Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian"

Transkripsi

1 Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

2 Penggunaan Model WRF-Fire Untuk Analisa Sebaran Api Kebakaran Hutan (Studi Kasus Kalimantan Tengah) NASMI Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung ABSTRAK Kebakaran hutan merupakan faktor utama penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Untuk mengelola pencegahan perluasan dari dampak penjalaran kebakaran hutan diperlukan model yang dapat memprediksi sebaran api dari kebakaran hutan. Salah satu model yang dapat digunakan untuk melihat prilaku dari sebaran api kebakaran hutan yaitu WRF-Fire. Penilitian ini dilakukan untuk melihat sebaran api kebakaran hutan Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah pada 3 Oktober Konfigurasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu domain 1 dengan resolusi 1km x 1km dan domain 2 200m x 200m. Sedangkan untuk inputan data meteorologi digunakan data Global Forecast System (GFS) dari National Center for Environment Protection (NCEP), data topografi dari Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan data tutupan lahan Global Land Cover Hasil model WRF-Fire menunjukkan sebaran api kebakaran hutan Kalimantan Tengah pada 3 Oktober 2006 cenderung menjalar ke arah barat laut pada 6 jam pertama dan ke arah utara pada 6 jam berikutnya. Namun jika dibandingkan dengan data bekas kebakaran hutan hasil olahan citra satelit Terra/Aqua MODIS adanya perbedaan luasan lahan yang terbakar hasil model WRF-Fire dengan data lapangan. Hal ini terjadi karena kecepatan angin hasil model lebih besar dibandingkan dengan data observasi serta penggunaan fuel properties yang perlu dikaji lagi untuk wilayah Indonesia. Walaupun model WRF-Fire sudah baik dalam memodelkan sebaran api kebakaran hutan. Namun diperlukan waktu yang lama untuk menghasilkan hasil model dengan resource komputer yang ada. Sehingga model WRF-Fire masih belum baik jika digunakan sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan. Kata kunci : kebakaran hutan, sebaran api, WRF-Fire. 1. Pendahuluan Indonesia adalah salah satu negara beriklim tropis yang memiliki hutan yang luas. Hampir disetiap pulau di Indonesia memiliki hutan yang memiliki fungsi yang sangat vital bagi kehidupan. Hutan adalah suatu tempat dari ekosistem dan habitat-habitat bagi hewan, tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Banjir, tanah longsor, erosi, dan bencana alam lainnya merupakan dampak kecil atas kerusakan hutan. Selain faktor diatas, kasus kebakaran menjadi faktor utama dari penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Dari tahun ke tahun kasus kebakaran di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan hasil pantauan hotspot Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan tercatat pada tahun lalu terdapat titik kebakaran hutan di Indonesia hanya dalam kurun waktu 9 bulan ( Januari - September 2012). Angka ini mengalami peningkatan sebesar 26,7% dari tahun lalu yang mencapai titik dalam kurun waktu yang sama. Dan total luas hutan yang terbakar mencapai hektar. Total 92% kebakaran terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Dan 8% terjadi di Jawa dan Bali. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar pengaruhnya terhadap kehidupan jutaan orang dan menyebabkan kerusakan besar setiap tahunnya mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Oleh karena itu tools yang baik untuk memodelkan prilaku dari kebakaran hutan sangatlah penting untuk mengelola dalam pencegahan kebakaran, perencanaan pengontrolan kebakaran untuk mengurangi perluasan dari dampak kebakaran itu sendiri serta untuk membantu dalam menaksir kerugian bahaya kebakaran. Untuk memodelkan sebaran api dari kebakaran kita dapat menggunakan model prediksi cuaca, salah satunya yaitu WRF-Fire atau yang dikenal dengan SFIRE. WRF-Fire merupakan kombinasi model Weather Research Forecasting (WRF) dengan ARW dynamical core (Skamarock, et al., 2008 dalam Mandel, Beezley, & Kochanski, 2011) dengan model sebaran api semi-empiris. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan prediksi yang lebih cepat mengenai sebaran api dari kebakaran hutan. Di Indonesia sendiri masih belum adanya penelitian yang membahas akan penggunaan model WRF-Fire untuk simulasi sebaran api kebakaran hutan. Pada penilitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh Dobrinkova (2010) model WRF-Fire digunakan sebagai test case untuk kebakaran di area Harmanli, Bulagaria pada tanggal 14 Agustus Selain itu juga digunakan oleh Peace dan Mills (2012), 1

3 model WRF-Fire yang digunakan untuk mensimulasikan kebakaran hutan di Pulau Kangaroo, Australia Desember Dalam tugas akhir ini model WRF-Fire akan digunakan untuk melihat sebaran api kebakaran hutan yang terjadi di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah pada 3 Oktober Sehingga dari tugas akhir ini diharapakan model WRF-Fire dapat diterapkan di Indonesia sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan yang nantinya dapat digunakan sebagai pengontrolan kebakaran hutan di Indonesia. 2. Data dan Metodologi Penelitian Dalam tugas akhir ini digunakan empat jenis data yaitu data Global Forecast System (GFS) sebagai inputan data atmospheric, data Global Land Cover 2000 sebgai inputan data fuel category, data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) sebagai inputan data ketinggian dan sebagai data verifikasi digunakan data observasi stasiun meteorologi Palangkaraya serta data bekas kebakaran olahan citra satelit Terra/Aqua MODIS yang sudah dilakukan oleh LAPAN. Metodologi dalam penelitian ini terdiri dari dua langkah yaitu prediksi sebaran api kebakaran hutan dan verifikasi hasil model Prediksi Sebaran Api Berikut adalah langkah-langkah untuk menjalankan model WRF-Fire. Diantaranya terdiri dari : Konversi data Sebelum digunakan sebagai data inputan dalam menjalankan model WRF-Fire. Data Global Land Cover 2000 dan data SRTM perlu dilakukan konversi dari geotiff menjadi format geogrid karena data yang tersedia masih dalam format geotiff. Terdapat dua cara untuk melakukan konversi data yaitu pertama melakukan instalasi WPS yang support akan data geotiff dan yang kedua melakukan konversi data langsung menjadi format geogrid dengan menggunakan converter convert_geotiff.x. Penjelasan lebih lanjut mengenai konversi data dapat dilihat di for_geogrid. pada tugas akhir ini menggunakan metode yang kedua Menentukan Lokasi Kajian Untuk dapat melakukan simulasi sebaran api kebakaran hutan diperlukan informasi mengenai koordinat lokasi kejadian. Dalam hal ini diperlukan perkiraan koordinat awal (fire ignition start) terjadinya kebakaran Menjalankan Model WRF-Fire Melakukan simulasi dengan model WRF-Fire memiliki kemiripan dengan model WRF yaitu WRF Processing System (WPS) dan WRF-Var. Dalam penelitian ini model WRF-Fire menggunakan data GFS 3 cycle pada tanggal 3 Oktober 2006 sebagai inputan data meteorologi. Sebelum menjalankan model WRF-Fire harus dilakukan konfigurasi terlebih dahulu diantaranya downscaling dan parameterisasi. Karena keterbatasan dalam resource cluster yang dimiliki maka downscaling yang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu dengan resolusi domain pertama sebesar 1 km dan domain kedua sebesar 200 m. Gambar 2-1. Domain daerah kajian. Angka 1 menunjukkan domain 1 dengan resolusi 1km x 1km. Angka 2 menunjukkan domain 2 dengan resolusi 200 m x 200 m. Sedangkan penentuan parameterisasi model yang digunakan dalam menjalankan model WRF-Fire yaitu parameterisasi microphysics, cumulus dan planetary boundary layer. Skema parameterisasi yang digunakan adalah skema parameterisasi default dari WRF-Fire dalam penelitian ini bukan untuk melihat pengaruh atau sensitivitas parameterisasi WRF-Fire terhadap hasil prediksi. Skema parameterisasi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2-1. Tabel 2-1. Konfigurasi parameterisasi model WRF-Fire Jenis Parameterisasi Nama Parameterisasi Kumulus Skema New Kain-Fritsch Mikrofisis Skema Purdue Lin Planetary Boundary Layer Skema MRF 2.2. Verifikasi Hasil keluaran ouput WRF-Fire selanjutnya dilakukan verifikasi yaitu verifikasi data medan angin keluaran model WRF-Fire dan verifikasi sebaran api kebakaran hutan. Verifkasi medan angin dilakukan dengan melihat korelasi dan menghitung RMSE data kecepatan angin keluaran WRF-Fire dengan data observasi dari Stasiun Meteorologi Palangkaraya, Kalimantan Tengah serta membandingkan arah angin dari kedua data dengan melakukan plot windrose. Sedangkan verifikasi sebaran api dilakukan dengan melakukan overlay sebaran api hasil model WRF-Fire dengan data bekas kebakaran hasil olahan citra satelit 2

4 Terra/Aqua MODIS yang sudah dilakukan oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Verifikasi Medan Angin Parameter meteorologi yang penting dalam menentukan sebaran api dari kebakaran hutan yaitu medan angin. Angin menentukan arah dan menjalarnya api dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya api (Suratmo, 1985 dalam Adinugroho). Sehingga perlunya verifikasi medan angin keluaran model WRF-Fire terlebih dahulu untuk melihat seberapa baik hasil keluaran model. Verifikasi hasil prediksi kecepatan angin dari WRF-Fire akan dilakukan dengan perhitungan korelasi dan RMSE dari data observasi. Sedangkan untuk arah angin akan digunakan analisa kualitatif plot windrose dari kedua data. prediksi pada waktu tesebut kemungkinan penyebab analisa secara kuantitatif hasil prediksi terhadap data observasi menjadi kurang baik. Gambar 3-2. Perbandingan kecepatan angin hasil keluaran model WRF-Fire dengan kecepatan angin hasil observasi dari stasiun Meteorologi Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tanggal 3 Oktober Selanjutnya dilakukan verifikasi arah angin hasil prediksi dengan data observasi dengan menggunakan plot windrose untuk melihat arah angin dari kedua data. Karena arah angin merupakan faktor penting meteorologi yang mempengaruhi arah sebaran api dari kebakaran hutan. Gambar 3-1. Diagram hasil perhitungan koefisien korelasi dan RMSE data medan angin model WRF-Fire dengan data observasi pada tanggal 3 Oktober Pada gambar 3-1 menunjukkan hasil perhitungan korelasi dan RMSE di daerah kajian. Dapat dilihat bahwa secara kuantitatif angin hasil prediksi model WRF-Fire kurang baik jika dibandingkan dengan data observasi. Di mana nilai korelasi dari kedua data yang sangat kecil yaitu berkisar Rendahnya nilai koefisien korelasi ini disebakan karena data observasi yang digunakan berada jauh dari titik awal kebakaran. Hal ini dikarenakan tidak adanya stasiun meteorologi yang ada di sekitar wilayah kajian. Analisis selanjutnya untuk melihat sudah baik atau tidaknya angin hasil prediksi maka dilakukan analisis secara kualitatif. Dalam hal ini melihat perbandingan grafik hasil prediksi dengan data observasi selama 12 jam. Dari Gambar 3-2 terlihat bahwa prediksi kecepatan angin hasil model WRF- Fire menunjukkan hasil over estimasi pada jam 7-12 dan under estimate pada jam 3-6. Terdapat perbedaan fasa pada jam-jam tertentu yaitu pada jam 7 dan 8. Di mana pada jam tersebut data observasi menunjukkan tidak adanya angin pada daerah kajian sedangkan hasil prediksi menunjukkan adanya angin dengan kisaran kecepatan 3 m/s dan 7 m/s. Sehingga perbedaan hasil Gambar 3-3a. windrose model WRF-Fire Gambar 3-3b. windrose data observasi 3

5 Perbandingan kedua gambar pada Gambar 3-3 menunjukkan bahwa arah angin hasil prediksi model WRF-Fire memiliki kemiripan dengan arah angin observasi. Di mana kedua data tersebut menunjukkan bahwa pada saat simulasi dilakukan yaitu tanggal 3 Oktober 2006 arah angin menuju ke barat laut dan utara. Secara keseluruhan dari analisis kualitatif dan kuantitatif medan angin hasil prediksi dengan data observasi dapat disimpulkan bahwa arah angin hasil keluaran WRF-Fire sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Di mana terdapat kesamaan fasa arah angin dari kedua data. Namun data kecepatan angin masih menunjukkan hasil yang belum baik. Di mana kecepatan angin hasil model WRF-Fire menghasilkan data kecepatan angin yang belum sefasa dengan data observasi. Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa medan angin hasil prediksi model WRF-Fire yang sudah cukup mempresentasikan keadaan sebenarnya yaitu arah angin hasil prediksi model WRF-Fire pada tanggal 3 Oktober 2006 sedangkan kecepatan angin masih menunjukkan hasil yang belum baik Hasil Simulasi WRF-Fire Sebaran Api Kebakran Hutan Hasil model WRF-Fire berupa sebaran api kebakaran hutan dan luasan lahan yang terbakar (burn area). Dari hasil simulasi sebaran api kebakaran hutan dengan menggunakan model WRF-Fire terdapat dua arah sebaran api yang menyebar, yaitu pada 6 jam pertama api cenderung menyebar ke arah barat laut dan setelah 6 jam pertama tepatnya pada 6 jam selanjutnya api cenderung menyebar ke arah utara. Sebaran api pada kebakaran hutan dapat dilihat pada Gambar 3-4. Gambar 3-4a. Sebaran api pada 6 jam pertama Gambar 3-4b. Sebaran api pada 6 jam berikutnya Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya pengaruh angin yang besar dalam sebaran api pada kebakaran hutan di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah. Dimana arah angin keluaran model WRF-Fire yang terjadi pada saat kebakaran menunjukkan pola yang sama dengan arah sebaran api yaitu arah barat laut dan utara. Pada Gambar 3-3 terlihat bahwa pada 6 jam pertama arah angin menuju ke arah barat laut sedangkan pada 6 jam berikutnya arah angin dominan menuju ke arah utara walaupun pada gambar terlihat adanya angin dengan skala kecil menuju kearah selatan. Tetapi angin dominan tetap menuju kearah utara Luasan Lahan yan Terbakar Selanjutnya Sebaran api hasil keluaran model dibandingkan dengan data bekas kebakaran hutan hasil olahan citra satelit penginderaan jauh Terra/Aqua MODIS pada tanggal Oktober 2006 November Dari Gambar 3-5 terlihat bahwa wilayah sebaran api hasil keluaran model menunjukkan hasil yang over estimate jika dibandingkan dengan data bekas kebakaran. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan over estimasi mengenai penjalaran kebakran hutan hasil model WRF-Fire, diantaranya : Faktor kecepatan angin, dari hasil analisis kecepatan angin yang sudah dijelaskan diatas menunjukkan bahwa kecepatan angin hasil model WRF-Fire menghasilkan data yang kurang baik sehingga hal ini berpengaruh dengan kecepatan penjalaran kebakaran. Dari Gambar 3-2 mengenai perbandingan data kecepatan angin model WRF-Fire dengan data observasi menunjukkan bahwa hasil model WRF-Fire cenderung over estimasi dibandingkan dengan data observasi pada jam ke-6 hingga jam ke-12. Di mana tiupan angin yang lebih besar akan memperbesar kecepatan perambatan kebakaran. Belum adanya kajian yang membahas mengenai fuel properties yang cocok di gunakan untuk wilayah Indonesia. Di mana perbedaan nilai 4

6 untuk masing-masing fuel properties akan mempengaruhi kecepatan penjalaran kebakaran. Tidak adanya informasi mengenai lamanya kebakaran yang terjadi di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah. hutan. Dari grafik menunjukkan bahwa pada jam 2-5 terjadinya penurunan pada kecepatan angin dimana perubahan luas kebakaran juga kecil, begitu pula pada jam 6-8 terjadi peningkatan kecepatan angin di mana perubahan luas kebakaran juga mengalami peningkatan. Dari perbandingan kecepatan angin dan perubahan luasan kebakaran hutan menunjukkan bahwa angin memiliki korelasi postif dengan luas kebakaran. Di mana kecepatan perkembangan api akan meningkat seiring semakin besarnya tiupan angin. Gambar 3-7a. Kecepatan angin 3 Oktober 2006 Gambar 3-5. Overlay luasan kebakran hasil model WRF- Fire tanggal 3 Oktober 2006 dengan data lapangan LAPAN. Dari hasil sebaran api kebakaran hutan model WRF-Fire selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi luasan lahan yang terbakar. Perhitungan estimasi dilakukan dengan menjumlahkan semua grid yang terdapat pada fire area. Dimana hasil perhitungan tersebut sudah terdapat dalam log file dari model WRF-Fire. Gambar 3-6. Estimasi perhitungan luasan lahan yang terbakar Pengaruh Angin terhadap Luas Kebakaran Gambar 3-7 menunjukkan perbandingan plot kecepatan angin dengan perubahan luas kebakaran Gambar 3-7b. Perubahan luasan kebakaran 3.4. Analisis Waktu Runnig Model Kecepatan waktu running sangatlah diperlukan karena dengan model yang dapat menghasilkan hasil lebih cepat dapat digunakan sebagai prediksi. Adapun spesifikasi dari komputer yang digunakan dalam penilitian ini dapat dilihat pada Tabel 3-1 Tabel 3-1. Spesifikasi sumber komputer Spesifikasi Operating System Processor Model Linux OpenSUSE 11.7 Intel(R) Xeon(R) CPU 2.13GHz Total CPU 2 Total Core per 4 CPU RAM kb Sumber : (Putri, 2012 dalam tugas akhirnya yang berjudul Pengaruh Inisialisasi Pada Simulasi Cam3 Studi Kasus Monsun Break Januari 2007) 5

7 Untuk menjalankan model WRF-Fire dalam analisa sebaran api kebakaran hutan selama 12 jam diperlukan waktu sekitar menit (168 jam). Sehingga dengan melihat waktu running yang lama dan diperlukannya spesifikasi komputer yang bagus untuk menghasilkan suatu prediksi. Sehingga untuk saat ini model WRF-Fire belum cukup baik dijadikan sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil simulasi sebaran api kebakaran hutan dengan menggunakan model WRF- Fire di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : a) WRF-Fire dapat digunakan untuk simulasi sebaran api keabakaran hutan. Namun, hasil model yang dihasilkan dari penelitian ini masih belum baik karena penggunaan konfigurasi domain 1 dengan resolusi 1 km x 1 km yang dapat mempengaruhi hasil model menjadi kurang baik. b) Karena keterbatasan resource komputer yang dimiliki model WRF-Fire belum bisa digunakan sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan karena memerlukan waktu yang lama untuk dapat menghasilkan hasil prediksi. J, M., J.D, B., & A.K, K. (2010). Dipetik 2013, dari FIRE_model_user%27s_guide. Mandel, J., Beezley, J. D., & Kochanski, A. K. (2011). Coupled armosphere-wildland fire modeling with WRF-Fire. Putri, N. S. (2012). Pengaruh Inisialisasi pada Simulasi CAM3 Studi Kasus Monsun Break Januari Bandung: Program Studi Meteorologi - Institut Teknologi Bandung. Putro, H. E. (2009). Simulasi Penyebaran Asap Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Model Kualitas Udara Community Mesoscale Air Quality (CMAQ). Bandung: Program Studi Meteorologi - Institut Teknologi Bandung. Suwarsono, Roswintiarti, O., & Noviar, H. (Desember 2008). Analisis daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006 menggunakan data satelit penginderaan jauh Terra/Aqua MODIS. Bandung: Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia ke-17 (PIT MAPIN XVII). c) Berdasarkan simulasi yang dilakukan sebaran api dengan model WRF-Fire menunjukkan bahwa sebaran api pada kebakaran hutan di Taman Nasional Sabangau 3 Oktober 2006 cenderung ke arah barat laut. REFRENSI Adinugroho, W. C. Bagaimana Kebakaran Hutan Terjadi? Anderson, H. E. (1982). Aids to Determining Fuel Models For Estimating Fire Behavior. Coen, J. L., Cameron, M., Michalakes, J., Patton, E. G., Riggan, P. J., & Yedinak, K. M. (2012). WRF- Fire: Coupled Weather Wildland Fire Modeling with the Weather Research. Applied meteorology and climatology, Coen, J. (2011). WRF Users' Tutorial. Coen, J., & Clark, T. (2010). WRF-Fire User s Guide. Dobrinkova, N., & Jordanov, G. (2010). WRF-Fire wildfire modeling in the test area of Harmanli,. VI International Conference on Forest Fire Research. Bulagaria. 6

ANALISIS DAN SIMULASI SEBARAN API KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN WRF-FIRE

ANALISIS DAN SIMULASI SEBARAN API KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN WRF-FIRE ANALISIS DAN SIMULASI SEBARAN API KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN WRF-FIRE (Studi Kasus Kebakaran Hutan Sumatera Selatan 12 September 2014) Maulana Syarif, Jakarta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

SIMULASI CUACA DAERAH PADANG

SIMULASI CUACA DAERAH PADANG SIMULASI CUACA DAERAH PADANG Dadang Subarna Peneliti Bidang Pemodelan Iklim, LAPAN E-mail:dangsub@yahoo.com Simulasi Cuaca Daerah Padang (Dadang Subarna) RINGKASAN Daerah Padang dan sekitarnya merupakan

Lebih terperinci

PROYEKSI MODEL WRF-CHEM TERKAIT KUALITAS UDARA DAN KONDISI ATMOSFER DI SUMATERA BARAT (STUDI KASUS PADANG TANGGAL 7-9 MEI 2013)

PROYEKSI MODEL WRF-CHEM TERKAIT KUALITAS UDARA DAN KONDISI ATMOSFER DI SUMATERA BARAT (STUDI KASUS PADANG TANGGAL 7-9 MEI 2013) PROYEKSI MODEL WRF-CHEM TERKAIT KUALITAS UDARA DAN KONDISI ATMOSFER DI SUMATERA BARAT (STUDI KASUS PADANG TANGGAL 7-9 MEI 2013) Ramadhan Nurpambudi (1) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (1) e-mail

Lebih terperinci

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS M. Rokhis Khomarudin 1, Orta Roswintiarti 1, dan Arum Tjahjaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan

Lebih terperinci

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015)

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015) SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015) Rahma Fauzia Y *, Hariadi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

UJI SKEMA PARAMETERISASI CUMULUS PADA MODEL WRF-ARW UNTUK PRAKIRAAN HUJAN HARIAN DI SULAWESI TENGGARA

UJI SKEMA PARAMETERISASI CUMULUS PADA MODEL WRF-ARW UNTUK PRAKIRAAN HUJAN HARIAN DI SULAWESI TENGGARA UJI SKEMA PARAMETERISASI CUMULUS PADA MODEL WRF-ARW UNTUK PRAKIRAAN HUJAN HARIAN DI SULAWESI TENGGARA Rino Indra Natsir¹, Syamsul Huda² Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika email : inonk.jogugu@gmail.com

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam penelitian ini digunakan setidaknya 4 jenis data, yaitu data GFS (Global Forecast System) dari NCEP (National Center for Environment Prediction) sebagai initial

Lebih terperinci

PREDIKSI AWAN CUMULONIMBUS MENGGUNAKAN INDEKS STABILITAS KELUARAN MODEL WRF ARW DI BIMA

PREDIKSI AWAN CUMULONIMBUS MENGGUNAKAN INDEKS STABILITAS KELUARAN MODEL WRF ARW DI BIMA PREDIKSI AWAN CUMULONIMBUS MENGGUNAKAN INDEKS STABILITAS KELUARAN MODEL WRF ARW DI BIMA Puteri Permata Sani 1, Heri Ismanto 2 1, Jakarta 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Email : puteri.permata@bmkg.go.id

Lebih terperinci

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE Eusebio Andronikos Sampe, Achmad Zakir Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

SIMULASI PERUBAHAN DISTRIBUSI PULAU PANAS PERKOTAAN DARI PERUBAHAN PENUTUP LAHAN DENGAN MM5 (MESOSCALE MODEL VERSI 5) *

SIMULASI PERUBAHAN DISTRIBUSI PULAU PANAS PERKOTAAN DARI PERUBAHAN PENUTUP LAHAN DENGAN MM5 (MESOSCALE MODEL VERSI 5) * SIMULASI PERUBAHAN DISTRIBUSI PULAU PANAS PERKOTAAN DARI PERUBAHAN PENUTUP LAHAN DENGAN MM5 (MESOSCALE MODEL VERSI 5) * Laras Tursilowati, ** I Dewa Gedhe Agung Junnaedhi * Pusfatsatklim, Lapan, Bandung

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

PREDIKSI SEBARAN ASAP KEBAKARAN HUTAN/LAHAN MENGGUNAKAN WRF/CHEM (Studi Kasus: Tanggal 14 dan 20 Juni 2012, Pekanbaru-Riau)

PREDIKSI SEBARAN ASAP KEBAKARAN HUTAN/LAHAN MENGGUNAKAN WRF/CHEM (Studi Kasus: Tanggal 14 dan 20 Juni 2012, Pekanbaru-Riau) PREDIKSI SEBARAN ASAP KEBAKARAN HUTAN/LAHAN MENGGUNAKAN WRF/CHEM (Studi Kasus: Tanggal 14 dan 20 Juni 2012, Pekanbaru-Riau) PREDICTION OF FOREST/LAND FIRE SMOKE DISTRIBUTION USING WRF/CHEM (Case Study:

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif Bab IV Hasil dan Analisis IV.1 Pola Konveksi Diurnal IV.1.1 Pengamatan Data OLR Pengolahan data OLR untuk periode September 2005 Agustus 2006 menggambarkan perbedaan distribusi tutupan awan. Pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data dan Daerah Penelitian 3.1.1 Data Input model REMO dapat diambil dari hasil keluaran model iklim global atau hasil reanalisa global. Dalam penelitian ini data input

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai potensi yang kini gangguannya semakin meluas. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguannya. Dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan dikenal sebagai negara maritim tropis, memiliki banyak sekali keunikan. Dalam hal cuaca misalnya, awan konvektif

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

PEMBAHASAN ... (3) RMSE = 7 kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan model dapat dilihat dari beberapa parameter, antara lain : Koefisien korelasi Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan

Lebih terperinci

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI JAKARTA

PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI JAKARTA PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI JAKARTA Roni Kurniawan, Donaldi Sukma Permana Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. VI, No. 2 (2018), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. VI, No. 2 (2018), Hal ISSN : Pemodelan Penyebaran Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Mempawah Menggunakan Metode Cellular Automata Maria Sofiani a, Joko Sampurno a *, Apriansyah b a Prodi Fisika, FMIPA Universitas Tanjungpura,

Lebih terperinci

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Kepala LAPAN Manfaat data satelit penginderaan jauh Perolehan

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 80 BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 5.1 Tinjauan Umum Bagian hilir muara Kali Silandak mengalami relokasi dan menjadi satu dengan Kali Jumbleng yang menyebabkan debit hilirnya menjadi lebih besar

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

Indonesia

Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang vital, serba guna dan bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan ada dua yaitu fungsi langsung yang dapat dinilai dengan uang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015)

IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015) Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS:

Lebih terperinci

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2012

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2012 ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP KONDISI CUACA EKSTREM E 4 Wido Hanggoro Danang Eko Nuryanto Sri Noviati Utoyo Ajie Linarka Hastuadi Harsa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MODEL WRF-ARW UNTUK VERIFIKASI HUJAN HARIAN DI WILAYAH MAKASSAR

PEMANFAATAN MODEL WRF-ARW UNTUK VERIFIKASI HUJAN HARIAN DI WILAYAH MAKASSAR PEMANFAATAN MODEL WRF-ARW UNTUK VERIFIKASI HUJAN HARIAN DI WILAYAH MAKASSAR Meiske Caesaria Soemarno 1), Bagus Pramujo 2), Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) 1), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN LUARAN MODEL GLOBAL ATMOSFER CCAM

PERBANDINGAN LUARAN MODEL GLOBAL ATMOSFER CCAM PERBANDINGAN LUARAN MODEL GLOBAL ATMOSFER CCAM dan GFS di wilayah INDONESIA DAN SEKITARNYA Donaldi Sukma Permana Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jln.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) merupakan bagian dari Provinsi Maluku yang sebagian besar terletak di Pulau Seram yang secara geografis terletak pada 1 19'-7 16'

Lebih terperinci

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017 Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

SENSITIVITAS MODEL WRF-EMS DALAM MEMPREDIKSI KEJADIAN HUJAN PADA MUSIM BASAH DAN KERING DI SUMATERA BARAT DERRI HARYONI FEBRI

SENSITIVITAS MODEL WRF-EMS DALAM MEMPREDIKSI KEJADIAN HUJAN PADA MUSIM BASAH DAN KERING DI SUMATERA BARAT DERRI HARYONI FEBRI SENSITIVITAS MODEL WRF-EMS DALAM MEMPREDIKSI KEJADIAN HUJAN PADA MUSIM BASAH DAN KERING DI SUMATERA BARAT DERRI HARYONI FEBRI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

VERIFIKASI MODEL ATMOSFER WILAYAH TERBATAS DALAM SIMULASI CURAH HUJAN

VERIFIKASI MODEL ATMOSFER WILAYAH TERBATAS DALAM SIMULASI CURAH HUJAN Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 VERIFIKASI MODEL ATMOSFER WILAYAH TERBATAS DALAM SIMULASI CURAH HUJAN Didi

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 18 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011 dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01 o 00'00" 07 o 50'07"

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1  ( ) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Informasi ramalan curah hujan sangat berguna bagi petani dalam mengantisipasi kemungkinan kejadian-kejadian ekstrim (kekeringan akibat El- Nino dan kebanjiran akibat

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta Menurut Caljouw et al. (2004) secara morfologi Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

STUDI ANGIN LAUT TERHADAP PENGARUH KONDISI CUACA DI WILAYAH POSO

STUDI ANGIN LAUT TERHADAP PENGARUH KONDISI CUACA DI WILAYAH POSO STUDI ANGIN LAUT TERHADAP PENGARUH KONDISI CUACA DI WILAYAH POSO Reslyna Abdullah 1, Ana Oktavia Setiowati 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan E-mail: reslynaabdullah11@gmailcom

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada saat ini pengguna informasi cuaca jangka pendek menuntut untuk memperoleh informasi cuaca secara cepat dan tepat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BKMG) telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU Arif Ismul Hadi, Suwarsono, dan Herliana Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu, Telp. (0736)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

1* 2 3. Eko Heriyanto, Lailan Syaufina dan Sobri Effendy. Puslitbang, BMKG 2. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB 3

1* 2 3. Eko Heriyanto, Lailan Syaufina dan Sobri Effendy. Puslitbang, BMKG 2. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB 3 PERBANDINGAN INDEKS FINE FUEL MOISTURE CODE (FFMC) DAN FIRE WEATHER INDEX (FWI) PADA SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN LUARAN WRF DENGAN OBSERVASI ( PERIODE: JUNI - AGUSTUS 2013) COMPARISON

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA 4 BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 Evaluasi Persamaan Rain Rate 4.1.1 Hasil Estimasi curah hujan untuk satu titik (Bandung) perjam diakumulasi selama 24 jam untuk memperoleh curah hujan harian, selama rentang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No.27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data batimetri, garis pantai dan data angin. Pada Tabel 3.1 dicantumkan mengenai data yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

Prediksi Curah Hujan Di Kota Pontianak Menggunakan Parameter Cuaca Sebagai Prediktor Pada Skala Bulanan, Dasarian Dan Harian Asri Rachmawati 1)*

Prediksi Curah Hujan Di Kota Pontianak Menggunakan Parameter Cuaca Sebagai Prediktor Pada Skala Bulanan, Dasarian Dan Harian Asri Rachmawati 1)* Prediksi Curah Hujan Di Kota Pontianak Menggunakan Parameter Cuaca Sebagai Prediktor Pada Skala Bulanan, Dasarian Dan Harian Asri Rachmawati 1)* 1)Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak Badan Meteorologi

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Pengumpulan Data Sebagaimana tercantum dalam diagram alir penelitian (Gambar 1.4), penelitian ini menggunakan data waveform Jason-2 sebagai data pokok dan citra Google Earth Pulau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI MODEL TUMPAHAN MINYAK (MoTuM) RISK ANALYSIS FLOWCHART Bagan Alir Analisis Resiko

BAB IV SIMULASI MODEL TUMPAHAN MINYAK (MoTuM) RISK ANALYSIS FLOWCHART Bagan Alir Analisis Resiko BAB IV SIMULASI MODEL TUMPAHAN MINYAK (MoTuM) 4.1. Metodologi Untuk mendapatkan hasil dari analisis resiko (risk analysis), maka digunakan simulasi model tumpahan minyak. Simulasi diperoleh melalui program

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Beberapa hasil pengolahan data simulasi model kopel akan ditampilkan dalam Bab IV ini, tetapi sebagian lainnya dimasukkan dalam lampiran A. IV.1 Distribusi Curah Hujan Berdasarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Dampak Perubahan Iklim

Dampak Perubahan Iklim Pemanasan Global, Perubahan Iklim, pencemaran lingkungan Bab Pemanasan III Dampak Global, Perubahan Perubahan Iklim Iklim, & pencemaran lingkungan Dampak Perubahan Iklim Menteri Negara Lingkungan Hidup

Lebih terperinci

Ir. Rubini Jusuf, MSi. Sukentyas Estuti Siwi, MSi. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Ir. Rubini Jusuf, MSi. Sukentyas Estuti Siwi, MSi. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Ir. Rubini Jusuf, MSi. Sukentyas Estuti Siwi, MSi. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring dan Pelaporan

Lebih terperinci

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tsunami Tsunami biasanya berhubungan dengan gempa bumi. Gempa bumi ini merupakan proses terjadinya getaran tanah yang merupakan akibat dari sebuah gelombang elastis yang menjalar

Lebih terperinci

Gambar 4.7. Diagram alir dari proses inversi.

Gambar 4.7. Diagram alir dari proses inversi. 4.3 Pemodelan Data yang digunakan dalam pemodelan adalah data anomali gayaberat 4D akibat perubahan fluida. Data dari titik pengukuran sangat sedikit untuk mencakup inversi daerah semarang yang luas, maka

Lebih terperinci

PEMBUATAN PETA KECEPATAN ANGIN UNTUK JAWA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK WEATHER RESEARCH AND FORECASTING

PEMBUATAN PETA KECEPATAN ANGIN UNTUK JAWA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK WEATHER RESEARCH AND FORECASTING Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137-150 ISSN 1978-2365 PEMBUATAN PETA KECEPATAN ANGIN UNTUK JAWA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK WEATHER RESEARCH AND FORECASTING

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian perlu dilakukan pemgumpulan data untuk diproses, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk analisis. Pengadaan data untuk memahami

Lebih terperinci

Dokumen Proof of Concept (POC) Tahun 2015 Peningkatan Utilitas Sistem Katalog BDPJN berbasis WebGIS untuk data resolusi rendah

Dokumen Proof of Concept (POC) Tahun 2015 Peningkatan Utilitas Sistem Katalog BDPJN berbasis WebGIS untuk data resolusi rendah Dokumen Proof of Concept (POC) Tahun 2015 Peningkatan Utilitas Sistem Katalog BDPJN berbasis WebGIS untuk data resolusi rendah 1. Pengantar Kapustekdata Pusat Teknologi dan Data (PUSTEKDATA) adalah salah

Lebih terperinci

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Iklim merupakan rata-rata dalam kurun waktu tertentu (standar internasional selama 30 tahun) dari kondisi udara (suhu,

Lebih terperinci

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa)

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) Martono Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Junjunan No 133 Bandung 40173 E-mail

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

UJI SENSITIVITAS MODEL WRF TERHADAP PRAKIRAAN HUJAN DI NIAS

UJI SENSITIVITAS MODEL WRF TERHADAP PRAKIRAAN HUJAN DI NIAS UJI SENSITIVITAS MODEL WRF TERHADAP PRAKIRAAN HUJAN DI NIAS Kisscha Christine Natalia Siagian 1, Taufiq Hidayah, M. Si 2 1, Jakarta 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Email: kisscha81@gmail.com

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP

Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP I. Pengantar Kapustekdata PROTOTYPE Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran strategis dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Pusat Teknologi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MODEL WEATHER RESEARCH AND FORECASTING ENVIRONMENTAL MODELLING SYSTEM (WRF-EMS) UNTUK MEMPREDIKSI HUJAN SRI MUSLIMAH

PEMANFAATAN MODEL WEATHER RESEARCH AND FORECASTING ENVIRONMENTAL MODELLING SYSTEM (WRF-EMS) UNTUK MEMPREDIKSI HUJAN SRI MUSLIMAH PEMANFAATAN MODEL WEATHER RESEARCH AND FORECASTING ENVIRONMENTAL MODELLING SYSTEM (WRF-EMS) UNTUK MEMPREDIKSI HUJAN SRI MUSLIMAH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PENYEBARAN POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DAN ISU PENCEMARAN UDARA DI MALAYSIA

PENYEBARAN POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DAN ISU PENCEMARAN UDARA DI MALAYSIA PENYEBARAN POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DAN ISU PENCEMARAN UDARA DI MALAYSIA Iis Sofiati Peneliti Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara, LAPAN Email: iis_sofiati@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Berbagai studi

Lebih terperinci