KEKERASAN SEKSUAL. fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan seksual.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEKERASAN SEKSUAL. fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan seksual."

Transkripsi

1 KEKERASAN SEKSUAL Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. 1 Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil. Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan, atau kasus dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ( ). Artinya setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentang pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR). Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1) 1 Kekerasan seksual dapat dilakukan dan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam naskah ini, karena fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan seksual. 2

2 Grafik 1 Jumlah kekerasan umum berbanding dengan kekerasan seksual Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Pandangan bahwa kekerasan seksual hanya sebagai kejatahan kesusilaan juga tidak terlepas dari ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap tidak suci atau tidak bermoral. Sikap korban membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat sekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan moralitas 3

3 menyebabkan korban membungkam dan korban justru disalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang dialami korban dimaknai sebagai aib, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan. Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat. Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai barang yang rusak akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan Peristiwa kekerasan seksual seringkali juga direkatkan pada penilaian tentang jejak moralitas perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai dengan iming-iming pelaku. Menyimak berbagai pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan dan dalam rangka mendekatkan korban akan rasa adil, maka sudah saatnya kekerasan seksual terhadap perempuan dimaknai sebagai: 2 sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis gender, tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik Sejumlah situasi dimana terdapat ketimpangan relasi yang tegas akan meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual. Misalnya saja masyarakat yang diatur dalam sistem pemerintahan yang otoriter dan mengagungkan militerisme. Dalam sistem ini, pelanggaran terhadap hak asasi manusia biasa terjadi, dan kekerasan seksual bagian tidak terpisahkan dari berbagai tindak pelanggaran HAM tersebut. Konteks konflik, terutama konflik bersenjata, juga meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual, khususnya perkosaan, penyiksaan seksual dan eksploitasi seksual. Situasi pengungsian pasca konflik maupun bencana juga menimbulkan kerentanan khusus bagi perempuan akibat fasilitas barak pengungsian yang tidak dapat dikunci, ketiadaan fasilitas penerangan, dan kondisi barak yang tidak bersekat. Demikian pula situasi dalam tahanan atau serupa tahanan, seperti yang dialami oleh para pekerja yang disekap oleh majikannya. 2 Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus

4 Ranah Kekerasan Seksual Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan kapanpun. Data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan seksual terjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara seperti ditunjukkan pada grafik 2. Jumlah paling tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾ dari total kekerasan seksual. Di ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembaga-lembaga yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta meningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu. Pada saat bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan dan bahwa perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki. Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik, yaitu kasus. Di ranah publik berarti kasus dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya mencapai kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negara dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut. Grafik 2 Jumlah Kekerasan Seksual Berdasarkan Ranah 5

5 Mengenali Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual: Selama 13 tahun perjalanan Komnas Perempuan melakukan pendokumentasian pengalaman perempuan terhadap kekerasan, Komnas Perempuan mengenali 14 bentuk kekerasan seksual. Keempat belas jenis kekerasan seksual tersebut adalah (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Seruan ini menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain di tahun 2012 dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan, yaitu (15) pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi. Dokumentasi Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa dari total kasus kekerasan seksual yaitu kasus, kurang dari 10 persen saja kasus kekerasan seksual yang terpilah, yaitu kasus. Sisanya sebanyak kasus adalah gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Sementara tiga jenis kekerasan seksual meliputi prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan seperti halnya sunat perempuan, meski ditemukan di dalam berbagai dokumentasi Komnas Perempuan namun tidak memiliki angka yang pasti. Grafik 3 Jumlah Kasus Kekerasan Seksual Berdasarkan Jenis, Data terpilah Pada grafik 3 terlihat bahwa lebih dari 50 persen kasus kekekerasan seksual adalah perkosaan. Selanjutnya disusul perdagangan perempuan untuk tujuan seksual sebesar 15 persen, pelecehan seksual 12 persen. Sisanya secara berturut kurang dari 10 persen seperti nampak dalam gambar yaitu penyiksaan seksual, ekspolitasi seksual, perbudakan seksual, Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan adalah, 6

6 Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan. Kompleksitas persoalan kekerasan seksual menuntut kita untuk selalu mengasah kepekaan untuk mengenali dan memahami masing-masing jenis kekerasan seksual. Pemahaman yang dimaksud bukan hanya atas elemen-elemen dari tindak kekerasan seksual itu, tetapi juga atas dampaknya bagi perempuan korban. Hanya dengan mengenali kekerasan seksual secara seksama dan utuh, kita dapat ikut mencegah dan menangani kekerasan seksual. Namun demikian dalam tulisan ini baru satu jenis kekerasan seksual yaitu perkosaan yang akan dibahas secara lengkap. Pilihan atas perkosaan lebih karena angkanya yang paling tinggi. Selain itu berdasarkan pengalaman lembaga pengada layanan, perkosaan merupakan salah satu jenis kekerasan seksual yang sering mereka tangani. Penanganan terhadap kasus perkosaan juga dianggap rumit, baik karena perangkat hukum tentangnya belum komprehensif dan tidak berpihak pada korban, budaya hukum yang juga belum baik, atau karena budaya masyarakat yang tidak mendukung korban untuk memperoleh kebenaran, keadilan dan pemulihan. 7

7 PERKOSAAN Secara umum, perkosaan seringkali dimaknai dalam konteks yang sempit, yaitu sebagai sebuah tindak pemaksaan hubungan seksual oleh laki-laki terhadap perempuan. Dengan pengertian ini, maka perkosaan hanya mencakup penetrasi penis ke vagina. Padahal berdasarkan pengalaman korban, perkosaan dilakukan bahkan dengan menggunakan jari atau benda-benda tumpul lainnya. Tindakan perkosaan juga seringkali disangkal sebagai perkosaan karena pada diri korban tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya perlawanan, atau tidak ditemukan bukti adanya pemaksaan oleh pelaku. Padahal dalam banyak kasus, tindakan perkosaan terjadi dalam kondisi dimana korban berada di bawah ancaman yang tidak memberikannya pilihan lain selain menuruti kehendak pelaku. Alih-alih mendapat dukungan, perempuan korban justru dituduh sebagai perempuan gampangan dan memprovokasi terjadinya tindakan perkosaan itu. Dalam kasus di mana terdapat relasi perkawianan antara korban dan pelaku akan semakin sulit. Hal ini karena pandangan umum bahwa tidak mungkin seorang suami memerkosa istrinya, karena memang sudah seharusnya ia melayani suami. Sementara dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan perkosaan dalam perkawinan terjadi. Jumlahnya memang tidak banyak, yaitu 11 kasus. Namun Komnas Perempuan meyakini jumlah tersebut bisa lebih banyak jika faktor-faktor seperti korban mau dan berani melaporkan kasusnya, akses pada lembaga layanan lebih mudah dan adanya dukungan dari keluarga, komunitas dan masyarakat bagi korban. Berdasarkan pengalaman para korban perkosaan itulah dan dalam perkembangan pemikiran hukum yang memusatkan perhatian pada rasa adil korban, maka pemaknaan perkosaan dikembangkan sesuai dengan pengalaman korban. Dengan demikian, perkosaan dimaknai sebagai 3 : Serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya 3 Ibid., 8

8 Mengapa Perkosaan Terjadi? Saya takut hamil dan takut dianggap perempuan bukan baik-baik, tidak bisa menjaga kehormatan diri. Apalagi setelah peristiwa perkosaan itu, pelaku mengancam akan menyebarluaskan kepada temanteman sekolah kalau saya sudah tidak perawan jika tidak mau mengikuti semua keinginannya, termasuk berhubungan seksual. Saya masih ingin sekolah. Saya tidak punya pilihan lain. Pelaku memanfaatkan situasi ini dan terus menerus memerkosa saya. [Korban Perkosaan, 14 th,] Di banyak masyarakat, relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan telah berlangsung lama. Dalam situasi ini, perempuan kerap diposisikan sebagai objek seksual, objek pengaturan, dan objek ekspresi kuasa oleh laki-laki. Perkosaan adalah ejah-wantah atau manifestasi dari relasi kuasa yang timpang itu. Di dalam konteks ini, karenanya, perkosaan dilakukan tidak sekedar untuk mendapatkan kepuasan seksual. Perkosaan juga dilakukan untuk melukai, mempermalukan, merendahkan, dan menguasai korban. Dalam konteks konflik perkosaan juga dapat menjadi alat menaklukkan, menghukum atau memperoleh informasi dari korban, selain juga digunakan sebagai alat teror untuk menakuti dan melemahkan pihak lawan. Dalam masyarakat yang patriarkhi perempuan dianggap sebagai mahluk yang lemah. Ketika satu kelompok yang bertikai berhasil menguasai dan menaklukkan perempuan bisa diartikan bahwa pihak lainnya tidak mampu melindungi kaum yang lemah sekalipun. Dengan demikian mereka juga dianggap tidak bisa melindungi seluruh komunitasnya. Ini merupakan cara atau strategi untuk melemahkan lawan. Seperti disampaikan di atas bahwa perkosaan adalah manisfestasi relasi kuasa, maka selama relasi kuasa yang timpang dipertahankan, selama itu pula perkosaan bisa dan terus berlangsung. Kondisi ini diperburuk bila proses pencarian keadilan oleh korban justru berhadapan dengan kebuntuan hukum maupun sikap masyarakat yang menyalahkan korban sehingga korban memilih untuk bungkam. Dalam situasi ini, pelaku menjadi semakin tidak segan untuk melakukan perkosaan karena bisa lolos dari tanggung jawab atas tindakannya itu. Kapan dan Dimana Perkosaan Terjadi? Perkosaan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja- dalam masyarakat yang sedang berhadapan dengan situasi konflik maupun dalam situasi damai atau normal. Temuan pemantauan Komnas Perempuan dan laporan dari berbagai organisasi pendamping perempuan korban menunjukkan bahwa pelaku perkosaan bisa saja dari orang-orang terdekat korban, misalnya suami, ayah, paman, saudara laki-laki, pacar, tetangga, guru, majikan, tokoh masyarakat, dan pejabat publik. Ada pula kasus-kasus dimana pelaku perkosaan adalah aparat negara yang tidak memiliki relasi personal dengan korban. Artinya, perkosaan itu dapat terjadi di dalam keluarga, di tempat kerja, di tengah-tengah masyarakat, dan di ranah negara. 9

9 Data Komnas Perempuan dari menunjukkan bahwa perkosaan adalah jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, mencapai lebih dari 50 persen dari seluruh kasus yang didokumentasikan atau kasus. Namun demikian tidak ada data pasti berapa jumlah perkosaan disetiap ranah. Hal ini lebih dikarenakan terbatasnya informasi yang kami terima mengenainya. Meski tidak ada data pasti, namun jika dilihat dari catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan bahwa kekerasana seksual paling banyak terjadi di ranah personal, dan perkosaan adalah kasus yang paling banyak dilaporkan. Hak Konstitusional yang Dirampas Perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti tertuang dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Secara khusus perkosaan merampas hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1). Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya perkosaan terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)). Akibat dari perkosaan itu, perempuan korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A). Banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan. Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari TIndak Kekerasan Seksual Nasional 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, , 290, UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7) 4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88 Internasional Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68 Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan Desember 1993 Deklarasi Wina Tahun

10 Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum dan politik. Keempat faktor ini saling kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkat personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma mendalam akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya. Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep AIB juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang aib seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempuan korban menikahi pelakunya. Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. 4 Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu. Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa tiadanya 4 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal

11 perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi). Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya. Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban perkosaan pada proses mencari keadilan dan pemulihan adalah faktor politik. Dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara negara. Hal ini karena kasus kekerasan tersebut melibatkan aparat negara sebagai pelaku kekerasan dan terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan negara yang memungkinkan kekerasan tersebut terjadi dan terus berulang. Dalam konteks Tragedi Mei 1998, misalnya, sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat etnis Tionghoa, dan pada kontroversi tentang ada tidaknya perkosaan pada rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan korban semakin enggan untuk mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi 1965 dan Timor Leste, misalnya, sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus mendua dan membiarkan korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus menunggu tanpa batas waktu kapan proses keadilan akan diawali dengan sungguh-sungguh. Langkah Kita: Kenali dan Tangani Perkosaan Menghindari Perkosaan 1. Selalu bersikap waspada. Sikap ini bisa ditunjukkan misalnya: a. Jika memilih menggunakan taksi sebisa mungkin menggunakan layanan jemput misalnya dari kantor, hotel, pusat perbelajaan dan sebagainya. Dengan layanan ini perusahaan taksi akan mencatat peredaran taksinya, sementara kantor/hotel/atau pusat perbelanjaan juga akan mencatat identitas taksi b. Tulis identitas taksi meliputi nama taksi, pengemudi, no identitas dan no pintu, dan segera kirim pada orang terdekat. Atau c. Segera telpon orang terdekat dan informasikan identitas taksi. Menginformasikan dengan cara ini memungkinkan didengar langsung oleh pengemudi taksi, dan ini bisa membantu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan d. Jika memilih bus atau angkot umum segera turun jika merasa ada hal yang aneh dan mencurigakan e. Jika memilih ojek dan memungkinkan, pilihlah yang anda kenal atau ojek langganan. Jangan lupa minta no hp jika ada, juga catat no kendaraan 2. Membekali diri dengan keterampilan bela diri bisa menjadi cara untuk menangkis perkosaan 3. Melakukan perlawanan, seperti berteriak, memukul, menendang, lari dan lain-lain jika ada kesempatan 4. Jika ada kesempatan pukul sekeras-kerasnya pada alat reproduksi laki-laki 5. Waspada terhadap sekeliling dan orang-orang yang belum dikenal 6. Bangun pemahaman tentang perkosaan. Pemahaman akan perkosaan baik itu definisi, bentuk, motif dan cara-cara yang biasa digunakan pelaku bisa membantu 12

12 menghindari perkosaan. Pengetahuan tentang dampak perkosaan juga membantu seseorang dalam mengambil sikap ketika mengalaminya. Jika Anda Korban 1. Jangan menyalahkan diri sendiri terhadap perkosaan yang anda alami. Bangun keyakinan bahwa pelakulah yang bersalah. Dengan demikian anda akan memiliki kekuatan untuk menghadapi dan mengambil pilihan tepat penyelesaian kasus 2. Jangan langsung membersihkan anggota badan atau mandi karena hal ini akan menghilangkan bukti utama berupa jejak sperma pelaku. 3. Kumpulkan benda-benda yang bisa dijadikan bukti, pakaian yang dikenakan pada saat kejadian, atau benda-benda pelaku yang mungkin tertinggal. Ingat jangan menyentuh alat-alat bukti dengan tangan. Gunakan plastik atau benda lain yang tidak menghilangkan sidik jari pelaku. 4. Segera melapor ke pihak berwajib terdekat. Secara resmi setiap korban perkosaan harus melapor ke polisi. Polisi akan memberikan Surat Permintaan Visum et Repertum atau surat dari polisi yang meminta dokter memeriksa tubuh korban 5. Jika korban memilih langsung ke layanan kesehatan, maka pihak kepolisian bisa didatangkan ke layanan kesehatan tersebut atau 6. Segera ke lembaga layanan terdekat. Perlu diketahui sperma akan berada dalam vagina 4-5 jam. Namun masih bisa ditemukan disekitar antara jam. 7. Cari dukungan baik teman, orang terdekat, pendamping, atau lembaga pengadalayanan yang dipercaya. Ceritakan apa yang telah terjadi. Ini penting jika sewaktu-waktu korban mengalami sakit, trauma dan sebagainya. Orang yang diajak bisa membantu dalam proses peradilan. Jika Anda tahu, Jika Anda Saksi 1. Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya perkosaan. Segera laporkan pada pihak berwajib. 2. Jangan menyalahkan korban. Dukung ia dalam segala keputusan yang diambil mengenai perkosaan yang dialaminya dan jangan menghakimi jika korban tidak mau melapor kepada pihak berwajib. 3. Segera bawa ke tenaga medis untuk mendapatkan visum. Tidak semua rumah sakit bisa mengeluarkan visum. Diantara rumah sakit yang diakui adalah RSCM, Rumah Sakit Polri, atau Rumah Sakit Daerah yang ditunjuk, rumah sakit yang bekerjasama dengan P2TP2A, atau yang ditunjuk oleh kepolisian. 4. Segera mencari organisasi layanan untuk pendampingan kasus, baik secara psykologi maupun hukum. 5. Mendengarkan cerita korban, dan catat dengan baik apa yang disampaikan korban. Hal ini akan bermanfaat jika korban mengalami kondisi tertentu. 6. Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan lembagalembaga yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun masukan bagi upaya pencarian keadilan dan pemulihan 7. Berikan informasi tentang perkosaan seksual kepada anggota keluarga, teman, tetangga, teman sekerja atau lainnya. 8. Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban. 9. Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan perempuan korban kekerasan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum. 10. Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan dengan mengumpulkan informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi di 13

13 sekelilingmu, memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam penggalangan dana bagi penanganan korban. 14 JENIS KEKERASAN SEKSUAL LAINNYA Berikut adalah definisi dari keempat belas jenis kekerasan seksual lainnya: 1. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya Pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan Penyiksaan seksual adalah perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya atau orang ketiga, dan untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik Eksploitasi Seksual merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari 5 Disadur dari definisi dalam Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 6 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso , Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yang dikembangkan Rifka Annisa Women s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, Bagai Mengurai Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan, Komnas Perempuan,2010, hal. 9 7 Merujuk pada definisi penyiksaan sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 1. 14

14 eksploitasi seksual terhadap orang lain. 8 Termasuk di dalamnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, yang kerap disebut oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan sebagai kasus ingkar janji. Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. 5. Perbudakan Seksual adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya 9 6. Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan adalah tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, , dan lain-lain Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk di dalamnya adalah kekerasan yang timbul akibat aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. 8. Pemaksaan Aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. 12 Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan. 10. Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung adalah situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain 8 Buletin sekjen PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual, St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan, op.cit., hal Dirumuskan dari pengertian penyiksaan seksual dalam Pasal 7(2)(c) Statuta Roma 10 Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan, Komnas Perempuan, op.cit. Komnas Perempuan 2009, hal Lihat penjelasan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia 15

15 kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya. Pemaksaan perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah dengan orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan talak tiga (atau dikenal dengan praktik Kawin Cina Buta ) dan situasi dimana perempuan terikat dalam perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan karena berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Tidak termasuk dalam penghitungan jumlah kasus, sekalipun merupakan praktik kawin paksa, adalah tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku perkosaan terhadap dirinya. 11. Prostitusi Paksa merujuk pada situasi dimana perempuan dikondisikan dengan tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual Pemaksaan kehamilan yaitu ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya akibat perkosaan tersebut. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya 13. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan Pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi, yaitu pemaksaan penggunaan alat-alat kontrasepsi bagi perempuan untuk mencegah reproduksi, atau pemaksaan penuh organ seksual perempuan untuk berhenti bereproduksi sama sekali, sehingga merebut hak seksualitas perempuan serta reproduksinya. Persoalan ini sebelumnya pernah diangkat kelompok perempuan pada masa Orde Baru, yang ditengarai merupakan akibat dari wacana penurunan laju pertambahan penduduk sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Kali ini, persoalan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi diangkat oleh perempuan dengan disabilitas dan perempuan dengan HIV/AIDS. Mereka melaporkan bahwa pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi kerap ditolerir karena 13 Diambil dari berbagai sumber 14 Ibid., 16

16 dianggap bisa mencegah kehamilan yang tidak diinginkan oleh pihak lain di kedua kelompok ini, tanpa memberikan informasi dan kesempatan kepada mereka untuk dapat memilih sendiri keputusan terkait dengan hak reproduksi yang mereka miliki. Praktik terbaik Penanganan Kasus Perkosaan Seorang gadis (H) berusia 15 tahun, masih bersekolah di salah satu SLTP negeri di Kabupaten Maluku Tengah diperkosa oleh gurunya. H adalah gadis ke-20 yang mengalami perkosaan dari pelaku. Pelaku mengancam agar H diam, tidak menceritakan pada siapapun jika masih ingin hidup dan lulus sekolah. Setelah kejadian itu H menjadi murung dan menarik diri dari temantemannya. Seorang teman sekelasnya menemukan catatan H yang menceritakan kejadian perkosaan itu. Kemudian ia melaporkannya kepada orang tua H. Mendengar informasi tesebut orang tua H menyalahkannya. Bahkan ibu H ingin membunuhnya karena dianggap merusak kehormatan keluarga. Peristiwa ini dilaporkan kepada polsek setempat. Pelaku ditangkap karena hasil visum menunjukkan bahwa terjadi perkosaan dan didukung oleh saksi. Di dalam tahanan polisi, pelaku ternyata bebas keluar masuk. Hal ini dikarenakan ia memiliki kedekatan dengan Wakil Kepala Kepolisian Sektor (Wakapolsek). Alih-alih berkas perkara sampai ke Kejaksaan, pelaku justru melarikan diri dengan bantuan Wakapolsek. Dalam perjalanannya, kasus ini juga akan diberhentikan penyelindikannya (SP3) dengan alasan pelaku masuk dalam Daftar Pencarian Orang. Padahal SP3 hanya boleh dilakukan jika penyidikan tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tidak pidana. Melihat kasus di atas LAPPAN sebagai organisasi yang mendampingi kasus tersebut melihat adanya kejanggalan dalam proses hukum tersebut. LAPPAN melihat fakta hukum sudah jelas, bukti sudah lengkap, saksi juga ada. Oleh karenanya, LAPPAN mengajukan surat permohonan kepada pihak Profesi dan Pengamanan (ProPam) Polda Maluku untuk melakukan investigasi terhadap kasus tersebut. Hasil dari investigasi tersebut menunjukkan bahwa Polsek tidak serius dalam menangani kasus perkosaan itu. Tindak lanjut dari hasil investigasi adalah Kapolsek dan Wakapolsek yang menangani kasus tersebut dipindahkan. Sementara pengganti Kapolsek yang baru diberi tugas untuk menangkap pelaku dan adili. Pengadilan memutus pelaku dengan hukuman lima tahun penjara, padahal jaksa menuntutnya dengan hukuman 12 tahun penjara. Meskipun putusan tersebut dianggap belum adil baik oleh korban maupun keluarga, namun yang lebih penting dari semua itu adalah masa depan korban. Atas dukungan keluarga, LAPPAN mulai membangun pemahaman kepada pihak sekolah tentang kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Upaya tersebut membuahkan hasil, karena segenap guru menerima kembali korban sebagai siswa di sekolah itu. Saat ini korban telah menempuh studi di salah satu Perguruan Tinggi di Ambon. 17

KEKERASAN SEKSUAL: KENALI&TANGANI

KEKERASAN SEKSUAL: KENALI&TANGANI KEKERASAN SEKSUAL: KENALI&TANGANI Hasil dokumentasi Komnas Perempuan sejak tahun 1998 hingga 2010 menunjukkan bahwa hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau

Lebih terperinci

Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan 1 Desain oleh Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan Bentuk 1 Desain oleh : Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

j K ika amu korban Perkosaan

j K ika amu korban Perkosaan j K ika amu korban Perkosaan 1 Desain oleh : Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Perkosaan Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai peniske arah vagina,

Lebih terperinci

Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal*

Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal* Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal* Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender

Lebih terperinci

@mappifhui mappifhui.org

@mappifhui mappifhui.org @mappifhui @mappifhui @mappifhui mappifhui.org 2016 Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita #1 Apa itu Kekerasan Seksual? Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat

Lebih terperinci

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS Di dunia ini Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan status sosial yang berbeda dalam masyarakat mereka, dan Komisi diharuskan untuk memahami bagaimana hal ini berpengaruh

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA Peluncuran Laman Pengaduan Kekerasan Seksual

LEMBAR FAKTA Peluncuran Laman Pengaduan Kekerasan Seksual LEMBAR FAKTA Peluncuran Laman Pengaduan Kekerasan Seksual Perluas Akses Pelaporan Korban untuk Perkuat Daya Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Jakarta, 6 Desember 2013 A. Tentang website atau

Lebih terperinci

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017 Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid 14-15 November 2017 Kondisi kekerasan seksual di Indonesia Kasus kekerasan terhadap perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau

Lebih terperinci

KEJAHATAN SEKSUAL Lindungi Hak Korban. Masruchah Komnas Perempuan 11 Januari 2012

KEJAHATAN SEKSUAL Lindungi Hak Korban. Masruchah Komnas Perempuan 11 Januari 2012 KEJAHATAN SEKSUAL Lindungi Hak Korban Masruchah Komnas Perempuan 11 Januari 2012 KOMNAS PEREMPUAN Mei 1998 : kerusuhan dibeberapa kota besar, dengan berbagai bentuk kekerasan Kekerasan seksual menjadi

Lebih terperinci

Pendapat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

Pendapat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Pendapat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor Tahun... Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pendahuluan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Pendahuluan Tahun 2015 ini dapat dikatakan menjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

"Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR"

Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR "Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR" oleh: Asnifriyanti Damanik, SH. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrintinasi

Lebih terperinci

Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016

Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016 Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016 Sanggar Suara Perempuan Jln. Beringin No.1, Kesetnana SoE, TTS-NTT Telp/Fax : 0388-21889 Email : ssp.okomama@yahoo.co.id www.sanggarsuaraperempuan.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia diawali dan pergerakan kaum perempuan

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? RUU Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN B U K U S A K U B A G I ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Penyusun Desainer : Tim ACILS dan ICMC : Marlyne S Sihombing Dicetak oleh : MAGENTA FINE PRINTING Dikembangkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M. Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya

Lebih terperinci

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Wahyu Ernaningsih Abstrak: Kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak menimpa perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual 2 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Apa perbedaan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ()? Sesuai dengan namanya, tentu saja hanya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Jenis Kasus : A. LEMBAR FAKTA Kekerasan terhadap Perempuan di wilayah konflik Kekerasan dalam Rumah Tangga Lain-lain : 2. Deskripsi Kasus : 1 3. Identitas Korban : a. Nama : b. Tempat lahir : c. Tanggal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KOTA PARIAMAN, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gencarnya pembangunan yang dilakukan oleh negara pada hakikatnya memberikan dampak buruk kepada perempuan. Maraknya kasus-kasus yang terjadi terhadap perempuan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali terjadi ketidakharmonisan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang sering berujung pada kekerasan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA Training HAM Lanjutan Bagi Tenaga Pendidik Akpol Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Vulnerable Groups) Hotel Horison Semarang, 15-17 Januari 2014 MAKALAH PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam keluarga, manusia belajar

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN Daftar isi TERLANGGARNYA HAK PEREMPUAN ATAS RASA AMAN Hasil Pemantauan Hak Perempuan atas Rasa Aman di Transportasi Publik hal : 1 LATAR BELAKANG 3 TEMUAN PEMANTAUAN PEREMPUAN 7 KETIDAKMAMPUAN NEGARA MENJAMIN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan, penganiayaan, pemerasan dan perkosaan atau tindakan yang membuat seseorang merasa kesakitan baik secara

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA 1 BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA A. Sejarah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK:

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: 1 The Regional Support Office of the Bali Process (RSO) dibentuk untuk mendukung dan memperkuat kerja sama regional penanganan migrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan pelanggaran kondisi kemanusiaan yang tidak pernah tidak menarik untuk dikaji. Menurut Mansour Fakih (2004:17) kekerasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO Salinan PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004) BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004) A. Landasan Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004 Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang R.I.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK, SALINAN BUPATI DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama

Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan Secara umum kekerasan identik dengan pengerusakan dan menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Namun jika kita pilah kedalam jenis kekerasan itu sendiri, nampaknya

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPTEN LUMAJANG NOMOR 48 TAHUN 2007 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN LUMAJANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2015 No.15,2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Kesejahteraan Keluarga, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Bantul. Perubahan, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul, Perlindungan,

Lebih terperinci

PENTING! RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENTING! RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENTING! DRAFT RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DIBAWAH INI, SESUAI DENGAN PROGRES KEMAJUAN SAMPAI DENGAN 1 SEPTEMBER 2015, DAN DIPUBLIKASIKAN UNTUK MEMENUHI KEINGINTAHUAN DAN MENDAPAT RESPON, REKOMENDASI

Lebih terperinci