REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM"

Transkripsi

1 REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002

2 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA Pada era demokrasi dan transparansi dewasa ini, aparatur negara tetap menjadi tumpuan harapan untuk menjadi salah satu dinamisator ke arah pemulihan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan setelah krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan negara sejak tahun Dalam pada itu, berbagai penilaian yang mengindikasikan merajalelanya KKN di negeri kita, termasuk pada lingkup birokrasi pemerintahan merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh seluruh aparatur negara. Apabila kita tidak dapat membersihkan diri kita sendiri secara sungguh-sungguh akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara semakin rendah, yang pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan sirna. Upaya yang terencana dan transparan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih (clean government) menuju ke arah kepemerintahan yang baik (good governance) tidak bisa ditunda lagi. Sehubungan hal tersebut saya menghargai hasil karya BPKP yang merespons surat Men.PAN Nomor: 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Pebruari 2002 tentang Intensifikasi dan Percepatan Pemberantasan KKN dengan menerbitkan 5 (lima) Buku Pedoman Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi yaitu di bidang Pengelolaan APBN/APBD, BUMN/BUMD, Perbankan, Kepegawaian, Sumber Daya Alam dan Pelayanan Masyarakat. Saya berharap agar seluruh aparat baik yang bertugas di Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/BUMD maupun Perbankan dapat menggunakan Buku Pedoman ini dan mengembangkannya sesuai kondisi lingkungan tugas masing-masing sehingga dapat mencegah dan menanggulangi kasus-kasus KKN secara efektif dan efisien. Hendaknya selalu diingat bahwa masyarakat sesungguhnya sangat menghendaki munculnya jiwa kepeloporan dan sifat keteladanan aparatur negara sebagai panutan mereka dengan tindakan nyata mencegah dan memberantas KKN. Dimulai langkah yang terpuji serta kesadaran tinggi dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kiranya tingkat kepercayaan masyarakat yang saat ini mengalami degradasi dapat diperbaiki dan ditingkatkan sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat sukses. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridloi upaya kita bersama. Jakarta, 31 Juli 2002 MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA FEISAL TAMIN

3 REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) KATA PENGANTAR KEPALA BPKP Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan strategi yang komprehensif - secara preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat luas. Dalam rangka memenuhi RENSTRA BPKP Tahun , serta sebagai hasil koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai intensifikasi dan percepatan pemberantasan KKN, BPKP telah menerbitkan Buku Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat. Meskipun Buku ini telah disusun dengan upaya yang maksimal, namun dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi Tim Penyusun, disadari bahwa di dalamnya masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan baik dari materi yang disajikan maupun cara penyajiannya, sehingga memerlukan penyempurnaan secara terus-menerus. Untuk itu masukan yang positif dan konstruktif dari para pembaca dan pemakai buku ini sangat diharapkan. Buku ini diharapkan dapat menjadi petunjuk praktis bagi Instansi Pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah serta BUMN/BUMD untuk menanggulangi kasus-kasus korupsi dalam pengelolaan pelayanan masyarakat, bukan saja bagi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah(APIP)/Satuan Pengawas Intern (SPI) masing-masing, tetapi juga bagi para pimpinan instansi/bumn/bumd yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pemberantasan korupsi bukan semata-mata tanggung jawab APIP/SPI, karena sifat tugasnya lebih pada penanggulangan korupsi secara detektif dan represif. Penanggulangan korupsi yang lebih efektif dan efisien adalah secara preventif yang merupakan tanggung jawab manajemen. Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi yang disajikan dalam buku ini merupakan upaya minimal, yang perlu dilaksanakan secara maksimal dan dikembangkan oleh setiap institusi tersebut di atas secara terus menerus sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan buku ini sangat tergantung pada upaya pihakpihak yang kompeten untuk menjalankannya dengan tindakan yang nyata, konsisten disertai dengan komitmen yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi korupsi secara berkesinambungan. Kepada semua pihak yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikirannya dan membantu baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan buku ini, termasuk APIP/SPI yang telah menyampaikan masukan-masukan kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

4 Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing kita dalam melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, serta upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Jakarta, 31 Juli 2002 KEPALA ARIE SOELENDRO

5 DAFTAR ISI Halaman SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA 2 KATA PENGANTAR KEPALA BPKP 3 DAFTAR ISI 5 Bab I Bab II UMUM A. Dasar Pemikiran 6 B. Pengertian Umum 9 C. Tujuan dan Sasaran 10 D. Ruang Lingkup 10 E. Sistim Pengendalian Manajemen pada Pengelolaan Sumber Daya Alam 10 F. Metode Penyajian 11 UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 1. Pengelolaan Sumber Daya Kehutanan Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Umum Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Minyak dan Gas Alam 28 Bab III UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REPRESIF A. Penyelesaian oleh Internal Organisasi 34 B. Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan Kasus ke 35 Instansi Penyidik Lampiran : Daftar Kasus/Penyimpangan TIM PENYUSUN

6 BAB I UMUM A. Dasar Pemikiran Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya. Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu: 1. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar ; 2. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi; 3. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia. 4. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundangundangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

7 Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan di antaranya sebagai berikut: 1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Disamping itu Pemerintah dan DPR sedang memproses penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif, yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus. BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut : 1. Strategi Preventif Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan: 1) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat; 2) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya 3) Membangun kode etik di sektor publik ; 4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis. 5) Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.

8 6) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri ; 7) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah; 8) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen; 9) Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) 10) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ; 11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional; 2. Strategi Detektif Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan : 1) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat; 2) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu; 3) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik; 4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional ; 5) Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ; 6) Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi. 3. Strategi Represif Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan : 1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ; 2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes); 3) Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas ; 4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ; 5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus ; 6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu ;

9 7) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya; 8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum. Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg). Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari Petunjuk teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)/ Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dan Perbankan dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja masing-masing. B. Pengertian Umum Dalam buku ini yang dimaksud dengan: 1. Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang untuk melakukan korupsi ; 2. Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat dengan biaya murah, sehingga dapat segera ditindaklanjuti ; 3. Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat, dengan biaya murah, sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku ; 4. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena : a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah ; b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. 5. Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat di atas, di permukaan dan di dalam bumi yang dikuasai oleh Negara.

10 6. Instansi Pengelola adalah unit organisasi pemerintahan (Departemen/LPND/BUMN/BUMD/Lainnya) yang ditunjuk Pemerintah Republik Indonesia untuk mewakili Pemerintah dalam penguasaan/ pemanfaatan sumber daya alam. 7. Kontrak Kerjasama adalah kontrak perjanjian antara Instansi Pengelola dengan pihak ketiga (kontraktor) dalam rangka pengelolaan/eksploitasi sumber daya alam yang penguasaannya dialihkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Instansi Pengelola tersebut. C. Tujuan dan Sasaran Buku ini berisi panduan upaya-upaya praktis yang dapat dilakukan untuk mencegah, mendeteksi dan menindaklanjuti secara represif perbuatan korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam. Sasarannya adalah: 1. Terwujudnya sistem pengendalian manajemen yang efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber daya alam yang memiliki daya tangkal terhadap praktek-- praktek korupsi ; 2. Meningkatkan efektifitas sistem pengendalian manajemen dalam pengelolaan sumber daya alam ; 3. Menurunnya perbuatan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam ; 4. Menurunnya jumlah kerugian keuangan negara sebagai akibat perbuatan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam ; 5. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam menginformasikan perbuatan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam ; 6. Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasus-kasus yang berindikasi korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam ; 7. Menempatkan tenaga yang andal dalam pelaksanaan tugasnya serta mempunyai komitmen yang tinggi dalam menegakkan peraturan. D. Ruang Lingkup Upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini berlaku bagi seluruh instansi pemerintah dan BUMN/BUMD yang melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam baik yang ada di atas, di permukaan dan di dalam kandungan bumi termasuk perairan dalam lingkup Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) negara Indonesia, dengan perhatian utama pada aspek pengelolaan yang langsung berhubungan dengan kepentingan publik. E. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pengelolaan sumberdaya alam yang menyimpang selama ini telah menimbulkan resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan menjadi rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan beban sosial yang pada akhimya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. Pengembangan sistem pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan sumber daya alam.

11 Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam ditentukan oleh kompetensi, moral dan kemauan aparatur, serta didukung sistem pengendalian manajemen yang efektif dan efisien, perangkat teknologi yang tepat, prasarana & sarana yang memadai, sehingga dapat menghasilkan pengelolaan sumber daya alam yang profesional dan bersih dari korupsi. Pengendalian Manajemen dalam pengelolaan sumber daya alam ini dimulai dari internal organisasi, melalui upaya-upaya preventif, yaitu dengan menciptakan sistem pengendalian manajemen, meliputi : 1. Penataan kembali organisasi dengan memperjelas visi, misi, strategi, kebijakan, indikator keberhasilan, tujuan, sasaran dan aktivitas-aktivitas kerja yang harus dilakukan dalam rangka pemenuhan akuntabilitas publik; 2. Penyederhanaan dan penyempurnaan kebijakan; 3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward & punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja; 4. Penyempurnaan sistem dan prosedur pengelolaan sumber daya alam ; 5. Perbaikan metode dan prasarana & sarana kerja ; 6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban ; 7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal untuk menjaga agar kualitas pengelolaan sumber daya alam dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam menyusun sistem pengendalian manajemen dalam pengelolaan sumber daya alam perlu memperhatikan antara lain : 1. Pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian, fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur undangundang; 2. Pengalihan penguasaan sumber daya alam dari Pemerintah Republik Indonesia(prinsipal) kepada Instansi Pengelola (yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia) harus ditetapkan berdasarkan Undang-undang ; 3. Pengalihan pengelolaan (eksploitasi) sumber daya alam dari instansi pengelola kepada pihak ketiga (kontraktor pengelola) harus ditetapkan dengan perjanjian kontrak yang mengatur dengan jelas mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta adanya sanksi administrasi dan keuangan yang jelas dan tegas dalam hal terjadi penyimpangan. F. Metode Penyajian Penyajian buku ini diawali dengan terlebih dahulu menguraikan kasus penyimpangan, kemudian diikuti dengan cara-cara penanggulangan yang perlu dilakukan, yang meliputi upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus tersebut dan upaya detektif untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kasus dimaksud. Upaya penindakan secara represif, disajikan secara umum untuk semua kasus penyimpangan secara keseluruhan di Bab III.

12 BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam pada umumnya mencakup penyalahgunaan pemberian dan pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak, penyalahgunaan wewenang. Kasus-kasus penyimpangan yang disajikan pada bab ini baru mencakup beberapa kasus berdasarkan temuan hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh APFP termasuk SPI. Dengan demikian, kasus-kasus yang disajikan belum mencakup seluruh kasus penyimpangan yang terjadi pada pengelolaan sumber daya alam. Upaya pencegahan (preventif) penyimpangan/korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas sistem pengendalian dan penerapannya, yang diarahkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Upaya-upaya preventif yang disajikan tidak bersifat mutlak, tetapi hanya merupakan pengendalian minimum yang perlu dilaksanakan secara maksimum. Oleh karena itu, pimpinan instansi/direksi perlu mengembangkan sendiri upaya-upaya lain yang dianggap perlu, sesuai dengan kompleksitas, titik rawan penyimpangan yang dihadapi, dan kesesuaiannya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masing-masing instansi/organisasi. Sistem pengendalian manajemen ini perlu terus menerus ditingkatkan keandalannya berdasarkan umpan balik (feed back) dari hasil upaya detektif dan represif. Upaya detektif merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Upaya detektif ini dimaksudkan untuk memperoleh alat bukti yang relevan, cukup dan kompeten untuk mendukung simpulan atas terjadinya penyimpangan sebagai dasar pengambilan tindak lanjut (upaya represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of innosence). Upaya detektif dalam panduan praktis ini hanya mencakup upaya minimal yang dianggap penting dilakukan untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu dikembangkan sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan, yang secara rinci dituangkan dalam program pemeriksaan (audit program). Pengembangan upaya preventif dan detektif tersebut sangat perlu dilakukan karena penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada instansi pengelola pada umumnya disebabkan adanya kolusi baik antar petugas di dalam instansi tersebut, maupun dengan pihak luar yang terkait. Kasus penyimpangan yang terjadi serta upaya-upaya preventif dan detektif dalam pengelolaan pengelolaan sumber daya alam dapat disajikan sebagai berikut: 1. Pengelolaan Sumber Daya Kehutanan 1) Adanya kolusi antara petugas dengan pengusaha dalam rangka pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) dengan cara melaporkan jumlah potensi tegangan tegak per blok lebih besar dari jumlah sebenarnya sehingga pemegang HPH memperoleh jatah tebang yang lebih besar dari yang seharusnya menurut Laporan Hasil Cruising (LHC). Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan produksi menjadi lebih besar.

13 (1) Rencana Karya Tahunan (RKT) harus disusun berdasarkan potensi hutan yang sesungguhnya sesuai dengan hasil inventarisasi tegakan ; (2) Jatah tebang yang diberikan tidak boleh melebihi potensi hutan yang sesungguhnya untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di luar areal HPH ; (3) RKT harus disetujui oleh pemerintah setempat berdasarkan hasil evaluasi Laporan Hasil Cruising (LHC) yang dilakukan oleh instansi terkait; (4) Pemerintah setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan terhadap pelanggaran proses pengesahan RKT. (1) Meneliti hasil-hasil evaluasi LHC yang dilakukan instansi yang berwenang untuk mengetahui patensi hutan yang sesungguhnya ; (2) Membandingkan RKT (yang telah disahkan) dengan LHC yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan ; (3) Membandingkan laporan produksi perusahaan pemegang HPH dengan LHC; (4) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya over cutting, perambahan ke luar area yang ditetapkan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. 2) Dalam pengajuan ijin baru maupun perpanjangan HPH, pengusaha yang bersangkutan harus melampirkan hasil pekerjaan pemotretan udara, pemetaan, inventarisasi hutan dan pemetaan batas areal kerja HPH. Pelaksanaan pemotretan dan pemetaan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemegang HPH sendiri atau pihak ketiga. Dalam kenyataannya pemberi ijin baru dan perpanjangan ijin HPH tetap diberikan oleh aparat terkait kepada pemegang HPH walaupun hasil pekerjaan pemotretan dan pemetaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara aparat terkait dengan pengusaha HPH maupun pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan pemotretan dan pemetaan. Dengan ijin HPH tersebut pengusaha pemegang HPH dapat melaksanakan pengelolaan hutan tanpa memperhatikan potensi dan batas areal kerja HPH sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan hutan. (1) Adanya pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan ijin pengelolan hutan untuk mencegah adanya penebangan di luar areal kerja HPH dan adanya pelanggaran penebangan yang tidak memperhatikan TPTI ; (2) Adanya mekanisme pengecekan silang terhadap hasil pekerjaan pemotretan dan pemetaan yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang yang independen ; (3) Adanya peraturan pengenaan sanksi terhadap aparat terkait dan pengusaha atas pelanggaran ketentuan perikatan perjanjian secara tegas dan pasti. (1) Melakukan penelitian terhadap ijin baru dan perpanjangan ijin HPH apakah telah didukung dengan data yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku ; (2) Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan areal kerja HPH yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan hasil foto dan pemetaan yang dilakukan oleh pihak berwenang yang independen;

14 (3) Melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuan TPTI dan areal kerja HPH tidak menyeberang ke areal kerja HPH yang lain. 3) Aparat terkait melakukan kolusi dengan pengusaha dalam pelaksanaan pekerjaan pemotretan dan pemetaan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberapa lokasi lahan kritis dengan menggunakan potret udara citra airbone radar. Hasil pekerjaan tersebut yang seharusnya tidak diterima oleh pihak pemberi kerja ternyata tetap diterima walaupun sebenarnya hasil pekerjaan tersebut tidak memenuhi syarat kontrak. Dengan hasil yang tidak sesuai dengan kontrak ini pemerintah tidak dapat memanfaatkan hasil pemotretan dan pemetaan secara maksimal untuk melakukan perencanaan, pengawasan dan penataan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberdpa lokasi lahan kritis. (1) Adanya ketentuan pengenaan sanksi terhadap aparat terkait dan pengusaha atas pelanggaran ketentuan perikatan perjanjian secara tegas dan pasti ; (2) Adanya mekanisme penegakan pelaksanaan disiplin akuntabilitas publik, yaitu dalam bentuk pertanggungjawaban kinerja seluruh jajaran birokrasi departemen yang bersangkutan baik secara individual maupun kolektif kepada masyarakat atas pelaksanaan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya ; (3) Adanya mekanisme pengecekan silang terhadap hasil pekerjaan pemotretan dan pemetaan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dibandingkan dengan hasil yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang yang independen. (1) Melakukan penelitian terhadap seluruh tahapan baik administrasi maupun teknis atas kegiatan pelaksanaan perikatan perjanjian pekerjaan pemotretan dan pemetaan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi dan beberapa lahan kritis ; (2) Melakukan penelitian terhadap dokumen administrasi dan teknis atas pelaksanaan perikatan perjanjian di atas untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ; (3) Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan dengan hasil foto dan pemetaan yang dilakukan oleh pihak berwenang yang independen. 4) Pejabat memberikan ijin pertambangan kepada pengusaha untuk melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung yang mengandung sumber daya tambang, meskipun bertentangan dengan UU No. 41/1999 dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatan peneriman daerah, namun pada kenyataannya hal tersebut lebih menguntungkan pengusaha dan oknum pejabat terkait. (1) Adanya ketentuan yang jelas dengan sanksi yang tegas mengenai (2) kemungkinan melakukan penambangan di lokasi hutan lindung ; (3) Sosialisasi arti penting dari hutan lindung di lingkungan instansi pemerintah maupun kepada dunia usaha dan masyarakat umum ;

15 (4) Sosialisasi ketentuan bahwa konservasi hutan lindung tunduk kepada konvensi internasional dan merupakan pengecualian dari aspek-aspek kekuasaan otonom bagi daerah. (1) Membanding peta lokasi pertambangan dengan peta RUTR untuk memastikan bahwa lokasi pertambangan berada atau di luar kawasan hutan lindung ; (2) Meneliti lokasi pertambangan untuk meyakinkan bahwa pertambangan tersebut tidak berada di lokasi hutan lindung berdasarkan peraturan pemerintah yang menetapkan lokasi kawasan tersebut sebagai hutan lindung. 5) Adanya kolusi antara petugas dengan perusahaan pemegang HPH dengan membiarkan kegiatan penebangan hutan yang tidak memenuhi kriteria/batasan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sehingga mengakibatkan kerusakan hutan. Upaya-upaya preventif (1) Adanya ketentuan dan sanksi yang tegas bagi aparat terkait dan perusahaan pemegang HPH untuk melakukan penebangan hutan sesuai kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI); (2) Adanya sistem pengawasan pada instansi terkait terhadap kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH ; (3) Adanya pengawasan dengan melibatkan masyarakat dan LSM di bidang lingkungan hidup atas kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH. Upaya-upaya detektif (1) Melakukan penelitian terhadap pencatatan dan pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui apakah hasil penebangannya telah sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ; (2) Melakukan analisa terhadap berbagai laporan yang berkaitan dengan kegiatan penebangan hutan untuk mengetahui kemungkinan adanya hasil penebangan yang tidak sesuai ketentuan ; (3) Melakukan pengujian secara uji petik ke penampungan hasil penebangan dan bandingkan dengan pencatatan atau pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui adanya hasil penebangan yang tidak dilaporkan atau tidak sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ; (4) Melakukan penelitian dengan cara sampling terhadap areal hutan bekas penebangan untuk mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuannya (TPTI) ; (5) Melakukan pengujian sampling melalui wawancara kepada penduduk setempat untuk mendapatkan informasi mengenai frekwensi pengiriman kayu hasil penebangan ke luar areal hutan. 6) Perusahaan perkebunan besar swasta (PPBS) pemegang ijin pembukaan perkebunan yang telah mendapatkan pencadangan lahan ribuan hektar, namun tidak melakukan kegiatan sebagaimana mestinya sehingga banyak lahan yang terlantar, karena PPBS hanya mengambil kayunya saja. Hal ini terjadi karena

16 adanya kolusi antara petugas dengan PPBS dalam pemberian ijin, sedangkan perusahaan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai PPBS. (1) Menetapkan persyaratan-persyaratan yang memadai bagi PPBS untuk mendapatkan ijin pembukaan perkebunan dalam rangka melindungi lahan/hutan dan menjaga kesinambungan operasi kerja PPBS; (2) Menetapkan secara tegas batas hak dan kewajiban, wewenang dan sanksi atas penggunaan ijin pembukaan perkebunan ; (3) Instansi yang bertanggungjawab menetapkan peraturan untuk menolak semua bentuk investasi perkebunan yang akan menebang hutan di kawasan non budidaya kehutanan dan tidak menerbitkan hak pemanfaatan hasil hutan (HPHH) skala besar (> 100 hektar) ; (4) Memperketat pengawasan atas segala kegiatan PPBS di lapangan oleh Instansi terkait. Upaya-upaya detektif (1) Melakukan penelitian apakah persyaratan-persyaratan bagi PPBS untuk mendapatkan ijin pembukaan perkebunan telah cukup memadai untuk lahan/hutan yang telah dibuka agar dapat terpelihara kembali termasuk batas hak dan kewajiban, wewenang dan sanksi yang dikenakan bagi PPBS yang melanggar; (2) Melakukan penelitian apakah ijin pembukaan perkebunan untuk kawasan non budidaya kehutanan telah diberikan kepada PPBS hanya untuk lokasi lahan/hutan dibawah 100 hektar; (3) Melakukan penelitian apakah segala kegiatan PPBS di lapangan telah dilakukan pengawasan yang ketat oleh instansi terkait. 7) Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH) yang diberikan kepada masyarakat setempat, namun kenyataan di lapangan di laksanakan dan diperlakukan sebagai HPH oleh pengusaha HPH dan dibiarkan oleh aparat terkait. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan masyarakat setempat dari segi permodalan dan dari segi pemenuhan prosedur yang ditentukan sehingga masyarakat kehilangan sumber pendapatan tradisional disamping timbulnya potensi kerusakan hutan. (1) Adanya kebijakan yang realistis berkenaan dengan pengikutsertaan masyarakat setempat dalam mengelola hutan ; (2) Adanya penyederhanaan peraturan yang memudahkan masyarakat untuk memenuhi prosedur dalam memperoleh HPHH ; (3) Sosialisasi peraturan mengenai pengurusan HPHH kepada masyarakat calon pemegang HPHH ; (4) Pengawasan yang ketat atas pelaksanaan HPHH, agar benar-benar dilaksanakan oleh masyarakat (pemegang HPHH) setempat; (5) Pengawasan yang ketat atas dampak lingkungan dalam pelaksanaan HPHH. Upaya-upaya detektif (1) Meneliti apakah penerbitan HPHH telah diberikan dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat, bukan oleh pemegang HPH (pengusaha besar) ;

17 (2) Melakukan observasi lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan HPHH dilakukan oleh masyarakat setempat ; (3) Melakukan pemeriksaan fisik hasil hutan di lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan HPHH telah memperhatikan dampak lingkungan untuk menjaga kelestarian hutan ; (4) Menganalisis laporan hasil pengawasan pengelolaan HPHH oleh instansi-instansi terkait. 8) Diameter kayu yang ditebang lebih kecil dari ketentuan pemerintah, namun dilaporkan sebagai kayu yang berdiameter lebih besar dari ukuran minimal, sehingga terjadi kerusakan potensi kayu bulat dan kepunahan potensi hutan lainnya. Hal ini terjadi karena petugas sengaja tidak mempermasalahkan penyimpangan tersebut. (1) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan ukuran garis tengah pohon yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang berwenang ; (2) Laporan Hasil Produksi (LHP) disusun harus berdasarkan inventarisasi yang tertuang dalam Berita Acara Inventarisasi Produksi Hasil Hutan (BAIPHH) yang meliputi: jenis, volume, dan ukuran garis tengah kayu tebangan ; (3) Inventarisasi produksi hasil hutan dilakukan harus bersama-sama dengan petugas yang berwenang untuk mengawasi pelaksanaan HPH, dan BAIPHH yang dibuat untuk itu harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang; (4) Penetapan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas kepada pemegang HPH dan petugas dalam hal adanya pelanggaran atas ukuran garis tengah kayu tebangan yang tidak sesuai dengan ukuran minimal yang ditetapkan Pemerintah. (1) Mengevaluasi apakah Laporan Hasil Produksi (LHP) telah disusun berdasarkan inventarisasi yang dituangkan dalam BAIPHH, terutama mengenai ukuran garis tengah kayu tebangan ; (2) Membandingkan laporan-laporan mengenai diameter kayu tebangan dengan laporan hasil produksi ; (3) Pemeriksaan fisik ke area penebangan untuk meyakinkan bahwa ukuran kayu yang ditebang sesuai dengan peraturan yang berlaku. 9) Volume kayu bulat yang ditebang dilaporkan lebih kecil dari volume sebenarnya dengan cara memanipulasi data Surat Angkut Kayu Bulat (SAKB) dan Daftar Kayu Bulat (DKB). Akibatnya informasi mengenai potensi hutan yang belum ditebang menyesatkan dan dapat mempercepat terjadinya kerusakan hutan. (1) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan volume kayu yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang berwenang; (2) Dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas agar volume yang dicatat pada SAKB dan DKB harus sesuai volume sebenamya ; (3) Dalam ijin HPH ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi volume kayu yang ditebang dari areal HPH.

18 (1) Melakukan penelitian apakah dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas volume yang dicatat pada SAKB dan DKB jenis-jenis kayu harus sesuai volume sebenarnya ; (2) Membandingkan volume kayu bulat menurut Surat Angkut Kayu Bulat (SAKB) dan Daftar Kayu Bulat (DKB) dengan Laporan Hasil Produksi (LHP) ; (3) Membandingkan volume kayu bulat menurut Laporan Hasil Produksi (LHP) dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ; (4) Melakukan penelitian apakah dalam ijin HPH ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi volume yang dicatat pada SAKB dan DKB. 10) Melakukan penebangan di luar blok tebangan (over cutting) dengan cara memperbesar volume maupun jenis potensi kayu pada Laporan Hasil Cruishing (LHC) dari suatu areal tertentu. Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan produksi menjadi lebih besar. (1) Dalam proses pemberian HPH harus dilakukan pengecekan silang atas foto citra landsat yang diterima dari pengusaha HPH untuk mengetahui atau meyakini kebenaran foto oleh pihak berwenang yang independen ; (2) Pengusahaan hutan harus memiliki tenaga ahli yang mampu melaksanakan inventarisasi tegakan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku sebagai dasar penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) ; (3) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan volume dan jenis kayu yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang berwenang; (4) Laporan Hasil Cruishing (LHC) harus dibuat secara profesional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku ; (5) RKT harus disusun berdasarkan LHC dan disetujui oleh pemerintah setempat; (6) Pemerintah setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi dalam pembuatan LHC dan penebangan di luar blok tebangan (over cutting). (1) Meneliti apakah instansi terkait telah melakukan evaluasi atas pembuatan LHC dalam menetapkan potensi hutan yang sesungguhnya ; (2) Membandingkan antara citra landsat dengan LHC dan RKT ; (3) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah setempat disusun berdasarkan LHC ; (4) Membandingkan volume kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP) dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ; (5) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya penebangan kayu di luar areal blok penebangan yang sudah disahkan berdasarkan RKT; (6) Melakukan penelitian apakah jatah tebang yang diberikan tidak melebihi potensi hutan untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di luar areal HPH.

19 11) Penebangan dan perdagangan liar (illegal logging) oleh perusahaan pemegang HPH menimbulkan kerugian finansial negara dan dampak sosial serta kerusakan sumber daya hutan dan lahan sehingga akhirnya berdampak terhadap ketidakseimbangan dan kerusakan ekosistem dalam tatanan daerah aliran sungai. Upaya-upaya preventif (1) Ketentuan yang lebih tegas dan jelas atas pelaksanaan pengelolaan hutan dengan system HPH, antara lain : a. RKT disusun berdasarkan blok areal HPH dengan data yang benar bukan hasil rekayasa; b. Penyusunan RKT disertai dengan keharusan untuk melakukan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (LHC 100%) dengan tujuan untuk mengetahui potensi hutan sesungguhnya agar jatah tebang yang diberikan tidak melebihi potensi hutan (over cutting) sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. (2) Pelaksanaan pengawasan di hutan (lokasi penebangan dan penampungan hasil tebangan yang masih berada di hutan) harus diperketat untuk menghindari penebangan kayu tanpa izin; (3) Adanya sanksi (tidak diberikan ijin) bagi pemegang HPH yang dalam penyusunan RKT tidak berdasarkan pelaksanaan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (cruising 100%); (4) Administrasi atas seluruh kegiatan yang berkaitan dengan hasil hutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku; (5) (5)Pengawasan atas kegiatan administrasi dan tata usaha hasil hutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. (1) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah setempat disusun berdasarkan LHC sehingga jatah tebang yang diberikan sesuai dengan potensi hutan yang ada; (2) Membandingkan hasil hutan menurut laporan hasil produksi (LHP) dengan RKT; (3) Melakukan pengujian laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh aparat instansi terkait; (4) Melakukan penelitian terhadap administrasi kegiatan penebangan, dan dibandingkan dengan RKT dan LHP-nya. 12) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diperhitungkan lebih kecil dari sebenarnya dengan memanipulasi jenis kayu yang ditebang dari hutan negara, dengan melaporkan jenis kayu yang tarifnya lebih kecil dibanding dengan jenis kayu yang sebenarnya ditebang. Namun petugas pemeriksa berwenang berkolusi dengan membiarkan hal tersebut terjadi. Akibatnya instansi berwenang tidak dapat memonitor keragaman jenis kayu yang ada pada areal hutan negara. (1) Dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas potensi hutan menurut jenisjenis kayu yang ada dalam area HPH ; (2) Pemerintahan setempat harus menetapkan tarif PSDH menurut potensi jenis-jenis kayu yang ada dalam areal hutan yang dimilikinya ;

20 (3) Besarnya tarif PSDH harus mengacu pada tarif yang ditetapkan Menteri Kehutanan untuk mencegah penyamarataan pembayaran tarif bagi penebangan jenis pohon yang berbeda khususnya pohon yang dilarang; (4) Pemerintahan setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi jenis kayu yang ditebang dari areal HPH. (1) Meneliti apakah dalam ijin HPH yang diberikan ditetapkan dengan tegas potensi hutan menurut jenis-jenis kayu yang ada dalam areal HPH ; (2) Membandingkan jenis kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP) dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ; (3) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya pelaporan jenis kayu yang ditebang berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. 13) Pengusaha pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) hanya menggunakan haknya untuk memanfaatkan kayu tanpa memenuhi kewajibannya membuka lahan perkebunan maupun hutan tanaman industri, sehingga menimbulkan degradasi fungsi hutan. Hal ini terjadi karena adanya persekongkolan dengan oknum pejabat terkait. (1) Pemberian ijin (IPK) harus selektif, dalam hal ini hanya kepada pengusaha yang mampu melaksanakan kewajibannya ; (2) Adanya ketentuan mengenai sanksi administrasi dan keuangan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha pemegang IPK; (3) Pengawasan yang ketat atas pelaksanaan IPK untuk mengindari adanya penyalahgunaan peruntukan IPK. (1) Meneliti apakah IPK telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya ; (2) Melakukan pengujian apakah pengawasan terhadap pelaksanaan IPK telah berjalan dengan baik sehingga dapat mengurangi adanya penyalahgunaan peruntukan IPK; (3) Meneliti laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait atas pelaksanaan IPK ; (4) Membandingkan realisasi penebangan dengan realisasi penanaman HTI atau perkebunan ; (5) Pemeriksaan fisik ke lapangan untuk meyakinkan kebenaran pelaksanaan IPK. 2. Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Umum 1) Praktek-praktek pertambangan ilegal (PETI)/ pertambangan timah liar/tambang inkonvensional (TI) yang dilindungi Perda yang jelas-jelas bermasalah dengan pertambangan dan juga ekspor timah dalam bentuk biji yang dilakukan oleh PETI/TI, menyebabkan kerugian yang tidak hanya terbatas pada nilai material/finansial namun juga terhadap kondisi pertambangan timah yang akan hancur di kemudian hari dan kerusakan lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1105, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Good Public Governance. Penyelenggaraan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 2 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 2 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 2 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BOGOR DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG POLA INDUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTAHANAN. INPRES. Korupsi. Monitoring. Percepatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTAHANAN. INPRES. Korupsi. Monitoring. Percepatan. No.16, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTAHANAN. INPRES. Korupsi. Monitoring. Percepatan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 22 TAHUN 2011

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 22 TAHUN 2011 WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR Menimbang

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN APBN/APBD

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN APBN/APBD REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN APBN/APBD BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Lebih terperinci

BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA A. KONDISI UMUM Hingga tahun 2004, berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Upaya-upaya ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan memiliki fungsi sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Lebih terperinci

Arsip Nasional Republik Indonesia

Arsip Nasional Republik Indonesia Arsip Nasional Republik Indonesia LEMBAR PERSETUJUAN setujui. Substansi Prosedur Tetap tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat telah saya Disetujui di Jakarta pada tanggal Februari 2011 SEKRETARIS UTAMA,

Lebih terperinci

-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik

-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.248, 2016 BPKP. Pengaduan. Penanganan. Mekanisme. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG MEKANISME

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perencanaan Pemb

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perencanaan Pemb No.1572, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Piagam Pengawasan Intern. PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN WALIKOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN WALIKOTA SAMARINDA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERNAL DENGAN RAHMAT YANG MAHA ESA WALIKOTA SAMARINDA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa air permukaan mempunyai peran

Lebih terperinci

BUPATI GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 504 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GARUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang No.1494, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAG. Pengawasan Internal. Pencabutan. PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN INTERNAL PADA KEMENTERIAN AGAMA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.955, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Pedoman. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

Lebih terperinci

BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUBANG, Menimbang : a. bahwa tenaga listrik sangat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN

Lebih terperinci

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg No.1748, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DKPP. Kode Etik dan Pedoman Perilaku. PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK DAN

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM BAB III PEMBANGUNAN HUKUM A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang kedua, yaitu mewujudkan supremasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN II: Draft VIII Tgl.17-02-2005 Tgl.25-1-2005 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan atau organisasi.

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) KABUPATEN SITUBONDO 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI LEBAK,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI LEBAK, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 522 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI TANGGAL : 12 SEPTEMBER 2011 NOMOR : 16 TAHUN 2011 TENTANG : PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.576, 2015 BKPM. Benturan Kepentingan. Pengendalian. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

Setyanta Nugraha Inspektur Utama Sekretariat Jenderal DPR RI. Irtama

Setyanta Nugraha Inspektur Utama Sekretariat Jenderal DPR RI. Irtama Setyanta Nugraha Inspektur Utama Sekretariat Jenderal DPR RI Irtama 2016 1 Irtama 2016 2 SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PIAGAM AUDIT INTERN 1. Pengawasan internal adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9 /Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2011

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1198, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Pengaduan Masyarakayt. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Badan Pengawasan, Dr. H.M. SYARIFUDDIN, SH., MH.

KATA PENGANTAR. Kepala Badan Pengawasan, Dr. H.M. SYARIFUDDIN, SH., MH. KATA PENGANTAR Penyusunan Renstra (Rencana Strategis) Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Tahun 200 204, dimaksudkan guna mencapai tujuan dan sasaran strategis dalam rangka pencapaian visi dan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya good governance di Indonesia semakin meningkat. Tuntutan ini memang wajar, karena terjadinya krisis

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 46 2016 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERNAL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind No.68, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Bidang Kehutanan. 9PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9/Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN sampai dengan Desember peneliti untuk melakukan pengumpulan data.

BAB III METODE PENELITIAN sampai dengan Desember peneliti untuk melakukan pengumpulan data. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitan : Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Desember 2010. 2. Tempat Penelitian : Penelitian ini

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa air tanah merupakan salah satu

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.263, 2015 LIPI. Pegawai. Kode Etik. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

SALINAN NO : 14 / LD/2009

SALINAN NO : 14 / LD/2009 SALINAN NO : 14 / LD/2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 SERI : D.8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M No.73, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Penyelenggaraan. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN Menimbang : PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011

BERITA DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 BERITA DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SUMENEP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : : BUPATI SUMENEP

Lebih terperinci

BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA A. KONDISI UMUM Hingga tahun 2004, berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kepastian hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 27 Tahun : 2015

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 27 Tahun : 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 27 Tahun : 2015 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN SISTEM PENANGANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARRU, Menimbang : a. bahwa pemerintah

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK AUDITOR DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

Negara Republik Indonesia Nomor 4355); BUPATI MUSI BANYUASIN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR :2g TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

BAB III TUGAS POKOK DINAS Pasal 5 Dinas mempunyai tugas membantu Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup yang menjadi

BAB III TUGAS POKOK DINAS Pasal 5 Dinas mempunyai tugas membantu Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup yang menjadi GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 88 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS

PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS, Menimbang : a.

Lebih terperinci

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH I N F O S O S I A L E K O N O M I Vol. 2 No.1 (2001) pp. 45 54 SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Triyono Puspitojati RINGKASAN Sistem pemantauan produksi dan peredaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1123, 2014 KEMEN KP. Pengawasan. Intern. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PERMEN-KP/2014 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS, TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH. menetapkann. Sistem

BUPATI BANYUMAS, TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH. menetapkann. Sistem BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DENGAN N RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.737, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengawasan. Pelaksanaan. Tata Cara Tetap. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 91 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA TETAP

Lebih terperinci

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I No.2023, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN LHK. Pelimpahan. Urusan. Pemerintahan. (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan. Tahun 2015 Kepada 34 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN DAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB 14 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN

BAB 14 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN BAB 14 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK Bagian Organisasi - 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

RENCANA STRATEGIS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN RENCANA STRATEGIS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 2006-2010 Sambutan Ketua BPK Pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kegiatan yang akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa

Lebih terperinci

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 32/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN, SISTEM DAN PROSEDUR PENGAWASAN DALAM PENERAPAN STANDAR AUDIT DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci