SKRIPSI KINETIKA PERUBAHAN ASAM FITAT PADA TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN. Oleh : ABDI TUNGGAL CAHYO SUWARTO F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI KINETIKA PERUBAHAN ASAM FITAT PADA TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN. Oleh : ABDI TUNGGAL CAHYO SUWARTO F"

Transkripsi

1 SKRIPSI KINETIKA PERUBAHAN ASAM FITAT PADA TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN Oleh : ABDI TUNGGAL CAHYO SUWARTO F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 Abdi Tunggal Cahyo S. F Kinetika Perubahan Asam Fitat pada Tempe Selama Proses Pemanasan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS. RINGKASAN Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia dari kacang kedelai dengan menggunakan kapang. Kapang utama yang berperan dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus sp. antara lain Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Rhizopus arrhizus, dan Rhizopus stolonifer. Dibandingkan dengan kedelai, tempe memiliki banyak kelebihan. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Selain sebagai sumber protein, tempe juga memiliki manfaat fungsional yang menjadikan produk ini bernilai tambah tinggi. Asam fitat ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada serealia, kacang-kacangan, dan minyak biji-bijian. Pada banyak serealia dan minyak biji-bijian, asam fitat terdapat dalam jumlah 1-5% dari berat total dan menjadi bentuk penyimpanan utama dari fosfor pada tanaman serealia. Tempe yang terbuat dari kacang kedelai akan mengandung asam fitat. Kandungan fitat sebesar 1% atau lebih dalam makanan dapat menyebabkan defisiensi mineral, misalnya defisiensi Ca pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui profil penetrasi panas tempe sedangkan penelitian utama dilakukan untuk mengukur pengaruh proses termal terhadap kandungan senyawa asam fitat pada tempe. Pada tahap persiapan sampel, sampel tempe dihancurkan dengan penambahan air 1:1 (w/v) kemudian dikemas dalam kantung aluminium foil. Pemanasan sampel dilakukan pada suhu 70, 80, dan 90⁰C dengan waterbath. Berdasarkan penelitian pendahuluan, waktu pemanasan yang diperlukan sampel untuk mencapai suhu 70 C sekitar 4 menit, untuk mencapai suhu 80 C sekitar 5 menit, dan untuk mencapai suhu 90 C diperlukan waktu sekitar 8 menit. Semakin tinggi suhu yang ingin dicapai maka waktu pemanasan awal yang diperlukan semakin lama. Pengukuran kadar asam fitat pada sampel tempe menghasilkan kadar awal asam fitat pada sampel tempe rata-rata sebesar 2.84 % dari berat kering sampel. Terjadi penurunan kadar asam fitat yang signifikan (62-71%) dari kadar asam fitat awal pada waktu awal perlakuan pemanasan sampel. Penurunan kadar asam fitat yang signifikan pada percobaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya enzim fitase dengan aktivitas tinggi yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus pada tempe dan kadar asam fitat awal pada sampel yang relatif tinggi. Pada perlakuan pemanasan berikutnya reaksi degradasi asam fitat menjadi lebih lambat. Hal ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas enzim fitase karena suhu sampel telah melampaui suhu kerja optimum enzim dan sudah berkurangnya kadar asam fitat pada sampel. Penurunan kadar asam fitat tempe akibat proses pemanasan merupakan reaksi ordo satu. Nilai ko degradasi asam fitat tempe karena pemanasan adalah 2,15 x 10-3 menit -1, nilai Ea adalah kal/mol, dan nilai k adalah 2,15 x e 755,6 (1/T). iii

3 KINETIC OF TEMPE PHYTIC ACID CHANGES DURING HEATING PROCESS Abdi Tunggal Cahyo S 1 and Adil Basuki Ahza 1 1 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, PO. Box 220, Bogor 16002, Indonesia ABSTRACT Tempe is Indonesian traditional fermented food which is made from soybean. Despite its high nutrition value, tempe which is produced from soybean, contains phytic acid. This research is aimed at to study the kinetics of tempe phytic acid degradation during thermal process using Arrhenius method. Tempe paste was prepared by blendering ( ratio of 1:1 (w/v) tempe:water), and then treated by three different heating temperatures and five different heating time ( and 90 o C for a 0, 25, 50, 75, and 100 minutes). Degradation of phytic acid content in tempe due to the heating process was order one reaction with ko value of 2.15 x 10-3 min -1, Ea value of -501 cal / mol, and the k value of 2.15 x e 755, 6 (1 / T). Keywords: tempe; phytic acid; arrhenius ii

4 SKRIPSI KINETIKA PERUBAHAN ASAM FITAT PADA TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN Oleh : ABDI TUNGGAL CAHYO SUWARTO F SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor 2011 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

5 Judul Skripsi : Kinetika Perubahan Asam Fitat pada Tempe Selama Proses Pemanasan Nama : Abdi Tunggal Cahyo Suwarto NIM : F Menyetujui, Pembimbing (Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS.) NIP : Mengetahui, Ketua Departemen (Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP : Tanggal Lulus : 22 Desember 2010

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 24 Desember Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Suwarto dan Srianah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SDN Pelem I, Kediri, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Pare, Kediri, Jawa Timur hingga tahun Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Pare, Kediri pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus KAMAJAYA (Kesatuan Mahasiswa Jaya Baya) sebagai Ketua, pengurus Badan Pengawas HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai Ketua, anggota FPC (Food Processing Club) Himitepa bidang extrusion food dan, serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti d Bogor Expo tahun 2006, juara 1 futsal antar Organisasi Mahasiswa Daerah IPB se-jawa tahun 2007, Pelatihan dan Seminar HACCP VI tahun 2008, Masa Perkenalan Departeman ITP (BAUR) tahun 2008, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan tahun 2008 sebagai koordinator Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi, Indonesian Food Expo tahun Penulis juga terpilih menjadi asisten dosen dalam pelaksanaan praktikum Mikrobiologi Pangan pada tahun Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul Kinetika Perubahan Asam Fitat pada Tempe Selama Proses Pemanasan di bawah bimbingan Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS. iv

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dari penelitian yang dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium SEAFAST Center, IPB dengan judul Kinetika Perubahan Asam Fitat pada Tempe Selama Proses Pemanasan. Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang penulis sampaikan kepada: 1. Bapak, Ibu, dan keluargaku tercinta atas segala doa, kasih sayang, nasehat, dan motivasi kepada penulis. 2. Dr. Ir Adil Basuki Ahza, MS. selaku dosen pembimbing serta bimbingan dan nasehat dalam menyelesaikan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. 3. Dr. Ir. Muhammad Arpah, MSi. atas kesediannya menjadi dosen penguji dan atas kritik, saran dan masukan yang diberikan. 4. Antung Sima Firlieyanti, STP, MSc. atas kesediannya menjadi dosen penguji dan atas kritik, saran dan masukan yang diberikan. 5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. 6. Teman-temanku di ITP atas kebersamaan dan nasehat selama ini. 7. Teman-teman dan teknisi di laboratorium atas bantuan, masukan, dan semangat yang diberikan selama di laboratorium. 8. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama masa studi di Institut Pertanian Bogor yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor, Desember 2010 Penulis v

8 DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT... ii RINGKASAN... iii BIODATA... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix I PENDAHULUAN... 1 A Latar Belakang... 1 B Tujuan Penelitian...2 II TINJAUAN PUSTAKA... 3 A Kedelai... 3 B Tempe dan Senyawa Anti Nutrisi... 3 C Asam Fitat... 4 D Proses Panas... 5 E Kinetika Reaksi... 6 III BAHAN DAN METODOLOGI A Bahan dan Alat B Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan Persiapan Sampel Penentuan Profil Penetrasi Panas Tempe Penelitian Utama Persiapan Sampel Pemanasan Sampel Analisis Kandungan Asam Fitat Penentuan Kinetika Penurunan Asam Fitat pada Tempe IV WAKTU DAN TEMPAT V HASIL DAN PEMBAHASAN A Penelitian Pendahuluan Kalibrasi Termokopel Penentuan Profil Penetrasi Panas B Penelitian Utama Analisis Kandungan Asam Fitat Kinetika Penurunan Asam Fitat pada Tempe akibat Pemanasan VI KESIMPULAN DAN SARAN A Kesimpulan...23 B Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi

9 DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 gram Defosforilasi produk minyak biji-bijian oleh enzim fitase Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo nol Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo satu Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo dua vii

10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Struktur asam fitat 4 2. Struktur kompleks fitat mineral Hubungan linier pada reaksi ordo nol, satu, dan dua Hubungan linier antara ln k dengan kebalikan suhu mutlak 8 5. Bagan alir proses pembuatan tempe Pemanasan sampel tempe Posisi termokopel Posisi rangka aluminium pada kemasan sampel Kurva kalibrasi termokopel Hubungan antara waktu pemanasan dengan suhu sampel Hubungan antara kadar fitat dengan waktu pemanasan sampel tiap suhu perlakuan Kurva kestabilan fitase Rhizopus oligosporus oleh panas Jalur reaksi hidrolisis asam fitat oleh fitase tanaman dan kapang Grafik hubungan linier antara ln k dengan 1/ T pada plot Arrhenius 22 viii

11 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data hasil pengukuran kalibrasi termokopel Data hasil pengukuran penetrasi panas Data hasil pengukuran kadar air sampel Data hasil pengukuran kurva standar Data hasil analisis kadar asam fitat Grafik penentuan kinetika penurunan kadar asam fitat metode Arrhenius Tabel perhitungan penentuan kinetika penurunan kadar asam fitat metode Arrhenius Grafik penentuan kinetika penurunan kadar asam fitat metode Arrhenius.. 34 ix

12 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia dari kacang kedelai dengan menggunakan kapang. Kapang utama yang berperan dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus sp. antara lain Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Rhizopus arrhizus, dan Rhizopus stolonifer. Masing-masing spesies kapang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan enzim. Shurtleff dan Aoyagi (1979) menyatakan bahwa analisis yang dilakukan terhadap sampel-sampel tempe dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatra ternyata Rhizopus oligosporus selalu terdapat pada tempe yang bermutu baik. Dibandingkan dengan kedelai, tempe memiliki banyak kelebihan. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat (Hermana et al., 2001). Proses fermentasi pada pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar rafinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (Egounlety dan Aworh, 2003). Kadar asam fitat kedelai juga akan menurun selama proses fermentasi tempe. Penurunan kadar senyawa antinutrisi kedelai selama fermentasi disebabkan oleh aktivitas kapang tempe yang mencerna atau menghasilkan enzim pendegradasi senyawa antinutrisi (Sudarmadji dan Markakis, 1977). Selain sebagai sumber protein, tempe juga memiliki manfaat fungsional yang menjadikan produk ini bernilai tambah tinggi. Tempe mengandung isoflavon yang merupakan antioksidan yang sangat diperlukan tubuh dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Potensi tempe yang begitu besar tentu saja menjadikan tempe sebagai produk yang memiliki peluang ekspor tinggi. Hanya saja kendala umur simpan dan mutu menjadi faktor pembatas. Tempe yang terbuat dari kacang kedelai akan mengandung asam fitat. Kandungan fitat yang tinggi (1% atau lebih) dalam makanan dapat menyebabkan defisiensi mineral, misalnya defisiensi Ca pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut (Wozenski dan Woodburn, 1975). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari salah satu metode untuk menurunkan kadar asam fitat pada tempe dengan proses panas. Proses termal adalah aplikasi panas pada bahan pangan tertentu yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan menurunkan kandungan senyawa antinutrisi.. Dalam penelitian ini akan diperoleh nilai k, ko, dan Ea reaksi penurunan kadar asam fitat pada tempe oleh panas dengan metode Arrhenius. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memprediksi penurunan kadar asam fitat pada tempe dengan lebih cepat dan mudah. 1

13 B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menentukan profil kinetika penurunan kadar asam fitat tempe oleh proses panas. Dalam penelitian ini akan diperoleh nilai ko dan Ea kinetika penurunan kadar asam fitat pada tempe dengan metode Arrhenius. Nilai konstanta Arrhenius yang diperoleh dapat digunakan untuk memprediksi penurunan kadar asam fitat tempe selama proses termal. 2

14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kedelai Kedelai (Glycine max) termasuk dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilionidae, genus Glycine dan spesies max diperkirakan berasal dari Cina. Tanaman ini dibagi menjadi dua golongan, pertama berdasarkan warnanya yaitu kedelai putih/kuning, kedelai coklat, kedelai hijau, dan kedelai hitam. Pembagian kedua berdasarkan umurnya yaitu umur pendek (60-80 hari), sedang ( hari), dan panjang ( hari). Kedelai mempunyai kandungan protein dan lemak yang tinggi. Secara umum komposisi zat gizi kedelai kuning kering dan tempe dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 gram Komponen Kimia Kedelai Kuning Tempe Kalori (kal) Protein (g) 35,1 18,3 Lemak (g) 17,7 4,0 Hidrat arang (g) 32 12,7 Kalsium (mg) Besi (mg) 8,5 10 Vitamin B1 (mg) 0,66 0,17 Air (g) 10,2 64 Sumber: Santoso, 1993 Komposisi asam amino yang membentuk protein kedelai cukup lengkap. Kandungan lisin kedelai cukup tinggi sehingga dapat digunakan dalam suplementasi pada serealia yang kandungan lisinnya rendah. Kandungan methionin pada protein kedelai rendah, sehingga merupakan faktor pembatas yang harus diperhatikan bila digunakan dalam fortifikasi makanan. Berbagai produk dapat dihasilkan dari kedelai baik sebagai bahan makanan manusia maupun ternak dan bahan industri lainnya. Produk kedelai hasil industri tradisional yang diproduksi dan berpotensi di Indonesia terdiri dari lima jenis produk yaitu: tempe, tahu, tauco, kecap, dan kembang tahu (Muchtadi, 1989). B. Tempe dan Senyawa Anti Nutrisi Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berupa padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia yang umumnya difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus. Kapang lain yang sering ditemukan pada tempe antara lain Rhizopus oryzae, Rhizopus arrhizus, dan Rhizopus stolonifer. Masing-masing spesies kapang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan enzim. Shurtleff dan Aoyagi (1979) menyatakan bahwa analisis yang dilakukan terhadap sampel-sampel tempe dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatra ternyata Rhizopus oligosporus selalu terdapat pada tempe yang bermutu baik. Pengolahan kedelai menjadi tempe meningkatkan nilai gizi terutama pada protein, lemak, karbohidrat dan vitamin. Selain itu kandungan gizi tempe menjadi lebih larut dalam air 3

15 dan lebih mudah dicerna dibanding kedelai, serta terjadi kerusakan zat-zat anti-nutrisi seperti antitripsin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatulensi pada kedelai (Hermana, 1985). Asam fitat dapat membentuk ikatan komplek dengan Fe atau mineral lain seperti Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk yang tidak larut dan sulit diabsorpsi tubuh. Proses perendaman dalam air panas dan fermentasi selama proses pembuatan tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sehingga mineral dapat lebih mudah diserap tubuh (Koswara, 1992). Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat berkurang sekitar 30% dari kedelai sebelum fermentasi. Asam fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium, dan gangguan penyerapan zat besi (Karyadi, 1985). Fermentasi akan meningkatkan padatan terlarut dari 13% pada kedelai menjadi 28% pada tempe setelah 72 jam fermentasi. Setengah kandungan protein awal akan dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana dan larut dalam air seperti asam amino dan peptida. Hal ini menunjukkan bahwa daya cerna tempe lebih tinggi dari kedelai (Steinkraus, 1983). C. Asam Fitat Asam fitat adalah suatu mio-inositol 1, 2, 3, 4, 5, 6-heksafosfat (dihidrogen fosfat) (Oberleas, 1973) yang memiliki fosfor bermuatan negatif yang besar sehingga asam fitat mampu berikatan dengan banyak kation divalen, protein, dan pati. Asam fitat ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada serealia, kacang-kacangan, dan minyak biji-bijian. Pada tanaman serealia dan minyak biji-bijian, asam fitat terdapat dalam jumlah 1-5% dari berat total dan menjadi bentuk penyimpanan utama dari fosfor pada tanaman serealia (Liener, 1989). Fungsi utama fitat pada tumbuhan adalah untuk menyediakan fosfor dan mio-inositol yang dibutuhkan selama masa perkecambahan benih (Markakis, 1977). (a) (b) Gambar 1. Struktur asam fitat menurut (a) Erdman (1979) dan (b) Scott et al (1982) Asam fitat mampu mengkelat mineral-mineral terutama kalsium (Ca), magnesium (Mg), besi (Fe), dan seng (Zn) sehingga menurunkan ketersediaan mineral tersebut bagi tubuh. Kandungan fitat yang tinggi (1% atau lebih) dalam makanan dapat menyebabkan defisiensi mineral, misalnya defisiensi Ca pada hewan dan manusia (Wozenski dan Woodburn, 1975). 4

16 (a) (b) Gambar 2. Struktur kompleks fitat-mineral menurut (a) Erdman (1979) dan (b) Scott et al (1982) Asam fitat dapat juga bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks ini dapat mempengaruhi kecepatan hidrolisis protein oleh enzim-enzim proteolitik karena terjadi perubahan konformasi protein. Hal ini menyebabkan ketersediaan biologis dari zat gizi tersebut menurun. Fitat sulit dicerna karena kurangnya sistem kerja enzim endogenous yang mampu mengkatalisis hidrolisis fitat menjadi inositol dan fosfor organik (Muchtadi, 1989). Oleh karena itu asam fitat dianggap sebagai senyawa antinutrisi. Pada dua dekade terakhir, beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam fitat memiliki beberapa efek kesehatan, diantaranya menurunkan risiko kanker. Kadar asam fitat dalam kacang kedelai adalah 1,4% (Sudarmadji dan Markakis, 1977). Kadar asam fitat akan menurun secara drastis akibat perlakuan perendaman dan fermentasi. Perendaman kacang jogo dalam air pada suhu 60 C selama 10 jam menurunkan 90% total kandungan asam fitat. Penurunan nyata kadar asam fitat terjadi pada pemberian perlakuan fermentasi karena kapang fermentasi menghasilkan enzim fitase. Pada oncom, fermentasi menurunkan kadar asam fitat dari kadar awal 1.36% menjadi 0.05% (pada oncom hitam) dan 0.70% (pada oncom merah) (Fardiaz dan Markakis, 1981). D. Proses Panas Proses termal merupakan aplikasi panas pada bahan pangan tertentu yang diharapkan dapat memperpanjang umur simpannya. Proses termal juga memiliki manfaat lain, terutama dalam peningkatan mutu santap. Tujuan utama proses termal adalah membunuh mikroba pembusuk dan patogen dengan pemanasan sehingga dapat meningkatkan keamanannya dan memperpanjang daya awetnya dalam jangka waktu tertentu. Proses termal juga menyebabkan inaktivasi enzim perusak sehingga mutu produk pangan lebih stabil. Namun demikian, proses termal dapat menyebabkan kerugian, yaitu kerusakan zat gizi dan mutu organoleptik (Kusnandar et al., 2006). Proses termal juga dapat menyebabkan perubahan yang merugikan seperti perubahan tekstur dan kerusakan zat gizi seperti vitamin. Setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh pengaruh pemanasan, sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas. Proses termal secara umum meliputi blansir, pasteurisasi, dan sterilisasi. Proses termal seperti pasteurisasi dan sterilisasi uap diharapkan dapat menjadi metode yang tepat untuk memperpanjang umur simpan tempe karena proses termal dapat menginaktivasi mikroba 5

17 penyebab kerusakan. Terbentuknya ammonia merupakan penyebab kerusakan yang utama pada tempe. Enzim proteolitik yang dihasilkan bakteri kontaminan dapat mendegradasi protein sehingga menimbulkan bau. Hal ini menyebabkan tempe segar yang disimpan dalam suhu ruang dan tidak dikemas dengan baik akan bertahan maksimal dua hari (Koswara, 1992). Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam proses pengolahan makanan buah dan sayuran dengan tujuan untuk memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Dengan demikian, proses blansir bukan ditujukan untuk proses pengawetan. Tujuan perlakuan blansir terutama adalah untuk menginaktifasi enzim, mengurangi jumlah mikroba awal (terutama mikroba pada permukaan bahan pangan), melunakkan bahan pangan sehingga mempermudah proses pengisian bahan pangan dalam wadah, dan mengeluarkan udara yang terperangkap pada jaringan bahan pangan yang akan mengurangi kerusakan oksidasi (Kusnandar et al., 2006). Pasteurisasi merupakan proses perlakuan panas yang membunuh sebagian besar sel vegetatif mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan. Pasteurisasi menggunakan suhu dibawah 100 C dengan kombinasi suhu dan waktu yuang digunakan adalah 62,8 C selama 30 menit (konvensional) dan 71 C selama 15 detik (HTST). Dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba patogen, sedangkan dalam produk fermentasi seperti bir, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya, pasteurisasi yang dikembangkan didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan. Pasteurisasi biasanya digunakan pada bahan pangan yang mempunyai ph 3-4 (Fellow, 1992). Pengertian steril absolut menunjukkan suatu kondisi yang suci hama, yaitu kondisi yang bebas dari mikroorganisme. Pada proses sterilisasi produk pangan, kondisi steril absolut sulit dicapai, karena itulah digunakan istilah sterilisasi komersial atau sterilisasi praktikal. Sterilisasi komersial yaitu suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi mikroorganisme hidup. Pengertian sterilisasi komersial ini menunjukkan bahwa bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin masih mengandung spora bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan tersebut spora bakteri non-patogen tersebut bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan kalau produk tersebut disimpan pada kondisi normal. Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami sterilisasi komersial akan mempunyai daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun (Kusnandar et al., 2006). Sterilisasi komersial erat kaitannya dengan ketahanan bakteri termasuk sporanya. Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh, 2001). E. Kinetika Reaksi Kinetika adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari laju reaksi kimia secara kuantitatif dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Bird, 1987). Aplikasi teori kinetika penting artinya dalam menduga perubahan-perubahan yang terjadi dalam bahan pangan selama proses 6

18 pengolahan dan penyimpanan. Perubahan yang terjadi bisa berupa perubahan fisika, kimia, maupun mikrobiologi (Boekel, 1996). Studi tentang kinetika adalah mempelajari gerakan atau perubahan suatu sistem kimia sebagai fungsi waktu. Beberapa laju perubahan sifat bahan pangan yang dapat dijelaskan dengan kinetika reaksi antara lain kehilangan zat gizi, perubahan flavor, dan perubahan warna (Labuza dan Kamman, 1983). Penelitian kinetika pada umumnya bertujuan untuk mempelajari perubahan komposisi sebagai fungsi dari waktu. Percobaan didesain sedemikian rupa sehingga tipe perubahan yang lain dapat dikontrol atau dapat diramalkan. Dasar-dasar yang digunakan adalah suatu sistem tertutup yang homogen dan isothermal sehingga zat tidak ada yang masuk atau keluar sistem, gradient konsentrasi atau suhu diasumsikan tidak nyata, serta suhu dijaga konstan selama terjadi perubahan kimia (Swinbourne, 1971). Laju reaksi merupakan laju penurunan konsentrasi pereaksi atau pertambahan konsentrasi produk per satuan waktu. Reaksi yang terjadi dalam bahan pangan selama pengolahan dan penyimpanan sangat kompleks (Labuza dan Kamman, 1983). Dalam menduga persamaan laju reaksi pada perubahan tersebut lebih mudah digunakan pendekatan empiris. Pada pendekatan empiris perubahan sifat bahan pangan dianggap mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut : A P Laju reaksi = -d[a] / dt = d[p] / dt A adalah reaktan pada bahan pangan yang mengalami perubahan; P adalah produk dari perubahan tersebut. Jika t merupakan waktu; n adalah ordo reaksi; dan k adalah nilai konstanta, maka laju perubahan A menjadi P dinyatakan sebagai berikut: -d[a] / dt = d[p] / dt = k[a] n..(1) Pada reaksi ordo nol (n = 0) persamaan (1) menjadi : -d[a] / dt = d[p] / dt = k[a] 0 A d A = -k dt A0 0 [A] = [A]0 kt t Pada reaksi ordo satu (n = 1) persamaan (1) menjadi : -d[a] / dt = d[p] / dt = k[a] 1 A t d A /[A] = -k dt A0 t0 ln [A] = ln [A]0 kt log [A] = log [A]0 (k / 2.303) t Pada reaksi ordo dua (n = 2) persamaan (1) menjadi : -d[a] / dt = d[p] / dt = k[a] 2 A d A /[A] 2 = -k dt A0 t0 1/[A] = 1/[A]0 + kt t 7

19 [A]0 [A] kemiringan garis = -k log [A]0 log [A] kemiringan garis = -k/2.303 Ordo nol Ordo satu 1/[A] t t kemiringan garis = -k 1/[A]0 Ordo dua t Gambar 3. Hubungan linier pada reaksi ordo nol, satu, dan dua (Saeni, 1989) Setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh pengaruh pemanasan, sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas. Secara umum kinetika penurunan mutu lebih lambat daripada kinetika inaktivasi mikroba. Menurut Labuza dan Saltmarch (1981) pengaruh perubahan suhu terhadap konstantan laju reaksi dinyatakan dalam persamaan Arrhenius berikut: k = k0.e -Ea/RT ln k = ln k0 - Ea R ( 1 T ) di mana : k = konstanta laju reaksi Ea = energi aktivasi k0 = konstanta (tidak tergantung suhu) R = tetapan Planck ( 1,987 kal/mol K) T = suhu mutlak (K) ln k0 ln k kemiringan garis = -Ea/R 1/T Gambar 4. Hubungan linier antara ln k dengan kebalikan suhu mutlak (1/T) menurut hubungan Arrhenius (Bird, 1987) Energi reaktan pada reaksi harus terlebih dahulu dinaikkan ke tingkat energi yang aktif sehingga reaksi dapat berlangsung. Energi yang digunakan untuk menaikkan tingkat energi tersebut disebut energi aktivasi. Nilai energi aktivasi dapat digunakan sebagai parameter besarnya sesuai dengan ketergantungan laju reaksi terhadap suhu. Energi aktivasi yang rendah berarti energi yang 8

20 dibutuhkan untuk menaikkan tingkat energi suatu reaktan agar bereaksi adalah kecil sehingga reaksi lebih mudah terjadi (Suhartono, 1987). Persamaan Arrhenius dapat digunakan untuk menduga laju penurunan mutu makanan dengan menggunakan asumsi-asumsi (Syarief, 1990) : 1. Perubahan mutu makanan hanya disebabkan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu. 3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya. 9

21 III. BAHAN DAN METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe kacang kedelai dari produsen M (dengan perlakuan tercantum pada B.1.1.), akuades, aluminium foil, amil alkohol (Merck), kertas saring (Whatman No. 1), HNO 3 0,5 M (Merck), FeCl 3 (Merck), Amonium tiosianat (Merck), dan standar asam fitat (P5681 K 2 -fitat-sigma). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu termometer, refrigerator, sentrifuse (eppendorf Centrifuge 5810 R), waterbath shaker, thermocouple (tipe T), thermorecorder (OMEGA DR130), pipet tetes, erlenmeyer, pipet volumetrik, mikropipet (eppendorf), gelas ukur, blender, waterbath, labu takar, spektrofotometer (spectronic 20D+), tabung reaksi, dan vortex. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui profil penetrasi panas tempe sedangkan penelitian utama dilakukan untuk mengukur pengaruh proses termal terhadap kandungan senyawa asam fitat pada tempe. 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui profil penetrasi panas tempe. Penentuan profil penetrasi panas dimulai dengan tahap persiapan sampel tempe kemudian dilanjutkan dengan tahap penentuan profil penetrasi panas ke dalam sampel. Tahap persiapan sampel dilakukan untuk menyeragamkan sampel tempe yang akan dianalisis. Tahap penentuan profil penetrasi panas dilakukan untuk mengukur waktu yang diperlukan agar sampel yang telah dikemas dalam kantung aluminium foil benar-benar telah mencapai suhu yang diinginkan. 1.1.Persiapan Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe kacang kedelai yang diperoleh dari produsen M yang beralamat di kawasan perumahan IPB Sindang Barang II. Untuk menjamin keseragaman sampel, maka tempe diberi perlakuan sebagai berikut: tempe yang digunakan merupakan tempe segar. Sampel tempe dipotong dengan pisau agar ukurannya menjadi lebih kecil kemudian ditambah air dengan perbandingan air : sampel = 1:1 (v/w). Sampel kemudian dihancurkan menggunakan blender lalu dikemas dengan kantung aluminium foil yang telah diberi kerangka aluminium setebal 1 cm di pinggir dalam kantung. Kerangka aluminium berfungsi untuk menjaga agar ketebalan kantung sampel seragam sehingga penetrasi panas ke dalam sampel seragam. 1.2.Penentuan Profil Penetrasi Panas Tempe Penempatan probe dalam kemasan dilakukan secara berbeda-beda, tergantung bagian terdingin dari produk yang akan dipanaskan. Menurut Kusnandar dkk. (2006) letak titik terdingin dalam kemasan tergantung pada jenis perambatan panasnya, apakah secara konduksi atau konveksi. Produk yang berbentuk padat atau sangat sedikit mengandung air bebas, perambatan panasnya terjadi secara konduksi. Dalam proses pindah panas konduksi, panas akan merambat dari dinding kemasan ke pusat kemasan dari segala arah, dengan demikian pusat terdinginnya akan berada di pusat kemasan. Produk yang berbentuk cair, perambatan panasnya terjadi secara konveksi. Proses pindah panas secara konveksi dimulai dari pindah panas secara konduksi saat menembus dinding kemasan dan mengenai cairan di bagian dinding kemasan. Hal ini menyebabkan suhu cairan pada dinding kemasan meningkat dan densitasnya menurun sehingga cairan akan bergerak ke atas. Pada saat cairan ini menyentuh cairan di bagian headspace, cairan ini akan bergerak ke bagian pusat kemasan. Sementara itu cairan yang lebih dingin akan bergerak mengganti-kan daerah di bagian dinding kemasan. Selama proses 10

22 pindah panas ini, suhu cairan akan semakin seragam dan menyebabkan driving force akan semakin kecil, sehingga kecepatan pergerakan fluida akan semakin menurun. Titik terdingin untuk produk pangan berberntuk cair yang mengalami pindah panas secara konveksi akan berada di titik tengah di 1/3 ketinggian kemasan bagian bawah. Kedelai Dicuci Direndam selama 24 jam Dikupas kulit arinya kemudian dicuci Direbus selama 30 menit Ditiriskan dan didinginkan Diinokulasi kultur sebanyak 5 gram/ kg berat kering Dikemas dalam plastik PE berpori Difermentasikan selama 24 jam suhu 36 C Tempe Gambar 5. Bagan alir proses pembuatan tempe yang digunakan sebagai sampel penelitian Sampel tempe pada penelitian ini berbentuk semi padat sehingga perambatan panas terjadi secara konduksi dan konveksi. Karena kandungan padatan dalam sampel tinggi, maka perambatan panas dalam sampel terutama terjadi secara konduksi. Hal ini menyebabkan titik terdingin sampel berada di tengah-tengah kemasan sehingga sensor thermocouple diletakkan di bagian tengah kantung sampel. Sensor thermocouple juga diletakkan pada waterbath untuk mengukur suhu dalam waterbath. Sensor thermocouple dihubungkan dengan thermorecorder sehingga suhu sampel tiap menit bisa diketahui. Sampel dipanaskan pada suhu 90, 80, dan 70 C sampai suhu sampel dan dalam waterbath sama. Suhu sampel yang diperoleh dihubungkan dengan suhu dalam waterbath untuk memperoleh waktu penetrasi panas sampel. aluminium foil hancuran tempe kedelai Gambar 6. Pemanasan sampel tempe 11

23 aluminium foil termokopel Gambar 7. Posisi termokopel kerangka aluminium tinggi 1 cm 2. Penelitian Utama Gambar 8. Posisi rangka aluminium pada kemasan sampel Penelitian utama dilakukan untuk mengukur pengaruh proses termal terhadap kandungan senyawa asam fitat pada tempe. Penentuan profil kinetika penurunan kandungan asam fitat pada tempe terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap persiapan sampel tempe, tahap pemanasan sampel tempe, tahap analisis asam fitat, dan tahap penentuan profil kinetika asam fitat. Tahap persiapan sampel dilakukan untuk menyeragamkan sampel tempe yang akan dianalisis. Tahap pemanasan sampel dilakukan untuk memberikan perlakuan termal terhadap sampel. Tahap analisis asam fitat dilakukan untuk mengukur kadar asam fitat dalam sampel setelah perlakuan pemanasan. Tahap penentuan profil kinetika asam fitat dilakukan untuk menentukan profil kinetika penurunan kandungan asam fitat pada tempe berdasarkan data yang diperoleh dari tahap analisis asam fitat. 2.1.Persiapan Sampel Di bab B Pemanasan Sampel Aluminium foil yang berisi sampel tempe dimasukkan ke dalam waterbath yang diatur pada suhu pemanasan 90, 80, dan 70 C selama 0, 25, 50, 75, dan 100 menit. Waktu pemanasan sampel dihitung setelah sampel mencapai suhu yang diinginkan dengan berdasar kepada data penetrasi panas sampel yang diperoleh pada penelitian pendahuluan. 2.3.Analisis Kandungan Asam Fitat (Davies dan Reid, 1979) Pereaksi Larutan HNO 3 0,5 M, larutan FeCl 3 (mengandung 50 mg Fe per ml) dalam larutan HNO 3 0,5 M, larutan amonium tiosianat 100 g/ liter, amil alkohol, larutan standar Na-fitat 0,2 mm dalam HNO 3 0,5 M. Penetapan Kadar Asam Fitat Satu gram sampel disuspensikan dalam 50 ml larutan HNO 3 0,5 M. Suspensi diaduk menggunakan magnetic stirrer / shaker selama 2 jam pada suhu ruang. 0,5 ml filtrat kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0,9 ml HNO 3 0,5 M dan 1 ml FeCl 3. Tabung reaksi ditutup kemudian direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah didinginkan ditambah 5 ml amil alkohol dan 1 ml larutan ammonium tiosianat. Selanjutnya disentrifus dalam waktu singkat dan kecepatan rendah. Absorbansi larutan amil alkohol diukur dengan spektrofotometer pada panjang 12

24 gelombang 465 nm dengan blanko amil alkohol, 15 menit setelah penambahan ammonium tiosianat. Hasil yang diperoleh dibandingkan pada kurva standar Na-fitat 0,04 mm. Standar Kadar Asam Fitat Standar asam fitat (P5681 K 2 -fitat-sigma) ditimbang sebanyak 0,8 gram dan dilarutkan dalam 50 ml HNO 3 0,5 M. 0,5 ml standar kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0,9 ml HNO 3 0,5 M dan 1 ml FeCl 3. Tabung reaksi ditutup kemudian direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah didinginkan ditambah 5 ml amil alkohol dan 1 ml larutan ammonium tiosianat. Selanjutnya disentrifus dalam waktu singkat dan kecepatan rendah. Absorbansi larutan amil alkohol diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 465 nm dengan blanko amil alkohol, 15 menit setelah penambahan ammonium tiosianat. Nilai absorban pada pengukuran kurva standar kemudian diplot pada kertas grafik dengan sumbu x konsentrasi standar fitat dan sumbu y nilai absorbansi untuk memperoleh kurva standar asam fitat. Cara Perhitungan Persamaan kurva standar : y = 0.212x + 0,693 Absorbansi sampel : 0,717 Kadar standar asam fitat : x = (0, ) / 0,212 = 0,1 ml standar fitat Kadar asam fitat : 0,1 x mg = 0,0032 mg asam fitat 2.4.Penentuan Kinetika Penurunan Asam Fitat pada Tempe Metode yang digunakan dalam penentuan kinetika penurunan asam fitat pada tempe adalah metode Arrhenius (k = k o. e -Ea/RT ). Reaksi kehilangan mutu pada makanan dapat dijelaskan oleh ordo nol dan satu, dan hanya sedikit yang dijelaskan oleh ordo lain (Labuza, 1982). Perhitungan kinetika diawali dengan memplotkan rataan hasil analisis asam fitat terhadap waktu pemanasan per suhu pemanasan. Plot nilai di atas dilakukan pada ordo nol dan ordo satu, dan ordo dua. Pada ordo nol, plot dilakukan antara rataan hasil analisis asam fitat (sumbu y) dengan waktu pemanasan (sumbu x); ordo satu plot dilakukan antara log hasil analisis asam fitat (sumbu y) dengan waktu pemanasan (sumbu x), sedangkan ordo dua plot dilakukan antara 1/hasil analisis asam fitat (sumbu y) dengan waktu pemanasan (sumbu x).. Hasil plot di atas akan memberikan nilai k, intersep dan koefisien korelasi masing-masing suhu pemanasan. Untuk melihat dan menetukan ordo reaksi kerusakan asam fitat yang dipanaskan dapat ditentukan dari nilai koefisien korelasi yang lebih besar (r 2 ). Ketika jenis ordo reaksi kerusakan asam fitat telah didapatkan, maka langkah selanjutnya dibuat plot Arrhenius, dengan sumbu x menyatakan nilai 1/T (K -1 ) dan sumbu y menyatakan nilai ln k pada masing-masing suhu pemanasan yang digunakan. Hasil plot tersebut akan memberikan nilai k dan intersep. Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga suhu pemanasan. k = k o. e -Ea/RT Dimana : k = konstanta penurunan mutu k o = konstanta (tidak tergantung suhu) Ea = Energi aktivasi T = suhu mutlak (K) R = konstanta Planck (1.987 kal/mol K) Persamaan garis linear hasil plotting akan mengikuti persamaan Arrhenius, dapat dilihat di bawah ini : ln k = ln k o + (-Ea/R). 1/T Ea/R = gradien dari plot grafik Arrhenius 13

25 IV. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan serta laboratorium Seafast Center IPB pada bulan Mei sampai dengan Oktober Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang digunakan adalah Laboratorium Biokimia Pangan dan Laboratorium Pengolahan Pangan. Laboratorium Seafast Center IPB yang digunakan adalah Pilot Plan Seafast Center IPB. 14

26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Kalibrasi Termokopel Pada tahap awal penelitian dilakukan kalibrasi terhadap termokopel yang akan digunakan. Kalibrasi termokopel bertujuan untuk menguji termokopel sehingga termokopel yang digunakan benar-benar dalam kondisi baik. 250 Kalibrasi Termokopel Suhu termokopel (⁰F) Suhu termometer (⁰F) termokopel 1 termokopel 2 termokopel 4 termokopel 5 termokopel 6 termokopel 7 termokopel 8 termokopel 9 termokopel 10 termokopel 11 termokopel 13 termokopel 14 termokopel 15 termokopel 19 termokopel 20 Gambar 9. Kurva kalibrasi termokopel Hasil kalibrasi termokopel yang diperoleh kemudian diplotkan pada kertas grafik dengan sumbu x adalah suhu termometer, dan suhu y adalah suhu terukur oleh termokopel. Pada kurva kalibrasi termokopel di atas diperoleh nilai r 2 grafik = 0,999. Kurva yang diperoleh pada masingmasing termokopel juga berhimpitan. Sehingga dapat disimpulkan termokopel yang diuji pada kalibrasi masih baik. 2. Penentuan Profil Penetrasi Panas Penentuan profil penetrasi panas dilakukan untuk mengukur waktu yang diperlukan sehingga sampel tempe dalam kantung aluminium foil benar-benar telah mencapai suhu yang diinginkan pada saat perlakuan pemanasan sampel. Pengukuran penetrasi panas dihentikan bila suhu target telah tercapai. 15

27 Suhu (C) Penetrasi Panas Waktu (menit) Gambar 10. Hubungan antara waktu pemanasan dengan suhu sampel Dari Gambar 10. dapat dilihat bahwa waktu yang diperlukan sampel untuk mencapai suhu yang diinginkan berbeda-beda tergantung pada suhu yang ingin dicapai. Waktu pemanasan yang diperlukan sampel untuk mencapai suhu 70 C sekitar 4 menit, untuk mencapai suhu 80 C sekitar 5 menit, dan untuk mencapai suhu 90 C diperlukan waktu sekitar 8 menit. Semakin tinggi suhu yang ingin dicapai maka waktu pemanasan awal yang diperlukan semakin lama. Suhu meningkat drastis pada menit-menit awal pemanasan, kemudian suhu meningkat secara perlahan hingga mencapai suhu target. B. PENELITIAN UTAMA 1. Analisis Kandungan Asam Fitat Analisis kandungan asam fitat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengukur konsentrasi asam fitat pada sampel tempe yang telah dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu. Asam fitat tidak memiliki reagen dan spektrum absorbsi khusus yang dapat membantu proses analisis. Analisis berdasarkan kepada kemampuan fitat untuk membentuk kompleks stabil tak larut berwarna merah dengan ion feri dalam larutan asam (Oberleas, 1973). Kompleks fitat yang terbentuk kemudian diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 450 nm, kemudian hasilnya dibandingkan dengan kurva standar asam fitat (Muchtadi, 1989). 16

28 Kadar fitat vs waktu pemanasan K a d a r f i t a t Waktu pemanasan (menit) Gambar 11. Hubungan antara kadar fitat dengan waktu pemanasan sampel tiap suhu perlakuan Dari Gambar 11. dapat dilihat bahwa kadar awal asam fitat pada sampel tempe rata-rata sebesar mg (2.84 %) per gram berat kering sampel. Hasil ini sedikit berbeda dari penelitian Egounlety dan Aworh (2003) yang mengukur kadar asam fitat pada tempe kedelai fermentasi 24 jam sebesar 1.3 % dari berat kering sampel. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh ikut mengendapnya fosfat anorganik dan senyawa polifosfat lain pada tahap ekstraksi asam fitat sehingga ikut terukur pada analisis. Inositol dengan 3 fosfat dan 5 fosfat juga mampu membentuk kompleks tak larut dengan ion ferri dalam kondisi larutan asam sehingga dapat ikut terukur pada analisis asam fitat (Skoglund dan Sandberg, 2002). Terjadi penurunan kadar asam fitat yang signifikan (62-71%) dari kadar asam fitat awal pada waktu awal perlakuan pemanasan sampel. Menurut de Boland et al. (1975), asam fitat bersifat tahan terhadap pemanasan. Pemanasan flakes kedelai selama 30 menit pada suhu 115⁰C menyebabkan penurunan sedikit kadar asam fitat pada sampel sementara pemanasan flakes kedelai pada suhu yang sama selama 2 jam akan menurunkan 70% kadar asam fitat awal. Pemanasan flakes kedelai ini menyebabkan terjadinya konversi inositol heksafosfat menjadi inositol pentafosfat. Hal ini menunjukkan bahwa penghancuran asam fitat terjadi melalui mekanisme hidrolisis. Penurunan kadar asam fitat yang signifikan pada percobaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya enzim fitase dengan aktivitas tinggi yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus pada tempe (Sudarmadji dan Markakis, 1977) dan kadar awal asam fitat yang relatif tinggi. Fitase (mio-inositol heksafosfat fosfohidrolase, EC ) merupakan suatu fosfomonoesterase yang mampu mengkatalisis hidrolisis asam fitat menjadi ortofosfat anorganik dan ester-ester fosfat dari mio-inositol yang lebih rendah (Cosgrove, 1970). Fitase yang berasal dari Aspergillus niger mampu menurunkan 97% asam fitat kedelai pada suhu 60⁰C pada ph 4,5 dalam waktu inkubasi 4 jam (Zyla, 1992). 17

29 Tabel 2. Defosforilasi produk minyak biji-bijian oleh enzim fitase Substrat Sumber enzim Konsentrasi substrat (% w/v) Aktivitas enzim (Units/g) ph Suhu ⁰C Waktu (jam) Penurunan fitat (%) Rapeseed meal Gandum A.ficuum NS NR NR Cottonseed meal A.ficuum A.ficuum Makanan kedelai A.ficuum A.ficuum A.ficuum Protein kedelai A.niger * * Fosfatase asam. NR Tidak diukur dan tdak ditentukan; NS tidak disebutkan. Sumber : Zyla, 1992 Pada awal waktu pemanasan sampel terjadi penurunan kadar asam fitat yang signifikan akibat peningkatan aktivitas enzim fitase. Aktivitas fitase akan meningkat dengan tajam seiring dengan peningkatan suhu dan tekanan udara (Killmer et al., 1994). Enzim fitase berperan dalam menurunkan energi aktivasi reaksi degradasi asam fitat pada sampel yang dipanaskan sehingga laju reaksi meningkat (Ketaren, 1989). Kadar awal asam fitat yang relatif tinggi juga berpengaruh dalam meningkatkan kecepatan reaksi degradasi asam fitat. Menurut Ketaren (1989), reaksi akan berlangsung lebih cepat dengan semakin tingginya konsentrasi reaktan di dalam sistem reaksi. Pada periode waktu ini, semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin tinggi penurunan kadar asam fitat pada sampel. Menurut Ketaren (1989), reaksi akan berlangsung lebih cepat dengan semakin banyaknya energi yang diberikan ke dalam sistem. Dalam hal ini energi ke dalam sistem berupa pemanasan sampel. Pada perlakuan pemanasan berikutnya reaksi degradasi asam fitat menjadi lebih lambat. Hal ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas enzim fitase karena suhu sampel telah melampaui suhu kerja optimum enzim. Aktivitas maksimum fitase kapang Rhizopus oligosporus terjadi pada suhu 55⁰C pada ph 4,5 (Sutardi dan Buckle, 1988). Suhu perlakuan pada penelitian adalah 70, 80, dan 90⁰C sehingga diperkirakan aktivitas enzim fitase kapang Rhizopus oligosporus telah menurun. Selain itu kadar asam fitat pada sampel juga telah menurun sehingga laju degradasi asam fitat juga akan berkurang. Pada pemanasan menit ke-75, kadar asam fitat sampel perlakuan pemanasan suhu 70⁰C lebih rendah daripada sampel perlakuan pemanasan suhu 80⁰C. Pada menit ke-100 kadar asam fitat sampel perlakuan pemanasan suhu 70⁰C lebih rendah dari sampel perlakuan pemanasan suhu 80 dan 90⁰C. Hasil ini sangat bertentangan dengan teori bahwa pada suhu yang lebih tinggi, laju reaksi akan berlangsung lebih cepat (Ketaren, 1989). Penurunan kadar asam fitat sampel dengan pemanasan suhu 70⁰C yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh lebih aktifnya fitase pada sampel suhu 70⁰C dibanding fitase pada sampel pemanasan suhu 80, dan 90⁰C. Penyimpangan ini juga dapat disebabkan oleh terjadinya random error pada saat pemanasan sampel. Suhu pemanasan sampel pada penelitian tidak dipantau terus-menerus sehingga dapat menyebabkan suhu sampel tidak sesuai dengan suhu target penelitian dan menyebabkan hasil analisis kadar asam fitat kurang akurat 18

30 fitase ekstraseluler fitase interseluler rentang suhu perlakuan pada penelitian 90 Sumber : Sutardi dan Buckle, 1988 Gambar 12. Kurva kestabilan fitase Rhizopus oligosporus oleh panas 2. Kinetika Penurunan Kadar Asam Fitat Tempe akibat Pemanasan Analisis kinetika dilakukan dengan memplotkan rataan hasil analisis kuantitatif asam fitat terhadap waktu pemanasan per suhu pemanasan. Plot nilai hasil analisis dilakukan pada ordo nol dan ordo satu karena reaksi kehilangan mutu pada makanan pada umumnya dapat dijelaskan oleh ordo nol dan satu, dan hanya sedikit yang dijelaskan oleh ordo lain (Labuza, 1982). Dalam penelitian ini analisis terhadap produk hasil degradasi asam fitat tidak dilakukan sehingga model reaksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: A k semu B Dimana A adalah asam fitat, B adalah produk degradasi asam fitat oleh pemanasan, dan k semu adalah konstanta nilai laju reaksi perubahan asam fitat menjadi produk degradasi asam fitat. Jika t adalah waktu dan n adalah ordo reaksi, maka laju perubahan A menjadi B sesuai dengan persamaan berikut ini : -d[a]/dt = d[p]/dt = k semu [A] n 19

31 Sumber : Phillippy, 2002 Gambar 13. Jalur reaksi hidrolisis asam fitat oleh fitase tanaman dan kapang Plot persamaan hasil analisis kinetika metode Arrhenius disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 3. Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo nol Tabel Persamaan Linier Perhitungan Kinetika metode Arrhenius Suhu (⁰C) Ordo Nol k r 2 70 y = x y = x y = x

32 Tabel 4. Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo satu Tabel Persamaan Linier Perhitungan Kinetika metode Arrhenius Suhu (⁰C) Ordo satu k r 2 70 y = x y = x y = x Tabel 5. Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo dua Tabel Persamaan Linier Perhitungan Kinetika metode Arrhenius Suhu (⁰C) Ordo Dua k r 2 70 y = 9.391x y = 5.352x y = 6.818x dimana : y adalah kadar asam fitat sampel (mg/g bahan kering); x adalah waktu pemanasan sampel tempe (menit) k adalah laju penurunan kadar asam fitat (menit -1 ) r adalah koefisien korelasi Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka persamaan laju degradasi asam fitat tempe oleh pemanasan dapat dinyatakan dengan persamaan laju reaksi ordo satu, dengan persamaan sebagai berikut : -d[a] / dt = d[p] / dt = k semu [A] 1 pada t = 0 maka A = A 0 pada t = t maka A = A t At d A /[At] A0 t = -k semu dt t0 ln [A t ] = ln [A] 0 k semu t log [A t ] = log [A] 0 (k semu / 2.303) t dimana [A t ] adalah konsentrasi asam fitat tempe pada waktu pemanasan t menit, [A 0 ] adalah konsentrasi asam fitat pada awal waktu pemanasan, k semu adalah konstanta laju degradasi asam fitat tempe. 21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kalibrasi Termokopel

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kalibrasi Termokopel V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN. Kalibrasi Termokopel Pada tahap awal penelitian dilakukan kalibrasi terhadap termokopel yang akan digunakan. Kalibrasi termokopel bertujuan untuk menguji

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bumbu rujak Rujak manis adalah semacam salad. Rujak manis terdiri dari campuran beberapa potongan buah segar dengan dibumbui saus manis pedas. Pada umumnya bumbu rujak manis terbuat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEMPE Tempe adalah produk pangan tradisional Indonesia berbahan baku kedelai (Glycine max) yang difermentasi dalam waktu tertentu menggunakan kapang Rhizopus sp.. Spesies kapang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PEMBUATAN TEMPE. Disusunoleh: Nama: Yulia Nur Isnaini Kelas : S1 TI 2I NIM :

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PEMBUATAN TEMPE. Disusunoleh: Nama: Yulia Nur Isnaini Kelas : S1 TI 2I NIM : KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PEMBUATAN TEMPE Disusunoleh: Nama: Yulia Nur Isnaini Kelas : S1 TI 2I NIM : 10 11 4210 1 INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE 1). Pengertian Tempe Tempe adalah makanan yang dibuat dari

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, Maksud dan tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Kerangka Berpikir, Hipotesa penelitian dan Waktu dan tempat penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dalam SNI tempe didefinisikan sebagai produk makanan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dalam SNI tempe didefinisikan sebagai produk makanan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempe merupakan makanan tradisional khas dan telah dikenal lama di Indonesia. Dalam SNI 3144-2009 tempe didefinisikan sebagai produk makanan hasil fermentasi biji

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Kambing Perah milik Yayasan Pesantren Darul Falah Ciampea dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Ilmu dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. 2. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) Cikaret, Bogor dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian

Lebih terperinci

PENGOLAHAN KEDELAI MENJADI TEMPE KEJO SECARA SEDERHANA

PENGOLAHAN KEDELAI MENJADI TEMPE KEJO SECARA SEDERHANA PENGOLAHAN KEDELAI MENJADI TEMPE KEJO SECARA SEDERHANA DI UNIT PENGOLAHAN HASIL BALAI PELATIHAN PERTANIAN JAMBI Oleh : Kemas Muhammad Erwansyah, S.TP NIP. 19820916200901 1010 I. PENDAHULUAN Kedelai mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai adalah salah satu tanaman jenis

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI

BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI Definisi : * Bahan makanan olahan yang harus diolah kembali sebelum dikonsumsi manusia * Mengalami satu atau lebih proses pengolahan Keuntungan: * Masa simpan lebih panjang

Lebih terperinci

BAB 3 METODE DAN BAHAN PENELITIAN

BAB 3 METODE DAN BAHAN PENELITIAN 39 BAB 3 METODE DAN BAHAN PENELITIAN 3.1. Alat-alat dan bahan 3.1.1. Alat-alat yang digunakan - Spektrofotometri Serapan Atom AA-6300 Shimadzu - Lampu hallow katoda - PH indikator universal - Alat-alat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU

INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU Oleh: Gusti Setiavani, S.TP, M.P Staff Pengajar di STPP Medan Kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN FORMULA SARI TEMPE TERPILIH Penentuan formula sari tempe terpilih dilakukan berdasarkan hasil uji rating hedonik. Hasil uji rating hedonik menunjukkan bahwa terdapat

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. B.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. B. digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret 2015 sampai bulan Januari 2016 di Laboratorium Prodi Biologi Fakultas MIPA, Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Hampir semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh kita terdapat dalam susu. Susunan nilai gizi yang sempurna ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap produk teh hijau. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental, karena BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental, karena penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh/hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

OLEH: YULFINA HAYATI

OLEH: YULFINA HAYATI PENGOLAHAN HASIL KEDELAI (Glycine max) OLEH: YULFINA HAYATI PENDAHULUAN Dalam usaha budidaya tanaman pangan dan tanaman perdagangan, kegiatan penanganan dan pengelolaan tanaman sangat penting diperhatikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Goreng Beras merupakan salah satu sumber makanan pokok yang biasa dikonsumsi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Beras sebagaimana bulir serealia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung pada bulan Juli - Agustus 2011. B. Materi Penelitian B.1. Biota Uji Biota

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai beranekaragam biji-bijian kacang polong yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tempe seperti kacang merah, kacang hijau, kacang tanah, biji kecipir,

Lebih terperinci

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI MAKALAH PENELITIAN PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI Oleh : Arnoldus Yunanta Wisnu Nugraha L2C 005 237

Lebih terperinci

KACANG TANAH SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI BAHAN BAKU PADA USAHA MIKRO KECIL MENENGAH TEMPE DI GUNUNGKIDUL

KACANG TANAH SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI BAHAN BAKU PADA USAHA MIKRO KECIL MENENGAH TEMPE DI GUNUNGKIDUL KACANG TANAH SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI BAHAN BAKU PADA USAHA MIKRO KECIL MENENGAH TEMPE DI GUNUNGKIDUL Purwaningsih dan Yeyen Prestyaning Wanita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan dilakukan kajian pembuatan manisan pala untuk kemudian dikalengkan. Manisan pala dibuat dengan bahan baku yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Pada praktikum ini membahas mengenai Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme Selama Proses Aging Keju. Keju terbuat dari bahan baku susu, baik susu sapi, kambing, atau kerbau. Proses pembuatannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu tinggi, yang mampu menyumbangkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan merupakan hasil olahan dari kacang kedelai yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan merupakan hasil olahan dari kacang kedelai yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahu adalah salah satu jenis makanan yang banyak digemari masyarakat Indonesia dan merupakan hasil olahan dari kacang kedelai yang kaya akan protein. Karena itu, tahu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

Penggunaan Tepung Tempe, Tepung Kedelai dan Campurannya. sebagai Media Usar Tempe

Penggunaan Tepung Tempe, Tepung Kedelai dan Campurannya. sebagai Media Usar Tempe Penggunaan Tepung Tempe, Tepung Kedelai dan Campurannya sebagai Media Usar Tempe (The Use of Tempe, Soybean Flour and Both as a media of Tempe Starter) Oleh, Fitriana Wahyu Nugraheni NIM : 412011003 SKRIPSI

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komposisi senyawanya terdiri dari 40% protein, 18% lemak, dan 17%

BAB I PENDAHULUAN. komposisi senyawanya terdiri dari 40% protein, 18% lemak, dan 17% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai di Indonesia dilakukan dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath, 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu Erlenmeyer, 1.2. Bahan beaker glass, tabung

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEMPE YANG TAHAN DISIMPAN. Disusun Oleh :

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEMPE YANG TAHAN DISIMPAN. Disusun Oleh : LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEMPE YANG TAHAN DISIMPAN Disusun Oleh : NISA EL FITRI RIZKA RACHMANIAR (I8313038) (I8313055) PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN Paper Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius, kami ambil dari hasil karya tulis Christamam Herry Wijaya yang merupakan tugas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek dalam penelitian ini adalah nata de ipomoea. Objek penelitian ini adalah daya adsorpsi direct red Teknis.

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek dalam penelitian ini adalah nata de ipomoea. Objek penelitian ini adalah daya adsorpsi direct red Teknis. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah nata de ipomoea. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah daya adsorpsi direct red

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan produk hewani yang umum dikonsumsi oleh manusia mulai dari anak-anak hingga dewasa karena kandungan nutrisinya yang lengkap. Menurut Codex (1999), susu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis)

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis) Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis) Disarikan dari: Buku Petunjuk Praktikum Biokimia dan Enzimologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE

PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE Disusun Oleh: Mukaromah K3310058 Nuryanto K3310060 Sita Untari K3310079 Uswatun Hasanah K3310081 Pendidikan Kimia A PROGAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya, harus memenuhi kebutuhan akan pangan. 1. mengalami penguraian, sehingga nilai gizi dan kelezatannya akan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya, harus memenuhi kebutuhan akan pangan. 1. mengalami penguraian, sehingga nilai gizi dan kelezatannya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan alami adalah bahan pangan yang berasal dari sumber hayati, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, dan diperuntukkan bagi konsumsi manusia. Manusia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2015 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi.

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah aktivitas antioksidan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Biji-bijian pada umumnya mempunyai bagian-bagian utama, yaitu :

I. TINJAUAN PUSTAKA. Biji-bijian pada umumnya mempunyai bagian-bagian utama, yaitu : I. TINJAUAN PUSTAKA A. Biji Kacang Merah Biji-bijian pada umumnya mempunyai bagian-bagian utama, yaitu : 1. Kulit biji (spermodermis). Kulit biji berasal dari selaput bakal biji (integumen), oleh sebab

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Penelitian Tahapan dalam penelitian ini di mulai dari studi literatur hingga penyusunan Laporan Tugas Akhir, dapat dilihat pada Gambar 3.1. Kerangka Penelitian :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 4 April 2016 sampai 16 Agustus 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Material dan Hayati Departemen

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Tempe dibuat dengan cara

I PENDAHULUAN. khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Tempe dibuat dengan cara I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

TELUR ASIN PENDAHULUAN

TELUR ASIN PENDAHULUAN TELUR ASIN PENDAHULUAN Telur asin,merupakan telur itik olahan yang berkalsium tinggi. Selain itu juga mengandung hampir semua unsur gizi dan mineral. Oleh karena itu, telur asin baik dikonsumsi oleh bayi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. antara kacang-kacangan tersebut, kedelai paling banyak digunakan sebagai bahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. antara kacang-kacangan tersebut, kedelai paling banyak digunakan sebagai bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dunia terdapat lebih dari 12.000 jenis kacang-kacangan, diantaranya kacang tanah, hijau, merah, jogo, kapri, koro, tolo, dan kedelai (Bakti, 2003). Di antara

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN: 1. Mikrobia penyebab kerusakan dan mikrobia patogen yang dimatikan. 2. Panas tidak boleh menurunkan nilai gizi / merusak komponen

Lebih terperinci

KUALITAS TEPUNG BERAS SEBAGAI BAHAN BAKU CAMPURAN RAGI TEMPE (Rhizopus oligosporus) DILIHAT DARI HASIL PRODUKSI TEMPE KEDELAI ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH

KUALITAS TEPUNG BERAS SEBAGAI BAHAN BAKU CAMPURAN RAGI TEMPE (Rhizopus oligosporus) DILIHAT DARI HASIL PRODUKSI TEMPE KEDELAI ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH KUALITAS TEPUNG BERAS SEBAGAI BAHAN BAKU CAMPURAN RAGI TEMPE (Rhizopus oligosporus) DILIHAT DARI HASIL PRODUKSI TEMPE KEDELAI ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp)

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) Anna C.Erungan 1, Winarti Zahiruddin 1 dan Diaseniari 2 Abstrak Ikan cucut merupakan ikan yang potensi produksinya cukup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe adalah bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai

Lebih terperinci

Pengolahan dengan Suhu Tinggi

Pengolahan dengan Suhu Tinggi Program Studi Teknologi Pangan Internationally Recognized Undergraduate Program by IFT & IUFoST FTP 200 Pengantar Teknologi Pertanian Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, 22 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil Pertanian

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan bahan 3.1.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat yang berasal dari Laboratorium Tugas Akhir dan Laboratorium Kimia Analitik di Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Susu Kedelai Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari kedelai. Protein susu kedelai memiliki susunan asam amino yang

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK MI INSTAN DARI PATI SAGU DENGAN METODE AKSELERASI

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK MI INSTAN DARI PATI SAGU DENGAN METODE AKSELERASI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK MI INSTAN DARI PATI SAGU DENGAN METODE AKSELERASI Shelf Life Estimation of Instant Noodle from Sago Starch Using Accelerared Method Dewi Kurniati (0806113945) Usman Pato and

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2013 dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2013 dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2013 dan dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Entomologi dan Mikrobiologi (PEM) Fakultas

Lebih terperinci

Pengawetan dengan Suhu Tinggi

Pengawetan dengan Suhu Tinggi Pengawetan dengan Suhu Tinggi Pengawetan dengan suhu tinggi adalah salah satu dari sekian banyak metode pengawetan makanan yang sering digunakan. Metode ini sebenarnya sudah sangat familier dalam aktivitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil pengukuran Nilai OD pada Media NB. Tabel 1. Pengukuran Nilai OD pada Media NB. Waktu OD (Optical Density)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil pengukuran Nilai OD pada Media NB. Tabel 1. Pengukuran Nilai OD pada Media NB. Waktu OD (Optical Density) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan. 1. Hasil pengukuran Nilai OD pada Media NB Tabel 1. Pengukuran Nilai OD pada Media NB. Waktu OD (Optical Density) inkubasi D75 D92 D110a 0 0,078 0,073

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Purata Kadar Protein Tempe ( mg / ml ± SE) pada Perlakuan Variasi Penambahan Inokulum Tempe dan Tepung Belut

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Purata Kadar Protein Tempe ( mg / ml ± SE) pada Perlakuan Variasi Penambahan Inokulum Tempe dan Tepung Belut 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Protein Tempe pada Perlakuan Variasi Penambahan Inokulum Tempe dan Tepung Belut Kadar protein pada tempe dengan berbagai perbandingan diukur dengan menggunakan metode

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-November 2013 di Laboraturium

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-November 2013 di Laboraturium 28 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-November 2013 di Laboraturium Biokimia Jurusan Kimia, Laboraturium Instrumentasi Jurusan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol

BAB III METODE PENELITIAN. dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian dasar dengan metode penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci