REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT"

Transkripsi

1 REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002

2 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA Pada era demokrasi dan transparansi dewasa ini, aparatur negara tetap menjadi tumpuan harapan untuk menjadi salah satu dinamisator ke arah pemulihan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan setelah krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan negara sejak tahun Dalam pada itu, berbagai penilaian yang mengindikasikan merajalelanya KKN di negeri kita, termasuk pada lingkup birokrasi pemerintahan merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh seluruh aparatur negara. Apabila kita tidak dapat membersihkan diri kita sendiri secara sungguh-sungguh akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara semakin rendah, yang pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan sirna. Upaya yang terencana dan transparan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih (clean government) menuju ke arah kepemerintahan yang baik (good governance) tidak bisa ditunda lagi. Sehubungan hal tersebut saya menghargai hasil karya BPKP yang merespons surat Men.PAN Nomor: 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Pebruari 2002 tentang Intensifikasi dan Percepatan Pemberantasan KKN dengan menerbitkan 5 (lima) Buku Pedoman Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi yaitu di bidang Pengelolaan APBN/APBD, BUMN/BUMD, Perbankan, Kepegawaian, Sumber Daya Alam dan Pelayanan Masyarakat. Saya berharap agar seluruh aparat baik yang bertugas di Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/BUMD maupun Perbankan dapat menggunakan Buku Pedoman ini dan mengembangkannya sesuai kondisi lingkungan tugas masing-masing sehingga dapat mencegah dan menanggulangi kasus-kasus KKN secara efektif dan efisien. Hendaknya selalu diingat bahwa masyarakat sesungguhnya sangat menghendaki munculnya jiwa kepeloporan dan sifat keteladanan aparatur negara sebagai panutan mereka dengan tindakan nyata mencegah dan memberantas KKN. Dimulai langkah yang terpuji serta kesadaran tinggi dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kiranya tingkat kepercayaan masyarakat yang saat ini mengalami degradasi dapat diperbaiki dan ditingkatkan sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat sukses. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridloi upaya kita bersama. Jakarta, 31 Juli 2002 MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA FEISAL TAMIN

3 REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) KATA PENGANTAR KEPALA BPKP Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan strategi yang komprehensif - secara preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat luas. Dalam rangka memenuhi RENSTRA BPKP Tahun , serta sebagai hasil koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai intensifikasi dan percepatan pemberantasan KKN, BPKP telah menerbitkan Buku Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat. Meskipun Buku ini telah disusun dengan upaya yang maksimal, namun dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi Tim Penyusun, disadari bahwa di dalamnya masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan baik dari materi yang disajikan maupun cara penyajiannya, sehingga memerlukan penyempurnaan secara terus-menerus. Untuk itu masukan yang positif dan konstruktif dari para pembaca dan pemakai buku ini sangat diharapkan. Buku ini diharapkan dapat menjadi petunjuk praktis bagi Instansi Pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah serta BUMN/BUMD untuk menanggulangi kasus-kasus korupsi dalam pengelolaan pelayanan masyarakat, bukan saja bagi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah(APIP)/Satuan Pengawas Intern (SPI) masing-masing, tetapi juga bagi para pimpinan instansi/bumn/bumd yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pemberantasan korupsi bukan semata-mata tanggung jawab APIP/SPI, karena sifat tugasnya lebih pada penanggulangan korupsi secara detektif dan represif. Penanggulangan korupsi yang lebih efektif dan efisien adalah secara preventif yang merupakan tanggung jawab manajemen. Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi yang disajikan dalam buku ini merupakan upaya minimal, yang perlu dilaksanakan secara maksimal dan dikembangkan oleh setiap institusi tersebut di atas secara terus menerus sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan buku ini sangat tergantung pada upaya pihakpihak yang kompeten untuk menjalankannya dengan tindakan yang nyata, konsisten disertai dengan komitmen yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi korupsi secara berkesinambungan. Kepada semua pihak yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikirannya dan membantu baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan buku ini, termasuk APIP/SPI yang telah menyampaikan masukan-masukan kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

4 Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing kita dalam melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, serta upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Jakarta, 31 Juli 2002 KEPALA ARIE SOELENDRO

5 DAFTAR ISI Halaman SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA 2 KATA PENGANTAR KEPALA BPKP 3 DAFTAR ISI 5 Bab I Bab II UMUM A. Dasar Pemikiran 6 B. Pengertian Umum 8 C. Tujuan dan Sasaran 9 D. Ruang Lingkup 10 E. Sistim Pengendalian Manajemen 10 F. Metode Penyajian 11 UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN 1. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah 1) Bidang Hukum dan Peradilan 13 2) Bidang Keimigrasian 18 3) Bidang Keuangan 21 4) Bidang Ketenagakerjaan 23 5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana 25 6) Bidang Pendidikan 28 7) Bidang Pertanian/Pangan 34 8) Bidang Pertanahan 34 9) Bidang Pekerjaan Umum 37 10) Bidang Perhubungan 39 11) Bidang Kependudukan 45 12) Bidang Permukiman Pelayanan oleh BUMN/BUMD 1) Bidang Kelistrikan 48 2) Bidang Transportasi 49 Bab III UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REPRESIF A. Penyelesaian oleh Unit Kerja Terkait 51 B. Penyelesaian melalui Penyerahan Kasus ke Instansi Penyidik 51 Lampiran : Daftar Kasus/Penyimpangan Tim Penyusun

6 BAB I U M U M A. Dasar Pemikiran Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalah- gunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya. Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu: 1. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar ; 2. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi ; 3. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertianpengertian dalam budaya bangsa Indonesia. 4. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundangundangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara kongkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan di antaranya sebagai berikut: 1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

