BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruksi Sosial Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah

2 25 dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno dalam Bungin, 2008:13) Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bertens dalam Bungin, 2008:13). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya Cogoto, ergo sum atau saya berfikir karena itu saya ada (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13). Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan terjadi dialektika antara indivdu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

3 26 Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada di sana bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

4 27 Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. B. Konstruksi Sosial Media Massa Susbtansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.

5 28 Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai konstruksi sosial media massa. Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Proses konstruksi sosial media massa melalui tahapan sebagai berikut : 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan tiga hal yaitu kedudukan, harta, dan perempuan. Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial yaitu : a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui, saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dalam arti kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal.

6 29 b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk menjual berita demi kepentingan kapitalis. c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar. Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan pada kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan. 2. Tahap sebaran konstruksi Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa. Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing media berbeda, namun prinsip utamanya adalah real time. Media cetak memiliki konsep real time terdiri dari beberapa konsep hari, minggu atau bulan, seperti terbitan harian, terbitan mingguan atau terbitan beberapa mingguan atau bulanan. Walaupun media cetak memiliki konsep real time yang sifatnya tertunda, namun konsep aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh berita tersebut.

7 30 Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan informasi sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media menjadi penting pula bagi pembaca. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas a. Tahap pembentukan konstruksi realitas Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan telah sampai pada pembaca yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif. Tahap pertama adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa sebagai otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian. Tahap kedua adalah kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa.

8 31 Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila apabila ia belum membaca koran. b. Pembentukan konstruksi citra Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Dimana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model : 1) model good news dan 2) model bad news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. Sementara, pada model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada pada objek pemberitaan itu sendiri. 4. Tahap konfirmasi Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi

9 32 sosial. Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini yaitu a) kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa, b) kedekatan dengan media massa adalah life style orang modern, dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri, dan c) media massa walaupun memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas media berdasarkan subyektivitas media, namun kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses. Gambar 2. Proses Konstruksi Sosial Media Massa PROSES SOSIOLOGIS SIMULTAN EKSTERNALISASI OBJEKTIVASI INTERNALISASI M E D I A M A S S A Objetif Subjektif Intersubjektif Realitas terkonstruksi : Lebih cepat Lebih luas Sebaran merata Membentuk opini massa Massa cenderung terkonstruksi Opini massa cenderung apriori Opini massa cenderung sinis SOURCE MESSAGE CHANNEL RECEIVER EFFECTS

10 33 C. Media dan Berita Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut : Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Dalam konsepsi positivis diandaikan ada realitas yang bersifat eksternal yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi, ada realitas yang bersifat objektif, yang harus diambil dan diliput oleh wartawan. Pandangan semacam ini sangat bertolak belakang dengan pandangan konstruksionis. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi. Manusia membentuk dunia mereka sendiri. Dalam kata-kata yang terkenal dari Carey, realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Pertanyaan utama dalam pandangan konstruksionis adalah fakta berupa kenyataan itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia

11 34 dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Dalam kata-kata yang ekstrim, realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana ia dilihat. Pikiran dan konsepsi kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta. Media adalah agen konstruksi. Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak). Media dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen melainkan hanya saluran. Media dilihat sebagai sarana yang netral. Kalau ada berita yang menyebutkan kelompok tertentu atau menggambarkan realitas dengan citra tertentu, gambaran semacam itu merupakan hasil dari sumber berita (komunikator) yang menggunakan media untuk mengemukakan pendapatnya. Pendeknya, media disini tidak berperan dalam membentuk realitas. Apa yang tampil dalam pemberitaan itulah yang sebenarnya terjadi. Ia hanya saluran untuk menggambarkan realitas, menggambarkan peristiwa. Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menujukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi

12 35 dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Media memilih realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. Dalam peristiwa demonstrasi mahasiswa, bisa jadi (hanya) peristiwa bentrokan itu saja yang diberitakan, sementara peristiwa demonstrasi yang berlangsung damai, luput atau tidak mendapat tempat dalam pemberitaan. Media juga memilih (secara sadar atau tidak) aktor demonstrasi yang dijadikan sumber berita sehingga hanya sebagian saja dari sumber berita yang tampil dalam pemberitaan. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa. Lewat bahasa yang dipakai, media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan, dapat juga menyebutnya sebagai perusuh. Lewat pemberitaan pula, media dapat membingkai peristiwa demonstrasi dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi. Ia dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibaratnya sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Seperti sebuah drama, tentu saja ada pihak yang didefinisikan sebagai pahlawan (hero), tetapi ada juga pihak yang didefinisikan sebagai musuh dan pecundang. Semua itu dibentuk layaknya sebuah drama yang dipertontonkan

13 36 kepada publik. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror of reality, karenanya ia harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Pandangan ini ditolak oleh kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu kewajaran. Perbedaan antara pendekatan positivis dan konstruksionis dalam memahami berita, mengakibatkan perbedaan pula dalam hal bagaimana hasil kerja seorang wartawan seharusnya dinilai. Karena seandainya ada realitas yang objektif, maka berita yang baik haruslah mencerminkan realitas tersebut. Hal yang berbeda dalam konsepsi konstruksionis. Berita bukanlah representasi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi (memulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk

14 37 dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas. Pada pendekatan positivis, titik perhatiannya adalah pada bias. Artinya, bias dianggap salah, dan wartawan harus menghindari bias. Dalam tradisi penelitian positivis, analisis diarahkan untuk menemukan ada tidaknya bias dengan meneliti sumber berita, pihak-pihak yang diwawancarai, bobot dari penulisan, dan sebagainya. Hal inilah yang berbeda dengan pendekatan konstruksionis. Penempatan sumber berita yang menonjol dibandingkan dengan sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain; liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok, kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktek yang dijalankan oleh wartawan. Konstruksi wartawan dalam memaknai realitas yang secara strategis menghasilkan laporan semacam itu. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Pandangan positivis melihat berita sebagai sesuatu yang objektif. Konsekuesinya, apa yang diterima khalayak pembaca seharusnya sama dengan apa yang disampaikan oleh pembuat berita. Kalau wartawan menulis berita tentang perkosaan, pesan yang diterima oleh khalayak seharusnya juga berita mengenai perkosaan. Kalau wartawan hendak melucu, khalayak seharusnya juga tertawa dengan berita yang

15 38 dia baca atau tayangan yang tengah ditonton. Berita dalam paradigma ini tidak ubahnya seperti sebuah pesan yang ditransmisikan dan dikirimkan kepada pembaca. Pembuat berita dilihat sebagai pihak yang aktif, sementara pembaca dilihat sebagai pihak yang pasif. Berita lalu dimaknai mempunyai efek tertentu yang harus diperhitungkan oleh pengelola media ketika memproduksi berita. Pandangan konstruksionis mempunyai pandangan yang berbeda. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall (Eriyanto, 2002:36) makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktek penandaan yang terjadi. Sebuah foto yang sebetulnya dimaksudkan untuk mengkomunikasikan stop kekerasan dan seksual, bisa jadi dimaknai pembaca sebagai menyebarkan pronografi. Sebuah lelucon bisa dimaknai dan ditafsirkan oleh pembaca sebagai sebuah penghinaan. Semua pemaknaan ini mungkin sekali terjadi. Pembaca yang mempunyai posisi berbeda bisa membaca teks dengan cara yang berbeda pula dengan pembaca lain. Kalau terjadi perbedaan semacam ini, bukanlah berarti tersebut buruk.

16 39 D. Bias media Pada dasarnya bias berita terjadi karena media massa tidak berada diruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Louis Althusser (Al-Zastrouw dalam Sobur, 2009:30) menulis bahwa media dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Antonio Gramsci (Sobur, 2009:30) melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, disatu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun, disisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Walaupuan terjadi kritik antara Althuser dan Gramsci, namun kedua pemikir itu sama-sama sepakat bahwa media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga berselubung kepentingan yang lain; misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan

17 40 (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis di antara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari. Bias menurut Macnamara (Sobur, 2009:34) terjadi karena berbagai alasan. Kadang-kadang terjadi dengan sengaja karena wartawan atau editor memproyeksikan pandangan pribadi mereka dalam cerita atau pandangan yang telah ditunjukkan kepada mereka. Ini terjadi karena sistem tuntutan media yang menghimpit akan kecepatan dan rasa haus yang tidak pernah terpuaskan terhadap berita pada batas waktu yang sedikit. Kadang-kadang terjadi karena standar pelatihan dan pendidikan yang kurang memadai diantara reporter, meskipun ini secara mantap sedang diatasi dengan semakin lama semakin banyak wartawan yang memiliki kualifikasi universitas. Para reporter, juga para editor, berkuasa penuh atas pilihan kata yang hendak dipakainya. Ia dapat atau harus memilih salah satu kata diantara deretan kata-kata yang yang hampir mirip namun berbeda rasanya. Misalnya kata perkosaan diganti dengan kata merenggut kegadisan, mencabuli, menggauli, dinodai dan sebagainya. Pilihan atau pemakain istilah tersebut jelas akan menimbulkan bias. Wartawan juga dalam tahap pencarian beritanya sejak awal sudah harus menentukan pilihan siapa narasumber yang patut dihubungi, pertanyaan atau persoalan apa yang mesti diajukan, sementara pada proses penulisan beritanya ia harus memilih fakta-fakta mana yang harus didahulukan,

18 41 dan fakta-fakta mana yang harus diceritakan kemudian juga akan menimbulkan bias yang tidak bisa dianggap kecil. E. Konsep framing Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa. Media menseleksi, menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak. Menurut Frank D. Durham (Eriyanto, 2002:67) framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti.

19 42 Robert N. Entman William A. Gamson Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain. Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dengan realitas. David E. Snow and Robert Benford Amy Binder Zhondang Pan and Gerald M. Kosicki Pemberian makna untuk menafsikan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu. Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa. Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita. Sumber : Eriyanto, 2002:68 Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa

20 43 kemana berita tersebut. Framing seperti dikatakan Todd Gitlin adalah sebuah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu; penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk

21 44 mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol dan mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan dengan teori mengenai skema atau kognitif; bagaimana seseorang memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu. Misalnya, teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi yang dapat ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab akibat. Atribusi tersebut dipengaruhi baik oleh faktor personal maupun pengaruh lingkungan eksternal. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh

22 45 pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang. Dimensi psikologis. Framing sangat berhubungan dengan dimensi psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks berita) lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf paling awal tidak dapat dilepaskan dari aspek psikologi. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan dunia yang kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai perspektif/dimensi tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda juga. Daniel Kahneman dan Amos Tversky (Eriyanto, 2002:72) membuat serangkaian penelitian lewat studi eksperimental bagaimana pesan yang dibingkai atau dibungkus secara berbeda akan dimaknai dan dipahami secara berbeda pula oleh khalayak. Pemaknaan dan pemahaman khalayak tidak tergantung pada realitas atau fakta, tetapi tergantung pada bagaimana realitas itu disajikan;

23 46 bagaimana pesan dibingkai dengan kemasan tertentu yang menyebabkan pemahaman tertentu dalam benak khalayak. Penelitian Kahneman dan Tversky tersebut menunjukkan bagaimana pendapat khalayak bisa dibentuk oleh frame yang dibangun oleh pertanyaan. Realitas yang hendak ditanyakan adalah sama, tetapi pertanyaan yang diajukan berbeda dengan penonjolan pada bagian tertentu dan penekanan pada bagian yang lain. Dimensi sosiologis. Selain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama dapat ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama. Ini menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di dalamnya praktik profesional. Pendekatan semacam ini untuk membedakan pekerja media sebagai individu sebagaimana dalam pendekatan sosiologis. Melihat berita dan media seperti ini berarti menempatkan berita sebagai institusi sosial. Berita ditempatkan, dicari, dan disebarkan lewat praktik profesional dalam organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses institusional. Praktik ini menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu dilaporkan. Berita adalah produk dari institusi sosial dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi.

24 47 Konsep framing mengacu pada perspektif dramaturgi yang dipelopori Erving Goffman. Dramaturgi adalah sebuah kerangka analisis dari presentasi simbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas seperti layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan berperan menurut karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana dalam suatu panggung untuk menciptakan kesan yang meyakinkan kepada khalayak. Dalam perpektif media, seperti dikatakan P.K Manning (Eriyanto, 2002:81) pendekatan dramaturgi tersebut mempunyai dua pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan aktor menampilkan dirinya dengan simbol, dan penampilan masing-masing. Media karenanya dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya lengkap dengan simbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor. Realitas yang terbentuk karenanya dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya. Dalam pandangan Goffman, ketika seseorang menafsirkan realitas tidak dengan konsepsi hampa. Seseorang selalu mengorganisasi peristiwa tiap hari. Pengalaman dan realitas yang diorganisasikan tersebut menjadi realitas yang dialami oleh seseorang. Dalam perspektif Goffman, frame mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman hidup kita supaya kita bisa memahaminya. Menurut Goffman, sebuah frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi punya arti dan makna. Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung tiap hari.

25 48 F. Framing dan Ideologi Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami, bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Diantara berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Dalam kerangka ini, media dapat mendefinisikan nilai dan prilaku yang sesuai dengan nilai kelompok dan prilaku atau nilai apa yang dipandang menyimpang. Perbuatan, sikap, atau nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah, yang terjadi dengan sendirinya, dan diterima begitu saja. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja, melainkan dikonstruksi. Lewat konstruksi tersebut, media secara aktif mendefinisikan peristiwa dan realitas sehingga membentuk kenyataan apa yang layak, apa yang baik, apa yang sesuai dan apa yang dipandang menyimpang. Dalam produksi berita, yang menjadi dasar dari proses produksi berita adalah adanya semacam konsensus; bagaimana suatu peristiwa dipahami bersama dan dimaknai. Disini ada dua pengertian; pada satu sisi peristiwa dan aktor yang direstui dan pada sisi lain adalah peristiwa dan prilaku yang dikeluarkan (mbalelo) dari pembicaraan. Konsensus menyediakan suatu kesatuan; satu negara, satu masyarakat, satu budaya dan sebagainya. Melalui konsensus ini realitas yang beragam dan tidak beraturan diubah menjadi realitas yang mudah dan bisa dikenali, sesuatu yang plural menjadi tunggal. Lewat konsensus ini, terjadi proses homogenisasi bahwa kita adalah satu.

26 49 Peristiwa bisa dipahami dalam perspektif yang berbeda didasarkan pada kesepakatan atau tata nilai yang dipahami dan disepakati bersama dalam komunitas. Kelompok yang ada di luar itu dipandang sebagai menyimpang (deviant) dan dipinggirkan dalam pembicaraan. Peristiwa atau aktor dipandang dengan ketidaksetujuan dan dimarjinalkan dalam pembicaraan. Pandangan yang negatif atau marjinal mengenai sesuatu didasarkan pada konsensus yang bekerja dalam suatu proses pemberitaan. Sphere of Consensus Sphere of Deviance Sphere of Legitimate Controversy Gambar 3. Peta Ideologi Daniel Hallin (Eriyanto, 2002:127) membuat ilustrasi dan gambaran menarik yang menolong menjelaskan bagaimana berita kita tempatkan dalam bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang; bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere consensus). Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis. Apakah peristiwa dibingkai dan dimaknai sebagi wilayah penyimpangan, kontroversi, ataukah konsensus? Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa, gagasan, atau prilaku tertentu dikucilkan

27 50 dan dipandang menyimpang. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Peristiwa PKI masuk dalam wilayah penyimpangan karena dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan tidak sesuai dengan nilai-nilai komunitas. Bidang kedua adalah wilayah kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada kesepakatan umum bahwa realitas (peristiwa, prilaku, atau gagasan) dipandang menyimpang dan buruk, dalam area ini realitas masih diperdebatkan/dipandang kontroversial. Kegiatan seksual misalnya masih diperdebatkan. Ia tidak serta merta dipandang sebagai perbuatan yang menyimpang, tetapi diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus; menunjukkan bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok. Sebagai area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana prilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena memakai kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideologi yang berbeda akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke dalam peta yang berbeda, karena ideologi yang menempatkan bagaimana nilainilai bersama yang dipahami dan diyakini secara bersama-sama dipakai untuk menjelaskan berbagai realitas yang hadir setiap hari. Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Ideologi yang dimaksud disini tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan

28 51 pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi. Sebab dalam proses melihat dan menandakan peristiwa tersebut kita menggunakan titik melihat tertentu. Titik atau posisi melihat itu menggambarkan bagaimana peristiwa dijelaskan dalam kerangka berpikir tertentu. G. Framing Model Robert N. Entman Robert N. Entman adalah salah seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep mengenai framing ditulis dalam sebuah artikel untuk Journal of Political Communication dan tulisan lain yang mempraktikkan konsep itu dalam suatu studi kasus pemberitaan media. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dari pada isu yang lain. Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak. Informasi yang menonjol kemungkinan lebih diterima oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa. Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam; menempatkan satu aspek informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek

29 52 budaya yang akrab dibenak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide, gagasan, informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena kemenonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat mungkin mempunyai pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan bagaimana teks berita tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain; dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan lain-lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh

30 53 wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, hendak dibawa kemana berita tersebut. Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung didalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu. Penonjolan aspek Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika tertentu dari suatu isu aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. Sumber : Eriyanto, 2002:187 Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karateristik dari teks berita. Misalnya, frame anti militer yang dipakai untuk melihat dan memproses informasi demonstrasi atau kerusuhan. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselediki dari kata, citra, dan gambar tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita. Kosakata dan gambar itu ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol dibandingkan bagian lain dalam teks. Itu dilakukan lewat pengulangan, penempatan yang lebih menonjol, atau menghubungkan dengan bagian lain dalam teks berita. Sehingga bagian itu lebih

31 54 menonjol, lebih mudah dilihat, diingat dan lebih mempengaruhi khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan didalamnya konsepsi atau skema interpretasi wartawan. Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup membentuk dan menginterpretasikan makna didalamnya. Gambar 4. Skema Framing Robert N. Entman Teknik Framing Define Problems Peristiwa dilihat sebagai apa Make Moral Judgement Penilaian atas penyebab masalah Diagnose Causes Siapa penyebab masalah Treatment Recommendation Saran penanggulangan masalah Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda. Ketika ada demonstrasi mahasiswa dan diakhiri dengan bentrokan, bagaimana peristiwa ini dipahami? Peristiwa ini bisa dipahami sebagai anarkisme gerakan mahasiswa, bisa juga dipahami sebagai pengorbanan mahasiswa.

32 55 Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Misalnya, dalam kasus bentrokan demonstrasi mahasiswa. Kalau demonstrasi itu dipahami sebagai anarkisme mahasiswa maka mahasiswalah yang dianggap sebagai pelaku. Tetapi sebaliknya, kalau demonstrasi tersebut dipahami sebagai perlawanan mahasiswa maka polisilah yang dipandang sebagai pelaku. Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak. Contoh gerakan mahasiswa, kalau wartawan memaknai demonstrasi mahasiswa sebagai upaya pertahanan diri, dalam teks berita bisa dijumpai serangkaian pilihan moral yang diajukan. Misalnya disebut dalam teks, mahasiswa adalah kelompok yang tidak mempunyai kepentingan, dan berjuang di garis moral. Pilihan moral sebaliknya, bisa diberikan kepada polisi dengan menyatakan bahwa polisi berjuang demi rakyat.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Elemen dasar seluruh isi media massa, entah itu hasil liputan seperti berita, laporan pandangan mata, hasil analisis berupa artikel berupa artikel opinion adalah bahasa (verbal dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konstruksi Sosial Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmanmelalui

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno : pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme

Lebih terperinci

09Ilmu. Analisis Framing. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom

09Ilmu. Analisis Framing. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Modul ke: Analisis Framing Memahami analisis framing dalam Pemberitaan Media. Jenis analisis framing, framing dan ideologi. Fakultas 09Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008 31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. 1

BAB III METODE PENELITIAN. selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. 1 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yaitu seperangkat pengetahuan tentang langkahlangkah yang sistematis dan logis tentang pencairan data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,

Lebih terperinci

peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.

peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak. BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan analisis framing, analisis framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan dalam

Lebih terperinci

Konsep dan Model-Model Analisis Framing. Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom

Konsep dan Model-Model Analisis Framing. Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom Konsep dan Model-Model Analisis Framing Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom Konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 46 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini memiliki fokus penelitian yang kompleks dan luas. Ia bermaksud memberi makna

Lebih terperinci

LOGO Oleh: Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si

LOGO Oleh: Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si TEORI EFEK KOMUNIKASI MASSA DAN KONSTRUKSI SOSIAL Oleh: Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si 1. Teori Stimulus Respon (Dennis McQuail) Efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Elemen utama dalam

Lebih terperinci

EPILOG (ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Analisis Framing)

EPILOG (ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Analisis Framing) EPILOG (ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Analisis Framing) oleh : Erma Restiani (056056) Galih Pratiwi (056471) Irma Yulita Silviani (057160) Rini Septiani (056411) FAKULTAS PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tipe penelitian pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan 49 BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan konstruksionis. Dan pendekatan ini mempunyai paradigma yang mempunyai posisi dan pandangan

Lebih terperinci

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rapat dengar pendapat antara komisi VII DPR RI dengan pemerintah tanggal 28

BAB I PENDAHULUAN. rapat dengar pendapat antara komisi VII DPR RI dengan pemerintah tanggal 28 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak mulai kuat berhembus setelah rapat dengar pendapat antara komisi VII DPR RI dengan pemerintah tanggal 28 Februari 2012.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Digital Communications Award for Social Media Presence pada News Overview

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Digital Communications Award for Social Media Presence pada News Overview BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma dalam penelitian berita berjudul Maersk Line Wins European Digital Communications Award for Social Media Presence pada News Overview menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisis isi, dengan model analisis framingnya model Zhongdang Pan dan

BAB III METODE PENELITIAN. analisis isi, dengan model analisis framingnya model Zhongdang Pan dan 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian analisis isi, dengan model analisis framingnya model Zhongdang Pan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Framing Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing)

BAB I PENDAHULUAN. Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing) terhadap sebuah isu atau peristiwa melalui berita atau opini yang diterbitkannya. Praktik pembingkaian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang

BAB III METODE PENELITIAN. seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang 50 BAB III METODE PENELITIAN Fungsi penelitian adalah untuk mencari penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena itu diperlukan metodelogi penelitian, yakni seperangkat pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social

BAB II URAIAN TEORITIS. komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Media Massa dan Konstruksi Sosial Realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS II.I MEDIA MASSA DAN KONSTRUKSI REALITAS Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman yaitu, seorang pakar sosiologi ini berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan Bikien, paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoristisuntuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jasse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Konstruksi Sosial Konsep framing berdasarkan dari Teori Konstruksi Sosial, itulah sebabnya mengapa teori Kontruksi Sosial ini digunakan dalam penelitian ini. Teori Konstruksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan untuk mengurai atau menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Menurut Crasswell, beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang kian berkembang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di tengah-tengah dunia global. Program informasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sifat Penelitian Secara harafiah, metodologi dibentuk dari kata metodos, yang berarti cara, teknik, atau prosedur, dan logos yang berarti ilmu. Jadi metodologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi massa merupakan proses organisasi media menciptakan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi massa merupakan proses organisasi media menciptakan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Media Massa Komunikasi massa merupakan proses organisasi media menciptakan dan menyebarkan pesan-pesan pada masyarakat luas dan proses pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami,

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu 2.1.1. Masnur Muslich Penelitian ini berjudul Kekuasaan Media Massa Mengkonstruksi Realitas. Penelitian ini bertujuan untuk memahami

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe atau jenis penelitian ini adalah penelitian interpretif dengan pendekatan kualitatif. Paradigma merupakan sebuah konstruksi manusia yaitu gagasan

Lebih terperinci

09ILMU. Modul Perkuliahan IX. Metode Penelitian Kualitatif. Metode Analisis Framing. Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm KOMUNIKASI.

09ILMU. Modul Perkuliahan IX. Metode Penelitian Kualitatif. Metode Analisis Framing. Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm KOMUNIKASI. Modul ke: Modul Perkuliahan IX Metode Penelitian Kualitatif Metode Analisis Framing Fakultas 09ILMU KOMUNIKASI Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm Program Studi Public Relations Judul Sub Bahasan Pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebebasan pers merupakan salah satu indikator penting dalam membangun suatu negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Pasca reformasi 1998 media massa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tabel.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Dalam melakukan penelitian, peneliti harus belajar dari peneliti lain untuk menghidari duplikasi dan pengulangan penelitian atau kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. Komunikasi akan berjalan dengan diterapkannya sebuah bahasa yang baik

Bab 1 PENDAHULUAN. Komunikasi akan berjalan dengan diterapkannya sebuah bahasa yang baik 1 Bab 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komunikasi akan berjalan dengan diterapkannya sebuah bahasa yang baik dalam diri seseorang, terutama wartawan. Seorang wartawan sebagai penulis yang selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan)

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendapatkan informasi dari luar dirinya. Berbagai upaya dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendapatkan informasi dari luar dirinya. Berbagai upaya dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dalam mendapatkan informasi dari luar dirinya. Berbagai upaya dilakukan oleh manusia dalam mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga media sangat dibutuhkan terutama media televisi yang benar-benar dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga media sangat dibutuhkan terutama media televisi yang benar-benar dirasakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pemilihan umum (Pemilu) tanggal 9 Juli 2014 adalah kompetisi pemilihan presiden sehingga media sangat dibutuhkan terutama media televisi yang benar-benar dirasakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi

BAB III METODE PENELITIAN. oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan kritis secara ontologi berpandangan bahwa realitas yang teramati (virtual reality) merupakan realitas semu yang telah terbentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sebagai prosedur penelitian data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan

BAB II URAIAN TEORITIS. ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Pendekatan Politik Ekonomi Media Pendekatan politik ekonomi media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Dalam berbagai aspek, paradigma membantu merumuskan apa yang harus dipelajari. Ia merupakan suatu kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sifat penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan cara pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sifat penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan cara pendekatan 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat dan Jenis Penelitian Sifat penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan cara pendekatan deskriptif, Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberitakan di berbagai media massa. Pemberitaan Kisruh APBD DKI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. diberitakan di berbagai media massa. Pemberitaan Kisruh APBD DKI merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa Kisruh APBD DKI merupakan salah satu peristiwa sedang ramai diberitakan di berbagai media massa. Pemberitaan Kisruh APBD DKI merupakan berita yang di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah menciptakan peradaban manusia itu sendiri yang berganti-ganti tapi semakin

BAB I PENDAHULUAN. telah menciptakan peradaban manusia itu sendiri yang berganti-ganti tapi semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konstek Penelitan Saat ini perkembangan manusia dengan potensi bawaannya tentang memunculkan ide, telah menciptakan peradaban manusia itu sendiri yang berganti-ganti tapi semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terorisme bukanlah hal yang baru, tetapi menjadi aktual kembali terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Media Massa 2.2 Framing

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Media Massa 2.2 Framing BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Media Massa Media massa dapat diartikan sebagai sarana pembawa pesan kepada khayalak. Media massa terdiri dari media cetak berupa koran dan majalah serta media elektronik berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi Massa Definisi komunikasi Massa yang dikemukakan oleh Bittner (Rakhmat, 2003:188), yakni : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan yakni pradigma kontruksionis. Paradigma menurut Bogdan dan Bikien adalah kumpulan longgar dari sejumlah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reportase Investigasi Trans Tv sebagai program yang paling getol

BAB I PENDAHULUAN. Reportase Investigasi Trans Tv sebagai program yang paling getol 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reportase Investigasi Trans Tv sebagai program yang paling getol menayangkan kecurangan-kecurangan oknum pedagang dalam proses produksi daganganya. Contohnya pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Banyak di antara konflik tersebut sudah mengarah pada disintegrasi dan

BAB I PENDAHULUAN. negara. Banyak di antara konflik tersebut sudah mengarah pada disintegrasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik merupakan permasalahan sosial yang dihadapi oleh banyak negara. Banyak di antara konflik tersebut sudah mengarah pada disintegrasi dan telah menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konvensional, diantaranya adalah breaking news, yang merupakan berita singkat yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konvensional, diantaranya adalah breaking news, yang merupakan berita singkat yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Media Online Media online memiliki kategori yang membedakan dengan media konvensional, diantaranya adalah breaking news, yang merupakan berita singkat yang ditulis nyaris bersamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perusahaan harus dapat menganalisis peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dengan melihat tantangan tersebut, Perusahaan dituntut untuk mampu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyampaikan informasi kepada publik secara serempak. Melalui media massa,

BAB 1 PENDAHULUAN. menyampaikan informasi kepada publik secara serempak. Melalui media massa, 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media massa memiliki peran strategis sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak. Melalui media massa, kita dapat memperoleh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Deddy N. Hidayat dalam penjelasan ontologi paradigma kontruktivis, realitas merupakan konstruksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menyeluruh dan dengan cara deksripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada

BAB III METODE PENELITIAN. menyeluruh dan dengan cara deksripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian analisis teks media.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama pemerintah Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama pemerintah Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Isu korupsi, suap, pencucian uang, dan semua bentuk penggelapan uang negara hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama pemerintah Indonesia. Para aparatur

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Adapun bentuk penelitiannya adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan suatu objek yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdahulu ini mengemukakan hasil penelitian lain yang relevan dalam pendekatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdahulu ini mengemukakan hasil penelitian lain yang relevan dalam pendekatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian terdahulu sebagai perbandingan dan tolak ukur penelitian. Tinjauan pustaka tentang penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang bersifat menjelaskan, menggambarkan atau menuturkan dan menafsirkan

BAB III METODE PENELITIAN. yang bersifat menjelaskan, menggambarkan atau menuturkan dan menafsirkan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dengan metode pendekatan kualitatif, merupakan penelitian deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan istilah analisis bingkai merupakan salah satu bentuk alternatif dari

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan istilah analisis bingkai merupakan salah satu bentuk alternatif dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisis framing (bingkai), yang dalam penelitian ini selanjutnya menggunakan istilah analisis bingkai merupakan salah satu bentuk alternatif dari model analisis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan & Jenis Penelitian Eriyanto (2001) menyatakan bahwa analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Sebelum melakukan penelitian salah satu langkah awal yang dilakukan penulis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Sebelum melakukan penelitian salah satu langkah awal yang dilakukan penulis BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan penelitian salah satu langkah awal yang dilakukan penulis adalah mencari dan menelaah hasil karya atau penelitian terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Paradigma Konstruktivisme Vardiansyah (2008) mengartikan paradigma sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterima khalayak seperti media cetak dan media elektronik, media online kini

BAB I PENDAHULUAN. diterima khalayak seperti media cetak dan media elektronik, media online kini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dekade terakhir ini telah membawa perubahan besar dalam industri komunikasi yang memungkinkan terjadinya konvergensi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian Burhan Bungin (2003:63) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan data secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. konstruksi media dalam pemberitaan adalah model framing yang dikemukakan

BAB III METODE PENELITIAN. konstruksi media dalam pemberitaan adalah model framing yang dikemukakan BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan Model framing yang digunakan dalam menganalisis konstruksi media dalam pemberitaan adalah model framing yang dikemukakan oleh Pan dan Kosicki. Dalam model ini, perangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa dinilai mempunyai peranan yang besar dalam. menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. Media massa dinilai mempunyai peranan yang besar dalam. menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media massa dinilai mempunyai peranan yang besar dalam menjembatani atau sebagai penghubung informasi kepada khalayak luas dalam bidang politik, sosial, keamanan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma-Paradigma Ilmu Sosial Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif

BAB 1 PENDAHULUAN. konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media massa berfungsi mengkonstruksi realitas yang terjadi. Bagi kaum konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan berjudul:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan berjudul: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan berjudul: Analisa Framing Pemberitaan Pemilukada Kabupaten Mesuji Tahun 2011 pada skh Lampung Post,

Lebih terperinci

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI hanyalah yang tidak mengandung nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai partai. Biasanya dalam sistem komunikasi seperti itu, isi media massa juga ditandai dengan sejumlah slogan yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah stasiun DAAI TV merupakan sebuah stasiun televisi milik Yayasan Buddha

BAB I PENDAHULUAN. adalah stasiun DAAI TV merupakan sebuah stasiun televisi milik Yayasan Buddha BAB I PENDAHULUAN Salah satu TV Lokal yang konsisten dalam mengangkat isu/konten daerah adalah stasiun DAAI TV merupakan sebuah stasiun televisi milik Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Yayasan Buddha Tzu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan media massa sangat erat kaitannya dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan media massa sangat erat kaitannya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan media massa sangat erat kaitannya dengan komunikasi, lisan maupun tulisan. Seiring perkembangan teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat paradigma. Pendekatan kualitatif yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat paradigma. Pendekatan kualitatif yang 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat paradigma. Pendekatan kualitatif

Lebih terperinci

13 ZHONGDANG PAN DAN GERALD M. KOSICKI

13 ZHONGDANG PAN DAN GERALD M. KOSICKI 13 ZHONGDANG PAN DAN GERALD M. KOSICKI KELOMPOK 12 : DEWI KUSUMA ( 056182 ) DEWI PUSPITA ( 056058 ) MOCH. AKBAR ( 056179 ) NURMAWATI D. LIANA ( 056080 ) SUCHI MAHADEWI ( 056067 ) Zhongdang Pan dan Gerald

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa bukanlah saluran yang bebas dan netral, demikian pandangan

BAB I PENDAHULUAN. Media massa bukanlah saluran yang bebas dan netral, demikian pandangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa bukanlah saluran yang bebas dan netral, demikian pandangan paradigma kritis. Perspektif kritis ini bertolak dari asumsi umum bahwa realitas kehidupan bukanlah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan dengan mengamati teks online

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.  dan  dengan mengamati teks online BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Penelitian ini, objek penelitian dilakukan terhadap dua media yaitu www.tempo.co dan www.suara-islam.com dengan mengamati teks online pemberitaaan RUU

Lebih terperinci

Idham Samawi dan Persatuan Sepakbola Indonesia Bantul (Persiba) di. Rubrik Sportmania Harian Kedaulatan Rakyat

Idham Samawi dan Persatuan Sepakbola Indonesia Bantul (Persiba) di. Rubrik Sportmania Harian Kedaulatan Rakyat Idham Samawi dan Persatuan Sepakbola Indonesia Bantul (Persiba) di Rubrik Sportmania Harian Kedaulatan Rakyat (Studi Analisis Framing Pemberitaan Rubrik Sportmania Harian Kedaulatan Rakyat periode 27 Juli

Lebih terperinci

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS. Skripsi

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS. Skripsi 41 PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS (Studi Analisis Framing head line Pemberitaan Kasus Korupsi Sport Center di Hambalang Pada Surat

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah

BAB II URAIAN TEORITIS. teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah BAB II URAIAN TEORITIS Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pikiran yang

Lebih terperinci

BAB II IKLAN DAN ANALISIS FRAMING

BAB II IKLAN DAN ANALISIS FRAMING BAB II IKLAN DAN ANALISIS FRAMING 2.1. Iklan 2.1.1. Definisi Iklan Iklan adalah semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, ataupun jasa secara nonpersonal melalui media yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam menyelesaikan persoalan penelitian dibutuhkan metode sebagai proses yang harus ditempuh oleh peneliti. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Wardi Bahtiar dalam bukunya Metodologi Penelitian Dakwah. kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya 26.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Wardi Bahtiar dalam bukunya Metodologi Penelitian Dakwah. kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya 26. 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pada dasarnya penelitian itu merupakan usaha menemukan, mengembangkan dan melakukan verifikasi terhadap kebenaran suatu peristiwa atau

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan 34 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan Bikien, paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kata Italia caricare yang berarti memberi muatan atau melebihlebihkan.

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kata Italia caricare yang berarti memberi muatan atau melebihlebihkan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karikatur adalah sebuah gambar atau penggambaran suatu objek konkret yang dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut. Karikatur sendiri berasal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma adalah suatu Frame of Meaning (Servaes, 1993 : 79). Paradigma sering disebut juga pendekatan, persfektif, metode atau teori. Kita mengenal tiga kategori

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat makna teks yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat makna teks yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan pendekatan deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat makna teks yang terdapat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 108 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Judul penelitian ini adalah : Konstruksi Nilai Rancangan Pesan ESQ 165 Dalam Pembangunan Karakter Indonesia Emas (Analisis Framing Program Indonesia Emas

Lebih terperinci