STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT MAKASSAR SELFRIDA MISSMAR HORHORUW

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT MAKASSAR SELFRIDA MISSMAR HORHORUW"

Transkripsi

1 STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT MAKASSAR SELFRIDA MISSMAR HORHORUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan tesis berjudul Struktur dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Selfrida Missmar Horhoruw NIM C

4 ii RINGKASAN SELFRIDA MISSMAR HORHORUW. Struktur dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar. Dibimbing oleh AGUS S. ATMADIPOERA dan MULIA PURBA. Selat Makassar (SM) yang merupakan pintu masuk utama Arus Lintas Indonesia (Arlindo) diketahui membawa transpor Arlindo sekitar 75% dari total 15 Sv (Sv= ). Kontur Selat yang berupa kanal dengan keragaman kedalaman sangat mempengaruhi karakteristik massa air yang bergerak di dalamnya sehingga diperlukan penelitian mencakup seluruh kawasan SM. Analisis deret waktu dari arus di SM dengan menggunakan mooring arus telah dilakukan sejak tahun 1996 hingga sekarang namun demikian pengukuran hidrografi yang mencakup seluruh kawasan SM masih jarang dilakukan. Selain itu telah dibuat pemodelan untuk mengetahui variabilitas pada seluruh kawasan SM oleh beberapa peneliti. Namun analisis deret waktu pada setiap kedalaman yang dilewati Arlindo masih jarang dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji struktur dan variabilitas Arlindo di kawasan SM. Data hidrografi merupakan data hasil Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) pada Juni Data terdiri dari 29 stasiun CTD dan data arus dari SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profilers) sepanjang lintasan survei. Untuk analisis deret waktu digunakan data hasil model INDESO (Infrastructure Development for Space Oceanography) selama tahun pada kedalaman 25, 92 dan 318 m dengan penerapan analisis EOF (Empirical Orthogonal Function) menggunakan 3 mode terbesar serta analisis trajektori partikel massa air. Hasil penelitian menunjukkan Arlindo SM dicirikan oleh arus jet kuat pada kedalaman termoklin ( m), dimana aliran masuk menuju barat daya. Mendekati 1 LS, arah aliran berubah ke tenggara menyusuri lereng dangkalan Kalimantan yang mengarah ke Kanal Labani. Arus jet berubah arah menuju selatan pada Kanal Labani dan menjadi semakin kuat. Aliran mengalami resirkulasi membentuk pusaran arus searah jarum jam pada tepi barat laut SM. Massa air Arlindo SM didominasi oleh massa air Pasifik Utara, yaitu North Pacific Subtropical Water (NPSW) di kedalaman termoklin dan North Pacific Intermediate Water (NPIW) di kedalaman bawah termoklin. Terdapat variasi spasial dari massa air NPSW dan NPIW, dimana semakin ke arah selatan karakteristik massa air mengalami transformasi. Ketebalan lapisan termoklin di sisi timur pintu masuk selat lebih besar sehingga distribusi massa air Pasifik Utara tersebut berasal dari sisi timur dan mengalir dengan arah menuju barat daya. Sehingga ditemukan intensifikasi Arlindo pada tepi barat dengan posisi sekitar 1-2 LS. Hasil model INDESO menunjukan eksistensi 4 eddy besar pada tepi SM dengan pusaran searah dan berlawan jarum jam. Energi kinetik serta aliran pada eddy lebih tinggi selama musim timur. Di selatan SM, ditemukan 3 percabangan Arlindo dengan aliran cenderung melalui cabang timur dan tengah ditemukan di selatan SM. Aliran Arlindo pada cabang barat melemah selama musim barat di kedalaman permukaan yang diduga akibat pengaruh pergerakan massa air permukaan ke arah utara selama musim tersebut. Sedangkan pada kedalaman

5 iii termoklin aliran lebih kuat pada cabang barat selama musim barat yang disebabkan oleh melemahnya eddy yang terbentuk pada wilayah barat di selatan SM. Analisis temporal dengan menggunakan metode EOF untuk menemukan variabilitas dominan yang terjadi pada wilayah SM menunjukan variabilitas yang berbeda pada setiap kedalaman. Explained variance 79.1 % pada EOF Mode 1 di kedalaman permukaan menunjukan pengaruh periode antar tahunan (512 harian) yang kuat yang diduga dipengaruhi oleh siklus ENSO. Variabilitas antar tahunan ditemukan bersamaan dengan variabilitas intra musiman dengan periode 33,57 dan 73 harian namun dengan energi densitas yang lebih rendah. Energi signifikan 73 harian diduga akibat kedatangan gelombang Kelvin. EOF Mode 2 dengan varians 6.2 % serta EOF Mode 3 dengan varians 3.2 % menunjukan adanya asosiasi periode tahunan (342 harian) yang terjadi bersamaan dengan periode intra musiman. EOF Mode 1 dengan explained variance 85.8%, 3.9 % pada Mode 2 serta 3.5 % pada Mode 3 di kedalaman termoklin menunjukan kuatnya variabilitas tahunan yang menyebabkan berkurangnya pengaruh variabilitas antar tahunan. Variabilitas intra musiman juga berperan mengurangi kekuatan variabitas antar tahunan pada kedalaman termoklin. Hal ini terlihat pada EOF Mode 2 yang memiliki energi densitas yang cukup signifikan pada periode 32 dan 64 harian yang diduga sebagai hasil perambatan Gelombang Rossby. Analisi variabilitas pada kedalaman bawah termoklin menunjukan kuatnya pengaruh periode antar tahunan yang berasosiasi dengan periode semi tahunan dan periode intra musiman. EOF Mode 1 dengan explained variance 87.3 % dan Mode 2 dengan explained variance 4.4 % menunjukan kuatnya pengaruh periode intra musiman (51-60 harian) di kedalaman bawah termoklin. Sedangkan pada EOF Mode 3 dengan explained variance 3.0 % menunjukan adanya variabilitas semi tahunan yang berulang selama bulan Mei dan November yang diduga akibat intrusi gelombang Kelvin semi tahunan. Trajektori partikel yang dibuat pada kedua musim yang berbeda mengungkapkan partikel massa air bergerak mengikuti arus utama Arlindo. Adanya perbedaan waktu pergerakan massa air maupun karakteristik massa air yang mengangkut partikel, yakni pada musim timur partikel massa air bergerak lebih cepat di bandingkan dengan partikel yang dilepas pada musim barat. Kata Kunci : Arus Lintas Indonesia, EWIN 2013, INDESO, Selat Makassar, Variabilitas Arlindo.

6 SUMMARY SELFRIDA MISSMAR HORHORUW. Structure and variability of Indonesian Throughflow in Makassar Strait. Supervised by AGUS S. ATMADIPOERA and MULIA PURBA. Makassar strait as the main entrance of the Indonesian Throughflow (ITF) known carry the ITF transport about 75% of 15 Sv (Sv= ) total transport. The canal countour and bathymetry diversity of the strait affect the characteristic of the moving water mass so that the research which cover the entire of the Makassar Srait is needed. Time series analysis of the currents in Makassar Strait using mooring has been conducted since In addition the modeling to determine the variability in the entire Makassar Strait has made by some researchers. However, the analysis of time series at each ITF layer is still rarely done. The aims of this study were to investigate the structure and variation of Indonesian Throughflow (ITF) in Makassar Strait. The hydrography data was the data from Eksedisi Widya Nusantara (EWIN) on Juny Hidrographic data consists of 29 CTD station that distributed over the Makassar Strait waters and current data was from SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profilers) along the survey path. To defined the time seriers analysis used the data from INDESO (Infrastructure Development for Space Oceanography) model during at 25, 92 and 318 m. EOF (Empirical Orthogonal Function) and Particle Trajectory analysis was used to determine the Makassar Strait variability. The result showed that ITF of Makassar Strait was characterized by a strong jet current in thermocline depth ( m), where the flow pattern toward southwest. The jet current continues to approach the 1 S, then the direction changed to southeast down the shallow Kalimantan slope to Labani Channel and become stronger. In the edge of Northwest Makassar Strait, circulation form cyclone eddies. ITF waters stratification was dominated by North Pacific Subtropical Water (NPSW) in the thermocline depth and North Pacific Intermediate Water (NPIW) in the below of thermocline depth. There was spatial variation of mass water NPSW and NPIW where ITF characteristics transformation toward southern. Thermocline layer in the eastern get way was thicker so that the distribution of North Pasific mass water flow from eastern to southwest Makassar Strait. So there was the ITF intensification in edge of western Makassar Strait at 1-2 S. The INDESO model results found the existence of four large eddy in Makassar Strait with the clockwise and anti-clockwise directions The Eddy Kinetic Energy and flow were faster during east monsson period. In southern of Makassar Strait, there were 3 ITF branch tends to flow through the eastern and central branches. ITF flow weakned during west monsoon period at surface depth allegedly by the influence of mass water movement to the northern. While at thermocline depth it s flow stronger at west branches during the western monsoon due to the weakening of eddy formed in western of soth Makassa Strait. Temporal analysis using EOF to found the dominant variability in Makassar Strait show the difference variability of each deep layer. Explained variance 79.1 % from EOF Mode 1 at surface showed strong inter-annual period (512 daily)

7 v allegedly by the ENSO cycle. The inter-annual variability found with the low energy of intra-seasonal variability 33, 57, and 73 daily period. Energy of 73 daily allegedly by Kelvin Wave intrusion. EOF Mode 2 and Mode 3 showed the association of annual (342 daily) and intra seasonal period. Inter annual period found at EOF Mode 2 and 3 with the lower effect. Explained variance 85.8% at EOF Mode 1, 3.9% at EOF Mode 2 and 3.5% at EOF Mode 3 in the below of thermocline showed the strong annual variability that reduces the effect of inter-annual variability. Intra-seasonal variability also reduce inter-annual variabitas strength in depth of the thermocline. Period of 32 and 64 daily allegedly as a result of Rossby wave propagation. Analysis of variability at depths below thermocline shows the strong influence of inter-annual period associated with semi-annual and intra-seasonal period. EOF Mode 1 with a 87.3% explained variance and Mode 2 with a 4.4% explained variance show the strong intra-seasonal period (day 51-60) at depth below the thermocline. While the EO Mode 3 with a explained variance of 3.0% showed the presence of semi-annual variability repeated during May and November that allegedly caused the intrusion of semi-annual Kelvin wave. Particle trajectories from both different seasons revealed that the water mass particles move in to the mainstream of Arlindo. The difference of moving time and characteristic of water mass moving time that carrying the particle showed that the water mass particle moving faster in the east moonson than west moonson. Key Word : Indonesian Throughflow, EWIN 2013, INDESO, Makassar Strait, ITF variability.

8 vi Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

9 STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT MAKASSAR SELFRIDA MISSMAR HORHORUW Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

10 viii Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc

11 Judul Tesis : Struktur dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar Nama : Selfrida Missmar Horhoruw NIM : C

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas hikmat dan kasih penyertaan-nya sehingga tesis dengan judul Struktur dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr Ir Agus S. Atmadipoera, DESS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Mulia Purba, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingam, arahan dan masukan kepada penulis dalam penulisan tesis. 2. Ibu Dr Ir Neviaty P. Zamany, MSc selaku ketua program studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, terkhusus Pak Adi Purwandana yang telah membantu menyediakan data observasi yang dilaksanakan dalam program Ekspedisi Widia Nusantara tahun Kedua orang tua tercinta Papa Anis dan Mama Meti, serta saudara-saudara Windy,Sami,Ei, Hani dan kekasih Gerald. 5. Rekan-rekan IKL 2012, IKL 2013, Laboratorium Oseanografi Fisika dan Laboratorium Pemrosesan Data, terkhusus ibu Nita, Nabil, Agita, Dimi, Rifqie, Ipeh, Ferdy, Risko, dan Mbak Isna atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. 6. Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) di Bogor. Para sahabat Alin, Echa, Kak Sofi, Kak Vera, Dandi, Amel, Kak Ona, Kak Tila, Ibu Fonike, Kak Ela, Kity, Kang Asep, Bang Syahrial, Bang Finri, Nufus, Bang Kemal dan Mbak Dahlia. 7. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh studi, menjalani penelitian, hingga akhir penyusunan tesis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Bogor, Maret 2016 Selfrida Missmar Horhoruw

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 4 Hipotesis 4 2 METODE 4 Lokasi dan Waktu Penelitian 4 Sumber Data 4 Prosedur Analisis Data 7 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 Validasi Model 12 Struktur Massa Air Arlindo Hasil Observasi EWIN Distribusi Arus Hasil Observasi EWIN Struktur Vertikal Arus Meridional dan Energi Kinetik Arlindo SM 24 Siklus Tahunan Arlindo SM dari Model INDESO 27 Struktur Spasial dan Fluktuasi Temporal Arlindo SM 32 Analisis Trajektori Partikel Massa Air 42 4 SIMPULAN DAN SARAN 46 Simpulan 46 Saran 47 DAFTAR PUSTAKA 48 LAMPIRAN 52 RIWAYAT HIDUP 67 xii xii xiii

14 xii 1 2 DAFTAR TABEL Input Data pada model MERCATOR Pra-pemrosesan data CTD menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. 6 8 DAFTAR GAMBAR 1 Diagram perumusan masalah dan proses penyelesaian massalah untuk mencapai tujuan 3 2 Stasiun pengukuran CTD dan lintasan SADCP pada Ekspedisi EWIN 2013 di SM. 5 3 Variabilitas arus pada Kanal Labani di SM selama tahun dari hasil model INDESO dan pengukuran mooring (Susanto et al. 2012) Profil menegak salinitas, temperatur potensial, dan oksigen di perairan SM Diagram TS, TO dan SO dengan posisi transek utara-selatan di SM Energi Kinetik dan Arus komponen meridional rerata tahun keluaran model INDESO selama bulan Juni dan sebaran salinitas pada 24.5 kg/m 3 serta 26.5 kg/m3 di SM dari hasil Observasi EWIN tahun Sebaran melintang salinitas pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman Sebaran melintang temperatur pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman Sebaran melintang oksigen pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman Distribusi vektor arus pada SM pada beberapa lapisan kedalaman Konfigurasi Batimetri sepanjang lintasan traking SADCP Sebaran Komponen Arus zonal dan arus meridional (v) di SM pada kedalaman m Penampang melintang rerata arus komponen meridional (v) Arlindo SM Struktur aliran Arlindo SM dan energi kinetik rataan tahun dari hasil model INDESO pada kedalaman 0.5, 25, 55.76, 92.3, dan 318 m Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) dari tahun dan EK /satuan massa pada kedalaman dekat permukaan di SM Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) dari tahun dan EK /satuan massa pada kedalaman termoklin di SM Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) dari tahun dan EK /satuan massa pada kedalaman bawah-termoklin di SM. 31

15 xiii 18 EOF dari arus meridional (v) di kedalaman permukaan pada SM selama tahun Fluktuasi temporal EOF dan Continues wavelet transform (CWT) arus meridional (v) pada kedalaman permukaan SM Energi densitas spektral EOF arus meridional (v) dengan selang kepercayaan 95% dengan panjang segmen data 512 (hari) di kedalaman permukaan EOF dari arus meridional (v) di kedalaman termoklin pada SM selama tahun Grafik temporal EOF dan Continues wavelet transform (CWT) arus meridional (v) pada kedalaman termoklin di SM Energi densitas spektral EOF arus meridional (v) dengan selang kepercayaan 95% dengan panjang segmen data 512 (hari) di kedalaman termoklin EOF dari arus meridional (v) di kedalaman bawah termoklin/ intermediate pada SM selama tahun Grafik temporal EOF dan Continues wavelet transform (CWT) arus meridional (v) pada kedalaman bawah termoklin di SM Power Spectral Density EOF arus meridional (v) pada kedalaman bawah termoklin di SM Trajektori dan karakteristik partikel massa air di SM selama musim barat pada kedalaman permukaan, termoklin dan bawah termoklin Trajektori dan karakteristik partikel massa air permukaan pada SM selama musim barat dengan posisi awal pada sepanjang 4.4 LS Trajektori dan karakteristik partikel massa air pada SM selama musim timur pada kedalaman permukaan, termoklin dan bawah termoklin Trajektori dan karakteristik partikel massa air permukaan pada SM selama musim timur dengan posisi awal pada sepanjang 0.4 LU. 46 DAFTAR LAMPIRAN Pelapisan massa air di Selat Makassar Karakteristik massa air NPSW. Karakteristik massa air NPIW Salinitas permukaan Selat Makassar Sebaran salinitas dan temperatur hasil model INDESO Penampang melintang salinitas dan temperatur hasil model INDESO Diagram Hovmoler pada Kanal Labani Periode dan spektrum energi densitas dengan panjang segmen 512 harian Energi densitas spectral EOF dengan panjang segmen 1024 harian Arus meridional (v) rata-rata dan standar deviasi Kejadian El Nino dan La Nina

16 xiv

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki dua sistem arus utama, yaitu Arus Muson Indonesia dan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) (Ilahude & Nontji 1993). Arus Muson digerakan Angin Muson, yang disebabkan adanya perbedaan tekanan antara Asia Tenggara dan Australia (Wyrtki 1961), sedangkan Arlindo disebabkan bertiupnya angin pasat timur yang mengakibatkan permukaan bagian barat Samudera Pasifik tropika lebih tinggi dibandingkan pada bagian timur Samudera Hindia (Hirst & Godfrey 1993). Fenomena tersebut menghasilkan gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Perairan Indonesia yang dilalui Arlindo merupakan satu-satunya jalur penghubung antara dua massa air besar Samudera Pasifik dan Hindia. Sistem arus ini berperan penting dalam pembentukan El-Nino dan Southern Oscilation (ENSO) serta penting dalam sirkulasi termohalin yang kemudian mempengaruhi iklim secara global melalui penyaluran bahang dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Gordon 1986; Godfrey 1996). Sebagian besar massa air Arlindo berasal dari Pasifik Utara dan sebagian lagi berasal dari Pasifik Selatan. Sirkulasi Arlindo terjadi dari barat ekuator Pasifik ke Samudera Hindia (Godfrey 1996). Sistem arus tersebut bergerak sepanjang batas barat (western boundary) dan dikenal juga dengan nama Western Boundary Current (WBC) di bagian tropis Samudera Pasifik kemudian melintasi ekuator menjadi Arlindo (Lee et al. 2002; Bingham dan Lukas, 1994; Kashino et al. 1999). Perpindahan massa air tersebut dikenal dengan nama low latitude western boundary current (LLWBCs) (Qiu dan Masumoto 2011). Arus LLWBCs masuk ke Indonesia melalui Selat Makassar (SM) yang berasal dari Arus Mindanao di tepi timur Filipina (Hautala et al. 1996), dan membawa massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) di lapisan termoklin serta North Pacific Intermediate Water (NPIW) di lapisan bawah termoklin (Du & Qu 2010). Massa air NPSW menyebar pada perairan Indonesia dengan ciri salinitas maksimum di lapisan termoklin (Wyrtki 1961). Massa air ini dibawa oleh arus North Equatorial Current (NEC) dari Pasifik subtropis ke arah barat, kemudian di lepas pantai timur Filipina. NEC ini mengalami percabangan, ke utara menjadi sumber Arus Kuroshio, dan ke selatan menjadi Arus jet Mindanao, dimana sebagian cabang arus ini terus bergerak menuju selatan dan memasuki Laut Sulawesi serta berlanjut ke SM. Di SM nilai salinitas maksimum NPSW berkisar antara psu pada lapisan termoklin (Naulita, 1998). Massa air NPIW dicirikan salinitas minimum pada lapisan bawah termoklin/ intermediate. Menurut Ilahude dan Gordon (1996), NPIW yang melewati SM mempunyai nilai salinitas minimum antara psu ditemukan pada kedalaman bawah termoklin (Naulita, 1998). Karakteristik massa air Arlindo mengalami transformasi yang cukup besar ketika memasuki perairan Indonesia (Ffield & Gordon 1992; Hautala et al. 1996). Transformasi Arlindo mengakibatkan berkurangya ciri asli massa air yang berasal dari Pasifik menuju Samudera Hindia (Koch-Larrouy et al. 2007). Selama perjalannya dari SM, nilai salinitas maksimum pada massa air NPSW semakin

18 2 lemah sedangkan salinitas massa air NPIW semakin kuat di Laut Banda (Illahude & Gordon 1996; Naulita 1998). Ketika memasuki perairan Indonesia, 40% massa air mengalami transformasi pada wilayah dekat Sangihe, 30% di SM dan Laut Flores, 26% di daerah Laut Halmahera, Laut Maluku dan Seram, sedangkan 26% tertransformasi pada wilayah Selat Ombai dan Timor. Transformasi dengan arah berlawanan sebesar -20% terjadi pada Laut Jawa dan Samudera Hindia (Koch- Larrouy et al. 2008). Di SM sekitar 80-85% massa air yang berasal dari Pasifik Utara yang dibawa Arlindo dan dapat dipakai untuk menghitung seluruh transpor antar Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia sehingga dapat dijadikan kunci dalam integrasi skala besar antar samudera (Gordon et al. 2010; Tillinger 2011). Pengukuran hidrografi transek tunggal dalam program Arlindo (Ilahude & Gordon 1996) di sepanjang bagian tengah SM telah dilakukan pada musim berbeda, namun pengukuran hidrografi yang mencakup hampir sebagian besar wilayah SM baru dilaksanakan pada program EWIN Hasil model menunjukan SM memiliki keunikan yakni ditemukannya jet seperti western boundary current yang mendorong massa air ke arah Barat kanal sepanjang jalur lintasan Arlindo di SM (Mayer & Damm 2012). Arlindo bervariasi secara musiman akibat pergantian musim (Wyrtki 1961; Illahude & Gordon 1996; Shinoda et al. 2012). Penguatan amplitudo aliran Arlindo terjadi pada lapisan termoklin dengan kecepatan tertinggi terjadi selama musim timur (Susanto et al. 2012). Mayer & Damm (2012) menyatakan bahwa Arlindo di SM memiliki variabilitas ruang dan waktu yang besar. Pengukuran langsung time series Arlindo SM dilakukan pada wilayah Kanal Labani sejak tahun 1996 hingga sekarang, selain itu beberapa model juga telah dibuat untuk melihat variabilitas Arlindo di SM (Shinoda et al. 2012; Susanto et al. 2012; Mayer & Damm. 2012). Penelitian Arlindo penting dilakukan untuk memprediksi fenomena skala besar lautan atmosfer seperti perubahan iklim sehingga dapat dimanfaatkan untuk memprediksi gejala-gejala alam seperti banjir, kekeringan, gelombang dan badai yang ditimbulkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pola spasial Arlindo berdasarkan data observasi EWIN terbaru di SM serta mengkaji variabilitas Arlindo baik pada skala waktu maupun skala ruang. Dengan menggambungkan data observasi dan data model dapat dianalisis variabilitas massa air Arlindo serta bagaimana transformasi Arlindo selama perjalanannya melalui SM. Perbandingan antara hasil output model dan hasil observasi akan memberikan informasi yang lebih baik mengenai distribusi dan pola sirkulasi Arlindo pada SM. Perumusan Masalah Perairan SM merupakan jalur utama Arlindo yang berasal dari Pasifik Utara. Keberadaan SM penting untuk memprediksi sirkulasi massa air antar dua samudera yakni Pasifik dan Hindia yang secara langsung turut mempengaruhi perairan Indonesia baik dalam skala waktu maupun ruang. Selama ini pengukuran data hidrografi di SM terbatas pada transek tunggal utara-selatan dan masih sedikit informasi mengenai karakteristik massa air dengan arah transek barattimur. Sehingga permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana pola aliran massa air Arlindo yang berasal dari Samudera Pasifik Utara

19 3 pada arah Timur-Barat serta bagaimana variabilitas Arlindo yang berasal dari Pasifik Utara pada setiap kedalaman yang dilalui Arlindo baik permukaan, termoklin maupun kedalaman di bawah termoklin? Untuk menjawab masalah di atas, diperlukan data observasi dengan transek timur-barat. Data tersebut dikombinasikan dengan keluaran model akan mampu menjawab permasalahan yang dikemukaan. Secara sistematik, perumusan masalah serta tahapan dalam penyelesaian masalah dapat dilihat pada Gambar 1. Arlindo SM Bagaiman karakteristik massa air dan pola aliran Arlindo pada Transek Barat-Timur? Bagaimana variabilitas Arlindo SM pada 3 level kedalaman berbeda (tercampur, termoklin dan bawah termoklin)? Data Arlindo SM Data Observasi (CTD dan SADCP) Data hasil Model INDESO Pra-Pemrosesan Data Validasi Diagram TS Profil Vertikal Massa air Energi Kinetik Anailisis EOF Analisis Trajektori Karakteristik massa Air Struktur spasial arus Analisis CWT dan PSD Struktur dan variasi spasial massa air dan Arus Arlindo di SM Variabilitas dan struktur spasial dan temporal Arus di SM Gambar 1 Diagram perumusan masalah dan proses penyelesaian massalah untuk mencapai tujuan

20 4 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis pola dan struktur massa air dan aliran Arlindo SM. 2. Menganalisis variabilitas Arlindo SM secara spasial dan temporal. Hipotesis Aliran massa air Arlindo bergerak masuki SM dengan arah menuju Barat Daya. Diduga aliran dibelokan ketika bertemu dengan wilayah yang dangkal pada sisi barat SM sehingga Arlindo akan menyusuri lereng Pulau Kalimantan menuju Kanal Labani. Karakteristik massa air Arlindo semakin berkurang selama perjalannya, yang diakibatkan oleh percampuran massa air. Di bagian selatan, kehadiaran Ambang Dewakang menyebabkan pada wilayah barat percabangan massa air terbentuk eddy yang membawa massa air ke dalam pusaran sehingga diduga akan menghambat aliran melalui cabang barat dan lebih dominan melewati cabang tengah dan timur. 2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di SM pada wilayah antara 4 LS s/d 2 LU dan BT s/d BT (Gambar 2). Pengukuran hidrografi (karakteristik massa air dan arus) dalam program EWIN-2013 dilakukan pada tanggal 3-22 Juni Untuk mengkaji variabilitas sirkulasi Arlindo di SM digunakan hasil keluaran model INDESO dengan rentang waktu 5 tahun yang dimulai dari Januari 2007 hingga Agustus Sumber Data Data Observasi terdiri dari data CTD untuk analisis karakteristik massa air, serta data SADCP untuk analisis arus laut yang diperoleh dari hasil Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN-2013) pada 3-22 Juni 2013 yang merupakan kerja sama LIPI dengan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization dan IOC Sub-Commission for the Western Pacific (WESTPAC) menggunakan kapal riset Baruna Jaya VIII. Data untuk menganalisis variabilitas Arlindo SM dalam penelitian ini diperoleh dari hasil simulasi model Ocean General Circulation Model (OGCM) dengan konfigurasi INDESO (Infrastructure Development for Space Oceanography) tahun INDESO merupakan salah satu contoh pengembangan Mercator Ocean yaitu program ilmiah yang bekerja sama dengan Collecte Localisation Satellites (CLS) untuk menyediakan data kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP). Memodelkan INDESO memerlukan Mercator Ocean System and Interface Relocatable Nesting tools (SIREN), yang memungkinkan untuk membuat suatu konfigurasi baru yang lebih besar dengan cara menggabungkan antara batimetri, kondisi awal serta kondisi

21 5 batas (Theetten et al. 2014). Model INDESO dibangun dengan menggunakan model MERCATOR. Input data dalam pengembangan model ini berupa data pengukuran insitu serta data penginderaan jauh. Data untuk memodelkan INDESO dikumpulkan selama ekspedisi INDOMIX berlangsung. Beberapa data yang digunakan untuk membangun, mengasimilasi serta melakukan validasi pada model INDESO dapat dilihat pada Tabel 1 (Bahurel & MERCATOR Project Team 2006). Data yang digunakan dari keluaran hasil model INDESO berupa data temperatur, salinitas, arus (komponen zonal dan meridional) serta mash mask dengan resolusi horizontal 1/12 atau sekitar 9.25 km serta memiliki 50 level kedalaman standarisasi. Gambar 2 Stasiun pengukuran CTD dan lintasan SADCP pada Ekspedisi EWIN 2013 di SM. Terdapat 29 Stasiun pengambilan data CTD yang dibagi menjadi 5 transek (T1-T5) dengan arah barat-timur dan 1 transek (T6) dengan arah utara selatan di selatan SM.

22 Forcing Assimilation Validation 6 Tabel 1 Input Data pada model MERCATOR (Bahurel dan MERCATOR Project Team 2006) Data Center/ Author Retrieval Frequency In situ data : high resolution XBT and CTD, low resolution TESAC and BATHY, ARGO profiling floats, moorings (TAO/PIRATA/TRITON/), drifters,... Altimetry : Jason-1, GFO, Envisat, Topex-Poseidon Reynolds Sea Surface Temperature High Resolution SAF Ocean & Ice Atlantic Sea Surface Temperature (10 km, produk harian) Climatologic Sea Surface Salinity 6-hour analyses and predictions of winds, heat fluxes, Evaporation-Precipitation, cloudiness, air surface temperature, air surface humidity, surface wind Monthly Climatologic Runoffs Real-time scatterometry winds Mean Sea Surface Height combining gravity/in situ data High resolution daily sea ice concentration (12 km) and drift (60 km). Real-time. Coriolis Data Center weekly x x SSALTO/DUACS NOAA Eumetsat/ Météo-France Reynaud & al. (1998) ECMWF for operational forcing Unesco database J. D. Milliman and RH. Meade, 1983 G. L. Russell and J. R. Miller, 1990 F. Van D Leeden & al. Cersat M.H. Rio & al. (2004) Cersat R. Ezraty and J.- FPiollé (2004) R. Ezraty & al. (2004 weekly x weekly x x daily weekly Regularly upgraded x x x x x x x x

23 7 Prosedur Analisis Data a. Pemrosesan data CTD Alat CTD yang digunakan dalam pengambilan data adalah CTD SBE 911 plus. Data yang diambil berupa data kedalaman, temperatur, konduktivitas/ salinitas, dan oksigen. Spesifikasi dari alat CTD ini adalah sebagai berikut (Onboard Report EWIN-2013) : Type : 911plus Sensor : C,T,D, Fluorometer, Oxygen, Tranmissiometer, Turbidity meter, PH meter Winch : 5000 m Last Calibration : 2013 Data yang diperoleh dari hasil pengukuran CTD harus melalui tahap prapemrosesan terlebih dahulu. Pengolahan data CTD dilakukan menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Pengolahan data tersebut dilakukan berurutan sesuai tipe situasi kapal di lintang rendah. Penurunan instrumen dilakukan dengan kecepatan 1 meter/detik. Tahapan pra-pemrosesan data dapat dilihat pada Tabel 2 (McTaggart et al. 2010). Setelah tahapan pra-pemrosesan data dilakukan, kemudian data dikoreksi secara manual seperti membuang noise dan spike. Hal ini dilakukan karena proses pengolahan data tidak sepenuhnya menjamin data siap untuk diolah pada tahapan selanjutnya. Interpolasi dilakukan pada data yang mengalami missing. Analisis data CTD menggunakan program Ocean Data View (ODV) Versi 4 untuk menampilkan diagram Temperatur-Salinitas (TS), Temperatur-Oksigen (TO) dan Salinitas-Oksigen (SO) serta struktur karakteristik massa air pada SM. b. Pemrosesan data arus Pengukuran arus dilakukan dengan menggunakan alat SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profilers) 75 khz merk RDI. Alat ini digunakan untuk mengukur arus dan echo intensity. Tipe SADCP yang digunakan pada penelitian ini adalah broard band VMADCP, frekuensi 75 khz, blank after transmit 8 m, minimum bin zise 5 m, number of bin 128 dengan maksimum kedalaman 700 m (EWIN 2013), namun kedalaman maksimum yang digunakan pada penelitian ini adalah sekitar 200 m. Pra-pemrosesan data arus dilakukan menggunakan CODAS (Common Oceanographic Data Access System) (Kom.pribadi Atmadipoera 2015). Selanjutnya Arus diolah dengan menggunakan perangkat Matlab R2010 hingga memperoleh struktur spasial vektor arus pada SM.

24 8 Tabel 2. Pra-pemrosesan data CTD menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Program Data conversion Align CTD Wild edit Cell thermal mass Filter Loop edit Derive Bin average Koreksi manual Fungsi Mengubah data mentah (HEX) ke dalam bentuk.cnv, memilih ASCII sebagai format data yang dikonversi. Pengkonversian ini bertujuan agar data hasil perekaman CTD dapat diolah menggunakan berbagai perangkat lunak. Konversi data ini meliputi : scan count, tekanan (db), temperatur (ITS-90, C), dan (%), Salinitas (psu), ph. Mensinkronkan semua parameter data (konduktivitas, temperatur dan oksigen) agar berada pada waktu dan tekanan yang sama. Proses ini hanya dilakukan terhadap oksigen sebesar 5 detik. Menghapus data dengan nilai ekstrim pada setiap scan 100 bin. Tahap pertama menghapus nilai pada setiap bin yang lebih besar dari 2 standar deviasi. Kedua mengestimasi nilai rata-rata dan standar deviasi baru serta menghapus nilai yang lebih besar dari 20 standar deviasi dari nilai rata-rata yang baru. Menapis secara recursive untuk mengoreksi temperatur pada sel konduktivitas saat pengukuran berlangsung. Cell thermal dilakukan pada amplitudo 0.03 dan nilai anomali waktu (1/beta) adalah 7. Menghilangkan bias (noise) berupa frekuensi tinggi pada data tekanan dan meningkatkan resolusi tekanan untuk proses loop edit, serta low pass filter pada temperatur dan konduktivitas untuk menghaluskan frekuensi yang tinggi pada data. Low pass filter yang digunakan adalah low pass filter A dengan frekuensi 0.03 s dan B dengan frekuensi Low pass filter A diaplikasikan pada kedalaman sedangkan low pass filter B dipakai pada konduktivitas. Memperbaiki data CTD akibat ketidakstabilan kecepatan penurunan CTD yang kurang dari kecepatan minimum. Kecepatan minimum yang dipakai adalah Menurunkan parameter lain selain parameter yang sudah diperoleh setelah konversi data. Data yang diturunkan dalam proses ini adalah anomali densitas (kg/m 3 ), dan kedalaman air laut (m). Merata-ratakan tekanan atau kedalaman bin yang diinginkan. Ukuran bin yang dipakai adalah 0.5 m. Memeriksa dan memperbaiki hasil keluaran bin average untuk menghilangkan noise/spike/erorr pada data. c. Validasi model Validasi data hasil model INDESO dilakukan dengan membandingkan hasil mooring yang dilakukan pada Kanal Labani di dua posisi masing-masing Barat ( LS, BT) dan Timur (2 51.5LS, BT) selama tahun dalam program INSTANT. Caranya adalah dengan membuat

25 9 perbandingan arus hasil model INDESO pada sepanjang Kanal Labani dengan hasil mooring yang dilakukan oleh Susanto et al. (2010). Perbandingan hanya dilakukan selama 3 tahun. Hal ini dibatasi hasil penelitian Susanto et al. (2012) yang hanya sampai tahun 2009, sehingga perbandingan hasil mooring dengan hasil model INDESO dilakukan selama tahun 2007, 2008 dan d. Analisis EOF Untuk mengestimasi struktur variabilitas baik secara spasial maupun temporal di SM digunakan metode EOF (Empirical Orthogonal Function) pada arus meridional (v) di SM, dengan asumsi bahwa arus meridional dapat mewakili arus pada SM. Hal ini disebabkan pergerakan Arlindo dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang melewati SM memiliki arah dominan utara-selatan atau bergerak dari utara menuju selatan (Susanto et al. 2012; Shinoda et al. 2012; Gordon et al. 2012; Mayer & Damm 2012). EOF diaplikasikan pada 3 kedalaman berbeda yang mewakili lapisan permukaan (25m), termoklin (92m) dan kedalaman bawah termoklin (318m) yang diduga dilewati oleh massa air yang bersal dari Pasifik Utara (Gordon, 2005). Metode EOF lebih dikhususkan untuk membahas variabilitas suatu bidang skalar, misalnya pada komponen arus zonal (u) atau meridional (v), SSH, atau SST (Bjornsson & Venegas 1997). Penelitian ini mengambil 3 mode EOF terbesar dari 10 mode EOF yang dihasilkan. EOF dibuat dengan menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.0. Perhitungan EOF pada persamaan (1) dilakukan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Hanachi et al. (2007) dimana t dan s menunjukkan waktu dan posisi spasial, M pada persaman (1) merupakan jumlah mode yang terdapat pada bidang dengan menggunakan suatu set optimal dari fungsi ruang dan ekspansi fungsi waktu. Bentuk persamaanya dapat ditulis sebagai berikut : (1) Analisis EOF diaplikasikan pada 3 lapisan perairan yaitu lapisan tercampur, termoklin dan lapisan dalam. Jumlah bidang pada diskrit waktu dan ruang diwakili untuk i 1,,n dan j 1,,p. Selanjutnya data dalam bentuk ruang dan waktu diubah menjadi bentuk matriks sebagai berikut : ( ) (2) dimana adalah fungsi transpose matriks atau, adalah nilai dari bidang pada waktu. Perata-rataan waktu pada grid ruang ke i disimbolkan dengan, diberikan oleh persamaan di bawah ini : (3)

26 10 Atau dengan menggunakan matriks, perata-rataan persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut: (4) ( ) dimana merupakan kolom vektor dengan panjang n yang hanya berisikan nilai 1 (matriks identitas). Anomali siklus tahunan arus meridional (v) (t, t=1,... n, dan k=1,... p ditentukan dengan persamaan berikut : (5) Dalam bentuk matriks persamaan (5) dapat ditulis sebagai berikut : ( ) (6) dimana adalah matriks identitas n x n dan H adalah pusat matriks pada orde ke n. dinyatakan sebagai data matriks anomali. Setelah menentukan nilai anomali matriks, tahap selanjutnya adalah mendefinisikan matriks kovarians dengan persamaan (7) di bawah ini: Persamaan di atas berisi nilai kovarians S ij, i, j=1,...p, antara deret waktu pada setiap titik grid (s i, s j ), misalnya (8) Analisis EOF bertujuan untk menemukan kombinasi linear yang uncorrelated pada variabel-variabel berbeda yang dapat menjelaskan varians maksimum yaitu dengan mencari suatu unit-panjang pada arah sehingga Xu memiliki variable maksimum sehingga menghasilkan Hal inilah yang menyebabkan EOF ditentukan sebagai solusi untuk mencari nilai eigen seperti pada persamaan: (9) (10) Jika EOF ke k, adalah vektor eigen pada S dan nilai eigen maka: (11) (7)

27 11 Setelah menemukan elemen eigen pada kovarians matriks S (pers 9), maka nilai eigen diurutkan menjadi. Nilai varians dihitung dalam bentuk persentase sebagai berikut : Anomali X pada EOF ke-k, misalkan jika adalah mode (komponen utama) ke-k maka komponen sebagai berikut : (12) adalah. (13) Jadi dapat dikatan bahwa nilai eigen mewakili varians mode ke-k. Hingga didapatkan hubungan antara persamaan (1) dan persamaan (13). Agar menemukan solusi nilai eigen (persamaan 10), penjabaran persamaan (7) hingga (10) dapat disederhanakan menggunakan aljabar linear yang disebut singular value decomposition (SVD). Jika n x p merupakan data matrix X, maka persamaan dapat ditulis sebagai berikut : A = n x r dan U = r x p adalah kesatuan matriks, misalnya U T U = A T A=I r, dimana r min (n,p) merupakan pangkat dari X dan I r adalah matriks identias dari ordo r. Λ adalah nilai singular dari X,. Aplikasi SVD pada bidang matriks untuk matriks kovarians (4) dapat ditulis sebagai berikut : dimana dan matriks data anomali X koefisien ekspansi menjadi : (16) Dekomposisi data spasial bidang X pada waktu ke-t diberikan oleh persamaan di bawah ini : (17) (14) (15) e. Analisis trajektori partikel massa air Simulasi trajektori partikel massa air dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Ariane pada musim barat (Februari-Maret) dan musim timur (Agustus- September) dengan waktu simulasi off-line adalah 2 bulan. Posisi awal partikel massa air diletakan pada bagian utara SM (0.75 LU) sebanyak 39 titik awal pada kedalaman permukaan (5 m), termoklin (92 m) dan pada bawah termoklin (318 m) dengan harapan dapat diketahui karakteritik massa air serta waktu tempuh massa air Arlindo yang bergerak melalui SM. Khusus untuk lapisan permukaan pada

28 12 musim barat, posisi awal partikel juga diletakan pada wilayah selatan (4.4 LS). Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pergerakan arus (resirkulasi) dari selatan SM menuju utara selama musim barat (Gordon et al. 2003). Setiap perpindahan partikel massa air adalah 1 hari (86400 detik). Analisis dilakukan menggunakan algoritma off-line lagrangian (Blanke dan Grima 2005). Bidang transpor massa air dihitung dengan persamaan sebagai berikut : dimana,, dan merupakan arah aliran tiga dimensi (dalam Sverdrups), sedangkan i, j dan k merupakan indeks grid pada ketiga sumbu. Untuk integrasi transpor vertikal atau integrasi transpor pada suatu zonal, maka didefinisikan dan sebagai berikut : (18) (19) (20) Kontur dan akan memberikan tampilan yang memadai dari pergerakan dalam proyeksi ke dalam bidang yang dipilih. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi Model Keluaran model INDESO (Gambar 3a) selama tahun memiliki pola mirip seperti hasil observasi (Gambar 3b) yang dianalisis oleh Susanto et al. (2012). Amplitudo kecepatan maksimum ditemukan pada rentang bulan Agustus- September, dan velositas tertinggi kedua ditemukan selama bulan April-Mei. Penurunan velositas dan pembalikan arah arus tampak pada bulan November- Desember dan pada sekitar bulan Mei. Pergerakan arus menuju utara ditemukan sekitar bulan Oktober-Desember dan bulan April-Juni pada kedalaman di bawah 300 m. Pergerakan arus meridional (v) ke arah utara terlihat pada warna biru tua yang menunjukan nilai positif (Gambar 3). Meski memiliki beberapa kesamaan, masih terdapat perbedaan pada kedua hasil ini. Hasil mooring menunjukan velositas maksimum pada kedalaman antara m, sedangkan pada hasil model kecepatan maksimum ditemukan di atas atas 100 m. Namun berdasarkan pola variabilitas arus, diperoleh hasil yang sangat mirip antara model INDESO dengan hasil observasi di Kanal Labani. Sehingga dapat dikatakan bahwa model INDESO dapat mewakili sebaran musiman massa air Arlindo dan dapat dijadikan alat untuk mempelajari varibilitas massa air dan sirkulasi Arlindo pada SM.

29 13 a b Gambar 3 Variabilitas arus pada Kanal Labani di SM selama tahun dari hasil model INDESO (a) dan pengukuran mooring (Susanto et al. 2012) (b). Warna menunjukan kecepatan arus meridional (v). Struktur Massa Air Arlindo Hasil Observasi EWIN 2013 Profil menegak massa air pada kedalaman m (Gambar 4) menunjukkan terdapat 3 lapisan perairan yakni lapisan tercampur, termoklin dan lapisan dalam. Karakteristik massa air pada setiap lapisan disajikan pada Lampiran 1. Pada wilayah barat SM, ditemukan adanya massa air bersalinitas rendah dan bertemperatur hangat yang dicirikan dengan anomali densitas potensial kurang dari 20.5 di permukaan (Lampiran 4). Diperkirakan rendahnya salinitas pada sisi barat juga dipengaruhi masukan air tawar terutama sungai besar seperti Sungai Mahakam. Namun setelah diselidiki lebih lanjut karakteristik massa air ini terlihat pada wilayah barat di hampir seluruh transek (2-5) kecuali pada Transek 1. Hal tersebut terjadi karena adanya aliran menuju utara (Gambar 10a, Gambar 12b dan Lampiran 4). Diduga massa air tersebut merupakan bagian dari massa air dari Laut Cina Selatan dan massa air Laut Jawa seperti yang diduga oleh Gordon et al. (2003). Struktur massa air menunjukan bahwa terjadi transformasi masa air ke arah selatan (Gambar 5). Hal ini terlihat dengan berkurangnya nilai salinitas maksimum ke arah selatan, dengan nilai salinitas maksimum pada transek 1-5 berturut-turut adalah psu (Transek 1), psu (Transek 2), psu (Transek 3), psu (Transek 4) dan psu (Transek 5).

30 14 Nilai salinitas minimum juga semakin meningkat ke arah selatan. Hasil ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnnya (Ilahude & Gordon 1996; Naulita 1998; Waworuntu et al. 2000; Koch-Larouy et al. 2007). Diagram Temperatur-Salinitas (TS), Temperatur-Oksigen (TO), dan Salinitas-Oksigen (SO) pada Gambar 5 menunjukan 2 jenis massa air utama yang melewati SM, yaitu North Pacific Subtropic Water (NPSW) dan North Pacific Intermediate Water (NPIW). Karakteristik massa air NPSW secara umum memiliki kisaran salinitas antara psu, temperatur C dan oksigen serta pada kedalaman antara m dengan nilai densitas potensial antara a b d c Gambar 4 Profil menegak salinitas (a), temperatur potensial (b), dan oksigen (c) di perairan SM. Warna pada grafik menunjukan posisi transek pada SM (d). Merah Transek 1, Kuning Transek 2, Biru Transek 3, Hitam Transek 4, Hijau Transek 5 dan Merah muda Transek 6.

31 15 NPSW NPIW a b d c Gambar 5 Diagram TS (a), TO (b) dan SO (c) dengan posisi transek utara-selatan di SM. Keterangan warna pada diagram disajikan pada kiri bawah gambar (d). Warna Abu-abu (T. 1) St 25-29, Hijau (T. 2) St 22-24, Kuning (T. 3) St 15-21, Merah (T. 4) St 9-14, Biru (T. 5) St 4-8, Tosca (T. 6) St 1-3. Nilai salinitas maksimum berkisar antara psu pada kedalaman 110 m- 180 m. Nilai ini mendekati hasil observasi yang dilakukan Gordon et al. (2008) yakni antara m dan sejalan dengan simulasi Kida dan Wijffels (2012) yang menyatakan bahwa aliran maksimum di SM berada pada kedalaman antara m. Lapisan tercampur lebih tebal pada sisi barat selat ( m) di jalur masuk Arlindo. Hal ini ditandai dengan penurunan kontur kedalaman m ke arah timur akibat desakan massa air yang lebih hangat, tawar dan kandungan oksigen yang lebih tinggi (Gambar 7a, 8a dan 9a) pada sisi barat. Lebih tipisnya lapisan permukaan tercampur pada sisi timur (17-24 m) diduga akibat mengalirnya massa air Arlindo yang juga dijelaskan pada Gambar 6. Massa air NPSW ditemukan pada anomali densitas antara dengan

32 16 kedalaman berkisar m pada Transek 1. Kisaran densitas massa air NPSW semakin sempit dengan nilai antara serta pada kedalaman antara m di Transek 2 (Gambar 7b, 8b dan 9b). Sebaran massa air pada kedalaman bawah termoklin juga menunjukan eksistensi massa air ini pada sisi timur di jalur masuk (Transek 1 dan 2). Inti (core) salinitas minimum massa air utama pada Transek 1 adalah sebesar psu (Stasiun 25 dan 26), mengalami peningkatan pada Transek 2 sebesar psu (Stasiun 22 dan 23). Karakteristik massa air NPSW dan NPIW hasil observasi EWIN 2013 pada setiap stasiun disajikan pada Lampiran 2 dan 3. Pergerakan Arlindo mulai menuju sisi barat SM pada wilayah tengah selat (Transek 3 dan 4). Kehadiran massa air Arlindo bersalinitas maksimum (NPSW) ditandai dengan peningkatan kontur kedalaman m akibat percampuran yang kuat pada kedalaman antara m dengan gradient penurunan suhu yang sangat kecil yakni C/m pada Stasiun 16 (Gambar 7c,8c dan 9c). Hal ini turut mendukung pernyataan Sprintall et al. (2014) bahwa percampuran vertikal yang terjadi di perairan Indonesia sangat menentukan kedalaman temperatur, salinitas dan kecepatan massa air. Meningkatnya kontur kedalaman pada Stasiun 16 juga mengindikasikan adanya aliran yang kuat terutama pada kedalaman antara m sehingga percampuran turut menguat. Eksistensi Arlindo pada Stasiun 16 ditemukan pula pada sebaran salinitas pada densitas 24.5 dan 26.5 (Gambar 6c dan 6d). Salinitas maksimum pada Stasiun 16 adalah psu dengan salinitas minimum psu. Pada Transek 4 massa air NPSW ditemukan dengan rentang densitas (Gambar 7d, 8d dan 9d). Semakin ke selatan (Transek 4), eksistensi massa air utama Arlindo ditemukan semakin mendekati tepi barat pada batas wilayah yang dalam. Akibatnya pada wilayah barat (Stasiun 13 dan 14) ditemukan massa air NPSW yang lebih tebal (Lampiran 2). Mayer dan Damm (2012) menjelaskan aliran arlindo akan bergerak menyusuri tepi kanal yang dalam pada sisi barat SM. Adanya intensifikasi massa air NPSW pada tepi barat terlihat dari pola salinitas yang terbentuk pada Gambar 6c dan 6d. Massa air utama Arlindo bergerak melalui Stasiun 11 dan 12 dengan nilai salinitas maksimum semakin berkurang menjadi psu serta salinitas minimum meningkat menjadi psu (Lampiran 2 dan 3). Sebaran salinitas maksimum dan minimum salinitas pada densitas 24.5 dan 26.5 (Gambar 6c dan 6d) mirip dengan pola energi kinetik dan arus keluaran model INDESO selama bulan Juni yang disajikan pada Gambar 6a Ciri massa air Arlindo lebih dominan ditemukan pada tepi barat di wilayah selatan selat (Transek 5) (Gambar 6c) terutama pada Stasiun 7 dengan nilai salinitas maksimum semakin berkurang yaitu psu dan nilai salinitas minimum yang semakin tinggi yaitu sebesar psu. Rentang densitas juga semakin sempit yaitu antara , pada kedalaman m (Gambar 8e, 9e, 10e). Kontur kedalaman 100 m menurun ke arah timur yang disebabkan lebih tebalnya lapisan NPSW pada sisi timur dengan ketebalan 107 m (Stasiun 4) dan 128 m (Stasiun 5), sedangkan lapisan tertipis berada pada sisi barat dengan ketebalan 74.5 m (Stasiun 8) dan 90 m (Stasiun 7). Nilai salinitas tertinggi juga ditemukan pada sisi timur (Stasiun 4 dan 5) yakni sebesar dan pasu. Hal ini diduga akibat resirkulasi massa air yang terjadi dari wilayah Kanal Labani, dimana pada sisi timur Transek 5 lebih dipengaruhi oleh

33 17 resirkulasi Arlindo dari selatan yang kemudian berkembang sebagai eddy dibandingkan oleh aliran Arlindo yang berasal dari utara. Nilai salinitas maksimum semakin berkurang pada Transek 6 dengan nilai berturut-turut dari Stasiun 3, 2 dan 1 adalah , dan psu sedangkan nilai salinitas minimum berturut-turut dari Stasiun 3, 2 dan 1 adalah , dan psu. Hasil ini turut mendukung pernyataan Sprintall et al. (2014) bahwa sebelum memasuki perairan Laut Banda telah terjadi transformasi massa air Arlindo yang cukup signifikan di SM. a b c d Gambar 6 Distribusi energi kinetik yang ditumpang tindih dengan arus komponen meridional rerata bulan Juni tahun keluaran model INDESO (a) dan sebaran salinitas pada 24.5 (c) serta 26.5 (d) di SM dari hasil Observasi EWIN tahun Inti massa air NPSW dan NPIW ditunjukan oleh tanda panah. Penentuan nilai densitas diperoleh berdasarkan Diagram TS (b). Garis putus-putus pada gambar c dan d menunjukan isodepth 250 m sebagai batas wilayah yang dangkal pada sisi barat SM.

34 18 Kedalaman (m) Salinitas (psu) Kedalaman (m) Sal (psu) Kedalaman (m) Salinitas (psu) Densitas (σ 0 kg m 3 Jarak (km) a b c Jarak (km) Jarak (km) Jarak (km) Kedalaman (m) Salinitas (psu) Kedalaman (m) Salinitas (psu) Densitas (σ 0 kg m 3 d e Jarak (km) Jarak (km) Skala bar salinitas (psu) Gambar 7 Sebaran melintang salinitas pada Transek 1(a), Transek 2(b), Transek 3(c), Transek 4(d) dan Transek 5(e) pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman (m).

35 19 Kedalaman (m) Temp ( C) Kedalaman (m) Temp ( C) Kedalaman (m) Temp ( C) Densitas (σ 0 kg m 3 a b c Jarak (km) Jarak (km) Jarak (km) Kedalaman (m) Temp ( C) Kedalaman (m) Temp ( C) Densitas (σ 0 kg m 3 d e Jarak (km) Jarak (km) Skala bar temperatur ( C) Gambar 8 Sebaran melintang temperatur pada Transek 1(a), Transek 2(b), Transek 3(c), Transek 4(d) dan Transek 5(e) pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman (m).

36 20 Kedalaman (m) Oksigen (ml/l) Kedalaman (m) Oksgn (ml/l) Kedalaman (m) Oksigen (ml/l) Densitas (σ 0 kg m 3 a b c Jarak (km) Jarak (km) Jarak (km) Kedalaman (m) Oksigen (ml/l) Kedalaman (m) Oksigen (ml/l) Densitas (σ 0 kg m 3 d e Jarak (km) Jarak (km) Skala bar oksigen ( ) Gambar 9 Sebaran melintang oksigen pada Transek 1(a), Transek 2(b), Transek 3(c), Transek 4(d) dan Transek 5(e) pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman (m).

37 21 Distribusi Arus Hasil Observasi EWIN 2013 Distribusi vektor arus dari hasil ekspedisi EWIN 2013 di SM disajikan pada Gambar 10. Hasil visualisasi arus menunjukan pergerakan arus sesuai dengan karakteristik massa air yang telah dibahas sebelumnnya. Arus yang memasuki pintu utara SM cenderung bergerak menuju barat daya, intensifikasi arus pada sisi barat SM terlihat pada Transek 4 dan 5. Magnitud arus yang kuat di dekat permukaan ditemukan pada wilayah barat hingga tengah Transek 1 dan 2 (Gambar 10a dan 10b). Celah antara Tanjung Mangkaliat dan Tanjung Dondo dengan lebar sekitar 60 km menyebabkan aliran massa air (arus) pada jalur masuk Arlindo menjadi lebih kuat. Hal ini sesuai dengan hukum konservasi massa yang mengharuskan jumlah massa air yang memasuki SM sama dengan jumlah massa air sebelum memasuki celah tersebut a b c d Gambar 10 Distribusi vektor arus pada SM pada beberapa lapisan kedalaman. (a) kedalaman 50 m, (b) kedalaman 75 m, (c) kedalaman 100 m dan (d) kedalaman 125 m (Atmadipoera, kom. pribadi 2015).

38 22 sama sehingga aliran dipercepat. Arus kuat ini masih terlihat sampai di Transek 3. Kuatnya pergerakan massa air dekat permukaan pada sisi barat Transek 1 dan 2 ini juga terlihat dari tebalnya lapisan tercampur pada sisi barat di kedua transek tersebut (Stasiun 28, 29 dan 24 pada Lampiran 1). Pola sirkulasi menunjukan bahwa aliran Arlindo mengalami intensifikasi pada kedalaman termoklin (Gambar 10c) dengan kecepatan mencapai pada jalur masuk Arlindo (Transek 1) dan merupakan kecepatan tertinggi yang ditemukan dengan arah aliran semakin menuju barat daya selat. Penelitian sebelumnya mengungkapkan Arlindo yang berasal dari Pasifik Utara bergerak pada massa air yang relatif tawar dan dingin di kedalaman termoklin (Gordon 2005). Arlindo memasuki perairan Indonesia melewati ambang/sill di gugusan kepulauan Sangir-Talaud yang selanjutnya diteruskan ke SM. Aliran massa air tersebut kemudian didinginkan oleh massa air permukaan yang lebih tawar yang mampu menghalangi massa air permukaan yang hangat selama musim barat (Gordon et al. 2003). Sebagai hasilnya transpor utama Arlindo tidak terjadi pada lapisan permukaan melainkan pada lapisan termoklin. Pada jalur keluar Arlindo di Kanal Labani kecepatan massa air adalah Hasil ini hampir sama dengan penelitian Susanto et al. (2012) selama tahun yang menemukan aliran massa air terkuat ditemukan pada kedalaman sekitar 120 m namun memiliki nilai sedikit lebih kecil yakni selama periode musim timur. Konfigurasi Kanal Labani yang sempit dan dalam (2000 m) merupakan faktor utama kuatnya aliran pada wilayah tersebut (Gambar 11). Aliran massa air pada Transek 4 berbenturan dengan topografi dasar laut SM, sehingga menghasilkan pembelokan arah arus menuju tenggara menyusuri lereng SM (Gambar 10c dan 10d). Arus ini dikenal sebagai Arlindo Makassar (Gordon et al. 2012). Model dari Mayer dan Damm (2012) menemukan arus jet pada lapisan di bawah lapisan permukaan bergerak menyerupai western boundary current pada sepanjang jalur lintas Arlindo dari Laut Sulawesi memasuki SM hingga keluar melewati Selat Lombok. Kanal Labani Gambar 11 Konfigurasi Batimetri sepanjang lintasan traking SADCP dari selatan (ujung kiri) hingga utara (ujung kanan) SM. Keterangan lokasi transek arus berada pada kanan gambar.

39 23 Arlindo mengalami resirkulasi membentuk eddy. Massa air terhalang batas kanal SM di kedalaman sekitar 35 m pada sisi Barat Transek 3 ( LU dan BT) yang mengakibatkan terjadinya resirkulasi. Arus menuju timur (bernilai positif) juga menguat terutama pada lapisan antara m dan m di sisi tengah hingga barat Transek 3 dan 4, yang menjelaskan terjadinya eddy di wilayah tersebut (Gambar 12a). Resirkulasi massa air juga tampak di sisi timur antara Transek 3 dan 4 ( LS dan BT) yang terlihat di setiap lapisan kedalaman (0-200 m). Sebaran arus meridional (v) pada Gambar 12b menunjukan bahwa secara umum, arus mengalir ke arah selatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wyrtki (1991) bahwa arus utama Arlindo di SM selalu mengalir dengan arah dominan menuju selatan sepanjang tahun. Namun pada kedalaman permukaan (0-30 m) mengalir arus dengan arah sebaran menuju utara di tepi barat selat. Hal ini menyebabkan massa air permukaan bergerak dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan massa air pada lapisan bagian bawah. Menurut Gordon et al. (2003), arus permukaan di SM memiliki korelasi yang tinggi dengan angin zonal pada Laut Jawa sebesar 0.8 pada periode musim barat sehingga terdapat aliran permukaan massa air Laut Cina Selatan dan Laut Jawa yang bersalinitas rendah memasuki wilayah perairan SM. Aliran menuju utara di sisi barat SM diperkuat dengan hasil tracking arus dari SADCP pada komponen meridional (v) (Gambar 12b) dan karakteristik salinitas permukaan (Lampiran 4). Aliran ini turut diduga akibat time lag /waktu jeda pergerakan arus musiman, dimana pada periode musim barat terdapat aliran massa air (arus) permukaan bersalinitas rendah dari Laut China Selatan dan Laut Jawa yang membangkitkan gradien tekanan barotropik pada sepanjang SM dari arah selatan menuju utara dan melemahkan aliran di dekat permukaan sedangkan pada periode (a) (b) Gambar 12 Sebaran Komponen Arus zonal; (u) (a) dan arus meridional (v) (cm/detik) (b) dari selatan (ujung kiri) hingga utara (ujung kanan) SM pada kedalaman m, keterangan lokasi transek arus berada pada kanan bawah gambar.

40 24 musim timur terjadi hal sebaliknya (Gordon et al. 2003; Tozuka et al. 2009; Atmadipoera et al. 2009). Diduga pada saat mulai terjadi pembalikan arah angin (memasuki musim timur), aliran massa air permukaan tidak langsung berbalik mengikuti arah angin, namun terdapat jedah waktu (time lag) dimana massa air membutuhkan waktu untuk secara penuh berbalik mengikuti arah angin. Struktur Vertikal Arus Meridional dan Energi Kinetik Arlindo SM Struktur vertikal komponen arus meridional (v) dari Arlindo SM pada beberapa penampang melintang, yang merupakan rerata v dari model INDESO disajikan pada Gambar 13. Di transek A, penampang menegak Arlindo SM ditandai dengan pola aliran kearah selatan (warna biru), dimana lapisan inti Arlindo dengan magnitude kecepatan > 0.5 m/s berada di lapisan termoklin dan semakin bertambah kedalaman kecepatan Arlindo semakin melemah (0.1 m/s). Di transek A ini, batas bawah aliran Arlindo SM berada di kedalaman sekitar 350 m, sedangkan batas tepi baratnya berada di sekitar bujur E yang berada di sekitar slope dangkalan Kalimantan dan batas tepi timur hampir dekat dengan pantai barat Sulawesi (199.8 E). Di transek B, C dan D struktur vertikal Arlindo SM masih mirip dengan di transek A, dimana ekstensi vertikal Arlindo SM mencapai kedalaman sekitar 350 m, tetapi batas tepi barat dan timur menjadi berbeda karena konfigurasi selat yang berbeda. Misalnya, di bagian Kanal Libani yang sempit dan dalam, magnitude kecepatan jet Arlindo SM menjadi lebih kuat dan intensif. Di transek D, topografi dasar laut yang berupa multi-kanal, menjadikan aliran Arlindo SM mengalami partisi kedalam 3 kanal, sehingga struktur vertikal alirannya menjadi lebih dangkal (Gambar 13 d). Penampang melintang rerata arus meridional (v) pada model INDESO menunjukan pola aliran Arlindo yang mirip dengan hasil observasi EWIN 2013 dimana pada jalur masuk Arlindo (Gambar 13a) arus komponen meridional (v) yang kuat terjadi di sisi timur selat, sedangkan di sisi barat selat ditemukan resirkulasi massa air berbentuk eddy yang teridentifikasi hingga kedalaman 350 m. Selain itu, intensifikasi arus juga ditemukandi tepi barat SM (Gambar 13b) pada wilayah LS, yang mulai terlihat pada kedalaman termoklin. Selanjutnya aliran dibelokan ke arah tenggara menuju Kanal Labani akibat arus yang membentur topografi dangkalan Kalimantan. Di Kanal Labani kecepatan arus meningkat dengan magnitud arus meridional (v) mencapai sekitar -1. Pergerakan arus ke arah selatan di Kanal Labani ditemukan hingga kedalaman 450 m. Arus yang kuat memiliki ketebalan antara m. Hasil tersebut sejalan dengan mooring yang pernah dilakukan misalnya pada program INSTANT tahun (Susanto et al. 2012) serta hasil simulasi pemodelan laut (Du dan Qu 2010; Metzger et al. 2010; Shinoda et al. 2012; Mayer & Damm 2012). Percabangan Arlindo ditemukan pada wilayah sekitar 5.7 LS (Gambar 13e) dengan partisi aliran yang kuat ditemukan pada percabangan tengah dan timur. Kekuatan aliran Arlindo SM diestimasi dalam bentuk energi kinetik (EK), yang dihitung dari setengah jumlah kuadrat komponen zonal dan meridional per satuan massa [EK 1/2(u 2 +v 2 ) / unit massa]. Nilai EK yang tinggi diharapkan merepresentasikan wilayah sumbu utama aliran Arlindo SM.

41 25 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 13 Penampang melintang rerata arus komponen meridional (v) Arlindo SM. Keterangan lokasi transek arus (a,b,c,d dan e) berada pada sebelah kanan gambar (f). Warna pada arus meridional menunjukan skala kecepatan ( ). Pusaran arus (eddies) dari hasil model yang teridentifikasi di SM berjumlah empat eddy yang dominan (Gambar 13 dan 14). Eddy di SM terbentuk antara jet Arlindo SM dan batas tepi SM. Stevana et al. (2001) menyatakan eddy pada daerah pesisir terbentuk akibat pertemuan antara aliran dengan struktur pesisir sehingga menghasilkan resirkulasi massa air dalam hal ini pada SM, jet Arlindo serta topografi selat mempengaruhi luas dan kecepatan eddy yang terbentuk. Dua eddy ditemukan pada wilayah utara Kanal Labani, sedangkan kedua eddy lainnya ditemukan di Selatan Kanal Labani. Eddy searah jarum jam pada utara Kanal Labani ditemukan pada sisi barat selat dengan posisi antara 0.8 LS 0.8 LU dan BT, sedangkan pada sisi timur SM, eddy berlawanan arah jarum jam ditemukan pada LS dan BT (Gambar 14). Radius eddy pada wilayah utara SM adalah 145 km. Dengan melihat arah pusaran Eddy, maka eddy yang terjadi pada sisi barat di wilayah utara Kanal Labani menyebabkan tenggelamnnya massa air. Hal ini diketahui dari hasil sebaran salinitas dan temperatur permukaan yang rendah (Lampiran 5). Tenggelamnya massa air pada kedua eddy di utara Kanal Labani juga terlihat dari turunnya garis isoterm serta isohalin pada wilayah eddy hingga kedalaman 20 m (Lampiran 6a dan 6b).

42 26 Eddy di Selatan Kanal Labani (4.5-5 LS) memiliki radius 85 km. Kedua eddy ini dipisahkan oleh jet arus Arlindo (Gambar 13d) yang keluar dari Kanal Labani. Eddy di sisi timur bergerak berlawanan jarum jam dan pada sisi barat bergerak searah jarum jam. Eddy terjadi karena sirkulasi lokal pada lokasi dimana eddy ditemukan. Eddy pada sisi timur terbentuk pada dekat permukaan dan menghilang pada kedalaman saat ditemukannya eddy di sisi barat yakni m akibat dangkalnya perairan pada sisi timur. Pergerakan eddy yang berlawanan arah jarum jam menyebabkan massa air terangkat dari kedalaman 40 m menuju permukaan (Lampiran 6d) sehingga terjadi upwelling pada wilayah timur di selatan Kanal Labani. Eddy pada sisi barat bergerak searah jarum jam yang berdampak pada tenggelamnnya massa air. Penampang melintang salinitas dan temperatur pada Lampiran 6c menunjukan adanya penurunan isoterm dan isohalin hingga kedalaman 160 m. Pergerakan eddy sisi barat semakin kuat pada kedalaman termoklin. 0.5 m 25 m m m m m Gambar 14 Struktur aliran Arlindo SM dan energi kinetik (m 2 /s 2 /unit massa) rataan tahun dari hasil model INDESO pada kedalaman 0.5, 25, 55.76, 92.3, dan 318 m. Warna menunjukan skala EK.

43 27 Terdapat 3 percabangan arus pada selatan Ambang Dewakang. Percabangan ini menyebabkan massa air dari permukaan hingga kedalaman m mengitari daerah ambang (Gambar 14). Cabang bagian timur dan tengah memasok massa air Arlindo ke arah timur menjadi Arus Nusa Tenggara dan pada cabang barat massa air langsung keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok (Metzger et al. 2010). Menurut Mayer dan Damm (2012), transpor Arlindo pada kedalaman m yang disimulasikan menggunakan model HYCOM dominan mengalir melalui cabang barat. Namun hasil model INDESO menunjukan arus dominan mengalir pada cabang tengah dan timur (Gambar 13e dan 14). Hal ini dikarenakan pada cabang barat, massa air dibelokan oleh adanya eddy yang terjadi akibat benturan massa air dengan Ambang Dewakang di sisi barat (Gambar 14). Massa air sekitar 20% langsung dipasok ke Samudera Hindia dari percabangan tersebut melalui Selat Lombok dan sebagian besar lainnya akan diteruskan ke Laut Banda dan keluar pada Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan celah Timor (Sprintall et al. 2009; Molcard et al 1996,2003). Siklus Tahunan Arlindo SM dari Model INDESO Siklus tahunan sirkulasi Arlindo SM pada 3 level kedalaman (25 m, 92 m, dan 318 m) menunjukkan adanya variasi tahunan dari Arlindo SM (Gambar 15, 16, dan 17), yang dikontrol oleh kekuatan angin yang bervariasi secara musiman, baik yang berasal dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Masumoto dan Yamagata, 1996; Potemra 1999; Shinoda et al. 2012). Sirkulasi Arlindo SM di kedalaman dekat permukaan (25 m) teridentifikasi pada nilai energi kinetik, EK > 0.05 m 2 /s 2 (Gambar 15). Pada segmen Arlindo SM di lintang 1 LS, variasi nilai EK menunjukkan variasi tahunan yang tegas, dimana nilai EK dan arus permukaan tercatat lebih kuat selama musim timur (Agustus-September) dibandingkan dengan musim barat (Desember-Februari). Pada musim timur, arus maksimum pada Kanal Labani sebesar 1.45 m/s dan lebar jet Arlindo sebesar 150 km yang dihitung pada bulan September sedangkan arus terendah terjadi pada musim barat dengan arus maksimum yang ditemukan selama musim barat pada Kanal Labani sebesar -0.91m/s dan lebar jet Arlindo pada wilayah 1 LS adalah 132 km pada bulan Februari. Lemahnya arus permukaan pada musim barat disebabkan adanya tekanan massa air dari selatan SM yang menghambat aliran massa air permukaan dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, sedangkan pada musim timur gradien ke utara berkurang akibat pembalikan arah angin sehingga arus permukaan menguat (Gordon et al. 2003). Eddy di kedalaman permukaan ditemukan pada bagian barat di utara SM (0.8 LS 0.8 LU dan BT) dan sisi timur jet Arlindo pada wilayah selaan Kanal Labani (4.5-5 LS dan BT). Eddy pada wilayah utara SM memiliki arus serta EK pusaran maksimum selama bulan Agustus dan September dan kekuatan maksimum kedua terjadi pada bulan Maret dengan besar EK pada wilayah eddy mencapai 0.03 m 2 /s 2 (tidak disajikan). Eddy terbentuk kuat dengan pusaran mendekati pesisir selat selama bulan Maret, dan bergeser menjauhi pesisir sejauh 40 km selama bulan Agustus-September. Pada wilayah selatan, eddy di sisi timur jet Arlindo memiliki pusaran maksimum selama bulan Oktober dan November dan kekuatan maksimum kedua ditemukan pada bulan Maret dengan EK mencapai m 2 /s 2.

44 28 Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli September Oktober November Agustus Gambar 15 Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) (m/s) dari tahun dan EK /satuan massa (m2/s2) pada kedalaman dekat permukaan di SM. Warna menunjukan nilai EK per unit massa. Interval kontur EK adalah Arus utama Arlindo ditunjukan oleh kontur EK >0.05 m2/s2. Percabangan arus di wilayah selatan Kanal Labani juga mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Hasil model INDESO menunjukan aliran pada cabang barat mulai melemah pada bulan November, hingga mencapai nilai minimum pada bulan Januari dengan tidak terlihat adanya percabangan di bagian barat. Hal ini dipengaruhi oleh intrusi massa air yang berasal dari selatan seperti yang dijelaskan sebelumnya (Fang et al. 2010; Gordon et al. 2003). Selama musim

45 29 peralihan 1, aliran massa air permukaan dari utara menguat menghilangkan efek gradien tekanan massa air dari Laut Jawa sehingga arus dan EK kembali menguat pada cabang bagian barat dan mencapai nilai maksimum pada musim timur. Jet Arlindo pada kedalaman termoklin teridentifikasi pada EK>0.05 m 2 /s 2 (Gambar 16). Lebar maksimum aliran Arlindo SM di lapisan termoklin ditemukan pada bulan Agustus dan September dengan kecepatan arus maksimum massa air pada Kanal Labani adalah 1.47 dan lebar jet Arlindo yang diukur pada lintang 1 LS adalah 85 km selama bulan September. Pada periode musim barat saat Arlindo SM melemah, arus jet paling rendah ditemukan pada bulan Januari dengan kecepatan arus maksimum pada Kanal Labani berkurang menjadi 0.71 serta lebar jet arus Arlindo sebesar 48 km. Variasi musiman dari Arlindo SM hasil model tersebut sangat konsisten dan sesuai dengan hasil observasi dan pemodelan sebelumnya (Susanto et al. 2012; Shinoda et al. 2012; Gordon et al., 2012). Kuatnya massa air yang masuk pada musim timur turut menguatkan eddy yang terbentuk pada kedalaman termoklin. Eddy yang terbentuk pada kedalaman termoklin memiliki kekuatan arus serta lebar maksimum pada bulan Juli- September namun melemah selama musim barat hingga awal musim peralihan 1 bersamaan dengan lemahnya massa air NPSW. Siklus tahunan menunjukan ada hubungan antara eddy yang terbentuk pada selatan Kanal Labani di sisi barat dengan kekuatan aliran yang mengalir memasuki Selat Lombok, terutama yang melalui cabang barat. Pada saaat eddy di sisi barat menguat, maka massa air yang melewati cabang barat semakin lemah dan sebaliknya ketika eddy melemah massa air yang melewati sisi barat menguat. Hal ini sangat bergantung pada kekuatan Arlindo yang berbenturan dengan Ambang Dewakang/ Dewakang sill sehingga meghasilkan resirkulasi arus membentuk eddy. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa resirkulasi eddy dari jet Arlindo SM dalam musim timur dapat mempengaruhi intensitas upwelling yang terjadi di bagian baratdaya Makassar (Atmadipoera & Widyastuti, 2014) Aliran semakin lemah pada level kedalaman bawah termoklin (318 m). Jet utama Arlindo SM bawah termoklin dibatasi oleh nilai EK > m 2 /s 2 (Gambar 17). Vektor arus serta EK pada kedalaman bawah termoklin bernilai maksimum selama bulan Juli dengan lebar jet Arlindo yang diukur pada sepanjang 1 LS adalah sebesar 91 km. Arus dan EK lemah selama bulan November dan Desember dengan lebar jet Arlindo pada bulan November adalah 56 km. Shinoda et al. (2012) menyatakan kekuatan transpor Arlindo menuju selatan melemah selama bulan April-Mei dan Oktober-November yang disebabkan variasi angin di daerah tropis Samudera Hindia. Pada kedalaman bawah termoklin, ditemukan eddy pada wilayah timur jet Arlindo di utara Kanal Labani serta pada sisi barat jet Arlindo pada Selatan Kanal Labani. Eddy di Selatan SM menguat pada sekitar bulan Maret dan April. Berdasarkan hasil visualisasi massa air pada kedalaman termoklin dan bawah termoklin (Gambar 16 dan 17) tampak bahwa secara umum massa air Arlindo memasuki perairan SM dari arah timur selat menyusuri pantai barat Pulau Sulawesi, namun hal ini bergantung pula dari kuatnya arus. Jika arus tersebut melemah seperti yang terjadi pada puncak musim barat (Januari-Februari), maka semakin kecil pantulan yang diterima Pulau Sulawesi, akibatnya arus akan langsung melewati sisi timur atau tengah SM.

46 30 Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Gambar 16 Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) (m/s) dari tahun dan EK /satuan massa (m 2 /s 2 ) pada kedalaman termoklin di SM. Warna menunjukan nilai EK per unit massa. Interval kontur EK adalah Arus utama Arlindo ditunjukan oleh kontur EK >0.05 m 2 /s 2.

47 31 Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Gambar 17 Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) (m/s) dari tahun dan EK /satuan massa (m 2 /s 2 ) pada kedalaman bawah-termoklin di SM. Warna menunjukan nilai EK per unit massa. Interval kontur EK adalah Arus utama Arlindo ditunjukan oleh kontur EK >0.015 m 2 /s 2

48 32 Struktur Spasial dan Fluktuasi Temporal Arlindo SM Kedalaman Permukaan (25 m) Struktur spasial Arlindo SM dapat diinterpretasikan dari hasil analisis EOF untuk arus meridional yang dinyatakan dengan nilai terbesar persentase explained variances untuk EOF Mode 1, Mode 2, dan Mode 3. Di kedalaman permukaan (Gambar 18) EOF Mode 1 arus meridional (v) memiliki nilai explained variance sebesar 79.1%. Mode 1 memiliki nilai dominan positif sedangkan nilai negatif hanya ditemukan pada sisi tepi selat. Pola EOF Mode 1 (Gambar 18a) diduga mencirikan karakteristik aliran Arlindo yang terbentuk di SM. Hal ini terlihat dari kesamaan pola yang terbentuk dengan arus meridional permukaan rata-rata (Lampiran 10). Pola tersebut memperlihatkan bahwa aliran utama Arlindo dominan menuju arah selatan yang ditunjukan dengan nilai positif, sedangkan nilai negatif menunjukan resirkulasi arus meridional (v). Amplitude sinyal terbesar EOF Mode 1 ditemukan pada pintu masuk Arlindo di utara SM dengan nilai mencapai 0.5 dan pada Kanal Labani dengan kisaran nilai sebesar 1. Hal ini sejalan dengan semakin tinggi standar deviasi arus meridional (v) pada wilayah tersebut (Lampiran 10). EOF Mode 2 dengan persentase explained variance 6.2% memiliki variabilitas yang lebih kecil dengan varians dominan bernilai positif, sedangkan varians negatif ditemukan pada wilayah utara hingga timur selat, serta di wilayah tenggara dan barat daya SM. EOF 3 dengan varians 3.2% memiliki nilai variabilitas dominan negatif. Pola pada EOF 3 berbanding terbalik dengan EOF Mode 2 (Gambar 18 b dan c). Secara spasial nilai EOF permukaan lebih tinggi pada cabang tengah dan timur di selatan SM. Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa di permukaan, aliran cenderung melewati cabang tengah dan timur, sedangkan pada cabang barat aliran mengalami fluktuasi yang cukup signifikan akibat perubahan musim. Variasi temporal dari data deret-waktu yang bersesuaian dengan EOF Mode 1 sampai Mode 3 (3 terbesar) serta hasil analisis transformasi wavelet dan power spectral density (PSD) disajikan pada Gambar 19 dan 20. Untuk melihat kekuatan signal dan periodisitas fluktuasi Arlindo SM dilakukan analisis PSD dengan selang kepercayaan 95 % dan menggunakan panjang segmen data deret-waktu sebesar 512 harian (Gambar 20). EOF Mode 1 menunjukan variabilitas intra musiman (33-73 harian) yang tinggi dengan nilai koefisien CWT>0.75 (Gambar 19b). Berdasarkan hasil analisis energi densitas diperoleh beberapa puncak yang dominan terjadi selama selang waktu periode intra musiman yakni 33, 57 dan 73 harian (Gambar 20a). Variabilitas intra musiman yang tinggi ditemukan pada sekitar bulan Juni tahun 2008, Agustus 2009, November 2010 dan Juli Variabilitas intra musiman yang kuat di SM juga ditemukan Pujiana et al. (2012). Berdasarkan analisis spektral EOF Mode 1 di permukaan (Gambar 20a) diketahui bahwa periode intra musiman 57 dan 73 harian memiliki nilai energi densitas yang lebih besar yakni 1.4 dan 1.5 (Lampiran 8). Periode 73 harian diduga dipengaruhi oleh kedatangan gelombang Kelvin yang memiliki periode harian (Susanto et al. 2000; Qiu et al.1999; Sprintall et al. 2000). Hasil penelitian terbaru dengan menggunakan data mooring arus pada dua lokasi di Kanal Labani juga menemukan adanya intrusi gelombang Kelvin yang berasal dari Samudera

49 33 EOF 1 =79.1 % EOF 2 =6.2 % EOF 3 =3.2 % (a) (b) (c) Gambar 18 EOF Mode 1 (a), 2 (b), 3 (c) dari arus meridional (v) pada kedalaman permukaan di SM selama tahun Warna menunjukan sebaran nilai EOF. Hindia dari EOF Mode 1 (45 %) yang dihasilkan (Susanto et al. 2012). Periode 2 mingguan (11 harian) juga ditemukan namun dengan energi yang lemah. Periode tahunan ditemukan pada EOF Mode 1 (Gambar 19a). Pola tahunan yang ditemukan pada sebaran anomali EOF Mode 1 yang telah dilakukan proses smoothing mengalami gangguan. Gangguan tersebut dipengaruhi oleh periode ENSO yang muncul. Hasil smoothing (garis merah) menunjukan bahwa anomali arus meridional (v) pada EOF Mode 1 memiliki beberapa puncak pada anomali dengan nilai >-1. Puncak yang tinggi (anomali>-0.8) terjadi pada sekitar November 2007-April 2008, Desember 2010-September 2011 dan Februari Maret 2011, sedangkan puncak yang rendah (-1<anomali <0.8) terjadi pada awal 2007, dan Juni 2009-Mei Nilai anomali < -1 dominan terjadi pada sekitar Mei 2008-Juni 2009, Juni 2010-Oktober 2010, Juli 2012-Desember Puncak-puncak osilasi yang ditemukan pada sebaran temporal EOF tersebut kemudian di hubungkan dengan indeks Nino 3.4 pada Lampiran 11, maka diperoleh bahwa sebaran temporal dengan puncak anomali >-0.8 diindikasikan sebagai waktu terjadinya La Nina, sebaran temporal dengan -1< anomali <0.8 diindikasikan sebagai waktu kejadian El Nino, sedangkan sebaran temporal dengan anomali < -1 diindikasikan dengan kejadian normal. Fenomena ENSO di SM selalu terkait dengan variabilitas temperatur (Ffield et al. 2000; Susanto et al. 2012). Namun pada arus meridional (v) permukaan juga ditemukan adanya variabilitas ENSO. Variabilitas antar tahunan ditandai dengan puncak periode 512 harian (Gambar 20a) yang juga ditunjukan pada hasil analisis spektral menggunakan panjang segmen 1024 harian pada Lampiran 9a. EOF Mode 2 di kedalaman permukaan memiliki sebaran spasial dengan nilai dominan positif. Secara temporal melalui analisis CWT (Gambar 19d) diketahui bahwa periode intra musiman masih terlihat namun dengan koefisisen CWT yang lebih kecil. Sebaran koefisien CWT dan grafik temporal EOF Mode 2 menunjukan fluktuasi arus meridional memiliki siklus dominan tahunan (Gambar 19c dan 19d; Gambar 20b). Setelah dilakukan proses smoothing pada garis merah terlihat bahwa osilasi maksimum terdapat pada sekitar musim barat dan nilai rendah ditemukan pada sekitar musim timur (Gambar 19c), sedangkan pada EOF

50 34 Mode 3, ditemukan hal yang sebaliknya. Arus meridional menguat selama musim timur, dan melemah selama musim barat. Proses yang terjadi selama periode tahunan telah dijelaskan sebelumnya pada Gambar 16 dan selanjunya disajikan dalam penampang melintang arus komponen meridional pada Lampiran 7a. Dengan menggunakan panjang segmen 1024 pada analisis spektral, semakin jelas terlihat periode tahunan dengan puncak periode 342 harian (Lampiran 9). Siklus tahunan ini masih teridentifikasi hingga bagian selatan SM pada jalur keluar Arlindo hingga mencapai Laut Jawa (Atmadipoera et al. 2009; Syahdan et al. 2015). Hasil smoothing yang diterapkan pada grafik temporal EOF Mode 2 dan 3 (garis merah) menunjukan nilai osilasi anomali pada EOF Mode 2 lebih besar dibandingkan pada EOF Mode 3. Hal tersebut disebabkan karena EOF Mode 3 di permukaan memiliki periode intra musiman yang cukup besar dengan puncak periode berada pada 11, 64 dan 34 harian. La Nina El Nino El Nino Normal La Nina Normal (a) (b) El Nino (c) (d) El Nino (e) (f) Gambar 19 Fluktuasi temporal EOF. Hijau data asli, Merah data yang sudah di smooth (kiri) dan Continues wavelet transform (CWT) (kanan) arus meridional (v) pada kedalaman permukaan SM; a-b Mode 1, c-d Mode 2, e-f Mode 3.

51 35 (a) (b) (c) Gambar 20 Energi densitas spektral EOF arus meridional (v) dengan selang kepercayaan 95% dengan panjang segmen data 512 (hari) di kedalaman permukaan; a Mode 1, b Mode 2, c Mode 3. Garis hijau menunjukkan significant level pada selang kepercayaan 95%. Grafik sebaran temporal dan analisis CWT menunjukan sinyal yang lemah pada EOF Mode 2 dan 3 terjadi selama Juni 2009-Mei 2010 atau pada periode terjadinya El Nino yang ditemukan pada EOF Mode 1 dimana variabilitas tahunan juga masih dipengaruhi variabilitas antar tahunan (ENSO). Periode antar tahunan juga ditemukan pada hasil analisis spektral. Sehingga diprediksi arus meridional melemah akibat eksistensi El Nino. Hal ini turut menguatkan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa El Nino berperan dalam mengurangi kontribusi Arlindo yang memasuki SM, sedangkan pada saat terjadi La Nina, massa air Arlindo yang melewati SM mengalami penguatan (Kindle et al. 1989; Ffield et al. 2000; England & Huang 2005; Gordon et al. 2012; Sprintall et al.2014). Kedalaman Termoklin Struktur spasial EOF Mode 1, 2 dan 3 di kedalaman termoklin disajikan pada Gambar 21. EOF Mode 1 memiliki explained variance sebesar 85.5% di kedalaman termoklin. Secara spasial sinyal positif yang ditujukan EOF Mode 1 menunjukan aliran utama Arlindo SM (Gambar 21a). Hal ini terlihat dari pola EOF yang sama dengan pola arus meridional rata-rata pada lapisan termoklin (Lampiran 10). EOF Mode 1 memiliki nilai positif yang mewakili jalur utama pergerakan Arlindo di SM baik pada permukaan, kedalaman termoklin maupun kedalaman di bawah termoklin sedangkan nilai negatif ditemukan pada wilayah tepi SM. Hasil EOF Mode 1 menunjukan intensifikasi EOF bernilai positif di sisi barat SM pada posisi antara LS. Hal ini sejalan dengan hasil Mayer dan Damm (2012) mengenai intensifikasi jet seperti western boundary current yang mendorong massa air Arlindo ke arah barat sepanjang lintasan Arlindo di SM serta pembuktian menggunakan analisis yang telah dilakukan sebelumnya baik menggunakan data observasi EWIN tahun 2013 maupun data model INDESO. Nilai negatif pada EOF Mode 1 diindikasikan sebagai resirkulasi dari arus meridional yang melewati SM (Gambar 21a).

52 36 EOF 1= 85.8 % EOF 2 =3.9 % EOF 3 =3.5 % (a) (b) (c) Gambar 21 EOF Mode 1 (a), 2 (b), 3 (c) dari arus meridional (v) pada kedalaman termoklin di SM selama tahun Warna menunjukan sebaran EOF. Berdasarkan grafik temporal EOF Mode 1 diketahui bahwa pada kedalaman termoklin juga ditemukan adanya variabilitas intra musiman yang kuat. Hasil analisis CWT memperlihatkan variabilitas intra musiman (21-73 harian) selain itu juga ditemukan adanya variabilitas tahunan hingga antar tahunan ( harian). Variabilitas intra musiman pada kedalaman termoklin di SM juga telah ditemukan Pujiana et al. (2009). Menurut mereka mayoritas variabilitas intra musiman di SM tidak disebabkan pengaruh atmosfer lokal, melainkan gabungan gelombang baroklinik jarak jauh dari Selat Lombok serta dari Laut Sulawesi pada lapisan yang lebih dalam. Variabilitas pada kedalaman termoklin yang ditemukan Pujiana et al. (2009) adalah harian. Analisis spektral dengan menggunakan panjang segmen 1024 harian yang disajikan pada Lampiran 9 menunjukan besarnya periode tahunan (342 harian) dan periode antar tahunan (512 harian) pada EOF Mode 1 di kedalaman termoklin. Setelah dilakukan smoothing (garis merah) pada Grafik EOF Mode 1 (Gambar 22a), terlihat pola yang ditunjukan mulai berubah bila dibandingkan dengan pola EOF Mode 1 pada permukaan. Perbedaan ini disebabkan menguatnya variabilitas tahunan pada kedalaman termoklin dibandingkan dengan kedalaman permukaan. Menurut Gordon et al., 1999 sisa variabilitas ENSO/antar tahunan dari transpor Arlindo menghilang diakibatkan oleh eksistensi variabilitas tahunan dengan nilai maksimum pada bulan Juni dan minimum pada bulan Desember. Variabilitas tahunan pada SM juga telah ditemukan oleh peneliti sebelumnya (Potemra et al. 2003; Gordon et al. 2008; Shinoda et al. 2012). Selain oleh variabilitas tahunan, berkurangnya kekuatan variabilitas antar tahunan/enso juga turut dipengaruhi oleh kehadiran variabilitas intra musiman (Spirintall et al. 2000; Susanto et al. 2000). Periode intra musiman terlihat pada tampilan CWT serta PSD pada EOF Mode 2 (Gambar 22b dan 23b). EOF Mode 2 pada lapisan termoklin dengan nilai explained variance 3.9 %, (Gambar 21b) memiliki pola sebaran yang sama dengan EOF Mode 2 pada kedalaman bawah bermoklin (Gambar 24b) yakni ditemukan adanya sinyal dengan nilai positif dan negatif yang besar pada wilayah utara yang menunjukan besarnya anomali arus pada jalur masuk Arlindo SM. Hal ini sejalan dengan hasil

53 37 visualisai arus dan energi kinetik yang memiliki nilai yang besar pada wilayah utara (Gambar 16 dan 17) serta standar deviasi arus meridional di lapisan termoklin pada Lampiran 10. Selanjutnya juga ditemukan sinyal negatif yang besar pada wilayah Kanal Labani. EOF Mode 2 pada lapisan termoklin berbeda dengan EOF Mode 2 pada lapisan permukaan (Gambar 18b) dimana nilai EOF Mode 2 pada lapisan termoklin bernilai dominan negatif, sedangkan pada lapisan permukaan memiliki nilai dominan positif. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 22 Grafik temporal EOF. Hijau data asli, Merah data yang sudah di smooth (kiri) dan Continues wavelet transform (CWT) (kanan) arus meridional (v) pada kedalaman termoklin di SM; a-b Mode 1, c-d Mode 2, e-f Mode 3.

54 38 Periode intra musiman ditemukan cukup signifikan dengan puncak periode harian pada EOF Mode 2 dengan besar energi spektral masing-masing 26 dan 36.7 (Gambar 23 a, Lampiran 8). Kedua periode tersebut diduga merupakan hasil perambatan Gelombang Rossby yang berasal dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi. Gelombang ini memiliki periode harian (Qiu et al. 1999; Kashino et al.1999). Energi terkuat lainnya pada EOF Mode 2 adalah pada periode tahunan yang ditemukan pada analisis spektral dengan panjang segmen 512 harian dengan periode antara 256 hingga 512 harian, dan dengan menggunakan panjang segmen 1024 ditemukan dengan puncak 342 harian (Lampiran 9). Setelah dilakukan smoothing pada grafik osilasi EOF Mode 2 (Gambar 22 c), diperoleh bahwa pengaruh ENSO telah berkurang dibandingkan pada EOF Mode 1, yang disebabkan menguatnya periode tahunan pada EOF Mode 2. Periode harian yang ditemukan pada EOF termoklin (Mode 1, 2 dan 3) turut membrikan pengaruh pada variabilitas yang terjadi pada SM. Menurut Pujiana et al. (2012) variabilitas intra musiman dengan puncak antara harian merupakan representasi dari eddy siklonik dan anti siklonik di SM. EOF Mode 3 dengan explained variance 3.5 % menunjukan pengaruh kuat variabilitas tahunan dimana variabilitas lainnya bernilai lebih kecil. (Gambar 22 f, 23 c, Lampiran 9). Variabilitas tahunan arus meridional pada kedalaman termoklin memiliki kekuatan maksimum pada musim timur serta minimum pada musim barat yang terlihat dari pola berulang yang ditunjukan pada sebaran arus meridional (Lampiran 7a dan 7b) serta analisis klimatologi EK (Gambar 16). (a) (b) (c) Gambar 23 Energi densitas spektral EOF arus meridional (v) dengan selang kepercayaan 95% dengan panjang segmen data 512 (hari) di kedalaman termoklin; a Mode 1, b Mode 2, c Mode 3. Garis hijau menunjukkan significant level pada selang kepercayaan 95%.

55 39 Kedalaman Bawah Termoklin/ Intermediate Sebaran EOF pada kedalaman bawah termoklin menunjukan EOF Mode 1 (Gambar 24a) memiliki pola sebaran mirip seperti pada kedalaman permukaan maupun termoklin, namun dengan nilai sebaran yang lebih kecil dibandingkan pada kedua kedalaman lainnya. Hal ini sejalan dengan semakin kecilnya arus pada kedalaman bawah termoklin (Gambar 16 dan Lampiran 10). EOF Mode 2 dan 3 (Gambar 24 b, c) di kedalaman bawah termoklin menunjukan sinyal dominan bernilai positif. Sinyal terkuat ditemukan pada wilayah utara baik yang bernilai positif maupun negatif dan pada wilayah Kanal Labani. Standar deviasi pada Lampiran 10 juga menunjukan tingginya fluktuasi pada bagian utara SM dan Kanal Labani. Osilasi anomali EOF Mode 1 di kedalaman bawah termoklin berbeda bila dibandingkan dengan EOF Mode 1 pada kedalaman permukaan dan termoklin. Berdasarkan grafik sebaran temporal EOF pada kedalaman bawah termoklin (Gambar 25a) ditemukan variabilitas intra musiman yang diketahui dari analisis CWT (Gambar 25b) dengan periode sebesar 51 harian (Gambar 26a). Penelitian sebelumnya menggunakan data selama 1.5 tahun ( ) di kedalaman mendapatkan dua variabilitas intra musiman yang signifikan di SM dengan puncak dan harian (Susanto et al. 2000). Osilasi 50 harian juga ditemukan Qiu et al. (1999). Osilasi 50 harian ini memiliki dampak besar pada Arlindo di SM dan Laut Banda, namun tidak memberikan kontribusi signifikan pada perubahan Arlindo di Selat Lombok, Ombai dan Timor. Analisis spektral densitas menunjukan nilai densitas EOF Mode 1 tertinggi berada pada periode tahunan ( harian) (Gambar 26a). Pola osilasi yang telah dismoothing (garis merah) pada Gambar 25a menujukan variabilitas tahunan yang tidak teratur. Hal ini disebabkan oleh pengaruh variabilitas antar tahunan 512 harian yang juga terdeteksi dengan analisis spektral menggunakan panjang segmen 1024 harian (Lampiran 9). EOF 1=87.3 % EOF 2 =4.4 % EOF 3 =3.0% (a) (b) (c) Gambar 24 EOF Mode 1 (a), 2 (b), 3 (c) dari arus meridional (v) pada kedalaman bawah termoklin/ intermediate di SM selama tahun Warna menunjukan sebaran EOF.

56 40 Variabilitas intra musiman sangat jelas ditemukan pada EOF Mode 2 (51 dan 60 harian) dengan nilai explained variance 4.4% di kedalaman bawah termoklin (Gambar 26c, 25d, 27b) dengan energi densitas masing-masing 50.4 dan 49.8 (Lampiran 9). Periode 51 harian juga ditemukan pada EOF Mode 1. Variabilitas intra musiman pada SM dibangkitkan oleh variabilitas yang terjadi pada kedua samudera yakni yang berasal dari Samudera Hindia yang dibangkitkan oleh Gelombang Kelvin melalui Selat Lombok dan Gelombang Rossby yang berasal dari Samudera Pasifik (Susanto et al. 2000). Variabilias yang ditemukan dengan periode 51 harian diduga akibat pengaruh perambatan Gelombang Rossby. Gelombang ini teridentifikasi pada Laut Sulawesi dengan periode osilasi harian dan periode 50 harian pada Laut Celebes (Qiu et al. 1999; Kashino et al.1999). (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 25 Grafik temporal EOF. Hijau data asli, Merah data yang sudah di smooth (kiri) dan Continues wavelet transform (CWT) (kanan) arus meridional (v) pada kedalaman bawah termoklin di SM; a-b Mode 1, c-d Mode 2, e-f Mode 3.

57 41 Beberapa penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa Gelombang Rossby memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas antar tahunan (Shinoda et al.2012; Mc Clean et al.2005; White et al.2003). Selanjutnya Pujiana et al. (2009) menyatakan bahwa variabilitas intra musiman di SM juga dimodulasi oleh eksistensi ENSO. Analisis CWT pada EOF Mode 3 dengan nilai explained variance 3.0% menunjukan tingginya koefsien pada periode intra musiman (60 dan 28 harian), semi tahunan (102 dan 128 harian), hingga antar tahunan (512 harian). EOF Mode 3 di kedalaman bawah termoklin juga menunjukan adanya periode yang cukup signifikan pada rentang waktu semi tahunan ( harian) yang juga terlihat dari hasil analisis CWT pada Gambar 25f. Periode semi tahunan juga cukup besar terlihat dari hasil analisis spektral EOF Mode 2 dan 3 menggunakan panjang segmen 1024 pada Lampiran 9. Susanto et al. (2012) meyatakan periode semi tahunan yang terjadi pada SM berkaitan dengan gelombang Kelvin semi tahunan selama bulan Mei dan November. Adanya intrusi Gelombang Kelvin semi-tahunan pada kedalaman bawah termoklin juga ditemukan pada grafik arus komponen meridional pada wilayah Kanal Labani yang disajikan pada Lampiran 7b. Pola berulang ditemukan dengan puncak nilai arus minimum yang ditandai dengan huruf K pada grafik sebaran arus meridional selama musim peralihan. Studi sebelumnya menyatakan ada keterkaitan antara angin yang bertiup pada Samudera Hindia dengan variabilitas intra musiman hingga semi tahunan pada SM (Qiu et al. 1999; Sprintall et al. 2000; Schiller et al. 2010). Intrusi Gelombang Kelvin semi tahunan yang berasal dari Samudera Hindia menyebabkan lemahnya arus meridional di kedalaman bawah termoklin. (a) (b) (c) Gambar 26 Power Spectral Density EOF arus meridional (v) pada kedalaman bawah termoklin di SM; a Mode 1, b Mode 2, c Mode 3. Garis hijau menunjukkan significant level pada selang kepercayaan 95%.

58 42 Analisis Trajektori Partikel Massa Air Musim Barat Partikel massa air bergerak mengikuti pergerakan Arlindo selama musim barat yakni dari sisi timur menuju barat daya, kemudian partikel dibelokan menuju tenggara dan masuk pada Kanal Labani. Partikel bergerak salama 13 hari di kedalaman permukaan hingga mencapai wilayah 4 LS, kemudian partikel dibelokan mengikuti pusaran eddy di sisi timur (Gambar 27 a,b,c). Peningkatan salinitas serta rendahnya suhu di wilayah selatan hingga pada wilayah terbentuknya eddy mengindikasikan tenggelamnnya partikel massa air. Berbeloknya massa air permukaan menuju sisi timur SM diduga turut dipengaruhi oleh intrusi massa air yang berasal dari Laut Jawa memasuki SM selama musim barat (Gordon, 2003). Untuk mengetahui pergerakan partikel massa air yang berasal dari selatan SM, dibuat pergerakan partikel dari selatan dengan posisi 4.4 LS pada Gambar 28. Hasil trajektori partikel massa air menunjukan selama bulan Februari-Maret, partikel bergerak di dalam massa air bersalinitas rendah dan bertemperatur hangat. Selama perjalannya karakteristik massa air mulai berubah dengan peningkatan salinitas sebanyak 2 psu serta penurunan temperatur sekitar 1 C yang mencirikan penenggelaman partikel massa air. Partikel massa air di permukaan bergerak hingga mencapai 3.4 LS dengan arah menuju timur laut selanjutnya partikel dibelokan ke arah tenggara dan keluar pada melalui sisi timur SM. Waktu kehadiran massa air bersalinitas rendah ini relatif pendek dengan kisaran waktu sekitar 10 hari. Partikel massa air yang bergerak di kedalama termoklin memiliki nilai salinitas yang tinggi (S>34.5 psu) pada sisi timur posisi awal (Gambar 27d). Hal ini seperti yang dijelaskan melalui data observasi dan pengolahan model sebelumnya bahwa jalur masuk utama massa air NPSW adalah melalui sisi timur SM pada pintu masuk. Rendahnya salinitas pada sisi barat posisi awal disebabkan tebalnya lapisan tercampur pada sisi barat posisi awal partikel sehingga massa air permukaan memberikan pengaruh hingga ke ke kedalaman termoklin. Memasuki Kanal Labani, ditemukan nilai salinitas yang semakin rendah disertai dengan temperatur yang semakin tinggi di kedalaman termoklin (Gambar 27 d,e). Hal ini mempertegas terjadinya percampuran yang kuat pada wilayah Kanal Labani (Purwandana, 2014) selain itu adanya intrusi massa air Laut Jawa selama musim barat juga diduga turut memberikan pengaruh yang signifikan (Gordon et al. 2003). Penelitian sebelumnya mengungkapkan terdapat perbedaan salinitas yang cukup besar selama musim barat dan timur di perairan Laut Jawa (Atmadipoera et al. 2009). Waktu tempuh partikel massa air di kedalaman termoklin selama musim barat adalah antara hari (Gambar 27f). Partikel massa air yang mencapai selatan SM diperkirakan bergerak di dalam inti (jet) dari aliran massa air NPSW dengan posisi awal ditemukan pada sisi timur SM. Berdasarkan posisi partikel sewaktu keluar dari SM diketahui bahwa partikel bergerak keluar melalui cabang tengah. Pada tepi SM, partikel massa air bergerak lebih lambat. Pada posisi antara 0-1 LU, BT ditemukan massa air yang tertinggal hingga mencapai 60 hari. Massa air tersebut tidak bergerak hingga mencapai suatu titik tertentu. Beberapa partikel hanya bergerak selama 30 hari dan selanjutnya pergerakan tersebut terhenti. Diperkirakan eksistensi eddy pada tepi barat SM menyebabkan partikel

59 43 tersebut tenggelam di bawah kedalaman 92 m. Hal itu juga terlihat dari tingginya salinitas serta temperatur yang lebih rendah pada sisi barat. Pergerakan partikel pada kedalaman bawah termoklin teridentifikasi pada massa air bersalinitas rendah (Gambar 27g). Salinitas terendah ditemukan pada sisi barat posisi awal dengan nilai sekitar psu dengan temperatur yang lebih rendah pula. Pada sisi timur, ditemukan nilai salinitas yang lebih tinggi dengan kisaran antara psu serta nilai temperatur yang lebih tinggi pula. Hasil ini merepresentasikan bahwa partikel massa air NPIW yang bergerak pada kedalaman bawah termoklin cenderung bergerak menyusuri tepi barat SM pada jalur masuk. Hal ini juga terlihat dari simulasi energi kinetik serta arus pada 5 m 5 m 5 m (a) (b) (c) 92 m 92 m 92 m (d) (e) (f) 318 m 318 m 318 m (g) (h) (i) Gambar 27 Trajektori dan karakteristik partikel massa air di SM selama musim barat pada kedalaman permukaan (a,b,c), termoklin (d,e,f) dan bawah termoklin (g,h,i); kiri salinitas (psu), tengah temperatur ( C), kanan waktu tempuh (hari).

60 44 5 m 5 m 5 m (a) (b) (c) Gambar 28 Trajektori dan karakteristik partikel massa air permukaan (5 m) pada SM selama musim barat dengan posisi awal pada sepanjang 4.4 LS : kiri salinitas (psu), tengah temperatur ( C), kanan waktu tempuh (hari). kedalaman bawah termoklin selama bulan Februari dan Maret (Gambar 17), dimana ditemukan intensifikasi jet massa air NPIW cenderung bergerak menyusuri tepi Pulau Kalimantan pada jalur masuk Arlindo. Partikel massa air bergerak lebih lambat pada kedalaman bawah termoklin. Dari 39 partikel yang dilepaskan, hanya 1 partikel saja yang mencapai batas wilayah simulasi di selatan selat selama 60 hari (Gambar 25i). Partikel yang mampu bergerak lebih cepat merupakan partikel massa air yang dilepaskan pada sisi barat posisi awal (jalur utama massa air NPIW). Musim Timur Hasil Simulasi trajektori pada musim timur disajikan pada Gambar 29. Pada kedalaman permukaan (5 m), sebagian besar pergerakan partikel hanya terdeteksi selama 5 hari, namun dengan arah menuju timur laut. Hal ini disebabkan ada pergerakan massa air yang kuat dari selatan sehingga mendorong massa air ke arah timur Laut/ menjauhi pusaran eddy (Gambar 30). Kehadiran massa air permukaan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama ditemukan pada sisi timur posisi awal.warna merah pada hasil trajektori partikel yang ditumpang tindih dengan waktu menunjukan kehadiran partikel massa air dalam jangka waktu yang lama (Gambar 29c). Diduga hal tersebut menandakan massa air tenggelam pada tepi timur SM yang ditandai dengan peningkatan salinitas dan penurunan nilai temperatur pada tepi timur (Gambar 29a,b). Partikel massa air yang bergerak pada kedalaman termoklin, memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi serta temperatur yang lebih rendah selama musim timur dibandingkan pada musim barat (Gambar 29 d,e). Nilai temperatur yang lebih tinggi pada posisi awal (Gambar 29e) diduga terjadi karena kuatnya percampuran pada wilayah utara SM. Hasil ini sesuai dengan hasil observasi EWIN yang telah di bahas pada sub bab sebelumnya. Di bagian selatan ditemukan adanya nilai temperatur maupun salinitas yang rendah. Temperatur yang rendah mengindikasikan terjadinya upwelling pada wilayah selatan SM selama musim

61 45 timur. Waktu pergerakan partikel massa air selama musim timur di kedalaman termoklin adalah antara 12 sampai 20 hari (Gambar 29f). Kecepatan partikel massa air NPSW lebih besar selama musim timur dibandingkan musim barat. Pada hari ke 29, terdapat partikel massa air yang bergerak menuju utara menyusuri pesisir selatan Pulau Sulawesi kemudian berbelok kembali ke selatan yang diduga akibat eddy berlawanan arah jarum jam pada wilayah tersebut. Partikel masssa air pada kedalaman bawah termoklin (Gambar 29 g,h,i), memiliki nilai salinitas rendah dengan temperatur yang lebih hangat di posisi awal. Penurunan suhu sebesar 1 C terjadi ketika partikel memasuki Kanal Labani. 5 m 5 m 5 m (a) (b) (c) 92 m 92 m 92 m (d) (e) (f) 318 m 318 m 318 m (g) (h) (i) Gambar 29 Trajektori dan karakteristik partikel massa air pada SM selama musim timur pada kedalaman permukaan (a,b,c), termoklin (d,e,f) dan bawah termoklin (g,h,i); kiri salinitas (psu), tengah temperatur ( C), kanan waktu tempuh (hari).

62 46 5 m 5 m 5 m (a) (b) (c) Gambar 30 Trajektori dan karakteristik partikel massa air permukaan (5 m) pada SM selama musim timur dengan posisi awal pada sepanjang 0.4 LU : kiri salinitas (psu), tengah temperatur ( C), kanan waktu tempuh (hari). Diperkirakan upwelling di selatan SM menjadi penyebab utama rendahnya temperatur di bagian selatan. Atmadipoera dan Widyastuti menyatakan upwelling di selatan SM menyebabkan turunnya temperatur dan elevasi muka laut serta peningkatan salinitas. Waktu yang dibutuhkan olah partikel massa air pada kedalaman bawah termoklin selama musim timur untuk mencapai wilayah selatan SM adalah antara hari (Gambar 29i). Hasil simulasi yang dilakukan selama 61 hari menunjukan tidak semua partikel bergerak hingga ke selatan SM. Hasil trajektori menunjukan nilai salinitas lebih rendah di bagian selatan SM pada lapisan termoklin, sedangkan pada lapisan bawah termoklin, salinitas semakin tinggi ke arah selatan. Hal ini mempertegas adanya transformasi massa air Arlindo (Gordon 1986; Ffield & Gordon 1992; Hautala et al. 1996). 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Struktur massa air Arlindo SM dicirikan oleh dominasi massa air termoklin bersalinitas maksimum yang berasal dari Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water), serta massa air bawah termoklin bersalinitas minimum North Pacific Intermediate Water. Perubahan karakter massa air Arlindo terjadi tidak hanya dalam arah utara-selatan, tetapi juga terdapat variasi spasial antara sisi barat dan timur dari SM. Variasi timur-barat dari massa air ini diduga berkaitan dengan pola lintasan Arlindo SM, dimana tepi barat SM umumnya aliran Arlindo yang lebih kuat membawa massa air sehingga ciri massa airnya menjadi lebih tegas. Pola sirkulasi Arlindo SM dipengaruhi oleh topografi dasar laut di kedua sisi selat tersebut, dimana aliran Arlindo di pintu masuk SM cenderung mengarah ke baratdaya, tetapi lereng topografi dasar laut di sekitar lintang 2 LS berorientasi

63 47 barat laut-tenggara dan menurun sehingga aliran Arlindo dibelokkan kearah tenggara sebelum masuk celah Kanal Libani. Aliran Arlindo SM mengalami intensifikasi di Kanal Libani karena terjadi penyempitan lebar selat. Di bagian selatan Kanal Libani terjadi partisi aliran Arlindo kedalam 3 percabangan. Struktur vertikal Arlindo SM dicirikan olen adanya peningkatan magnitud kecepatan dengan semakin bertambahnya kedalaman, dan aliran maksimum ditemukan di kedalaman termoklin. Di beberapa wilayah tepi selat ditemukan resirkulasi aliran Arlindo sehingga terbentuk 4 pusaran arus (eddies) dengan pusaran searah jarum jam maupun berlawanan arah jam. Siklus tahunan Arlindo SM dicirikan dengan penguatan Arlindo maupun pembentukan eddy dalam musim timur, dan pelemahan Arlindo selama musim barat. Siklus tahunan Arlindo di bagian selatan Labani menunjukkan bahwa di permukaan, aliran pada cabang barat menguat selama musim timur, sebaliknya di kedalaman termoklin, aliran melemah di cabang barat selama musim timur, diakibatkan oleh semakin kuat eddy yang terbentuk. Di lapisan permukaan variabilitas intra musiman menjadi dominan yang dimodulasi dengan kehadiran variabilitas antar tahunan. Di lapisan termoklin, adanya pengaruh variabilitas antar-tahunan mulai berkurang dengan semakin kuatnya variabilitas tahunan yang muncul, sedangkan pada kedalaman bawah-termoklin variabilitas intra musiman cukup dominan terlihat dengan adanya pengaruh kuat dari variabilitas semitahunan. Trajektori partikel yang dibuat pada kedua musim yang berbeda mengungkapkan partikel bergerak mengikuti arus utama Arlindo. Adanya perbedaan waktu pergerakan massa air maupun karakteristik massa air yang mengangkut partikel, yakni pada musim timur partikel massa air bergerak lebih cepat di bandingkan dengan partikel yang dilepas pada musim barat. Saran Disarankan untuk melakukan observasi lanjutan dengan posisi stasiun yang sama dengan EWIN 2013 selama periode musim barat, sehingga dapat dibuat perbandingan antara sebaran dan struktur Arlindo pada kedua musim. Selain itu perlu dikaji secara lebih detail mengenai mekanisme terjadinya variabilitas Arlindo pada setiap kedalaman, sehingga diharapkan untuk dapat ditelaah korelasi antara Arlindo SM dengan arus yang berkembang pada kedua Samudera Pasifik dan Hindia. Dengan demikian dapat dipelajari forcing dan mekanisme terjadinya variabilitas serta penyebab berbedanya variabilitas pada setiap lapisan kedalaman yang dilalui Arlindo.

64 DAFTAR PUSTAKA Atmadipoera A, Molcard R, Madec G, Wijffels S, Sprintall J, Koch- Larrouy A, Jaya I, Supangat A Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea Res. I. 56: doi: /j.dsr Atmadipoera AS, Widyastuti P A numerical modeling study on upwelling mechanism in southern Makassar Strait. JITKT. 6(2): Bahurel P, Mercator Project Team Mercator ocean global to regional ocean monitoring and forecasting. Di dalam : Chassignet EP, Verron J, editor. Ocean Weather Forecasting An Integrated View of Oceanography Springer: hlm Bingham F, Lukas R The Southward Intrusion of North Pacific Intermediate Water along the Mindanao Coast. J Phys Oceanogr. 24: doi: / (1994)024<0141:TSIONP>2.0.CO;2. Blanke B, Grima N ARIANE User Manual. Laboratoire de Physique des Oceans, Brest: France Bjornsson H, Venegas SA A Manual for EOF dan SVD Analyses of Climatic Data. C 2 GCR Report No Du Y, Qu T Three inflow pathways of the Indonesian throughflow as seen from the simple ocean data assimilation. Dyn Atmosph and Oceans. 50: doi: /j.dynatmoce Fang G, Susanto RD, Wirasantosa S, Qiao F, Supangat A, Fan B, Wei Z, Sulistiyo B, Li S Volume, heat, and freshwater transport from the South China Sea to Indonesian seas in the boreal winter of J Geophys Res. 115(C12020):1-11.doi: /2010JC Ffield A, Vranes K, Gordon AL, Susanto RD Temperature variability within Makassar Strait. J Geophys Res Lett. 27(20): Ffield A, Gordon AL Vertical Mixing in the Indonesian Thermocline. J Geophys Res. 22: Godfrey JS The effect of the Indonesian throughflow on ocean circulation and heat exchange with the atmosphere: A review. J Geophys Res. 101: Gordon AL Interocean exchange of thermocline water. J Geophys Res. 91: Gordon AL, Fine RA Pathways of water between the Pacific and Indian oceans in the Indonesian seas. Nature. 379: doi: /379146a0. Gordon AL, Susanto RD, Ffield A Throughflow within Makassar Strait. J Geophys Res Lett. 26(21).doi: /1999GL Gordon AL, Susanto RD, Vranes K Cool Indonesian throughflow as a consequence of restricted surface layer flow. Nature. 425: doi: /nature Gordon AL Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow. Oceanogr. 18(4).

65 Gordon AL, Susanto RD, Ffield A, Huber BA, Pranowo W, Wirasantosa S Makassar strait throughflow, 2004 to J Geophys Res Lett. 35(L24605):1-5.doi: /2008GL Gordon AL, Susanto RD, et al Seven Years of measuring the Makassar Strait Throughflow, the primary component of the Indonesian Throughflow. Di dalam: Hall J, Harrison DE, Stammer D, editor. Proceedings of the OceanObs 09: Sustained Ocean Observations and Information for Society Conference, Vol. 1. September Venice (IT): ESA Publication WPP-306. Gordon AL, Sprintall J, Van Aken HM, Susanto D, Wijffels S, Molcard R, Ffield A, Pranowo W, Wirasantosa S The Indonesian throughflow during as observed by INSTANT program. Dyn Atmosph and Oceans. 50: doi: /j.dynatmoce Gordon AL, Huber BA, Metzger EJ, Susanto RD, Hulburt HE, Adi RT South China Sea trhoughflow impact on the Indonesian throughflow. J Geophys Res. 39(L11602):1-7.doi: /2012GL Hanachi A, Jolliffe IT, Stephenson DB Empirical orthogonal function and related techniques in atmospheric science: A review. J Climatology. 27: Hautala SL, Reid JL, Bray N The distribution and mixing of Pacific water masses in the Indonesian Seas. J Geophys Res. 101(C5): doi: /96JC Hirst AC, Godfrey JS The Role of Indonesian Throughflow in a Global Ocean GCM. J Phys Oceanogr. 23: Ilahude AG, Gordon AL Thermocline stratification within the Indonesian Seas. J Geophys Res. 101(C5): doi: /95JC Ilahude AG, Nontji A Oseanografi Indonesia dan Perubahan Iklim Global (El Nina dan La Nina). Disajikan dalam Lokakarya Kita dan Perubahan Iklim Global: kasus El Nino - La Nina. Akademi Ilmu Pengetahuan. Jakarta Mei Kashino Y, Watanabe H, Herunadi B, Aoyama M, Hartoyo D Current variability at the Pacific entrance of the Indonesian Throughflow. J Geophys Res. 15: doi: /1999JC Kida S, Wijffels S The impact of the Indonesian Throughflow and tidal mixing on the summertime sea surface temperature in the western Indonesian Seas. J Geophys Res. 117(C09007):1-14.doi: / 2012JC Kindle JC, Thomsom JD The 26- and 50-Day Oscillation in the Western Indian Ocean: Model Result. J Geophys Res. 94(C4): doi: / JC094iC04p Koch-Larrouy A, Madec G, Iudicone D, Atmadipoera A, Molcard R Physical processes contributing to the water mass transformation of the Indonesian Throughflow. Ocean Dyn. doi: /s Koch-Larrouy A, Madec G, Boureuet-Aubertot P, Gerkema T, Bessieres, Molcard R On the transformation of Pacific Water into Indonesian Throughflow Water by internal tdal mixing. J Geophys Res Lett. 34(L04604):1-6.doi: /2006GL

66 50 Lee T, Fukumori I, Menemenlis D, Xing Z, Fu L Effect of the Indonesian Throughflow on the Pacific and Indian Ocean. J Phys Oceanogr. 32: Lukas R, Yamagata T, McCrey JP Pacific low-latitude western boundary currents and the Indonesian throughflow. J Geophys Res. 101(C5): Masumoto Y, Yamagata T Seasonal variations of the Indonesian throughflow in a general ocean circulation model. J Geophys Res. 1010(C5): Mayer B, Damm PE The Makassar Strait throughflow and its jet. J Geophys Res. 117(C07020):1-14.doi: /2011JC McTaggart KE, Johnson GC, Johnson MC, Delahoyde FM, Swift JH Notes on CTD/O2 data acquisition and processing using Sea-Bird hardware and software (as available). Go-Ship IOCCP Rep. 14:1-10. Metzger EJ, Hulburt HE, Xu X, Shriver JF, Gordon AL, Sprintall J, Susanto RD, van Aken HM Simulated and observed circulation in the Indonesian Seas: 1/12 global HYCOM and the INSTANT observation. Dyn Atmosph and Oceans. 50: Murray SP, Arief D Throughflow into the Indian Ocean through Lombok Strait, January 1985 January Nature. 333: Naulita Y Karakteristik Massa Air pada Perlintasan Arlindo [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Potemra JT Seasonal Variations of Upper Ocean Transport from the Pacific to the Indian Ocean via Indonesian Strait. J Phys Oceanogr. 29: Potemra JT, Hautala SL, Sprintall J Vertical structure on Indonesian throughflow in a larger-scale model. Deep-Sea Res II. 50: doi: /S (03)00050-X. Pujiana K, Gordon AL, Sprintall J, Susanto RD Intraseasonal Variabillity in the Makassar Strait thermocline. J Mar Res. 67(6): doi: / Pujiana K, Gordon AL, Metzger EJ, Ffield AL The Makassar Strait pycnocline variability at days. Dyn Atmosphe and Oceans :17-35.doi: /j.dynatmoce Purwandana A Turbulent mixing in Labani Chanel, Makassar Strait. J OLDI. 40(2): ISSN: Qiu B, Masumoto Y Oceanic processes influencing SST in regions related to the Asian-Australia Monsoon System. Di dalam: Chang CP et al. The Global Monsoon System: Research and Forecast (2nd Edition). World Scientific Publishing Co.hlm Qiu B, Mao M, Kashino Y Intraseasonal Variability in the Indo Pacific Throughflow and the Regions Surrounding the Indonesian Seas. J Phys Oceanogr. 29: doi: / (1999)029<1599:IVITIP > 2.0.CO;2 SeaBird Electronics Seasoft V2: SBE Data Processing. Bellevue, Washington (USA): Sea-Bird Electronics, Inc.

67 Shinoda T, Han W, Mezger EJ, Hurlburt HE Seasonal Variation of Indonesian Throughflow in Makassar Strait. J Phys Oceanogr. 42(7): doi: /JPO-D Sprintall J, Gordon AL, Murtugudde R, Susanto RD A semiannual Indian Ocean forced Kelvin wave observed in the Indonesian seas in May J Geophys Res. 105(C7): Sprintall J, Gordon AL, Koch-Larrouy A, Lee T, Potemra JT, Pujiana K, Wijffels SE The Indonesian seas and their role in the coupled ocean-climate system. Nature Geoscience.7: doi: /ngeo2188. Stevana JV, Dietrich DE, Staney EV, Malcolm JB Rim current and coastal eddy mechanisms in an eddy-resolving Black Sea general circulation model. J Mar Sci. 31: Susanto RD, Gordon AL, Sprintall J, Herunadi B Intraseasonal variability and tides in Makassar Strait. J Geophys Res Lett. 27: doi: /2000GL Susanto RD, Ffield A, Gordon AL Velocity and Transport of the Makassar Strait Throughflow. J Geophys Res. 110(C01005). Susanto RD, Ffield A, Gordon AL, Adi TR Variability of Indonesian throughflow within Makassar Strait, J Geophys Res. 117(C09013):1-16. doi: /2012jc Theetten S, Thiebaul B, Dumas F, Paul J Bmgtools: a Community Tool to Handle Model Grid and Bathymetry. Mercator Ocean - Quarterly Newsletter. Tillinger D Physical oceanography of the present day Indonesian Throughflow. Di dalam: Hall R, Cottam M, Wilson MEJ, editor. The Southeast Asian Gateway: History and Tectonics of the Australia-Asian Collision. London (UK): The Geological Society of London. hlm Tozuka T, Qu T, Masumoto Y, Yamagata T Impact of South China Sea Throughflow on seasonal and interannual variations of the Indonesian Throuhflow. Dyn Atmosph Oceans. 47(1-3):73-85.doi: /j. dynatmoce Valsala VK, Ikeda M Pathways and Effect of the Indonesian Throughflow Water in the Indian Ocean using Particle Trajectory and Tracers in an OGCM. J Climate. 20: doi: /JCLI Waworuntu JM, Garzoli SL, Olson DB Recipe for Banda Sea Water. J Mar Res. 58: Wyrkti K Physical Oceanography of South East Asian Waters. Naga Report. No 2. La Jolla (CA): The University of California. 51

68 LAMPIRAN

69 53 Lampiran 1 Pelapisan massa air di SM St Lapisan Kedalaman (m) Tebal (m) Temperatur ( C) Salinitas (psu) Dens-pot (kg m -3 ) Oksigen ( ) 1 Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin , Dalam Tercampur S Termoklin Dalam

70 54 Lanjutan Lampiran 1 20 Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tabel deskripsi statistik kedalaman lapisan massa air pada SM hasil observasi EWIN tahun 2013 Kedalaman (m) Permukaan Termoklin Min Max Mean Standar Deviasi

71 55 Lampiran 2 Karakteristik massa air NPSW di SM Kedalaman Tebal Salinitas (psu) Temperatur ( C) Oksigen ( ) Dens-pot (σ0, kg m -3 ) St Rataratratratrata Rata- Rata- Rata- (m) (m) Kisaran Kisaran Kisaran Kisaran Transek Transek Transek Transek Transek Transek Tabel deskripsi statistik karakteristik massa air NPSW pada SM hasil observasi EWIN tahun Kedalaman (m) Salinitas (psu) Temperatur ( C) Oksigen (ml/l) Min Max Mean Standar Deviasi

72 56 Lanjutan lampiran 2. Salinitas maksimum massa air NPSW di SM hasil observasi EWIN 2013 Stasiun Kedalaman (m) Salinitas (psu) Temperatur ( C) Oksigen Dens-pot (σ 0, kg m -3 ) Transek Transek Transek Transek Transek Transek Tabel deskripsi statistik salinitas maksimum massa air NPSW di SM hasil observasi EWIN 2013 Salinitas (psu) Min Max Mean Standar Deviasi 0.030

73 57 Lampiran 3 Salinitas minimum massa air NPIW observasi EWIN 2013 Stasiun Kedalaman (m) Salinitas (psu) Temperatur ( C) Oksigen Denspot (σ 0, kg m -3 ) Transek Transek Transek Transek Transek Transek Tabel deskripsi statistik salinitas minimum massa air NPIW observasi EWIN 2013 Salinitas (psu) Min Max Mean Standar Deviasi 0.010

74 58 Lampiran 4 Salinitas permukaan SM hasil observasi EWIN 2013

75 59 Lampiran 5 Sebaran salinitas (kiri) dan temperatur (kanan) rata-rata tahun hasil model INDESO pada kedalaman permukaan (25 m), termoklin (92 m) dan kedalaman bawah termoklin (318 m) di SM. 25 m 25 m 92 m 92 m 318 m 318 m

76 60 Lampiran 6 Penampang melintang salinitas (kiri) dan temperatur (kanan) rata-rata tahun dari hasil model INDESO pada wilayah-wilayah dimana eddy di SM ditemukan. Posisi a,b,c,d dapat dilihat di peta lokasi studi (e). a b c

77 61 Lanjutan Lampiran 6 d e a b c d

78 62 Lampiran 7 Penampang melintang rerata arus (a) komponen meridional (v) pada wilayah Kanal Labani ( LS dan BT) dengan penggunaan band-pass filter 20 harian serta grafik arus rata-rata pada Kanal Labani (b). Hitam kedalaman permukaan, Merah kedalaman termoklin, Hijau kedalaman bawah termoklin. Huruf k menandakan gelombang Kelvin semi annual. (a) La Nina El Nino La Nina La Nina (b) K K K K K K K K K K K K

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL ARLINDO DI SELAT MAKASSAR SPATIAL AND TEMPORAL VARIATION OF INDONESIAN THROUGHFLOW IN THE MAKASSAR STRAIT

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL ARLINDO DI SELAT MAKASSAR SPATIAL AND TEMPORAL VARIATION OF INDONESIAN THROUGHFLOW IN THE MAKASSAR STRAIT Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Hlm. 299-320, Juni 2016 VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL ARLINDO DI SELAT MAKASSAR SPATIAL AND TEMPORAL VARIATION OF INDONESIAN THROUGHFLOW IN THE

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm.525-536, Desember 2014 KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

Struktur Arus dan Variasi Spasial Arlindo di Selat Makassar dari Ewin 2013

Struktur Arus dan Variasi Spasial Arlindo di Selat Makassar dari Ewin 2013 ISSN 0853-7291 Struktur Arus dan Variasi Spasial Arlindo di Selat Makassar dari Ewin 2013 Selfrida Missmar Horhoruw 1 *, Agus S. Atmadipoera 1, Mulia Purba 1, Adi Purwandana 2 1 Departemen Ilmu dan Teknolologi

Lebih terperinci

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh MARTONO NIM : 22405001 Program Studi Sains Kebumian

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI

KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN

Lebih terperinci

POLA DAN VARIABILITAS ARUS DI WILAYAH LAUT BALI- LAUT FLORES DARI HASIL MODEL INDESO TAHUN PARADITA HASANAH

POLA DAN VARIABILITAS ARUS DI WILAYAH LAUT BALI- LAUT FLORES DARI HASIL MODEL INDESO TAHUN PARADITA HASANAH POLA DAN VARIABILITAS ARUS DI WILAYAH LAUT BALI- LAUT FLORES DARI HASIL MODEL INDESO TAHUN 2008-2014 PARADITA HASANAH DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-18, Desember 21 MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Hadikusumah Bidang Dinamika Laut

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal. 71-84, Desember 2011 KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa)

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) Martono Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Junjunan No 133 Bandung 40173 E-mail

Lebih terperinci

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON)

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) Adi Purwandana Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARLINDO DI LAUT SULAWESI STRUCTURE AND VARIABILITY OF INDONESIAN THROUGHFLOW AT SULAWESI SEA

STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARLINDO DI LAUT SULAWESI STRUCTURE AND VARIABILITY OF INDONESIAN THROUGHFLOW AT SULAWESI SEA STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARLINDO DI LAUT SULAWESI STRUCTURE AND VARIABILITY OF INDONESIAN THROUGHFLOW AT SULAWESI SEA Agus S. Atmadipoera 1) dan Galang L. Mubaraq 2) 1) Lab. Oseanografi Fisika, Dept.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015 JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 425 434 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat 17 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Studi tentang percampuran turbulen merupakan bagian dari pelayaran INDOMIX yang dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Marion

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 15,2 (21) : 173-184 SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Syaifuddin 1) 1) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA Salah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002 1 STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, KTBER 2002 Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT Ankiq

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 ABSTRAK (Characteristics and Circulation of Water Mass at Lombok Strait in January 2004 and June 2005) Mulia Purba 1 dan

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo Indonesia-USA pada dua lokasi di Selat Makassar masingmasing pada posisi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ.

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ. DAFTAR PUSTAKA Aken, H. M. Van, J. Punjanan, dan S. Saimima, 1988. Physical Aspect of The East Flushing of The East Indonesian Basins. Netherlands Journal of Sea Research 22 (4): 315-339 Aken, H. M. Van,

Lebih terperinci

Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar, Azis Rifai, Elis Indrayanti*)

Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar, Azis Rifai, Elis Indrayanti*) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 135-141 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar,

Lebih terperinci

Arah Dan Kecepatan Angin Musiman Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Selatan Pangandaran Jawa Barat

Arah Dan Kecepatan Angin Musiman Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Selatan Pangandaran Jawa Barat JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 429-437 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Arah Dan Kecepatan Angin Musiman Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA

VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No., Hlm. 43-59, Desember 13 VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA Syamsul Hidayat 1,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik

Lebih terperinci

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu I. PENDAHULUAN Hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim yang berkaitan dengan daerah tropis.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

KAJIAN KEDALAMAN MIXED LAYER DAN TERMOKLIN KAITANNYA DENGAN MONSUN DI PERAIRAN SELATAN PULAU JAWA

KAJIAN KEDALAMAN MIXED LAYER DAN TERMOKLIN KAITANNYA DENGAN MONSUN DI PERAIRAN SELATAN PULAU JAWA JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman 131 143 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN KEDALAMAN MIXED LAYER DAN TERMOKLIN KAITANNYA DENGAN MONSUN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Samudera Hindia bagian timur dengan koordinat 5 o LS 20 o LS dan 100 o BT 120 o BT (Gambar 8). Proses pengolahan dan

Lebih terperinci

Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik di Perairan Utara Papua pada Bulan Desember 1991

Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik di Perairan Utara Papua pada Bulan Desember 1991 Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik di Perairan Utara Papua pada Bulan Desember 1991 Adi Purwandana Laboratorium Oseanografi Fisika dan Iklim Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik

Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik Evie H. Sudjono)*, D. K. Mihardja)** dan N. Sari Ningsih)** *) Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung **) Program

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok Pada sub bab ini dipaparkan mengenai keadaan di kawasan Selat Lombok yang menjadi daerah kajian dalam tugas akhir

Lebih terperinci

Gravitasi Vol.13 No.1 ISSN:

Gravitasi Vol.13 No.1 ISSN: Penentuan Koherensi dan Beda Fase Antara Angin dengan Arus 60m dan Arus 60m dengan Arus 100m Menggunakan Korelasi Silang Di Selat Ombai Nusa Tenggara Timur Determination of Coherence and Phase Difference

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 Trie Lany Putri Yuliananingrum dan Mutiara R. Putri Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF TAHUN 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007 PRAMUDYO DIPO HADINOTO SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra Satelit Aqua Modis

Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra Satelit Aqua Modis JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 166-170 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arus Eddy Keberadaan arus eddies sebenarnya sudah mendapat perhatian dari para pelaut lebih dari satu abad yang lalu. Meskipun demikian penelitian mengenai arus eddies sendiri

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation

Lebih terperinci

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa Dinamika Maritim Coastal and Marine Resources Research Center, Raja Ali Haji Maritime University Tanjungpinang-Indonesia Volume 6 Number 2, February 2018 Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT A research on climate variation

Lebih terperinci

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK Surya Octagon Interdisciplinary Journal of Technology, September 2015, 101-117 Copyright 2015, ISSN : 2460-8777 Vol.1, No.1 ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO

VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO xv VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 xvi PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 2, NOVEMBER 2009: 157-162 KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Martono Bidang Pemodelan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Lebih terperinci

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT MODEL SPASIAL INFORMASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110 O -120 O BT 2 O 50-7 O 50 LS) ANDRIUS Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK MASSA AIR UNTUK MENENTUKAN SHADOW ZONE DI SELAT MAKASSAR

STUDI KARAKTERISTIK MASSA AIR UNTUK MENENTUKAN SHADOW ZONE DI SELAT MAKASSAR Studi Karakteristik Massa Air Untuk Menentukan Shadow Zone Di Selat Makassar (Agustinus..et.al) STUDI KARAKTERISTIK MASSA AIR UNTUK MENENTUKAN SHADOW ZONE DI SELAT MAKASSAR Agustinus¹, Rita Tisiana Dwi²,

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN

ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN 2006-2010 Yosik Norman 1, Nasrul Ihsan 2, dan Muhammad Arsyad 2 1 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Makassar e-mail: yosikbrebes@gmail.com

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA

DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA Dampak Kejadian Indian Ocean Dipole Terhadap Intensitas Upwelling di Perairan Selatan Jawa... (Martono) DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA (Impacts

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. a. Mengetahui keberadaan upwelling dengan melakukan pengambilan data stratifikasi massa air.

3. METODOLOGI. a. Mengetahui keberadaan upwelling dengan melakukan pengambilan data stratifikasi massa air. 17 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian lapangan dilakukan di perairan Selat Alor, Nusa Tenggara Timur pada tanggal -8 Juli 011, dan merupakan bagian dari program Pelayaran Riset Bersama LIPI-DIKTI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan p-issn: , e-issn:

Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan p-issn: , e-issn: RESEARCH ARTICLE DOI: 10.13170/depik.6.1.5523 Pertukaran massa air di Laut Jawa terhadap periodisitas monsun dan Arlindo pada tahun 2015 The water mass exchange in Java Sea due to periodicity of monsoon

Lebih terperinci