Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropica Dataran Rendah di Labanan, Kalimantan Timur Plot Penelitian STREK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropica Dataran Rendah di Labanan, Kalimantan Timur Plot Penelitian STREK"

Transkripsi

1 European Union Ministry of Forestry and Estate Crops Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropica Dataran Rendah di Labanan, Kalimantan Timur Plot Penelitian STREK 1999 Graham Tyrie Manggala Wanabakti, Jakarta

2 Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah Di Labanan, Kalimantan Timur Plot Penelitian STREK Ringkasan Plot penelitian STREK (selanjutnya disebut Plot STREK) dibangun pada tahun 1989 untuk mengukur laju pertumbuhan pemulihan hutan hujan tropika setelah dilakukan kegiatan pembalakan hutan (logging). Informasi ini sangatlah penting untuk menentukan ukuran atau luas (size), tipe dan frekuensi pemanenan yang lestari bagi lingkungan setempat. Asumsi yang berlaku saat ini adalah bahwa laju (netto) pertumbuhan kembali pohon-pohon komersil dari suatu hutan hujan tropika adalah sekitar 1 m 3 per tahun. Sebagai konsekuensinya, bahwa sangatlah mungkin untuk melakukan pemanenan (logging) pada hutan hujan tropika yang masih virgin secara selektif dengan menggunakan daur tebangan ulang selama 35 tahun karena selama waktu tersebut akan dihasilkan kayu bulat (log) komersil sebanyak 35 m 3 /ha. Tujuan utama dari pembangunan Plot STREK adalah untuk memberikan informasi yang lebih sempurna sehingga kegiatan pemanenan pertama dan pemanenan berikutnya pada kawasan hutan hujan tropika dapat direncanakan dengan baik untuk menjamin bahwa hutan yang ada akan tetap mampu menjaga fungsi-fungsi ekosistemnya yang berharga bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan kayu untuk produksi, perlindungan daerah-daerah tangkapan, konservasi keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi sosial. Hingga saat ini, bukti-bukti dari Plot STREK menunjukkan bahwa laju netto pertumbuhan kembali dari pohon-pohon komersil setelah dilakukan pembalakan diareal Labanan hanya mencapai 0.73 m 3 per tahun, jelas kurang dari 1 m 3 per tahun. Sebagai akibatnya, assumsi bahwa penebangan ulang dapat dilakukan pada areal yang sama setelah 35 tahun kemungkinannya adalah tidak benar. Bagaimanapun, temuan-temuan ini, pada beberapa tahun kemudian, mungkin saja tidak selamanya benar, dan memerlukan beberapa penjelasan sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. Plot STREK juga telah dipergunakan untuk memeriksa atau meneliti suatu variasi perlakuan silvikultur yang menerapkan cara-cara yang berbeda dalam mengelola tegakan hutan. Percobaanpercobaan tersebut dipergunakan untuk menentukan cara terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan ulang (regrowth), memperbaiki kualitas produksi dan mempercepat laju kembalinya hutan ke kondisi lingkungan aslinya. Plot-plot penelitian tersebut tidak mungkin dapat digantikan dan apabila tetap dipertahankan akan dapat membantu dalam menghadapi tuntutan kredibilitas internasional pada perdagangan produkproduk yang dihasilkan dari hutan yang telah dikelola secara lestari. Plot-plot tersebut juga akan dijadikan landasan bagi terlaksananya pembangunan lokal dibidang eco-tourism dan programprogram pelatihan/kursus internasional. 1

3 Dimanakah Plot STREK Berada? Plot-plot tersebut berada kawasan hutan hujan tropika dataran rendah di areal konsesi (HPH) PT. Inhutani I di Labanan, yang berada di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, 28 km dari kota Tanjung Redeb. Luas areal HPH Labanan adalah 100,000 Ha. Lihat peta. Apakah yang Dimaksud dengan Plot STREK? Plot STREK adalah plot-plot penelitian dengan luas 72 hektar yang berbentuk Petak Ukur Permanen (PUP) yang diletakkan di berbagai lokasi strategis. Plot-plot ini mewakili kondisi tipe hutan dominan yang berada di areal HPH Labanan, yang keadaannya mirip dengan kawasan hutan produksi di Kalimantan Timur yang luasnya 20 juta hektar. Pada plot-plot tersebut keadaan pohon-pohonnya dimonitor dan diukur satu per satu untuk menghitung laju pertumbuhan, mortalitas dan rekruitmennya. Data ini relevan untuk dipergunakan dalam perencanaan pengelolaan hutan lestari bagi seluruh hutan produksi dataran rendah di wilayah Indonesia bagian Barat. Plot-plot tersebut dikelompokan ke dalam dua kelompok (set). Kelompok pertama terdiri dari 6 (enam) plot diperuntukkan bagi pemantauan (monitoring) laju pertumbuhan ulang dan mortalitas dalam suatu areal bekas penebangan yang dilakukan pada periode dan di plot-plot tersebut diberikan perlakuan penjarangan pada tahun (RKL I Labanan). Kelompok kedua terdiri dari 12 (dua belas) plot diperuntukan bagi pemantauan areal yang dilakukan penebangan antara November 1991 s/d Maret 1992 (RKL IV Labanan). Setiap plot terbagi atas 4 (empat) subplot yang saling berdampingan dimana luas masing-masing subplot adalah 1 hektar. Dua perlakuan penjarangan yang berbeda telah dilakukan pada RKL I dan tiga perlakuan pembalakan telah dilakukan pada RKL IV, dengan plot-plot kontrol pada setiap lokasi dimana didalamnya tidak dilakukan perlakuan apapun. Data perlakuan riset secara detil disampaikan pada Lampiran 1. Pada setiap pohon dengan diameter (dbh) lebih dari 10 cm dari setiap plot dilakukan pengukuran setiap dua tahun sekali. Rekruitmen dan pohon-pohon yang mati dicatat menggunakan map detail dan penandaan-penandaan. Pada saat ini telah dicatat data pertumbuhan pohon. Dengan informasi spesies yang lebih detail yang secara terus menerus diperbaiki melalui kegiatan Herbarium Berau yang berkerjasama dengan Herbarium Leiden di Belanda. Latar Belakang Dibangunnya Plot STREK Plot-plot ini dibangun pada tahun 1989 oleh Pemerintah Indonesia dengan bantuan dari Pemerintah Perancis. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda (BPKS) bekerjasama dengan CIRAD Foret menetapkan plot-plot penelitian tersebut di areal HPH PT. Inhutani I Labanan dan PT. Inhutani I membantu pengelolaan plot-plot tersebut. Selama bertahun-tahun hingga tahun 1990, suatu upaya scientific dengan jaringan internasional datang ke lokasi tersebut untuk menjadikan Plot STREK sebagai suatu sumber daya global. Para peneliti dari seluruh dunia telah mengunjungi plot tersebut dan telah memberikan sumbangannya bagi pengembangan suatu pemahaman dunia luar tentang pertumbuhan hutan hujan tropika dataran rendah. Sejak tahun 1996 Negara Uni Eropa melalui dana hibah yang disalurkan kepada Departemen kehutanan melanjutkan bantuannya dalam pengelolaan Plot STREK dan dengan bermitrakan PT. Inhutani I telah memperluas cakupan upaya penelitian dalam rangka penerapan kegiatan pengelolaan hutan secara lestari. Kemitraan internasional dan kerjasama riset telah dijalin dengan Rijksherbarium di Leiden Belanda, Pusat Riset dan Informasi Tanah Internasional (International Soil Research and Information Centre) di Wageningen Belanda, beberapa universitas di Indonesia dan juga sedang dijalin proses kerjasama dengan Institute of 2

4 Hydrology di Wallingfors sebagai suatu perkembangan atas kunjungan-kunjungan yang telah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan asing. Merencanakan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia Dalam Konteks Sains dan Regional dari Plot STREK Cakupan Keterwakilan (Representativeness) oleh Plot STREK Plot STREK berlokasi di kawasan hutan dipterocarpacea dataran rendah di Kalimantan Timur. Tipetipe hutan seperti ini tersebar di Kalimantan dengan luas sekitar 20 juta hektar hutan produksi (dari total kawasan hutan negara yang luasnya Ha) dan di Sumatera sekitar lebih dari 9,5 juta hektar (dari total kawasan hutan negara yang luasnya Ha sumber data NFI). Sedangkan hutan-hutan lainnya yang menjadi sumber produksi kayu yang ada di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya memiliki tipe hutan yang sangat berbeda. Plot-plot tersebut berada di lokasi-lokasi yang kedalaman lapisan tanahnya termasuk kategori dalam, drainasenya sangat baik, kondisi cuaca yang berat, dengan jenis tanah liat merah, yang miskin unsur hara. Jenis tanah tropudults menurut Taxonomy Tanah atau jenis podzolik merah kuning (menurut bahasa Indonesia). Jenis-jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang dominan terdapat di Kalimantan Timur (Tyrie dan Gunawan, 1998). Jenis tanah di Sumatera sejenis dengan yang ada di Kalimantan akan tetapi mungkin dengan tingkat kesuburan yang lebih tinggi yang berasal dari debu-debu volkanik yang secara periodik memperkaya unsur tanah yang ada. Iklim di Tanjung Redeb termasuk iklim dataran rendah tropis yang basah. Curah hujan rata-rata 2000 mm per tahun dimana pada seluruh bulannya menerima curah hujan rata-rata lebih dari 100 mm per tahun. Karena berada di pedalaman yang relatif jauh dari Tanjung Redeb, curah hujan di lokasi-lokasi plot kemungkinan lebih tinggi. Walaupun mengalami musim kering yang cukup berat selama tahun 1997 dan 1998, di plot-plot tersebut tidak terjadi kebakaran hutan. Plot-plot tersebut juga berada pada ketinggian dibawah 100 m dan berada pada daerah temperatur tropis dataran rendah. Kondisi iklim ini mirip dengan keadaan sebagian besar daerah Barat Indonesia, dengan keadaan curah hujan yang mungkin lebih rendah dari Kalimantan bagian Barat dan Tengah serta Sumatera. Jelas disini bahwa plot-plot STREK ditempatkan secara baik. Data dari plot-plot tersebut dapat dipergunakan, dengan hati-hati, dalam menilai pertumbuhan kembali hutan produksi di banyak wilayah Indonesia bagian Barat. Mengapa Kita Memerlukan Plot STREK? Indonesia telah menerapkan suatu strategi produksi, konservasi dan perlindungan daerah aliran sungai yang memanfaatkan hutan alam. Apabila strategi multi guna ini penting untuk dipenuhi dan selanjutnya hutan harus dikelola secara lestari. Pengelolaan hutan lestari bergantung pada pemahaman yang menyeluruh tentang proses-proses didalam hutan alam. Apabila kegiatan pembalakan dilakukan secara berlebihan, akan menurunkan kemampuan hutan untuk tumbuh kembali. Produksi akan hilang atau menurun dan seluruh fungsi perlindungan dan konservasi akan menjadi hancur. Bencana banjir yang terjadi di China selama tahun 1998 merupakan suatu contoh yang tragis dari dampak negatif penebangan hutan yang berlebihan. 3

5 Tindakan administrasi China untuk menghentikan penebangan (logging) pada daerah tangkapan air bagian atas, nampak seperti tindakan yang terlambat dilaksanakan, dan mungkin menjadi tindakan yang sia-sia dikaitkan dengan upaya dalam sejarah pelestarian alam. Dampak yang segera terjadi dengan dihentikannya kegiatan penebangan (logging) tersebut adalah terputusnya hubungan kehidupan antara ribuan pengusaha dan pekerja-pekerja kecil yang menggantungkan hidup dan bisnisnya dari hutan. Industri yang membutuhkan bahan baku dari hutan menjadi tutup, dan lebih banyak lagi orang yang menerima dampaknya. Bencana ini termasuk bencana ekonomi yang dialami oleh masyarakat sebagai puncak terjadinya bencana dibidang lingkungan. Pada pengelolaan hutan dimungkinkan untuk diperoleh suatu keseimbangan antara penebangan (logging) dengan pertumbuhan kembali hutan yang memungkinkan tercapainya ketiga fungsi hutan dan secara tidak langsung juga tercapainya fungsi hutan yang keempat yaitu fungsi sosial yang tidak bersifat eksploitif secara berkesinambungan. Bagaimanapun juga hal tersebut hanya mungkin terjadi apabila batas-batas lingkungan yang aman telah diketahui dan dipergunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan eksploitasi hutan. Walaupun menurut standar dunia, hutan-hutan tropika tumbuh secara cepat, namun perencanaan yang hatihati tetap diperlukan untuk menjamin kegiatan yang dapat dilaksanakan secara konsisten selama 35 tahun daur tebangan. Para manajer, kegiatan administratif, dan bahkan kekuatan politik akan berubah dalam kurun waktu 35 tahun. Oleh karenanya sangatlah penting untuk memiliki dokumen perencanaan yang baik yang dibuat didasarkan atas fakta-fakta nyata yang ada. Plot STREK telah mulai untuk menyiapkan data guna mendukung proses perencanaan. Seberapa Pentingkah Plot STREK? Selain Plot STREK, di Kalimantan terdapat dua set plot penelitian lainnya yang dapat dijadikan perbandingan. PT. ITCI dengan Tropenbos pada tahun 1976/1977 telah membuat 14 plot dengan luas total 11.5 ha yang berada pada areal hutan bekas penebangan. Plot-plot tersebut luasnya lebih kecil dibandingkan luas Plot STREK, namun plot-plot tersebut selama ini telah digunakan sebagai pelengkap dari Plot STREK hingga terjadinya kerusakan pada plot-plot tersebut akibat kebakaran yang terjadi pada tahun Pada plot PT. ITCI telah dilakukan pengukuran dengan interval waktu yang tidak teratur dan pada saat ini pengukuran untuk 10 plot telah selesai dilakukan. Namun pada plot-plot tersebut tidak diberikan perlakuan silvikultur tertentu. Plot lainnya adalah plot yang dibuat oleh BPK - Samarinda dengan DfID - Inggris sebanyak 15 plot dengan luas 15 ha. Pada enam dari plot-plot tersebut telah dilakukan penebangan pada tahun 1997/1998 dengan menggunakan teknik Reduced Impact Logging. Pengukuran pasca-pembalakan pertama akan diselesaikan pada tahun 1999, dan beberapa data belum mencakup suatu data periodik yang cukup lengkap untuk melaksanakan studi dibidang growth & yield. Disamping itu terdapat plot-plot PSP yang tersebar di areal-areal HPH di Kalimantan, beberapa diantarannya telah dapat dimanfaatkan, tetapi kebanyakan plot-plot tersebut belum dikelola dengan benar dan datanya tidak standar data penelitian (Jan Rombouts, 1998) Di Sumatera, Biotrop telah membuat juga plot PSP di Jambi pada tahun Plot-plot yang ada di Pasir Mayang telah berubah oleh adanya pengembangan daerah tersebut dan sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Sedangkan plot-plot yang ada di Batang Ule arealnya telah berubah menjadi kebun sawit. 4

6 Oleh karenanya, menjadikan Plot STREK sebagai satu-satunya sumber data jangka panjang yang dapat dipergunakan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari di wilayah Indonesia bagian Barat. Plot STREK ini amat penting bagi kehutanan Indonesia dan juga kepentingan memperoleh pengakuan internasional. Perkembangan Terakhir Hasil Plot STREK Data yang diperoleh dari plot STREK hingga saat ini, menunjukkan bahwa pembalakan di lokasi hutan Labanan tidak dapat dilakukan ulang sebelum mencapai umur 50 tahun sejak penebanganan pertama yang dilakukan pada Virgin Forestnya (Jan Rombouts, paper BFMP, yang dipresentasikan pada Workshop Growth & Yield yang diselenggarakan Ditjen. Pengelolaan Hutan Produksi, di Hotel Mulia, Jakarta, 1998). Hasil ini diperoleh dari penggunaan model growth & Yield yang menggunakan data masukan dari hasil pengukuran selama 6 tahun dimana dalam waktu tersebut hutan telah nampak mulai pulih dari akibat pembalakan yang dilakukan. Dari data hasil modeling ditunjukan bahwa pada tahun-tahun pertama setelah pembalakan terjadi penurunan volume tegakan sebagai akibat adanya tambahan pohon-pohon yang mati akibat pembalakan, pada saat yang bersamaan individu pohon tinggal mulai nampak pulih dari akibat pembalakan. Oleh karenanya dapat terjadi bahwa apabila pohon-pohon komersil telah pulih kembali, maka laju pertumbuhan tegakan akan meningkat lebih tinggi, walaupun hal ini mungkin disebabkan juga oleh meningkatnya naungan. Kita belum dapat mengetahui secara pasti keadaan sesungguhnya hingga dilakukannya pengukuranpengukuran lanjutan di tahun-tahun mendatang. Apabila kita membuat perencanaan hanya berdasarkan informasi yang ada pada saat ini, maka kita perlu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap seluruh hasil proyeksi yang dibuat berdasarkan ketentuan TPTI. Keadaan ini akan memberikan dampak secara langsung terhadap industri logging dan industri pengguna di hilir. Seberapa Berhargakan Plot STREK tersebut Menyadari bahwa tidak adanya plot-plot yang memiliki kondisi yang sama di Indonesia dan kecil kemungkinannya untuk mengganti plot-plot STREK tersebut, maka sangat beralasan apabila dikatakan bahwa plot-plot tersebut amatlah berharga. Dilihat dari aspek inventasi, maka Indonesia telah membuat suatu inventasi yang berharga dibidang tenaga kerja dan sumber daya alam. Masyarakat internasional telah memberikan sumbangsihnya yang sangat besar nilainya yaitu mencapai puluhan juta dolar, dalam bentuk jasa tenaga ahli, peralatan, bantuan logistik dan program pelatihan. PT. Inhutani I telah memberikan bantuan, yang tidak kecil jumlahnya, terhadap kegiatan ini untuk selama 10 tahun hingga saat ini. Keuntungan yang diperoleh dengan adanya Plot STREK adalah bahwa Indonesia telah memiliki data dengan standar internasional sebagai dasar bagi penyusunan perencanaan untuk mendukung kebijaksanaan pengelolaan hutan lestari untuk perolehan multi fungsi dari ekosistem hutan. Keadaan ini memberikan suatu kredibilitas yang baik dimata masyarakat dunia yang merupakan pasar masa depan bagi produk-produk hasil hutan. Nilai produk Hasil hutan yang berasal dari hutan yang telah dikelola secara lestari sudah dapat dipastikan akan jauh lebih tinggi dibandingkan produk lainnya yang tertinggal dari kondisi ini. Sebagian dari Strategi yang mantap dalam Pelestarian Produksi Hutan Alam, maka Plot STREK memiliki nilai yang sangat berharga. Keuntungan langsung lainnya yang dapat diperoleh adalah berupa pelaksanaan training dengan memanfaatkan plot-plot STREK yang ada dan Herbarium Berau yang sedang dibangun. Melihat status 5

7 plot yang telah dikenal secara internasional maka sangatlah dimungkinkan untuk mengundang pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia dan ilmuwan-ilmuwan muda dari negara-negara lain untuk mengikuti program pelatihan di Berau. Pada saat ini EU sudah membangun Pusat Pelatihan di Berau. Keuntungan lainnya yang dapat diperoleh adalah adanya peluang untuk membangun industri eco-tourisme dan industri jasa yang berhubungan dengan instalasi yang telah dibangun di Berau. Kedudukan Plot STREK Secara Internasional Plot-plot STREK telah meningkat perannya dalam mewakili satu dari sumber-sumber data yang amat berharga untuk mengembangkan studi tentang pertumbuhan (yeild) di Indonesia dan di dunia. Plotplot tersebut dapat mewakili secara signifikan dilihat dari arealnya yang cukup luas (72 ha), identifikasi botani yang dilakukannya cukup komprehensif dan cakupan perlakuan eksperimennya yang cukup memadai. Di Malaysia terdapat beberapa set dari plot-plot yang diletakan pada tipetipe hutan yang sama yaitu di Semenanjung Malaysia, Sarawak dan Sabah. Seringkali plot-plot tersebut mencakup jangka waktu yang lebih lama dan meliputi areal yang luasnya sama atau yang lebih luas. Bagaimanapun, beberapa plot ditempatkan pada hutan yang belum ditebang (misalnya di Banum Valley di Sabah) dan plot-plot lainnya ditempatkan pada hutan yang telah ditebang tanpa adanya plot kontrol dengan jumlah memadai yang diletakkan pada hutan yang belum ditebang. Plot STREK dapat mewakili secara nasional maupun intenasional dengan alasan-alasan sebagai berikut : Luas areal plot (72 ha) Perlakuan eksperimen (2 perlakuan penjarangan dan 3 perlakuan pembalakan termasuk plot perlakuan kontrol dalam jumlah memadai yang tidak dilakukan penebangan) Dilakukannya identifikasi botani Seluruh posisi pohon dicatat (hal ini penting bagi beberapa kegiatan modeling) Kualitas data telah memenuhi standar ilmiah 6

8 LAMPIRAN I : PLOT STREK - Perlakuan Pada Petak Ukur Parmanen di Areal HPH PT. Inhutani I di Labanan di Berau Kalimantan Timur Tiga perlakuan telah diterapkan pada RKL 4 dan dua perlaukuan pada RKL 1, ditambah plot-plot kontrol pada setiap lokasi. Setiap perlakuan memiliki 3 kali pengulangan. Plot- plot luasnya 4 ha dan dibagi dalam 4 sub plot dengan luas 1 ha untuk setiap sub plot. Sehingga seluruhnya berjumlah 72 sub plot. No. Plot Perlakuan RKL 4 1, 4, 10 Virgin Forest ( kontrol ) 2, 3, 12 Reduced Impact Logging > 50 cm dbh ( RIL > 50 ) 5, 6, 7 Reduced Impact Logging, > 60 cm dbh ( RIL > 60 ) 8, 9, 11 Pembalakan Konvensional ( CNV ) RKL 1 4, 5 Tidak ada perlakuan ( kontrol ) 1, 6 Penjarangan sistematis 2, 3 Perlindungan terhadap pohon potensial Penjelasan umum tentang perlakuan yang diberikan : RKL 4 dengan Perlakuan Penebangan dari November Maret 1992 Virgin Forest : Hutan primer dengan habitat alami. Hutan ini belum pernah ditebang. Diperlukan sebagai plot kontrol untuk RKL 4. Reduced Impact Logging > 50 cm dbh ( RIL > 50 ) : Inventarisasi tegakan pohon dan Identifikasi spesies dilakukan sebelum dilakukan pembalakan. Seluruh pohon dengan diameter dbh > 50 cm ditebang dan dikeluarkan dengan suatu prosedur yang dapat meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal, jalan sarad disesuaikan dengan topografi dan dilakukan penebangan dengan penetapan arah rebah dengan sudut rebah kurang dari 45 % terhadap arah penyaradan. Reduced Impact Logging > 60 cm dbh ( RIL > 60 ) : Inventarisasi tegakan pohon dan Identifikasi spesies dilakukan sebelum dilakukan pembalakan. Seluruh pohon dengan diameter dbh > 50 cm ditebang dan dikeluarkan dengan menggunakan prosedur yang sama seperti pada RIL > 50. Pembalakan Konvensional ( CNV ) : Dilakukan pembalakan dengan cara-cara yang biasa dilaksanakan yang meliputi kegiatan inventasisasi tegakan dan identifikasi spesies (jenis komersil) sebelum penebangan. Pohon-pohon yang akan ditebang dipetakan tanpa mencantumkan keadaan topografinya. Jaran sarad dirancang berdasarkan pengalaman; akses yang mudah terhadap pohon merupakan pedoman prinsipil yang dipergunakan. Penebangan 7

9 pohon dilaksanakan dengan cara yang paling memudahkan bagi tenaga/kru penebang dengan mempertimbangkan proses penyaradan yang sebaik mungkin. RKL 1. Perlakuan Penjarangan terhadap Hutan Bekas Tebangan Tahun 1980 Kontrol ( RKL 1 ) : Lokasi RKL 1 ditebang lebih dari 10 tahun yang lalu, sebelum dibuat atau diwajibkan adanya PUP. Plot-plot kontrol ini tidak menerima perlakuan silvikultur lebih lanjut. Penjarangan Sistematis : Seluruh kayu-kayu tidak komersil dari diameter dbh > 20 cm dikeluarkan atau dimatikan dengan menggunakan racun Garlon/DMA. Tingkat penjarangan tidak lebih dari 35 % dari total luas bidang dasar. Perlindungan terhadap pohon potensial : Spesies non komersil dengan diameter dbh > 20 cm yang berada lingkaran dengan diameter 10 cm disekeliling pohon-pohon komersil dimatikan, sedangkan pohon non komersil dengan diameter dbh > 40 cm yang berada di bagian luar dari lingkaran tersebut dimatikan. Tingkat jumlah pohon yang dimatikan berada dalam batas toleransi 35 % dari luas bidang dasar. Pohon-pohon tersebut dimatikan dengan proses peracunan menggunakan Garlon/DMA. 8

Latar Belakang Tujuan Penelitian Bahan dan metode Hasil & Pembahasan Kesimpulan

Latar Belakang Tujuan Penelitian Bahan dan metode Hasil & Pembahasan Kesimpulan /0/0 AYPBC Widyatmoko Laboratorium Genetika Molekuler Disampaikan Pada Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia Jogjakarta Maret 0 Latar Belakang Tujuan Penelitian Bahan dan metode Hasil & Pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PT Inhutani II adalah BUMN Holding Kehutahan di luar Jawa, dengan aktivitas bisnis utama meliputi pengusahaan hutan alam, pengusahaan hutan tanaman,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta sumberdaya manusia.das

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 PWH BAB II TINJAUAN PUSTAKA PWH adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A. Syahrani Samarinda Telp. (0541) Fax (0541)

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A. Syahrani Samarinda Telp. (0541) Fax (0541) STRUKTUR TEGAKAN TINGGAL PADA UJI COBA PEMANENAN DI HUTAN PENELITIAN LABANAN, KALIMANTAN TIMUR (Structure of Residual Stand in Logged Technique Experiment at Labanan Forest Research, East Kalimantan)*

Lebih terperinci

PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4

PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4 PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4 Dinda Wahyuni Venza Rhoma S Meiliana Larasati Rinaldo Pratama

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai bagian dari pembangunan wilayah masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait. Peristiwa banjir,

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 27 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) 5.1.1 Kerapatan Jalan (WD) Utama dan Jalan Cabang Berdasarkan pengukuran dari peta jaringan jalan hutan PT. Inhutani I UMH Sambarata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. No.24, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor :P.11/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014 TENTANG PEMBATASAN LUASAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) DALAM HUTAN ALAM, IUPHHK HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAU

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus akan mengalami

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh : PERKEMBANGAN KEADAAN TEGAKAN TINGGAL DAN RIAI' DIAMETER POHON SETELAH PEMANENAN KAYU DENGAl\' SISTEM TPTI DI AREAL HPH PT. KlANI LESTARI KALIMANTAN TIMUR Oleh : ROUP PUROBli\1 E 27.0932.IURUSAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 2

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.65/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.11/MENHUT-II/2009 TENTANG SISTEM SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM

Lebih terperinci

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (PAN-RAP Karbon) Nomor: SK. 494/Menhut-II/2013 Hutan Rawa Gambut Tropis Merang-Kepayang Sumatera Selatan, Indonesia Oleh: PT. GLOBAL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan

Lebih terperinci

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2)

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2) ISSN 1411 67 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 9, No. 1, 27, Hlm. 32-39 32 DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT.

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN Kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDB terus merosot dari1,5% pada 1990-an menjadi sebesar 0,67% pada tahun 2012 (Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi baik dalam bentuk cairan maupun es. Hujan merupakan faktor utama pengendali daur hidrologis

Lebih terperinci

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN HUTAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN PEMANENAN KAYU

PERENCANAAN PEMANENAN KAYU PERENCANAAN PEMANENAN KAYU A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERENCANAAN PEMANENAN KAYU Defenisi : Perencanaan pemanenan kayu diartikan sebagai perancangan keterlibatan hutan beserta isinya, manusia/organisasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi Oleh Bastoni dan Tim Peneliti Balai Litbang LHK Palembang

Lebih terperinci

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja No. 1327, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Berkala. Rencana Kerja. Izin. Hasil Hutan. Restorasi Ekosistem. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli KAJIAN SISTEM SILVIKULTUR DAN PERTUMBUHAN HUTAN BEKAS TEBANGAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DI SUMATERA BAGIAN UTARA 1) Oleh : Aswandi 2) dan Rusli MS Harahap 2) ABSTRAK Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Luas Areal Yang Terbuka 5.1.1. Luas areal yang terbuka akibat kegiatan penebangan Dari hasil pengukuran dengan menggunakan contoh pengamatan sebanyak 45 batang pohon pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM DENGAN

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA ISSN 1410-1939 DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA Nursanti Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak,

Lebih terperinci

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 83-89 KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT (Residual Stand Damage Caused by Timber Harvesting in Natural Peat

Lebih terperinci

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka pembangunan ekonomi jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam merupakan kekayaan Negara yang harus dikelola secara bijaksana guna kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATRA

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) The Effect of Reduced Impact Timber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Menurut Sessions (2007), pemanenan hutan merupakan serangkaian aktivitas penebangan pohon dan pemindahan kayu dari hutan ke tepi jalan untuk dimuat dan diangkut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

B. BIDANG PEMANFAATAN

B. BIDANG PEMANFAATAN 5 LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 145/Kpts-IV/88 Tanggal : 29 Februari 1988 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. PURUK CAHU JAYA KETENTUAN I. KETENTUAN II. TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3. 1 Luas dan Lokasi Hutan Gambut Merang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS SELUAS ± 29.000 (DUA PULUH SEMBILAN RIBU) HEKTAR DI KELOMPOK HUTAN PESISIR, DI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Laporan ini berisi Kata Pengantar dan Ringkasan Eksekutif. Terjemahan lengkap laporan dalam Bahasa Indonesia akan diterbitkan pada waktunya. LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Pendefinisian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN (IUPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI. Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI. Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI OPERATIONAL HTI Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA Disampaikan pada acara: FOCUS WORKING

Lebih terperinci