JENIS JAMUR MAKRO PADA TIGA KONDISI HUTAN YANG BERBEDA DI MALINAU RESEARCH FOREST (MRF) CIFOR KABUPATEN MALINAU KALIMANTAN TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JENIS JAMUR MAKRO PADA TIGA KONDISI HUTAN YANG BERBEDA DI MALINAU RESEARCH FOREST (MRF) CIFOR KABUPATEN MALINAU KALIMANTAN TIMUR"

Transkripsi

1 JENIS JAMUR MAKRO PADA TIGA KONDISI HUTAN YANG BERBEDA DI MALINAU RESEARCH FOREST (MRF) CIFOR KABUPATEN MALINAU KALIMANTAN TIMUR Srisusila 1 dan Sutedjo 2 1 Fakultas Pertanian Universitas Alkhairat, Palu. 2 Laboraorium Ekologi dan Dendrologi Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Mushrooms Diversity at Three Forests Types in Malinau Research Forest (MRF) Cifor, Malinau District, East Kalimantan. The purposes of this research were to identify mushrooms diversity in different conditions of MRF Cifor, i.e. in Reduced Impact Logging (RIL), Conventional (CNV) and Arable Farm (LDG), mushrooms distribution, dominant species, role of mushrooms whether they were edible, mycorrhizal or as parasite (pathogen) and saprophyte. The research resulted that in the three conditions of forests of MRF Cifor were found 270 species of mushrooms, where in the RIL plots, the number of mushrooms species were more than in CNV and LDG plots, they were 162, 152 and 42 species, respectively. The differences in species diversity were caused by differences condition of the habitats mainly microclimate. It was indicated that the more damage the forest the lower the diversity of mushrooms. The eveness of mushrooms species in the three habitats were not same, however there was different dominant species in each habitat. Between the mushrooms species, there were useful for human, such as row food, as medicine, usefull for plant as mycorrhizal and saprophyte mushrooms, but there were also the unknown use (useless) ones, since they were parasitic on higher plants. There were 14 species of edible mushrooms, i.e. Auricularia auricula, Auricularia sp.1, Auricularia sp.2, Hygroporosis aurantiaca, Marasmius sp.2, Panus conchatus, Panus sp.6, two species of Pleurotus, Polyporus sp.29, Sarcoscypha coccinea, Schizophyllum sp., Sparassis herbstii and Xylaria sp. The Auricularia spp. could also be used as drug. Thirty one species of mycorrhizal mushrooms found in the MRF Cifor were Amanita virosa, Amanita sp., two species of Boletus, Collybia sp., four species of Hygrocybe, Higroporus sp., three species of Laccaria, Lactarius uvidus, Lactarius helvius, two others Lactarius species, Lepista sp., three species of Lycoperdon, two species of Ramaria, four species of Rusulla, Scleroderma sp. and two species of Thelephora. The most mushrooms found in the MRF CIFOR were saprophytic, while the parasitic ones on the trees were three species of Ganoderma and one species of Hexagonia. Kata kunci: keanekaragaman, dominan, konsumsi, mikoriza, parasit, patogen. Indonesia merupakan salah satu daerah tropis di dunia yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, bahkan dikategorikan sebagai salah satu negara yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan termasuk sebagai salah satu dari tujuh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Fithria, 2003). Kalimantan menduduki tempat kedua setelah Irian Jaya dalam kekayaan jenis flora dan fauna, termasuk jamur (Anonim, 1999 a ). Jamur merupakan salah satu kekayaan hayati yang juga merupakan hasil hutan 98

2 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL non kayu yang kini memberi peluang ekonomi yang berarti bagi masyarakat. Jamur adalah salah satu keunikan yang memperkaya keanekaragaman jenis makhluk hidup dalam dunia tumbuhan. Sifatnya yang tidak berklorofil menjadikannya tergantung kepada makhluk hidup lain, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karena itu pulalah jamur memegang peranan penting dalam proses alam yaitu menjadi salah satu dekomposer sisa-sisa organisme (Suhardiman, 1990 dan Suriawiria, 2003). Selain itu beberapa di antara jenis-jenis jamur yang ada telah dimanfaatkan oleh manusia, baik sebagai bahan makanan maupun obat. Namun sebagai organisme yang menggantungkan hidupnya pada makhluk lain, jamur dapat bersifat parasit dan saprofit. Jenis-jenis jamur tersebut menggambarkan keanekaragaman hayati di dalam hutan yang keberadaannya perlu diketahui. Data keanekaragaman jenis jamur yang banyak ditemukan di berbagai tempat di Indonesia perlu dilengkapi dengan data keanekaragaman jenis jamur yang ada di kawasan Malinau Research Forest (MRF) Center of International Forestry Research (Cifor) yang terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur makro yang ada di hutan dengan kondisi yang berbeda, yaitu pada Petak Reduced Impact Logging (RIL), Petak Konvensional (CNV) dan Petak Ladang (LDG) di kawasan MRF Cifor, mengetahui penyebaran jenis-jenis jamur pada hutan yang kondisinya berbeda dan mengetahui jenis jamur yang paling dominan serta mengetahui jenis-jenis jamur yang dapat dimanfaatkan/dikonsumsi, yang bersimbiosis dengan pohon (jamur mikoriza), yang bersifat parasit pada pohon (jamur patogen) dan yang bersifat saprofit. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Malinau Research Forest (MRF) Cifor Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur dan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda. Waktu yang diperlukan untuk penelitian ini mencapai 5 bulan (awal Juni sampai pertengahan Oktober 2006) yang meliputi kegiatan orientasi lapangan, pembuatan plot, pengambilan data primer dan sekunder serta identifikasi jenis jamur di laboratorium. Sebagai objek penelitian adalah tubuh buah jamur yang ditemukan di lokasi penelitian. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapur barus/naphthalene, minyak tanah, kompas, meteran, parang, label plastic, kantong plastik, kamera digital, thermometer, hygrometer, Geographical Position System (GPS), penggaris, kompor minyak, oven dan mikroskop. Plot penelitian dibuat pada plot permanen (permanen sample plots) yang telah ada di MRF Cifor. Ukuran plot tersebut masing-masing adalah 100x100 m (1 ha) dan jumlahnya secara keseluruhan sebanyak 24 plot (24 ha). Plot permanen yang digunakan untuk penelitian adalah plot yang mempunyai kondisi hutan yang berbeda, yaitu plot yang mewakili keadaan hutan yang dikelola dengan sistem RIL sebanyak 9 plot, hutan yang dikelola dengan sistem CNV sebanyak 9 plot dan areal perladangan sebanyak 6 plot. Untuk mendapatkan data penelitian, maka dilakukan koleksi jamur secara sensus (100%) di dalam plot penelitian. Jamur yang diambil adalah yang bertubuh buah relatif besar (macro fungi/mushroom), yaitu yang tubuh

3 100 Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan buahnya (diameter tudung) berukuran minimal 0,5 cm, baik yang tumbuh di tanah, serasah, kayu mati maupun pohon hidup. Jamur yang terlalu kecil tubuh buahnya tidak diambil karena kesulitan dalam pengeringan dan identifikasi. Jamur-jamur yang telah ditemukan diberi label kemudian difoto lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibawa ke kamp (tempat tinggal sementara) untuk diidentifikasi. Data yang dicatat adalah jenis jamur yang ditemukan, jumlah jenis jamur, karakteristik jamur, substrat jamur, peranan jamur tersebut bagi makhluk hidup. Identifikasi jenis jamur dilakukan dengan melihat karakteristik dan substratnya kemudian dibandingkan dengan literatur. Karakteristik tubuh buah jamur dicatat dalam keadaan masih segar. Setelah dicatat, tubuh buah jamur dikeringkan di dalam oven yang dipanaskan dengan kompor minyak tanah selama beberapa menit atau jam sampai jamur benar-benar kering. Setelah kering kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi kapur barus/naphthalene agar terhindar dari kerusakan karena gangguan organisme lain. Untuk identifikasi jenis jamur dan menggolongkan jamur tersebut sebagai jamur yang dapat dikonsumsi manusia yakni sebagai bahan makanan atau obat, jamur mikoriza, jamur parasit ataupun saprofit, maka digunakan beberapa literatur, yakni: Largent (1973), Largent and Thiers (1973), Bigelow (1979), Pacioni (1981), Nonis (1982), Largent and Baroni (1988), Imazeki dkk. (1988), Webster (1988), Jülich (1988), Bresinsky and Besl (1990), Breitenbach and Kränzlin (1991), Læssøe and Lincoff (1998), Pace (1998). Selain data di atas, diambil pula data tentang kondisi lingkungan plot penelitian, yaitu suhu udara yang diambil dengan menggunakan thermometer dan kelembapan udara dengan hygrometer serta data pendukung seperti data kondisi geografis MRF yaitu data topografi dan kondisi iklim seperti tipe iklim, curah hujan, kelembapan dan suhu udara. Data-data tersebut diperoleh dari Stasiun Penelitian Hutan MRF Cifor Seturan, Malinau. Data diolah dengan menggunakan rumus-rumus berikut: Indeks dominasi jenis (C) dihitung menurut Simpson (1949) dalam Odum (1993): C = (ni 2 / N), yang mana ni = jumlah individu tiap jenis. N = jumlah individu seluruh jenis. Indeks keanekaragaman jenis (H) menurut Shannon-Wiener dalam Odum (1993): H = (pi log pi) dan pi = ni / N, yang mana pi = kelimpahan relatif setiap jenis. ni = jumlah individu tiap jenis jamur. N = jumlah individu seluruh jenis jamur. Indeks kekayaan jenis (Margalef indices) R dalam Ludwig and Reynolds (1998): R = {(S 1)} / Ln.N, yang mana S = jumlah jenis. N = jumlah individu seluruh jenis. Ln = logaritma natural. Indeks kemerataan jenis (e) menurut Pielou (1966) dalam Odum (1993) adalah: e = H / log S, yang mana H = indeks keanekaragaman jenis. S = jumlah jenis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dominasi Jenis Jamur pada Kondisi Hutan yang Berbeda Hasil koleksi jamur pada kondisi hutan yang berbeda disajikan pada Tabel 1 berikut.

4 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL Tabel 1. Jumlah Jenis Jamur pada Kondisi Hutan yang Berbeda di MRF Petak Jumlah jenis Jumlah individu Jenis diketahui Jenis tidak diketahui RIL CNV LDG Jumlah Secara umum dari seluruh plot penelitian di MRF yaitu di plot-plot pada petak RIL, CNV dan LDG berhasil ditemukan sebanyak 270 jenis jamur makro dari 745 individu dengan kehadiran masing-masing pada tiap petak adalah 162 jenis dengan 326 individu untuk petak RIL, 152 jenis dengan 320 individu pada petak CNV dan 42 jenis dengan 99 individu di petak LDG (Tabel 1). Jumlah seluruh jenis sebanyak 270 ini akan berbeda bila jumlah jenis pada semua petak di atas dijumlahkan, demikian pula halnya dengan jenis yang dapat diketahui dan jenis yang tidak diketahui, akan berbeda jumlahnya bila jumlah jenis dari semua petak diakumulasi lalu dibandingkan dengan jumlah yang tertera di tabel, hal ini karena terdapat jenisjenis jamur yang sama pada petak-petak tersebut sehingga jenis jamur total tepatnya adalah 270. Pada Tabel 1 tersebut terlihat bahwa petak yang paling tinggi keanekaragaman jenis jamurnya adalah petak RIL yang kemudian disusul oleh petak CNV dan terendah adalah petak LDG atau masing-masing sebesar 60%, 56% dan 16% dari jumlah jenis jamur yang ditemukan di kawasan MRF. Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh pembalakan yang pernah diujicobakan beberapa tahun sebelumnya yang telah mengakibatkan terbukanya lahan dan tajuk hutan sehingga mengakibatkan perubahan iklim mikro pada petak-petak tersebut. Luas lahan dan tajuk yang terbuka pada masing-masing petak pengamatan berbeda karena perbedaan sistem yang digunakan. Pada petak RIL yang menerapkan prinsip-prinsip pembalakan berdampak rendah dalam pengelolaannya, luas lahan dan tajuk yang terbuka secara kasat mata relatif lebih sedikit daripada petak CNV dengan kaidah pembalakan konvensional, terlebih lagi bila dibandingkan dengan petak LDG, yang menerapkan sistem tebas bakar sehingga lahan serta tajuk terbuka lebih luas. Selain itu, banyak pohon-pohon terutama jenis-jenis Dipterocarpaceae dan jenis-jenis komersial lain telah hilang, jenis-jenis tersebut merupakan inang dari jamur mikoriza. Bila inangnya tidak ada, maka jamur mikoriza tidak dapat tumbuh, dengan adanya inangnya itulah jamur-jamur mikoriza bersimbiosis untuk mendapatkan karbohidrat yang cukup. Jamur tidak dapat membuat karbohidrat karena tidak mempunyai klorofil. Seperti diketahui bahwa setiap kegiatan pemanenan selalu memberi dampak terhadap hutan itu sendiri, di antaranya adalah terjadinya keterbukaan lahan dan tajuk. Keterbukaan lahan dan tajuk adalah suatu bentuk kerusakan pada lantai hutan dan bagian atas pohon akibat adanya penebangan, penggusuran dan pengikisan tanah akibat traktor khususnya pada waktu pembuatan jalan sarad dan kegiatan penyaradan sehingga sebagian dari pohonpohon tinggal mungkin akan tumbang, patah dan rusak. Hasil penelitian Ernayati (2001) di Labanan Berau menyatakan, keterbukaan lahan akibat jalan sarad pada plot pembalakan berdampak rendah sebesar 749 m 2 /ha

5 102 Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan atau sebesar 7,49% dan pada plot pembalakan konvensional sebesar 888 m 2 /ha atau 8,88%. Hasil penelitian lain dari FAO menunjukkan, bahwa kerusakan pada lahan terjadi sekitar 20% pada cara konvensional dan sekitar 13% pada cara pembalakan yang ramah lingkungan (Anonim, 1997). Selanjutnya disebutkan pula, bahwa dampak pembalakan secara konvensional menyebabkan keterbukaan tajuk hingga 61,1% sedang dengan cara pembalakan ramah lingkungan sebesar 42,5% (Anonim, 1999 b ). Keterbukaan lahan dan tajuk ini akan berimplikasi terhadap suhu dan kelembapan udara di dalam hutan, faktor-faktor ini sangat berperan dalam kehadiran jamur makro di dalamnya. Dengan adanya perbedaan suhu dan kelembapan udara, maka perbedaan jumlah jenis jamur yang ditemukan pada petak RIL, CNV dan LDG juga berbeda. Hasil ini sesuai dengan pendapat Cahyana dkk. (1999) dan Gunawan (2001), bahwa beberapa faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan jamur di antaranya adalah suhu dan kelembapan udara. Dari 270 jenis tersebut yang berhasil diidentifikasi adalah sebanyak 223 jenis dengan jumlah individu sebanyak 676 individu atau sekitar 90,7% dari jumlah jenis yang ditemukan, sedang yang tidak diketahui jenisnya adalah 47 jenis dengan jumlah individu sebanyak 69 individu atau sekitar 9,3% dari jumlah jenis yang ditemukan. Tabel 2. Jumlah Jenis Jamur Berdasarkan Famili dan Marga yang Ditemukan pada Tiap Petak di MRF No Famili Jumlah Jumlah jenis pada petak Nama marga marga RIL CNV LDG 1 Amanitaceae 1 Amanita Auriculariaceae 1 Auricularia Auriscalpiaceae 1 Lentinellus Boletaceae 1 Boletus Tidak diketahui Chantarellaceae 1 Craterellus Clavariaceae 1 Clavariadelphus Corticiaceae 5 Irpex Plycatura Stereum Laeticortecium Sistotrema Dacrymycetaceae 1 Dacrymyces Earliellaceae 1 Earliella Ganodermataceae 2 Amauroderma Ganoderma Hydnangiaceae 1 Laccaria Tidak diketahui Hygrophoraceae 3 Camarophylus Hygrocybe Hygroporus Hymenochaetaceae 2 Hymenochaete Phelinus Lycoperdaceae 1 Lycoperdon Meruliaceae 1 Meruliopsis Paxyllaceae 1 Hygroporosis 0 0 2

6 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL Tabel 2 (Lanjutan) No Famili Jumlah Jumlah jenis pada petak Nama marga marga RIL CNV LDG 17 Polyporaceae 13 Coriolopsis Coriolus Daedalea Fomes Fomitopsis Hexagonia Microporus Panus Picnoporus Trichaptum Pleurotus Polyporus Trametes Tidak diketahui Ramariaceae 1 Ramaria Rusullaceae 2 Rusulla Lactarius Sarcoschypaceae 1 Sarcoschypa Schizophyllaceae 1 Schyzophyllum Sclerodermataceae 1 Scleroderma Sparassidaceae 1 Sparassis Thelephoraceae 1 Thelephora Tricholomataceae 4 Collybia Lepista Marasmius Mycena Tidak diketahui Tuberaceae 1 Tuber Xylariaceae 1 Xylaria Tidak diketahui 3 Guapenia Oxysporus Strompalia Tidak diketahui Jumlah Dari seluruh jumlah jenis jamur yang ditemukan pada petak-petak penelitian di MRF, baik pada petak RIL, CNV maupun LDG, dapat dikelompokkan dalam 27 famili yang diketahui dan 54 marga (Tabel 2). Jumlah jenis jamur makro yang ditemukan di kawasan MRF menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Retnowati (2003) di Taman Nasional Kayan Mentarang yang wilayahnya berbatasan dengan kawasan MRF, di mana ditemukan sebanyak 98 jenis jamur makro dan hasil penelitian Mardji dan Soeyamto (1999) di Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur sebanyak 143 jenis jamur, demikian pula bila dibandingkan dengan hasil penelitian Wahyudi (1999) di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Desa Napalicin Sumatera Selatan yang menemukan 128 jenis jamur makro, maka keanekaragaman jenis jamur di MRF jauh lebih tinggi. Keanekaragaman jenis jamur yang tinggi di kawasan MRF ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Pada kawasan ini temperatur udara tidak

7 104 Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan terlalu panas, kelembapan udara relatif tinggi dan curah hujannya juga tinggi. Keadaan seperti ini sangat mendukung kehadiran dan pertumbuhan jamur makro di alam. Selain karena keadaan cuaca tersebut, banyaknya jenis jamur makro yang ditemukan di kawasan MRF ini disebabkan karena luasnya kawasan yang diteliti (24 ha) dan kondisi hutannya yang relatif masih bagus, yaitu masih banyak ditemukan pohon-pohon besar yang berdiameter >20 cm. Berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh jenis-jenis dominan berdasarkan Indeks Dominasinya, jenis-jenis tersebut memiliki jumlah individu lebih tinggi dari jenis-jenis yang lain. Pada petak RIL, Ganoderma sp.1 merupakan jenis dominan pertama, Polyporus sp.30 dominan kedua, Ganoderma sp.7 dominan ketiga, Ganoderma sp.9 dominan keempat serta Fomes igniarius merupakan jenis dominan kelima. Bila dijumlahkan, maka terdapat 5 jenis jamur yang termasuk dalam lima kelompok jenis dominan tersebut dengan 49 individu (tubuh buah). Pada petak CNV, Trametes sp.4 sebagai jenis dominan pertama, Ganoderma sp.10 dominan kedua, Ganoderma sp.7 dan Earliella sp.2 sebagai dominan ketiga, Amauroderma sp.1, Amauroderma sp.2 dan Ganoderma sp.24 merupakan jenis dominan keempat serta Xylaria sp., Polyporus sp.30 dan Amauroderma sp.4 sebagai jenis dominan kelima. Jenis-jenis dominan tersebut berjumlah 10 jenis dengan 64 individu. Di antaranya ada jenis-jenis yang dalam satu kelompok sama jumlah individunya. Pada petak LDG, Trametes sp.1 sebagai jenis dominan pertama, Schizophyllum sp. dominan kedua, Coriolus sp. dominan ketiga, Polyporus sp.1 sebagai dominan keempat serta Panus sp.6 merupakan jenis dominan kelima. Seluruh jenis dominan tersebut berjumlah 5 jenis dengan 38 individu. Secara umum di kawasan MRF terdapat 9 jenis jamur yang termasuk dalam lima kelompok jenis dominan dari seluruh individu koleksi pada 3 petak pengamatan yaitu petak RIL, CNV dan LDG, yakni Ganoderma sp.1 sebagai jenis dominan pertama, Ganoderma sp.7 dominan kedua, Polyporus sp.30 dominan ketiga, Amauroderma sp.1 dan Fomes igniarius dominan keempat serta Ganoderma sp.6, Ganoderma sp.9, Trametes sp.1 dan Trametes sp.4 merupakan jenis dominan kelima. Kelima kelompok jenis dominan tersebut terdiri dari 9 jenis jamur dengan 111 individu (tubuh buah). Keanekaragaman Jenis Jamur pada Kondisi Hutan yang Berbeda Berdasarkan data yang diperoleh dari lokasi pengamatan yakni petak RIL, CNV dan LDG di kawasan MRF, diperoleh jumlah jenis dan jumlah individu yang berbeda-beda. Hal ni menentukan keanekaragaman jenis jamur yang ada. Hasil analisis indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon (H) menunjukkan, bahwa jenis-jenis jamur yang dominan juga memiliki tingkat keanekaragaman yang lebih tinggi dari jenis-jenis lain yang tidak dominan pada petak-petak pengamatan. Pada petak RIL jenis-jenis yang memiliki nilai keanekaragaman tinggi adalah sama dengan jenis-jenis yang termasuk dalam lima kelompok jenis dominan, demikian pula pada petak CNV dan LDG.

8 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL Kemerataan Jenis Jamur Pada Kondisi Hutan yang Berbeda Ludwig dan Reynolds (1988) dalam Istomo (1995) menyatakan, bahwa keanekaragaman jenis jamur juga dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kemerataan jenis (penyebaran individu masing-masing jenis yang ada). Rekapitulasi Perbedaan Kondisi Hutan Secara keseluruhan, indeks keanekaragaman jenis, indeks kemerataan jenis dan indeks kekayaan jenis pada masing-masing plot pengamatan ditampilkan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan Kekayaan Jenis Jamur Makro pada Masingmasing Petak Penelitian Indeks Petak RIL CNV LDG Keanekaragaman Jenis (H) 2, , ,48892 Kemerataan Jenis (e) 0, , ,91725 Kekayaan Jenis (Da) 27, , ,92251 Pada Tabel 3 terlihat, bahwa nilai indeks kekayaan jenis (Da) jamur makro pada petak RIL paling tinggi, yaitu 27,82147 yang kemudian disusul oleh petak CNV 26,17746 dan paling rendah adalah pada petak LDG 8, Hal ini disebabkan karena jumlah jenis dan individu pada petak RIL lebih banyak yang berpengaruh terhadap tingginya indeks keanekaragaman jenis daripada petak CNV dan LDG. Santosa (1995) dan Odum (1998) yang dikutip oleh Wahyuni (2002) menyatakan, bahwa kekayaan jenis sebagai indikator keanekaragaman dipengaruhi oleh jumlah jenis dan jumlah individu (tubuh buah) jamur pada setiap petak. Selanjutnya memperhatikan indeks keanekaragaman pada Tabel 3 tersebut juga terlihat bahwa indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada petak RIL dan kemudian disusul petak CNV dan LDG. Hal ini berhubungan erat dengan indeks kekayaan jenis di atas karena seperti diketahui bahwa indeks kekayaan jenis merupakan indikator untuk nilai keanekaragaman jenis, yang mana petak RIL menduduki urutan pertama untuk indeks kekayaan jenis lalu disusul petak CNV dan LDG. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif setiap jenis. Pada Tabel 3 juga tampak bahwa indeks kemerataan jenis pada ke-3 petak penelitian hanya mendekati nilai maksimal (kisaran nilai e = 0 sampai 1), berarti bahwa pada petak RIL, CNV dan LDG, jumlah individu setiap jenis tidak menyebar secara merata. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat konsentrasi individu pada beberapa jenis tertentu (dominasi jenis) di tiap-tiap petak penelitian yang disebabkan oleh proporsi individu yang tidak tersebar merata di seluruh petak. Indeks kemerataan jenis yang diperoleh dari petak-petak penelitian juga tidak berkorelasi positif dengan indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis, nilai kemerataan tertinggi dimiliki oleh petak CNV yang kemudian disusul oleh petak

9 106 Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan RIL dan LDG. Hal tersebut dikarenakan pada petak CNV terdapat lebih banyak jenis yang jumlah individunya tersebar lebih merata. Peranan Jamur Bagi Manusia Dari seluruh jenis jamur yang ditemukan di petak-petak penelitian, ternyata ditemukan jamur yang dapat dikonsumsi, baik sebagai bahan makanan maupun sebagai bahan obat atau dapat berfungsi ganda sekaligus. Jamur yang dapat dikonsumsi sebagai bahan makanan saja berjumlah 11 jenis yaitu Hygroporosis aurantiaca, Marasmius sp.2, Panus conchatus, Panus sp.6, 2 jenis Pleurotus, Polyporus sp.29, Sarcoscypha coccinea, Schizophyllum sp., Sparassis herbstii dan Xylaria sp., sedangkan jamur yang dapat berfungsi sebagai bahan makanan sekaligus obat ada 3 jenis yakni Auricularia auricula dan 2 jenis Auricularia yang lain sehingga jumlah jenis jamur yang dapat dikonsumsi yang diperoleh dari petakpetak penelitian adalah sebanyak 14 jenis atau 5,2% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi dari kawasan MRF. Jenis jamur yang tidak dapat dikonsumsi karena beracun ada 2 jenis atau sebesar 0,7% dari jumlah seluruh jenis di MRF, yaitu Amanita virosa dan Lactarius helvius. Menurut Bigelow (1979), jenis Amanita virosa dijuluki sebagai Destroying angel atau Death angel. Berdasarkan hasil koleksi ditemukan sebanyak 43 jenis Ganoderma spp. Menurut Gunawan (2001), Suriawiria (2003) dan Chairul (1997), baru jenis Ganoderma lucidum (ling zhi) dan G. applanatum saja yang lazim digunakan sebagai bahan obat untuk memperkuat sistem imunitas tubuh dan mempertinggi kemampuan memerangi kanker serta menambah keseimbangan organ-organ dalam tubuh. Jamur Ganoderma adalah salah satu jamur kayu yang banyak jenisnya. Di Indonesia terdapat 21 jenis jamur yang diketahui. Pernyataan di atas juga menggambarkan bahwa di kawasan MRF terdapat lebih banyak jenis Ganoderma daripada jenis-jenis yang sudah ada atau diketahui di Indonesia. Selanjutnya dari jenis-jenis Ganoderma tersebut kemungkinan terdapat jenis-jenis yang dapat bermanfaat sebagai bahan obat, namun secara pasti peneliti tidak dapat merekomendasikan hal tersebut. Jamur Mikoriza Mikoriza adalah struktur akar yang terbentuk sebagai hasil simbiosis mutualistis antara jamur (mykes) dengan akar (rhiza) tumbuhan. Mikoriza berasal dari bahasa Yunani yang berarti fungi akar (Richard, 1972; Harley, 1979). Dengan kata lain, jamur mikoriza merupakan jamur yang bersimbiosis dengan akar tumbuhan tingkat tinggi membentuk mikoriza, fungsi jamur tersebut satu di antaranya adalah membantu menyerap nutrisi dan air dari dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan hasil diperoleh sebanyak 31 jenis jamur mikoriza pada kawasan MRF atau sekitar 11% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi dari petak-petak penelitian di MRF. Adapun ke-31 jenis tersebut adalah sebagai berikut: Amanita virosa, Amanita sp., 2 jenis Boletus, Collybia sp., 4 jenis Hygrocybe, Hygrophorus sp., 3 jenis Laccaria, Lactarius uvidus, Lactarius helvius, 2 jenis Lactarius yang

10 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL lain, Lepista sp., 3 jenis Lycoperdon, 2 jenis Ramaria, 4 jenis Rusulla, Scleroderma sp., 2 jenis Thelephora dan 1 jenis yang belum diketahui nama ilmiahnya. Dari 31 jenis jamur mikoriza yang terdapat di kawasan MRF tersebut, 13 jenis terdapat pada petak RIL, 22 jenis pada petak CNV dan 2 jenis pada petak LDG. Perbedaan jumlah jenis jamur mikoriza tersebut mengindikasikan keadaan hutan yang bersangkutan. Petak LDG merupakan petak yang paling sedikit jumlah jenis jamur mikorizanya, karena memang areal perladangan merupakan areal yang kondisi hutannya sudah buruk (sangat terbuka), sudah sangat jarang ditemukan pohon yang merupakan inang bagi jamur mikoriza, begitu juga suhu udaranya yang rata-rata 32,6 C, jadi lebih tinggi daripada di petak RIL dan CNV, sehingga tidak mendukung pertumbuhan jamur mikoriza. Menurut Pardiyan (1977), jamur mikoriza dapat berkembang dengan baik pada suhu 5 27 C. Jumlah jenis jamur mikoriza pada petak CNV lebih tinggi daripada petak RIL, padahal kondisi kedua petak ini termasuk baik bila ditinjau dari segi banyaknya jenis jamur mikoriza yang ditemukan, hal ini berhubungan dengan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh lantai hutan sebagai tempat hidup jamur mikoriza. Meijaard dkk. (2006) dan Sutisna (2004) menyatakan, bahwa pada hutan yang telah dipanen kayunya, tajuk hutan terbuka dan terbentuk rumpang yang biasanya lebih besar dan lebih banyak jumlahnya, sehingga sinar matahari akan masuk ke lantai hutan. Kebanyakan jenis jamur memerlukan sunar untuk awal pembentukan tubuh buah dan perkembangannya yang normal. Sinar diperlukan untuk pembentukan pileus. Sinar yang terlalu rendah akan mengganggu pembentukan pileus (Bakshi, 1974; Webster 1988; Gunawan, 2001). Sehubungan dengan hal tersebut, diduga bahwa pada petak CNV sinar yang masuk ke lantai hutan cukup memadai untuk pembentukan tubuh buah jamur mikoriza karena tajuk yang terbuka pada petak CNV relatif lebih luas daripada RIL sehingga jamur mikoriza yang ditemukan juga lebih banyak. Dengan adanya perbedaan jumlah jenis jamur mikoriza pada petak penelitian yang berbeda kondisinya tersebut, maka jamur mikoriza dapat dijadikan indikator apakah kondisi hutannya masih bagus atau buruk. Bila banyak jenis jamur mikoriza yang tumbuh di suatu kawasan hutan, maka berarti hutan tersebut kondisinya relatif baik, tetapi bila sedikit jenis jamur mikoriza yang tumbuh, maka dapat diindikasikan hutannya telah rusak atau kondisinya buruk. Jamur Saprofit dan Parasit Jamur saprofit adalah jamur yang mengambil zat makanan dari organisme yang sudah mati sehingga tidak merugikan inangnya, sedangkan jamur parasit merupakan jamur yang mengambil zat makanan dari organisme yang masih aktif tumbuh sehingga merugikan bagi inangnya. Sebagian besar jenis jamur yang dikoleksi merupakan jamur saprofit yakni berjumlah 225 jenis atau sekitar 83,3% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi di MRF. Jenis-jenis ini umumnya termasuk marga Polyporus, Ganoderma, Amauroderma, Fomes, Phelinus, Trametes dan Stereum serta beberapa marga/jenis yang lain. Selain itu diperoleh pula 4 jenis jamur parasit atau sekitar 1,5% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi di MRF, 3 di antaranya yang dapat hidup sebagai saprofit setelah pohon yang diserangnya mati (jamur yang

11 108 Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan bersifat saprofit fakultatif), seperti jenis-jenis Ganoderma yang bertubuh buah besar, monyet (Macaca sp.) sering duduk di atasnya sehingga dikenal dengan sebutan jamur kursi monyet. Dari seluruh jenis jamur yang dikoleksi di MRF ternyata sebagian besar adalah jamur yang hidup pada kayu mati, sedangkan yang hidup di tanah lebih sedikit. Dari 270 jenis yang ditemukan di MRF tersebut, jenis yang hidup pada kayu mati, akar mati dan serasah adalah 225 jenis, yang hidup di tanah 41 jenis dan 4 jenis pada pohon hidup. Bila dipersentasekan jumlah jenis jamur yang hidup pada kayu mati, tanah dan pohon hidup tersebut masing-masing adalah 83,3%, 15,2% dan 1,5%, seperti ditunjukkan oleh Gambar 1 di bawah ini % 1.50% 83.30% Kayu mati Tanah Pohon hidup Gambar 1. Grafik Perbandingan Jumlah Jenis Jamur yang Ditemukan di Kawasan MRF Berdasarkan Substratnya Banyaknya jenis jamur yang tumbuh pada kayu mati, akar mati dan serasah tersebut menggambarkan bahwa di MRF terdapat banyak substrat dari kayu mati, hal ini karena kawasan ini merupakan areal bekas pembalakan sehingga banyak terdapat kayu mati sisa pembalakan. Menurut Gandjar dkk. (2006), untuk pertumbuhannya, jamur memerlukan nutrisi dari lingkungannya. Karbohidrat merupakan substrat utama untuk metabolisme karbon pada jamur. Karbohidrat yang umum ditemukan di alam dalam bentuk oligosakarida atau polisakarida dan umumnya merupakan materi cadangan di dalam tubuh tumbuhan. Jamur bergantung pada karbohidrat kompleks tersebut sebagai sumber nutrisi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari 3 kondisi hutan yang diamati di Malinau Research Forest (MRF) berhasil ditemukan sebanyak 270 jenis jamur makro. Pada petak RIL sebanyak 162 jenis, petak CNV 152 jenis dan pada petak LDG diperoleh 42 jenis jamur. Kemerataan jenis jamur yang ada ternyata tidak merata baik pada petak RIL, CNV maupun LDG, namun demikian dari jumlah jenis yang ditemukan tersebut terdapat jenis-jenis yang dominan.

12 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL Dari jenis-jenis jamur yang diperoleh terdapat jenis yang dapat berguna bagi kehidupan yaitu sebagai bahan makanan yang cukup bergizi dan obat bagi manusia juga sebagai jamur mikoriza bagi tumbuhan, namun ada pula jamur yang merugikan terutama bagi tumbuhan. Jenis-jenis jamur yang dapat dimakan ada 11 jenis yaitu Hygroporosis aurantiaca, Marasmius sp.2, Panus conchatus, Panus sp.6, 2 jenis Pleurotus, Polyporus sp.14, Sarcoscypha coccinea, Schizophyllum sp., Sparassis herbstii dan Xylaria sp., sedangkan jamur yang dapat berfungsi sebagai bahan makanan sekaligus obat ada 3 jenis yakni Auricularia auricula dan 2 jenis Auricularia yang lain. Ditemukan 31 jenis jamur mikoriza yakni Amanita virosa, Amanita sp., 2 jenis Boletus, Collybia sp., 4 jenis Hygrocybe, Hygroporus sp., 3 jenis Laccaria, Lactarius uvidus, Lactarius helvius, 2 jenis Lactarius yang lain, Lepista sp., 3 jenis Lycoperdon, 2 jenis Ramaria, 4 jenis Rusulla, Scleroderma sp., 2 jenis Thelephora dan 1 jenis yang belum diketahui nama ilmiahnya. Jamur parasit yang ditemukan ada 4 jenis, 3 di antaranya dari jenis Ganoderma dan lainnya jenis Hexagonia, sedang jamur saprofit merupakan jenis umum yang ditemukan dan berasal dari jenis-jenis Amauroderma spp., Daedalea spp., Earliella spp., Fomes spp., Fomitopsis spp., Ganoderma spp., Hexagonia spp., Laccaria spp., Laeticortecium sp., Lentinellus sp., Marasmius spp., Meruliopsis sp., Microporus sp., Mycena spp., Oxysporus sp., Panus spp., Polyporus spp., Sarcoschypa spp., Schyzophyllum sp., Sistotrema sp., Stereum spp., Trametes sp., Trichaptum spp. dan beberapa jenis yang belum diketahui nama ilmiahnya. Saran Sehubungan dengan ditemukannya beberapa jenis jamur yang dapat dimakan dan berguna sebagai obat pada plot-plot pengamatan, maka disarankan adanya penelitian lebih lanjut tentang jenis-jenis jamur yang dapat dimakan tersebut terutama untuk pembudidayaannya karena jamur merupakan salah satu bentuk diversifikasi pangan yang cukup mengandung gizi dan zat-zat penting lainnya. Pengetahuan tentang budidaya ini selanjutnya diharapkan dapat disampaikan kepada masyarakat sekitar hutan yang diamati ini yang mana nantinya upaya tersebut dapat menjadi salah satu upaya pengembangan masyarakat sekitar hutan. Bila ingin melakukan inokulasi semai dengan jamur mikoriza, terutama pada pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae, maka disarankan untuk mengambil inokulan dari petak CNV karena keanekaragaman jenis jamur mikorizanya lebih tinggi yang disebabkan kondisi hutannya yang relatif masih baik. DAFTAR PUSTAKA Anonim The Strek Project, Indonesia. Forest Harvesting Buletin 7 (1): 2 4. Anonim a. Fungsi Hutan Sebagai Bank Gen. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. 12 h. Anonim b. Draft Principle Practices for Forest Harvesting in Indonesia. Natural Resources Management Project (NRMP). Ministry of Forestry and Estate Crops, Jakarta.

13 110 Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan Bakshi, B.K Mycorrhiza and Its Role in Forestry. Forest Research Institute and Colleges, Dehra Dun, India. 89 h. Bigelow, H.E Mushroom Pocket Field Guide. Macmillan Publishing Co. Inc., New York. 117 h. Breitenbach, J. and F. Kränzlin Fungi of Switzerland. Vol. 3. Boletes and Agarics. Mykologia Lucerne, Switzerland. 361 h. Bresinsky, A. and H. Besl A Colour Atlas of Poisonous Fungi. Wolfe Publishing Ltd., London. 295 h. Cahyana, Y.A.; Muchrodji dan M. Bakrun Jamur Tiram. Penebar Swadaya, Jakarta. 63 h. Chairul Kenanga dan Mengkudu. Balitbang Botani, Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. 5 h. Ernayati Keanekaragaman Jenis Vegetasi Semai dan Pancang pada Areal Bekas Sistem Pembalakan Berdampak Rendah (Reduced Impact Logging) dan Konvensional di PT Inhutani I Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan, Fahutan Unmul, Samarinda. Fithria, A Keanekaragaman Jenis Satwa Liar di Areal Hutan PT Elbana Abadi Jaya Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Rimba Kalimantan 9 (1): Gandjar, I.; W. Sjamsuridzal dan Oetari Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 238 h. Gunawan, A.W Usaha Pembibitan Jamur. Penebar Swadaya, Jakarta. 112 h. Harley, J.L The Biology of Mycorrhiza. Plant Science Monographs. Leonard Hill, London. 291 h. Imazeki, R.; Y. Otani and T. Hongo Nihon no Kinoko. Yama-kei Publishers Co. Ltd., Tokyo. 623 h. Istomo Teknik Pengukuran dan Pemantauan Keanekaragaman Hayati Tumbuhan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Jülich, W Dipterocarpaceae and Mycorrhizae. Special Issue, GFG Report of Mulawarman University 9: 103 h. Læssøe, T. and G. Lincoff Mushrooms. Dorling Kindersley Limited., London. 304 h. Largent, D.L How to Identify Mushrooms to Genus I: Macroscopic Features. Mad River Press, Inc., Eureka, California. 85 h. Largent, D.L. and H.D. Thiers How to Identify Mushrooms to Genus II: Field Identification of Genera. Mad River Press Inc., Eureka, California. 32 h. Largent, D.L. and T.J. Baroni How to Identify Mushrooms to Genus VI: Modern Genera. Mad River Press, Inc., Eureka, California. 277 h. Ludwig, J.A. and G. Reynolds Statistical Ecology. Wiley Intersciense Publication John Wiley and Sons, Toronto. Mardji, D. dan Ch. Soeyamto Jenis-jenis Jamur dari Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Berau Forest Management Project, Samarinda. 71 h. Meijaard, E.; D. Sheil; R. Nasi; D. Augeri; B. Rosenbaum; Iskandar; Dj.T. Setyowati; M. Lammertink; I. Rahmatika; A. Wong; T. Soehartono; S. Stanley; T. Gunawan dan T. O Brien Hutan Pasca Pemanenan. Center for International Forestry Research (Cifor), Bogor. Nonis, U Mushrooms and Toadstools. A Colour Field Guide. David and Charles, London. 229 h. Odum, E.P Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Pace, G Mushrooms of the World. Firefly Books Ltd., Spain. 310 h. Pacioni, G Guide to Mushrooms. Simon and Schuster s Inc., New York. 513 h.

14 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL Pardiyan Mikoriza. Yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 h. Retnowati, A The Mycoflora Diversity in Kayan Mentarang National Park. Dalam: "Joint Biodiversity in Kayan Mentarang National Park". Ministry of Forestry WWF Indonesia ITTO, Jakarta. Richard, B.N Introduction of Soil Ecosystem. Longman, New York. 305 h. Suhardiman, P Jamur Kayu. Penebar Swadaya, Jakarta. 72 h. Suriawiria, U Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu Shiitake Kuping Tiram. Penebar Swadaya, Jakarta. 104 h. Sutisna, M Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 123 h. Wahyudi, R Inventarisasi Jamur Makroskopis (Cendawan) dan Potensinya bagi Masyarakat di Desa Napalicin, Kabupaten Musi Rawas, Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Selatan. Abstrak hasil penelitian. 1 h. Wahyuni, A Studi Keanekaragaman dan Penyebaran Jenis Burung untuk Pengembangan Rekreasi Alam di Kebun Raya Samarinda Lempake Provinsi Kalimantan Timur. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 123 h. Webster, J Pengenalan Kepada Kulat. Universiti Pertanian Malaysia, Serdang, Selangor Darul Ehsan. 706 h.

15

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR EKTOMIKORIZA PADA KONDISI HUTAN DENGAN KELERENGAN YANG BERBEDA DI HUTAN WISATA BUKIT BANGKIRAI PT INHUTANI I BALIKPAPAN

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR EKTOMIKORIZA PADA KONDISI HUTAN DENGAN KELERENGAN YANG BERBEDA DI HUTAN WISATA BUKIT BANGKIRAI PT INHUTANI I BALIKPAPAN KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR EKTOMIKORIZA PADA KONDISI HUTAN DENGAN KELERENGAN YANG BERBEDA DI HUTAN WISATA BUKIT BANGKIRAI PT INHUTANI I BALIKPAPAN Rohmaya 1, Djumali Mardji 1 dan Sukartiningsih 2 1 Laboratorium

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROKARPACEAE DI PT AYA YAYANG KALIMANTAN SELATAN

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROKARPACEAE DI PT AYA YAYANG KALIMANTAN SELATAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROKARPACEAE DI PT AYA YAYANG KALIMANTAN SELATAN Massofian Noor Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI DESA TABALONG KECAMATAN BERABAI KALIMANTAN SELATAN

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI DESA TABALONG KECAMATAN BERABAI KALIMANTAN SELATAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI DESA TABALONG KECAMATAN BERABAI KALIMANTAN SELATAN Massofian Noor 1 Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO PADA TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING DAN TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO PADA TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING DAN TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH ISSN: 1978-8746 KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO PADA TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING DAN TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH The Diversity of Macro Fungy In Forest Seed

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKRO DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKRO DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKRO DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT Djumali Mardji 1 dan Massofian Noor 2 1 Laboratorium Perlindungan Hutan Fahutan Unmul. 2 Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda ABSTRACT.

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA

IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA Djumali Mardji Laboratorium Perlindungan Hutan, Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT.

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil identifikasi jamur yang didapat dari Resort Pematang Raman Taman

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil identifikasi jamur yang didapat dari Resort Pematang Raman Taman 22 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil identifikasi jamur yang didapat dari Resort Pematang Raman Taman Nasional Berbak Kabupaten Muaro Jambi yang telah dilakukan di laboratoriun

Lebih terperinci

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A. Syahrani Samarinda Telp. (0541) Fax (0541)

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A. Syahrani Samarinda Telp. (0541) Fax (0541) STRUKTUR TEGAKAN TINGGAL PADA UJI COBA PEMANENAN DI HUTAN PENELITIAN LABANAN, KALIMANTAN TIMUR (Structure of Residual Stand in Logged Technique Experiment at Labanan Forest Research, East Kalimantan)*

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif (Nazir, 1988), karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi mengenai vegetasi pada daerah ekoton

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKRO PADA DUA KONDISI HUTAN BERBEDA DI KALAMPANGAN ZONE CIMTROP KALIMANTAN TENGAH

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKRO PADA DUA KONDISI HUTAN BERBEDA DI KALAMPANGAN ZONE CIMTROP KALIMANTAN TENGAH KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKRO PADA DUA KONDISI HUTAN BERBEDA DI KALAMPANGAN ZONE CIMTROP KALIMANTAN TENGAH Patricia Erosa Putir 1, Djumali Mardji 2 dan B.D.A.S. Simarangkir 3 1 Fakultas Kehutanan Univ.

Lebih terperinci

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT Pemadatan Tanah Akibat Penyaradan Kayu... (Muhdi, Elias, dan Syafi i Manan) PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT (Soil Compaction Caused

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU (The Diversity of Bamboo (Bambusodae) In Riam Odong Waterfall Forest

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKROSKOPIS DI ARBORETUM SYLVA UNIVERSITAS TANJUNGPURA

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKROSKOPIS DI ARBORETUM SYLVA UNIVERSITAS TANJUNGPURA KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKROSKOPIS DI ARBORETUM SYLVA UNIVERSITAS TANJUNGPURA (Spesies Diversity of Macroscopic Fungi at arboretum Sylva Universitas Tanjungpura) Iin Annissa, Hanna Artuti Ekamawanti,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

KERAGAMAN JAMUR BASIDIOMYCETES MAKROSKOPIS DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN BENGO-BENGO KECAMATAN CENRANA KABUPATEN MAROS

KERAGAMAN JAMUR BASIDIOMYCETES MAKROSKOPIS DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN BENGO-BENGO KECAMATAN CENRANA KABUPATEN MAROS KERAGAMAN JAMUR BASIDIOMYCETES MAKROSKOPIS DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN BENGO-BENGO KECAMATAN CENRANA KABUPATEN MAROS Nur Alam 1, Elis Tambaru 2 As adi Abdullah 2 1. Mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Jamur Makroskopis Yang Ditemukan di Hutan Geopark Merangin Desa Air Batu Kecamatan Renah Pembarap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Jamur Makroskopis Yang Ditemukan di Hutan Geopark Merangin Desa Air Batu Kecamatan Renah Pembarap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Jenis Jamur Makroskopis Yang Ditemukan di Hutan Geopark Merangin Desa Air Batu Kecamatan Renah Pembarap Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Merangin terletak di provinsi Jambi dengan luas km 2

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Merangin terletak di provinsi Jambi dengan luas km 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Merangin terletak di provinsi Jambi dengan luas 7.679 km 2 yang berjarak ± 256 km dari ibukota provinsi Jambi. Merangin secara geografis terletak

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) The Effect of Reduced Impact Timber

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perubahan secara terus-menerus. Oleh karena itu, setiap manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. dan perubahan secara terus-menerus. Oleh karena itu, setiap manusia harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan adalah sebagai dinamika yang mengandung pergeseran dan perubahan secara terus-menerus. Oleh karena itu, setiap manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berukuran besar ataupun kecil (Arief : 11). yang tersusun atas berbagai komponen yang saling ketergantungan dan saling

BAB I PENDAHULUAN. yang berukuran besar ataupun kecil (Arief : 11). yang tersusun atas berbagai komponen yang saling ketergantungan dan saling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan merupakan suatu kawasan atau wilayah yang mendukung kehidupan dari berbagai jenis makhluk hidup termasuk manusia.hutan bukanlah tempat tinggaldari satu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

Amiril Saridan dan M. Fajri

Amiril Saridan dan M. Fajri POTENSI JENIS DIPTEROKARPA DI HUTAN PENELITIAN LABANAN, KABUPATEN BERAU, KALIMANTAN TIMUR Potential Species of Dipterocarps in Labanan Research Forest, Berau Regency, East Kalimantan Amiril Saridan dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District Ridwansyah, Harnani Husni, Reine Suci Wulandari Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropica Dataran Rendah di Labanan, Kalimantan Timur Plot Penelitian STREK

Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropica Dataran Rendah di Labanan, Kalimantan Timur Plot Penelitian STREK European Union Ministry of Forestry and Estate Crops Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropica Dataran Rendah di Labanan, Kalimantan Timur Plot Penelitian STREK 1999 Graham Tyrie Manggala Wanabakti, Jakarta

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DAMPAK PENYARADAN MENGGUNAKAN MONOCABLE (MESIN PANCANG TARIK) DAN BULLDOZER TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN

PERBANDINGAN DAMPAK PENYARADAN MENGGUNAKAN MONOCABLE (MESIN PANCANG TARIK) DAN BULLDOZER TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN PERBANDINGAN DAMPAK PENYARADAN MENGGUNAKAN MONOCABLE (MESIN PANCANG TARIK) DAN BULLDOZER TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN Yason Liah 1, Yosep Ruslim 2 dan Paulus Matius 3 1 Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Type Vegetation at The Mount Ambawang Forest Protected Areas, District

Lebih terperinci

MIKORIZA & POHON JATI

MIKORIZA & POHON JATI MIKORIZA & POHON JATI Kelompok 6 Faisal Aziz Prihantoro Aiditya Pamungkas Rischa Jayanty Amelia Islamiati Faifta Nandika Maya Ahmad Rizqi Kurniawan Septa Tri Farisna 1511100001 1511100011 1511100025 1511100027

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATRA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember EKOLOGI TEMA 5 KOMUNITAS bag. 2 Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember KOMUNITAS Keanekaragaman Komunitas Pola Komunitas dan Ekoton Keanekaragaman

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling

BAB V PEMBAHASAN. dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling BAB V PEMBAHASAN Allah SWT telah menciptakan alam semesta beserta sumber daya alam yang sangat melimpah yang diperuntukkan bagi seluruh makhluk-nya untuk hidup yang berkelanjutan. Manusia merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Jamur Tiram

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Jamur Tiram 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Jamur merupakan organisme yang tidak berklorofil sehingga jamur tidak dapat menyediakan makanan sendiri dengan cara fotosintesis seperti pada tanaman yang berklorofil.

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Agar kayu dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

PRAKATA. Purwokerto, Agustus Penulis

PRAKATA. Purwokerto, Agustus Penulis PRAKATA Skripsi ini ditulis guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana sains pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Penulis mengambil topik tentang karakteristik jamur

Lebih terperinci

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 83-89 KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT (Residual Stand Damage Caused by Timber Harvesting in Natural Peat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, yang menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, yang menggunakan tehnik pengambilan sampel dengan cara menjelajah keberadaan jamur yang terdapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2)

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2) ISSN 1411 67 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 9, No. 1, 27, Hlm. 32-39 32 DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT Eugenia 13 (4) Oktober 2007 STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT Roni Konerj11*, Oedy Ouryadi Solihin21, Oamayanti Buchorj31," dan Rudi Tarumingkeng4)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

PERSEBARAN TUMBUHAN OBAT PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.) DI JALUR UTAMA PATROLI TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) SULTAN SYARIF HASYIM PROVINSI RIAU

PERSEBARAN TUMBUHAN OBAT PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.) DI JALUR UTAMA PATROLI TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) SULTAN SYARIF HASYIM PROVINSI RIAU PERSEBARAN TUMBUHAN OBAT PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.) DI JALUR UTAMA PATROLI TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) SULTAN SYARIF HASYIM PROVINSI RIAU THE DISTRIBUTION OF MEDICINAL PLANTS OF PASAK BUMI Eurycoma

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya Desa Fajar Baru Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu. Gambar

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar hutan Indonesia termasuk dalam kategori hutan hujan tropis karena memiliki curah hujan tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan

Lebih terperinci

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian 5 salinitas, ph, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991). Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang diminati dan paling banyak dipakai oleh masyarakat, khususnya di Indonesia hingga

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Jamur Makroskopis di Hutan Hujan Mas Desa Kawat

Jenis-Jenis Jamur Makroskopis di Hutan Hujan Mas Desa Kawat . Jenis-Jenis Jamur Makroskopis di Hutan Hujan Mas Desa Kawat Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kiki Anggraini 1, Siti Khotimah 1, Masnur Turnip 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN OLEH I GEDE SUDIRGAYASA

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN OLEH I GEDE SUDIRGAYASA PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN OLEH I GEDE SUDIRGAYASA 2014 PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI FP MIPA IKIP SARASWATI TABANAN KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan, atas limpahan rakhmat

Lebih terperinci

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH Oleh/by MUHAMMAD HELMI Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

Lebih terperinci