KEKERASAN SEKSUAL: KENALI&TANGANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEKERASAN SEKSUAL: KENALI&TANGANI"

Transkripsi

1 KEKERASAN SEKSUAL: KENALI&TANGANI Hasil dokumentasi Komnas Perempuan sejak tahun 1998 hingga 2010 menunjukkan bahwa hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau ada kasus kekerasan seksual dari total kasus kekerasan terhadap perempuan. Hasil dokumentasi yang dimaksud adalah berasal dari CATAHU, yaitu catatan tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan tentang tren pelaporan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, hasil pemantauan Komnas Perempuan tentang pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR). Diagram 1 Jumlah Kekerasan Seksual berdasarkan Ranah, Total: Kasus Sebagaimana ditunjukkan dalam diagram 1, kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja. Lebih dua pertiga dari kasus kekerasan seksual terjadi di dalam ranah personal, artinya dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembaga-lembaga yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta meningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu. Pada saat bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan dan bahwa perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki. Jumlah kedua tertinggi adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik, artinya kasus-kasus dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. 1

2 Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Inilah yang dimaksudkan sebagai ranah negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut. Memahami Kekerasan Seksual. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1) Meskipun kekerasan seksual kerap ditemukan di tengah masyarakat, tidak banyak pihak yang memahami dan peka terhadap persoalan kekerasan seksual. Apalagi, untuk ikut serta dalam menangani kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. 1 Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakatwarga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil. Di dalam ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan, perempuan diposisikan sebagai marka atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali kita mendengar pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap tidak suci atau tidak bermoral. Sikap korban membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat sekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu-isu 1 Kekerasan seksual dapat dilakukan dan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam naskah ini, karena fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan seksual. 2

3 kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual, khususnya perkosaan dan penyiksaan seksual, dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Di sisi lain, peristiwa kekerasan seksual seringkali justru direkatkan pada penilaian tentang jejak moralitas perempuan korban. Perempuan korban justru dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai dengan iming-iming pelaku. Tuduhan ini misalnya diarahkan pada korban perkosaan yang tidak menampakkan tanda-tanda kekerasan fisik lainnya, perempuan korban yang bertahun-tahun tinggal bersama pelaku, atau korban yang ditinggal pergi setelah melakukan hubungan seksual karena dijanjikan akan dinikahi. Kalau bukan ke perempuan korban, tuduhan itu diarahkan kepada perempuan lain yang dianggap menyebabkan pelaku melampiaskan keinginan seksualnya kepada korban. Anggapan ini kental tampak, misalnya, dalam pernyataan bahwa pornografi (dan pornoaksi) adalah pemicu tindak perkosaan. Menyimak berbagai pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan dan dalam rangka mendekatkan korban akan rasa adil, maka sudah saatnya kekerasan seksual terhadap perempuan dimaknai sebagai: 2 sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis jender, tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik Sejumlah situasi dimana terdapat ketimpangan relasi yang tegas akan meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual. Misalnya saja masyarakat yang diatur dalam sistem pemerintahan yang otoriter dan mengagungkan militerisme. Dalam sistem ini, pelanggaran terhadap hak asasi manusia biasa terjadi, dan kekerasan seksual bagian tidak terpisahkan dari berbagai tindak pelanggaran HAM tersebut. Konteks konflik, terutama konflik bersenjata, juga meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual, khususnya perkosaan, penyiksaan seksual dan eksploitasi seksual. Situasi pengungsian pasca konflik maupun bencana juga menimbulkan kerentanan khusus bagi perempuan akibat fasilitas barak pengungsian yang tidak dapat dikunci, ketiadaan fasilitas penerangan, dan kondisi barak yang tidak bersekat. Demikian pula situasi dalam tahanan atau serupa tahanan, seperti yang dialami oleh para pekerja yang disekap oleh majikannya. 2 Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. OHCHR, 3

4 Tindak kekerasan seksual tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik, psikis dan seksual bagi perempuan korban, melainkan juga berdampak sosial. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan wacana moralitas menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan moralitas menyebabkan korban membungkam dan korban justru disalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang dialami korban dimaknai sebagai aib, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan. Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat. Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai barang yang rusak akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan. Mengenali 11 Jenis Kekerasan seksual. Dari data-data yang dihimpun Komnas Perempuan sejak 1998 hingga 2010 dan dengan merujuk pada berbagai dokumen tentang kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan mengenali sebelas jenis kekerasan seksual yang dialami perempuan Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 1. Perlu dicatat bahwa hanya kurang dari 10% dari kasus kekerasan seksual itu yang didokumentasikan secara terpilah. Sebanyak kasus adalah gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Dari data terpilah, lima jenis kekerasan seksual terbanyak adalah perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, dan eksploitasi seksual. Tabel 1 Jumlah Kasus Kekerasan Seksual Berdasarkan Jenis, Data terpilah Jenis Perkosaan Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual Pelecehan seksual Penyiksaan seksual Eksploitasi seksual Perbudakan seksual Intimidasi /serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama Pemaksaan aborsi Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan cerai gantung Total data terpilah Jumlah kasus kasus kasus 672 kasus 342 kasus 258 kasus 109 kasus 108 kasus 17 kasus 15 kasus 6 kasus kasus Perkosaan adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda 4

5 lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 3 Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. 4 Pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan ucapan bernuansa seksual dan mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, merendahkan martabat seseorang, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 5 Penyiksaan seksual adalah perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya atau orang ketiga, dan untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. 6 Eksploitasi Seksual merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari eksploitasi seksual terhadap orang lain. 7 Termasuk di dalamnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, yang kerap disebut oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan sebagai kasus ingkar janji. Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. 3 Ibid., 4 Disadur dari definisi perdagangan orang yang diadopsi dalam Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Komnas Perempuan. Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso , 2009, hal Merujuk pada definisi penyiksaan sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 1. 7 Buletin sekjen PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual, St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso , 2009, hal. 46 5

6 Perbudakan Seksual adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya 8 Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan adalah tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, , dan lain-lain 9 Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Pemaksaan Aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. 10 Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. 11 Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan. Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung adalah situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya. Pemaksaan perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah dengan orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan talak tiga (atau dikenal dengan praktik Kawin Cina Buta ) dan situasi dimana perempuan terikat dalam perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan karena berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Tidak termasuk dalam penghitungan jumlah kasus, sekalipun merupakan praktik kawin paksa, adalah tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku perkosaan terhadap dirinya. Kesebelas jenis kekerasan seksual ini bukanlah sebuah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Pemahaman pada masing-masing jenis kekerasan seksual ini pun masih perlu didalami mengingat kekhasan kekerasan seksual terhadap perempuan. Pemahaman yang dimaksud bukan hanya atas elemen-elemen dari tindak kekerasan seksual itu, tetapi juga atas 8 Dirumuskan dari pengertian penyiksaan seksual dalam Pasal 7(2)(c) Statuta Roma 9 Dikutip dari buku Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan, Pelapor Khusus Komnas Perempuan Untuk Poso hal Lihat penjelasan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia 6

7 dampaknya bagi perempuan korban. Hanya dengan mengenali kekerasan seksual secara seksama dan utuh, kita dapat ikut mencegah dan menangani kekerasan seksual. Hak Konstitusional yang Dirampas. Kekerasan seksual, dan kekerasan lainnya terhadap perempuan, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Secara khusus, tindak kekerasan seksual merampas hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1). Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya kekerasan seksual terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)). Akibat dari kekerasan seksual itu, perempuan korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A). Banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan. Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari TIndak Kekerasan Seksual. Bahwa kekerasan seksual menyebabkan perampasan pada sejumlah hak warga negara menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganannya adalah mandat konstitusional. Negara adalah pihak utama yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak konstitusional itu. Mandat pemenuhan hak-hak tersebut juga telah ditegaskan dan diterjemahkan dalam berbagai landasan hukum, di antaranya: o Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Cedaw) o Undang-Undang No.5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia o Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga o Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294; o Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum o Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang o Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 6 tentang syarat-syarat perkawinan Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan. Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum dan politik. 7

8 Keempat faktor ini saling kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkat personal, perempuan korban kekerasan bisa menderita trauma mendalam akibat kekerasan seksual yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya. Faktor sosial budaya telah disampaikan sebelumnya. Konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep AIB juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma. Perempuan korban, khususnya perkosaan, dianggap bernasib sial karena harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang aib seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempuan korban menikahi pelakunya. Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Misalnya saja tentang perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. 12 Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi yang sempit atas tindak kekerasan seksual itu. Belum lagi, ada kebijakan-kebijakan negara yang justru memicu kekerasan terhadap perempuan, yaitu terutama melalui kebijakankebijakan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Persoalan lain yang seringkali dimunculkan oleh korban adalah tersedia tidaknya perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya. o 12 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294 8

9 Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban kekerasan seksual pada proses mencari keadilan dan pemulihan adalah faktor politik. Pada kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara negara. Kasus-kasus kekerasan tersebut melibatkan aparat negara sebagai pelaku kekerasan dan terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan negara yang memungkinkan kekerasan tersebut terjadi dan terus berulang. Dalam konteks Tragedi Mei 1998, misalnya, sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat etnis Tionghoa, dan pada kontroversi tentang ada tidaknya perkosaan pada rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan korban semakin enggan untuk mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi 1965 dan Timor Leste, misalnya, sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus mendua dan membiarkan korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus menunggu tanpa batas waktu kapan proses keadilan akan diawali dengan sungguh-sungguh. 9

10 Langkah Kita: Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual /. Kompleksitas persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan mendasari Komnas Perempuan menjadikan Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual sebagai tema dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP). Kampanye ini dilangsungkan setiap tahunnya sejak tanggal 25 November yang diperingati sebagai hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Selama lima tahun ke depan, sejak 2010 hingga 2014, Komnas Perempuan mendedikasikan K16HAKTP untuk terus membangun pemahaman publik tentang kekerasan seksual sambil mengajak setiap anggota masyarakat untuk ikut aktif dalam menangani kekerasan seksual. Karena kekerasan seksual kerap direkatkan dengan persoalan moralitas, peran serta masyarakat dalam upaya perempuan korban memperoleh keadilan dan pemulihan adalah krusial. Peran serta ini terutama penting untuk menguatkan korban agar tidak membungkam, namun tidak berarti memaksa korban untuk bicara di hadapan publik. Juga, untuk memastikan korban mendapat dukungan dalam proses pemulihannya yang sangat terkait dengan keyakinan bahwa ia tidak akan disalahkan, dianggap sebagai aib, terbebani oleh stigma sebagai barang rusak dan/atau dikucilkan. Penyikapan ini sungguh berarti bagi perempuan korban kekerasan seksual. Langkah awal untuk penyikapan ini tentunya dengan mengenali kekerasan seksual, akar masalah dan konsekuensinya. 10 cara anggota masyarakat untuk ikut mencegah dan menangani kekerasan seksual: Bangun pemahaman tentang kekerasan seksual Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya tindak kekerasan seksual. Segera laporkan pada pihak berwajib. Temani korban kekerasan seksual, bangun keyakinan korban untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri Temani dan dukung korban bila ia hendak melapor. Bila korban enggan melapor, jangan dihakimi keputusannya itu. Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan lembaga-lembaga yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun masukan bagi upaya pencarian keadilan dan pemulihan Berikan informasi tentang kekerasan seksual kepada anggota keluarga, teman, tetangga, teman sekerja atau lainnya. Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban. Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan perempuan korban kekerasan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum. Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan dengan mengumpulkan informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi di sekelilingmu, memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam penggalangan dana bagi penanganan korban. Kekerasan Seksual: Kenali & Tangani. 10

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan Bentuk 1 Desain oleh : Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan 1 Desain oleh Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

KEKERASAN SEKSUAL. fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan seksual.

KEKERASAN SEKSUAL. fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan seksual. KEKERASAN SEKSUAL Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. 1 Persoalan ketimpangan relasi kuasa

Lebih terperinci

Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal*

Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal* Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal* Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender

Lebih terperinci

j K ika amu korban Perkosaan

j K ika amu korban Perkosaan j K ika amu korban Perkosaan 1 Desain oleh : Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Perkosaan Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai peniske arah vagina,

Lebih terperinci

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS Di dunia ini Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan status sosial yang berbeda dalam masyarakat mereka, dan Komisi diharuskan untuk memahami bagaimana hal ini berpengaruh

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA Peluncuran Laman Pengaduan Kekerasan Seksual

LEMBAR FAKTA Peluncuran Laman Pengaduan Kekerasan Seksual LEMBAR FAKTA Peluncuran Laman Pengaduan Kekerasan Seksual Perluas Akses Pelaporan Korban untuk Perkuat Daya Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Jakarta, 6 Desember 2013 A. Tentang website atau

Lebih terperinci

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017 Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid 14-15 November 2017 Kondisi kekerasan seksual di Indonesia Kasus kekerasan terhadap perempuan

Lebih terperinci

KEJAHATAN SEKSUAL Lindungi Hak Korban. Masruchah Komnas Perempuan 11 Januari 2012

KEJAHATAN SEKSUAL Lindungi Hak Korban. Masruchah Komnas Perempuan 11 Januari 2012 KEJAHATAN SEKSUAL Lindungi Hak Korban Masruchah Komnas Perempuan 11 Januari 2012 KOMNAS PEREMPUAN Mei 1998 : kerusuhan dibeberapa kota besar, dengan berbagai bentuk kekerasan Kekerasan seksual menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau

Lebih terperinci

Pendapat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

Pendapat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Pendapat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor Tahun... Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pendahuluan:

Lebih terperinci

"Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR"

Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR "Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR" oleh: Asnifriyanti Damanik, SH. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrintinasi

Lebih terperinci

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Pendahuluan Tahun 2015 ini dapat dikatakan menjadi

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

Lebih terperinci

@mappifhui mappifhui.org

@mappifhui mappifhui.org @mappifhui @mappifhui @mappifhui mappifhui.org 2016 Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita #1 Apa itu Kekerasan Seksual? Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia diawali dan pergerakan kaum perempuan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Wahyu Ernaningsih Abstrak: Kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak menimpa perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? RUU Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPTEN LUMAJANG NOMOR 48 TAHUN 2007 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN LUMAJANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

Perkawinan Anak dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

Perkawinan Anak dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Perkawinan Anak dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Komnas Perempuan Respon negara terhadap tuntutan masyarakat anti kekerasan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

Nama : Aninda Candri L. NIM : Nama Kelompok : D Nama Dosen : Drs. Tahajudin Sudibyo

Nama : Aninda Candri L. NIM : Nama Kelompok : D Nama Dosen : Drs. Tahajudin Sudibyo EKSPLOITASI, PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN DI PANDANG DARI SILA KE DUA TUGAS AKHIR Disusun oleh : Nama : Aninda Candri L. NIM : 11.11.4905 Nama Kelompok : D Nama Dosen : Drs.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

Jakarta, 3 Maret Disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono

Jakarta, 3 Maret Disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Pertimbangan dan Saran tentang Isu-Isu Krusial dan Langkah Strategis Penegakan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia, khususnya terkait Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan terhadap

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016

Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016 Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016 Sanggar Suara Perempuan Jln. Beringin No.1, Kesetnana SoE, TTS-NTT Telp/Fax : 0388-21889 Email : ssp.okomama@yahoo.co.id www.sanggarsuaraperempuan.com

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN B U K U S A K U B A G I ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Penyusun Desainer : Tim ACILS dan ICMC : Marlyne S Sihombing Dicetak oleh : MAGENTA FINE PRINTING Dikembangkan

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KOTA PARIAMAN, Menimbang :

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

INDEKS KINERJA PENEGAKAN HAM 2011

INDEKS KINERJA PENEGAKAN HAM 2011 RINGKASAN TABEL INDEKS KINERJA PENEGAKAN HAM 2011 SETARA Institute, Jakarta 5 Desember 2011 SCORE 2011 PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM MASA LALU 1,4 KEBEBASAN BEREKSPRESI 2,5 KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO Salinan PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme*

Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme* Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme* Tulisan ini dibuat dalam rangka memberikan tanggapan atas sejumlah pernyataan tentang konsep RUU Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama

Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH (Mengenal Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Disampaikan dalam Workshop Perencanaan

Lebih terperinci

Praktik dan Evaluasi Pengarusutamaan Gender di Indonesia

Praktik dan Evaluasi Pengarusutamaan Gender di Indonesia Praktik dan Evaluasi Pengarusutamaan Gender di Indonesia Dr. Indraswari Komisioner Komnas Perempuan Lembaga Administrasi Negara Jakarta, 15 Maret 2017 Landasan hukum PUG Instruksi presiden nomor 9 tahun

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBINAAN, KOORDINASI, PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA I. UMUM Keutuhan dan kerukunan rumah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gencarnya pembangunan yang dilakukan oleh negara pada hakikatnya memberikan dampak buruk kepada perempuan. Maraknya kasus-kasus yang terjadi terhadap perempuan seperti

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Jenis Kasus : A. LEMBAR FAKTA Kekerasan terhadap Perempuan di wilayah konflik Kekerasan dalam Rumah Tangga Lain-lain : 2. Deskripsi Kasus : 1 3. Identitas Korban : a. Nama : b. Tempat lahir : c. Tanggal

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M. Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG KERJASAMA PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam keluarga, manusia belajar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual 2 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Apa perbedaan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ()? Sesuai dengan namanya, tentu saja hanya

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin Bahan Bacaan: Modu 2 Pengertian Anak Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin A. Situasi-Situasi yang Mengancam Kehidupan Anak Sedikitnya

Lebih terperinci

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK:

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: 1 The Regional Support Office of the Bali Process (RSO) dibentuk untuk mendukung dan memperkuat kerja sama regional penanganan migrasi

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Glosarium

Daftar Pustaka. Glosarium Glosarium Daftar Pustaka Glosarium Deklarasi pembela HAM. Pernyataan Majlis Umum PBB yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak secara sen-diri sendiri maupun bersama sama untuk ikut serta dalam

Lebih terperinci

Mengampu Pengawal Reformasi

Mengampu Pengawal Reformasi Mengampu Pengawal Reformasi Kajian pemberitaan isu perempuan, khususnya kasus kekerasan seksual, di delapan koran cetak pada bulan Maret, November dan Desember 2011 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang

Lebih terperinci

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia 23 Oktober 2017 Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Setelah mengikuti siklus ketiga Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review - UPR) Indonesia, saya menyambut

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci