BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Paradigma Konstruktivisme Vardiansyah (2008) mengartikan paradigma sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Oleh karena itu, paradigma sangat menentukan cara seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya. Sementara itu dalam literatur yang berbeda, Nyoman Naya Sujana menjelaskan bahwa paradigma sebagai sebuah konsep yang paling umum dan terdalam untuk melihat dan memahami realitas (Suyanto, 2008: 9). Konsep tersebut memandang realitas yang tercipta dapat dipahami oleh manusia. Seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan, Thomas Kuhn (1972) mengembangkan konsep paradigmatik sebagai upaya untuk mempelajari anomalianomali dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui bukunya, The Structure of Scientific Revolution Kuhn menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi yang berbeda. Pertama, paradigma berarti keseluruhan perangkat Kuhn menyebutnya dengan istilah konstelasi keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat. Kedua, paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan sebagai model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara lain sebagai landasan bagi pemecahan atas tekateki dalam ilmu pengetahuan normal (Saifuddin, 2005: 53). Penting bagi seorang peneliti untuk mengingat benar atau tidaknya suatu paradigma yang digunakan itu tidak dapat dibuktikan. Yang terpenting adalah apakah paradigma tersebut mampu mendukung argumentasi-argumentasi dengan bukti yang sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Sendjaja (2005) menyebutkan ilmu komunikasi pada dasarnya merupakan salah satu ilmu pengetahuan sosial yang bercirikan multiperspektif dan 7

2 multiparadigma. Sendjaja juga menjelaskan bahwa berdasarkan basis keilmuan, terdapat berbagai perspektif dan paradigma yang diterapkan dalam ilmu komunikasi (Bungin, 2008: 11). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis framing dan menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasi pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum klasik dan positivis. Paradigma konstruktivisme menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam. Hal ini dikarenakan manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku di kalangan mereka sendiri. Paradigma konstruktivisme berpendapat bahwa secara epistemologi, semesta merupakan hasil dari konstruksi sosial. Pengetahuan yang dimiliki manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan, bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian, tidak ada pengetahuan yang koheren, transparan secara keseluruhan dan independen dari subjek sebagai pengamat. Manusia ikut berperan, menentukan pilihan perencanaan yang lengkap, dan menuntaskan sebuah tujuan. Pilihanpilihan yang dibuat lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah-teoritis. Ardiyanto (2007) menjelaskan bahwa bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang terberi dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Konstruksi membuat cakrawala baru dengan mengakui adanya hubungan antara pikiran, yang membentuk ilmu pengetahuan dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan demikian, paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme, objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan. 8

3 Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Subjek tersebutlah yang merupakan faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan pembentukan diri, serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardiyanto, 2007: 151). Menurut Von Glaserfeld, konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Melalui proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka (Ardiyanto, 2007: ). Von Glaseferld dan Kitchener (987) juga merangkum konstruktivisme menurut pengetahuan, sebagai berikut: gagasan 3. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 4. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan stuktur yang perlu untuk pengetahuan. 5. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Kaitan dengan kajian komunikasi, Robyn Pennman yang dikutip oleh Ardiyanto (2007: 158) merangkum kaitan konstruktivisme sebagai berikut: 1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan sukarela berdasarkan pilihan subjeknya. 9

4 2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi tercipta. 3. Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang dan waktu, serta dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu. 4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah segala sesuatu yang ada, melainkan segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia. Dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya. Sebagai konsekuensinya, dapat dilihat bahwa pandangan konstruktivisme menganggap tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskriptif yang murni objektif. Kita tidak dapat melihat secara kasat mata apa yang ada di sana atau yang di sini tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual, atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai. Apabila dikaitkan dengan pemberitaan, pendekatan konstruksionis menegaskan berita sesungguhnya adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan ideologi, nilai-nilai dari jurnalis, atau media. Menurut pendekatan konstruksionis, hasil kerja seorang jurnalis tidak dapat dinilai dengan standar yang kaku. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai juga akan mewarnai pemberitaan, karena hal-hal itu merupakan bagian yang integral dalam diri jurnalis. Menurut pandangan ini, junalis bukanlah robot yang dapat diprogram untuk senantiasa melaporkan fakta apa adanya. Menurut Eriyanto (2001), pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri seperti apa media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu: 10

5 1. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas bersifat objektif. Realitas dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. 2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan dan pemihakannya. 3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah buku jurnalistik. 4. Berita bersifat subjektif atau konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan. Ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial. 6. Etika, pilihan, moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dari produksi berita. Etika dan moral termasuk keberpihakan satu kelompok adalah bagian yang tak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. 7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek pasif, yang mempunyai penafsiran sendiri dan bisa jadi berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009: 95). 2.2 Uraian Teoritis Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran dalam menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2001 : 39). Adapun beberapa uraian teoritis yang relevan dengan topik permasalahan penelitian ini, yaitu: 11

6 2.2.1 Teori Konstruksi Sosial Media Massa Peter L. Berger dan Luckman (1966) menjelaskan konstruksi sosial atas realitas melalui The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas yang terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tiga proses ini terjadi di antara individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat (Bungin, 2008: 202). Suparno membahas tentang asal usul konstruksi sosial. Asal usul ini berasal dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Apabila ditelusuri sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, yang menjadi cikal bakal konstruktivisme (Bungin, 2008: 13). Bertens menjelaskan bahwa dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenal istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhuk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bungin, 2008: 13). Berger dan Luckman menjelaskan bahwa realitas sosial dengan memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Mereka mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu (Bungin, 2008 : 191). Berger menyebut proses dialektis ini sebagai momen dan membaginya ke dalam tiga tahap, diantaranya: 12

7 1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam satu dunia. 2. Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental ataupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil tersebut menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berbeda dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada di sana bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. 3. Internalisasi. Proses internalisasi melakukan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari 13

8 masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang telah diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya, realitas dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda terhadap suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsikan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Berger dan Luckman mengawali pendekatan konstruksi sosial atas realitas dengan membahas proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam sebuah komunitas primer, ataupun sekunder. Seiring dengan semakin maraknya pembicaraan tentang media massa yang cukup signifikan dalam proses penyampaian pesan, pendekatan ini kemudian direvisi. Media massa menjadi sangat substansial dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi sehingga dikenal menjadi konstruksi sosial media massa. Informasi yang cepat dan luas dengan sebaran yang merata melalui media massa membuat proses konstruksi sosial berlangsung begitu cepat. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas sosial yang dikonstruksi juga membentuk opini massa. Massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Melalui prosesnya, konstruksi sosial media massa melalui beberapa tahapan, sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas tersebut selanjutnya didistribusikan pada desk editor yang terdapat pada setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan dengan tiga hal yaitu harta, kedudukan, dan wanita. 14

9 Ketika mempersiapkan materi konstruksi sosial, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui bahwa pada saat ini hampir tidak ada media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Kekuatan-kekuatan kapitalis digunakan dalam menjadikan sebuah media massa sebagai mesin untuk mencetak uang dan melipat gandakan modal yang ada. b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah ada dalam bentuk empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk menjual berita untuk kepentingan kapitalis sendiri. c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya merupakan visi setiap media massa, akan tetapi jika dilihat apa yang terjadi pada saat ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya. Walau demikian, slogan-slogan tentang visi ini masih sering didengar. Saat menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut. Akan tetapi jika diperhatikan kondisi yang terjadi saat ini, keberpihakan media massa lebih dominan pada tujuan untuk meraup kepentingan media itu sendiri. Lebih lanjut jika ditelusuri bahwa kepentingan kapitalis yang berada di belakang media massa lebih didahulukan. Untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan umum bukanlah menjadi satu persoalan yang serius. 2. Tahap sebaran konstruksi Konstruksi media massa disebar melalui strategi media massa. Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing media berbeda, namun pada prinsip utamanya adalah real time. Media cetak, sepeti surat kabar, tabloid, dan majalah memiliki konsep real time yang terdiri dari beberapa konsep seperti harian, mingguan, atau bulanan. Walaupun bersifat tertunda, namun konsep aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh berita tersebut. 15

10 Pada umumnya, sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah dimana media menyodorkan informasi, sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. Prinsip dasar dari sebuah sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Hal ini menunjukkan apa yang dianggap penting oleh media menjadi penting pula bagi pembaca. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas a. Tahap pembentukan konstruksi realitas Ketika pemberitaan sudah sampai pada pembaca, setelah tahap sebaran konstruksi, terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif. Tahap pertama adalah kontruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat. Hal ini cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai suatu realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa sebagai suatu otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian. Tahap Kedua adalah kesediaan dikontruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Hal tersebut menjelaskan bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa adalah karena pilihanya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa. Secara tidak langsung diri pembaca sendiri menjadi faktor utama untuk bersedia dikonstruksi. Tahap Ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, di mana seseorang secara terbiasa bergantung pada media massa. Media massa adalah kebiasaan hidup yang tidak bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila dia belum membaca koran. 16

11 b. Tahap pembentukan konstruksi realitas Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Bangunan citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk oleh dua model, model good news dan model bad news. Good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung membangun suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Melalui model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik, sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. Sementara itu, model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang terdapat pada objek pemberitaan itu sendiri. 4. Tahap konfirmasi Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial. Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini, yaitu: a. Kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa. b. Kedekatan dengan media massa adalah lifestyle orang modern, dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri. c. Media massa walau pun memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas berdasarkan berdasarkan subjektivitas media, namun kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses. 17

12 2.2.2 Teori Shoemaker dan Reese Reese dan Shoemaker (1996), dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content, mengemukakan terdapat perbedaan dalam memaknai suatu peristiwa dalam institusi media. Terdapat lima level yang memengaruhi isi sebuah media massa. Kelima level tersebut di antaranya, individu, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi. Gambar 1.2 Model hierarki pengaruh isi media (Dalam Shoemaker, Pamela J and Stephen D Reese, Mediating The Messages: Theories of Influences on Mass Media Content, Second Edition, 1996 hlm. 64) 1. Faktor individu (latar belakang wartawan, editor, kamerawan, dan lainnya) Faktor individu menjadi tahap pertama dalam menentukkan isi berita. Wartawanlah yang melakukan peliputan langsung di lapangan. Wartawan pula yang memutuskan realitas mana yang akan ditulis dalam beritanya. Realitas yang dipilihnya akan sangat bergantung pada pemaknaan peristiwa yang dipilihnya. Pemaknaan tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kesukaan, agama, gender, dan sikap wartawan tersebut terhadap peristiwa yang akan diberitakannya (Shoemaker & Reese, 1996: 63-64). Level ini menjelaskan peran seorang jurnalis sebagai individu yang memiliki pengaruh dalam proses pemberitaan. Individu akan menentukan peristiwa dari sudut pandang tertentu untuk dijadikan berita. Setiap individu mengkonstruksi realitas berdasarkan latar belakang dan karakteristik yang ada di dalam dirinya. Ada tiga faktor intrinsik individu yang turut memengaruhi isi media. Pertama, karakteristik pekerja, personaliti, dan latar belakang pekerja. 18

13 Kedua, sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Ketiga, orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai penyampai kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif membangun cerita (Shoemaker dan Reese, 1996: 64). 2. Rutinitas media Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme pembentukan berita. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, seperti apa bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Poin yang harus digaris bawahi ialah bahwa rutinitas media dalam hal proses produksi berita memengaruhi isi berita. Rutinitas media berarti suatu yang sudah terpola, terinstitusi, sesuatu bentuk yang diulangulang. Pada akhirnya membentuk suatu rutinitas yang dilakukan oleh pekerja media setiap hari (Shoemaker & Reese, 1996: 105). Faktor ini berhubungan dengan rutinitas redaksional yang dilakukan oleh media dalam melakukan proses produksi berita. Proses itu dimulai dari pengolahan berita yang masuk dari wartawan sampai berita naik cetak. Setiap media memiliki standar yang berbeda dalam rutinitas medianya. Rutinitas telah menciptakan pola yang sedemikian rupa dan terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacauan. Hal-hal yang 19

14 memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer) (Shoemaker dan Reese, 1996: 108). 3. Struktur organisasi Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik memengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Organisasi media misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri. Berbagai elemen tersebut memengaruhi sikap seorang wartawan dan cara suatu peristiwa disajikan dalam berita. Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang mempekerjakan awak media dalam usaha untuk memproduksi isi media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan mana yang bukan. Terdapat tujuan jelas yang menciptakan saling ketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur secara birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki 20

15 sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: apa peran organisasi; bagaimana organisasi terstruktur; apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; serta bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker dan Reese, 1996: ). Organisasi media memiliki tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkatan menengah, yaitu manajer, editor, produser dan lainnya yang bertugas mengoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker dan Reese, 1996: 151). Sebuah institusi media terdiri dari beberapa orang yang mempunyai job description yang berbeda-beda, tujuan medianya pun berbedabeda. Tidak jarang tujuan media tersebut memengaruhi cara media mengeluarkan suatu pemberitaan terhadap isu tertentu. Awak media yang langsung turun ke lapangan bukanlah satu-satunya pihak yang menentukan isi berita. Awak media tetap harus tunduk dan patuh pada perusahaan media. Sering kali terjadi pertentangan antara idealisme awak media dengan kepentingan perusahaan. Kekuatan pemilik media, tujuan dari media, dan kebijakan media memengaruhi pesan yang disampaikan media (Shoemaker & Reese, 1996:144). 4. Kekuatan ekstra media Level ini menjelaskan faktor budaya, kebutuhan khalayak, agama, dan lingkungan sosial politik tempat media itu berada pada akhirnya memengaruhi isi media tersebut. Dengan kata lain, level ini 21

16 membahas mengenai sumber-sumber informasi media, pengiklan, khalayak sasaran, kontrol pemerintah, dan pasar media (Shoemaker & Reese, 1996:197). Level ini juga berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media: a. Sumber berita Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk memengaruhi media dengan berbagai alas an, memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media. b. Sumber penghasilan media Sumber penghasilan media berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus survive dan untuk bertahan hidup terkadang media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Seperti contohnya sebuah media tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. 22

17 c. Pihak eksternal Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis. 5. Ideologi Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita mempersepsikan dunia dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level paling besar dalam model hierarki pengaruh isi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 222). Tiap lembaga pemberitaan memiliki seperangkat pengetahuan yang diwarisi dan dijalankannya. Pengetahuan yang dimaksud ialah aturan-aturan perilaku yang sesuai dengan lembaga media tersebut. Cara media menggambarkan realitas akan menjadi subjektif karena setiap media mempunyai proses konstruksi yang berbeda-beda. Raymond William (dalam Eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah, 1. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Contohnya, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi. Oleh sebab itu, demontrasi tidak boleh ada, karena hanya 23

18 akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu kemacetan lalu lintas, dan membuat perusahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat. 2. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat. Mereka akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik, hingga media massa. 3. Proses umum produksi makna dan ide Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Ideologi menjadi proses dalam menghasilkan sebuah makna dan ide Komunikasi Massa Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirimkan pesan kepada khalayak yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 405). Sasaran khalayak dalam komunikasi massa bersifat luas, heterogen, dan anonim. Proses komunikasi massa, di samping melibatkan unsur-unsur komunikasi sebagaimana umumnya, juga membutuhkan pula peran media massa sebagai alat untuk menyampaikan atau menyebarkan informasi. Media massa itu tidak berdiri sendiri. Ada beberapa individu yang bertugas melakukan pengolahan informasi 24

19 sebelum informasi tersebut sampai kepada khalayaknya. Mereka yang bertugas itu sering disebut sebagai gatekeeper (Nurudin, 2003: 6). Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Ahli Komunikasi lainnya, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967), Mass communication is the technologically and instituationally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies. Penjelasan Gerbner, mengartikan bahwa komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Sobur, 2004: 4). Selain itu, ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan oleh Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) (dalam Nuruddin, 2004: 6) yang dapat semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa diartikan sebagai komunikasi massa jika mencakup: 1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. 2. Komunikator pada komunikasi massa dalam menyebarkan pesanpesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal satu sama lain. Anonimitas khalayak dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain. 3. Pesan adalah publik, artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Oleh sebab itu diartikan sebagai milik khalayak. 4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal, seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini biasanya berorientasi pada keuntungan bukan organisasi sukarela atau nirlaba. 25

20 5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis informasi). Hal ini diartikan bahwa pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan, dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. Contohnya adalah seorang reporter, editor film, penjaga rubrik, dan lembaga sensor lain dalam media itu bisa berfungsi sebagai gatekeeper. 6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Di samping itu, dalam jenis komunikasi lain umpan balik bisa bersifat langsung. Untuk lebih jelasnya, perlu diketahui apa saja ciri-ciri dari komunikasi massa. Nurudin (2004: 16-29) menyebutkan di antaranya: 1. Komunikator melembaga Komunikator dalam komunikasi massa bukan lah satu orang, melainkan kumpulan dari beberapa orang. Hal tersebut berarti komunikator dalam komunikasi massa merupakan gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Sebuah lembaga tentunya terkait dengan sistem yang dianut. Sistem di sini maksudnya adalah sekelompok orang, pedoman, dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan dan menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi. Komunikator dalam komunikasi massa di sini maksudnya adalah lembaga media massa itu sendiri. Meskipun di dalamnya terdapat pemilik dan pekerja media secara individual, komunikator massa tetaplah individu-individu yang sudah dilembagakan dan bertanggung jawab atas proses komunikasi massa yang terjadi. 2. Komunikan bersifat heterogen Penerima pesan (komunikan) dalam proses komunikasi massa berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, baik itu dari usia, pendidikan, jenis kelamin, agama, status sosial, status ekonomi, dan sebagainya. 26

21 3. Pesan bersifat umum Pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang, melainkan kepada banyak orang. Hal ini mengartikan bahwa pesan yang disampaikan harus bersifat umum. 4. Komunikasi berlangsung satu arah Proses pertukaran pesan dalam komunikasi massa berlangsung secara satu arah, yakni dari media massa kepada komunikan. Komunikan atau penerima pesan tidak bisa memberikan tanggapan spontan saat proses komunikasi langsung. 5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan Keserempakan dalam proses komunikasi massa terdapat pada saat penyebaran pesan-pesannya. Serempak maksudnya adalah bahwa khalayak bisa menikmati media massa hampir bersamaan, sehingga komunikator berupaya menyebarkan informasinya secara serentak. 6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik (mekanik atau elektronik). Peralatan teknis dalam prosesnya sangat dibutuhkan media massa. Tak lain agar proses penyebaran pesannya bisa lebih cepat dan serentak kepada khalayak yang tersebar. 7. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper Gatekeeper adalah orang yang berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper di sini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami Analisis Framing Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi 27

22 akhir-akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspekaspek khusus sebuah realita oleh media (Sobur, 2004: 161). Lebih jauh, Eriyanto (2001) mengemukakan bahwa menurutnya dalam sebuah analisis framing, yang diperlukan oleh seorang analis adalah melihat cara media mengkonstruksi realitas. Peristiwa dipahami bukan sebagai sesuatu yang taken for granted (lumrah). Seorang analis dalam analisis framing harus mampu bersikap kritis dan mempertanyakan segala sesuatu yang tampak sebagai kenyataan semu bagi masyarakat luas. Melalui analisis framing, yang kita lihat adalah cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus peristiwa yang diberitakan. Cara perilaku media dalam menyajikan informasi sebaik mungkin pada khalayak adalah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah perubahan level teks isi media tersebut. Contoh kasus pada pemberitaan tertentu, media yang satu menonjolkan sisi atau aspek tertentu, sedangkan media lain meminimalisir, bahkan menutup isi atau aspek tersebut. Perbedaan tendensi setiap media dalam pemberitaan atas peristiwa yang sama lazim disebut dengan frame atau bingkai media (Eriyanto, 2001: 5). Pemilihan judul berita, struktur berita, atau keberpihakan adalah implikasi dari seperangkat asumsi tertentu sebagai kecenderungan wartawan media massa. Melalui penggunaan bahasa sebagai sistem simbol yang utama, para wartawan mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas. Implikasinya adalah aksen tertentu seperti penekanan, penajaman, pelembutan, pengagungan, pelecehan, pembelokan, pengaburan, dan lainnya. Persepsi kewartawanan erat kaitannya dengan asumsi persepsi setiap orang atau kelompok yang aktif dan selektif dalam memahami lingkungannya. Masingmasing memiliki persepsi yang berbeda atas suatu masalah, seberapa kecil pun perbedaan tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan cara melewati proses seleksi dan reproduksi, berita sebenarnya merupakan laporan peristiwa yang artificial, tetapi dapat diklaim objektif oleh pers untuk mencapai tujuan ideologis dan bisnis. Berita tidak hanya menyampaikan tetapi juga menciptakan makna (Sobur, 2004: 89). 28

23 Ada beberapa ahli yang turut menyumbangkan pandangannya mengenai framing, seperti diantaranya: 1. Murray Edelman Edelman menyejajarkan framing sebagai kategorisasi, pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan seperti apa fakta ataupun realitas dipahami. Kategorisasi menurutnya sebagai abstraksi dan fungsi dari pikiran. Kategorisasi dalam mendefinisikan peristiwa tersebut menentukan seperti apa masalah didefinisikan, apa efek yang direncanakan, ruang lingkup masalah, dan penyelesaian efektif yang direkomendasikan (Eriyanto, 2001: 186). 2. Robert N. Entman Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa lebih menonjol dibandingkan yang lain. Disamping itu, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan memengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2001: 221). 3. William A. Gamson William A. Gamson merupakan peneliti yang paling konsisten dalam mendiskusikan konsep framing. Gamson terkenal dengan pendekatan konstruksionisnya yang melihat proses framing sebagai suatu proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya terjadi dalam wacana media, melainkan juga dalam struktur kognisi individu. Jika dilihat dari konteks tersebut, Gamson melihat terdapat hubungan antara wacana media dengan opini publik yang terbentuk di masyarakat. Frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna 29

24 dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Framing menurut Gamson dan Modigliani adalah pendekatan untuk mengetahui perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Gamson dan Modigliani menjelaskan bahwa pekerja media menuangkan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase dan mengutip sumber berita tertentu. Di saat yang sama, mereka membuat retorikaretorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu (Eriyanto, 2001: ). 4. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki Analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan atau dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut mereka ada dua konsepsi dari framing yang sangat berkaitan, konsepsi psikologis dan sosiologis ((Eriyanto, 2001: 291). Penelitian ini menggunakan analisis framing model Gamson dan Modigliani. Gamson dan Modigliani menjelaskan konsep bahwa framing merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Gamson mengandaikan wacana media terdiri dari sejumlah package interpretatif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana. Analisis framing yang dikembangkannya adalah untuk memahami wacana media sebagai suatu gugusan perspektif interpretasi saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu Media Online Media online (online media) disebut juga cybermedia, internet media dan new media dapat diartikan sebagai media yang tersaji secara online di situs web internet. Media online dikatakan pula sebagai media generasi ketiga setelah media cetak dan media eletronik. 30

25 Melalui perspektif studi media atau komunikasi massa, media online menjadi objek kajian teori media baru (new media), yaitu yang mengacu pada permintaan akses ke konten (isi/informasi) kapan saja, dimana saja, pada setiap perangkat digital serta umpan balik pengguna interaktif, partisipasi kreatif, dan pembentukan komunitas sekitar konten media, juga aspek generasi real time. Secara teknis, media online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Hal-hal yang termasuk kategori media online adalah portal, website, radio online, TV online, dan . Dari segi konten atau sajian informasi, yang disajikan media online secara umum sama dengan media cetak seperti koran atau majalah, yakni terdiri dari berita, artikel opini, feature, foto, dan iklan yang dikelompokkan kategori tertentu. Isi media online umumnya dibagi dua bagian, yaitu halaman dan kategori. Halaman biasanya berisi informasi statis sedangkan kategori berisi pengelompokan jenis tulisan dari sisi topik atau tema (Romli: 2012: 30-35). 2.3 Model Teoretik Model teoritik merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal ini dimaksud agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena penelitian kualitatif dengan terstruktur dan efektif. Teks Berita Pembunuhan Engeline yang dimuat di viva.co.id Periode 10 Juni 16 Juni 2015 Framing Devices Reasoning Devices 1. Metaphors 2. Exemplaar 3. Catchphrases 4. Depiction 5. Visual Images 1. Roots 2. Appeals to Principle 3. Consequences Gambar 2.2 Alur kerangka pemikiran 31

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Elemen dasar seluruh isi media massa, entah itu hasil liputan seperti berita, laporan pandangan mata, hasil analisis berupa artikel berupa artikel opinion adalah bahasa (verbal dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008 31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menyeluruh dan dengan cara deksripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada

BAB III METODE PENELITIAN. menyeluruh dan dengan cara deksripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian analisis teks media.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konstruksi Sosial Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmanmelalui

Lebih terperinci

Konsep dan Model-Model Analisis Framing. Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom

Konsep dan Model-Model Analisis Framing. Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom Konsep dan Model-Model Analisis Framing Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom Konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno : pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe atau jenis penelitian ini adalah penelitian interpretif dengan pendekatan kualitatif. Paradigma merupakan sebuah konstruksi manusia yaitu gagasan

Lebih terperinci

09Ilmu. Analisis Framing. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom

09Ilmu. Analisis Framing. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Modul ke: Analisis Framing Memahami analisis framing dalam Pemberitaan Media. Jenis analisis framing, framing dan ideologi. Fakultas 09Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Digital Communications Award for Social Media Presence pada News Overview

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Digital Communications Award for Social Media Presence pada News Overview BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma dalam penelitian berita berjudul Maersk Line Wins European Digital Communications Award for Social Media Presence pada News Overview menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 46 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini memiliki fokus penelitian yang kompleks dan luas. Ia bermaksud memberi makna

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. 1

BAB III METODE PENELITIAN. selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. 1 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yaitu seperangkat pengetahuan tentang langkahlangkah yang sistematis dan logis tentang pencairan data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis,

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. kondisi empirik objek penelitian berdasarkan karakteristik yang dimiliki. 25

BAB III METODELOGI PENELITIAN. kondisi empirik objek penelitian berdasarkan karakteristik yang dimiliki. 25 BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini tipe yang digunakan adalah bersifat deskriptif kualitatif dimana, penelitian memberikan gambaran atau penjabaran tentang kondisi empirik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendapatkan informasi dari luar dirinya. Berbagai upaya dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendapatkan informasi dari luar dirinya. Berbagai upaya dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dalam mendapatkan informasi dari luar dirinya. Berbagai upaya dilakukan oleh manusia dalam mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebebasan pers merupakan salah satu indikator penting dalam membangun suatu negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Pasca reformasi 1998 media massa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Dalam berbagai aspek, paradigma membantu merumuskan apa yang harus dipelajari. Ia merupakan suatu kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat paradigma. Pendekatan kualitatif yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat paradigma. Pendekatan kualitatif yang 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat paradigma. Pendekatan kualitatif

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan Bikien, paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama,

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social

BAB II URAIAN TEORITIS. komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Media Massa dan Konstruksi Sosial Realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan 34 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan Bikien, paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. lukisan secara sitematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat

BAB III METODOLOGI. lukisan secara sitematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat 44 BAB III METODOLOGI 3.1 Tipe/Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti

Lebih terperinci

peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.

peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak. BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan analisis framing, analisis framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan dalam

Lebih terperinci

09ILMU. Modul Perkuliahan IX. Metode Penelitian Kualitatif. Metode Analisis Framing. Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm KOMUNIKASI.

09ILMU. Modul Perkuliahan IX. Metode Penelitian Kualitatif. Metode Analisis Framing. Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm KOMUNIKASI. Modul ke: Modul Perkuliahan IX Metode Penelitian Kualitatif Metode Analisis Framing Fakultas 09ILMU KOMUNIKASI Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm Program Studi Public Relations Judul Sub Bahasan Pendekatan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB II KERANGKA TEORITIS BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Media Massa Media adalah pengantara atau saluran dalam menyebarkan suatu informasi atau pesan dari komunikator kepada komunikan. Menurut McLuhan (Nova. 2009: 204) media massa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisis isi, dengan model analisis framingnya model Zhongdang Pan dan

BAB III METODE PENELITIAN. analisis isi, dengan model analisis framingnya model Zhongdang Pan dan 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian analisis isi, dengan model analisis framingnya model Zhongdang Pan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan media massa sangat erat kaitannya dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan media massa sangat erat kaitannya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan media massa sangat erat kaitannya dengan komunikasi, lisan maupun tulisan. Seiring perkembangan teknologi

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan

BAB II URAIAN TEORITIS. ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Pendekatan Politik Ekonomi Media Pendekatan politik ekonomi media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sifat Penelitian Secara harafiah, metodologi dibentuk dari kata metodos, yang berarti cara, teknik, atau prosedur, dan logos yang berarti ilmu. Jadi metodologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah stasiun DAAI TV merupakan sebuah stasiun televisi milik Yayasan Buddha

BAB I PENDAHULUAN. adalah stasiun DAAI TV merupakan sebuah stasiun televisi milik Yayasan Buddha BAB I PENDAHULUAN Salah satu TV Lokal yang konsisten dalam mengangkat isu/konten daerah adalah stasiun DAAI TV merupakan sebuah stasiun televisi milik Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Yayasan Buddha Tzu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan informasi pada setiap detiknya. masyarakat untuk mendapatkan gambaran dari realitas sosial. 1

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan informasi pada setiap detiknya. masyarakat untuk mendapatkan gambaran dari realitas sosial. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan informasi semakin cepat, dan di era informasi seperti sekarang ini banyaknya pemberitaan, informasi yang datang ke masyarakat. Penyebaran informasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang bersifat menjelaskan, menggambarkan atau menuturkan dan menafsirkan

BAB III METODE PENELITIAN. yang bersifat menjelaskan, menggambarkan atau menuturkan dan menafsirkan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dengan metode pendekatan kualitatif, merupakan penelitian deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Komunikasi dibutuhkan untuk memperoleh atau member informasi dari atau kepada orang lain. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan)

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 108 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Judul penelitian ini adalah : Konstruksi Nilai Rancangan Pesan ESQ 165 Dalam Pembangunan Karakter Indonesia Emas (Analisis Framing Program Indonesia Emas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan 49 BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan konstruksionis. Dan pendekatan ini mempunyai paradigma yang mempunyai posisi dan pandangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat konsrtuksi dari iklan. Menurut Bogdan dan Taylor bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan & Jenis Penelitian Eriyanto (2001) menyatakan bahwa analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Jilbab merupakan jenis pakaian yang memiliki arti sebagai kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada (kbbiweb.id). Jilbab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah menciptakan peradaban manusia itu sendiri yang berganti-ganti tapi semakin

BAB I PENDAHULUAN. telah menciptakan peradaban manusia itu sendiri yang berganti-ganti tapi semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konstek Penelitan Saat ini perkembangan manusia dengan potensi bawaannya tentang memunculkan ide, telah menciptakan peradaban manusia itu sendiri yang berganti-ganti tapi semakin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Framing Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

Bab III. Metodologi Penelitian. diciptakan melalui tayangan program Minta Tolong di RCTI.

Bab III. Metodologi Penelitian. diciptakan melalui tayangan program Minta Tolong di RCTI. Bab III Metodologi Penelitian 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, dimana penelitian ini berusaha melihat konstruksi realitas sosial yang diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberitakan di berbagai media massa. Pemberitaan Kisruh APBD DKI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. diberitakan di berbagai media massa. Pemberitaan Kisruh APBD DKI merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa Kisruh APBD DKI merupakan salah satu peristiwa sedang ramai diberitakan di berbagai media massa. Pemberitaan Kisruh APBD DKI merupakan berita yang di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persepsi mengenai bagaimana sosok pria dan wanita. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. persepsi mengenai bagaimana sosok pria dan wanita. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa memiliki peran signifikan yang besar dalam pembentukkan persepsi mengenai bagaimana sosok pria dan wanita. Dengan demikian tercerminkan wacana dominan tentang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat makna teks yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat makna teks yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan pendekatan deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat makna teks yang terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang kian berkembang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di tengah-tengah dunia global. Program informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan berjudul:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan berjudul: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan berjudul: Analisa Framing Pemberitaan Pemilukada Kabupaten Mesuji Tahun 2011 pada skh Lampung Post,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berita sudah menjadi hal yang dapat dinikmati oleh masyarakat dengan berbagai macam bentuk media seperti media cetak dalam wujud koran dan berita gerak (media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dengan sendirinya perkembangan usaha penerbitan pers mulai

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dengan sendirinya perkembangan usaha penerbitan pers mulai 9 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Memasuki era reformasi kebebasan pers seolah-olah seperti terlepas dari belenggu yang sebelumnya mengekang arti kebebasan itu sendiri. Dengan sendirinya

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan kebenaran secara fairness. Yaitu salah satu syarat objektivitas

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan kebenaran secara fairness. Yaitu salah satu syarat objektivitas BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Media massa merupakan sarana manusia untuk memahami realitas. Oleh sebab itu, media massa senantiasa dituntut mempunyai kesesuaian dengan realitas dunia yang benar-benar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang

BAB III METODE PENELITIAN. seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang 50 BAB III METODE PENELITIAN Fungsi penelitian adalah untuk mencari penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena itu diperlukan metodelogi penelitian, yakni seperangkat pengetahuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan dengan mengamati teks online

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.  dan  dengan mengamati teks online BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Penelitian ini, objek penelitian dilakukan terhadap dua media yaitu www.tempo.co dan www.suara-islam.com dengan mengamati teks online pemberitaaan RUU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa sebagai penyedia informasi, dewasa ini semakin. memegang peran yang penting dalam kehidupan politik.

BAB I PENDAHULUAN. Media massa sebagai penyedia informasi, dewasa ini semakin. memegang peran yang penting dalam kehidupan politik. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Media massa sebagai penyedia informasi, dewasa ini semakin memegang peran yang penting dalam kehidupan politik. Aktivitas media dalam melaporkan peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS. Skripsi

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS. Skripsi 41 PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS (Studi Analisis Framing head line Pemberitaan Kasus Korupsi Sport Center di Hambalang Pada Surat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa adalah pemilik peran penting dalam menyampaikan berbagai informasi pada masyarakat. Media komunikasi massa yaitu cetak (koran, majalah, tabloid), elektronik

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Berikut ini metode penelitian dalam penelitian ini. Metodologi penelitian meliputi (1) metode penelitian, (2) teknik pengumpulan data, (3) teknik pengolahan data, (4) sumber dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diasuh oleh lukman hakim ditabloid Posmo dalam membingkai dan

BAB III METODE PENELITIAN. diasuh oleh lukman hakim ditabloid Posmo dalam membingkai dan 42 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti, yaitu berbicara mengenai bagimana sebuah isi teks pesan dakwah konsultasi sufistik yang diasuh

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Pada bagian ini diuraikan kesimpulan, implikasi dan rekomendasi berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan. 6.1. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan dan analisa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif),

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan untuk mengurai atau menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Menurut Crasswell, beberapa

Lebih terperinci

dikomunikasikan dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dikatakan

dikomunikasikan dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dikatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari suatu pihak kepihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian Dewasa ini, media adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian Dewasa ini, media adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Dewasa ini, media adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia yang senantiasa membutuhkan informasi yang dapat memperkaya hidupnya. Media merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruksi Sosial Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Pemberitaan seputar eksekusi terpidana mati Amrozi cs 2008 telah menarik

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Pemberitaan seputar eksekusi terpidana mati Amrozi cs 2008 telah menarik BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Pemberitaan seputar eksekusi terpidana mati Amrozi cs 2008 telah menarik perhatian besar beberapa surat kabar dan menjadi berita hangat di beberapa surat kabar di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing)

BAB I PENDAHULUAN. Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing) terhadap sebuah isu atau peristiwa melalui berita atau opini yang diterbitkannya. Praktik pembingkaian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian atau metode riset adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah yang

Lebih terperinci

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis

Lebih terperinci

EPILOG (ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Analisis Framing)

EPILOG (ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Analisis Framing) EPILOG (ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Analisis Framing) oleh : Erma Restiani (056056) Galih Pratiwi (056471) Irma Yulita Silviani (057160) Rini Septiani (056411) FAKULTAS PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. terhadap teks yang terdapat pada website Komisi Penyiaran Indonesia dan. Masyarakat Ikut Awasi TV edisi 25 Maret 2014.

BAB V PENUTUP. terhadap teks yang terdapat pada website Komisi Penyiaran Indonesia dan. Masyarakat Ikut Awasi TV edisi 25 Maret 2014. BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Bab ini menjelaskan kesimpulan dari fungsi media massa sebagai medium penyebar informasi dalam mengonstruksi literasi media. Penelitian ini dilakukan terhadap teks yang terdapat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif

BAB 1 PENDAHULUAN. konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media massa berfungsi mengkonstruksi realitas yang terjadi. Bagi kaum konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Penelitian Paradigma Konstruktivisme BAB II KAJIAN PUSTAKA Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba dalam buku Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Fenomena yang dijadikan objek penelitian adalah isi editorial Hortikultura

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Fenomena yang dijadikan objek penelitian adalah isi editorial Hortikultura BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Fenomena yang dijadikan objek penelitian adalah isi editorial Hortikultura Tabloid Sinar Tani periode Januari 2013 sampai Desember 2013. Penentuan obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harinya, masyarakat mengkonsumsi media demi memenuhi kebutuhan informasi

BAB I PENDAHULUAN. harinya, masyarakat mengkonsumsi media demi memenuhi kebutuhan informasi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan informasi saat ini berkembang sangat pesat. Setiap harinya, masyarakat mengkonsumsi media demi memenuhi kebutuhan informasi mereka. Media menjadi pilihan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pesannya menggunakan media massa, pihak komunikan dalam komunikasi massa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pesannya menggunakan media massa, pihak komunikan dalam komunikasi massa BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa Komunikasi massa dalam tinjauan praktis adalah proses penyampaian pesan dari komunikator (pengirim) kepada komunikan (penerima) dengan menggunakan media massa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dari berbagai sumber, agar manusia dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. informasi dari berbagai sumber, agar manusia dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan manusia akan informasi dewasa ini menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dikesampingkan. Hal tersebut mendorong manusia untuk mencari informasi dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Deddy N. Hidayat dalam penjelasan ontologi paradigma kontruktivis, realitas merupakan konstruksi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 40). Fungsi teori dalam suatu riset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan istilah analisis bingkai merupakan salah satu bentuk alternatif dari

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan istilah analisis bingkai merupakan salah satu bentuk alternatif dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisis framing (bingkai), yang dalam penelitian ini selanjutnya menggunakan istilah analisis bingkai merupakan salah satu bentuk alternatif dari model analisis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma menurut Harmon dalam Octavia adalah cara mendasar untuk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma menurut Harmon dalam Octavia adalah cara mendasar untuk BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma menurut Harmon dalam Octavia adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian Burhan Bungin (2003:63) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan data secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS II.I MEDIA MASSA DAN KONSTRUKSI REALITAS Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman yaitu, seorang pakar sosiologi ini berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma-Paradigma Ilmu Sosial Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya

Lebih terperinci

13 ZHONGDANG PAN DAN GERALD M. KOSICKI

13 ZHONGDANG PAN DAN GERALD M. KOSICKI 13 ZHONGDANG PAN DAN GERALD M. KOSICKI KELOMPOK 12 : DEWI KUSUMA ( 056182 ) DEWI PUSPITA ( 056058 ) MOCH. AKBAR ( 056179 ) NURMAWATI D. LIANA ( 056080 ) SUCHI MAHADEWI ( 056067 ) Zhongdang Pan dan Gerald

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi

BAB III METODE PENELITIAN. oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan kritis secara ontologi berpandangan bahwa realitas yang teramati (virtual reality) merupakan realitas semu yang telah terbentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Sejak lahir, manusia telah dikutuk untuk bebas. Dalam segala hal, mereka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Sejak lahir, manusia telah dikutuk untuk bebas. Dalam segala hal, mereka 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Sejak lahir, manusia telah dikutuk untuk bebas. Dalam segala hal, mereka bebas melakukan apa yang mereka inginkan. Termasuk dalam profesi yang tengah mereka tekuni.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perusahaan harus dapat menganalisis peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dengan melihat tantangan tersebut, Perusahaan dituntut untuk mampu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang bertujuan. Setiap pernyataan padadasarnya adalah tindakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang bertujuan. Setiap pernyataan padadasarnya adalah tindakan 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Konstruktivis Komunikasi di pahami, di atur, dan dihidupkan oleh pernyataanpernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan padadasarnya adalah tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberitakan oleh mayoritas media mainstream (arus utama) memberitakannya

BAB I PENDAHULUAN. diberitakan oleh mayoritas media mainstream (arus utama) memberitakannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Pada hari raya Idul Fitri beberapa pekan yang lalu telah terjadi kerusuhan berbau SARA di Papua. Sebagaimana telah diketahui bahwa sekelompok orang membuat kekacauan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kerangka Konseptual 2.1.1 Pengertian Media Online Pengertian media online secara khusus adalah media yang menyajikan karya jurnalistik (berita, artikel,

Lebih terperinci

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SIMULATOR SIM SKRIPSI

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SIMULATOR SIM SKRIPSI PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SIMULATOR SIM (Analisis Framing Berita Tentang Kasus Korupsi Simulator SIM Yang Melibatkan Djoko Susilo Pada Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas Edisi Desember 2012

Lebih terperinci