NADH 2 (Nikotilamid adenin dinukleotida H 2 ). Bersamaan dengan dihasilkannya ATP dan NADH 2, dihasilkan juga O 2 sebagai hasil samping. Reaksi terang membutuhkan cahaya, karena itu harus terjadi di siang hari.

36 17 b. Reaksi Gelap, yaitu reaksi fotosintesis yang tidak membutuhkan cahaya dan merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesis yang merupakan reaksi pembentukan gula dari bahan dasar CO 2 dan energi. Pada reaksi ini terjadi proses pembentukan karbohidrat melalui konversi CO 2 dan air. Reaksi gelap terjadi melalui dua jalur, yaitu siklus Calvin- Benson dan siklus Hatch-Slack. Pada siklus Calin-Benson, tumbuhan menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon tiga, yaitu senyawa 3- fosfogliserat. Siklus ini dibantu oleh enzim rubisco. Pada siklus hatch- Slack, tumbuhan menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon empat. Enzim yang berperan adalah phosphoenolpyruvate carboxylase dan produk akhir siklus gelap diperoleh glukosa yang dipakai tumbuhan untuk aktivitasnya atau disimpan sebagai cadangan energi. Berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu C3, C4 dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism) yaitu sebagai berikut: 1. Tumbuhan C3 Tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO 2 atmosfer tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian, seperti gandum, kentang, kedelai, kacangkacangan, dan kapas merupakan tanaman dari kelompok C3. Pada tanaman C3, enzim yang menyatukan CO 2 dengan RuBP (RuBP merupakan substrat untuk pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis) dalam proses awal assimilasi (enzim rubisco), juga dapat mengikat O 2 pada saat yang bersamaan untuk proses fotorespirasi (Sitompul, 1995). Jika konsentrasi CO 2 di atmosfir ditingkatkan, hasil dari kompetisi antara CO 2 dan O 2 akan lebih

37 18 menguntungkan CO 2, sehingga fotorespirasi terhambat dan assimilasi akan bertambah besar. Tumbuhan C3 tumbuh dengan fiksasi karbon C3 biasanya tumbuh dengan baik di area dimana intensitas sinar matahari cenderung sedang, temperature sedang dan dengan konsentrasi CO 2 sekitar 200 ppm atau lebih tinggi, dan juga dengan air tanah yang berlimpah. Tumbuhan C3 harus berada dalam area dengan konsentrasi gas karbondioksida yang tinggi sebab Rubisco carboxylase sering menyertakan molekul oksigen ke dalam RuBP sebagai pengganti molekul karbondioksida. Konsentrasi gas karbondioksida yang tinggi menurunkan kesempatan Rubisco carboxylase untuk menyertakan molekul oksigen. Karena bila ada molekul oksigen maka RuBP akan terpecah menjadi molekul 3-karbon yang tinggal dalam siklus Calvin, dan 2 molekul glikolat akan dioksidasi dengan adanya oksigen, menjadi karbondioksida yang akan menghabiskan energi (Sulisbury, 1995). Contoh tanaman C3 antara lain: kedelai, kacang tanah, kentang, dan lain-lain. 2. Tumbuhan C4 Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering. Pada tanaman C4, CO 2 diikat oleh PEP (phosphoenolpyruvate ) carboxylase (enzym pengikat CO 2 pada tanaman C4) yang tidak dapat mengikat O 2 sehingga tidak terjadi kompetisi antara CO 2 dan O 2 (Sulisbury, 1995). Lokasi terjadinya assosiasi awal ini adalah di sel-sel mesofil (sekelompok sel-sel yang mempunyai klorofil yang terletak di bawah sel-sel epidermis daun). CO 2 yang sudah terikat oleh PEP carboxylase kemudian ditransfer ke sel-sel bundle sheath (sekelompok sel-sel di sekitar xylem dan phloem) dimana kemudian pengikatan oleh RuBP

38 19 terjadi. Karena tingginya konsentasi CO 2 pada sel-sel bundle sheath ini, maka O 2 tidak mendapat kesempatan untuk bereaksi dengan RuBP, sehingga fotorespirasi sangat kecil. PEP carboxylase mempunyai daya ikat yang tinggi terhadap CO 2, sehingga reaksi fotosintesis terhadap CO 2 di bawah 100 m mol m- 2 s- 1 sangat tinggi, laju assimilasi tanaman C4 hanya bertambah sedikit dengan meningkatnya CO 2 (Gardner, 1991). Sehingga, dengan meningkatnya CO 2 di atmosfir, tanaman C3 akan lebih beruntung dari tanaman C4 dalam hal pemanfaatan CO 2 yang berlebihan. Contoh tanaman C4 adalah jagung, sorgum dan tebu. 3. Tumbuhan CAM Pada tumbuhan CAM, tanaman ini mengambil CO 2 pada malam hari, dan mengunakannya untuk fotosistensis pada siang harinya (Gardner, 1991). Tumbuhan CAM yang dapat mudah ditemukan adalah nanas, kaktus, dan bunga lili. Tanaman CAM, pada kelompok ini penambatan CO 2 seperti pada tanaman C4, tetapi dilakukan pada malam hari dan dibentuk senyawa dengan gugus 4-C. Pada hari berikutnya ( siang hari ) pada saat stomata dalam keadaan tertutup terjadi dekarboksilase senyawa C4 tersebut dan penambatan kembali CO 2 melalui kegiatan Rudp karboksilase. Jadi tanaman CAM mempunyai beberapa persamaan dengan kelompok C4 yaitu dengan adanya dua tingkat sistem penambatan CO 2. Selama malam hari, ketika stomata tumbuhan itu terbuka, tumbuhan mengambil CO 2 dan memasukkannya kedalam berbagai asam organik. Cara fiksasi karbon ini disebut metabolisme asam krasulase, atau CAM. Dinamakan demikian karena metabolisme ini pertama

39 20 kali diteliti pada tumbuhan dari famili Crassulaceae. Termasuk golongan CAM adalah Crassulaceae, Cactaceae, Bromeliaceae, Liliaceae, Agaveceae, Ananas comosus, dan Oncidium lanceanum. Jalur CAM serupa dengan jalur C4 dalam hal karbon dioksida terlebih dahulu dimasukkan kedalam senyawa organic intermediet sebelum karbon dioksida ini memasuki siklus Calvin. Perbedaannya ialah bahwa pada tumbuhan C4, kedua langkah ini terjadi pada ruang yang terpisah. Langkah ini terpisahkan pada dua jenis sel. Pada tumbuhan CAM, kedua langkah dipisahkan untuk sementara. Fiksasi karbon terjadi pada malam hari, dan siklus calvin berlangsung selama siang hari (Lakitan, 1995). Perbedaan antara tumbuhan C3, C4 dan CAM tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut (Prasetyo, 2008):

40 21 Lebih adaptif pada kondisi kandungan CO 2 atmosfer tinggi Tabel 2.2 Perbedaan Antara Tumbuhan C3, C4 dan CAM C3 C4 CAM Adaptif di daerah panas dan kering Enzim yang menyatukan CO 2 dengan RuBP, juga dapat mengikat O 2 pada saat yang bersamaan untuk proses fotorespirasi CO 2 masuk ke siklus calvin secara langsung. Disebut tumbuhan C3 karena senyawa awal yang terbentuk berkarbon 3 (fosfogliserat) Sebagian besar tumbuhan tinggi masuk ke dalam kelompok tumbuhan C3 Apabila stomata menutup akibat stress terjadi peningkatan fotorespirasi pengikatan O 2 oleh enzim Rubisco CO 2 diikat oleh PEP yang tidak dapat mengikat O 2 sehingga tidak terjadi kompetisi antara CO 2 dan O 2 Tidak mengikat CO 2 secara langsung Sel seludang pembuluh berkembang dengan baik dan banyak mengandung kloroplas Fotosintesis terjadi di dalam sel mesofil dan sel seludang pembuluh Pengikatan CO 2 di udara melalui lintasan C4 di sel mesofil dan reduksi karbon melalui siklus Calvin (siklus C3) di dalam sel seludang pembuluh Adaptif di daerah panas dan kering Pada malam hari asam malat tinggi, pada siang hari malat rendah Lintasan Tidak mengikat CO 2 secara langsung Umumnya tumbuhan yang beradaptasi pada keadaan kering seperti kaktus, anggrek dan nenas Reduksi karbon melalui lintasan C4 dan C3 dalam sel mesofil tetapi waktunya berbeda Pada malam hari terjadi lintasan C4 pada siang hari terjadi suklus C3 Faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis adalah sebagi berikut (Puspita dan Rohima, 2009): 1. Konsentrasi karbondioksida di udara Semakin tinggi konsentrasi karbondioksida di udara, maka laju fotosintesis semakin meningkat.

41 22 2. Klorofil Semakin banyak jumlah klorofil dalam daun maka proses fotosintesis berlangsung semakin cepat. Pembentukan klorofil memerlukan cahaya matahari. 3. Cahaya Intensitas cahaya yang cukup diperlukan agar fotosintesis berlangsung dengan efisien. fotosintesi akan berlangsung maksimal jika lingkungan memiliki suhu optimal. 4. Oksigen Kenaikan kadar oksigen dapat menghambat fotosintesis karena oksigen merupakan komponen untuk respirasi. Oksigen akan bersaing dengan karbondioksida untuk mendapat hidrogen. 5. Air Ketersediaan air mempengaruhi laju fotosintesis karena air merupakan bahan baku dalam proses ini. 6. Suhu Umumnya semakin tinggi suhunya, laju fotosintesis akan meningkat, demikian juga sebaliknya. Namun bila siuhu terlalu tinggi, fotosintesis akan berhenti karena enzim-enzim yang berperan dalam fotosintesis rusak. Oleh karena itu tumbuhan menghendaki suhu optimum yakni C (tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi) agar fotosintesis berjalan secara efisien.

42 Fotosintesis Tumbuhan Air Proses memproduksi makanan dengan bantuan energi cahaya tetap sama untuk tumbuhan darat maupun tumbuhan air. Selain ringan, mereka membutuhkan bahan baku dasar - karbon dioksida dan air (H 2 O) untuk sintesis glukosa (C 6 H 12 O 6 ). Apa yang khusus tentang produksi pangan dengan tumbuhan bawah air yakni berasal bahan baku dan energi cahaya dari lingkungan mereka. Dalam kasus tanaman darat, gas-gas yang diperlukan dan energi cahaya yang tersedia dengan mudah. Mereka menyerap karbon dioksida dari udara atmosfer melalui lubang stomata mereka (hadir di atas dan sisi bawah daun), air dari tanah melalui sistem akar mereka, dan terakhir namun tidak sedikit, energi radiasi dari sinar matahari. Oleh karena itu, tanaman darat menjalani fotosintesis alami tanpa adaptasi khusus. Untuk tumbuhan air yang memiliki ketersediaan air dalam jumlah yang lebih dari cukup, tantangan utama adalah untuk mendapatkan karbon dioksida dan cahaya. Untuk hal yang sama, sebagian besar tanaman ini menunjukkan adaptasi dalam beberapa cara atau yang lain. Untuk tanaman laut, mereka diadaptasi dengan batang lilin dan daun. Hal ini membantu dalam menyerap air, sementara mencegah masuknya garam untuk sistem mereka. Selain itu, beberapa tumbuhan laut memiliki fitur khusus untuk menghilangkan garam sesegera mungkin. Semua proses ini membantu dalam mengatur keseimbangan osmotik, yang jika tidak akan menyebabkan pencucian air dan pengeringan tanaman. Dengan cara ini, tanaman air menjalani fotosintesis bawah air. Produk-produk dari fotosintesis pada tumbuhan air, pada dasarnya karbohidrat dan oksigen, yang digunakan oleh

43 24 organisme lain yang hidup dalam komunitas biotik yang sama. Dan seperti hewan, tumbuhan memang membutuhkan oksigen, tetapi dalam jumlah kecil. Hal ini diperoleh dari oksigen yang dilepaskan pada saat fotosintesis. Aliran karbon dioksida dari udara melewati muka air laut merupakan fungsi dari kelarutan (solubility) CO 2 di dalam air laut dan dikenal sebagai solubility pump. Jumlah CO 2 terlarut di air laut adalah utamanya dipengaruhi oleh kondisi fisika-kimia (suhu air laut, salinitas, total alkalinitas) dan proses biologi (produktivitas primer) yang terjadi di laut. Melalui proses pertukaran gas, CO 2 ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi dissolved inorganik carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus menerus karena laut tidak jenuh oleh kandungan CO 2 jika dibandingkan atmosfer. Proses ini sangat efisien terjadi di wilayah dengan posisi lintang tinggi (temperate) karena kelarutan CO 2 sangat efisien pada kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini, CO 2 di atmosfer dalam jumlah banyak akan terlarut dan tersimpan sehingga tidak menjadi gas rumah kaca di atmosfer (Kawaroe, 2009). Tumbuhan akuatik lebih menyukai karbondioksida sebagai sumber karbon dibandingkan dengan bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat berperan sebagai sumber karbon. Namun, di dalam kloroplas bikarbonat harus dikonversi terlebih dahulu menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim karbonik anhidrase (Effendi, 2003). Gambar ilustrasi fotosintesis tumbuhan lamun disajikan pada Gambar 2.4 sebagai berikut:

44 25 Gambar 2.4 Ilustrasi Fotosintesis Tumbuhan Lamun 2.6 Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut Perubahan iklim disebabkan karena meningkatnya kandungan gas rumah kaca dan partikel di atmosfir. Pertama, disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil, pelepasan gas rumah kaca seperti CO 2, dikenal sebagai brown carbon, dan partikel debu, dikenal sebagai black carbon. Kedua, disebabkan karena emisi yang berasal dari penebangan vegetasi hutan, kebakaran hutan, dan emisi dari kegiatan pertanian (pupuk). Ketiga, disebabkan karena pengurangan kemampuan ekosistem alami untuk menyerap karbon dalam proses fotosintesis dan menyimpannya, dikenal sebagai green carbon (Trumper et al, 2009). Istilah baru dalam penyerapan karbon dikenal sebagai blue carbon yaitu sebagai penyerapan karbon yang dilakukan oleh lautan termasuk di dalamnya organisme hidup. Diperkirakan blue carbon dapat menyerap sekitar 55% karbon yang berada di atmosfer dan digunakan untuk proses fotosintesis. Siklus karbon di

45 26 laut tersebut penyerapannya didominasi oleh mikro, nano, dan pikoplankton, termasuk bakteria dan jamur. Nino, nano dan pikoplankton adalah kategori ukuran dari plankton. Pikoplankton yakni dalam ukuran kurang dari 2 mikron (µm) yang terdiri dari fitoplankton, zooplankton uniseluler dan bakterioplankton. Nanoplankton dalam ukuran 2 20 mikron sedangkan untuk mikroplankton atau netplankton yakni berkisar antara mikron (Sverdrup and Armbrust, 2008). Penyerapan karbon di lautan dunia tersimpan dalam bentuk sedimen yang berasal dari mangrove, salt marshes, dan padang lamun. Blue carbon ini tersimpan sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami pencucian. Walaupun biomas tumbuhan laut jika dibandingkan dengan tumbuhan darat hanya sekitar 0,05%, tetapi siklus karbon yang terjadi di laut jika dijumlahkan selama setahun hampir sama bahkan lebih dibandingkan dengan tumbuhan darat. Hal ini menunjukkan efisiensi tumbuhan laut sebagai carbon sinks (Kawaroe, 2009). Kontribusi vegetasi lamun terhadap penyerapan karbon dimulai dari proses fotosintesis yang kemudian disimpan sebagai biomassa. Biomassa disusun oleh senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon dioksida, hidrogen, dan oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, komposisi, dan strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi (Lugo dan Snedaker, 1974 dalam Kusmana et al, 1992).

46 27 Dalam siklus karbon, vegetasi melalui fotosistesis merubah CO 2 dari udara dan air menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Karbohidrat yang terbentuk disimpan oleh vegetasi dan sebagian oksigen dilepaskan ke atmosfer (Fardiaz 1995). Menurut Whitmore (1985) umumnya karbon menyusun 45 50% berat kering dari biomassa. Karbon yang telah diserap oleh lamun disimpan dalam biomassa pada bagian daun, akar dan rhizoma. Biomassa di bawah substrat umumnya lebih besar dibanding di atas substrat. Salah satu manfaat besarnya biomassa di bawah substrat adalah ketersediaan cadangan makanan pada musimmusim tertentu dimana produktivitas lamun sangat kecil (Lee et al, 2007). Karbon dalam biomassa tersimpan selama lamun masih hidup. Umur yang bisa dicapai oleh tunas lamun bervariasi menurut jenisnya. Biomassa di bawah substrat di pulau Pari dapat mencapai gram berat kering per m 2 (gbk/m 2 ) untuk T. hemprichii, gbk/m 2 untuk E. acoroides dan 23.3 gbk/m 2 untuk C. rotundata, sedangkan di atas substrat secara berurutan masing masing gbk/m2, gbk/m 2 dan 24.9 gbk/m 2 (Kiswara dan Ulumuddin 2009). Sebagian besar oksigen disimpan di akar dan rhizoma, digunakan untuk metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO 2 di jaringan akar relatif tinggi. Begitu juga rhizoma merupakan 60 80% biomas lamun sehingga prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa. Stok karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012) sehingga bisa dikatakan simpanan

47 28 karbon di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma) lebih besar daripada di atas substrat (bagian daun). Pada beberapa kasus, biomassa di bawah substrat lebih kecil dibanding di atas substrat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Kiswara dan Ulumuddin (2009) di Pulau Pari menunjukkan bahwa jenis C. rotundata mempunyai biomassa di bawah substrat gbk/m 2 dan gbk/m 2, sedangkan di atas substrat masing-masing gbk/m 2 dan gbk/m 2. Variasi biomassa dapat terjadi akibat perbedaan kedalaman. Pada jenis Zostera caulescense, biomassa maksimum ditemukan pada kedalaman 10.9 meter dan setelah itu menurun sesuai dengan pertambahan kedalaman. Rasio antara biomassa di atas dan di bawah susbtrat ditemukan tertinggi pada kedalaman 4,4 meter dan setelah itu menurun dengan bertambahnya kedalaman. Produktivitas primer di laut sangat ditentukan oleh keberadaan CO 2 untuk melakukan proses fotosintesis utamanya oleh fitoplankton dan proses ini dikenal sebagai biological pump. Bersama dengan solubility pump, proses adang lamun sebagai vegetasi ekosistem pesisir bersama sama dengan mangrove dan hutan di darat merupakan pusat keanekaragaman (hot spot) yang menyediakan fungsi penting dan bernilai yaitu sebagai karbon sinks. Akan tetapi pengurangan luasan habitat pesisir empat kali lebih cepat dibandingkan dengan hutan dan rata-rata pengurangannya juga mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga disebabkan karena masyarakat lebih banyak menerima informasi tentang keberadaan, keuntungan dan fungsi hutan jika dibandingkan dengan vegetasi ekosistem pesisir. Kurangnya perhatian masyarakat tentang vegetasi ekosistem pesisir bisa juga

48 29 disebabkan karena masih berorientasi darat dan tidak terlihatnya vegetasi pesisir ini secara kasat mata sehingga sepertinya tidak berperan di dalam kehidupan. Perubahan pola pikir ini menjadi salah satu tanggung jawab di dalam pemberdayaan masyarakat pesisir dan targetnya adalah bukan saja masyarakat pesisir tetapi semua masyarakat Indonesia dan dunia (Kawaroe, 2009). Sebagai contoh area yang berperan sebagai blue carbon sink secara global disajikan pada Tabel 2.3 sebagai berikut: Tabel 2.3 Perkiraan Rata-Rata Area yang Potensi Sebagai Blue Carbon Sink dan Komponen Vegetasi Mangrove Salt marsh Lamun Total Karbon Organik yang Mengendap Per Tahun Area Juta km Keterangan : T = Tera (10 12 ), sumber UNEP (2009) Pengendapan Karbon Organik Ton C ha -1 y -1 TgCy (57) (190) (82) (329) Pengendapan karbon di laut mencapai sekitar 10% dari kapasitas yang ada dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti mencapai 2.000TgCy -1 (Sarmiento and Gruber, 2002). Berdasarkan data UNEP (2009), diperkirakan rata-rata potensi penyerapan karbon lamun mencapai 0,83 Ton C per Ha -1 tahun -1 dan laju pengendapan karbon tersimpan lamun sebesar 27,4-44 Tg C Tahun -1 dengan area rata-rata 0,33x10 4 ha. Karbon ini merupakan karbon yang berasal dari atmosfer yang terlarut di laut dan disimpan dalam bentuk DIC. Blue carbon sink memberikan kontribusi sebesar 50% dari total pengendapan karbon

49 30 organik di lautan. Beberapa tumbuhan laut yang hidup pada substrat berbatu tidak dapat mengendapkan karbon karena kondisi substrat yang tidak memungkinkan contohnya adalah makroalga yang tumbuh pada karang, Halimeda sp Interpolasi Data Untuk mengolah dan menganalisa data secara spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG) biasanya digunakan. Di dalam analisa spasial baik dalam format vektor maupun raster, diperlukan data yang meliputi seluruh studi area. Oleh sebab itu, proses interpolasi perlu dilaksanakan untuk mendapatkan nilai diantara titik sampel. Hal ini bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi dan titik model bisa berimbang. Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan atribut ini saling berhubungan (dependence) secara spasial (Anderson, 2001). Logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai titik observasi yang berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati) dibandingkan dengan nilai di titik yang lebih jauh (Hukum geografi Tobler, dalam Christanto dkk, 2005). Metode Inverse Distance Weighted (IDW) merupakan metode deterministic yang sederhana dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya (NCGIA, 1997). Asumsi dari metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat dari pada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan data sampel. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data sampel. Pemilihan nilai

50 31 pada power sangat mempengaruhi hasil interpolasi. Nilai power yang tinggi akan memberikan hasil seperti menggunakan interpolasi nearest neighbour dimana nilai yang didapatkan merupakan nilai dari data point terdekat. Kerugian dari metode IDW adalah nilai hasil interpolasi terbatas pada nilai yang ada pada data sampel. Contoh hasil dengan menggunakan metode Inverse Distance Weighted dapat dilihat pada Gambar 2.5 sebagai berikut: Gambar 2.5 Hasil Metode Inverse Distance Weighted (Sumber: shephard-modified-methods.html) Pengaruh dari data sampel terhadap hasil interpolasi disebut sebagai isotropic. Dengan kata lain, karena metode ini menggunakan rata-rata dari data sampel sehingga nilainya tidak bisa lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari data sampel. Jadi, puncak bukit atau lembah terdalam tidak dapat ditampilkan dari hasil interpolasi model ini (Watson and Philip, 1985). Untuk mendapatkan hasil yang baik, sampel data yang digunakan harus rapat yang berhubungan dengan variasi lokal. Jika sampelnya agak jarang dan tidak merata, hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai dengan yang diinginkan. Menurut Pramono (2004), metode IDW cocok digunakan untuk melakukan interpolasi pada data fisik wilayah pesisir karena tidak menghasilkan nilai melebihi rata-ratanya.

51 32 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Berpijak pada keyakinan adanya kemampuan ekosistem laut dan pesisir tersebut dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon dan potensi pengurangan emisi GRK, UNEP (United Nations Environment Programme) bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (FAO) dan Badan Pendidikan dan Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan konsep Blue Carbon pada akhir tahun Konsep ini membuktikan peran ketiga ekosistem laut (lamun, mangrove dan salt marsh) dan pesisir tersebut dalam mendeposisi karbon. Ekosistem pesisir dan laut diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan untuk mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa ketiga vegetasi pesisir berkontribusi menyimpan karbon laut ke dalam sedimen lebih dari separuhnya, sementara luasnya kurang dari 0.5% luas laut secara keseluruhan (Nellemann et al. 2009). Lamun mempunyai keunikan tersendiri dibanding mangrove dan salt marsh karena merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup di perairan laut, dimana seluruh bagian tubuhnya tenggelam di dalam air. Kondisi ini menyebabkan lamun mudah menyesuaikan diri sepenuhnya sehingga mampu tumbuh, berkembang dan bereproduksi dalam kondisi tenggelam. Mereka hidup di perairan dangkal yang masih bisa ditembus oleh sinar matahari. Disebutkan bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan metrik ton karbon dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat 32

52 33 dari kemampuan hutan menyerap karbon: yaitu sekitar metrik ton dalam setiap kilometer perseginya (Fourqurean, 2012). Blue carbon ini tersimpan sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami pencucian (Kawaroe, 2009). Pencucian tanah biasanya terjadi di kawasan Tropis. Hal tersebut karena curah hujan yang tinggi, pengelolaan tanah yang tidak baik dan irigasi yang berlebih. Sehingga tanah humus (lapisan top soil) mengalami degradasi asam yang diiringi dengan penurunan jumlah unsur hara karena mengendap atau meresap pada lapisan tanah yang lebih dalam sehingga menurunkan kesuburan tanah (Madjid, 2009). Pada awalnya penelitian-penelitian yang dilakukan terkait dengan peran lamun sebagai penyimpan bahan organik adalah dalam bentuk biomassa. Biomassa yang digunakan untuk menyatakan materi tumbuhan, baik di atas maupun di bawah tanah, biasanya dinyatakan dalam satuan gram berat kering per meter persegi (gbk/m 2 ) (Kuriandewa 2009). Namun dengan semakin berkembangnya isu perubahan iklim dan pemanasan global, para peneliti mulai mendiskusikan peran lamun sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Berkaitan dengan peran lamun ini, maka dikenal istilah stok karbon, yaitu kandungan karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu (Apps et al dalam Supriadi, 2012). Penelitian potensi stok karbon yang dimiliki oleh lamun di Indonesia masih sangat terbatas. Salah satunya yakni penelitian mengenai stok dan neraca karbon lamun di pantai Barranglompo (Supriadi, 2012), sedangkan penelitian di

53 34 Pulau Pari baru dilakukan terhadap 3 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata (Kiswara & Ulumuddin 2009; Kiswara 2010). Penelitian ini belum menghitung secara total potensi stok karbon yang terdapat di Pulau Pari. Khusus di Pantai Sanur, belum diperoleh informasi tentang penelitian potensi stok karbon tersebut. Penelitian terdahulu antara lain yakni mengenai jenis dan kerapatan padang lamun di Pantai Sanur (Arthana, 2005), Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur (Fauziyah, 2004) dan penelitian mengenai kondisi dan strategis pengelolaan komunitas padang lamun di wilayah pesisir Kota Denpasar (Sudiarta dan Restu, 2011). 3.2 Konsep Penelitian Tumbuhan lamun merupakan karbon sink bersama-sama dengan rawa payau dan mangrove yakni dapat menyerap karbon yang berada di atmosfer dan digunakan untuk proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembuatan energi atau zat makanan/ glukosa yang berlangsung atas peran cahaya matahari dengan menggunakan zat hara/ mineral, karbon dioksida dan air. Hasil penyerapan karbon oleh lamun pada proses fotosintesis disimpan atau dialirkan ke beberapa kompartemen yaitu dalam bentuk biomassa dan sedimen tempat tumbuh lamun untuk waktu yang lama. Biomassa dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang tersimpan dalam vegetasi karena 45% - 50% biomassa tersusun oleh karbon. Biomassa disusun oleh senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon dioksida, hidrogen, dan oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur

54 35 tegakan hutan, komposisi, dan strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi. Bagan konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut: Karbon sink ekosistem laut Ekosistem Lamun Fotosintesis (menghasilkan karbohidrat dan oksigen) Disimpan di Biomassa (karbon menyusun 20 50% berat kering dari biomassa) Melalui: Daun, Rhizoma dan Akar Penyimpanan Karbon Oleh Lamun Gambar 3.1 Bagan Konsep Dalam Penelitian

55 36 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Bagan alur penelitian untuk mendapatkan total stok karbon pada lamun di Pantai Sanur dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut : Ekosistem Lamun Kerapatan Lamun (tegakan/ m 2 ) Biomassa Lamun per Tegakan pada Daun, Rhizoma dan Akar (gram berat kering/ transek 20x20 cm) Biomassa per Satuan Luas (gbk/ m 2 ) Stok Karbon Jaringan Lamun per Satuan Luas (gc/m 2 ) Analisis Kandungan Karbon per Jenis/ per Jaringan (daun, rhizoma dan akar) Stok Karbon Lamun bagian Atas Substrat (daun) dan Bawah Subtrat (akar dan rhizoma) (gbk/ m 2 ) Peta Distribusi Spasial Stok Karbon Lamun Hasil Interpolasi (Bagian Atas Substrat dan Bawah Subtrat) Peta Distribusi Spasial Total Stok Karbon Lamun Total Simpanan Karbon Padang Lamun di Pantai Sanur Kategori Kelas Stok Karbon Aplikasi Arcgis Aplikasi Arcgis Gambar 4.1 Bagan Alur Kegiatan Penelitian 36

56 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni tahun 2014 sampai dengan bulan Februari tahun 2015 di Perairan Pantai Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Penelitian ini meliputi studi literatur, survey awal lokasi, pengambilan data lapangan, analisa sampel, pengolahan data, analisa data dan penyusunan laporan hasil penelitian. Lokasi penelitian berada di daerah pesisir yang terdapat ekosistem padang lamun dan ditentukan oleh 8 stasiun, dengan masing-masing stasiun terdiri dari 3 transek kuadrat (a,b dan c) sehingga total titik transek yaitu 24 titik pengamatan. Posisi koordinat masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut : Tabel 4.1 Letak Geografis Lokasi Penelitian Stasiun Lokasi Kuadran A Kuadran B Kuadran C Lon* Lat* Lon* Lat* Lon* Lat* 1 Pantai Mertasari Pantai Semawang I Pantai Semawang II Pantai Indah Pantai Sindhu Pantai Inna Grand Bali Pantai Sanur II Pantai Sanur I Ket : * = Koordinat geografis menggunakan sistem Decimal Degree Sumber : Hasil pengamatan Lapang Sebaran ekosistem padang lamun di Pantai Sanur yakni seluas 322 ha (Dinas Kelautan Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014). Ditinjau dari hubungan antara keberadaan padang lamun dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove maka sebaran lamun di Pantai Sanur

57 38 dikelompokkan dalam tipe yang berdampingan langsung dengan habitat terumbu karang dan mempunyai keterkaitan (linked) dengan ekosistem mangrove di sekitarnya. Peta sebaran dan titik pengamatan padang lamun dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut: Gambar 4.2 Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun di Kawasan Pantai Sanur

58 Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu menunjukkan batas batas bidang yang akan diteliti, yaitu sebagai berikut : 1. Padang lamun yang tumbuh di rataan perairan Pantai Sanur Kota Denpasar 2. Stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun (daun, rhizoma dan akar) 4.4 Variabel Pengamatan Variabel yang diamati yaitu spesies-spesies lamun mencakup kerapatan dan frekuensi kemunculan dengan menggunakan metode transek kuadrat. Variabel penunjang yaitu faktor lingkungan berupa suhu, salinitas, ph yang mempengaruhi pertumbuhan lamun. Setelah itu dilakukan pencuplikan sampel lamun dengan menganalisa sampel jaringan lamun (daun, rhizoma dan akar) untuk mendapatkan sampling biomassa. Kemudian dari berat kering tumbuhan lamun (biomassa) tersebut dilakukan analisis laboratorium untuk mengetahui konsentrasi karbon jaringan lamun. Setelah mendapatkan nilai kandungan karbon per jaringan lamun dilakukan penghitungan total stok karbon yang nantinya akan disajikan dalam bentuk peta yakni peta kategori ukuran stok karbon (bagian atas substrat dan bagian bawah substrat) dan peta total stok penyimpanan karbon oleh tumbuhan lamun di Pantai Sanur. 4.5 Bahan dan Instrument Penelitian Bahan penelitian merupakan segala sesuatu atau spesifikasi yang dikenai perlakuan atau yang digunakan untuk perlakuan. Instrument penelitian

59 40 merupakan segala macam instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan lamun sebagai objek yang diamati dan sebagai sampel jenis. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut : Tabel 4.2 Instrumen yang Digunakan Dalam Penelitian No Komponen yang diamati Satuan Instrument Keterangan 1. Pengamatan Ekosistem lamun (Transek) Individu, Kerapatan Roll meter, tiang kayu, alat tulis, buku In situ dan Laboratorium, identifikasi, kantong specimen, kertas label 2. Suhu Perairan ºC Waterchecker. In situ 3. Salinitas Ppt Waterchecker. In situ 4. Kecepatan Arus m/dt Alat Ukur Arus In situ 5. ph - Waterchecker In situ 6. Oksigen Terlarut Ppm Waterchecker. In situ 7. Analisa Biomassa oven Laboratorium 8. Analisa Karbon Muffle dan bahan kimia Laboratorium 9. Pemetaan dan - - Piranti lunak ArcGis - Pemodelan Spatial - Peta RBI Digital skala 1: Koordinat Lapangan lat/long GPS In situ 11. Dokumentasi Pengamatan Lapang Kamera In situ 4.6 Prosedur Penelitian Kondisi Umum Lamun Pengamatan kondisi umum lamun dilakukan dengan pengumpulan data yaitu mengkaji kerapatan dan frekuensi kemunculan berdasarkan penentuan lokasi

60 41 pengambilan sampel. Sebelum melakukan pengamatan, terlebih dahulu dilakukan survei awal guna melihat distribusi lamun terkait penentuan letak garis transek. Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan secara purposive (Nasution, 2001), yang mengacu pada fisiografi lokasi, agar sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan keadaan perairan tersebut. Bersamaan pada saat dilakukan pengamatan kondisi umum ekosistem padang lamun, dilakukan juga pengukuran parameter lingkungan yaitu berupa suhu, salinitas, ph, kecepatan arus dan Densitas oksigen (DO) yang mewakili pada bagian titik tengah (titik b pada gambar 4.2) yang terdapat pada 8 garis transek. Kerapatan adalah jumlah individu (tunas) suatu jenis lamun per-satuan luas (satuan umum yang dipakai adalah per 1 meter persegi). Untuk menghitung kerapatan lamun adalah sebagai berikut : 1) Kerapatan lamun diperoleh dengan menghitung tegakan (lunas) lamun dan diamati dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100 cm x 100 cm Untuk memudahkan pengamatan, pada transek dibuat kisi-kisi 20 cm x 20 cm. 2) Sampling dilakukan secara sistematis dari pantai tegak lurus ke arah luar sampai tidak ditemukan lamun, dengan jarak antar transek 20 meter. Setiap posisi transek dicatat berdasarkan pembacaan pada Global Positioning System (GPS). 3) Awal peletakkan kuadran disesuaikan dengan awal ditemukan lamun pada perairan tersebut, sehingga titik awal transek dapat diletakkan dengan kisaran 0 20 m dari tepi pantai.

61 42 4) Jumlah tunas setiap jenis lamun di dalam transek dihitung untuk mengetahui kerapatannya. 5) Pengamatan dilakukan pada saat perairan Pantai Sanur mengalami surut untuk memudahkan proses penghitungan kerapatan dan pencuplikan sampel lamun. 6) Jumlah titik pengamatan sebanyak 24 titik yang terbagi menjadi 8 garis transek (tegak lurus dari pantai). Titik-titik sampling tersebut tersebar di semua perairan Pantai Sanur yang mempunyai padang lamun sehingga bisa mewakili kondisi umum lamun di Pantai Sanur. Contoh petak pengamatan dan pengambilan contoh lamun dapat dilihat pada Gambar 4.3 sebagai berikut: Gambar 4.3 Contoh Peletakan Transek Garis Dan Transek Kuadrat (Sumber : Untuk frekuensi kemunculan yaitu peluang suatu spesies yang ditemukan dalam titik sampel yang diamati. Frekuensi kemunculan lamun merupakan pengindikasikan luas distribusi suatu jenis lamun dihitung antara jumlah transek dimana jenis lamun tertentu ditemukan dibagi dengan jumlah total transek yang

62 43 digunakan sehingga memunculkan prosentase kemunculan dari suatu jenis lamun. Identifikasi lamun dilakukan berdasarkan Waycott et al. (2004) Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun Biomassa lamun adalah satuan berat (berat kering atau berat abu) lamun bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (daun, seludang, buah dan bunga) dan/ atau bagian di bawah substrat (akar dan rimpang) yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m 2 (gbk/m 2 ). Menurut Buku Pedoman Umum Identifikasi dan Monitoring Lamun Tahun 2008 mengatakan bahwa sampling biomassa dilakukan dengan menggunakan transek yang berukuran 20 cm x 20 cm. Untuk pengambilan sampel lamun dilakukan prosedur sebagai berikut: 1) Lamun yang terdapat pada transek tersebut dicuplik dengan menggunakan tangan sampai pada kedalaman penetrasi akar. Sebelum dicuplik terlebih dahulu dilakukan pemotongan rhizoma yang menjalar ke samping (batas luar kuadran/ transek) dengan menggunakan parang untuk mempermudah pencuplikan. 2) Pencuplikan lamun untuk sampel biomassa dilakukan bersamaan dengan penghitungan kerapatan lamun. 3) Sampel dimasukkan ke kantong sampel setelah dibersihkan dari substrat kemudian dimasukkan ke dalam ice box untuk tetap menjaga kessegaran dan dibawa ke laboratorium.

63 44 4) Pencuplikan lamun dilakukan pada semua titik pengamatan (24 titik) yang tersebar pada semua sisi pantai sehingga dapat mewakili biomassa lamun secara keseluruhan. Pencuplikan sampel lamun dilakukan dengan 3 kali pengambilan sampel lamun untuk biomassa di setiap titik pengamatan (transek kuadrat) yang nantinya akan dirata-rata dan dipisahkan daun, rhizoma dan akar untuk diketahui berat basah dan berat keringnya. Hal ini dilakukan untuk kevalidan dan keterwakilan sampel biomassa dari masing-masing garis transek dan untuk memudahkan di dalam pembuatan peta sebaran karbon pada tahap berikutnya. Untuk biomassa per jenis diperoleh dari hasil frekuensi kemunculan yang telah dilakukan sebelumnya. Biomassa per tegakan lamun diketahui dengan membagi berat total setiap sampel dengan jumlah tegakannya. Perhitungan biomassa lamun dilakukan dengan metode destruktif. Tumbuhan lamun akan dibagi menjadi tiga (3) bagian yaitu daun, rhizoma dan akar. Untuk perhitungan biomassa lamun dilakukan di laboratorium dengan perlakuan sebagai berikut (Azkab, 1999): 1) Semua contoh lamun dibersihkan, dicuci dan diidentifikasi. 2) Hitung dan timbang jumlah tegakkan pada setiap jenis untuk mengetahui biomassa basah. 3) Satukan semua contoh lamun menurut jenisnya pada setiap titik. 4) Setiap contoh lamun dipisahkan antara daun, rhizoma dan akar, kemudian ditimbang. Bisa juga daun lamun dipisahkan dengan seludangnya serta rimpang dengan akarnya.

64 45 5) Sampel lamun dikeringkan pada suhu kamar dan setelah cukup kering kemudian dimasukkan ke dalam wadah berupa kertas. Kemudian semua contoh lamun dikeringkan dengan memasukkan ke dalam oven pada temperatur tetap 60 C selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering dengan menggunakan neraca analitik. Setelah mendapatkan nilai hasil biomassa per jaringan lamun (daun, rhizoma dan akar) disetiap titik pengamatan, dilakukan penghitungan kandungan karbon terhadap sampel biomassa tersebut. Penghitungan kandungan karbon ini dilakukan pada 8 titik yakni pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b pada Gambar 4.4) dari masing-masing garis transek. Nilai konsentrasi karbon yang didapatkan digunakan untuk mengkonversi perbandingan nilai biomassa (berat kering) menjadi nilai kandungan karbon pada titik-titik yang tidak dilakukan penghitungan nilai karbon jaringan lamun. Ilustrasi penghitungan nilai kandungan karbon dan konversi pada titik pengamatan lamun dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut: Gambar 4.4 Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon pada Titik Pengamatan

65 46 Penghitungan nilai kandungan karbon lamun perjaringan (daun, rhizoma dan akar) dianalisis dengan menggunakan metode Walkley dan Black (Sulaeman et al. 2005) dan metode pengabuan (Helrick, 1990) yang dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Metode Walkley dan Black dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Sebanyak satu gram sampel kering dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan 10 ml M K 2 Cr 2 O 7 dan 10 ml H 2 SO 4 pekat lalu dikocok. Warna merah jingga pada larutan harus tetap dijaga. 2) Jika terjadi perubahan warna menjadi hijau atau biru maka ditambahkan 10 ml K 2 Cr 2 O 7 dan 10 ml H 2 SO 4. Jumlah penambahan dicatat. Penambahan untuk blanko juga harus sama banyak. 3) Larutan kemudian didiamkan selama 30 menit hingga dingin. 4) Setelah dingin, ditambahkan 5 ml H 3 PO 3 85% dan 1 ml indikator difenilamin, kemudian larutan diencerkan dengan akuades hingga volume larutan mencapai 50 ml. 5) Sebanyak 5 ml larutan dipipet ke dalam Erlenmeyer 50 ml dan ditambahkan 15 ml akuades, kemudian dititrasi dengan larutan FeSO 4 1 N atau 0,5 N hingga warna menjadi kehijauan. Prosedur tersebut dilakukan terhadap sampel dan blanko. Kemudian dihitung dengan rumus (4). Untuk metode pengabuan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Cuci cawan porselin, bilas dan keringkan. 2) Masukkan ke dalam tanur listrik selama 2-3 jam pada suhu C.

66 47 3) Dinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian timbang sebagai cawan kosong. 4) Sebanyak 1-2 gram sampel kering dimasukkan ke dalam cawan dan dicatat sebagai berat cawan + berat sampel. 5) Bakar dalam tanur listrik selama 3-6 jam pada suhu C hingga menjadi abu yang ditandai oleh warna putih keabu-abuan tanpa ada bintik hitam. 6) Didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang berat cawan + berat abu dan dihitung dengan menggunakan rumus (6) Total Stok Karbon Prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa. Stok karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012). Hasil analisis kandungan karbon lamun perjaringan (akar, rhizoma dan akar) kemudian dibagi menjadi stok karbon lamun bagian atas subtrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma). Kemudian di petakan sebaran stok karbon lamun bagian atas dan bawah substrat tersebut dengan membagi lima kelas untuk mempermudah analisis, kemudian dipetakan berdasarkan posisi setiap transek dengan bantuan software Arcgis dengan proses interpolasi data. Setiap kelas stok karbon dihitung luasnya kemudian dijumlahkan dengan kelas-kelas lainnya sehingga didapatkan peta total sebaran stok karbon sehingga peta yang ditampilkan pada Bab Hasil Penelitian adalah peta sebaran stok karbon bagian

67 48 atas substrat, peta sebaran stok karbon bagian bawah substrat dan peta sebaran total stok karbon lamun. Setelah itu dilakukan penghitungan total stok karbon lamun di kawasan Pantai Sanur dianalisis dengan menggunakan konversi data biomassa menjadi kandungan karbon yang didapatkan pada awal penelitian. Data hasil konversi ke karbon keseluruhan kemudian dirata-rata dengan satuan gbk/m 2. Setelah mendapatkan nilai rata-rata karbon per meter persegi kemudian dikalikan dengan luas lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur Metode Interpolasi Data Proses interpolasi ini dilakukan dengan menerapkan metode invers distance menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi Proses interpolasi perlu dilaksanakan untuk mengestimasi dan memetakan potensi penyerapan karbon lamun dengan mudah dan cepat yakni mendapatkan nilai diantara titik sampel yaitu nilai karbon yang terkandung dalam lamun yang diamati. Hal ini bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi dan titik model bisa berimbang. Inti dari model ini adalah menganalisis titik pengamatan dalam suatu ruang ketetanggaan yang menggambarkan kemiripan diantara titik-titik tersebut. Pada umumnya program komputer akan melakukan beberapa teknik pencarian dengan mendefinisikan ruang ketetanggaan. Mengingat model pembobotan ini merupakan model ruang lokal, maka teknik pencarian yang umum digunakan adalah dengan menetapkan jumlah titik observasi yang yang berada di sekitarnya

68 49 atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu (Trisasongko et al. 2008). Teknik pencarian apapun yang digunakan, komputer akan mengukur jarak suatu titik pengamatan dengan titik yang diamati. Nilai Z untuk setiap titik umumnya kemudian diboboti dengan kuadrat jarak sehingga nilai yang dekat secara spasial akan cenderung mempengaruhi nilai pada titik yang diamati. 4.7 Analisis Data Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan Rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan lamun seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (2) sebagai berikut (Khouw 2009): dimana : Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m 2 ) ni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas).... (2) Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m 2 ) Untuk menghitung frekuensi kemunculan lamun dihitung berdasarkan persamaan (3) sebagai berikut (Khouw 2009):.... (3) dimana : Fi = frekuensi jenis-i (%) ti = jumlah transek dimana jenis-i ditemukan T = jumlah total transek yang digunakan.

69 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun Biomassa per tegakan lamun dapat diketahui dengan membagi berat total setiap sampel dengan jumlah tegakannya dikalikan dengan jumlah tunas (kepadatan) lamun dalam satu meter persegi. Hubungan antara kerapatan dan biomassa lamun digunakan untuk memprediksi biomassa lamun pada semua titik sampling kepadatan. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung biomassa ditunjukkan oleh persamaan (4) sebagai berikut ( B = W x D.... (4) Dimana : B = Biomassa Lamun (gram.m - 2 ) W = Berat Kering sebuah Tunas Lamun (gram.tunas -1 ) D = Kepadatan Lamun (tunas.m - 2 ) Rumus untuk menghitung kandungan karbon jaringan lamun dengan metode Walkley dan Black berdasarkan persamaan (5) sebagai berikut (Sulaeman et al. 2005):..... (5) Dimana: C = kandungan karbon jaringan lamun (%) A = volume titrasi sampel (ml) B = volume titrasi blanko (ml) 12/4000 = miliequivalent berat dari C (gram) Rumus yang digunakan untuk menghitung kandungan karbon jaringan lamun dengan metode pengabuan dapat ditunjukkan oleh persamaan (6) sebagai berikut (Helrich, 1990):

70 51... (6) dimana : a = berat cawan b = berat cawan + berat sampel c = berat (cawan + abu) Untuk menghitung bahan organik dengan metode pengabuan ini dapat ditentukan dengan menghitung pengurangan berat saat pengabuan, yaitu dengan persamaan (7) sebagai berikut (Helrich, 1990): ( ) ( ) ( )... (7) dimana : a = berat cawan b = berat cawan + berat sampel c = berat (cawan + abu) Setelah mengetahui kadar bahan organik, dilakukan penghitungan kandungan karbon jaringan lamun dengan metode pengabuan yaitu dengan persamaan (8) sebagai berikut (Helrich, 1990):... (8) dimana : 1,724 = konstanta nilai bahan organik Setelah mengetahui nilai kandungan karbon jaringan lamun dengan metode Walkley & Black dan metode pengabuan, kemudian nilai hasil kandungan karbon tersebut dirata-rata dan nilai rata-rata kandungan karbon inilah yang digunakan sebagai kandungan karbon jaringan lamun.

71 Total Stok Karbon Total stok karbon lamun dihitung dengan menggunakan rumus yang mengacu pada persamaan (9) sebagai berikut (Walkley dan Black dalam Sulaeman et al. 2005): Ct = Σ (Li x ci).. (9) dimana : C t = karbon total (ton) L i = luas padang lamun kategori kelas i (m 2 ) C i = rata-rata stok karbon lamun kategori kelas i (g/m 2 ) Intepolasi Data Dengan Sistem Informasi Geografis Rumus umum Invers Distance Weighting (IDW) yaitu mengacu pada persamaan (10) sebagai berikut (Bonham dan Carter, 1994):...(10) dimana : Z 0 = Nilai yang diduga Z i = Sekumpulan Nilai Penduga Nilai pembobot dalam teknik Invers Distance Weighting umumnya dihitung dengan rumus umum pada persamaan (11) sebagai berikut (Bonham dan Carter,1994):.... (11) dimana : d i0 = Jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga

72 53 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Lamun Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di stasiun penelitian (delapan stasiun yang terbagi dalam 24 titik kuadran) didapatkan delapan jenis spesies lamun di wilayah perairan Pantai Sanur yaitu E. acoroides, T. hemprichii, H. ovalis (famili Hydrocharitaceae), C. rotundata, C. serulata, H. uninervis, H. pinifolia dan S. isoetifolium (famili Potamogetonaceae). Padang lamun di Pantai Sanur umumnya terletak pada kondisi yang relatif terlindung yakni di antara pantai dan terumbu karang. Habitat padang lamun dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut antara pantai dan tubir karang. Keragaman dan kerapatan jenis lamun rata-rata cenderung banyak ditemukan di tengah laguna. Distribusi dan sebaran jenis lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut: Tabel 5.1 Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun yang di Temukan Di Pantai Sanur No. Jenis Lamun Stasiun Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Halophila ovalis Halodule pinifolia Enhalus acroides Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Cymodocea serrulata Sumber : Hasil pengamatan Lapang 53

73 54 Dari delapan jenis lamun yang ditemukan dari delapan stasiun pengamatan di perairan kawasan Pantai Sanur, jenis lamun E. acroides yang paling sering ditemukan pada enam stasiun yakni pada stasiun 1 (Pantai Mertasari), stasiun 2 (Pantai Semawang I), stasiun 3 (Pantai Semawang II), stasiun 4 (Pantai Indah), stasiun 5 (Pantai Sindhu) dan stasiun 7 (Pantai Sanur II), kemudian diikuti oleh lamun jenis H. uninervis yang ditemukan pada lima stasiun yakni stasiun 1, 4, 5, 6 dan 8 (5 stasiun) dan jenis H. ovalis yakni pada stasiun 5, 6, 7 dan 8 (4 stasiun). Jenis lamun yang paling jarang ditemukan yakni C. serrulata yang hanya ditemukan pada stasiun 4 yakni di Pantai Indah. Secara umum tumbuhan lamun di Pantai Sanur ditemukan pada tepi pantai mulai garis air surut rendah ke arah laut dengan lebar sebaran lamun yang berbeda-beda pada tiap stasiun pengamatan. Komposisi jenis lamun secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.1 sebagai berikut: Ket: Ea = E. acoroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H. uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. isoetifolium Gambar 5.1 Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur

74 55 Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jenis lamun dengan jumlah individu per jenis yang menyusun suatu hamparan padang lamun dan dinyatakan dengan persentase. Komposisi jenis diperoleh dengan membagi jumlah keseluruhan lamun jenis i yang ditemukan pada keseluruhan transek dengan jumlah keseluruhan jenis lamun pada keseluruhan transek kuadrat dikalikan dengan 100 %. Dari total komposisi jenis lamun sebesar 100%, jenis terbesar yakni H. uninervis dengan nilai komposisi jenis sebesar 26,17% diikuti dengan S. isoetifolium sebesar 19,85%, H. ovalis sebesar 17,59%, H. pinifolia sebesar 11,52%, E. acroides sebesar 9,89%, C. rotundata sebesar 9,60, T. hemprichii sebesar 4,96 dan yang paling kecil yakni C. serrulata sebesar 0,42%. Meskipun jenis E. acroides merupakan jenis yang paling sering ditemukan hampir di setiap stasiun namun nilai komposisi jenisnya hanya menunjukkan 9,89%, berbeda dengan S. isoetifolium yang lebih jarang ditemukan namun menunjukkan nilai komposisi jenis sebesar 19,85%. Hal ini berhubungan dengan ukuran daun dan letak daun dimana S. isoetifolium akan lebih rapat dibandingkan dengan jenis E. acoroides dan C. rotundata sehingga mempengarungi nilai kerapatan masingmasing individu Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun Kerapatan Lamun Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu. Kepadatan lamun per satuan luas tergantung pada jenisnya. Jenis-jenis lamun dengan kepadatan tegakan yang tinggi biasanya juga memiliki frekuensi

75 56 kehadiran yang tinggi. Kerapatan jenis lamun di lokasi penelitian secara keseluruhan dapat disajikan pada Tabel 5.2 berikut ini: Tabel 5.2 Kerapatan Lamun di Lokasi Penelitian Transek Jenis Lamun (ind/m 2 ) Total Stasiun Kuadrat Ea Th Cr Cs Hu Hp Ho Si (ind/m 2 ) 1 A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C Sumber : Hasil pengamatan Lapang Ket: Ea = E. acroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H. uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. Isoetifolium

76 57 Grafik kerapatan jenis lamun yang ditemukan pada setiap stasiun dapat disajikan pada Gambar 5.2 sebagai berikut: Gambar 5.2 Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur

77 58 Perbedaan jenis lamun dan kerapatan pada masing-masing lokasi penelitian ini diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi jenis lamun tersebut terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan kerapatan jenis lamun S. isoetifolium mempunyai nilai paling tinggi di semua stasiun pengamatan yaitu berkisar pada individu/ m 2. Jenis lamun H. ovalis mempunyai nilai kerapatan sebesar individu/ m 2. Jenis lamun H. uninervis sebesar individu/ m 2, jenis lamun H. pinifolia sebesar individu/ m 2, jenis lamun C. rotundata sebesar individu/ m 2, jenis lamun T. hemprichii sebesar individu/ m 2, jenis lamun E. acroides sebesar individu/ m 2. Sedangkan jenis lamun C. serrulata hanya ditemukan pada stasiun 4 dengan nilai kerapatan sebesar 8 15 individu/ m 2. Lamun jenis E. acroides dan H. uninervis ditemukan di Stasiun 1 yakni di Pantai Mertasari yang di dominasi oleh H. uninervis dengan nilai kerapatan sebesar individu/ m 2. Di stasiun ini terlihat jenis E. acroides dengan nilai kerapatan sebesar 0 21 individu/ m 2 membentuk kelompok-kelompok kecil dan jarang. Pantai Mertasari memiliki tipe substrat adalah tekstur pasir, campuran pasir dan pecahan karang (rubble) dan padang lamun yang ada di lokasi ini cukup luas ke arah laut. Lebar pertumbuhan lamun pada laguna di stasiun ini mencapai 750 meter dimana lamun tumbuh mulai jarak 0 meter dari garis air surut rendah. Di stasiun 2 yakni di Pantai Semawang I (bagian selatan) ditemukan 2 jenis lamun yaitu E. acroides (nilai kerapatan sebesar individu/ m 2 ) dan T. hemprichii (nilai kerapatan sebesar individu/ m 2 ). Tipe substrat dasar perairan di lokasi ini adalah pasir dengan campuran pasir dan pecahan karang.

78 59 Lebar pertumbuhan lamun pada laguna Pantai Semawang mencapai 800 meter dimana lamun tumbuh mulai dari jarak 100 meter dari garis air surut rendah. Di stasiun 3 yakni di Pantai Semawang II (bagian utara), hanya jenis lamun E. acroides yang ditemukan yakni dengan nilai kerapatan sebesar individu/ m 2. Tipe substrat dasar perairan didominasi oleh tesktur pasir. Di stasiun 4 yakni di Pantai Indah ditemukan 4 jenis lamun yakni E. acroides, T. hemprichii, H. uninervis dan jenis C. serrulata dengan total individu setelah di rata-rata dari 3 kuadran sebesar 104 individu/ m 2 yang didominasi oleh E. acroides. Tipe substrat dasar di stasiun 4 ini adalah tekstur pasir. Stasiun 5 terletak di sekitar Pantai Sindhu dan merupakan stasiun yang terbanyak jenis lamun ditemukan yakni berjumlah 5 jenis yaitu H. uninervis dengan nilai kerapatan berkisar individu/ m 2 dan merupakan jenis yang paling mendominasi di stasiun ini. Kemudian diikuti oleh jenis S. isoetifolium ( individu/ m 2 ), H. ovalis (0 309 individu/ m 2 ), T. hemprichii (0 169 individu/ m 2 ) dan jenis yang paling jarang ditemukan adalah E. acroides (0 27 individu/ m 2 ). Tipe substrat dasar di stasiun 5 ini adalah didominasi tekstur pasir. Stasiun 6 yakni di pantai yang berada di depan Hotel Inna Grand Bali Beach dimana lebar padang lamun sekitar 180 m mulai garis air surut rendah ke arah laut. Di stasiun ini ditemukan 4 jenis lamun yaitu H. uninervis, C. rotundata, H. pinifolia dan H. ovalis. Jenis yang mendominasi adalah H. uninervis dengan nilai kerapatan berkisar individu/ m 2 diikuti oleh H. pinifolia sebesar individu/m 2. Kemudian diikuti oleh H. ovalis ( individu/ m 2 ) dan yang paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (6 305 individu/ m 2 ).

79 60 Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan pecahan karang (rubble). Stasiun 7 dan 8 terletak di Pantai Sanur yang merupakan salah satu pantai utama di kawasan Pantai Sanur ini. Di stasiun ini banyak sekali kegiatan manusia seperti berenang, bermain di pantai, bermain kano, berjemur, tambatan perahuperahu kecil untuk wisatawan dan juga sebagai alur dan tambatan bagi kapal speedboat yang mengangkut penumpang dari Sanur menuju Nusa Lembongan dan Nusa Penida. Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan pecahan karang (rubble). Di stasiun 7 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yaitu jenis H. ovalis dengan nilai kerapatan berkisar sebesar individu/ m 2 diikuti oleh jenis H. pinifolia ( individu) C. rotundata ( individu/ m 2 ) dan E. acroides (0 101 individu/ m 2 ). Di stasiun 8 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yakni S. isoetifolium dengan nilai kerapatan berkisar individu/ m 2, diikuti oleh H. uninervis ( individu/ m 2 ), H. ovalis ( individu/ m 2 ) dan yang paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (0 71 individu/ m 2 ). Semua jenis lamun umumnya dapat hidup pada semua jenis substrat, tetapi setiap jenis lamun mempunyai karakter tersendiri terhadap lingkungan hidupnya. Keadaan padang lamun di Pantai Sanur pada masing-masing stasiun dapat disajikan pada Gambar sebagai berikut:

80 61 Gambar 5.3 Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari (Stasiun 1) Gambar 5.4 Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang (Stasiun 2) Gambar 5.5 Hamparan padang lamun di Pantai Semawang 2 (Stasiun 3)

81 62 Gambar 5.6 Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah (Stasiun 4) Gambar 5.7 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu (Stasiun 5) Gambar 5.8 Hamparan Padang Lamun di Pantai Inna Grand Bali Beach (Stasiun 6)

82 63 Gambar 5.9 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 2 (Stasiun 7) Gambar 5.10 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 1 (Stasiun 8) Analisis kelompok (kluster) dilakukan untuk mengelompokan objek-objek (lamun) berdasarkan karakteristik yang dimilikinya agar data yang terdapat di dalam kelompok yang sama relatif lebih homogen dari pada data yang berada pada kelompok yang berbeda dan dapat disajikan pada Gambar 5.11 sebagai berikut:

83 64 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 7 Stasiun 5 Stasiun 8 Stasiun Jarak Euclidean (Dlink/Dmax)*100 Gambar 5.11 Dendogram Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Kerapatan Berdasarkan analisis kelompok yang dilakukan terlihat bahwa dari keseluruhan stasiun pengamatan (delapan stasiun) berdasarkan tingkat kesamaannya dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok yang memiliki kesamaan habitat. Komponen yang digunakan dalam pengelompokkan ini adalah jenis lamun yang ditemukan dan jumlah kerapatan jenis lamun pada tiap transek. Urutan pengelompokan kerapatan lamun secara berurutan sebagai berikut : Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1, 2, 3 dan stasiun 4. Kelompok 2 (stasiun 7), kelompok 3 (stasiun 5), Kelompok 4 (stasiun 8) dan kelompok 5 (stasiun 6). Kelompok I (Stasiun 1, 2, 3 dan 4) mempunyai tingkat kesamaan paling tinggi yang berarti bahwa struktur komunitas lamun pada masing-masing stasiun tersebut hampir sama dilihat dari jenis lamun yang ditemukan dan jumlah kerapatan jenis lamun dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pengelompokan tersebut dapat dikonfirmasi pada hasil analisis kluster karena pada kelompok

84 65 lainnya (stasiun lainnya) pada semua periode sampling membentuk kelompok sendiri yang mempunyai komunitas yang berbeda baik jenis maupun kerapatan lamun dari stasiun lainnya Frekuensi Kemunculan Lamun Frekuensi kemunculan jenis lamun terhadap masing-masing stasiun dapat disajikan pada Gambar 5.12 sebagai berikut: Gambar 5.12 Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun

85 66 Frekuensi kemunculan jenis lamun pada masing-masing stasiun memiliki nilai yang berbeda-beda. Kuantifikasi sebaran lamun tercermin dari nilai frekuensi masing-masing jenis lamun yang dihitung dari semua transek kuadrat pada setiap stasiun. Pada stasiun 1 dan 5 terlihat hanya jenis lamun H. uninervis mempunyai nilai frekuensi kemunculan yang paling tinggi sebesar 100% yang ditemukan pada setiap transek kuadran (kuadran a, b dan c) pada masing-masing stasiun. Di stasiun 8 nilai frekuensi kemunculan yang relatif tinggi juga ditemukan pada jenis H. uninervis dan S. isoetifolium sebesar 100%. Pada stasiun 3 jenis E. acroides memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dan hanya jenis ini saja yang ditemukan pada stasiun ini. Jenis E. acroides juga memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi bersamaan dengan jenis C. serrulata pada stasiun 4. Di stasiun 6 dan 7 jenis C. rotundata dan H. pinifolia memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi sedangkan pada stasiun 7 hanya jenis C. rotundata yang memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi. Di stasiun 2 tidak ditemukan jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi, di stasiun ini hanya ditemukan jenis E. acroides dengan nilai frekuensi kemunculan sebesar 67% dan jenis T. hemprichii sebesar 33%. Nilai total frekuensi kemunculan jenis lamun di seluruh titik transek didapatkan jenis H. uninervis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 50 % dari keseluruhan transek diikuti oleh jenis E. acroides sebesar 46%, C. rotundata sebesar 29%, H. ovalis sebesar 25%, H. pinifolia sebesar 21%, S. isoetifolium sebesar 21% dan nilai frekuensi kemunculan yang terkecil yakni jenis C. serrulata

86 67 sebesar 12,5%. Kehadiran lamun di suatu lokasi sangat berkaitan dengan ruang dan tipe substrat dasar Biomassa Lamun Biomassa lamun dibagi menjadi dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan substrat (above ground biomass) dan bawah permukaan substrat (below ground biomass). Pada penelitian ini, pengukuran biomassa di atas permukaan (substrat) terdiri dari bagian daun lamun, sedangkan bagian biomassa di bawah substrat terdiri dari bagian rhizoma dan akar. Data hasil pengukuran biomassa lamun yang telah dirata-rata dari tiga kali pencuplikan sampel dalam satu transek dan telah dikalkulasi dari ukuran gram berat kering per (kuadran) 20 x 20 cm menjadi gram berat kering permeter persegi disajikan pada Tabel 5.3 berikut:

87 68 Stasiun Tabel 5.3 Biomassa Lamun Perjaringan di Lokasi Penelitian Transek Kuadrat (1x1 m) Biomassa perjaringan (gbk/m 2 ) Akar Daun Rizoma Total Biomassa perjaringan (gbk/ m 2 ) Bawah Atas Total Substrat Substrat Keseluruhan 1 A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C

88 69 Sebaran biomassa lamun dan persentase biomassa lamun bagian atas dan bagian bawah substrat pada masing-masing transek (delapan stasiun) dapat disajikan pada Gambar 5.13 dan Gambar 5.14 sebagai berikut: Biomassa (gbk/ m2) 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C Stasiun biomassa Biomassa diatas substrat Biomassa dibawah substrat Gambar 5.13 Grafik Sebaran Biomassa Lamun Biomassa (%) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 37,47 41,56 30,39 66,71 42,45 43,98 47,25 52,05 62,34 52,52 74,31 55,98 41,35 57,36 28,17 34,44 39,38 27,95 31,25 23,88 32,82 30,45 33,35 42,77 62,53 58,44 69,61 33,29 57,55 56,02 52,75 47,95 37,66 47,48 25,69 44,02 58,65 42,64 71,83 65,56 60,62 72,05 68,75 76,12 67,18 69,55 66,75 57,23 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C Stasiun Biomassa di dibawah substrat Biomassa diatas atas substrat substrat Gambar 5.14 Grafik Persentase Biomassa Lamun

89 70 Biomassa lamun di Pantai Sanur menunjukkan bahwa nilai biomassa yang diperoleh umumnya didominasi oleh jenis yang berukuran besar misalnya jenis E. acroides dan T. Hemprichii meskipun nilai kerapatan masing-masing jenis ini tidak sebanyak jenis H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis dan S. isoetifolium yang berukuran kecil. Nilai total biomassa lamun perkuadran (m 2 ) yang diperoleh dari 8 stasiun yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26, gram berat kering (gbk)/ m 2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar 16,08 97,17 gbk/ m 2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma) sebesar 9,92 145,67 gbk/ m 2. Nilai total biomassa (bagian atas substrat dan bawah substrat) yang tertinggi ditemukan pada stasiun 4 di kuadran C sebesar 235 gbk/ m 2 yang didominasi oleh lamun jenis Enhalus acroides setelah itu diikuti oleh stasiun 2 di kuadran C sebesar 205,8 gbk/ m 2 yang hanya didominasi oleh jenis E. acroides. Nilai total biomassa terkecil ditemukan pada stasiun 6 di kudran A sebesar 26,33 gbk/ m 2 yang didominasi oleh lamun jenis H. ovalis dan H. pinifolia diikuti oleh stasiun 1 Kuadran B sebesar 42,92 gbk/ m 2 yang didominasi oleh jenis H. uninervis. Untuk total biomassa di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma) tertinggi ditemukan di stasiun 3 pada kuadran b sebesar 145,67 gbk/ m 2 yang didominasi oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di bawah substrat terkecil ditemukan pada stasiun 1 kuadran b sebesar 26,83 gbk/ m 2 yang didominasi oleh H. uninervis. Untuk total biomassa di atas substrat (bagian daun) tertinggi ditemukan pada stasiun 4 kuadran c sebesar 97,17 gbk/ m 2 yang juga didominasi

90 71 oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di atas substrat terkecil ditemukan pada stasiun 1 kuadran B sebesar 16,08 gbk/ m 2 yang didominasi oleh jenis H. uninervis. Persentase keseluruhan biomassa lamun dapat dilihat pada Gambar 5.15 sebagai berikut: 39,84 Biomassa diatas substrat 60,16 Biomassa dibawah substrat Gambar 5.15 Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun Persentase keseluruhan biomassa di bagian atas substrat pada semua lokasi stasiun sebesar 39,84% sedangkan biomassa dibagian bawah substrat berkisar sebesar 60,16%. Secara umum pada penelitian ini nilai biomassa di bawah substrat lebih tinggi dibandingkan nilai biomassa di atas substrat. Distribusi biomassa lamun di atas substrat dan di bawah substrat yang relatif tinggi ditemukan yakni terdapat pada stasiun 2 (Pantai Semawang I), 3 (Pantai Semawang II) dan 4 (Pantai Indah) yang didominasi oleh jenis E. acroides. Hal ini sangat berkaitan dengan kerapatan lamun dari jenis berukuran besar (E. acroides dan T. Hemprichii) pada ketiga stasiun (2, 3 dan 4) dan sebaliknya pada stasiun lainnya didominasi oleh jenis berukuran kecil (H.

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR TESIS SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR YOGA IBNU GRAHA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan BT. Luas wilayah kawasan pariwisata Pantai Sanur adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan BT. Luas wilayah kawasan pariwisata Pantai Sanur adalah 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian Pantai Sanur terletak pada 8 38 00 dan 08 42 30 LS, 115 14 30 dan 115 16 30 BT. Luas wilayah kawasan pariwisata Pantai Sanur adalah 1.548,27

Lebih terperinci

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR ECOTROPHIC VOLUME 10 NOMOR 1 TAHUN 2016 ISSN : 1907-5626 SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR Yoga Ibnu Graha 1 * ), I Wayan Arthana 2), I Wayan Gede Astawa Karang 2) 1)

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

METABOLISME 2. Respirasi Sel Fotosintesis

METABOLISME 2. Respirasi Sel Fotosintesis METABOLISME 2 Respirasi Sel Fotosintesis Jalur Respirasi Aerobik dan Anaerobik Rantai respirasi Fotosintesis Fotosintesis merupakan proses sintesis molekul organik dengan menggunakan bantuan energi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV: FOTOSINTESIS. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN IV: FOTOSINTESIS. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN IV: FOTOSINTESIS Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 FOTOSINTESIS Pokok Bahasan: Peran Tumbuhan dan Fotosintesis Tumbuhan sebagai produser Tempat terjadinya Fotosintesis Pemecahan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

Uraian Materi Anda suka makan ubi atau kentang rebus? Ubi jalar dan kentang sama-sama mengandung karbohidrat dalam bentuk amilum.

Uraian Materi Anda suka makan ubi atau kentang rebus? Ubi jalar dan kentang sama-sama mengandung karbohidrat dalam bentuk amilum. Uraian Materi Anda suka makan ubi atau kentang rebus? Ubi jalar dan kentang sama-sama mengandung karbohidrat dalam bentuk amilum. Dari manakah asal kandungan amilum pada ubi jalar dan kentang? Amilum yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi padang lamun Untuk menghindari kesalahpahaman antara lamun dan rumput laut, berikut ini disajikan istilah tentang lamun, padang lamun, dan ekosistem lamun (Azkab,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

FOTOSINTESIS. Fotosintesis 1

FOTOSINTESIS. Fotosintesis 1 FOTOSINTESIS Fotosintesis 1 CAKUPAN MATERI Peran Fotosintesis Sejarah Fotosintesis Tempat terjadinya Fotosintesis Reaksi-reksi Fotosintesis Reaksi Terang Reaksi Gelap Tumbuhan C3, C4 dan CAM Fotosintesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

Fotosintesis menghasilkan O 2

Fotosintesis menghasilkan O 2 Cahaya Faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan tanaman Cahaya memegang peranan penting dalam proses fisiologis tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi Fotosintesis : sebagai sumber

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun Menurut Azkab (2006), lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vegetasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C) Pengaruh Kadar Gas Co 2 Pada Fotosintesis Tumbuhan yang mempunyai klorofil dapat mengalami proses fotosintesis yaitu proses pengubahan energi sinar matahari menjadi energi kimia dengan terbentuknya senyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Dr.Ir.Mujizat Kawaroe

Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Dr.Ir.Mujizat Kawaroe Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut Dr.Ir.Mujizat Kawaroe Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Jl. Lingkar Akademik No. Kampus

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Kacang Tanah (Arachis hypogaeal.) Fachruddin (2000), menjelaskan bahwa klasifikasi tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) adalah sebagai berikut. Divisi : Spermatophyta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah adalah komoditas agrobisnis yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan merupakan salah satu sumber protein dalam pola pangan penduduk Indonesia. Kebutuhan kacang tanah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Lamun 2.1.1 Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis (Fisiologi Tumbuhan) Disusun oleh J U W I L D A 06091009027 Kelompok 6 Dosen Pembimbing : Dra. Tasmania Puspita, M.Si. Dra. Rahmi Susanti, M.Si. Ermayanti,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.3 1. Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... A. Air cahaya CO 2 O 2 Kunci Jawaban : D Bahan-bahan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Mofologi Lamun Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

luar yang mempengaruhi laju fotosintesis dan peranannya masing-masing 2. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelaskan faktorfaktor

luar yang mempengaruhi laju fotosintesis dan peranannya masing-masing 2. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelaskan faktorfaktor Pertemuan : Minggu ke 5 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Faktor-faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis Sub pokok bahasan : 1. Faktor-faktor dan dalam tubuh tumbuhan 2. Faktor-faktor dan lingkungan

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun 2.1.1 Deskripsi lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkunga laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Rinta Kusumawati ABSTRAK Lamun merupakan tanaman laut berbentuk daun tegak memanjang dengan pola sebaran mengelompok pada substrat

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 INTISARI Lamun merupakan ekosistem pesisir pantai yang berperan penting untuk menunjang ekosistem lainnya seperti terumbu

Lebih terperinci

ANABOLISME KARBOHIDRAT (FOTOSINTESIS)

ANABOLISME KARBOHIDRAT (FOTOSINTESIS) ANABOLISME KARBOHIDRAT (FOTOSINTESIS) Fotosintesis adalah proses sintesis / penyusunan/ pembentukan senyawa organik karbohidrat dari zat anorganik CO 2 dan H 2 O yang terjadi pada tumbuhan yang berklorofil

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI PRINSIP DAN KONSEP ENERGI DALAM SISTEM EKOLOGI 1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI ENERGI DALAM EKOSISTEM Hukum thermodinamika I energi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Pulau Nusa Lembongan Nusa Lembongan merupakan salah satu dari tiga pulau di Kecamatan Nusa Penida dan pulau terbesar kedua setelah Pulau Nusa Penida. Letak Nusa

Lebih terperinci

BAB V FOTOSINTESIS. 5. proses terjadinya rreaksi terang dan gelap dalam proses fotosintesis.

BAB V FOTOSINTESIS. 5. proses terjadinya rreaksi terang dan gelap dalam proses fotosintesis. BAB V FOTOSINTESIS A. STANDAR KOMPETENSI Mahasiswa mampu memahami proses fotosintesis dan mampu menguraikan mekanisme terjadinya fotosintesis pada tumbuhan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. B.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

FOTOSINTESIS. Pengertian Fotosintesis

FOTOSINTESIS. Pengertian Fotosintesis FOTOSINTESIS Pengertian Fotosintesis Fotosintesis merupakan proses yang dilakukan oleh organisme autotrof, dengan menggunakan energi dari cahaya matahari yang diserap oleh klorofil untuk membuat bahan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang luas melebihi wilayah daratannya, kurang lebih 70 % wilayah Indonesia adalah laut. Luasnya laut

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

Pertemuan : Minggu ke 4 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Fotosintesis : reaksi reduksi karbon Sub pokok bahasan : 1. Reaksi fiksasi dan

Pertemuan : Minggu ke 4 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Fotosintesis : reaksi reduksi karbon Sub pokok bahasan : 1. Reaksi fiksasi dan Pertemuan : Minggu ke 4 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Fotosintesis : reaksi reduksi karbon Sub pokok bahasan : 1. Reaksi fiksasi dan reduksi karbon pada tumbuhan C-3. 2. Reaksi fiksasi dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

FOTOSINTESIS. Fase perkembangan daun (muda/tua) Kedudukan daun

FOTOSINTESIS. Fase perkembangan daun (muda/tua) Kedudukan daun FOTOSINTESIS Komposisi bahan kering total tanaman sebagian besar terdiri atas bahan Carbon Karbohidrat bahan penyusun struktur tubuh tanaman dan sebagai sumber energi proses metabolisme Hill (seorang ahli

Lebih terperinci

Fiksasi Fotosintesis. Pati. Sitosol

Fiksasi Fotosintesis. Pati. Sitosol Biosintesis BIOSINTESIS KARBOHIDRAT Chairani Shafira Utami/ 1306370732 Prodi S-1 Teknik Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok ABSTRAK Karbohidrat adalah senyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT Rene Ch. Kepel 1 dan Sandra Baulu 2 1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

TOPIK 7 : FOTOSINTESIS DAN ENERGI KEHIDUPAN

TOPIK 7 : FOTOSINTESIS DAN ENERGI KEHIDUPAN TOPIK 7 : FOTOSINTESIS DAN ENERGI KEHIDUPAN TIK : Setelah mengikuti kuliah ini, anda dapat menjelaskan Fotosintesis dan energi kehidupan. Pengantar Ilmu Pertanian 1 Energi Energi Surya / Energi Elektromagnetik

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id A. Tumbuhan C3 .l Disampaikan pada saatacara kunjungan SDITAIam Harapan Umat Purbalingga, pada tanggal 12 TUMBUHAN C3, C4,DAN CAM-)

bio.unsoed.ac.id A. Tumbuhan C3 .l Disampaikan pada saatacara kunjungan SDITAIam Harapan Umat Purbalingga, pada tanggal 12 TUMBUHAN C3, C4,DAN CAM-) TUMBUHAN C3, C4,DAN CAM-) Oleh: Dr. Murni Dwiati, M.Si **) PENDAHULUAN Berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu C3, C4, dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism).

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

INVENTARISASI EMISI SUMBER BERGERAK DI JALAN (ON ROAD) KOTA DENPASAR

INVENTARISASI EMISI SUMBER BERGERAK DI JALAN (ON ROAD) KOTA DENPASAR INVENTARISASI EMISI SUMBER BERGERAK DI JALAN (ON ROAD) KOTA DENPASAR Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Udayana

Lebih terperinci

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra 4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk

Lebih terperinci