7 3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Di samping itu Pemerintah dan DPR sedang memproses penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif, yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus. BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut : 1. Strategi Preventif Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan: 1) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat ; 2) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya ; 3) Membangun kode etik di sektor publik ; 4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis; 5) Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan ; 6) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri ; 7) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah; 8) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen; 9) Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) ; 10) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ; 11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional; 2. Strategi Detektif Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan : 1) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat ; 2) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu ; 3) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;

8 4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional ; 5) Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ; 6) Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi. 3. Strategi Represif Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan : 1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ; 2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes); 3) Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas ; 4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ; 5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus ; 6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu ; 7) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya ; 8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum. Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg). Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari Petunjuk teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)/Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja masing-masing. B. Pengertian Umum Dalam buku ini yang dimaksud dengan: 1. Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang korupsi ; 2. Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasuskasus korupsi dengan cepat, tepat dengan biaya murah, sehingga dapat segera ditindaklanjuti ;

9 3. Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat dengan biaya murah sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku; 4. Instansi Pemerintah adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kejaksaan Agung, POLRI, Bank Indonesia, Sekretariat Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota, dan Instansi Pemerintah lainnya ; 5. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang modalnya seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah ; 6. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena : 1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah ; 2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. C. Tujuan dan Sasaran Buku ini berisi panduan upaya-upaya praktis yang dapat dilakukan untuk mencegah, mendeteksi dan menindaklanjuti secara represif perbuatan korupsi di bidang pengelolaan pelayanan masyarakat. Sasarannya adalah : 1. Terciptanya pelayanan kepada masyarakat oleh Instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD secara cepat, tepat, murah dan memuaskan ; 2. Menurunnya penyimpangan pelayanan masyarakat oleh instansi pemerintah dan BUMN/BUMD, sehingga meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah dan BUMN/BUMD; 3. Menurunnya jumlah kerugian keuangan negara/masyarakat sebagai akibat penyimpangan di bidang pelayanan masyarakat ; 4. Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasus-kasus pelayanan masyarakat yang berindikasi korupsi ; 5. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam menginformasikan kasus penyimpangan pelayanan masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD ; 6. Menurunnya jumlah aparatur pemerintah dan BUMN/BUMD yang terlibat/melakukan perbuatan korupsi di bidang pelayanan masyarakat ; 7. Meningkatnya efektifitas sistem pengendalian manajemen dalam pelayanan kepada masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD ; D. Ruang Lingkup Upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini berlaku bagi seluruh instansi pemerintah dan BUMN/BUMD yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Buku ini tidak memuat semua jenis kasus penyimpangan pada semua jenis pelayanan masyarakat secara rinci dan spesifik, mengingat begitu luasnya pelayanan yang diberikan

10 instansi pemerintah/bumn/bumd kepada masyarakat. Namun demikian karena hampir semua jenis pelayanan memiliki ciri yang relatif sama, maka cara pencegahan dan penanggulangan kasus penyimpangan yang terjadi pada jenis pelayanan yang satu, dapat pula digunakan untuk jenis pelayanan masyarakat yang lain. E. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Pengelolaan Pelayanan Masyarakat Keberhasilan pelayanan masyarakat ditentukan oleh kompetensi aparatur yang memberikan pelayanan, moral dan kemauannya dalam memberikan pelayanan, serta didukung sistem pengendalian manajemen pelayanan yang prima, perangkat teknologi yang tepat dan prasarana & sarana yang memadai, sehingga dapat menghasilkan produk pelayanan yang profesional dan bersih dari korupsi. Penanggulangan korupsi oleh karenanya harus dimulai dari internal organisasi, melalui upaya-upaya preventif, yaitu dengan menciptakan sistem pengendalian manajemen pelayanan masyarakat yang memadai, meliputi : 1. Penataan kembali organisasi dengan memperjelas visi, misi, strategi, kebijakan, indikator keberhasilan, tujuan, sasaran dan aktivitas-aktivitas kerja yang harus dilakukan dalam rangka pemenuhan akuntabilitas publik; 2. Penyederhanaan dan penyempurnaan kebijakan; 3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward & punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja ; 4. Penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan ; 5. Perbaikan metode dan prasarana & sarana kerja ; 6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban ; 7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal untuk menjaga agar kualitas pelayanan selalu prima. Dalam menyusun sistem pengendalian manajemen di bidang pelayanan masyarakat, perlu diperhatikan : 1. Sendi-sendi Pelayanan Prima sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18/1993 sebagai berikut : a. Kesederhanaan, dalam arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan ; b. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai : (1) Prosedur/tata cara pelayanan umum ; (2) Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif ; (3) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan umum ; (4) Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya; (5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum ; (6) Hak dan kewajiban dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan hingga ke penyelesaiannya ;

11 (7) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan. c. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum. d. Keterbukaan, dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja penanggungjawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. e. Efisien, dalam arti : (1) Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan; (2) Mencegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama, dalam hal proses pelayanannya, kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan : (1) Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran ; (2) Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum; (3) Ketentuan perundang-undangan yang berlaku. g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. 2. Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat Sesuai dengan Aspirasi Reformasi, sebagaimana disampaikan Menko Wasbangpan melalui surat edaran No. 56/MK.WASPAN/6 /1998 tanggal 1 Juni 1998, sebagai berikut: a. Dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit kerja/kantor pelayanan termasuk BUMN/BUMD ; b. Langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat tersebut diupayakan dengan: (1) Memberikan pelayanan secara tertib, cepat dan langsung kepada masyarakat bagi pelayanan yang memerlukan penyelesaian sesaat; (2) Khusus pelayanan yang memerlukan waktu, agar dilandasi kebijaksanaan yang transparan dan diketahui masyarakat luas, yaitu: (a) Menerbitkan pedoman pelayanan yang antara lain memuat persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan, baik dalam bentuk buku panduan/ pengumuman atau melalui media informasi lainnya ;

12 (b) Menempatkan petugas yang bertanggungjawab melakukan pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian mengenai diterimanya atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga ; (c) (d) (e) (f) Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan dan apabila batas waktu penyelesaian yang ditetapkan terlampaui, maka permohonan tersebut berarti (dianggap) disetujui ; Melarang dan atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain dan meniadakan segala bentuk pungutan liar, di luar biaya jasa pelayanan yang telah ditetapkan ; Sedapat mungkin menerapkan pola pelayanan secara terpadu (satu atap satu pintu) bagi unit-unit kerja/kantor pelayanan yang terkait dalam memproses atau menghasilkan satu produk pelayanan ; Melakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan pelanggan/masyarakat atas pelayanan yang diberikan, antara lain dengan cara penyebaran kuesioner kepada pelanggan/masyarakat dan hasilnya perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti ; (g) Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat; 3) Membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat baik langsung maupun melalui media massa untuk menyampaikan saran dan atau pengaduan mengenai pelayanan masyarakat. 3. Perlunya keteladanan pimpinan serta pengembangan dan penerapan nilainilai budaya kerja, sehingga aparat mau dan mampu memberikan pelayanan dengan cepat, tepat, murah dan berkualitas kepada masyarakat. F. Metode Penyajian Penyajian buku ini diawali dengan terlebih dahulu menguraikan kasus penyimpangan, kemudian diikuti dengan cara-cara penanggulangan yang perlu dilakukan, yang meliputi upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus tersebut dan upaya detektif untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kasus dimaksud. Upaya penindakan secara represif, disajikan secara umum untuk semua kasus penyimpangan secara keseluruhan di Bab III.

13 BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT Penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat pada umumnya berupa pungutan liar (pungli), dan suap serta mahalnya biaya pelayanan akibat adanya korupsi, sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak memuaskan. Kasus-kasus penyimpangan yang disajikan pada bab ini hanya mencakup beberapa kasus berdasarkan temuan hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh APFP termasuk SPI. Dengan demikian, kasus-kasus yang disajikan belum mencakup seluruh kasus penyimpangan yang terjadi pada pelayanan masyarakat. Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyimpangan/korupsi dalam pengelolaan pelayanan masyarakat meliputi penyusunan dan peningkatan kualitas sistem pengendalian dan penerapannya, yang diarahkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Upaya-upaya preventif yang disajikan dalam buku ini tidak bersifat mutlak, tetapi hanya merupakan pengendalian minimum yang perlu dilaksanakan secara maksimum. Oleh karena itu, pimpinan instansi/direksi perlu mengembangkan sendiri upaya-upaya lain yang dianggap perlu, sesuai dengan kompleksitas, titik rawan penyimpangan yang dihadapi, dan kesesuaiannya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masing-masing instansi/ organisasi. Sistem pengendalian manajemen ini perlu terus menerus ditingkatkan keandalannya berdasarkan umpan balik (feed back) dari hasil upaya detektif dan represif. Upaya detektif merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat. Upaya detektif ini dimaksudkan untuk memperoleh alat bukti yang relevan, cukup dan kompeten untuk mendukung simpulan hasil pemeriksaan sebagai dasar pengambilan tindak lanjut (upaya represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of innosence). Upaya detektif dalam petunjuk teknis ini hanya mencakup upaya minimal yang dianggap penting untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan, yang secara rinci dituangkan dalam program pemeriksaan (audit program). Kasus penyimpangan yang terjadi serta upaya-upaya preventif dan detektif dalam pengelolaan pelayanan masyarakat dapat disajikan sebagai berikut: A. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah 1. Bidang Hukum & Peradilan 1) Tindakan penyuapan oleh oknum pengacara kepada oknum aparat penegak hukum dan peradilan agar proses dan atau keputusan hukum yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi klien yang sedang dibela. a. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan penegakan hukum perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ; b. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para hamba hukum secara terus menerus ;

14 c. Kepada para hamba hukum diberikan sarana dan prasarana kerja yang diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ; d. Proses hukum harus dilakukan secara obyektif. Harus diyakini bahwa dalam proses hukum tidak ada hubungan istimewa antara pihak yang terindikasi bersalah, jaksa, hakim, pembela dan lain-lain pihak, yang pada dasarnya masing-masing harus independen ; e. Pembenahan oleh lembaga persatuan Advokat (misalnya : Ikadin, Serikat Pengacara Indonesia), Hakim, Jaksa, Polisi dll., menyangkut pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi, dan penerapan sanksi-sanksi yang tegas sesuai kode etik profesi yang bersangkutan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh para anggotanya ; f. Dilakukan kampanye anti suap, misalnya melalui penempatan peringatan ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral keagamaan di tempat-tempat yang strategis, seperti kantor pengacara, polisi, kejaksaan dan ruang-ruang sidang pengadilan ; g. Kekayaan para hamba hukum selaku penyelenggara negara dipantau secara terus-menerus oleh instansi yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku, dan segera dilakukan penelitian jika ditemukan ketidakwajaran mutasinya ; h. Menerapkan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan, kepada penyuap (yang menyampaikan uang suap dan yang menyuruh melakukan penyuapan) dan penerima suap ; i. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai perlindungan kepada para saksi pelapor kasus suap ; j. Metode kerja masing-masing instansi penegak hukum secara terus menerus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh sistem peradilan yang semakin sehat dan transparan ; a. Melakukan penelitian atas kasus-kasus hukum yang dimenangkan oleh pihak yang terindikasi bersalah ; b. Mendapatkan informasi mengenai nama pengacara yang membela, polisi / jaksa penyidik / penuntut yang menangani, hakim yang mengadili, ketua panitera yang mengatur dan mencatat proses persidangan, saksi-saksi yang dihadirkan dan meneliti reputasinya masing-masing ; c. Mendapatkan keterangan dari saksi-saksi yang dihadirkan, mengenai kemungkinan adanya suap dalam proses hukum tersebut; d. Mempelajari proses hukum yang dilakukan, dan meneliti apakah ada kejanggalan, misalnya pada alat-alat bukti yang diajukan ; e. Menilai kewajaran peningkatan kekayaan yang dimiliki para penegak hukum di atas dan meneliti adanya peningkatan yang signifikan dan tidak sebanding dengan tingkat penghasilannya yang sah ; f. Meneliti interaksi pihak yang terindikasi bersalah dan pengacaranya dengan jaksa/polisi penyidik, jaksa penuntut, hakim dan Panitera dan saksi-saksi dan mengamati apakah ada hubungan istimewa di antara mereka yang dapat melemahkan proses hukum. 2) Masyarakat yang meminta perlindungan hukum / keamanan, dimintai sejumlah dana oleh oknum aparat secara tidak sah (pungli), dengan alasan instansinya

15 tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk memberikan pelayanan yang diminta. a. Instansi yang berwenang memberikan perlindungan hukum/ keamanan harus secara transparan menyampaikan jenis-jenis pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku disertai dengan prosedur dan syarat-syaratnya secara menyeluruh yang ditempelkan pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan atau disosialisasikan lewat berbagai media massa yang ada ; b. Diberlakukan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan, kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah (pungli) serta memberikan pelayanan secara diskriminatif ; c. Dibuat kampanye anti pungli, misalnya melalui penempatan peringatan ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral keagamaan di tempat-tempat yang strategis di lingkungan kantor pemberi pelayanan ; d. Kepada aparat pemberi pelayanan diberikan sarana dan prasarana kerja yang diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ; e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlindungan hukum/keamanan perlu mensyaratkan ketaqwaan-nya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ; f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat pemberi pelayanan hukum/keamanan secara terus menerus ; a. Dapatkan informasi mengenai tingkat kepuasan masyarakat yang dilayani dan lakukan evaluasi mengenai kualitas pelayanan perlindungan hukum/keamanan yang telah diberikan kepada masyarakat yang bersangkutan ; b. Teliti penyebab dari ketidakpuasan masyarakat yang dilayani ; c. Jika penyebab ketidakpuasan adalah adanya diskriminasi dan pungli, identifikasikan siapa oknum pelakunya dan lakukan penelitian apakah yang bersangkutan telah melaksanakan pelayanan sesuai ketentuan yang berlaku ; d. Teliti penyebab oknum tersebut melakukan pungli; 3) Anggota masyarakat yang kehilangan kendaraan bermotor (dicuri, dirampok dsb) dan telah berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak yang berwajib, ketika hendak mengambil kendaraan miliknya dari kantor pihak yang berwajib dikenakan biaya oleh oknum pihak yang berwajib secara tidak sah. Di samping itu dalam banyak kasus barang yang ditemukan kembali sudah dalam keadaan tidak lengkap. a. Sosialisasikan ketentuan yang berlaku mengenai prosedur pelayanan pencarian barang hilang karena kejahatan (pencurian, perampokan) oleh aparat yang berwajib disertai seluruh persyaratannya secara jelas ;

16 b. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai cara-cara pengembalian barang yang berhasil ditemukan kembali oleh aparat yang berwajib kepada pemiliknya dan disosialisasikan kepada masyarakat lengkap dengan semua persyaratannya yang sah ; c. Secara berkala barang-barang hasil kejahatan yang berhasil disita oleh aparat yang berwajib, diumumkan kepada masyarakat luas melalui media massa untuk dicocokkan dengan bukti-bukti kepemilikan yang selanjutnya proses hukum dan pengembaliannya perlu dilakukan dengan segera, sehingga terhindar dari kerusakan-kerusakan/kehilangan bagian-bagian kendaraan akibat terlalu lamanya disimpan di lokasi kantor aparat yang berwajib ; d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi); e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan dana operasional yang memadai serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ; f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ; g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang berwajib secara terus menerus ; h. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ; a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat korban pencurian kendaraan yang melaporkan kasusnya kepada aparat yang berwajib ; b. Teliti dari laporan yang masuk, berapa yang diproses dan berapa yang berhasil ditemukan kembali ; c. Jika jumlah yang diproses rendah, teliti sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan yang memberatkan pelapor, sehingga bagi pelapor yang tidak mau membayar, laporannya tidak diproses ; d. Lakukan pengamatan atas barang-barang bukti (kendaraan yang berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak berwajib) apakah sudah lama berada di tempat penampungan yang disediakan, dan apakah masih dalam keadaan lengkap. Teliti sebab-sebabnya; e. Lakukan juga pengecekan apakah atas barang-barang bukti yang ada telah dilakukan pemberitahuan kepada para pemiliknya atau diumumkan di media massa. Teliti pula kemungkinan adanya kesengajaan untuk tidak memberitahukan kepada pemilik yang sah, supaya barang bukti tersebut dapat digunakan secara pribadi oleh oknum aparat ; f. Lakukan konfirmasi secara uji petik kepada para pemilik yang telah mengambil kembali kendaraannya, apakah dikenakan biaya-biaya saat mengambil kendaraannya tersebut ; g. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

17 4) Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melakukan pengurusan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dimintai biaya yang memberatkan oleh oknum pihak yang berwajib. a. Dibuat prosedur pelayanan SKKB yang sederhana, efisien, dan efektif dengan persyaratan-persyaratan yang ringan bagi masyarakat yang memerlukan ; b. Sosialisasikan ketentuan prosedur pemberian SKKB disertai seluruh persyaratannya secara jelas dan transparan kepada masyarakat luas. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ; c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen ; d. Kepada aparat yang memberikan pelayanan diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ; e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ; f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang bertugas memberi pelayanan secara terus menerus ; g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ; h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ; a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat pemohon SKKB ; b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang memberatkan ; c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan SKKB memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5) Proses persidangan kasus pengurusan surat fatwa waris dilaksanakan dengan jadual yang tidak pasti, mengambang dan tidak jelas nama pejabat (Hakim, Panitera) yang ditugasi untuk menangani masalah fatwa waris tersebut. Untuk satu urusan harus dilakukan berulang-ulang dan tidak transparan, sehingga membuka peluang penyelesaian secara kolusif. a. Diadakan ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan persyaratan pelayanan pengurusan fatwa waris ; b. Pejabat yang ditugaskan untuk melayani (sidang) pengurusan fatwa waris harus ditunjuk secara tegas, sehingga pemohon pelayanan mendapat kepastian mengenai siapa petugas yang memberikan pelayanan kepadanya ; c. Persidangan dilakukan secara terbuka dan transparan ;

18 d. Tarif pelayanan yang sah dan prosedur pembayarannya diinformasikan kepada masyarakat pemohon pelayanan melalui berbagai media yang ada, termasuk pada papan-papan pengumuman yang tersedia di tempat-tempat pelayanan ; e. Memberi peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak disetujuinya ; f. Membuka kotak pengaduan, dan memproses semua pengaduan yang masuk untuk meningkatkan pelayanan dan atau mengusutnya lebih lanjut sesuai dengan sifat pengaduan yang diterima ; a. Menguji apakah pelayanan pengurusan surat fatwa waris telah dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku ; b. Melakukan pengujian secara uji petik atas permohonan pelayanan yang prosesnya memakan waktu lama dan mempelajari apakah penyebabnya dapat dipertanggungjawabkan ; c. Meneliti apakah pejabat yang menangani pelayanan telah ditunjuk dengan surat penugasan dari pejabat yang berwenang ; d. Meneliti apakah pelaksanaan sidang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk ; e. Menguji apakah pelayanan diberikan menurut urutan permohonan. Jika tidak, diteliti faktor penyebabnya ; f. Menguji penerimaan biaya-biaya pelayanan, apakah telah disetor dan dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan ; g. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pemohon pelayanan tentang biaya-biaya pelayanan yang telah dibayarnya ; h. Meneliti pengaduan-pengaduan masyarakat yang diterima, dan memeriksa lebih lanjut dengan kenyataannya menurut fakta/bukti-bukti yang ada ; 2. Bidang Keimigrasian 1) Proses pengurusan paspor dan dokumen-dokumen keimigrasi-an berbelit-belit dan diskriminatif, sehingga masyarakat cen-derung menggunakan jasa calo dengan konsekuensi menge-luarkan biaya yang lebih besar dari ketentuan yang seharusnya. Terindikasi adanya kolusi antara oknum petugas dengan calo yang merugikan masyarakat pemohon. Upaya-upaya preventif: a. Pemasangan papan pemberitahuan tentang persyaratan permohon-an, tarif biaya pelayanan, prosedur pelayanan dan jangka waktu penyelesaian, disertai dengan contoh-contoh formulir dan cara pengisiannya sesuai ketentuan yang berlaku ; b. Dilakukan penyederhanaan cara pelayanan dengan memotong jalur birokrasi yang berlebihan, sehingga masyarakat tidak harus berhadapan dengan banyak petugas ; c. Pemberian tanda-tanda/petunjuk yang jelas pada loket pelayanan, loket informasi, loket pembayaran, ruang sidik jari, ruang foto, ruang wawancara dan lain-lain ; d. Menyediakan petugas yang memberikan informasi secara langsung kepada pemohon tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan keimigrasian ;

19 e. Pelayanan diberikan kepada semua pemohon yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sesuai urutan penerimaan permohonan ; f. Percepatan permohonan hanya dimungkinkan bila ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan ; g. Dibuat ketentuan mengenai sanksi yang tegas terhadap petugas yang diketahui bekerjasama dengan calo ; h. Pemasangan kotak pengaduan untuk menampung keluhan dan saran para pemohon ; Upaya-upaya detektif: a. Amati apakah persyaratan dan prosedur permohonan paspor dll di kantor pelayanan telah diinformasikan secara jelas di tempat-tempat yang mudah dilihat ; b. Lakukan pengujian secara uji petik atas berkas-berkas permohonan apakah telah diproses oleh petugas yang berwenang sesuai urutan permohonan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ; c. Teliti apakah permohonan yang diproses telah dilengkapi dengan dokumendokumen yang dipersyaratkan ; d. Jika pemrosesan tidak didasarkan pada urutan permohonan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, teliti kemungkinan adanya kerjasama yang tidak sehat antara oknum petugas dengan para calo, dengan cara menemui orang yang proses pelayanannya didahulukan, untuk memastikan apakah pengurusan dilakukan sendiri atau melalui calo ; e. Mintakan daftar biro jasa yang mendapat ijin dari Kanwil Kehakiman setempat kemudian lakukan pengecekan apakah calo tersebut di atas tercantum dalam daftar dimaksud; f. Teliti kemungkinan calo tersebut adalah oknum petugas itu sendiri. 2) Tahap kegiatan pelayanan tertentu dalam pengurusan doku-men keimigrasian, seperti paspor dan sebagainya (misalnya pemotretan), dilakukan melalui kerja sama antara instansi imigrasi dengan pihak swasta. Ada indikasi korupsi antara oknum pejabat instansi yang berwenang dengan pihak swasta dalam menetapkan biaya kontrak kerjasama sehingga biaya pelayanan menjadi lebih mahal. Upaya-upaya preventif: a. Pungutan kepada masyarakat atas biaya pelayanan harus mengacu kepada ketentuan yang berlaku ; b. Meninjau kembali kontrak-kontrak kerja sama yang bernuansa korupsi dan mengakibatkan mahalnya biaya pelayanan ; c. Jika menurut pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan kerja sama dengan pihak swasta sebenarnya tidak membuat biaya pelayanan menjadi mahal dan bahkan lebih meningkatkan kualitas pelayanan, maka hal tersebut perlu disosialisasikan secara transpa-ran kepada masyarakat ; d. Rincian biaya pelayanan diinformasikan kepada masyarakat ; e. Penyetoran biaya-biaya pelayanan dilakukan pada loket-loket resmi dan penerimaannya dipertanggungjawabkan oleh petugas loket sesuai ketentuan yang berlaku.

20 Upaya-upaya detektif: a. Dapatkan data kontrak-kontrak kerja sama antara instansi pemerintah yang memberikan pelayanan keimigrasian dengan pihak swasta ; b. Pelajari apakah kerjasama tersebut tidak mahal dan memang diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam hal ini perlu diperhatikan fasilitas-fasilitas pemerintah yang digunakan pihak swasta dan tidak diperhitungkan dalam kontrak kerja sama ; c. Jika kontrak kerja sama tersebut mahal dan tidak meningkatkan kualitas pelayanan, lakukan pengamatan apakah ada hubungan istimewa antara pihak swasta dengan pimpinan instansi dan teliti adanya indikasi korupsi dalam menetapkan harga kontrak. (3) Terhadap WNI (wajib pajak) yang melakukan perjalanan ke luar negeri, petugas imigrasi hanya memeriksa paspor dan visa tanpa memperhatikan dokumen fiskalnya. Ada indikasi oknum petugas berkolusi dengan calo supaya wajib pajak membayar fiskal dengan tarif lebih murah dari tarif resmi kepada calo tanpa menerima bukti pembayaran fiskal. Selanjutnya calo mengantarkan wajib pajak melewati petugas yang telah berkolusi dengannya. Upaya-upaya preventif: a. Sistem pengendalian manajemen penerimaan fiskal luar negeri dan pengawasan keimigrasian perlu disinkronkan dengan melibatkan unsurunsur/ instansi terkait ; b. Pemeriksaan atas bukti pembayaran fiskal luar negeri dilakukan secara berlapis dan sistem check dan recheck atas penerimaan fiskal luar negeri tersebut dievaluasi dan disempurnakan ; c. Perlu dibuat ketentuan mengenai pengenaan sanksi/denda yang tegas/berat kepada petugas/wajib pajak yang tidak menjalankan tugasnya/membayar fiskal sesuai ketentuan yang berlaku dan bahkan bekerja sama dengan calo ; d. Rotasi petugas diatur sedemikian rupa untuk mencegah peluang terjadinya kolusi antara petugas dan para calo ; e. Dilakukan pengawasan yang ketat dan penertiban secara terus-menerus kepada para calo/orang-orang yang tidak berkepentingan di tempattempat pelayanan fiskal/ embarkasi (bandara/pelabuhan); Upaya-upaya detektif: a. Lakukan penelitian apakah setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar negeri telah membayar fiskal luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku ; b. Jika ada yang tidak membayar fiskal dimaksud, teliti apakah menurut ketentuan yang bersangkutan memang dibebaskan dari pembayaran fiskal LN ; c. Lakukan pengamatan terhadap efektivitas pengendalian intern dalam pembayaran fiskal LN dan pastikan petugas yang berwenang telah melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen imigrasi termasuk bukti pembayaran fiskal LN atas setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar negeri ; d. Teliti kemungkinan adanya jalur masuk ke ruang tunggu bandara/ pelabuhan yang tidak resmi sehingga terbebas dari pemeriksaan imigrasi/fiskal dan amati kemungkinan digunakannya untuk menyelundupkan wajib pajak ;

21 e. Lakukan pengamatan terhadap non penumpang yang senantiasa lalulalang melewati petugas imigrasi untuk memastikan kegiatan yang sedang dilaksanakannya ; f. Lakukan penelitian apakah jumlah bukti pembayaran fiskal telah sesuai dengan jumlah penumpang/wajib pajak yang berangkat ke luar negeri ; g. Teliti sebab-sebab terjadinya selisih, jika ada. (4) Orang asing yang bekerja di Indonesia (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang berada di Indonesia melebihi masa tinggal yang telah diberikan ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan TKA tersebut mau memberi sejumlah uang kepada oknum dimaksud. a. Dibuat pencatatan yang akurat dan up-to-date tentang TKA yang bekerja di dalam wilayah kerja instansi yang mengawasi TKA tersebut, meliputi jumlahnya, negara asal, keahlian, tempat bekerja dan identitas lainnya yang diperlukan serta lamanya izin tinggal yang diberikan ; b. Menugaskan pegawai, dilengkapi dengan surat tugas, untuk melakukan pengecekan terhadap TKA tersebut apakah mematuhi izin tinggal yang diberikan; c. Pegawai yang ditugaskan harus membuat laporan hasil pengecekannya ; d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah kepada TKA yang melakukan pelanggaran izin bekerja/tinggal, dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen; e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ; f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ; g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai/petugas secara terus menerus ; a. Melakukan pemeriksaan secara uji petik, apakah TKA terseleksi benarbenar bekerja sesuai izin dan batas waktu yang diberikan ; b. Jika terdapat TKA yang berkerja dan tinggal tidak sesuai dengan izin yang diberikan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebabsebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang ditugaskan untuk mengecek secara rutin ; c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan kepada TKA dalam pengurusan izin tinggal memang telah diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3) Bidang Keuangan (1) Proses restitusi pajak dipersulit sehingga wajib pajak terpaksa memberikan sebagian dari jumlah restitusi pajaknya kepada oknum petugas/pejabat pelayanan pajak agar proses restitusi tersebut berjalan cepat dan lancar. Dalam beberapa kasus terdapat keadaan yang sebaliknya, di mana wajib

22 pajak yang tidak memenuhi syarat restitusi berusaha menyuap petugas agar restitusi dapat diproses walaupun ada persyaratan yang tidak dipenuhi. a. Sosialisasi peraturan, khususnya agar wajib pajak mengetahui dan memahami dengan mudah mengenai prosedur dan persyaratan restitusi pajak yang berlaku ; b. Adanya peraturan internal yang jelas tentang hubungan wajib pajak yang mengajukan restitusi dengan aparat pelayanan pajak ; c. Kebijakan rotasi pegawai yang baik di instansi yang memberikan pelayanan perpajakan ; d. Peningkatan pengawasan dari atasan atau dari aparat pengawasan internal atas kinerja petugas pelayanan ; e. Pemberian sarana dan prasarana kerja serta penghasilan yang wajar kepada petugas pelayanan pajak ; f. Pembinaan moral keagamaan secara berkesinambungan ; g. Membuka kotak pengaduan. Upaya-upaya deteksi : a. Mengamati hubungan antara petugas pelayanan pajak dengan wajib pajak untuk melihat adanya hubungan tidak wajar dikaitkan dengan permohonan restitusi pajak ; b. Pelajari kebijakan rotasi yang ada dan teliti apakah ada pegawai atau pejabat pelayanan pajak yang sudah lama melaksanakan pelayanan restitusi pajak tertentu dan khusus menangani wajib pajak-wajib pajak tertentu. Teliti mengapa kepada yang bersangkutan tidak dikenakan rotasi ; c. Meneliti berkas wajib pajak yang mengajukan permohonan restitusi untuk memastikan bahwa prosedur dan persyaratan restitusi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ; d. Inspeksi mendadak dari atasan langsung atau dari aparat pengawasan internal; e. Mengamati pola hidup petugas pelayanan pajak untuk menilai kewajarannya dibandingkan dengan tingkat penghasilannya yang sah. (2) Pengajuan SPP untuk penerbitan SPM atas realisasi anggaran Rutin maupun Pembangunan ke Kas Negara, dipersulit/ diperlambat jika tidak memberikan sejumlah dana tertentu kepada oknum petugas yang memberikan pelayanan. a. Dibuat standar pelayanan yang transparan dan dipaparkan dalam papan pengumuman dan terlihat jelas oleh setiap peminta pelayanan; b. Persyaratan pengajuan SPP diinformasikan secara jelas kepada para pimpinan instansi, Bendaharawan Proyek/Rutin dan pihak-pihak lain yang membutuhkan pelayanan pencairan dana ; c. Petugas pelayanan di Kas Negara diberi sarana dan prasarana kerja serta penghasilan yang wajar ;

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Lebih terperinci

LAMPIRAN KEPUTUSAN. MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : 63/KEP/M.PAN/7/2003, TANGGAL : 10 Juli 2003

LAMPIRAN KEPUTUSAN. MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : 63/KEP/M.PAN/7/2003, TANGGAL : 10 Juli 2003 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : 63/KEP/M.PAN/7/2003, TANGGAL : 10 Juli 2003 PEDOMAN UMUM PENYELENGARAAN PELAYANAN PUBLIK I. Pendahuluan A. Latar Belakang Ketetapan MPR-RI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1198, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Pengaduan Masyarakayt. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK Bagian Organisasi - 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M No.73, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Penyelenggaraan. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM BAB III PEMBANGUNAN HUKUM A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang kedua, yaitu mewujudkan supremasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : KEP/26/M.PAN/2/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : KEP/26/M.PAN/2/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : KEP/26/M.PAN/2/2004 TENTANG PETUNJUK TEKNIS TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTAHANAN. INPRES. Korupsi. Monitoring. Percepatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTAHANAN. INPRES. Korupsi. Monitoring. Percepatan. No.16, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTAHANAN. INPRES. Korupsi. Monitoring. Percepatan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SUMENEP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : : BUPATI SUMENEP

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 064 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 064 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 064 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN II: Draft VIII Tgl.17-02-2005 Tgl.25-1-2005 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 22 TAHUN 2011

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 22 TAHUN 2011 WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR Menimbang

Lebih terperinci

-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik

-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.248, 2016 BPKP. Pengaduan. Penanganan. Mekanisme. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG MEKANISME

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 27 Tahun : 2015

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 27 Tahun : 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 27 Tahun : 2015 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN SISTEM PENANGANAN

Lebih terperinci

2 Pelanggaran di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih da

2 Pelanggaran di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih da BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1189, 2014 LPSK. Dugaan Pelanggaran. System Whistleblowing. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG WHISTLEBLOWING SYSTEM ATAS DUGAAN

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PENYELENGARAAN PELAYANAN PUBLIK

PEDOMAN UMUM PENYELENGARAAN PELAYANAN PUBLIK KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUS NEGARA NOMOR : 63/KEP/M.PAN/7/2003 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGARAAN PELAYANAN PUBLIK MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Arsip Nasional Republik Indonesia

Arsip Nasional Republik Indonesia Arsip Nasional Republik Indonesia LEMBAR PERSETUJUAN setujui. Substansi Prosedur Tetap tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat telah saya Disetujui di Jakarta pada tanggal Februari 2011 SEKRETARIS UTAMA,

Lebih terperinci

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH I. Pendahuluan. Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.737, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengawasan. Pelaksanaan. Tata Cara Tetap. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 91 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA TETAP

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 2 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 2 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 2 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BOGOR DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 1 TAHUN 2011 T E N T A N G PENYERTAAN MODAL DAERAH KEPADA PIHAK KETIGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 1 TAHUN 2011 T E N T A N G PENYERTAAN MODAL DAERAH KEPADA PIHAK KETIGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 1 TAHUN 2011 T E N T A N G PENYERTAAN MODAL DAERAH KEPADA PIHAK KETIGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANGGAI, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang No.1494, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAG. Pengawasan Internal. Pencabutan. PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN INTERNAL PADA KEMENTERIAN AGAMA

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1105, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Good Public Governance. Penyelenggaraan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT DAN WHISTLEBLOWING DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Penyelenggara Negara

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN APBN/APBD

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN APBN/APBD REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN APBN/APBD BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, MENIMBANG : a. bahwa penyelenggara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN BENTURAN KEPENTINGAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN WALIKOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN WALIKOTA SAMARINDA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERNAL DENGAN RAHMAT YANG MAHA ESA WALIKOTA SAMARINDA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARRU, Menimbang : a. bahwa pemerintah

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK I. UMUM Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 32/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN, SISTEM DAN PROSEDUR PENGAWASAN DALAM PENERAPAN STANDAR AUDIT DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT KATA PENGANTAR Sebagai tindaklanjut dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang mewajibkan bagi setiap pimpinan instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.584, 2015 OMBUDSMAN. Whistleblowing System. Pelanggaran. Penanganan. Pelaporan. Sistem. PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PELAPORAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.576, 2015 BKPM. Benturan Kepentingan. Pengendalian. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2001 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2001 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2001 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA, SALINAN BUPATI PADANG LAWAS UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI PADANG LAWAS UTARA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH OLEH INSPEKTORAT KABUPATEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK AUDITOR DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia

Lebih terperinci

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA,

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA, KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR KEP/26/M.PAN/2/2004 TANGGAL 24 FEBRUARI 2004 TENTANG PETUNJUK TEKNIS TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELAPORAN PELANGGARAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Re

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Re MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 103/PMK.09/2010 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN DAN TINDAK LANJUT PELAPORAN PELANGGARAN (WHISTLEBLOWING) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi

I. PENDAHULUAN. pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma kepegawaian di Departemen Keuangan dimulai pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi Biro Kepegawaian sebagai unit yang

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN DI LINGKUNGAN BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA.

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN DI LINGKUNGAN BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 3. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BUPATI GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 504 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GARUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.955, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Pedoman. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

Lebih terperinci

LKjIP PA Watampone Tahun BAB I PENDAHULUAN

LKjIP PA Watampone Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Kondisi Umum Organisasi Penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam sebuah organisasi pemerintahan merupakan elemen penting dan prinsip utama untuk mendukung lahirnya sebuah tata kelola

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Badan Pengawasan, Dr. H.M. SYARIFUDDIN, SH., MH.

KATA PENGANTAR. Kepala Badan Pengawasan, Dr. H.M. SYARIFUDDIN, SH., MH. KATA PENGANTAR Penyusunan Renstra (Rencana Strategis) Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Tahun 200 204, dimaksudkan guna mencapai tujuan dan sasaran strategis dalam rangka pencapaian visi dan pelaksanaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2003 NOMOR 03 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 03 TAHUN 2003

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2003 NOMOR 03 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 03 TAHUN 2003 LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2003 NOMOR 03 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 03 TAHUN 2003 TENTANG PERPANJANGAN IZIN PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SALINAN GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1123, 2014 KEMEN KP. Pengawasan. Intern. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PERMEN-KP/2014 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya good governance di Indonesia semakin meningkat. Tuntutan ini memang wajar, karena terjadinya krisis

Lebih terperinci

DEPUTI BIDANG PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

DEPUTI BIDANG PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI DEPUTI BIDANG PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI Ruang Lingkup Yanlik [Pasal 5 ayat (6)]. Sistem Pelayanan Terpadu [Pasal 9 ayat (2)]. Pedoman Penyusunan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK I. UMUM Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan bahwa

Lebih terperinci

MAKALAH TRANSPARANSI PENGADILAN. Oleh: DR. IBRAHIM, S.H, M.H, LL.M.

MAKALAH TRANSPARANSI PENGADILAN. Oleh: DR. IBRAHIM, S.H, M.H, LL.M. PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH TRANSPARANSI PENGADILAN Oleh: DR. IBRAHIM, S.H, M.H, LL.M. TRANSPARANSI PENGADILAN

Lebih terperinci

KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL. Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan

KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL. Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan Salah satu tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan Rakyat yang adil dan makmur

Lebih terperinci

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg No.1748, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DKPP. Kode Etik dan Pedoman Perilaku. PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK DAN

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.263, 2015 LIPI. Pegawai. Kode Etik. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.763, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN NARKOTIKA NASIONAL. Pokok-Pokok. Pengawasan. BNN. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG POKOK-POKOK PENGAWASAN DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

RENCANA STRATEGIS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN RENCANA STRATEGIS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 2006-2010 Sambutan Ketua BPK Pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kegiatan yang akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] BAB VIII KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 46 (1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

Lebih terperinci

PENGADUAN PELAYANAN SALAH SATU BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAYANAN PUBLIK

PENGADUAN PELAYANAN SALAH SATU BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAYANAN PUBLIK PENGADUAN PELAYANAN SALAH SATU BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAYANAN PUBLIK Oleh : RINI F. JAMRAH, S.Pd, MM WIDYAISWARA MUDA BADAN DIKLAT PROVINSI SUMBAR ABSTRAK Perbaikan kinerja pelayanan publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan atau organisasi.

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) UNIT PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PPID RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PELAYANAN INFORMASI PUBLIK Melayani Informasi, Memajukan Negeri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Salah satu prasyarat penting dalam

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB. Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015

RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB. Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015 RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015 Kata Pengantar Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011

BERITA DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 BERITA DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci