RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus"

Transkripsi

1

2 1 Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga adalah ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP. juga merumuskan jenis-jenis pemidanaan sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan yang berbeda dengan KUHP. tidak merumuskan denda sebagai ancaman pidana karena denda akan masuk ke kas negara namun tidak berkorelasi dengan penyediaan penggantian kerugian bagi korban. memperkenalkan rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu. juga merumuskan sejumlah ancaman pidana tambahan yang dijatuhkan sesuai perbuatan yang dilakukan, seperti ancaman pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi dan pengumuman putusan hakim. Apa perbedaan dengan KUHP yang Mengatur Tindak Pidana Umum? Definisi, Unsur dan Pemidanaan Bentuk-Bentuk : Pengaturan dalam KUHP tentang kekerasan seksual sangat terbatas. Secara garis besar, bentuk kekerasan seksual hanya perkosaan dan pencabulan. Pengaturan yang tersedia itupun belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak korban, seperti adanya rumusan pasal yang menetapkan salah satu unsurnya adalah ancaman, sehingga korban yang berada dalam relasi Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1

3 kuasa yang tidak setara dengan pelaku atau berada dalam kondisi tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya, tidak terlindungi oleh ketentuan ini. Selain itu, ketentuan mengenai perkosaan sulit diterapkan apabila perkosaan dilakukan bukan melalui penis (laki-laki) ke vagina (perempuan). 1 Hal ini terjadi karena, meskipun kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, kata perkosaan hanya ada dalam Pasal 285 KUHP, sedangkan pasal-pasal lainnya menggunakan kata bersetubuh. Kata bersetubuh menurut R. Soesilo, mengacu pada Arrest Hooge Raad 5 Februari 1912, yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak. Jadi kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan mani. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul. 2 Penggunaan delik perbuatan cabul atas kasus perkosaan, selain mengaburkan konteks tindak pidana perkosaan yang terjadi, juga merugikan korban karena ancaman pidananya lebih rendah daripada ancaman pidana perkosaan, sehingga menjauhkan pemenuhan rasa keadilan bagi korban. Hal lainnya dalam KUHP adalah peletakan tindak pidana perkosaan dalam bab tindak pidana terhadap kesusilaan. Kesusilaan dimaknai sebagai sopan santun masyarakat dengan nafsu perkelaminan. 3 Karenanya, kesusilaan lebih memberi penekanan pada perlindungan rasa susila masyarakat. Padahal tindak pidana perkosaan pada dasarnya merupakan kejahatan terhadap orang atau kejahatan atas integritas tubuh dan seksualitas korban, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak. Penempatan pasal-pasal perkosaan dan perbuatan cabul sebagai jenis kekerasan seksual dalam Bab Tindak Pidana Kesusilaan cenderung mengaburkan hakikat dari kekerasan seksual yang merupakan perbuatan kejahatan terhadap orang yang melanggar integritas tubuh korban, direduksi menjadi pada persoalan pelanggaran rasa susila masyarakat. 4 Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan, ketiadaan rumusan spesifik tentang pendefinisian kekerasan seksual dalam KUHP akan dapat disempurnakan. Jenis kekerasan seksual yang tidak diatur dalam KUHP misalnya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual akan diakomodasi dan dirumuskan pemidanaannya dalam. 1 Kunthi Tridewiyanti, Et al. Ed., Mewujudkan Perlindungan Hak-hak Perempuan Korban dalam Kebijakan: Himpunan Kertas Posisi dan Kajian dari Berbagai Kebijakan Tahun Jakarta: Komnas Perempuan, R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, Lihat Penjelasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Tridewiyanti, op.cit. 2 Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

4 mengatur definisi, unsur dan pemidanaan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual sehingga memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan bagi korban. Dari 15 jenis kekekerasan seksual, definisi setiap jenis kekerasan seksual diatur dalam 9 Pasal dimana masing-masing Pasal mengatur unsur perbuatan yang dikategorisasikan sebagai tindak pidana. Pencegahan: mengatur peran dan tugas Lembaga Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual. Pengaturan ini tidak terdapat dalam KUHP, dan tidak dapat diatur oleh KUHP karena materi muatan ini bukan merupakan tindak pidana. Mengingat pencegahan kekerasan seksual merupakan hal yang penting, maka pencegahan ini harus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yaitu. Yang dimaksud Pencegahan dalam adalah segala upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan keberulangan kekerasan seksual. Pencegahan kekerasan seksual adalah salah satu ruang lingkup dari penghapusan kekerasan seksual yang merupakan kewajiban negara, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan keluarga, masyarakat dan korporasi. Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, serta Pemulihan Korban: RUU ini mengatur peran dan tugas lembaga pengada layanan dalam penyelenggaraan perlindungan dan pemulihan korban, hal yang tidak diatur KUHP, karena KUHP tidak mengatur ketentuan di luar pidana. RUU ini juga melengkapi peran dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk penyediaan perlindungan terhadap saksi dan korban kekerasan seksual. Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 3

5 Secara ringkas perbedaan antara dengan KUHP sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut: Aspek Jenis Menguraikan definisi 9 jenis kekerasan seksual KUHP Jenis kekerasan seksual terbatas pada perkosaan dan pencabulan Unsur/Definisi Kekerasan Seksual sesuai bentukbentuknya Menguraikan unsur 9 (sembilan) tindak pidana kekerasan seksual Terbatas pada unsur perkosaan & pencabulan Pengaturan tentang perkosaan masih belum menjamin perlindungan hak korban. Pemidanaan terhadap korporasi Dalam hal tindak pidana kekerasan seksual dilakukan oleh suatu korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Tidak ada Pemidanaan tindak pidana kekerasan seksual Merumuskan ancaman 2 (dua) pidana pokok dan 9 (sembilan) pidana tambahan, yang dijatuhkan atas 9 (sembilan) tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan pemberatan atas tindak pidana Terbatas pada pemidanaan perkosaan & pencabulan 4 Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

6 Pidana pokok berupa rehabilitasi khusus kepada pelaku Pidana tambahan berupa Restitusi Rehabilitasi khusus bertujuan: a. mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku seksual terpidana; dan b. mencegah keberulangan kekerasan seksual oleh terpidana. Rehabilitasi khusus dijatuhkan kepada: a. terpidana anak yang berusia di bawah 14 tahun; atau b. terpidana pada perkara pelecehan seksual. Restitusi yang diajukan oleh korban atau keluarga korban melalui Penuntut Umum kepada pengadilan, diputuskan sebagai pidana tambahan yang dijatuhkan kepada terpidana. Tidak ada Tidak ada KUHP Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana Sebagai ancaman pidana tambahan atas tindak pidana pemaksaan pelacuran Tidak ada Pidana tambahan berupa kerja sosial Penyelenggaraan pidana tambahan kerja sosial mempertimbangkan: a. tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan pelaku; b. kondisi psikologis pelaku; dan c. identifikasi tingkat resiko yang membahayakan. Tidak ada Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 5

7 Pidana tambahan berupa pembinaan khusus Pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh Pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Pidana tambahan pembinaan khusus meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: a. perawatan di bawah psikolog dan/atau psikiater; b. peningkatan kesadaran hukum; c. pendidikan intelektual; d. pengubahan sikap dan perilaku; e. perawatan kesehatan jasmani dan rohani; dan f. reintegrasi perilaku tanpa kekerasan seksual. Sebagai pidana tambahan terhadap pelaku kekerasan seksual yang merupakan orang tua atau keluarga korban. Sebagai pidana tambahan terhadap pelaku kekerasan seksual yang merupakan pejabat publik. Tidak ada Tidak ada Tidak ada KUHP Pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu Sebagai pidana tambahan terhadap pelaku kekerasan seksual yang merupakan: a. atasan, pemberi kerja atau majikan; atau b. seseorang yang berperan, bertugas atau bertanggungjawab memelihara, mengawasi, membina yang terjadi di lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga sosial, tempat penitipan anak, atau tempat-tempat lain dimana anak berada dan seharusnya terlindungi keamanannya Tidak ada 6 Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

8 Pidana tambahan berupa pencabutan jabatan atau profesi Sebagai pidana tambahan terhadap pelaku kekerasan seksual yang merupakan penegak hukum atau pejabat Tidak ada KUHP Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim Sebagai pemberatan, antara lain jika kekerasan seksual dilakukan dalam kondisi khusus seperti bencana alam, perang, konflik senjata, konflik sosial, atau situasi darurat lainnya. Tidak ada Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 7

9 2 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Apa perbedaan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? Sesuai dengan namanya, KUHAP tentu saja hanya mengatur tentang bagaimana jalannya suatu acara peradilan pidana dalam suatu kasus tindak pidana. KUHAP tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual dalam segala aspeknya. Selain itu, hukum acara yang diatur dalam KUHAP berlaku bagi seluruh acara peradilan tindak pidana, yang di dalamnya tentu saja termasuk kasus kekerasan seksual. Berbeda dengan RUU Penghapusan yang di dalamnya mengatur hukum acara khusus peradilan pidana kekerasan seksual. Dengan demikian, jika merujuk kepada KUHAP tidak terdapat kekhususan acara peradilan dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual. Padahal ketiadaan hukum acara yang mengatur perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dapat menyebabkan viktimisasi terhadap korban karena korban kekerasan seksual membutuhkan perlakuan khusus yang tidak dapat disamakan dengan korban tindak pidana lainnya. Oleh karena itu, dalam, ketentuan hukum acara yang dirumuskan berangkat dari konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dengan tujuan mendekatkan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan dan menjauhkan viktimisasi terhadap korban. Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui 1

10 Apa saja kekhususan Hukum Acara yang tidak diatur oleh KUHAP? Dalam, ketentuan dalam Kitab Hukum Acara Pidana tetap berlaku kecuali ditentukan lain oleh. Secara khusus, rumusan hukum acara dalam mengadopsi konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Ketentuan yang diatur dalam hukum acara lebih banyak berupa ketentuan untuk menghadirkan jawaban dari berbagai hambatan yang selama ini menimbulkan viktimisasi kepada korban ketika menempuh proses peradilan pidana. Misalnya, dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan mengenai perlunya dilakukan pendampingan secara medis ataupun psikologis kepada korban agar korban siap memberikan keterangannya untuk proses peradilan pidana. Selain itu, tidak terdapat pengaturan tata cara khusus melakukan proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap korban seperti pengajuan pertanyaan yang berulang-ulang oleh penyidik, atau proses BAP dalam hal pengajuan pertanyaan kepada korban yang dilakukan oleh penyidik yang tidak bertugas dalam kasus tersebut, pengajuan pertanyaan yang menyudutkan korban atau menimbulkan dampak pengulangan traumatis korban. Padahal tindakan dan kondisi tersebut hanya membuat korban semakin trauma, merasa tidak dipercaya, dan lelah, yang pada akhirnya menempatkan korban dalam kondisi viktimisasi berulang. 1 merumuskan bahwa korban berhak memperoleh pendampingan, merumuskan kewajiban penegak hukum untuk menyediakan pendamping bagi korban dan merumuskan pemeriksaan hanya dilakukan oleh petugas terlatih yang dilakukan ketika korban telah memperoleh penguatan medis dan psikologis. Selain itu, KUHAP juga tidak mengatur kewajiban bagi penyidik, penuntut umum, hakim dan advokat, serta media massa untuk tidak mempublikasikan perkara yang dialami korban tanpa persetujuannya dan untuk tetap menjaga kerahasiaan identitas korban dalam pemberitaan media massa. Ketentuan ini dibutuhkan untuk menghindarkan korban kekerasan seksual dari stigma dan pemberitaan yang akan semakin menambah penderitaan korban, sebagaimana dirumuskan dalam. Tidak adanya larangan bagi penyidik, penuntut umum, hakim dan advokat bersikap memojokkan korban, memberikan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali membuat korban merasa terpojok, dan menyalahkan korban 2 menjadi kendala tersendiri bagi korban dalam proses peradilan pidana. 3 Oleh karena itu merumuskan sejumlah larangan 1 Arimbi Heroepoetri (penyunting), Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum, (Jakarta: Komnas Perempuan, LBPP Derap Warapsari, LBH APIK Jakarta, Convention Watch, PKWJ UI, 2005). 2 Lihat juga Estu RF, et.al, Laporan Pemantauan Peradilan di enam wilayah (Medan, Palembang, Jakarta, Kalimantan Timur, Manado, Kupang Periode ), (Jakarta: LBH Apik Jakarta, 2007). 3 Ibid. 2 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui

11 bagi penyidik, penuntut umum, hakim dan advokat yang ditujukan untuk menghapuskan stereotipi peradilan (judicial stereotyping) terhadap korban. Terkait pembuktian, ketentuan KUHAP yang seringkali dibaca parsial bahwa keterangan saksi tidak dapat menjadi dasar untuk menunjukkan tersangka/terdakwa bersalah seringkali menyulitkan korban kekerasan seksual. Selain karena kekerasan terhadap perempuan seringkali dilakukan tanpa ada saksi yang melihat langsung, korban juga cenderung enggan menceritakan kepada orang lain. Sehingga tindak pidana kekerasan seksual yang menimpa perempuan korban tidak terdengar, tersembunyi di dalam perasaan aib sekaligus trauma. 4 Oleh karenanya, RUU Penghapusan menegaskan secara utuh bahwa sebagai alat bukti yang sah, keterangan saksi atau korban ditambah satu alat bukti lainnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. 5 Secara ringkas perbedaan hukum acara KUHAP dengan dalam tabel berikut : Aspek Hak Korban, Saksi dan Keluarga Korban Pemulihan Korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan Merumuskan hak korban atas pemulihan yang meliputi: a. fisik; b. psikologis; c. ekonomi; d. sosial dan budaya; dan e. restitusi. Merumuskan penyelenggaraan pemulihan korban baik sebelum maupun setelah proses peradilan pidana Merumuskan pengawasan atas penyelenggaraan pemulihan KUHAP Tidak Ada KUHAP tidak mengatur tentang perlindungan dan Hak Saksi dan Korban. Tidak Ada KUHAP tidak mengatur pemulihan Korban. 4 Kunthi Tridewiyanti, Et al. Ed., Mewujudkan Perlindungan Hak-hak Perempuan Korban dalam Kebijakan: Himpunan Kertas Posisi dan Kajian dari Berbagai Kebijakan Tahun Jakarta: Komnas Perempuan, Komnas Perempuan, Daftar Inventarisasi Masalah terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), disusun oleh Komnas Perempuan pada Naskah tidak diterbitkan. Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui 3

12 Kewajiban pemenuhan hak-hak korban, keluarga korban dan saksi. Merumuskan kewajiban Penyidik, penuntut umum, hakim, dan para pihak yang terlibat dalam proses peradilan wajib melaksanakan pemenuhan hakhak korban, keluarga korban dan saksi. KUHAP Hanya sebagian kecil yaitu penerimaan laporan, bantuan hukum Larangan kriminalisasi korban Untuk pemenuhan hak atas perlindungan, korban tidak dapat dijadikan tersangka/terdakwa atas perkara pidana pencemaran nama baik atau perkara pidana lainnya yang menjadi rangkaian fakta hukum dengan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban. Syarat tertentu bagi penyidik, penuntut dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual Merumuskan syarat Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual: a. memiliki pengetahuan, keterampilan dan keahlian tentang penanganan korban yang berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender; dan b. telah mengikuti pelatihan peradilan pidana kekerasan seksual. Tidak ada Alat bukti lainnya Selain 5 alat bukti yang ditetapkan oleh KUHAP, Kekerasan Seksual juga menetapkan alat bukti lainnya yaitu: a. keterangan korban; b. surat keterangan psikolog dan/atau psikiater; c. rekam medis dan/atau hasil pemeriksaan forensik; d. rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan; e. informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ; KUHAP menetapkan 5 alat bukti yaitu: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. 4 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui

13 f. dokumen, yakni setiap data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna dan sebagainya; dan g. hasil pemeriksaan rekening bank. KUHAP Beban pembuktian kepada terlapor atau tersangka secara terbatas dalam hal ia menyangkal laporan atau tuduhan korban atau keluarga. Hal ini tidak menghilangkan kewajiban penyelidik atau penyidik untuk memperkuat alat bukti. Tidak ada Keabsahan keterangan saksi atau korban disabilitas, keluarga sedaerah, semenda sampai dengan derajat ketiga Keterangan saksi dari keluarga sedarah, semenda sampai dengan derajat ketiga dari korban dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Keterangan korban atau saksi anak dan orang dengan disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi lainnya. Tidak ada Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui 5

14 KUHAP Kewajiban menyediakan pendamping kepada korban di tiap tingkap pemeriksaan Merumuskan kewajiban penegak hukum menyediakan pendamping antara lain pendamping hukum, pendamping psikologis, psikolog atau pihak yang dipercaya oleh korban, penerjemah bahasa isyarat atau bahasa asing atau bahasa ibu sesuai dengan kebutuhan korban dan orang tua untuk korban atau saksi yang berusia di bawah 18 tahun Tidak ada Larangan Sikap yang Merendahkan Korban Merumuskan larangan kepada penyidik, penuntut, hakim dan penasehat hukum terdakwa: a. menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menyalahkan korban dan/atau saksi; b. menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban dan/atau saksi sebagai alasan untuk mengabaikan atau tidak melanjutkan penyidikan korban dan/atau saksi; c. membebankan pencarian alat bukti kepada korban dan/atau saksi; dan d. menyampaikan kasus kekerasan yang terjadi kepada media massa atau media sosial dengan menginformasikan identitas korban dan keluarganya dan/atau informasi lain yang mengarahkan pihak lain dapat mengenali korban dan keluarga korban. Tidak ada 6 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui

15 Hak tolak kepada penuntut umum dan hakim karena alasan rekam jejak pernah melakukan kekerasan seksual Kewajiban penuntut umum memberikan informasi kepada korban Merumuskan hak korban, keluarga dan/ atau pendamping untuk mengajukan keberatan dan meminta penggantian penyidik, penuntut umum atau hakim dalam hal penyidik, penuntut umum atau hakim memiliki rekam jejak melakukan kekerasan Merumuskan kewajiban penuntut umum menyampaikan informasi antara lain: a. informasi tentang identitas dan nomor kontak penuntut umum yang menangani perkara; b. hak korban atas penanganan, perlindungan dan perlindungan; c. informasi mengenai tahapan persidangan yang akan dilalui oleh korban dan saksi KUHAP UU saat ini hanya mengatur hak tolak kepada hakim, itupun dengan alasan hubungan keluarga Tidak ada Korban dapat memberikan keterangan melalui teleconference dan/ atau menggunakan keterangan korban dalam bentuk rekaman audio visual. Merumuskan dalam hal korban tidak dapat hadir dalam persidangan karena mengalami kegoncangan jiwa atau atas alasan lainnya, Penuntut Umum wajib mengajukan persidangan tanpa kehadiran terdakwa atau melakukan persidangan jarak jauh dengan melalui teleconference dan/atau menggunakan keterangan korban dalam bentuk rekaman audio visual. Tidak ada Restitusi Merumuskan kewajiban penegak hukum dalam pengajuan restitusi bagi korban dan tata cara pengajuan talangan restitusi bagi korban Terbatas, tetapi bukan untuk korban tindak pidana kekerasan seksual. KUHAP hanya mengatur tentang restitusi untuk ganti rugi karena salah tangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU. Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui 7

16 KUHAP Pasal 1 angka 22 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP: Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. 8 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui

17 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan genosida, agresi, dan kejahatan perang adalah kejahatan yang ditindak di bawah Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan tersebut disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam hukum HAM internasional bukan sebagai istilah yuridis, tetapi lebih merupakan istilah umum untuk merujuk kepada tindakan-tindakan yang merugikan martabat, kehidupan, dan kepentingan utama manusia, seperti hak hidup, hak untuk bebas dari diskriminasi, dan hak pangan. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000, pelanggaran hak asasi manusia yang berat hanya menyangkut 2 kejahatan: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua kejahatan inipun menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 bukan tindak pidana, karena dalam tiap kejahatan tersebut ada masing-masing bentuk tindak pidana. Secara khusus beberapa jenis kekerasan seksual disebutkan dalam UU ini yaitu perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi paksa dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, sebagai bentuk-bentuk tindak pidana dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus memenuhi unsur 1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, 2) atau sistematik, 3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi secara sistematis dan meluas menyiratkan bahwa perbuatan itu meliputi adanya perencanaan, terstruktur, terdapat satu komando di dalamnya dan menyasar pada banyak korban dalam satu peristiwa. Merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk kejahatan berbeda dengan tindak pidananya. Misalnya, tindak pidana pembunuhan, tindak pidana perbudakan, dan lain-lain sebagai tindak pidana dalam kejahatan genosida maupun kejahatan Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 1

18 terhadap kemanusiaan. Perlu diingat bahwa tindak pidana itu adalah bagian dari kebijakan negara atau yang berhubungan dengan organisasi. Dengan demikian, UU Nomor 26 Tahun 2000 mengatur sejumlah bentuk tindak pidana kekerasan seksual sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang salah satu perbuatan itu dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, atau sistematik, dan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. terlepas dari berbagai konteks tersebut sehingga pengaturan dalam dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tidak tumpang tindih. Selain itu perlu dicermati bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai Pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak sama dengan yang dimaksud sebagai kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Jika merujuk pada hukum HAM internasional, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun jika menguji kejahatan terhadap martabat kemanusiaan menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000, hal ini tidaklah tepat karena adanya konteks sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik dan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil pada kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU tersebut. Apa perbedaan antara dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? akan mengatur jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual tanpa adanya ketentuan memenuhi unsur 1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, 2) atau sistematik, 3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Dengan demikian, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun Sejumlah tindak pidana kekerasan seksual yang teridentifikasi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tetap dapat dipidana dengan ancaman pidana yang dirumuskan oleh. Oleh karena itu, diperlukan untuk dapat mengisi kekosongan hukum apabila jenis-jenis kekerasan seksual yang terjadi di luar terpenuhinya unsur dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, atau sistematik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. 2 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

19 Perbandingan antara dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 diuraikan sebagai berikut: Aspek Definisi dan Unsur Tindak Pidana Menguraikan definisi kekerasan seksual Menguraikan unsur 9 (sembilan) tindak pidana kekerasan seksual UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Mengatur beberapa jenis kekerasan seksual sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 huruf g, yaitu berupa perkosaan, perbudakan seksual pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara Pemidanaan Bentukbentuk Kekerasan Seksual Pemidanaan Bentukbentuk Kekerasan Seksual Merumuskan pidana pokok: a. pidana penjara; b. rehabilitasi khusus; Merumuskan pidana tambahan a. restitusi; b. perampasan Merumuskan pidana pokok: a. pidana penjara; b. rehabilitasi khusus; Merumuskan pidana tambahan a. restitusi; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. kerja sosial; d. pembinaan khusus; e. pencabutan hak asuh; f. pencabutan hak politik; g. pencabutan hak menjalankan pekerjaan; Terbatas pada bentuk kekerasan yang ada. Pasal 40 mengatur tentang ancaman pidana untuk perbuatan yang diatur dalam pasal 9 huruf g berupa pidana penjara Terbatas pada bentuk kekerasan yang ada. Pasal 40 mengatur tentang ancaman pidana untuk perbuatan yang diatur dalam pasal 9 huruf g berupa pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 3

20 Pencegahan Kekerasan Seksual h. pencabutan jabatan atau profesi; dan/atau i. pengumuman putusan hakim. Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan mempertimbangkan adanya pemberatan atas perbuatan pelaku Merumuskan pencegahan meliputi namun tidak terbatas pada bidang: a. pendidikan; b. infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; c. pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; d. ekonomi; dan e. sosial dan budaya Merumuskan Bentukbentuk pencegahan dan penanggungjawab penyelenggaraannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Tidak Ada Hak Korban, Saksi dan Keluarga Korban, termasuk Perlindungan Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan Pasal 34 (1) mengatur bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Pasal 34 ayat (2) mengatur bahwa perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cumacuma. 4 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

21 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 34 ayat (3) mengatur bahwa ketentuan mengenai tata cara perlindungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemulihan Korban Merumuskan hak korban atas pemulihan yang meliputi: a. fisik; b. psikologis; c. ekonomi; d. sosial dan budaya; dan e. restitusi. Merumuskan penyelenggaraan pemulihan korban baik sebelum maupun setelah proses peradilan pidana Merumuskan pengawasan atas penyelenggaraan pemulihan Pasal 35 ayat (1) mengatur bahwa setiap korban pelanggaran HAM yang berat atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Pasal 35 ayat (2) mengatur bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (2) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat. Rehabilitasi Pelaku Merumuskan rehabilitasi khusus pelaku sebagai pidana pokok untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Merumuskan pembinaan khusus pelaku sebagai pidana tambahan untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Tidak ada Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 5

22 Peran Serta Masyarakat Merumuskan upaya-upaya yang dapat diselenggarakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam penghapusan kekerasan seksual UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Unsur masyarakat ikut serta sebagai tim penyidik adhoc sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2): Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. Pasal 21 ayat (3) juga mengatur bahwa dalam pelaksanaan tugas penyidikan perkara pelanggaran HAM berat Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. Pasal 23 ayat (2) juga memuat bahwa dalam pelaksanaan penuntutan perkara pelanggaran HAM berat Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. 6 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

23 Hukum Acara Peradilan Pidana Kekerasan Seksual, termasuk Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tingkat Pertama dan Pembuktian Merumuskan kewajiban penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban, pendampingan korban dan menjaga kerahasiaan korban dalam proses peradilan pidana Merumuskan ketentuan untuk mengatasi berbagai hambatan korban dalam pembuktian dan pemeriksaan di pengadilan Merumuskan larangan bagi penegak hukum menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menyalahkan korban dan/ atau saksi; atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban dan/atau saksi sebagai alasan untuk mengabaikan atau tidak melanjutkan penyidikan korban dan/atau saksi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 11 mengatur tentang wewenang penangkapan yang dilakukan oleh jaksa agung Pasal 12 mengatur tentang wewenang jaksa agung untuk melakukan penahanan; Pasal 13, 14, 15, 16, 17 mengatur tentang jangka waktu penahanan Pasal 18, 19 mengatur tentang wewenang Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM berat Pasal 20 tentang alur perkara dari penyelidik ke penyidik Penyidikan diatur dalam pasal Penuntutan diatur dalam pasal Pemeriksaan pengadilan diatur dalam pasal 27, 31, 32, 33 Restitusi Merumuskan kewajiban penegak hukum dalam pengajuan restitusi bagi korban dan tata cara pengajuan talangan restitusi bagi korban Pasal 35 mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 7

24 Kerja sama internasional Merumuskan, kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral yang dapat diselenggarakan oleh Lembaga Negara, Pemerintah, lembaga hak asasi manusia, lembaga penegak hukum, dan lembaga negara lainnya untuk penghapusan kekerasan seksual. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Dapat menjangkau tindak pidana/pelanggaran HAM yang terjadi di di luar negeri tetapi tidak menjelaskan bentuk kerja sama dengan luar dalam penanganan kasusnya. Pendidikan dan Pelatihan a. Merumuskan kewajiban Pemerintah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, petugas lembaga pengada layanan dan pendamping korban secara terpadu. Tidak ada 8 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

25 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyebutkan frasa kekerasan seksual, namun yang dimaksud berbeda dengan frasa kekerasan seksual dalam. Pasal 8 UU PKDRT menyebutkan bahwa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud berupa pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu. Ketentuan UU PKDRT ini memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 8 UU PKDRT sepanjang korban menetap dalam lingkup rumah tangga atau korban berada dalam lingkup rumah tangga pelaku. Apa perbedaan antara dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? akan memberikan perlindungan bagi setiap korban kekerasan seksual, baik yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau berada dalam lingkup rumah tangga pelaku maupun yang tidak mempunyai keterkaitan dengan lingkup rumah tangga pelaku. Selain itu, jenis kekerasan seksual yang dikategorisasikan sebagai tindak pidana dalam adalah 9 jenis kekerasan seksual. Pengaturan ini hanya dapat dilakukan melalui sebagai aturan khusus (lex specialis) dan tidak dapat dibebankan kepada UU PKDRT yang merupakan aturan khusus untuk kekerasan dalam rumah tangga. Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1

26 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa UU PKDRT bukan aturan khusus yang ditujukan untuk menampung dan menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual. Terlebih lagi sesuai dengan namanya, UU PKDRT hanya berlaku apabila kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga, artinya tidak dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukannya terhadap orang lain di luar lingkup rumah tangganya. Oleh karena itu, sangat diperlukan mengingat kondisi saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan sebagai dasar pemidanaan terhadap jenis tindak pidana kekerasan seksual yang ada. Secara ringkas perbandingan tersebut diuraikan dalam tabel berikut: Aspek Definisi dan Unsur Tindak Pidana Menguraikan definisi kekerasan seksual Menguraikan unsur 9 (sembilan) tindak pidana kekerasan seksual UU PKDRT Tidak disebutkan definisi dari kekerasan seksual, namun dalam pasal 8 disebutkan bentuk kekerasan seksual yang dimaksud berupa pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial Pemidanaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Merumuskan pidana pokok: a. pidana penjara; b. rehabilitasi khusus; Merumuskan pidana tambahan a. restitusi; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. kerja sosial; d. pembinaan khusus; e. pencabutan hak asuh; f. pencabutan hak politik; g. pencabutan hak menjalankan pekerjaan; h. pencabutan jabatan atau profesi; dan/atau i. pengumuman putusan hakim. Mengatur pemidanaan untuk kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 8 Pasal 46 menyebutkan pemidanaan untuk seseorang yang melakukan kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangganya diancam pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak 36 juta rupiah Pasal 47 menyebutkan pemidanaan untuk seseorang yang memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit 12 juta rupiah dan paling banyak 300 juta rupiah 2 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

27 Pencegahan Kekerasan Seksual Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan mempertimbangkan adanya pemberatan atas perbuatan pelaku Merumuskan pencegahan meliputi namun tidak terbatas pada bidang: a. pendidikan; b. infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; c. pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; d. ekonomi; dan e. sosial dan budaya Merumuskan Bentukbentuk pencegahan dan penanggungjawab penyelenggaraannya UU PKDRT Pasal 48 menyebutkan apabila perbuatan dalam pasal 46 dan 47 menyebabkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan, gugurnya janin dalam kandungan, dan mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit 25 juta rupiah dan paling banyak 500 juta rupiah Terbatas pada pencegahan KDRT Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan terhadap KDRT yang termasuk di dalamnya kekerasan seksual Pencegahan tersebut berupa perumusan kebijakan, penyelenggaraan komunikasi dan edukasi tentang KDRT, menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT Hak Korban, Saksi Dan Keluarga Korban, termasuk Perlindungan Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan Perlindungan diberikan kepada pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Pasal 16 menyebutkan dalam 1x24 jam sejak diterimanya laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban, perlindungan diberikan paling lama 7 hari. Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 3

28 Pemulihan Korban Rehabilitasi Khusus Pelaku Merumuskan hak korban atas pemulihan yang meliputi: a. fisik; b. psikologis; c. ekonomi; d. sosial dan budaya; dan e. restitusi. Merumuskan penyelenggaraan pemulihan korban baik sebelum maupun setelah proses peradilan pidana Merumuskan pengawasan atas penyelenggaraan pemulihan Merumuskan rehabilitasi khusus pelaku sebagai pidana pokok untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Merumuskan pembinaan khusus pelaku sebagai pidana tambahan untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu UU PKDRT UU PKDRT mengatur tentang Pemulihan Korban dalam Bab tersendiri yaitu BAB VII Pemulihan Korban dari Pasal 39 Pasal 41. Pasal 39 mengatur pelayanan pemulihan korban dari tenaga kesehatan; pekerja sosial; relawan pendamping; dan/atau pembimbing rohani. Pasal 40 mengatur kewajiban tenaga kesehatan memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya dan kewajiban memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban. Pasal 41 mengatur kewajiban pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/ atau memberikan rasa aman bagi korban. Pasal 42 mengatur kerjasama pemulihan terhadap korban oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama UU PKDRT mengatur rehabilitasi pelaku sebagai bagian dari pidana tambahan dalam bentuk program konseling, yang diatur dalam Pasal 50 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

29 Peran Serta Masyarakat Merumuskan upaya-upaya yang dapat diselenggarakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam penghapusan kekerasan seksual UU PKDRT Masyarakat turut serta dalam membantu pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, sesuai dengan Pasal: Pasal 14 Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. Pasal 15 Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 5

30 Hukum Acara Peradilan Pidana Kekerasan Seksual, termasuk Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tingkat Pertama dan Pembuktian Antara lain: Merumuskan kewajiban penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban, pendampingan korban dan menjaga kerahasiaan korban dalam proses peradilan pidana Merumuskan ketentuan untuk mengatasi berbagai hambatan korban dalam pembuktian dan pemeriksaan di pengadilan Merumuskan larangan bagi penegak hukum menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menyalahkan korban dan/ atau saksi; atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban dan/atau saksi sebagai alasan untuk mengabaikan atau tidak melanjutkan penyidikan korban dan/atau saksi UU PKDRT Pasal 18, 19, dan 20 mengatur tentang kewajiban pihak kepolisian untuk menyampaikan hak dan informasi kepada korban Pasal 23 tentang hak didampingi relawan pendamping Pasal 25 mengatur tentang kewajiban advokat Pasal 26 dan 27 mengatur tentang pelaporan yang dilakukan oleh korban Pasal 35 & 36 mengatur tentang penangkapan yang dilakukan oleh polisi terhadap pelaku yang melanggar perintah perlindungan Pasal 37 tentang hak korban, keluarga dan pendamping untuk melaporkan dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan Pasal 38 tentang tindakan pengadilan apabila pelaku melanggar perintah perlindungan Pasal 21 huruf b mengatur tentang laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti Pasal 55 mengatur tentang keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya 6 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

31 UU PKDRT Restitusi Merumuskan kewajiban penegak hukum dalam pengajuan restitusi bagi korban dan tata cara pengajuan talangan restitusi bagi korban Tidak ada Kerja sama internasional Merumuskan, kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral yang dapat diselenggarakan oleh Lembaga Negara, Pemerintah, lembaga hak asasi manusia, lembaga penegak hukum, dan lembaga negara lainnya untuk penghapusan kekerasan seksual. Tidak ada Pendidikan dan Pelatihan Merumuskan kewajiban Pemerintah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, petugas lembaga pengada layanan dan pendamping korban secara terpadu Tidak Ada. Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 7

32 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang? Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) mengatur jenis kekerasan seksual yang spesifik yaitu perdagangan orang secara memadai sehingga tidak perlu diatur lagi dalam. Walaupun secara normatif perdagangan orang dalam Undang-Undang tersebut tidak disebutkan eksplisit untuk tujuan seksual, namun pengaturan jenis kekerasan seksual ini sudah cukup memadai. Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO menjelaskan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dalam hal ini, eksploitasi yang dimaksud juga mencakup eksploitasi seksual. Selanjutnya Pasal 1 ayat (8) UU PTPPO menjelaskan yang dimaksud dengan eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Perbedaan dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 1

33 UU PTPPO sebagai UU yang merupakan aturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang, sudah cukup banyak mengatur aspek aspek tidak hanya pelarangan dan pemidanaan namun meliputi juga pencegahan, pemulihan dan hukum acara pidana yang khusus. Namun hal tersebut hanya berlaku apabila perbuatan memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu, UU PTPPO sebagai aturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang tidak dapat dibebani penambahan pengaturan mengenai jenis tindak pidana kekerasan seksual lainnya. Demikian pula korban tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang tidak memenuhi unsur sebagai tindak pidana perdagangan orang tidak dapat dilindungi menggunakan UU ini, sehingga untuk itu diperlukan. Secara ringkas perbandingan antara dengan UU PTPPO akan diuraikan dalam tabel berikut : Aspek Definisi dan Unsur Tindak Pidana Pemidanaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menguraikan definisi kekerasan seksual Menguraikan unsur 9 (sembilan) tindak pidana kekerasan seksual Merumuskan pidana pokok: a. pidana penjara; b. rehabilitasi khusus; Merumuskan pidana tambahan a. restitusi; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. kerja sosial; d. pembinaan khusus; e. pencabutan hak asuh; f. pencabutan hak politik; g. pencabutan hak menjalankan pekerjaan; h. pencabutan jabatan atau profesi; dan/atau i. pengumuman putusan hakim UU PTPPO Tidak disebutkan definisi dari kekerasan seksual, namun dijelaskan definisi perdagangan orang dan eksploitasi seksual sebagai tujuan perdagangan orang. Pasal 12 menyebutkan pemidanaan untuk seseorang yang orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. 2 Perbedaan dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

34 Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan mempertimbangkan adanya pemberatan atas perbuatan pelaku UU PTPPO Pasal 7 menyebutkan jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pencegahan Merumuskan pencegahan meliputi namun tidak terbatas pada bidang: a. pendidikan; b. infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; c. pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; d. ekonomi; dan e. sosial dan budaya Merumuskan Bentuk-bentuk pencegahan dan penanggungjawab penyelenggaraannya Pasal 57 ayat 1 mengatur Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang yang termasuk di dalamnya kekerasan seksual Pasal 57 ayat 2 mengatur Pencegahan tersebut dilakukan oleh pemerintah berupa membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Pasal 58 ayat 2 mengatur untuk mengefektifkan dan menjamin pencegahan Pemerintah dan pemda membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakilwakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti / akademisi. Perbedaan dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 3

35 Hak Korban, Saksi Dan Keluarga Korban, termasuk Perlindungan Pemulihan Korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan Merumuskan hak korban atas pemulihan yang meliputi: a. fisik; b. psikologis; c. ekonomi; d. sosial dan budaya; dan e. restitusi. Merumuskan penyelenggaraan pemulihan korban baik sebelum maupun setelah proses peradilan pidana Merumuskan pengawasan atas penyelenggaraan pemulihan UU PTPPO Pasal 44 menyebutkan saksi dan/atau korban TPPO berhak mendapatkan kerahasiaan identitas Pasal 45 mengatur tentang pembentukan ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 46 mengatur tentang pembentukan pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pemulihan korban dalam UU ini diatur dalam pasal 51 yaitu berupa rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. 4 Perbedaan dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

36 Rehabilitasi Khusus Pelaku Merumuskan rehabilitasi khusus pelaku sebagai pidana pokok untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Merumuskan pembinaan khusus pelaku sebagai pidana tambahan untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Tidak ada UU PTPPO UU PTPPO tidak mengatur rehabilitasi pelaku. Peran Serta Masyarakat Merumuskan upaya-upaya yang dapat diselenggarakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam penghapusan kekerasan seksual Pasal 60 menyebutkan masyarakat ikut serta dalam mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang dengan cara memberikan informasi dan/ atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang. Hukum Acara Peradilan Pidana, termasuk Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tingkat Pertama dan Pembuktian Antara lain: Merumuskan kewajiban penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban, pendampingan korban dan menjaga kerahasiaan korban dalam proses peradilan pidana Merumuskan ketentuan untuk mengatasi berbagai hambatan korban dalam pembuktian dan pemeriksaan di pengadilan Pasal 32 mengatur tentang wewenang penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang. Pasal 37 mengatur tentang hak saksi dan korban untuk meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Perbedaan dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5

37 Merumuskan larangan bagi penegak hukum menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menyalahkan korban dan/atau saksi; atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban dan/atau saksi sebagai alasan untuk mengabaikan atau tidak melanjutkan penyidikan korban dan/atau saksi UU PTPPO Pasal 38 mengatur tentang sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas. Restitusi Kerja sama internasional Merumuskan kewajiban penegak hukum dalam pengajuan restitusi bagi korban dan tata cara pengajuan talangan restitusi bagi korban Merumuskan, kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral yang dapat diselenggarakan oleh Lembaga Negara, Pemerintah, lembaga hak asasi manusia, lembaga penegak hukum, dan lembaga negara lainnya untuk penghapusan kekerasan seksual Pasal 48 menyebutkan bahwa setiap korban TPPO berhak untuk mendapatkan restitusi dari pelaku Restitusi diberikan berupa ganti kerugian terhadap kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Kerja sama internasional dilakukan untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral, hal ini sesuai dengan pasal 59 UU PTPPO 6 Perbedaan dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

38 UU PTPPO Pendidikan dan Pelatihan Merumuskan kewajiban Pemerintah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, petugas lembaga pengada layanan dan pendamping korban secara terpadu. Tidak Ada. Perbedaan dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 7

39 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengatur jenis kekerasan seksual dengan keliru. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pornografi menyebutkan eksploitasi seksual sebagai muatan pornografi, yang selanjutnya diancam pidana oleh Undang-Undang ini. Demikian pula Pasal 4 ayat (1) huruf b meletakkan kekerasan seksual sebagai muatan pornografi, yang dalam Penjelasan dimaknai terbatas sebagai berupa persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan. Pengaturan ini rentan memposisikan perempuan korban kekerasan seksual justru terancam pidana oleh UU ini sebagai pelaku pornografi. Sementara Pasal 4 ayat (2) huruf c merekatkan eskploitasi seksual dengan memamerkan aktivitas seksual. Dalam penjelasan tidak ada informasi lebih lanjut tentang apa yang dimaksudkan dengan eksploitasi seksual. Pemaknaan serupa tampak pada Pasal 8 dan Pasal 10. Akibatnya, Undang-Undang Pornografi tidak lagi menempatkan pornografi sebagai bentuk kejahatan yang menyasar tubuh perempuan melainkan lebih pada kerangka moralitas yang berujung pada kontrol seksual perempuan. Apa Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Kekeliruan dalam Undang-Undang Pornografi dalam memaknai kekerasan seksual adalah ketentuan yang akan dikoreksi oleh. menegaskan bahwa kekerasan seksual bukan hanya perkosaan. Selain itu RUU Penghapusan juga menegaskan bahwa bahwa korban yang mengalami Perbedaan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 1

40 kekerasan seksual seperti perkosaan dan eksploitasi seksual adalah orang yang berhak atas perlindungan dan pemulihan dari tindak pidana yang dialaminya, termasuk berhak untuk terhindar dari kriminalisasi berdasarkan tuduhan pencemaran nama baik, pelaku pornografi, atau tuduhan tindak pidana lainnya. Selain itu, bentuk perlindungan yang diatur oleh Undang-Undang Pornografi hanya diberikan kepada anak yang menjadi korban atau pelaku dari tindak pornografi sebagaimana di atur dalam Pasal 16 Undang-Undang Pornografi. Artinya Undang-Undang Pornografi tidak memberikan perlindungan terhadap orang dewasa yang menjadi korban pornografi sehingga Undang-Undang ini tidak memberikan keadilan kepada orang dewasa yang menjadi korban pornografi. Padahal banyak korban pornografi adalah orang dewasa yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang sehingga ia terpaksa untuk melakukan hal hal yang berbau pornografi yang dilarang dalam UU Pornografi tersebut. Dalam, perlindungan kepada korban kekerasan seksual diberikan kepada setiap korban tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, asal daerah atau lainnya. Dari uraian yang disebutkan di atas dapat diketahui bahwa Undang-Undang Pornografi masih belum cukup untuk digunakan sebagai dasar hukum melindungi para korban kekerasan seksual, bahkan rentan mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual menjadi pelaku pornografi. Oleh karena itu diperlukan akan mengoreksi kekeliruan dalam Undang-Undang Pornografi agar korban kekerasan seksual memperoleh keadilan yang seharusnya mereka dapatkan. Karena akan mengatur hal hal yang belum diatur dalam Undang Undang ini dan sekaligus akan mengoreksi kekeliruan dalam Undang-Undang Pornografi, maka dapat dipastikan bahwa kehadiran tidak akan menyebabkan terjadinya tumpang tindih dengan Undang-Undang Pornografi. 2 Perbedaan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

41 Secara ringkas perbandingantersebut sebagaimana dalam tabel berikut : Aspek Definisi dan Unsur Tindak Pidana Menguraikan definisi kekerasan seksual Menguraikan unsur 9 (sembilan) tindak pidana kekerasan seksual UU PORNOGRAFI Pasal 1 angka 1: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. (catatan: UU Pornografi melihat eksploitasi seksual sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan, bukan kejahatan) Definisi kekerasan seksual dalam UU ini disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf b, yaitu persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan. UU ini juga menyebutkan bentuk kekerasan seksual lain berupa eksploitasi seksual Perbedaan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 3

42 Pemidanaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Merumuskan pidana pokok: a. restitusi; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. kerja sosial; d. pembinaan khusus; e. pencabutan hak asuh; f. pencabutan hak politik; g. pencabutan hak menjalankan pekerjaan; h. pencabutan jabatan atau profesi; dan/atau i. pengumuman putusan hakim. Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan mempertimbangkan adanya pemberatan atas perbuatan pelaku UU PORNOGRAFI Rentan mempidanakan korban kekerasan seksual Pasal 36 mengatur tentang ancaman pidana kepada orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 5 miliar rupiah Pasal 37 mengatur apabila dalam melakukan tindak pidana pornografi tersebut melibatkan anak didalamnya maka pidananya ditambah 1/3 dari maksimum ancaman pidananya Pencegahan Kekerasan Seksual Merumuskan pencegahan meliputi namun tidak terbatas pada bidang: a. pendidikan; b. infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; c. pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; d. ekonomi; dan e. sosial dan budaya Merumuskan Bentuk-bentuk pencegahan dan penanggungjawab penyelenggaraannya Terbatas Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, yang termasuk didalamnya berupa hal yang menyangkut kekerasan seksual. 4 Perbedaan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

43 Hak Korban, Saksi Dan Keluarga Korban, termasuk Perlindungan Pemulihan Korban Rehabilitasi Khusus Pelaku Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan Perlindungan diberikan kepada setiap korban kekerasan seksual tanpa membedakan perbedaan usia atau latar belakang lainnya Merumuskan hak korban atas pemulihan yang meliputi: a. fisik; b. psikologis; c. ekonomi; d. sosial dan budaya; dan e. restitusi. Merumuskan penyelenggaraan pemulihan korban baik sebelum maupun setelah proses peradilan pidana Merumuskan pengawasan atas penyelenggaraan pemulihan Merumuskan rehabilitasi khusus pelaku sebagai pidana pokok untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Merumuskan pembinaan khusus pelaku sebagai pidana tambahan untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu UU PORNOGRAFI Terbatas, hanya jika korban atau pelaku adalah anak. Berdasarkan Pasal 16 perlindungan diberikan terhadap anak yang menjadi korban maupun pelaku pornografi. Perlindungan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental Terbatas, hanya kepada anak sebagai korban atau pelaku. Sama halnya dengan Pasal 16 pemulihan hanya diberikan kepada anak sebagai korban maupun pelaku pornografi Pemulihan yang diberikan berupa pemulihan sosial, fisik, dan mental. Tidak ada Perbedaan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 5

44 Peran Serta Masyarakat Merumuskan upaya-upaya yang dapat diselenggarakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam penghapusan kekerasan seksual UU PORNOGRAFI Berdasarkan Pasal 20, Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Adapun bentuk konkrit dari peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat terdapat dalam Pasal 21 Hukum Acara Peradilan Pidana Kekerasan Seksual, termasuk Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tingkat Pertama dan Pembuktian Antara lain: Merumuskan kewajiban penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban, pendampingan korban dan menjaga kerahasiaan korban dalam proses peradilan pidana Merumuskan ketentuan untuk mengatasi berbagai hambatan korban dalam pembuktian dan pemeriksaan di pengadilan Merumuskan larangan bagi penegak hukum menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menyalahkan korban dan/atau saksi; atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban dan/atau saksi sebagai alasan untuk mengabaikan atau tidak melanjutkan penyidikan korban dan/atau saksi Pasal 25 mengatur tentang kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan seperti berupa membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya Pasal 26 mengatur tentang berita acara tindakan pada Pasal 25 Pasal 27 mengatur tentang pelampiran data elektronik dalam berkas perkara, pemusnahan dan kewajiban menjaga rahasia dari penyidik, penuntut dan pejabat pada semua tingkat pemeriksaan Pasal 28 mengatur tentang pemusnahan terhadap produk pornografi yang didapat dari hasil perampasan, pemusnahan tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum 6 Perbedaan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

45 UU PORNOGRAFI Restitusi Merumuskan kewajiban penegak hukum dalam pengajuan restitusi bagi korban dan tata cara pengajuan talangan restitusi bagi korban Tidak ada Kerja sama internasional Merumuskan, kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral yang dapat diselenggarakan oleh Lembaga Negara, Pemerintah, lembaga hak asasi manusia, lembaga penegak hukum, dan lembaga negara lainnya untuk penghapusan kekerasan seksual Pasal 18 mengatur tentang wewenang pemerintah dalam melakukan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak baik dari dalam maupun luar negeri dalam hal pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi Pendidikan dan Pelatihan Merumuskan kewajiban Pemerintah Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, petugas lembaga pengada layanan dan pedamping korban secara terpadu Tidak Ada. Perbedaan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 7

46 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hanya mengatur kekerasan seksual yang berupa eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Angka 43 Pasal 66 yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. Selain eksploitasi seksual, Pasal yang sama juga menjelaskan mengenai eksploitasi ekonomi yang merupakan tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. Walaupun jenis kekerasan seksual berupa eksploitasi seksual dinyatakan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, ketentuan ini hanya dapat digunakan untuk memberikan perlindungan pada korban eksploitasi seksual jika korban berusia anak. Undang-Undang Perlindungan Anak menggunakan kata persetubuhan dan perbuatan cabul untuk menunjukkan kekerasan seksual pada Anak. Selain itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 juga menyebutkan frasa kejahatan seksual namun tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan kejahatan seksual tersebut. Dalam hal pemidanaan, Undang Undang ini hanya mengatur tentang ancaman pidana terhadap seseorang yang memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya dan eksploitasi anak. Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak 1

47 Dengan demikian Undang Undang ini tidak dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan kekerasan seksual di luar perbuatan berupa persetubuhan atau eksploitasi seksual. Undang Undang ini juga tidak mengatur pencegahan agar anak terhindar dari terjadinya kekerasan seksual. Sekalipun merumuskan norma kewajiban orangtua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, ketentuan ini tidak disertai dengan rumusan pemidanaan jika orangtua tidak mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Walaupun demikian, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 telah menyatakan perlindungan khusus ditujukan antara lain bagi Anak yang tereksploitasi secara seksual atau ekonomi, yang diantaranya berupa upaya rehabilitasi dan pemulihan. Termasuk mengatur ketentuan bahwa korban berhak mengajukan hak atas restitusi ke pengadilan dimana restitusi merupakan tanggung jawab pelaku kejahatan. Undang-Undang ini juga menguraikan apa saja upaya yang dilakukan untuk mewujudkan terpenuhinya perlindungan khusus bagi Anak korban kejahatan seksual. Ketentuan ini disertai catatan tidak adanya uraian lebih lanjut bagaimana hak Anak atas pemulihan dipastikan secara teknis dan berkesinambungan dinikmati oleh korban. Apa Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak? akan mengatur jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual selain eksploitasi seksual. juga memberikan perlindungan tidak hanya bagi anak yang menjadi korban dari tindak pidana kekerasan seksual termasuk eksploitasi seksual, melainkan bagi setiap orang yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Penjabaran mengenai hak korban atas perlindungan, penanganan dan pemulihan juga diuraikan oleh. Selain merumuskan ancaman pidana pokok dan pidana tambahan yang bertujuan retributif sekaligus rehabilitatif, pemidanaan yang dijatuhkan akan disertai pemberatan apabila korban adalah anak. Mengingat tindak pidana eksploitasi seksual bisa menimpa setiap orang tak terkecuali perempuan dan anak yang berada dalam kondisi relasi kuasa yang timpang dengan pelaku, RUU Penghapusan akan membangun pembaharuan hukum terhadap UU Perlindungan Anak khususnya terkait pemidanaan terhadap pelaku eksploitasi seksual, dan perlindungan dan pemulihan bagi korban eksploitasi seksual bagi siapapun korban, termasuk anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Selain itu, juga mempertimbangkan bahwa pemulihan korban tetap harus menjadi prioritas. Oleh karenanya, berbagai ketentuan dalam 2 Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak

48 merupakan pemaknaan dari kekerasan seksual sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penanganannya harus dilakukan secara terpadu dan dalam setiap prosesnya harus berkontribusi pada pemulihan korban. Memaknai kekerasan seksual sebagai kejahatan luar biasa tidaklah sama dengan penjatuhan ancaman pidana yang menghilangkan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Mengatasi berbagai hambatan yang seringkali dialami korban kekerasan seksual ketika menempuh proses peradilan pidana dan memastikan pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan justru merupakan pemaknaan yang akan dirasakan langsung kemanfaatannya oleh korban. Hal inilah yang diatur oleh dalam berbagai bab antara lain bab perlindungan saksi dan korban, hukum acara termasuk di dalamnya pembuktian dan pengajuan restitusi, dan pencegahan kekerasan seksual. Ketentuan ini tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga akan melengkapi ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai aturan khusus (lex specialis). Dari beberapa hal yang sudah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa diperlukan untuk mengatur hal hal yang belum diatur dalam Undang Undang Perlindungan Anak dan peraturan perundang-undangan lainnya, agar semua korban kekerasan seksual baik anak anak maupun orang dewasa dapat terpenuhi haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan dan jaminan ketidakberulangan. Dengan mengingat prinsip lex posteriori derogat legi priori, maka akan mengisi kekosongan hukum dari Undang-Undang Perlindungan Anak dan sekaligus memperbarui bentuk pemidanaan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, serta pemulihan dan perlindungan bagi Anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang belum diatur secara spesifik oleh Undang-Undang Perlindungan Anak. Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak 3

49 Secara ringkas perbandingan antara dengan UU Perlindungan Anak tampak dalam tabel berikut : Aspek Definisi dan Unsur Tindak Pidana Pemidanaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menguraikan definisi kekerasan seksual Menguraikan unsur 9 (sembilan) tindak pidana kekerasan seksual Merumuskan pidana pokok: a. pidana penjara; b. rehabilitasi khusus; Merumuskan pidana tambahan a. restitusi; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. kerja sosial; d. pembinaan khusus; e. pencabutan hak asuh; f. pencabutan hak politik; g. pencabutan hak menjalankan pekerjaan; h. pencabutan jabatan atau profesi; dan/atau i. pengumuman putusan hakim UU PERLINDUNGAN ANAK Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan salah satu jenis kekerasan seksual berupa eksploitasi secara seksual, yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. Selain itu Undang-Undang ini juga menyebutkan frasa kejahatan seksual namun tidak diuraikan definisinya. Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur bahwa Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). 4 Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak

50 Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan mempertimbangkan adanya pemberatan atas perbuatan pelaku UU PERLINDUNGAN ANAK Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 500 miliar rupiah bagi seseorang yang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur tentang ancaman pidana paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah terhadap setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual terhadap Anak. Pencegahan Merumuskan pencegahan meliputi namun tidak terbatas pada bidang: a. pendidikan; b. infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; c. pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; d. ekonomi; dan e. sosial dan budaya Diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak 5

51 Merumuskan Bentuk-bentuk pencegahan dan penanggungjawab penyelenggaraannya UU PERLINDUNGAN ANAK Ketentuan ini dapat dihubungkan dengan kewajiban orang tua untuk mencegah terjadinya pemaksaan perkawinan, namun ketentuan tersebut tidak diiringi dengan pemidanaan kepada orang tua yang tidak mencegah terjadinya perkawinan apada usia anak-anak. Hak Korban, Saksi Dan Keluarga Korban, termasuk Perlindungan Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban Merumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur hak Anak sebagai korban atau pelaku atas jaminan kerahasiaan. Pasal 17 ayat (2): Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Perlindungan khusus diberikan kepada anak yang menjadi korban kejahatan seksual, eksploitasi seksual. Bentuk perlindungan diatur dalam pasal 66 dan 69A Undang-Undang Nomor 35 Tahun Pasal 69 A: Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. rehabilitasi sosial; c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. 6 Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak

52 Pemulihan Korban Merumuskan hak korban atas pemulihan yang meliputi: a. fisik; b. psikologis; c. ekonomi; d. sosial dan budaya; dan e. restitusi. Merumuskan penyelenggaraan pemulihan korban baik sebelum maupun setelah proses peradilan pidana Merumuskan pengawasan atas penyelenggaraan pemulihan UU PERLINDUNGAN ANAK Pasal 69A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 merumuskan pemulihan sebagai bagian dari perlindungan khusus bagi Anak korban kejahatan seksual. Rehabilitasi Khusus Pelaku Merumuskan rehabilitasi khusus pelaku sebagai pidana pokok untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Merumuskan pembinaan khusus pelaku sebagai pidana tambahan untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu Tidak ada Peran Serta Masyarakat Merumuskan upaya-upaya yang dapat diselenggarakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam penghapusan kekerasan seksual Pasal 44 ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur peran serta masyarakat dalam mendukung penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif. Pasal 72 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur peran serta masyarakat baik secara perseorangan maupun kelompok dalam Perlindungan Anak. Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak 7

53 Hukum Acara Peradilan Pidana, termasuk Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tingkat Pertama dan Pembuktian Restitusi Kerja sama internasional Pendidikan dan Pelatihan Antara lain: Merumuskan kewajiban penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban, pendampingan korban dan menjaga kerahasiaan korban dalam proses peradilan pidana Merumuskan ketentuan untuk mengatasi berbagai hambatan korban dalam pembuktian dan pemeriksaan di pengadilan Merumuskan larangan bagi penegak hukum menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menyalahkan korban dan/ atau saksi; atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban dan/atau saksi sebagai alasan untuk mengabaikan atau tidak melanjutkan penyidikan korban dan/atau saksi Merumuskan kewajiban penegak hukum dalam pengajuan restitusi bagi korban dan tata cara pengajuan talangan restitusi bagi korban Merumuskan, kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral yang dapat diselenggarakan oleh Lembaga Negara, Pemerintah, lembaga hak asasi manusia, lembaga penegak hukum, dan lembaga negara lainnya untuk penghapusan kekerasan seksual Merumuskan kewajiban Pemerintah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, petugas lembaga pengada layanan dan pendamping korban secara terpadu. UU PERLINDUNGAN ANAK Secara luas ketentuan mengenai Anak Berhadapan dengan Hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 71D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 merumuskan hak Anak yang menjadi korban kejahatan seksual berhak mengajukan restitusi kepada pengadilan dimana restitusi menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan. Tidak ada Tidak Ada. Diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 8 Perbedaan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak

54 8 Pengaturan Tindak Pidana dalam RUU Penghapusan Apa saja jenis kekerasan seksual? Dari fakta kejadian yang didokumentasikan maupun definisi yang dikembangkan dari berbagai peraturan perundang-undangan atau berbagai dokumen internasional, Komnas Perempuan mengidentifikasi adanya 15 (limabelas) jenis yang terjadi dalam beragam konteks sebagai berikut: 1 1) Perkosaan; 2) Pelecehan seksual; 3) Eksploitasi seksual; 4) Penyiksaan seksual; 5) Perbudakan seksual; 6) Intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan; 7) Prostitusi paksa; 8) Pemaksaan kehamilan; 9) Pemaksaan aborsi; 10) Pemaksaan perkawinan; 11) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; 12) Kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan diskriminasi perempuan lewat aturan; 13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan; dan 15) Pemaksaan Sterilisasi/Kontrasepsi. 1 Sumber dari pendefinisian masing-masing bentuk kekerasan seksual sebagaimana yang tercatat dalam Komnas Perempuan,, terakhir diakses 11 April 2014, dan Komnas Perempuan, 15 Jenis, terakhir diakses 11 April Pengaturan Tindak Pidana dalam 1

55 Apa saja jenis kekerasan seksual yang dikategorisasikan sebagai tindak pidana? Suatu perbuatan untuk dapat ditetapkan sebagai tindak pidana harus memenuhi asas legalitas sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Pasal 1 ayat (1) KUHP menjelaskan asas legalitas dari suatu perbuatan tindak pidana yang dikenal juga dengan adagium nullum delictum nulla poena sine praevia poenali. Untuk itu Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan merumuskan 9 jenis kekerasan seksual sebagai tindak pidana, dan menetapkan unsur-unsur perbuatan yang dikategorisasikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. mengkategorisasikan kekerasan seksual menjadi 9 jenis, yakni: 1. pelecehan seksual; 2. eksploitasi seksual; 3. pemaksaan kontrasepsi; 4. pemaksaan aborsi; 5. perkosaan; 6. pemaksaan perkawinan; 7. pemaksaan pelacuran; 8. perbudakan seksual; dan 9. penyiksaan seksual. Mengapa dari 15 jenis kekerasan seksual yang teridentifikasi hanya 9 jenis yang diatur dalam? Tidak semua dari 15 jenis kekerasan tersebut mempunyai unsur subjektif dan unsur objektif sebagaimana disyaratkan dalam pengaturan kriminalisasi hukum pidana. Oleh karena itu, jenis kekerasan seksual yang merupakan praktik, tradisi dan kebijakan, tidak harus diselesaikan dengan pengaturan pidana (misalnya kekerasan seksual berupa praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan dan kontrol seksual, termasuk melalui aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama). Namun kekerasan seksual perlu diintervensi juga melalui perubahan cara pandang dan pola pikir melalui pendidikan dan penyebarluasan informasi. Hal ini khususnya pendidikan dan informasi tentang bagaimana berbuat adil gender tanpa mendiskriminasi perempuan, memperbaiki praktik-praktik budaya di masyarakat yang masih merugikan perempuan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap proses penyusunan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah agar tidak membuat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Selain itu, ada jenis tertentu yang sesungguhnya adalah bagian dari kekerasan seksual, namun jenis tersebut telah diatur spesifik dalam peraturan perundang-undangan lain secara memadai sehingga tidak perlu diatur lagi dalam. Misalnya, perdagangan orang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). 2 Walaupun perdagangan orang dalam Undang-Undang 2 Lihat Pasal 1 ayat (1) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 1 ayat (1) menjelaskan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, 2 Pengaturan Tindak Pidana dalam

56 tersebut tidak disebutkan eksplisit untuk tujuan seksual, namun pengaturannya sudah cukup memadai. Apakah pengaturan 9 jenis kekerasan seksual dalam tumpang tindih dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan lainnya? Tidak. Hal ini sebagaimana ditunjukkan berikut ini: Nomor Tindak Pidana Perbandingan Peraturan Perundang-undangan 1 Pelecehan seksual; Dalam KUHP disebut sebagai pencabulan, namun frasa pencabulan mengandung makna termasuk persetubuhan di dalamnya. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam norma hak untuk bebas dari pelecehan seksual, namun tanpa rumusan unsur tindak pidana dan ancaman pidana. 2 Eksploitasi seksual; Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 terbatas memberikan perlindungan apabila korban berusia anak. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, eksploitasi seksual adalah salah satu maksud atau tujuan tindak pidana perdagangan orang.dimana eksploitasi seksual dapat disebut TPPO jika terjadi dengan 2 unsur lainnya yaitu proses dan cara tindak pidana perdagangan orang. 3 Pemaksaan kontrasepsi; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan sterilisasi paksa sebagai jenis tindak pidana dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus memenuhi unsur 1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, 2) atau sistematik, 3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Sterilisasi adalah salah satu metode dalam penyelenggaraan kontrasepsi. Namun, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mempidanakan pemaksaan kontrasepsi. penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi yang dimaksud juga mencakup eksploitasi seksual. Pasal 1 ayat (8) menjelaskan yang dimaksud dengan eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Pengaturan Tindak Pidana dalam 3

57 4 Pemaksaan aborsi; Tidak ada 5 Perkosaan; Tindak pidana perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, walaupun kata perkosaan hanya ada dalam Pasal 285 KUHP, sedangkan pasal-pasal lainnya menggunakan kata bersetubuh. Penafsiran sempit makna perkosaan sebagai penetrasi konvensional ditambah posisi pengaturannya dalam bab kesusilaan mengakibatkan kekerasan seksual yang terjadi tidak dianggap sebagai serangan terhadap tubuh dan seksualitas korban, tetapi lebih karena tidak patut/ pantas dilakukan oleh pelaku pada korban dan sebagai pelanggaran terhadap rasa susila masyarakat. Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT mengatur tentang kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga sekalipun tidak menyebutkan perkosaan namun norma yang diatur sebagai jenis perkosaan dalam lingkup rumah tangga. Selain KUHP, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan perkosaan sebagai jenis tindak pidana dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus memenuhi unsur 1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, 2) atau sistematik, 3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. 6 Pemaksaan perkawinan; Terdapat kewajiban orang tua mencegah terjadinya perkawinan di usia anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dalam praktek seringkali orangtua memaksa dilakukan perkawinan atas dasar berbagai alasan atau mengijinkan perkawinan, namun dalam norma tidak disertai ancaman pidana jika kewajiban itu dilanggar. 7 Pemaksaan pelacuran; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan pelacuran paksa sebagai jenis tindak pidana dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus memenuhi unsur 1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, 2) atau sistematik, 3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. 8 Perbudakan seksual; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan perbudakan seksual sebagai jenis tindak pidana dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus memenuhi unsur 1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, 2) atau sistematik, 3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. 9 Penyiksaan seksual Tidak ada 4 Pengaturan Tindak Pidana dalam

58

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual 2 Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Apa perbedaan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ()? Sesuai dengan namanya, tentu saja hanya

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? RUU Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017 Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid 14-15 November 2017 Kondisi kekerasan seksual di Indonesia Kasus kekerasan terhadap perempuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M. Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENTING! RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENTING! RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENTING! DRAFT RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DIBAWAH INI, SESUAI DENGAN PROGRES KEMAJUAN SAMPAI DENGAN 1 SEPTEMBER 2015, DAN DIPUBLIKASIKAN UNTUK MEMENUHI KEINGINTAHUAN DAN MENDAPAT RESPON, REKOMENDASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA 1 BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA A. Sejarah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman...3 Halaman...33 Halaman...49 Halaman...59

DAFTAR ISI Halaman...3 Halaman...33 Halaman...49 Halaman...59 ii DAFTAR ISI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014. Halaman...3 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

"Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR"

Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR "Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR" oleh: Asnifriyanti Damanik, SH. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrintinasi

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN B U K U S A K U B A G I ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Penyusun Desainer : Tim ACILS dan ICMC : Marlyne S Sihombing Dicetak oleh : MAGENTA FINE PRINTING Dikembangkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA Training HAM Lanjutan Bagi Tenaga Pendidik Akpol Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Vulnerable Groups) Hotel Horison Semarang, 15-17 Januari 2014 MAKALAH PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Daftar Isi TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Penyusun: Justice for the Poor Project. Desain Cover: Rachman SAGA. Foto: Luthfi Ashari

Daftar Isi TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Penyusun: Justice for the Poor Project. Desain Cover: Rachman SAGA. Foto: Luthfi Ashari Daftar Isi TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Penyusun: Justice for the Poor Project Desain Cover: Rachman SAGA Foto: Luthfi Ashari Jakarta Juli 2005 Pengantar - 1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan 1 Desain oleh Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KOTA PARIAMAN, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

j K ika amu korban Perkosaan

j K ika amu korban Perkosaan j K ika amu korban Perkosaan 1 Desain oleh : Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Perkosaan Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai peniske arah vagina,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini adalah kekerasan seksual terhadap anak. Anak adalah anugerah tidak ternilai yang dikaruniakan

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK salinan NOMOR 8 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN, PELAYANAN DAN PEMULIHAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Seri Advokasi kebijakan # Perlindungan Saksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Pendahuluan Tahun 2015 ini dapat dikatakan menjadi

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBINAAN, KOORDINASI, PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci