1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi"

Transkripsi

1 1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi Kecamatan Darmaga terletak di wilayah Bogor Barat dengan luas wilayah Ha. Sebagian besar tanah yaitu 972 Ha digunakan untuk sawah, 1145 Ha lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 Ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Darmaga mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di Kecamatan Darmaga mm/tahun, dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Jarak Kecamatan Darmaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 12 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat 180 km, dan dari ibukota negara Indonesia 60 km (peta lokasi kecamatan pada lampiran 1). Kecamatan Darmaga terdiri dari 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT, dan KK (Kepala Keluarga) Demografi Jumlah penduduk Kecamatan Darmaga pada tahun 2004 adalah jiwa yang didistribusikan menurut kelompok umur pada Tabel 24. Tabel 24. Distribusi Penduduk berdasarkan Kelompok Umur No Kelompok Umur (tahun) Jumlah % , , , , , , , , , , , , ,48 Jumlah Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Darmaga cukup beragam yaitu sektor pertanian, perdagangan, buruh, ABRI/TNI, dan pegawai negeri yang disajikan pada Tabel 25.

2 Tabel 25. Distribusi Penduduk berdasarkan Jenis Pekerjaan No Jenis Pekerjaan Jumlah % 1. PNS ,68 2. TNI/ Polri 57 0,25 3. Pegawai/ karyawan ,87 4. Dagang/ Wiraswasta ,57 5. Petani & Peternak ,80 6. Jasa / Buruh ,01 7. Lainnya 634 2,81 Jumlah Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Darmaga masih rendah dimana 41,97% tidak tamat SD, 31,88 % tamat SD. Penduduk yang berpendidikan diploma maupun sarjana masih sangat sedikit yang terlihat pada Tabel 26. Tabel 26. Distribusi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah % 1. Tidak tamat SD ,97 2. Tamat SD ,88 3. Tamat SMP ,87 4. Tamat SMA ,39 5. D1 D ,13 6. S1 S ,75 Jumlah Sarana dan Prasarana Kecamatan Darmaga mempunyai beberapa sarana dan prasarana yang cukup lengkap, seperti sarana dan prasarana sosial, pengairan, perhubungan, pertanian, dan perekonomian. Sarana dan prasarana sosial di Kecamatan Darmaga meliputi tempat ibadah yaitu 102 mesjid, 450 mushola, dan 5 surau, gedung pendidikan 93 buah, kantor desa 10 buah, dan lapangan olahraga 1 buah. Prasarana kesehatan terlihat pada Tabel 27. Tabel 27. Prasarana Kesehatan di Kecamatan Darmaga No Prasarana Kesehatan Jumlah % 1. Balai Pengobatan 2 2,11 2. Poliklinik 1 1,05

3 3. Rumah Bersalin 4 4,21 4. Puskemas dengan tempat perawatan 1 1,05 5. Puskesmas 4 4,21 6. Puskesmas pembantu 3 3,16 7. Posyandu 75 78,95 8. Apotik 1 1,05 9. Toko obat 4 4,21 Jumlah Sarana dan prasarana pengairan terdiri dari DAM 3 buah, Air PAM 1 buah, pompa air 305 buah, sungai/kali 3 buah, dan danau 2 buah. Sarana dan prasarana perhubungan meliputi lalu lintas darat sepanjang 108 km dengan alat pengangkutan sepeda motor/ojek dan angkutan kota. Terdapat 1 buah pasar, 260 toko/warung, 100 kios, 6 supermarket, dan 3 minimarket yang digunakan sebagai sarana perekonomian penduduk. Prasarana pendidikan di Kecamatan Darmaga terdiri dari universitas negeri, akademi, SMA, SMP, SD, TK, dan pondok pesantren yang terlihat pada Tabel 28. Tabel 28. Prasarana Pendidikan di Kecamatan Darmaga No Prasarana Pendidikan Jumlah % 1. Universitas Negeri 1 1,08 2. Akademi Swasta 1 1,08 3. SMU Swasta 1 1,08 4. SMK Swasta 1 1,08 5. Madrasah Aliyah Swasta 1 1,08 6. SMP Negeri 1 1,08 7. SMP Swasta 4 4,30 8. Mts Swasta 1 1,08 9. SD Negeri 35 37, MI Negeri 1 1, MI Swasta 8 8, TK Swasta 8 8, Pondok Pesantren 30 32,26 Jumlah Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Sampel

4 Karakteristik sosial ekonomi terdiri dari jumlah anggota keluarga, umur ibu dan bapak, tingkat pendidikan ibu dan bapak, pengeluaran pangan dan non pangan, dan pekerjaan ibu dan bapak. Secara umum karakteristik sosial ekonomi pada kedua kelompok relatif sama (Tabel 29). Jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang, sedikit diatas batasan keluarga ideal menurut BKKBN. Umumnya keluarga mempunyai satu atau dua anak. Umur ibu dan bapak kebanyakan berada pada kisaran tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ibu dan bapak termasuk usia produktif baik untuk mendapatkan penghasilan maupun reproduksi menghasilkan keturunan. Tingkat pendidikan keluarga sampel tergolong rendah karena pendidikan ayah rata-rata sedikit diatas Sekolah Dasar (SD) yaitu 7 tahun dan pendidikan ibu sedikit dibawah ayah yaitu 6 tahun. Pendapatan keluarga didekati dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk keperluan rumahtangga yaitu Rp ,0 ± ,7 atau 75% untuk keperluan pangan dan 25% untuk non pangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk pangan yang melebihi pengeluaran untuk non pangan menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah (miskin). Ibu kebanyakan tidak bekerja sehingga perolehan penghasilan umumnya bersumber dari bapak. Pekerjaan ibu dan bapak cukup bervariasi tetapi bila dihubungkan dengan perolehan penghasilan maka jenis pekerjaan ibu dan bapak ini merupakan pekerjaan dengan penghasilan relatif rendah. Hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan ibu dan bapak yang rendah sehingga jenis pekerjaan seperti buruh tani, buruh pabrik, buruh bangunan, supir, dan dagang yang umumnya terdapat pada kedua kelompok ini. Dilihat dari jenis pekerjaan ibu dan bapak terlihat bahwa pekerjaan ibu dan bapak lebih mengandalkan kekuatan fisik sehingga membutuhkan konsumsi energi yang besar. Jenis pekerjaan yang penghasilannya relatif rendah sangat rawan terhadap pemenuhan pangan terutama bila dalam keluarga banyak terdapat anggota keluarga yang tidak produktif mendapatkan penghasilan. Hasil uji statistik karakteristik sosial ekonomi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05). Tabel 29. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Sampel

5 Karakteristik Sosial Ekonomi Perlakuan (n = 27) Kontrol (n =29) Total (n = 56) Sig Jumlah anggota 5,44 ± 2,10 5,21 ± 1,68 5,32 ± 1,88 0,64 keluarga (orang) Umur Ibu (tahun) 25,74 ± 4,77 25,86 ± 5,36 25,80 ± 5,07 0,93 Umur Bapak (tahun) 31,15 ± 6,49 31,83 ± 6,65 31,49 ± 6,57 0,70 Pendidikan Ibu (tahun) 6,89 ± 2,44 6,17 ± 2,12 6,53 ± 2,28 0,25 Pendidikan Bapak (thn) 7,70 ± 2,87 7,07 ± 2,84 7,39 ± 2,86 0,41 Pekerjaan Ibu : Tidak bekerja 20,21 ± 2,01 21,14 ± 3,25 20,12 ± 3,58 0,62 Buruh (tani, pabrik, 5,24 ± 0,36 3,20 ± 1,23 4,8 ± 2,16 0,56 cuci) 0,47 2,03 ± 1,31 5,61 ± 0,61 4,5 ± 0,23 Dagang, Swasta Pekerjaan Bapak : Tidak bekerja Buruh (tani, pabrik, bangunan) Dagang, Swasta Supir 5,12 ± 2,61 16,51 ± 4,65 1,31 ± 0,25 5,27 ± 0,36 2,32 ± 0,36 17,15 ± 1,71 3,31 ± 0,23 7,02 ± 1,32 4,2 ± 1,23 15,8 ± 0,23 1,7 ± 0,65 5,9 ± 2,14 0,73 0,52 0,29 0,47 Pendapatan Keluarga (Rp/bln) Pendapatan per Kapita (Rp/kapita/bln) Pengeluaran Pangan (%) Pengeluaran Non Pangan (%) ,9 ± , ,5 ± , ,0 ± ,7 0, ,7 ± ,7 ± ,9 ± 0, , , ,5 69,1 ± 28,8 80,6 ± 20,4 75,0 ± 25,2 0,23 30,9 ± 28,8 19,4 ± 20,4 24,9 ± 25,2 0,11 3. Status Gizi dan Morbiditas Ibu Menyusui 3.1. Berat Badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT) Rata-rata berat badan ibu sebelum intervensi pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol. Rata-rata berat badan ibu menyusui ini lebih rendah daripada rata-rata berat badan ibu menyusui satu bulan setelah melahirkan di pedesaan Meksiko yaitu 53 ± 7,6 kg dengan tinggi badan 1,5 ± 0,1 m (Villalpando. S, et al, 2003). Berat badan ibu menyusui 0 4 bulan di Honduras dan Swedia juga lebih tinggi daripada berat badan ibu menyusui dalam penelitian ini yaitu 56 ± 11 kg pada ibu di Honduras dan 65 ± 10 kg pada ibu di Swedia. Setelah intervensi 4 bulan

6 rata-rata ibu menyusui mengalami penurunan berat badan 0,5 kg. Pada ibu kelompok perlakuan mengalami penurunan berat badan 1,5 kg sebaliknya pada ibu kelompok kontrol mengalami penambahan berat badan 0,3 kg. Rata-rata berat badan ibu menyusui disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Rerata Berat Badan (Kg) Ibu Menyusui Waktu Pengamatan Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) Sig BB Sebelum 48,89 ± 6,00 51,03 ± 5,49 49,91 ± 5,79 0,17 BB Setelah 47,40 ± 5,32 51,37 ± 6,17 49,46 ± 6,06 0,13 Selisih -1,48 ± 3,03 0,33 ± 3,39-0,54 ± 3,32 0,14 Penurunan berat badan pada ibu menyusui biasa terjadi karena besarnya energi yang dibutuhkan untuk produksi ASI sehingga jaringan lemak pada adiposa akan cepat diurai untuk memenuhi kebutuhan energi ibu menyusui yang mempercepat penurunan berat badan terutama bila asupan makanan tidak mencukupi kebutuhan dan aktivitas yang berat pada ibu menyusui. Asupan makanan dan aktivitas fisik merupakan faktor penting yang menentukan terhadap berat badan. Hal ini ditegaskan dalam studi jaringan adiposa pada ibu menyusui (Lafontan et al, 1979; Rebuffe Scrive et al dalam ACC/SCN, 1991) yang menunjukkan adanya perubahan spesifik dalam metabolisme simpanan energi selama menyusui. Lipolisis (penguraian lemak) jaringan adiposa di perut secara nyata lebih besar pada ibu yang menyusui daripada ibu yang tidak menyusui. Brewer et al, (1989) dan Butte et al (1984) dalam ACC/SCN, (1991) menunjukkan adanya defisit energi kkal/hari pada ibu menyusui 4 6 bulan yang tinggal di rumah dengan gizi baik, setara dengan penurunan berat badan 2,6 7,9 kg selama 6 bulan.

7 BB Ibu (Kg) sebelum setelah selisih 0-10 perlakuan kontrol total Gambar 7. Berat Badan Ibu Sebelum dan Setelah Intervensi Butte (1981) mengemukakan adanya penurunan berat badan 5,5 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah empat bulan melahirkan. Heinig et al (1990) dalam ACC/SCN (1991) mengemukakan adanya penurunan berat badan 3,5 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah 6 bulan melahirkan. Studi lainnya Manning-Dalton dan Allen (1983) dalam ACC/SCN (1991) juga melaporkan hal yang sama yaitu adanya penurunan berat badan 2 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah tiga bulan melahirkan. Dari beberapa studi tersebut dapat dikatakan bahwa penurunan berat badan ibu menyusui dalam penelitian ini relatif kecil. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh pemberian mie instan pada ibu menyusui terhadap kebutuhan zat gizi makro yaitu kebutuhan energi sehingga defisit energi yang lazim terjadi saat menyusui dapat diperkecil dan penurunan berat badan ibu relatif rendah. Adanya penurunan berat badan pada kelompok perlakuan dan pertambahan berat badan pada kelompok kontrol disebabkan karena ibu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian lebih banyak

8 pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Pekerjaan cuci pakaian merupakan aktivitas berat yang membutuhkan energi tinggi karena dilakukan disungai yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh ± 50 m dengan medan yang tidak rata. Aktivitas berat ini mempercepat penurunan berat badan. Pada kelompok perlakuan ibu yang tidak bekerja ada 20 orang dan bekerja sebagai buruh ada 5 orang sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang tidak bekerja ada 21 orang dan bekerja sebagai buruh ada 3 orang. Aktivitas rumahtangga yang dilakukan ibu sehari-hari, asupan pangan yang rendah, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, dan sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama gizi kurang pada keluarga miskin sehingga ibu sangat rentan mengalami gizi kurang (World Bank, 2006). Selain itu bila dihubungkan dengan status gizi berdasarkan IMT maka terlihat bahwa ibu yang mempunyai status gizi lebih (IMT > 25) lebih banyak dijumpai pada kelompok kontrol sehingga penurunan berat badan ibu lebih terlihat pada kelompok perlakuan sedangkan pada kelompok kontrol terlihat kenaikan berat badan. Disamping itu bila dihubungkan dengan frekuensi dan lama menyusui pada bayi maka frekuensi dan lama menyusui bayi pada kelompok perlakuan lebih besar daripada bayi kelompok kontrol sehingga lipolisis dan defisit energi lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol sehingga penurunan berat badan lebih besar pada kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan bayi yang menyusu lebih dari 8 kali dalam sehari ada sebanyak 96% dengan lama menyusui 8,35 jam. Pada kelompok kontrol bayi yang menyusu lebih dari 8 kali dalam sehari ada sebanyak 86% dengan lama menyusui 8,19 jam (Tabel 53). Hal ini juga terlihat dalam studi Manning-Dalton dan Allen (1983) dalam ACC/SCN (1991) yang menemukan 22% ibu menyusui bertambah berat badannya setelah 3 bulan melahirkan berkaitan dengan intensitas dan durasi penyusuan yang sangat rendah. Adanya pemberian mie instan ini berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan energi ibu sehingga ibu kelompok perlakuan hanya mengalami penurunan berat badan yang relatif rendah, bahkan pada ibu kelompok kontrol bertambah berat badan meskipun pertambahan berat badannya relatif kecil.

9 Status gizi dapat dinilai berdasarkan IMT dengan rumus berat badan (kg) / tinggi badan (m) 2 yang dikategorikan menjadi status gizi kurang, normal (baik), dan status gizi lebih yang disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Status Gizi Ibu berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) Status Gizi Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) n % n % n % Sebelum Kurang ( IMT < 18 ) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal ( 18 < IMT < 25 ) 25 92, , ,5 Lebih ( IMT > 25 ) 2 7,4 5 17,2 7 12,5 Rataan IMT ± SD 21,89 ± 2,76 22,93 ± 2,17 22,43 ± 2,51 Setelah Kurang ( IMT < 18 ) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal ( 18 < IMT < 25 ) 25 92, , ,2 Lebih ( IMT > 25 ) 2 7,4 8 27, ,9 Rataan IMT ± SD 21,22 ± 2,53 23,10 ± 2,73 22,18 ± 2,78 Berdasarkan IMT, status gizi ibu sebelum dan setelah intervensi umumnya normal (18 < IMT < 25) baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Tidak ada ibu yang mempunyai status gizi kurang pada kedua kelompok baik sebelum maupun setelah intervensi. Ibu dengan status gizi lebih (IMT > 25) lebih banyak dijumpai pada kelompok kontrol

10 daripada kelompok perlakuan sebelum dan setelah intervensi. Rata-rata IMT ibu menyusui dalam penelitian ini relatif sama dengan IMT ibu menyusui di Jawa Barat dalam Dijkhuizen et al (2001) yaitu 21,2 dengan kisaran 19,7 23,0. Hal ini berarti status gizi ibu menyusui berdasar IMT di Jawa Barat umumnya baik (normal). Bila dibandingkan dengan IMT ibu menyusui di negara maju maka IMT ibu menyusui di Amerika setelah satu bulan melahirkan lebih tinggi yaitu 23 ± 2,6 (Butte dan Garza, 1986 dalam ACC/SCN, 1991) Kadar Hemoglobin Darah Ibu Menyusui Hemoglobin darah adalah salah satu indikator anemia yang ditetapkan WHO. Cut off anemia untuk wanita dewasa adalah < 12 g/dl. Kadar Hb ibu kedua kelompok sebelum intervensi sudah baik yaitu 12 g/dl. Kadar Hb ini lebih tinggi dibanding kadar Hb ibu menyusui di Kecamatan Parung kabupaten Bogor dalam studi Dahro, et al (1993) yaitu 11,9 ± 1,35. Dalam studi Dijkhuizen et al. (2001) di Kabupaten Bogor ditemukan kadar Hb ibu menyusui sebesar 11,7 ± 1,3 dengan prevalensi anemia 52% yang lebih tinggi daripada prevalensi anemia dalam penelitian ini. Kadar Hb penelitian ini pada awal intervensi lebih rendah dibanding dengan kadar Hb ibu hamil sebelum suplementasi biskuit multi gizi dalam penelitian Nasution, A (2003) yaitu 12,5 g/dl dan kadar Hb ibu menyusui di Meksiko setelah satu bulan melahirkan yaitu 12,7 ± 1,7 (Villalpando, et al, 2003). Kadar Hb darah disajikan pada Tabel 32.

11 Tabel 32. Sebaran Ibu menurut Kadar HB Darah (g/dl) Kadar Hb Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) n % n % n % Sebelum Rendah ( < 12 g / dl ) 9 33, , ,9 Normal ( 12 g / dl ) 18 66, , ,1 Total Rataan Hb ± SD 12,07 ± 1,68 12,38 ± 1,69 12,23 ± 1,68 Setelah Rendah ( < 12 g / dl ) 10 37, , ,7 Normal ( 12 g / dl ) 17 63, , ,3 Total Rataan Hb ± SD 12,44 ± 1,46 12,63 ± 1,47 12,54 ± 1,46 Selisih Rataan Hb ± SD 0,36 ± 1,69 0,25 ± 1,59 0,31 ± 1,63 Setelah intervensi terlihat adanya kenaikan kadar Hb pada kedua kelompok tetapi kenaikan terbesar terdapat pada kelompok perlakuan yaitu 0,36 ± 1,69 pada kelompok perlakuan dan 0,25 ± 1,59 pada kelompok kontrol. Kenaikan Hb ini disebabkan adanya mie instan yang mengandung zat besi pada ibu perlakuan dimana besi membentuk hemoglobin dalam sel darah merah, sebaliknya pada ibu kontrol tidak demikian. Rata-rata kadar Hb ibu kedua kelompok sebelum dan setelah intervensi masih tergolong normal yaitu pada kelompok perlakuan 12,07 ± 1,68 g/dl sebelum intervensi dan 12,44 ± 1,46 g/dl setelah intervensi. Pada kelompok kontrol rata-rata kadar Hb sebelum intervensi 12,38 ± 1,69 g/dl dan setelah intervensi 12,63 ± 1,47 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar Hb sebelum dan setelah intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05). Adanya pengaruh fortifikasi atau suplementasi terhadap kenaikan kadar Hb didapati pada beberapa studi seperti Saidin M, et al (1995) mengemukakan fortifikasi mie instan dengan Fe 10 mg/100 g yang diberikan 3 kali seminggu 1 bungkus mie selama 14 minggu pada ibu hamil trimester II di Kabupaten Cianjur dapat meningkatkan kadar Hb 0,47 dan menurunkan anemia 5,2%. Pada penelitian lainnya Saidin. M, et al (1997) mengemukakan suplementasi besi (100 mg besi

12 elemental dan 0,25 mg asam folat) pada ibu hamil selama 3 bulan meningkatkan kadar Hb 0,4 g/dl dimana prevalensi anemia sebelum suplementasi 53,5%. Sumarmo, et al (1996) juga mengemukakan suplementasi besi 60 mg, folat 2 mg dan vitamin C pada ibu hamil yang anemia meningkatkan kadar Hb 1,6 g/dl. Dari beberapa penelitian ini diketahui bahwa suplementasi besi pada ibu yang dilakukan dengan pil ataupun makanan dapat meningkatkan Hb sekitar 0,3 sampai 1,6 g/dl. Kenaikan Hb ibu setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 8. kenaikan Hb Ibu (%) perlakuan kontrol total perlakuan kontrol total Gambar 8. Kenaikan Hb Ibu setelah Intervensi (%) Bila dianalisa kecilnya kenaikan kadar Hb setelah intervensi dapat dikatakan hal ini terjadi karena sebelum intervensi kadar Hb sudah baik sehingga absorpsi besi dari mie yang difortifikasi besi menjadi kurang efisien. Hal ini dijelaskan oleh Yip dan Dalman (1996) dimana pada orang anemia (Hb < 12 g/dl) absorpsi besi lebih efisien dibanding orang yang tidak anemia (Hb 12 g/dl). Selain itu kecilnya kenaikan kadar Hb disebabkan konsumsi pangan sumber besi yang rendah. Tingkat kecukupan besi yang berasal dari pangan dan mie instan setelah intervensi pada kelompok perlakuan adalah 78% dan pada kelompok kontrol adalah 53% (Tabel 52 ). Pemenuhan kebutuhan zat besi tidak dapat diharapkan hanya dari mie instan

13 fortifikasi saja karena mie instan bukan merupakan pangan pengganti (substitusi) melainkan sebagai pangan pelengkap (complementary) yang melengkapi kebutuhan zat besi sehingga pemenuhan zat besi utama tetap diharapkan berasal dari konsumsi pangan Kadar Feritin Darah Ibu Menyusui Kadar feritin darah menggambarkan tingkat simpanan (cadangan) besi didalam hati. Kadar feritin darah lebih akurat menggambarkan status besi dibanding kadar Hb. Bila kadar Hb diketahui normal sedangkan kadar feritin rendah maka sangat beresiko terhadap terjadinya anemia. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebelum intervensi, sebanyak 18,5% ibu kelompok perlakuan dan 17,2% ibu kelompok kontrol mempunyai kadar feritin darah rendah. Setelah intervensi terdapat penurunan jumlah ibu yang mempunyai kadar feritin rendah yaitu penurunan 11,1% pada ibu kelompok perlakuan sedangkan pada ibu kelompok kontrol penurunannya lebih kecil yaitu 6,9%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar feritin darah sebelum dan setelah intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05). Kadar feritin darah disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Sebaran Ibu menurut Kadar Feritin Darah Kadar Feritin Ibu Perlakuan (n = 27) Ibu Kontrol (n = 29) Total (n = 56) n % n % n % Sebelum Rendah ( < 12 µg / L ) 5 18,5 5 17, ,9 Normal ( 12 µg / L ) 22 81, , ,1 Total Rataan Feritin ± SD 38,89 ± 31,57 40,14 ± 33,24 39,54 ± 32,16 Setelah Rendah ( < 12 µg / L ) 2 7,4 3 10,3 5 8,9 Normal ( 12 µg / L ) 25 92, , ,1 Total Rataan Feritin ± SD 43,38 ± 33,59 41,49 ± 32,82 42,40 ± 2,9 Selisih Rataan Feritin ± SD 4,48 ± 10,98 1,36 ± 6,18 2,87 ± 8,88 Kadar feritin ibu menyusui ini lebih tinggi daripada kadar feritin ibu menyusui di Kabupaten Bogor yaitu 20,36 ± 12,6 (Dahro, et al, 1993) dan feritin

14 ibu menyusui di Kabupaten Tangerang yaitu 22,2 ± 10,1 (Dahro, et al, 1994). Selain itu Dijkhuizen et al (2001) juga menemukan rata-rata kadar feritin ibu menyusui di Kabupaten Bogor adalah 13,9 µg/l dan proporsi ibu menyusui yang defisiensi besi berdasar feritin adalah 29%. Prevalensi anemia berdasar feritin pada ibu menyusui 0 4 bulan di Honduras juga tinggi yaitu 32% (Domeklof. M, et al, 2004). Dari berbagai studi kadar feritin tersebut dapat disimpulkan bahwa simpanan besi di dalam hati sebelum intervensi lebih tinggi pada ibu menyusui dalam penelitian ini. Sebaliknya bila dibandingkan prevalensi anemia (feritin < 12 µg/l) di Swedia pada ibu menyusui 0 4 bulan dengan prevalensi anemia pada penelitian ini maka prevalensi anemia di Swedia lebih rendah yaitu 12% (Domeklof. M, et al, 2004). Kenaikan feritin setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar kenaikan feritin (%) perlakuan kontrol total 2 0 perlakuan kontrol total Gambar 9. Kenaikan Feritin Darah Ibu Setelah Intervensi (%) Pemberian mie instan fortifikasi selama 4 bulan menaikkan kadar feritin dengan kenaikan terbesar pada kelompok perlakuan yaitu 4,48 µg / L, sedangkan

15 pada kelompok kontrol 1,36 µg / L. Kenaikan feritin disebabkan adanya mie instan yang mengandung zat besi yang akan mengisi simpanan besi dalam hati terutama bila kadar Hb sudah cukup. Hal ini seperti terlihat pada kadar Hb awal intervensi yang sudah normal ( 12 g/dl) sehingga adanya fortifikasi lebih ditujukan pada pengisian simpanan besi daripada meningkatkan kadar Hb. Peningkatan ini lebih besar pada kelompok perlakuan karena adanya fortifikasi besi dalam mie instan. Pengaruh fortifikasi besi terhadap kenaikan feritin ini juga dibuktikan pada beberapa studi seperti Saidin, et al (1995) yang mengemukakan bahwa fortifikasi mie instan dengan Fe 10 mg/100 gr pada ibu hamil 3 kali seminggu 1 bungkus mie instan selama 14 minggu di Kabupaten Cianjur meningkatkan kadar feritin 0,43 µg/l dan menurunkan prevalensi anemia 5,2% yang sebelumnya 48,5%. Studi Saidin. M dkk (1997) lainnya juga mengemukakan bahwa suplementasi besi (100 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) pada ibu hamil selama 3 bulan di Kabupaten Cianjur meningkatkan kadar feritin 1,25 µg/l Morbiditas Ibu Menyusui Morbiditas adalah gambaran angka kesakitan yang diderita seseorang dalam suatu waktu tertentu. Untuk mengetahui morbiditas dilakukan skor morbiditas yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan frekuensi dan lama penyakit. Untuk mengetahui besaran resiko suatu penyakit digunakan skor yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dokter dengan kisaran skor 10 untuk penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, mata, dan sariawan. Skor 50 untuk penyakit bronchitis, asma, ISPA (batuk, pilek, sakit kepala, dan panas). Skor 70 untuk penyakit campak dan skor 80 untuk diare, batuk berdarah, kejang, dan muntaber yang dinilai beresiko fatal. Skor morbiditas ibu disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Skor Morbiditas Ibu menurut Kelompok Pengamatan Perlakuan (n =27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) Sig Sebelum 152,22 ± 257,16 208,97 ± 373,83 181,61 ± 321,29 0,51 Setelah 66,67 ± 160,53 100,34 ± 203,93 84,11 ± 183,42 0,49 Selisih 85,55 ± 112,37 108,63 ± 186,46 97,50 ± 106,41 0,45

16 Dari Tabel 34 terlihat bahwa morbiditas ibu perlakuan lebih baik daripada ibu kontrol baik sebelum dan setelah intervensi dimana skor morbiditas ibu perlakuan lebih rendah daripada skor morbiditas ibu kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan ibu perlakuan lebih baik daripada keadaan kesehatan ibu kontrol yang berarti ibu pada kelompok perlakuan relatif lebih jarang sakit dan mempunyai lama sakit yang lebih rendah daripada ibu pada kelompok kontrol. Penyakit yang sering diderita ibu adalah sakit kepala, demam, batuk, dan flu dengan frekuensi sakit rata-rata 2-3 kali dalam satu bulan dan lama sakit 2-6 hari. Frekuensi sakit kepala yang sering ini diduga disebabkan karena anemia karena berdasarkan pemeriksaan tekanan darah adalah normal. Demam, batuk, dan flu sering diderita diduga disebabkan keadaan rumah dan lingkungan sekitar yang kurang sehat. Sebahagian rumah yang ditemukan masih berlantai tanah, mempunyai ventilasi cahaya dan udara yang buruk, serta dekatnya jarak kandang hewan kerumah dengan kondisi kandang yang sangat kotor sehingga beresiko terhadap paparan patogen yang menimbulkan penyakit. Disamping itu perawatan kesehatan dan asupan pangan yang kurang baik berpotensi terhadap timbulnya penyakit. Pengobatan yang dilakukan saat sakit cenderung dengan membeli obat secara bebas di warung ataupun ke dukun daripada puskesmas. Pada akhir intervensi frekuensi sakit berkurang dibanding sebelum intervensi. World Bank (2006) mengemukakan bahwa pada keluarga berpenghasilan rendah, penyebab utama gizi kurang adalah rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan buruknya sanitasi disamping asupan pangan yang kurang. Bila dibandingkan morbiditas sebelum dan setelah intervensi terlihat bahwa terjadi penurunan morbiditas setelah intervensi dengan skor morbiditas paling rendah terdapat pada kelompok perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena adanya mie instan yang difortifikasi dengan berbagai vitamin dan mineral seperti zink dan besi yang berperan dalam imunitas tubuh sehingga dapat menurunkan morbiditas ibu. Defisiensi besi dapat menyebabkan kerusakan respon imunitas dan penurunan produksi antibodi (Walter, 2003). Hal ini diperkuat dalam berbagai studi seperti Black. R (2001) yang mendapati adanya penurunan insiden dan durasi diare pada anak yang mendapat suplementasi zink. Salgueiro et al (2002) juga mendapati

17 bahwa suplementasi zink di India, Jamaika, Peru dan Vietnam dapat menurunkan 41% insiden penyakit pneumonia pada anak-anak. Morbiditas yang lebih rendah pada ibu kelompok perlakuan dapat dihubungkan dengan status gizi ibu. Hubungan status gizi dan morbiditas merupakan hubungan timbal balik dimana morbiditas yang tinggi akan mengganggu metabolisme zat gizi sehingga mempengaruhi status gizi. Sebaliknya status gizi yang buruk akan menurunkan imunitas tubuh sehingga rawan terhadap berbagai penyakit. Studi pada 23 ibu menyusui gizi baik dan gizi kurang di Columbia menemukan bahwa kadar albumin, IgA, dan IgG lebih rendah pada ibu gizi kurang daripada ibu gizi baik (ACC/SCN, 1991). Hal ini menunjukkan bahwa pada ibu gizi kurang, respon imunitas dan produksi antibodi lebih rendah daripada ibu yang gizi baik. Meskipun hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) antar kelompok baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi tetapi adanya mie instan fortifikasi sudah menunjukkan kecenderungan penurunan morbiditas ibu. Penurunan skor morbiditas ibu setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 10. penurunan morbiditas (%) perlakuan kontrol total perlakuan kontrol total Gambar 10. Penurunan Skor Morbiditas Ibu setelah Intervensi (%)

18

19 4. Pertumbuhan dan Morbiditas Bayi 4.1. Pertumbuhan berdasarkan Berat Badan Bayi Pertumbuhan adalah salah satu dasar untuk menilai kecukupan gizi bayi yang berdampak terhadap aspek fisik sehingga pengukuran antropometri yang terdiri dari berat badan menurut umur dan panjang badan menurut umur digunakan sebagai penilaian pertumbuhan fisik (WHO, 2003). Pengukuran antropometri sering digunakan karena mudah, praktis, dan cepat memberi informasi status gizi dan kesehatan anak secara fisik (Soetjiningsih, 1995). Berat lahir bayi berdasarkan keterangan ibu relatif sama antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yaitu 3,24 ± 0,49 kg pada kelompok perlakuan dan 3,28 ± 0,41 kg pada kelompok kontrol, sedangkan panjang lahir kebanyakan ibu tidak mengetahuinya karena pengukuran saat lahir oleh penolong persalinan umumnya hanya berat badan lahir saja. Umur bayi pada kelompok perlakuan adalah 2,41 ± 1,19 bulan dan pada kelompok kontrol adalah 2,31 ± 1,11 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p < 0,05) berat badan awal intervensi dan panjang badan awal intervensi. Pada kelompok perlakuan bayi laki-laki ada 12 orang dan bayi perempuan 15 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol bayi laki-laki ada 13 orang dan bayi perempuan 16 orang. Penimbangan berat badan menurut umur pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 35, sedangkan penimbangan berat badan menurut umur yang diukur setiap bulan selama 4 bulan intervensi disajikan pada Lampiran 9. Tabel 35. Berat Badan Bayi menurut Kelompok (Kg) Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Laki-laki Sebelum 5,17 ± 1,28 5,14 ± 1,19 5,16 ± 1,22 Setelah 7,49 ± 1,12 7,43 ± 0,71 7,46 ± 0,91 Selisih 2,32 ± 0,96 2,29 ± 0,32 2,30 ± 0,16 Perempuan Sebelum 4,89 ± 1,23 4,83 ± 1,01 4,86 ± 1,09 Setelah 7,23 ± 0,95 6,81 ± 0,80 7,01 ± 0,89 Selisih 2,34 ± 0,14 1,98 ± 0,21 2,15 ± 0,15 Total Sebelum 5,04 ± 1,24 5,00 ± 1,11 5,02 ± 1,16 Setelah 7,37 ± 1,04 7,15 ± 0,80 7,26 ± 0,92 Selisih 2,32 ± 0,82 2,28 ± 1,13 2,30 ± 0,97

20 Berat badan menurut umur (BB/U) bayi laki-laki dan bayi perempuan pada awal intervensi antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol relatif sama. Pada akhir intervensi terdapat perbedaan pertambahan berat badan bayi laki-laki dan bayi perempuan dimana pertambahan berat badan lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian mie instan fortifikasi pada ibu menyusui, yaitu kontribusi energi dalam mie instan untuk memenuhi tingkat kecukupan energi ibu sehingga mampu menghasilkan ASI yang cukup bagi pertumbuhan khususnya pertambahan berat badan bayi. Perbedaan pertambahan berat badan bayi yang relatif kecil antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol disebabkan bayi pada kedua kelompok masih mengkonsumsi ASI. Lebih besarnya pertambahan berat badan pada kelompok perlakuan juga dapat disebabkan kadar besi ASI yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan sehingga menyebabkan lebih baiknya respon imunitas dan produksi antibodi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan. Morbiditas bayi juga berperan dalam pertumbuhan bayi dimana morbiditas bayi kelompok perlakuan lebih rendah daripada morbiditas bayi kelompok kontrol sehingga pertambahan berat badan bayi lebih besar pada bayi kelompok perlakuan. Bila dibandingkan berat badan bayi laki-laki dengan berat badan bayi perempuan dapat dilihat bahwa bayi laki-laki mempunyai berat badan yang lebih tinggi daripada bayi perempuan baik pada awal intervensi maupun pada akhir intervensi. Perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan massa pembentuk tubuh dimana laki-laki lebih berotot dan mempunyai tulang yang besar sehingga relatif lebih berat. Pertambahan berat badan bayi pada akhir intervensi disajikan pada Gambar 11.

21 8 7 berat badan (Kg) perlakuan sblm perlakuan stlh perlakuan beda kontrol sblm kontrol stlh kontrol beda 1 0 laki-laki perempuan total Gambar 11. Berat Badan Bayi Sebelum dan Setelah Intervensi berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Pertambahan berat badan bayi dalam studi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertambahan berat badan bayi 0-4 bulan yang mendapat ASI eksklusif yaitu 3,79 ± 0,46 kg ataupun bayi 0-4 bulan yang mendapat ASI + MPASI yaitu 3,43 ± 0,58 kg dalam studi Widodo Y (2004). Hal ini diduga karena bayi dalam penelitian ini sudah mendapat makanan lain (MPASI) sebelum umur 1 bulan. Pemberian MPASI akan menurunkan bioavailabilitas zat gizi dan faktor penting lain dalam ASI sehingga mempengaruhi pertumbuhan. Herawati (2003) juga mendapati pertumbuhan panjang badan dan berat badan bayi laki-laki dan perempuan yang mendapat ASI eksklusif lebih tinggi daripada ASI non eksklusif. World Bank (2006) menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya malnutrisi pada bayi baik pada keluarga berpenghasilan rendah maupun keluarga berpenghasilan tinggi adalah pemberian makanan selain ASI sebelum bayi berusia 6 bulan.

22 Tabel 36. Pertambahan BB/U Bayi menurut Jenis Kelamin dan Kelompok (Kg) Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Laki-laki Bulan Ke 1 0,45 ± 0,40 0,77 ± 0,64 0,61 ± 0,55 Bulan Ke 2 0,64 ± 0,48 0,51 ± 0,37 0,57 ± 0,43 Bulan Ke 3 0,57 ± 0,32 0,45 ± 0,26 0,51 ± 0,29 Bulan Ke 4 0,66 ± 0,41 0,55 ± 0,41 0,61 ± 0,41 Perempuan Bulan Ke 1 0,32 ± 0,53 0,63 ± 0,47 0,48 ± 0,51 Bulan Ke 2 0,99 ± 0,34 0,35 ± 0,38 0,66 ± 0,48 Bulan Ke 3 0,56 ± 0,44 0,35 ± 0,18 0,45 ± 0,34 Bulan Ke 4 0,48 ± 0,29 0,65 ± 0,45 0,56 ± 0,39 Total Bulan Ke 1 0,39 ± 0,46 0,71 ± 0,56 0,55 ± 0,53 Bulan Ke 2 0,79 ± 0,45 0,44 ± 0,38 0,61 ± 0,45 Bulan Ke 3 0,57 ± 0,37 0,40 ± 0,23 0,48 ± 0,32 Bulan Ke 4 0,58 ± 0,37 0,59 ± 0,42 0,59 ± 0,40 Pemberian MPASI yang umumnya terdiri dari sereal, pati dan umbi-umbian mengandung serat dan pitat tinggi yang mengganggu penyerapan zat gizi mikro seperti zink dan besi sehingga berpotensi mengakibatkan defisiensi gizi mikro pada bayi yang akan mempengaruhi pertumbuhannya (Dewey, 2000). Jika dibandingkan pertambahan berat badan bayi usia 1-4 bulan dengan pertambahan berat badan bayi usia 6-12 bulan yang sama-sama mendapat suplementasi zink dan besi dapat disimpulkan bahwa pertambahan berat badan bayi yang lebih tinggi terdapat pada bayi yang usianya lebih muda. Hal ini dibuktikan dalam berbagai studi pertambahan berat badan bayi berdasarkan umur. Dalam studi ini pertambahan berat badan bayi usia 1-4 bulan adalah 1,98 2,34 kg. Studi Lind T (2003) pertambahan berat badan bayi usia 6-12 bulan adalah 1,10 kg dengan suplementasi 10 mg zink sulfat dan 10 mg fero sulfat. Studi Riyadi H (2002) pertambahan berat badan bayi usia 6-24 bulan adalah 1,9 ± 0,7 kg dengan suplementasi 15 mg zink sulfat dan 15 mg fero sulfat. Hal ini juga didukung hasil penelitian Victora. C.G, et al (1998) yang mengamati pertambahan berat badan bayi dari lahir sampai usia 12 bulan dimana pertambahan berat badan bayi 0-6 bulan lebih besar daripada pertambahan berat badan bayi 6-12 bulan Pertumbuhan berdasarkan Panjang Badan Bayi Pengukuran panjang badan menurut umur pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 37, sedangkan pengukuran panjang badan menurut umur yang diukur setiap bulan selama 4 bulan intervensi disajikan pada Lampiran 9.

23 Tabel 37. Panjang Badan Bayi menurut Kelompok (cm) Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Laki-laki Sebelum 57,56 ± 4,50 58,93 ± 3,74 58,27 ± 4,12 Setelah 67,29 ± 3,67 66,56 ± 2,96 66,91 ± 3,28 Selisih 9,73 ± 2,14 7,63 ± 1,25 8,64 ± 0,23 Perempuan Sebelum 58,73 ± 3,46 58,35 ± 3,14 58,53 ± 3,23 Setelah 66,61 ± 2,98 64,85 ± 2,35 65,69 ± 2,77 Selisih 7,88 ± 1,61 6,50 ± 0,36 7,16 ± 1,02 Total Sebelum 58,08 ± 4,04 58,67 ± 3,43 58,38 ± 3,72 Setelah 66,99 ± 3,33 65,79 ± 2,80 66,37 ± 3,10 Selisih 8,90 ± 3,02 7,12 ± 2,47 7,98 ± 2,87 Dari Tabel 37 terlihat bahwa panjang badan bayi laki-laki dan bayi perempuan relatif sama pada awal intervensi sedangkan pada akhir intervensi panjang badan dan pertambahan panjang badan bayi laki-laki lebih tinggi daripada bayi perempuan. Pertambahan panjang badan bayi disajikan pada Gambar Panjang Badan (Cm) perlakuan sblm perlakuan stlh perlakuan beda kontrol sblm kontrol stlh kontrol beda 0 laki-laki perempuan total Gambar 12. Panjang Badan Bayi Sebelum dan Setelah Intervesi berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Dari Gambar 12 terlihat bahwa pertambahan panjang badan kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol baik pada bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh pemberian mie instan yang

24 difortifikasi zink, besi, kalsium, dan vitamin A. Zink berinteraksi dengan hormon somatomedin C osteocalcin, testosteron, tiroid dan insulin yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang sehingga berperan positif dalam pertumbuhan. Selain itu zink meningkatkan imunitas seluler dan sekresi antibodi sehingga dapat menurunkan morbiditas. Berkurangnya morbiditas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari morbiditas bayi kelompok perlakuan yang lebih rendah daripada morbiditas bayi kelompok kontrol (Tabel 43). Selain itu kalsium merupakan komponen utama pembentukan tulang sehingga berperan penting dalam pertumbuhan linier. Vitamin A juga berperan dalam pembentukan osteoclast dan osteoblast sebagai bagian dari proses pembentukan tulang sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan linier (Sinclair, 1991). Pertambahan panjang badan bayi setiap bulan disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Pertambahan PB/U Bayi menurut Jenis Kelamin dan Kelompok (cm) Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Laki-laki Bulan Ke 1 3,49 ± 2,51 2,61 ± 1,40 3,04 ± 2,03 Bulan Ke 2 2,15 ± 1,24 2,01 ± 0,79 2,07 ± 1,01 Bulan Ke 3 1,99 ± 1,07 1,46 ± 0,82 1,71 ± 0,97 Bulan Ke 4 2,11 ± 1,46 1,56 ± 1,59 1,83 ± 1,53 Perempuan Bulan Ke 1 3,28 ± 1,54 2,52 ± 1,54 2,88 ± 1,56 Bulan Ke 2 1,65 ± 0,99 1,50 ± 0,81 1,57 ± 0,89 Bulan Ke 3 1,06 ± 0,63 1,31 ± 0,60 1,19 ± 0,62 Bulan Ke 4 1,88 ± 1,42 1,18 ± 0,59 1,52 ± 1,11 Total Bulan Ke 1 3,39 ± 2,10 2,57 ± 1,44 2,97 ± 1,80 Bulan Ke 2 1,93 ± 1,15 1,78 ± 0,83 1,85 ± 0,99 Bulan Ke 3 1,57 ± 1,00 1,39 ± 0,72 1,48 ± 0,86 Bulan Ke 4 2,01 ± 1,42 1,39 ± 1,24 1,69 ± 1,36 Dari Tabel 38 terlihat bahwa pertambahan PB/U bayi setiap bulan selama intervensi selalu lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan dengan adanya mie instan fortifikasi dapat mengurangi penurunan persentase pertambahan panjang badan Pertumbuhan berdasarkan Z Skor BB/U

25 Z Skor adalah nilai tingkat pertumbuhan yang dibakukan dengan posisinya dari nilai rujukan. Nilai z skor pencapaian pertumbuhan bayi disajikan pada Tabel 39. Tabel 39. Rerata Z Skor BB/U Bayi menurut Kelompok Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Laki-laki Sebelum 0,04 ± 1,08 0,39 ± 0,98 0,23 ± 1,03 Setelah 0,07 ± 1,07 0,17 ± 0,95 0,09 ± 0,99 Selisih 0,03 ± 0,82-0,22 ± 1,23-0,13 ± 1,04 Perempuan Sebelum 0,09 ± 1,08-0,28 ± 0,96-0,10 ± 1,01 Setelah -0,22 ± 1,48-0,67 ± 0,75-0,37 ± 0,92 Selisih -0,13 ± 1,23-0,39 ± 0,84-0,27 ± 1,03 Total Sebelum 0,06 ± 1,06 0,09 ± 1,01 0,07 ± 1,03 Setelah 0,02 ± 1,02-0,20 ± 0,95-0,11 ± 0,98 Selisih -0,04 ± 1,00-0,29 ± 1,05-0,19 ± 1,03 Dari Tabel 39 terlihat bahwa nilai z skor BB/U bayi pada awal intervensi cukup baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Setelah intervensi terlihat bahwa z skor BB/U mengalami penurunan dengan penurunan terbesar pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya intervensi mie berperan dalam mencegah tingkat penurunan z skor BB/U. Rerata z skor BB/U bayi pada setiap pengamatan disajikan pada Tabel 40. Tabel 40. Rerata Z Skor BB/U Bayi Setiap Pengamatan Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Laki-laki Bulan Ke 1 0,05 ± 1,08 0,39 ± 0,98 Bulan Ke 2-0,23 ± 0,96 0,51 ± 0,81 Bulan Ke 3-0,16 ± 0,97 0,34 ± 0,88 Bulan Ke 4-0,16 ± 0,85 0,17 ± 0,95 Bulan Ke 5-0,02 ± 1,02-0,20 ± 0,95 Perempuan Bulan Ke 1 0,08 ± 1,08-0,28 ± 0,96 Bulan Ke 2-0,40 ± 0,92-0,27 ± 0,68 Bulan Ke 3 0,05 ± 1,00-0,62 ± 0,46 Bulan Ke 4 0,05 ± 1,00-0,85 ± 0,54 Bulan Ke 5 0,03 ± 0,08-0,98 ± 0,33 Total Bulan Ke 1 0,06 ± 1,06 0,09 ± 1,01 Bulan Ke 2-0,30 ± 0,92 0,16 ± 0,84 Bulan Ke 3-0,07 ± 0,97-0,09 ± 0,86 Bulan Ke 4-0,06 ± 0,92-0,29 ± 0,94 Bulan Ke 5 0,02 ± 1,02-0,20 ± 0,95

26 Pada kelompok perlakuan penyimpangan z skor BB/U dari titik nol sudah mulai terjadi pada pengamatan bulan ke 2 (satu bulan intervensi) tetapi pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5 penyimpangan ini menjadi lebih kecil. Sebaliknya pada kelompok kontrol meskipun z skor BB/U pengamatan bulan ke 2 meningkat tetapi pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5 z skor BB/U mengalami penurunan yang semakin jauh dari titik nol. Penyimpangan z skor dari titik nol lebih besar pada akhir intervensi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa gagal tumbuh (growth faltering) yang terjadi pada akhir intervensi lebih besar pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Adanya pemberian mie instan fortifikasi berarti berperan dalam mencegah penyimpangan z skor BB/U yang lebih jauh dari titik nol. Gangguan pertumbuhan yang terjadi diduga dipicu oleh pemberian MPASI yang terlalu dini sehingga pemberian ASI menjadi tidak maksimal. Hal ini akan mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan gizi bayi karena MPASI yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi. Penyimpangan z skor BB/U yang terjadi pada akhir intervensi yaitu pada saat bayi berusia 5 9 bulan sama dengan hasil analisis penilaian status gizi balita yang dilakukan oleh Atmarita (1999) dalam Depkes (2003) dimana gagal tumbuh mulai terjadi pada usia 4 bulan. Hal ini ditegaskan oleh penemuan Unicef (1999) yang mengemukakan bahwa praktek pemberian MPASI yang buruk biasa terjadi di negara berkembang dan merupakan penyebab buruknya status gizi pada balita. Selain itu Gibson, et al (1997) juga melaporkan bahwa pemberian makanan pada usia dini menyebabkan berkurangnya intik ASI sehingga rawan terhadap terpenuhinya kebutuhan gizi bayi. Berdasarkan hal ini perlu untuk menggalakkan kembali pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan pemberian MPASI yang baik pada waktu yang tepat. Hal ini seperti dikemukakan oleh World Bank (2006) bahwa kebutuhan gizi bayi yang tidak terpenuhi sampai usia dua tahun tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan fisik bayi tetapi juga berdampak terhadap kesehatan bayi, perkembangan otak, inteligensi, dan produktivitas; dimana dampak ini sebagian besar tidak dapat diperbaiki (irreversible). Pada bayi laki-laki penyimpangan z skor dari titik nol lebih besar pada akhir intervensi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Pada bayi

27 perempuan kelompok perlakuan penyimpangan z skor BB/U yang terjadi pada pengamatan bulan ke 2 diperbaiki pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, bulan ke 5. Sebaliknya pada kelompok kontrol penyimpangan z skor BB/U pada pengamatan bulan ke 2 menjadi semakin jauh dari titik nol pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5. Hal ini berarti bahwa pemberian mie instan fortifikasi berpengaruh dalam mencegah penyimpangan z skor BB/U yang semakin jauh dari titik nol. Oleh karena BB/U merupakan gambaran status gizi saat ini yang sangat sensitif terhadap perubahan berat badan maka lebih baiknya status gizi pada kelompok perlakuan disebabkan karena lebih baiknya kecukupan gizi dan morbiditas yang lebih rendah daripada bayi kelompok kontrol. Adanya penyakit akan menurunkan selera makan (appetite) sehingga mengakibatkan penurunan berat badan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Gibson, et al (1997) bahwa morbiditas dapat menurunkan fungsi zat gizi dalam tubuh sehingga mempengaruhi pertumbuhan terutama berat badan 4.4. Pertumbuhan berdasarkan Z Skor PB/U Nilai z skor PB/U bayi disajikan pada Tabel 41 Tabel 41. Rerata Z Skor PB/U Bayi Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Laki-laki Sebelum - 0,22 ± 1,48 0,76 ± 0,84 0,28 ± 1,28 Setelah 0,18 ± 1,17 0,15 ± 0,95 0,16 ± 1,04 Selisih 0,40 ± 1,35-0,61 ± 0,75-0,12 ± 1,18 Perempuan Sebelum 0,71 ± 1,04 0,23 ± 0,89 0,46 ± 0,98 Setelah 0,18 ± 0,91-0,66 ± 0,76-0,26 ± 0,92 Selisih -0,53 ± 0,76-0,89 ± 0,89-0,72 ± 0,83 Total Sebelum 0,19 ± 1,37 0,52 ± 0,89 0,36 ± 1,15 Setelah -0,18 ± 1,04-0,21 ± 0,95-0,02 ± 1,01 Selisih -0,02 ± 1,20-0,74 ± 0,81-0,39 ± 1,07 Dari Tabel 41 terlihat bahwa nilai z skor PB/U bayi pada awal intervensi cukup baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Setelah intervensi terlihat bahwa z skor PB/U mengalami penurunan dengan penurunan terbesar pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya intervensi mie berperan

28 dalam mencegah tingkat penurunan z skor PB/U. Rerata z skor PB/U bayi pada setiap pengamatan disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Rerata Z Skor PB/U Bayi pada Setiap Bulan Pengamatan Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Laki-laki Bulan Ke 1-0,22 ± 1,48 0,76 ± 0,84 Bulan Ke 2 0,11 ± 1,45 0,68 ± 0,99 Bulan Ke 3 0,06 ± 1,47 0,51 ± 0,97 Bulan Ke 4 0,06 ± 1,41 0,26 ± 0,99 Bulan Ke 5 0,18 ± 1,17 0,15 ± 0,95 Perempuan Bulan Ke 1 0,71 ± 1,04 0,23 ± 0,89 Bulan Ke 2 0,89 ± 0,69 0,16 ± 0,86 Bulan Ke 3 0,58 ± 0,87-0,16 ± 0,87 Bulan Ke 4 0,16 ± 0,90-0,43 ± 0,76 Bulan Ke 5 0,18 ± 0,91-0,66 ± 0,76 Total Bulan Ke 1 0,19 ± 1,37 0,52 ± 0,89 Bulan Ke 2 0,46 ± 1,22 0,45 ± 0,96 Bulan Ke 3 0,29 ± 1,25 0,21 ± 0,97 Bulan Ke 4 0,11 ± 1,19-0,05 ± 0,95 Bulan Ke 5 0,18 ± 1,04-0,21 ± 0,95 Oleh karena panjang badan menggambarkan status gizi masa lalu maka perbaikan yang terjadi pada bayi kelompok perlakuan selain disebabkan asupan gizi yang cukup dari makanan, juga dapat disebabkan asupan gizi yang cukup saat dalam kandungan ataupun karena faktor genetik. Dari Tabel 42 terlihat bahwa z skor PB/U kelompok perlakuan sudah mengalami penurunan mulai pengamatan bulan ke 3, dan pengamatan bulan ke 4; sedangkan pada pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi) z skor PB/U mengalami peningkatan. Sebaliknya pada kelompok kontrol mulai pengamatan bulan ke 2, bulan ke 3, bulan ke 4, dan pengamatan bulan ke 5, z skor terus mengalami penurunan yang semakin rendah (semakin jauh dari titik nol). Hal ini berarti bahwa mie instan fortifikasi berpengaruh dalam mencegah penyimpangan z skor PB/U semakin jauh dari titik nol. Pada bayi laki-laki kelompok perlakuan terlihat bahwa z skor PB/U cenderung mengalami kenaikan z skor mulai pengamatan bulan ke 2 sampai pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi). Sebaliknya pada kelompok kontrol z skor PB/U cenderung mengalami penurunan mulai pengamatan bulan ke 2 sampai pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi).

29 Pada bayi perempuan meskipun z skor PB/U kelompok perlakuan dan z skor PB/U kelompok kontrol cenderung mengalami penurunan tetapi penurunan z skor terlihat lebih besar pada kelompok kontrol. Oleh karena z skor PB/U menggambarkan status gizi masa lalu maka penurunan yang terjadi selain disebabkan asupan gizi yang kurang saat ini juga diduga disebabkan asupan gizi yang kurang saat dalam kandungan ataupun karena faktor genetik. Dari nilai z skor BB/U dan z skor PB/U dapat disimpulkan bahwa bayi pada akhir intervensi mengalami penurunan status gizi baik pada bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Penyimpangan Z skor yang semakin jauh dari titik nol didapati lebih besar pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan yang menunjukkan adanya pengaruh dari pemberian mie instan fortifikasi. Meskipun penyimpangan z skor masih belum terlalu jauh dari titik nol, penyimpangan ini harus diwaspadai karena bila tidak diperbaiki kecepatan pertumbuhan (growth spurt) yang menuntut besarnya kebutuhan gizi pada usia bayi akan mengakibatkan penyimpangan yang semakin besar sehingga susah untuk mengejar pacu tumbuhnya (catch up growth). World Bank (2006) mengemukakan bahwa upaya-upaya perbaikan gizi yang dilakukan setelah usia dua tahun tidak mampu memperbaiki kerusakan atau dampak kurang gizi yang terjadi pada usia dibawah dua tahun. Perbaikan gizi yang dilakukan pada usia dibawah dua tahun tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan anak tetapi juga terhadap perkembangan otak, kecerdasan, dan produktivitas. Disamping itu perbaikan gizi juga berkaitan dengan ekonomi dimana adanya investasi dibidang gizi memberi pengembalian manfaat ekonomi yang tinggi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kemiskinan Morbiditas Bayi Morbiditas bayi dinilai berdasarkan skor morbiditas seperti pada morbiditas ibu yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan frekuensi dan lama sakit. Skor penyakit ditentukan berdasarkan besar kecilnya resiko yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut dimana penyakit beresiko tinggi mempunyai skor tinggi dan sebaliknya penyakit beresiko rendah mempunyai skor rendah. Untuk menentukan

30 besar kecilnya resiko suatu penyakit didasarkan pada hasil wawancara dengan dokter. Skor morbiditas bayi disajikan pada Tabel 43.

31 Tabel 43. Skor Morbiditas Bayi menurut Kelompok Waktu Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n =56) Sig Pengamatan Sebelum 187,04 ± 250,66 214,48 ± 253,70 201,25 ± 250,32 0,67 Setelah 132,22 ± 242,02 163,79 ± 310,21 148,57 ± 277,37 0,69 Selisih 54,82 ± 167,31 50,69 ± 111,87 52,68 ± 102,46 0,67 Dari Tabel 43 terlihat bahwa skor morbiditas kelompok perlakuan lebih rendah daripada skor morbiditas kelompok kontrol baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan bayi kelompok perlakuan lebih baik daripada keadaan kesehatan bayi kelompok kontrol. Bila dibandingkan morbiditas sebelum intervensi dengan morbiditas setelah intervensi terlihat bahwa terjadi penurunan morbiditas setelah intervensi dimana skor morbiditas paling rendah terdapat pada kelompok perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena kondisi kesehatan ibu kelompok perlakuan lebih baik daripada ibu kelompok kontrol yang dilihat dari skor morbiditas ibu (Tabel 34). Kondisi kesehatan yang baik ini akan memampukan ibu untuk menghasilkan ASI yang lebih baik dari segi volume dan kualitas gizinya untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. ASI yang dikonsumsi anak ini berperan dalam kekebalan terhadap pencegahan kuman penyakit. Morbiditas bayi yang rendah pada kelompok perlakuan ini juga dapat disebabkan karena volume ASI yang dikonsumsi bayi kelompok perlakuan lebih banyak daripada volume ASI yang dikonsumsi bayi kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi bayi lebih baik pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Disamping itu adanya zat kekebalan dalam ASI seperti laktoferin, lisozim, dan imunoglobulin mengakibatkan respon imunitas dan produksi antibodi lebih baik pada bayi kelompok perlakuan daripada bayi kelompok kontrol. (Suharyono, 1990). Berdasarkan hal ini maka morbiditas bayi dapat menurun. Faktor lainnya adalah bahwa tingkat kecukupan gizi bayi kelompok perlakuan juga relatif lebih tinggi daripada tingkat kecukupan gizi bayi kelompok kontrol yang terlihat pada Tabel 59 sehingga dapat berkontribusi terhadap morbiditas yang lebih rendah pada bayi kelompok perlakuan. Penurunan morbiditas bayi setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 13.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Intik gizi yang tidak cukup dan infeksi merupakan penyebab langsung gizi kurang pada bayi dan anak (UNICEF, 1999). Hal ini berdampak tidak saja terhadap kekurangan gizi makro

Lebih terperinci

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS persisten, RCT 2. Zn + Vit,mineral 3. plasebo, durasi 6 bln BB KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BB, PB Zn dan Zn + vit, min lebih tinggi drpd plasebo Kebutuhan gizi bayi yang tercukupi dengan baik dimanifestasikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 6-12 tahun. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat pertumbuhan yang terjadi sebelumnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan manusia dimulai sejak di dalam kandungan ibu. Sehingga calon ibu perlu mempunyai kesehatan yang baik. Kesehatan dan gizi ibu hamil merupakan kondisi yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Masa kehamilan adalah suatu fase penting dalam pertumbuhan anak karena calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas, karena pada dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gizi adalah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Kebutuhan gizi yang tidak tercukupi, baik zat gizi makro dan zat gizi mikro dapat menyebabkan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak merupakan akibat panjang dari rendahnya imunitas yang dapat disebabkan karena kurangnya pembentukan IgG.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan tahap dimana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang berakibat buruk bagi penderita terutama golongan rawan gizi yaitu anak balita, anak sekolah, remaja, ibu

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 24 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Wilayah dan Potensi Sumber daya Alam Desa Cikarawang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas wilayah 2.27

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat 2010-2015 dilakukan pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa. Pemerintah memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Explanatory Research dibidang gizi masyarakat, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antar variabel. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

PROFIL DESA. Profil Kelurahan Loji. Kondisi Ekologi

PROFIL DESA. Profil Kelurahan Loji. Kondisi Ekologi 23 PROFIL DESA Pada bab ini akan diuraikan mengenai profil lokasi penelitian, yang pertama mengenai profil Kelurahan Loji dan yang kedua mengenai profil Kelurahan Situ Gede. Penjelasan profil masingmasing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kebijaksanaan dan perencanaan pangan dan gizi harus mendapat tempat yang utama dalam mensejahterakan kehidupan bangsa. Sebab, apabila orang tidak cukup makan, maka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, secara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini desain population survey, yaitu dengan mensurvei sebagian dari populasi balita yang ada di lokasi penelitian selama periode waktu tertentu.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development Goal s (MDG s) Sesuai target Nasional menurut MDGs yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Geografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara maju maupun negara berkembang adalah anemia defisiensi besi.

BAB I PENDAHULUAN. negara maju maupun negara berkembang adalah anemia defisiensi besi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah kesehatan global yang prevalensinya terus meningkat setiap tahun. Anemia yang paling banyak terjadi baik di negara maju maupun negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor

Lebih terperinci

PENGARUH KONSELING GIZI PADA IBU KELUARGA MISKIN TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

PENGARUH KONSELING GIZI PADA IBU KELUARGA MISKIN TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PENGARUH KONSELING GIZI PADA IBU KELUARGA MISKIN TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF Di susun oleh : Ai Nurhayati GMK - A.5633 Komisi Pembimbing Ketua : Prof.Dr. Ir. Hardinsyah, MS Anggota: Prof.DR.Ir. Hidayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan status gizi masyarakat sebagai upaya peningkatan kualitas dan taraf hidup serta kecerdasan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia pada remaja putri merupakan salah satu dampak masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) a. Definisi Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Setiap pasangan menginginkan kehamilan berlangsung dengan baik, bayi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di kebun Malabar PTPN VIII Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR KECAMATAN CIAWI KANTOR KEPALA DESA CILEUNGSI Alamat : Jalan Raya Veteran III No. 27 Tapos Kec. Ciawi Kab.

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR KECAMATAN CIAWI KANTOR KEPALA DESA CILEUNGSI Alamat : Jalan Raya Veteran III No. 27 Tapos Kec. Ciawi Kab. PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR KECAMATAN CIAWI KANTOR KEPALA DESA CILEUNGSI Alamat : Jalan Raya Veteran III No. 27 Tapos Kec. Ciawi Kab. Bogor 16760 PROFIL/RIWAYAT DESA CILEUNGSI Desa Cileungsi merupkan salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi dan pangan merupakan masalah yang mendasar karena secara langsung dapat menentukan kualitas sumber daya manusia serta derajat kesehatan masyarakat. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah kekurangan energi protein seperti merasmus, kwarsiorkor, dan stunting. Kekurangan energi protein

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN 2003 Zulhaida Lubis Posted: 7 November 2003 STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN Oleh :Zulhaida Lubis A561030051/GMK e-mail: zulhaida@.telkom.net Pendahuluan Status gizi

Lebih terperinci

Gambar 4. Kerangka Habitat Equivalency Analysis V. GAMBARAN UMUM WILAYAH. Wilayah penelitian pada masyarakat Kecamatan Rumpin secara

Gambar 4. Kerangka Habitat Equivalency Analysis V. GAMBARAN UMUM WILAYAH. Wilayah penelitian pada masyarakat Kecamatan Rumpin secara Sumber: Chapman, D. J (2004) Gambar 4. Kerangka Habitat Equivalency Analysis V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Geografis dan Administratif Wilayah penelitian pada masyarakat Kecamatan Rumpin secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis Daerah Penelitian. Kecamatan Rumbai merupakan salah satu Kecamatan di ibukota

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis Daerah Penelitian. Kecamatan Rumbai merupakan salah satu Kecamatan di ibukota IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis Daerah Penelitian Kecamatan Rumbai merupakan salah satu Kecamatan di ibukota Pekanbaru yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu bangsa akan maju dan mandiri jika manusianya berkualitas. Banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas antara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas Wilayah Kelurahan Pasir Mulya merupakan salah satu Kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Dengan luas wilayah

Lebih terperinci

METODE. Zα 2 x p x (1-p)

METODE. Zα 2 x p x (1-p) 16 METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Pemilihan tempat dilakukan secara purposif dengan pertimbangan kemudahan akses dan perolehan izin. Penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN HUBUNGAN ANTARA ASUPAN Fe DENGAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN DENGAN BERAT BADAN BAWAH GARIS KUNING MENURUT KMS DI KELURAHAN SEMANGGI KOTA SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Oleh : LAILA MUSFIROH

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN BEJI

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN BEJI 33 BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN BEJI 4.1 Lokasi dan Keadaan Wilayah Kelurahan Beji adalah sebuah kelurahan diantara enam kelurahan yang terdapat di Kecamatan Beji Kota Depok. Kelurahan Beji terbentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena baru di Indonesia. Selain berperan sebagai ibu rumah. tangga, banyak wanita berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. fenomena baru di Indonesia. Selain berperan sebagai ibu rumah. tangga, banyak wanita berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi bukan merupakan fenomena baru di Indonesia. Selain berperan sebagai ibu rumah tangga, banyak wanita berpartisipasi dalam lapangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Prevalensi anemia di Indonesia cukup tinggi pada periode tahun 2012 mencapai 50-63% yang terjadi pada ibu hamil, survei yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu Negara. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi utama yang terjadi di seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia 15-49 tahun yang menderita anemia di enam

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Demografis Desa Petir merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk Desa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR 4.1 Gambaran Umum Desa 4.1.1 Kondisi Fisik, Sarana dan Prasarana Desa Cihideung Ilir merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang

BAB 1 PENDAHULUAN. antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan sebagai akibat keseimbangan antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang diekskpresikan dalam

Lebih terperinci

STUDI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI TABLET BESI DI POLINDES BENDUNG JETIS MOJOKERTO.

STUDI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI TABLET BESI DI POLINDES BENDUNG JETIS MOJOKERTO. STUDI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI TABLET BESI DI POLINDES BENDUNG JETIS MOJOKERTO Ika Suhartanti *) ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Propinsi Banten terdiri dari tujuh Kabupaten/Kota yang diantaranya Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang, Kota Tangerang, Cilegon, dan Kota Serang.

Lebih terperinci

Jumlah dan Teknik Pemilihan Sampel

Jumlah dan Teknik Pemilihan Sampel Penelitian METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain case control bersifat Retrospective bertujuan menilai hubungan paparan penyakit cara menentukan sekelompok kasus

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Gorowong Desa Gorowong merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Sampel dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dengan rentang usia 20-55 tahun. Menurut Hurlock (2004) rentang usia sampel penelitian ini dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru. pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru. pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru dalam periode pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu kelompok rawan kekurangan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI

GAMBARAN UMUM LOKASI 23 GAMBARAN UMUM LOKASI Bab ini menjelaskan keadaan lokasi penelitian yang terdiri dari kondisi geografis, demografi, pendidikan dan mata pencaharian, agama, lingkungan dan kesehatan, potensi wisata, pembangunan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN. A. Kelurahan Proyonanggan Utara Batang

BAB III GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN. A. Kelurahan Proyonanggan Utara Batang BAB III GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN A. Kelurahan Proyonanggan Utara Batang 1. Keadaan Fisik a. Letak 62 Kelurahan Proyonangan Utara merupakan kelurahan salah satu desa pesisir di Kabupaten Batang Provinsi

Lebih terperinci

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA CICA YULIA, S.Pd, M.Si Remaja merupakan kelompok manusia yang berada diantara usia kanak-kanak dan dewasa (Jones, 1997). Permulaan masa remaja dimulai saat anak secara seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh VIKA YUNIATI J 300 101

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi seimbang. Kekurangan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi seimbang. Kekurangan 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi seimbang. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Waktu dan Tempat. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study dan

METODE PENELITIAN. Desain, Waktu dan Tempat. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study dan METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study dan prospective study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2003 (antara musim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan keadaan masa eritrosit dan masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani, 2008). Anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakikatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi di ASEAN. Menurut data SDKI tahun 2007 didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah masalah kesehatan masyarakat dunia yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Angka prevalensi anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Karakteristik contoh meliputi usia, pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan, riwayat kehamilan serta pengeluaran/bulan untuk susu. Karakteristik contoh

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA GIZI BESI PADA TENAGA KERJA WANITA DI PT HM SAMPOERNA Oleh : Supriyono *)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA GIZI BESI PADA TENAGA KERJA WANITA DI PT HM SAMPOERNA Oleh : Supriyono *) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA GIZI BESI PADA TENAGA KERJA WANITA DI PT HM SAMPOERNA Oleh : Supriyono *) PENDAHULUAN Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung berjudul Dampak Program Warung Anak Sehat (WAS) terhadap Perilaku Hygiene-Sanitasi Ibu WAS

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Margosari adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Pagelaran Utara

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Margosari adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Pagelaran Utara IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Desa Margosari Desa Margosari adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu. Desa Margosari dibuka pada tahun 1953 berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses tumbuh kembang balita. Balita pendek memiliki dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah gizi seimbang di Indonesia masih merupakan masalah yang cukup berat. Pada hakikatnya berpangkal pada keadaan ekonomi yang kurang dan terbatasnya pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth Standart didasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Batas dan Luas Daerah Penelitian. Kabupaten Wonosobo, terletak lintang selatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Batas dan Luas Daerah Penelitian. Kabupaten Wonosobo, terletak lintang selatan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Kondisi Fisik a. Letak, Batas dan Luas Daerah Penelitian Kecamatan Mojotengah merupakan salah satu dari 15 kecamatan di Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran analisis kontribusi konsumsi ikan terhadap kecukupan zat gizi ibu hamil

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran analisis kontribusi konsumsi ikan terhadap kecukupan zat gizi ibu hamil 13 KERANGKA PEMIKIRAN Masa kehamilan merupakan masa yang sangat menentukan kualitas anak yang akan dilahirkan. Menurut Sediaoetama (1996), pemenuhan kebutuhan akan zat gizi merupakan faktor utama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia prevalensi balita gizi buruk adalah 4,9% dan gizi kurang sebesar 13,0% atau secara nasional prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang adalah sebesar

Lebih terperinci

POLA PEMBERIAN ASI DAN STUNTING BAYI USIA ENAM SAMPAI SEBELAS BULAN

POLA PEMBERIAN ASI DAN STUNTING BAYI USIA ENAM SAMPAI SEBELAS BULAN POLA PEMBERIAN ASI DAN STUNTING BAYI USIA ENAM SAMPAI SEBELAS BULAN Trini Sudiarti Program Sudi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2017 1 Kerangka Paparan vpendahuluan vtinjauan Pustaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. secara geografis terletak antara 101º20 6 BT dan 1º55 49 LU-2º1 34 LU, dengan

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. secara geografis terletak antara 101º20 6 BT dan 1º55 49 LU-2º1 34 LU, dengan 18 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak dan Keadaan Geografis Kelurahan Lubuk Gaung adalah salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai Provinsi Riau. Kelurahan Lubuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merupakan sasaran pembangunan milenium yang telah disepakati oleh 189 negara yang tergabung dalam PBB pada tahun 2000. Konsep pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).

Lebih terperinci