IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA Djumali Mardji Laboratorium Perlindungan Hutan, Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Identification of Species of Mycorrhizal Fungi In Natural Forest and Coal Mining Land-over of PT Trubaindo Coal Mining Muara Lawa. The purpose of this research was to determine the diversity of fungal species of ectomycorrhiza on natural forest and coal mining land-over that had been planted (rehabilitated); to determine the dominant species of ectomycorrhizal fungus, both in natural forests as well as in land that had been rehabilitated and to determine the extent to which the success of coal mining land-over rehabilitation related with the presence of endomycorrhizal fungi. The diversity of fungal species and the potential of ectomycorrhizal fungi in natural secondary forests were still quite high, whereas in the area of rehabilitation could not find ectomycorrhizal fungi, but endomycorrhizal fungi on the root of rehabilitation plants. The number of ectomycorrhizal fungi were 49 species with 129 individuals. It was possible when examined with a longer time and in different seasons, especially the rainy season, it will find many more species and individual. The most dominant ectomycorrhizal fungi was Russula spp., it meant that the kinds of trees in natural secondary forests of PT TCM in the family of Dipterocarpaceae dominated by Shorea spp. were associated with this fungi. Disease occured in plants in the area of rehabilitation of the most detrimental was the abiotic factors of nutrient deficiencies that resulted in chlorotic and stunted plants. In addition, an open area caused high soil temperatures, so the soil dried quickly, which was not so favorable conditions for plant growth and mycorrhizal fungi. Biotic factors were also found as a cause of disease in plant rehabilitation, but did not cause significant damage, such as stem borers and root rot in Gmelina and termite attack on the roots of durian. In the area of rehabilitation there were many Acacia mangium growing naturally with better growth than plants of rehabilitation, this showed that the species could fertilize the soil in site where it grew up, because A. mangium root formed nodules and associated with endomycorrizal and ectomycorrizal fungi. Kata kunci: mikoriza, rehabilitasi, Trubaindo, Gmelina arborea, Acacia mangium PT Trubaindo Coal Mining (TCM) adalah salah satu perusahaan pertambangan batu bara PKP2B (Perusahaan Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) generasi II yang sudah berproduksi sejak Februari Konsesi perusahaan ini secara administrasi berada di Kecamatan Muara Lawa, Kecamatan Melak, Kecamatan Damai dan Kecamatan Bentian Besar Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur dan menurut Anonim (2009) luas konsesinya ha. Rehabilitasi lahan merupakan salah satu program pengelolaan lingkungan yang menjadi prioritas perusahaan yang meliputi kegiatan pengisian kembali areal bekas 42

2 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL tambang (backfill area) dan areal bekas kolam pengendapan, kegiatan pengaturan permukaan lahan dan penanaman kembali areal terbuka/revegetasi. Dalam kegiatan penambangan terjadi proses perubahan yang radikal dalam lingkungan, baik hayati maupun non hayati. Banyak sumber daya alam hayati hilang dalam proses tersebut, begitu juga jamur yang merupakan salah satu komponen keanekaragaman hayati juga turut hilang dalam proses tersebut. Menurut Suriawiria (1993) jamur/cendawan/fungi terdiri atas ratusan ribu jenis dan varietas, setiap saat jamur yang diketahui bertambah karena adanya penemuan-penemuan baru maupun yang sebelumnya belum pernah terjamah. Usher (1979) memberikan pengertian, jamur adalah tumbuhan yang mempunyai inti sel, tidak mempunyai klorofil, bersifat parasit dan atau saprofit, tubuhnya terdiri atas sel-sel filamen sederhana berupa hifa, reproduksi berlangsung secara asexual dan atau sexual yang menghasilkan spora; dengan tidak adanya klorofil, maka jamur tidak dapat melakukan fotosintesis, sehingga mengambil makanan dari bahan organik hidup ataupun mati. Menurut Boyce (1961), Bigelow (1979), Nonis (1982), jamur terdiri atas berbagai jenis dan bentuk, seperti jenis-jenis agarics (jamur bila/insang), boletes (jamur berongga), polypores (jamur berpori), hydnum (jamur bergerigi), clavarias (seperti bunga karang), puffballs (seperti bola), earth stars (seperti bintang), stink horns (seperti tanduk) dan bird s nest (seperti sarang burung). Banyak jenis jamur yang tumbuh di hutan, baik di tanah, serasah (daun, ranting dan cabang-cabang kecil), pohon dan kayu mati, di antaranya ada yang berguna bagi tumbuhan dan makhluk hidup lainnya seperti jamur mikoriza, jamur yang bisa dimakan, untuk obat serta untuk industri makanan dan minuman. Manfaat lain disebutkan oleh Anonim (1997), bahwa kota Hiroshima di Jepang yang hancur akibat bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika pada perang dunia kedua diperkirakan oleh para ahli tidak akan ada kehidupan selama beberapa abad, sehingga memerlukan waktu ratusan tahun untuk menghilangkan efek radioaktif secara menyeluruh. Tetapi dengan adanya jamur (dan juga bakteri) yang telah mendegradasi bahan organik yang terkontaminasi oleh radioaktif, maka efek radioaktif berangsur-angsur hilang dan tanahnya dapat ditanami kembali, sehingga kota tersebut pulih kembali dalam waktu kurang dari 30 tahun dengan pemukiman dan taman-tamannya yang hijau. Jamur mikoriza adalah jamur yang bersimbiosis dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, sehingga terbentuk mikoriza (mykes = jamur, rhiza = akar). Di tiga lokasi yaitu di Bukit Soeharto, Wanariset di Samboja dan PT International Timber Cooperation of Indonesia (ITCI) di Kenangan ditemukan 60 jenis jamur mikoriza (Jülich, 1988). Pada hutan yang tidak terbakar di Hutan Lindung Sungai Wain ditemukan lebih banyak jenis jamur mikoriza dibandingkan dengan di hutan yang telah terbakar, masing-masing 16 jenis dan 6 jenis (Noor, 2002). Mardji dan Noor (2006) melaporkan, bahwa di Hutan Lindung Gunung Lumut (Kabupaten Paser) pada habitat dengan kerusakan ringan, jenis jamur mikoriza tumbuh lebih banyak (45 jenis) daripada di habitat yang rusak berat (14 jenis), di mana kerusakan hutan yang berat tersebut diakibatkan oleh penebangan liar (illegal logging). Srisusila (2007) menemukan sebanyak 31 jenis jamur mikoriza di kawasan Malinau Research Forest (MRF) Cifor atau sekitar 11% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi dari

3 44 Mardji (2010). Identifikasi Jenis Jamur Mikoriza petak-petak penelitian di MRF. Dari 31 jenis jamur mikoriza yang terdapat di kawasan MRF tersebut, 13 jenis terdapat pada petak Reduced Impact Logging (RIL), 22 jenis pada petak Convensional (CNV) dan 2 jenis pada petak Ladang (LDG). Perbedaan jumlah jenis jamur mikoriza tersebut mengindikasikan keadaan hutan yang bersangkutan. Petak LDG merupakan petak yang paling sedikit jumlah jenis jamur mikorizanya, karena memang areal perladangan merupakan areal yang kondisi hutannya sudah buruk (terbuka), sudah sangat jarang ditemukan pohon yang merupakan inang bagi jamur mikoriza, begitu juga suhu udaranya yang rata-rata 32,6 C, jadi lebih tinggi daripada di petak RIL dan CNV, sehingga tidak mendukung pertumbuhan jamur mikoriza. Menurut Jülich (1988), jamur mikoriza dapat berkembang dengan baik pada suhu C. Oleh karena itu, jamur mikoriza dapat dijadikan indikator kondisi hutan, bila banyak ditemukan jenis jamur mikoriza, berarti hutan tersebut masih baik yang ditandai dengan adanya pohon-pohon besar sebagai inangnya, sebaliknya bila jamur mikoriza sedikit atau tidak ditemukan sama sekali, maka hutan tersebut telah rusak yang ditandai dengan jarang atau tidak ada pohon-pohon besar untuk inang jamur mikoriza. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza yang ada pada lahan yang telah ditanami (direhabilitasi), baik pada lokasi pasca tambang maupun di hutan alam; untuk mengetahui jenis jamur ektomikoriza yang dominan, baik di lahan yang telah direhabilitasi maupun di hutan alam dan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan rehabilitasi lahan pasca tambang, hubungannya dengan kehadiran jamur endomikoriza. Hasil yang diharapkan sebagai bahan informasi tentang keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza di lokasi penelitian; dengan ditemukannya jenis jamur ektomikoriza yang dominan, maka dapat dimanfaatkan sebagai inokulum (bahan penular) pada jenis pohon tertentu yang digunakan untuk menghutankan kembali lahan pasca tambang dan memberi masukan kepada PT TCM tentang pentingnya mikoriza di lahan pasca tambang, baik endomikoriza maupun ektomikoriza. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di konsesi PT Trubaindo Coal Mining (TCM) Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur. Plot-plot penelitian berbentuk bujur sangkar di hutan alam sekunder dibuat di antara , ,0 4,0 LS dan , ,5 BT. Penelitian lapangan dilakukan selama 9 hari yang dimulai dari tanggal 8 sampai 16 Juni 2009, dilanjutkan dengan identifikasi jenis jamur di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda selama satu bulan. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tali nilon 25 m untuk mengukur plot penelitian, kompas untuk menentukan arah plot, parang untuk merintis jalur di dalam plot, naphthalene untuk mengawetkan jamur, kantong plastik untuk tempat jamur, kamera digital untuk memotret jamur, pisau cutter, untuk

4 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL mengiris tubuh buah jamur dalam proses identifikasi jenis, mikroskop untuk melihat miselium jamur endomikoriza pada tanaman rehabilitasi. Untuk mendapatkan tubuh buah jamur ektomikoriza di hutan alam, maka dibuat plot-plot penelitian yang tersebar secara merata di lokasi penelitian. Jumlah plot penelitian adalah sebanyak 5 plot dengan luas setiap plot adalah 1 ha. Arah plot dibuat sama, yaitu utara-selatan dan masing-masing plot dibatasi dengan rintisan selebar 1 m. Di areal rehabilitasi tidak dibuat plot penelitian, melainkan sesuai dengan luas masing-masing areal yang ada, yaitu yang berumur 1, 2 dan 3 tahun. Selain arealnya datar, juga mudah dilalui dengan menelusurinya untuk melakukan pengamatan keberadaan jamur ektomikoriza. Jamur yang diambil adalah tubuh buah jamur ektomikoriza yang kasat mata. Pengumpulan tubuh buah jamur dilakukan secara sensus di dalam plot-plot yang telah dibuat, dengan cara mengamati keberadaan tubuh buah jamur di lantai hutan. Tubuh buah jamur yang telah ditemukan diberi nomor plot dan nomor jamur, difoto dan dimasukkan dalam kantong plastik untuk dibawa ke guest house PT TCM. Setelah itu dideskripsi morfologinya dan diidentifikasi dalam keadaan masih segar, karena bila sudah kering ukuran dan warnanya bisa berubah yang bisa mengakibatkan kesalahan. Setelah diidentifikasi, kemudian dimasukkan di dalam kulkas agar tetap awet. Kemudian tubuh buah jamur dibawa ke Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda untuk dikeringkan dengan menggunakan oven pada temperatur 50 C. Setelah kering, jamur dimasukkan dalam kantong plastik berisi naphthalene untuk mencegah kerusakan oleh organisme lain. Dalam mengidentifikasi jenis jamur digunakan beberapa literatur yang dilengkapi dengan foto-foto berwarna. Baik dalam keadaan masih segar maupun berupa foto tubuh buah jamur yang telah dikumpulkan dibandingkan dengan yang ada di literatur. Literatur yang digunakan adalah karangan Bigelow (1979), Nonis (1982), Imazeki dkk. (1988), Jülich (1988), Bresinsky dan Besl (1990), Breitenbach dan Kränzlin (1991), Læssøe dan Lincoff (1998), Pace (1998). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Perlindungan Hutan. Data morfologi yang dideskripsikan adalah tudung (cap, pileus): ukuran, bentuk, warna, permukaan, tepi, kekenyalan dan kelembapan/kebasahan; bilah (gills, lamellae): warna dan alat tambahan; pori-pori (pores): warna dan alat tambahan; tangkai (stem, stipe): ukuran, bentuk, warna, permukaan, kekenyalan, kekakuan. kekenyalan bila dipatah dan kelembapan/kebasahan; cincin (annulus, cortina): ada atau tidak dan bentuknya; cawan (volva): ada atau tidak dan bentuknya; bau (odor): lemah, kuat/tajam. Tanaman yang digunakan untuk rehabilitasi lahan pasca tambang adalah jenis tanaman buah-buahan seperti: cempedak, durian, langsat, lengkeng, mangga dan rambutan; tanaman perkebunan yang ditanam adalah karet dan tanaman kehutanannya adalah Gmelina arborea. Tanaman-tanaman tersebut biasanya bersimbiosis dengan jamur endomikoriza (Jülich, 1988). Untuk membuktikan apakah tanaman-tanaman itu bersimbiosis dengan jamur endomikoriza, maka tanah di sekitar tanaman-tanaman tersebut digali dan contoh akar dari masing-masing jenis

5 46 Mardji (2010). Identifikasi Jenis Jamur Mikoriza tanaman itu diambil untuk diperiksa dengan menggunakan mikroskop kemudian difoto. Data hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk daftar jenis jamur yang diikuti dengan morfologinya. Jumlah tubuh buah semua jenis jamur yang ditemukan dan jumlah individu setiap jenis dihitung. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Jamur Ektomikoriza Dari hasil penelitian diketahui, bahwa di lahan rehabilitasi tidak ditemukan tubuh buah jamur ektomikoriza, melainkan miselium jamur endomikoriza pada akar tanaman, sedangkan di hutan alam sekunder ditemukan sejumlah tubuh buah jamur ektomikoriza. Jumlah jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan di hutan alam ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Jenis dan Individu Jamur Ektomikoriza yang Ditemukan di Hutan Alam Sekunder PT Trubaindo Coal Mining Plot Jenis Individu I II 6 13 III 9 11 IV 9 14 V Jumlah Pada Tabel 1 terlihat, bahwa jumlah jenis jamur ektomikoriza pada masingmasing plot penelitian berbeda, yaitu berkisar antara 6 sampai 18 jenis dan yang paling banyak ditemukan adalah pada plot V. Perbedaan jumlah jenis pada masingmasing plot tersebut bisa disebabkan karena perbedaan temperatur udara, kelembapan udara, ketebalan serasah di lantai hutan dan jenis vegetasi yang ada di dalam plot. Temperatur dan kelembapan udara tampaknya tidak ada perbedaan yang mencolok, karena ketinggian tempat tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara m dpl. Ketebalan serasah di masing-masing plot juga kurang lebih sama. Pada tempat-tempat yang mempunyai lapisan serasah tebal, maka tubuh buah jamur sulit mengangkatnya, sehingga tidak terlihat oleh pencari jamur atau bahkan tubuh buah sulit terbentuk, atau bisa juga terjadi bahwa tubuh buah sudah terbentuk tetapi segera dimakan oleh pemangsa seperti jenis-jenis serangga, ulat dan busuk karena terserang bakteri. Faktor keempat yaitu jenis vegetasi juga menjadi penyebab perbedaan jumlah jenis yang ditemukan di setiap plot. Di plot V pada umumnya tidak terdapat tumbuhan bawah yang rimbun seperti jenis-jenis semak, laos hutan dan jenis-jenis lain yang bukan inang jamur ektomikoriza, melainkan jenis-jenis pohon besar terutama dipterokarpa yang menyebabkan sinar matahari lebih banyak sampai ke lantai hutan. Pada umumnya untuk pembentukan tubuh buah, jamur

6 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL membutuhkan sinar walaupun sinar yang diperlukan tidak tinggi intensitasnya. Oleh karena itu pada tempat-tempat yang ditumbuhi oleh semak-semak, laos hutan dan tumbuhan bawah lainnya sehingga tampak rimbun dan gelap tidak ditemukan tubuh buah jamur ektomikoriza. Jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan pada plot satu ada yang sama dengan plot lainnya atau pada tempat yang berbeda di plot yang sama. Hal ini dapat terjadi bila jenis jamur tersebut mampu beradaptasi dengan tempat tumbuh yang berbeda atau inangnya sama atau inangnya lebih dari satu, sehingga jamur demikian dapat ditemukan di tempat yang berbeda di hutan alam tersebut. Contohnya seperti Calostoma fuscum, Russula fragilis, Russula sp.2 dan R. virescens. Jumlah seluruh jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan di hutan alam sekunder adalah 49 jenis dengan 129 individu. Hanya 2 jenis jamur ektomikoriza yang tidak dapat dideskripsi karena telah hancur dalam perjalanan, sehingga tidak dapat diidentifikasi dan tidak dimasukkan dalam jumlah jenis yang ditemukan tersebut. Jumlah jenis tersebut bisa bertambah bila penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda dan di areal yang lebih luas. Waktu yang berbeda tersebut misalnya pada musim kemarau dan musim penghujan. Pada saat penelitian ini dilakukan, curah hujan di lokasi penelitian sudah mulai berkurang sebagai indikasi mulai memasuki musim kemarau. Jülich (1988) menemukan jenis jamur ektomikoriza yang tahan terhadap kekeringan tanah, yaitu Laccaria dan Scleroderma, maka disarankan kedua jenis jamur ini untuk digunakan pada areal reboisasi, sehingga pada waktu musim kemarau, tanaman dapat bertahan karena adanya simbiosis dengan jamur tersebut. Bila dibandingkan dengan lokasi lain, maka keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza di hutan alam sekunder PT TCM cukup tinggi. Jülich (1988) menemukan, bahwa jumlah jenis jamur ektomikoriza di tiga lokasi yaitu di Bukit Soeharto, Wanariset di Samboja dan International Timber Cooperation of Indonesia (ITCI) di Kenangan adalah 60 jenis. Chalermpongse (1992) melaporkan, bahwa jumlah jenis jamur ektomikoriza di hutan dipterokarpa di Thailand sebanyak 68 jenis. Noor (2002) menemukan pada hutan yang tidak terbakar di Hutan Lindung Sungai Wain lebih banyak jenis jamur ektomikoriza dibandingkan dengan di hutan yang telah terbakar, masing-masing 16 jenis dan 6 jenis. Mardji dan Noor (2006) melaporkan, bahwa di Hutan Lindung Gunung Lumut (Kabupaten Paser) pada habitat dengan kerusakan ringan, jenis jamur ektomikoriza tumbuh lebih banyak (45 jenis) daripada di habitat yang rusak berat akibat illegal logging (14 jenis). Srisusila (2007) menemukan sebanyak 31 jenis jamur ektomikoriza di Malinau Research Forest (MRF) Cifor, yang mana dari 31 jenis jamur yang terdapat di MRF tersebut, 13 jenis di antaranya terdapat pada petak Reduced Impact Logging (RIL), 22 jenis pada petak Convensional (CNV) dan 2 jenis pada petak Ladang (LDG). Perbedaan jumlah jenis jamur ektomikoriza tersebut menggambarkan, bahwa semakin baik keadaan hutan yang bersangkutan, maka semakin tinggi keanekaragaman jenis jamur ektomikorizanya. Petak LDG merupakan petak yang paling sedikit jumlah jenis jamur ektomikorizanya, karena memang ladang merupakan areal yang kondisi hutannya sudah buruk (terbuka), pohon yang merupakan inang bagi jamur ektomikoriza sudah jarang disisakan atau tidak ada sama sekali karena ditebang habis, sehingga temperatur udaranya relatif tinggi, yaitu pada siang hari rata-rata 32,6 C, lebih tinggi daripada di petak RIL dan CNV, sehingga tidak mendukung

7 48 Mardji (2010). Identifikasi Jenis Jamur Mikoriza pertumbuhan jamur ektomikoriza. Menurut Jülich (1988), jamur ektomikoriza dapat berkembang dengan baik pada suhu C. Jumlah individu masing-masing jenis jamur juga berbeda-beda di masingmasing plot. penelitian, tetapi pada umumnya hanya ditemukan satu tubuh buah. Pada dasarnya tubuh buah jamur bisa tumbuh berkelompok, kecuali jenis-jenis Amanita yang biasanya tumbuh soliter, tetapi di dalam dan di permukaan tanah juga terdapat pesaing dan pemangsa yang mengakibatkan terhambatnya pembentukan dan hilangnya tubuh buah. Namun demikian jumlah individu jamur ektomikoriza di lima plot cukup banyak, yaitu 137 individu. Tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah tersebut akan bertambah bila penelitian dilakukan secara periodik, lebih lama dan dengan jangkauan yang lebih luas, karena tubuh buah setiap jenis jamur ektomikoriza berbeda-beda waktu terbentuknya. Bisa juga terjadi bahwa saat tubuh buah muncul ke permukaan tanah langsung dimakan pemangsa, sehingga saat dicari sudah terlambat. Dengan jumlah tersebut, maka hal ini berarti bahwa potensi jamur ektomikoriza di hutan alam sekunder PT TCM masih sangat besar, asalkan habitatnya tidak diganggu, mengingat kegiatan penambangan masih berlanjut sampai beberapa tahun ke depan. Dengan demikian dikhawatirkan temperatur di luar hutan akan naik menjadi lebih tinggi dan kelembapan udara menjadi lebih rendah yang dapat berpengaruh pada temperatur udara di dalam hutan dan akhirnya dapat menyebabkan keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza berangsur-angsur menurun, hanya jenis-jenis yang mampu beradaptasi dengan temperatur tinggi dengan kelembapan rendah saja yang nantinya bisa membentuk tubuh buah. Bila suatu jenis jamur ektomikoriza tidak dapat membentuk tubuh buah dalam jangka waktu lama, maka akan mengakibatkan kepunahannya, karena jamur demikian berkembang biak dengan sporanya, di mana spora tersebut dibentuk di dalam tubuh buah. Dengan masih tingginya keanekaragaman jenis dan potensi jamur mikoriza di hutan alam sekunder PT TCM, maka hal ini penting untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan rehabilitasi lahan pasca tambang bila akan ditanam jenis-jenis tanaman yang memang membutuhkan simbiosis dengan jamur ektomikoriza. Jenisjenis Dipterocarpaceae dan Pinaceae merupakan jenis tanaman yang bersifat obligate host, artinya jenis-jenis yang tidak dapat hidup tanpa bersimbiosis dengan jamur ektomikoriza, sedangkan jenis-jenis lain masih dapat hidup tanpa simbiosis dengan jamur, walaupun hidupnya tidak sebaik yang bersimbiosis, yang mana jenis-jenis ini disebut facultative host. Di antara jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan, jenis-jenis Russula adalah yang paling dominan. Chalermpongse (1992) juga melaporkan hasil yang sama di hutan dipterokarpa di Thailand. Hal ini menunjukkan, bahwa hutan alam PT TCM paling sesuai untuk pertumbuhan jenis-jenis Russula, sehingga bila diinginkan untuk keperluan inokulasi semai jenis-jenis Dipterocarpaceae dapat digunakan jenis-jenis Russula. Tetapi jumlah tubuh buah yang terbentuk pada setiap periode biasanya sedikit, hal ini tidak akan mencukupi untuk bahan inokulasi bila jumlah semai yang akan diinokulasi sangat banyak. Oleh karena itu dapat digunakan bahan inokulasi lain dari jenis jamur yang sama, yaitu dalam bentuk biakan murni miselium jamur yang bisa disediakan dalam jumlah besar di laboratorium.

8 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL Kondisi Tanaman Rehabilitasi di PT Trubaindo Coal Mining Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan rehabilitasi lahan pasca tambang di PT Trubaindo Coal Mining dihubungkan dengan keberadaan jamur endomikoriza, maka telah dilakukan penelitian dengan melihat dari dekat kondisi tanaman rehabilitasi tersebut. Pada umumnya kondisi tanaman yang berumur 1 sampai 3 tahun kurang baik pertumbuhannya. Daunnya klorosis, tingginya sangat kurang bila dibandingkan dengan umurnya dan banyak tanaman yang mati. Contoh rambutan umur 3 tahun tingginya hanya berkisar antara cm, mangga cm, karet cm, gmelina cm, sehingga dapat dikatakan bahwa rehabilitasinya kurang berhasil. Gejala sakit yang ditunjukkan oleh tanaman mengindikasikan bahwa penyebabnya sebagian besar adalah dari faktor abiotik, yaitu unsur hara yang rendah di dalam tanah. Rendahnya kandungan hara di dalam tanah dimungkinkan telah tercampurnya lapisan top soil dengan sub soil. Biasanya top soil lebih subur daripada sub soil, tetapi karena pada saat dilakukan penggalian dan pemindahan ke tempat lain, kemungkinan top soil tidak dipisahkan terlebih dahulu. Hanya beberapa tanaman saja yang menunjukkan gejala sakit akibat faktor biotik, seperti gmelina yang batangnya terserang larva Xyleutes ceramicus, ada juga yang akarnya terserang rayap dan akar durian yang terserang jamur pembusuk, sehingga mengakibatkan tanaman menjadi lebih merana karena penyebabnya adalah kombinasi antara faktor abiotik dan biotik. Hanya sebagian kecil saja dari tanaman rehabilitasi yang pertumbuhannya agak baik, daunnya hijau dan lebih tinggi daripada tanaman yang daunnya klorosis. Bila dilihat pada perakarannya, maka akar tanaman yang pertumbuhannya jelek terdapat miselium jamur endomikoriza yang belum diketahui jenisnya, tetapi tidak sebanyak pada akar tanaman yang lebih bagus pertumbuhannya. Akar tanaman rehabilitasi yang pertumbuhannya jelek (kurus) masih dapat bersimbiosis dengan jamur endomikoriza, tetapi pada umumnya jamurnya kurang berkembang, miselium jamur tidak tebal. Hal ini disebabkan tanaman inangnya kurus akibat kurangnya kandungan hara di dalam tanah. Pertumbuhan jamur endomikoriza tergantung dari pertumbuhan inangnya, bila inangnya tumbuh dengan subur, berarti banyak membentuk karbohidrat, yang mana karbohidrat ini diperlukan oleh jamur untuk pertumbuhannya, bila suplai karbohidrat dari inangnya relatif banyak, maka pertumbuhan jamurnya juga bagus, akar tanaman rehabilitasi yang pertumbuhannya agak subur juga bersimbiosis dengan jamur endomikoriza dengan lapisan miselium yang lebih banyak daripada akar tanaman yang kurus. Hal ini dimungkinkan pada tanah tempat tumbuhnya lebih banyak kandungan haranya, atau pupuk yang sengaja diberikan telah terserap oleh akarnya, sehingga akar tanaman dan miselium jamur menyerap lebih banyak hara dan dengan demikian karbohidrat yang terbentuk melalui proses fotosintesis juga lebih banyak. Kurang berkembangnya miselium jamur endomikoriza dimungkinkan juga disebabkan arealnya terbuka, tidak ada pohon-pohon besar sebagai pelindung, sehingga temperatur tanahnya terlalu tinggi yang mengakibatkan air di dalam tanah cepat menguap dan tanahnya menjadi kering. Menurut Jülich (1988), jamur mikoriza

9 50 Mardji (2010). Identifikasi Jenis Jamur Mikoriza menyukai tanah-tanah dengan temperatur C serta kelembapan tanah dan udara yang sedang, tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Upaya Mengembalikan Kesuburan Tanah Dalam kondisi tanah yang ekstrim, maka kegiatan yang pertama kali perlu dilakukan adalah mengembalikan kesuburan tanah sebelum ditanami tanaman rehabilitasi. PT TCM telah melaksanakannya dengan menanam tanaman penutup tanah (cover crop) dengan hasil yang cukup baik. Tanaman ini terbukti mampu bersaing dengan gulma, membentuk bintil akar (nodule), tetapi jamur endomikorizanya kurang begitu berkembang, sedangkan pada akar A. mangium, miselium jamur endomikorizanya sangat tebal. Selain itu, cover crop harus sering dipelihara dengan menebasnya di sekeliling tanaman pokok rehabilitasi. Bila terlambat, maka tanaman pokok rehabilitasi akan terlilit dan mati karena tercekik dan daunnya tidak mendapat sinar matahari yang cukup. Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yang lebih aman, tidak memerlukan pemeliharaan dan lebih cepat mengembalikan kesuburan tanah. Dari hasil pengamatan diketahui, bahwa tanaman alternatif yang memungkinkan untuk dipilih sebagai pengganti cover crop adalah A. mangium. Pada Gambar 5 terlihat, bahwa A. mangium jauh lebih baik pertumbuhannya bila dibandingkan dengan tanaman rehabilitasi (gmelina), padahal tempat tumbuhnya sama dan kemungkinan umur A. mangium lebih muda daripada tanaman rehabilitasi karena tidak ditanam. Di beberapa lokasi penanaman yang berbeda, A. mangium juga menunjukkan pertumbuhan yang jauh lebih baik daripada tanaman rehabilitasi. Bila dilihat perakarannya, bintil akar yang terbentuk jauh lebih banyak dan ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bintil akar cover crop. Lapisan miselium jamur endomikorizanya juga lebih tebal. Jamur endomikoriza pada akar A. mangium mampu membentuk spora yang berarti jamur tersebut dapat berkembang biak lebih baik dan lebih cepat pada tanah-tanah yang kurang subur, sedangkan pada akar-akar tanaman rehabilitasi tidak ditemukan jamur endomikoriza yang membentuk spora. Selain itu, akar A. mangium juga mampu bersimbiosis dengan jamur ektomikoriza dari kelas Basidiomycetes yang ditandai dengan adanya clamp connection pada sekat-sekat miseliumnya, jadi A. mangium mempunyai ektendomikoriza, hasil ini sesuai dengan pernyataan Harley dan Smith (1983); Julich (1988) bahwa jenis-jenis Acacia mempunyai ektendomikoriza pada perakarannya. Namun jamur endomikoriza maupun ektomikoriza pada A. mangium dalam penelitian ini belum bisa teridentifikasi. Bila kondisi lingkungannya sesuai, maka memungkinkan jamur ektomikoriza untuk membentuk tubuh buah di permukaan tanah dan dengan demikian mudah untuk diidentifikasi jenisnya. Pertumbuhan yang baik tersebut disebabkan A. mangium mampu menghidupi dirinya sendiri, penyerapan hara dan air dari dalam tanah dapat maksimal, karena akarnya mempunyai ektendomikoriza, bintil akar yang terbentuk pada perakarannya mengandung nitrogen (N) hasil pengikatan dari udara yang ada di dalam tanah oleh bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengannya. Nitrogen pada bintil akar akan hancur seiring dengan bertambahnya umur bintil dan N yang ada di dalamnya akan larut di dalam tanah, sehingga tanah menjadi subur. Djiun (1976) menyatakan,

10 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL bahwa bintil akar sangat penting bagi kehidupan tumbuhan terutama di bidang kehutanan; jenis-jenis tumbuhan yang berbintil akar banyak diperlukan dalam program-program reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi hutan. Menurut Dwidjoseputro (1981), pengaruh bintil akar bagi kehidupan tumbuhan sangat signifikan, karena bintil akar dapat mengikat nitrogen bebas dari udara yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Selain itu tidak kecil pula peranan bintil akar dalam menyuburkan tanah (Pritchett, 1979). Soemarwoto dkk. (1981) menyatakan, bahwa peranan tumbuhan Leguminosae dalam bidang kehutanan demikian penting, tidak saja untuk tujuan produksi, tetapi juga untuk pengawetan tanah, perlindungan hutan dan keseimbangan lingkungan hidup. Pentingnya tumbuhan Leguminosae untuk keseimbangan alam/lingkungan hidup karena dapat mengubah gas nitrogen dari udara menjadi ammoniak, yaitu suatu bentuk larutan nitrogen yang dengan mudah dapat diserap oleh tumbuhan. Leguminosae memproduksi sejumlah besar nitrogen yang diikat secara biologis (Anonim, 1981). Kandungan nitrogen dalam tanah yang dihasilkan oleh tumbuhan Leguminosae tersebut di beberapa daerah di dunia lebih besar daripada yang biasa diperoleh dengan pemupukan. Beijerinck (1901) seorang ahli mikrobiologi Belanda dalam Soemarwoto dkk. (1981) menemukan pengikatan nitrogen dari udara tidak dikerjakan oleh tumbuhan Leguminosae, tetapi oleh bakteri-bakteri yang hidup di dalam akar tumbuhan Leguminosae tersebut. Di dalam akar, bakteri-bakteri tersebut membantu pembentukan bintil-bintil dan menyerap nitrogen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Keanekaragaman jenis dan potensi jamur ektomikoriza di hutan alam yang telah menjadi hutan sekunder masih cukup tinggi, sedangkan di areal rehabilitasi tidak ditemukan jenis jamur ektomikoriza, melainkan jamur endomikoriza berupa miselium pada perakarannya. Jumlah jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan adalah 49 jenis dengan 129 individu. Tidak menutup kemungkinan bila diteliti dengan waktu yang lebih lama dan pada musim yang berbeda terutama musim penghujan, maka akan ditemukan lebih banyak lagi jenis dan individunya. Jamur ektomikoriza yang paling dominan adalah jenis-jenis Russula, berarti jenis-jenis pohon di hutan alam sekunder PT TCM dari famili Dipterocarpaceae yang didominasi oleh Shorea spp. kebanyakan bersimbiosis dengan jenis-jenis jamur ini. Penyakit yang terjadi pada tanaman di areal rehabilitasi yang paling merugikan adalah faktor abiotik yaitu kekurangan unsur hara yang mengakibatkan klorosis dan kerdil. Selain itu, areal yang terbuka menyebabkan temperatur tanah tinggi, sehingga tanah cepat mengering, yang mana kondisi demikian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan jamur mikoriza. Faktor biotik juga ditemukan sebagai penyebab penyakit pada tanaman rehabilitasi, tetapi tidak menyebabkan kerugian yang signifikan, seperti penggerek batang dan busuk akar pada gmelina serta serangan rayap pada akar durian. Di areal rehabilitasi banyak tumbuh A. mangium secara alami dengan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman rehabilitasi, hal ini menunjukkan

11 52 Mardji (2010). Identifikasi Jenis Jamur Mikoriza bahwa jenis ini mampu beradaptasi bisa menyuburkan tanah disebabkan A. mangium membentuk bintil akar serta bersimbiosis dengan jamur endomikoriza dan ektomikoriza. Pada umumnya kondisi tanaman yang berumur 1 sampai 3 tahun kurang baik pertumbuhannya. Daunnya klorosis, tingginya sangat kurang bila dibandingkan dengan umurnya dan banyak tanaman yang mati, sehingga dapat dikatakan bahwa rehabilitasinya kurang berhasil. Saran Untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza dan potensinya secara lengkap perlu diadakan penelitian secara periodik pada musim yang berbeda yaitu musim kemarau dan musim penghujan baik di hutan alam maupun di lahan rehabilitasi. Membuat petak-petak percobaan yang tidak luas dengan menanam jenis-jenis tanaman buah-buahan dan kehutanan yang berbeda untuk mengetahui jenis tanaman mana yang paling sesuai, yaitu yang bisa beradaptasi dengan tempat tumbuhnya dan tumbuh cepat, sehingga bisa bersaing dengan gulma. Tanaman yang ditanam hendaknya yang sudah terinfeksi oleh jamur mikoriza yang diinokulasi di persemaian dengan bahan inokulasi berupa tanah yang diambil dari hutan alam. Untuk mendapatkan jamur ektomikoriza dalam jumlah yang banyak disarankan untuk mengumpulkan pada waktu musim penghujan di hutan alam yang masih banyak pohon-pohon dengan diameter besar, terutama jenis-jenis dipterokarpa. Bahan inokulasi dalam bentuk biakan murni miselium jamur dapat juga digunakan bila diinginkan dalam jumlah besar yang bisa disediakan di laboratorium dengan jenis jamur yang sama. Tanah di areal rehabilitasi perlu dipupuk, sehingga dapat diserap oleh tanaman dan jamur mikoriza, karena walaupun ada jamur mikorizanya, tetapi kalau tanahnya tidak subur, maka tanaman tetap akan kurus/merana. Dari hasil orientasi lapangan ditemukan bahwa A. mangium mampu beradaptasi dengan tempat tumbuhnya, tumbuh cepat dan subur walaupun pada tanah yang tidak subur, maka disarankan menanam A. mangium. Untuk memberantas rumput-rumputan (herba) dapat ditanam A. mangium dengan jarak yang rapat, misal 3x3 m. Jenis ini selain mampu membunuh herba, juga dapat mengembalikan kesuburan tanah karena mempunyai bintil akar yang mengandung nitrogen (N). Jenis ini juga berfungsi sebagai pelindung tanah agar tidak cepat mengering dan pelindung tanaman pokok dari sengatan sinar matahari, karena banyak jenis tanaman budidaya yang pada waktu tingkat semai masih memerlukan naungan. Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa larikan tanaman searah dengan lintasan matahari (timur-barat). Setelah herba mati, mangium dijarangi, bekas-bekas penjarangan diganti dengan jenis lain yang dikehendaki, misalnya buah-buahan, jenis-jenis tanaman perkebunan seperti karet dan jenis-jenis tanaman kehutanan lainnya. Penanaman cover crop dapat diteruskan, tetapi perlu dikendalikan secara rutin agar tidak menjadi gulma terhadap tanaman pokoknya.

12 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL DAFTAR PUSTAKA Anonim Tropical Legumes. Resources of the Future. National Academy of Sciences, Washington DC. 331 h Anonim Khasiat Ajaib Jamur dari HIV Sampai Sup 1000 Selir. Trubus 327: h 10 dan 13. Anonim Empat Tahun, PKP2B Keruk Rp200Triliun, Kaltim Cuma Dapat Rp4,8T. Pro Kaltim, 24 Juni 2009, Samarinda. Bigelow, H.E Mushroom Pocket Field Guide. Macmillan Publishing Co., Inc., New York. 117 h. Boyce, J.S Forest Pathology. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc., New York. 572 h. Breitenbach, J. and F. Kränzlin Fungi of Switzerland. Vol. 3. Boletes and Agarics. Mykologia Lucerne, Switzerland. 361 h. Bresinsky, A. and H. Besl A Colour Atlas of Poisonous Fungi. Wolfe Publishing Ltd., London. 295 h. Chalermpongse, A Biodiversity of Ectomycorrhizal Fungi in the Dipterocarp Forest of Thailand. Proceedings of Tsukuba Workshop May 19 21, 1992 in Tsukuba Science City. Biotechnology Assisted Reforestation Project (Bio-Refor)-IUFRO/SPDC. h Djiun, H Silvikultur Umum. Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan, Ujung Pandang. 206 h. Dwidjoseputro, D Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia, Jakarta. 200 h. Harley, FRS. J.L. and S.E. Smith Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, Toronto. Imazeki, R.; Y. Otani and T. Hongo Nihon no Kinoko. Yama-kei Publishers Co. Ltd., Tokyo. 623 h. Jülich, W Dipterocarpaceae and Mycorrhizae. Special Issue, GFG Report of Mulawarman University 9: 103 h. Læssøe, T. and G. Lincoff Mushrooms. Dorling Kindersley Limited., London. 304 h. Mardji, D. dan M. Noor Keanekaragaman Jenis Jamur Makro di Hutan Lindung Gunung Lumut. Laporan Penelitian. Tropenbos International Indonesia Programme (MoF Tropenbos Kalimantan Programme), Samarinda. 53 h. Nonis, U Mushrooms and Toadstools. A Colour Field Guide. David & Charles, London. 229 h. Noor, M Keanekaragaman Jamur Ektomikoriza pada Areal Hutan Bekas Terbakar dan Tidak Terbakar di Hutan Lindung Sungai Wain Kotamadya Balikpapan. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan Program Pascasarjana Unmul, Samarinda. 83 h. Pace, G Mushrooms of the World. Firefly Books Ltd., Spain. 310 h. Pritchett, W.L Properties and Management of Forest Soil. John Wiley and Sons Inc, New York. 500 h. Soemarwoto, I.; I. Ganjar; E. Guhardja; A.H. Nasoetion; S.S. Soemartono dan L.K. Soemadikarta Biologi Umum. Jilid II. PT Gramedia, Jakarta. 321 h. Srisusila Keanekaragaman Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan yang Berbeda di Malinau Research Forest (MRF) Cifor Kabupaten Malinau Kalimantan Timur. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan, Program Pascasarjana Unmul, Samarinda. 216 h. Suriawiria, U Pengantar untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Penerbit Angkasa, Bandung. 210 h. Usher, G A Dictionary of Botany. Constable, London. 408 h.

13

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROKARPACEAE DI PT AYA YAYANG KALIMANTAN SELATAN

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROKARPACEAE DI PT AYA YAYANG KALIMANTAN SELATAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROKARPACEAE DI PT AYA YAYANG KALIMANTAN SELATAN Massofian Noor Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI DESA TABALONG KECAMATAN BERABAI KALIMANTAN SELATAN

KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI DESA TABALONG KECAMATAN BERABAI KALIMANTAN SELATAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO DI HUTAN LINDUNG DATAR ALAI DAN TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI DESA TABALONG KECAMATAN BERABAI KALIMANTAN SELATAN Massofian Noor 1 Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR EKTOMIKORIZA PADA KONDISI HUTAN DENGAN KELERENGAN YANG BERBEDA DI HUTAN WISATA BUKIT BANGKIRAI PT INHUTANI I BALIKPAPAN

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR EKTOMIKORIZA PADA KONDISI HUTAN DENGAN KELERENGAN YANG BERBEDA DI HUTAN WISATA BUKIT BANGKIRAI PT INHUTANI I BALIKPAPAN KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR EKTOMIKORIZA PADA KONDISI HUTAN DENGAN KELERENGAN YANG BERBEDA DI HUTAN WISATA BUKIT BANGKIRAI PT INHUTANI I BALIKPAPAN Rohmaya 1, Djumali Mardji 1 dan Sukartiningsih 2 1 Laboratorium

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan hujan tropic dibagi atas tiga zone berdasarkan ketinggian tempat, antara lain: a. Hutan hujan bawah, terletak pada 0 1000 m dpl. Zona ini pada umumnya didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar hutan Indonesia termasuk dalam kategori hutan hujan tropis karena memiliki curah hujan tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH JAMUR ENDOMIKORIZA, INTENSITAS CAHAYA DAN KANDUNGAN AIR TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI GAHARU (AQUILARIA MALACCENSIS LAMK.

PENGARUH JAMUR ENDOMIKORIZA, INTENSITAS CAHAYA DAN KANDUNGAN AIR TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI GAHARU (AQUILARIA MALACCENSIS LAMK. PENGARUH JAMUR ENDOMIKORIZA, INTENSITAS CAHAYA DAN KANDUNGAN AIR TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI GAHARU (AQUILARIA MALACCENSIS LAMK.) DI PERSEMAIAN Mira Noviarti Salampessy 1, Djumali Mardji 2 dan Maman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

Faktor biotik dalam lingkungan. Tim dosen biologi

Faktor biotik dalam lingkungan. Tim dosen biologi Faktor biotik dalam lingkungan Tim dosen biologi FAKTOR BIOTIK Di alam jarang sekali ditemukan organisme yang hidup sendirian, tetapi selalu berada dalam asosiasi dengan organisme lain. Antar jasad dalam

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosales, Famili: Leguminosae, Genus: Glycine, Species: Glycine max (L.) Merrill

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosales, Famili: Leguminosae, Genus: Glycine, Species: Glycine max (L.) Merrill II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Botani Tanaman Kedelai Berdasarkan taksonominya, tanaman kedelai dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Klas: Dicotyledonae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sektor industri merupakan salah satu sektor pada bidang ekonomi dan telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meningkatkan perekonomian nasional. Berdirinya

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yakni perbanyakan inokulum cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. Perbanyakan inokulum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, yang menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, yang menggunakan tehnik pengambilan sampel dengan cara menjelajah keberadaan jamur yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil.

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil. Pada klasifikasi ini hutan dilihat bagaimana cara terbentuknya, apakah hutan itu berasal dari bijibijian atau dari trubusan (tunas-tunas batang atau akar) atau berasal dari keduanya. Dalam klasifikasi

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA NUR HIDAYATI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN KONSEP PENYAKIT TANAMAN Penyakit tumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Jenis A. cadamba Miq. ini bersinonim dengan A.chinensis Lamk. dan A. indicus A. Rich. Jabon (A. cadamba Miq.) merupakan pohon yang dapat

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman. (Harley and Smith, 1983 dalam Dewi, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA. endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman. (Harley and Smith, 1983 dalam Dewi, 2007). TINJAUAN PUSTAKA Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman (Brundrett, 1991). Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Umumya mikoriza dibedakan

Lebih terperinci

MIKORIZA MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY. Mikoriza (Mycorrhizae): Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP.

MIKORIZA MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY. Mikoriza (Mycorrhizae): Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP. MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY MIKORIZA Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta Jl. Ring Road Utara, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta e-mail: Sumarsih_03@yahoo.com

Lebih terperinci

PENERAPAN KONSEP KONSERVASI AGRO-EKOSISTEM PADA BUDIDAYA DURIAN

PENERAPAN KONSEP KONSERVASI AGRO-EKOSISTEM PADA BUDIDAYA DURIAN PENERAPAN KONSEP KONSERVASI AGRO-EKOSISTEM PADA BUDIDAYA DURIAN Durian (Durio sp.) merupakan salahsatu tanaman buah tropika yang telah berkembang dan sangat populer ASEAN. Komoditas ini menyimpan potensi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa

TINJAUAN PUSTAKA. jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Mikoriza Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan

Lebih terperinci

PEMELIHARAAN TANAMAN I. PEMELIHARAAN TANAMAN MUDA

PEMELIHARAAN TANAMAN I. PEMELIHARAAN TANAMAN MUDA PEMELIHARAAN TANAMAN I. PEMELIHARAAN TANAMAN MUDA Pemeliharaan pada tanaman muda Kegiatan-kegiatan : Penyiangan Pendangiran Pemupukan Pemberian mulsa Singling dan Wiwil Prunning Pemberantasan hama dan

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan,

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumber kehidupan karena hutan bukan hanya penopang kehidupan manusia namun juga hewan dan bahkan tumbuhan itu sendiri. Kelangsungan hutan terancam oleh

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Produksi inokulan cendawan ektomikoriza untuk bibit tanaman kehutanan

Produksi inokulan cendawan ektomikoriza untuk bibit tanaman kehutanan Standar Nasional Indonesia Produksi inokulan cendawan ektomikoriza untuk bibit tanaman kehutanan ICS 65.020.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungi Mikoriza Arbuskular Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk kelangsungan hidupnya fungi berasosiasi dengan akar tanaman. Spora berkecambah dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Mucuna Bracteata DC.

TINJAUAN PUSTAKA Mucuna Bracteata DC. 3 TINJAUAN PUSTAKA Mucuna Bracteata DC. Tanaman M. bracteata merupakan salah satu tanaman kacang-kacangan yang pertama kali ditemukan di areal hutan Negara bagian Tripura, India Utara, dan telah ditanam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berubah kembali ke asal karena adanya tambahan substansi, dan perubahan bentuk

TINJAUAN PUSTAKA. berubah kembali ke asal karena adanya tambahan substansi, dan perubahan bentuk TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan adalah peristiwa perubahan biologis yang terjadi pada makhluk hidup, berupa perubahan ukuran yang bersifat ireversibel. Ireversibel artinya tidak berubah

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph) KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami sifat kimia tanah. 2. Memahami vegetasi tanah. 3. Memahami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam

Lebih terperinci

II. METODE PENCEGAHAN PENYAKIT HUTAN

II. METODE PENCEGAHAN PENYAKIT HUTAN II. METODE PENCEGAHAN PENYAKIT HUTAN 2.1. Dengan cara Peraturan dan Undang-Undang Cara ini bertujuan untuk menciptakan hutan yang sehat dan resisten terhadap penyakit serta mencegah timbulnya dan penyebaran

Lebih terperinci

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN Isi Materi Teknik Tk ikpenanaman Teknik Pemeliharaan Tanaman Evaluasi Hasil Penanaman Faktor Keberhasilan Penanaman Kesesuaian Tempat Tumbuh/Jenis Kesesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) I. SYARAT PERTUMBUHAN 1.1. Iklim Lama penyinaran matahari rata rata 5 7 jam/hari. Curah hujan tahunan 1.500 4.000 mm. Temperatur optimal 24 280C. Ketinggian tempat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat 1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

Lebih terperinci

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora AMDAL (AGR77) Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Hidroorologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT Pemadatan Tanah Akibat Penyaradan Kayu... (Muhdi, Elias, dan Syafi i Manan) PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT (Soil Compaction Caused

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting dalam dunia pertanian, karena mikoriza memiliki kemampuan menunjang pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Paprika Tanaman paprika (Capsicum annum var. grossum L.) termasuk ke dalam kelas Dicotyledonae, ordo Solanales, famili Solanaceae dan genus Capsicum. Tanaman paprika merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

Pembahasan Video :http://stream.primemobile.co.id:1935/testvod/_definst_/smil:semester 2/SMP/Kelas 7/BIOLOGI/BAB 11/BIO smil/manifest.

Pembahasan Video :http://stream.primemobile.co.id:1935/testvod/_definst_/smil:semester 2/SMP/Kelas 7/BIOLOGI/BAB 11/BIO smil/manifest. SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 7. Gejala Alam Biotik Dan AbiotikLATIHAN SOAL BAB 7 1. Melakukan percobaan dalam metode ilmiah disebut dengan Eksperimen Observasi Hipotesis Prediksi Kunci Jawaban : B Pembahasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

Sumber : Setiadi (2005) Oleh : Ulfah J. Siregar. ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4 th -6 th May

Sumber : Setiadi (2005) Oleh : Ulfah J. Siregar. ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4 th -6 th May 10 MODULE PELATIHAN PENANAMAN DURIAN Oleh : Ulfah J. Siregar ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI Serial Number : PD 210/03 Rev. 3 (F)

Lebih terperinci

BUDIDAYA KELAPA SAWIT

BUDIDAYA KELAPA SAWIT KARYA ILMIAH BUDIDAYA KELAPA SAWIT Disusun oleh: LEGIMIN 11.11.5014 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMUNIKASI AMIKOM YOGYAKARTA 2012 ABSTRAK Kelapa sawit merupakan komoditas yang penting karena

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza adalah suatu organisme yang hidup secara simbiosis mutualistik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza adalah suatu organisme yang hidup secara simbiosis mutualistik 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Manfaat Mikoriza Mikoriza adalah suatu organisme yang hidup secara simbiosis mutualistik antara cendawan dan akar tanaman tingkat tinggi. Bentuk asosiasi antara

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :

Lebih terperinci

ANALISA TEBAL DAN KADAR AIR KULIT POHON SERTA KECEPATAN TERPICUNYA API (Quick-Fire Start) JENIS GMELINA, SUNGKAI DAN SENGON

ANALISA TEBAL DAN KADAR AIR KULIT POHON SERTA KECEPATAN TERPICUNYA API (Quick-Fire Start) JENIS GMELINA, SUNGKAI DAN SENGON ANALISA TEBAL DAN KADAR AIR KULIT POHON SERTA KECEPATAN TERPICUNYA API (Quick-Fire Start) JENIS GMELINA, SUNGKAI DAN SENGON The Thicness, Water Content and Quick-Fire Start Analysis Of The Bark Of Trees

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan kertas dunia, yaitu rata-rata sebesar 2,17% per tahun (Junaedi dkk., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. permintaan kertas dunia, yaitu rata-rata sebesar 2,17% per tahun (Junaedi dkk., 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan bahan baku kertas dunia semakin meningkat seiring meningkatnya permintaan kertas dunia, yaitu rata-rata sebesar 2,17% per tahun (Junaedi dkk., 2011). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

MIKORIZA & POHON JATI

MIKORIZA & POHON JATI MIKORIZA & POHON JATI Kelompok 6 Faisal Aziz Prihantoro Aiditya Pamungkas Rischa Jayanty Amelia Islamiati Faifta Nandika Maya Ahmad Rizqi Kurniawan Septa Tri Farisna 1511100001 1511100011 1511100025 1511100027

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN HUTAN

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN HUTAN LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN HUTAN ACARA 1 PENGENALAN GEJALA DAN TANDA PENYAKIT PADA HUTAN DISUSUN OLEH : NAMA NIM SIFT CO.ASS : SIWI PURWANINGSIH : 10/301241/KT/06729 : Rabu,15.30 : Hudiya

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

JENIS JAMUR MAKRO PADA TIGA KONDISI HUTAN YANG BERBEDA DI MALINAU RESEARCH FOREST (MRF) CIFOR KABUPATEN MALINAU KALIMANTAN TIMUR

JENIS JAMUR MAKRO PADA TIGA KONDISI HUTAN YANG BERBEDA DI MALINAU RESEARCH FOREST (MRF) CIFOR KABUPATEN MALINAU KALIMANTAN TIMUR JENIS JAMUR MAKRO PADA TIGA KONDISI HUTAN YANG BERBEDA DI MALINAU RESEARCH FOREST (MRF) CIFOR KABUPATEN MALINAU KALIMANTAN TIMUR Srisusila 1 dan Sutedjo 2 1 Fakultas Pertanian Universitas Alkhairat, Palu.

Lebih terperinci

Inokulasi cendawan ektomikoriza pada bibit tanaman kehutanan

Inokulasi cendawan ektomikoriza pada bibit tanaman kehutanan Standar Nasional Indonesia Inokulasi cendawan ektomikoriza pada bibit tanaman kehutanan ICS 65.020.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS IPK 14600003 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang diminati dan paling banyak dipakai oleh masyarakat, khususnya di Indonesia hingga

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!!

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! I. Latar Belakang Luas areal kebun kopi di Indonesia sekarang, lebih kurang 1,3 juta ha, sedangkan produksi kopi Indonesia sekarang, lebih kurang 740.000 ton dengan produksi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman mentimun berasal dari kaki pegunungan Himalaya. Domestikasi dari tanaman liar ini berasal dari India utara dan mencapai Mediterania pada 600 SM. Tanaman ini dapat tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman TINJAUAN PUSTAKA Mikroorganisme Endofit Endofit merupakan asosiasi antara mikroorganisme dengan jaringan tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman inang bervariasi mulai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Kedelai. diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya dapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Kedelai. diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Budidaya Kedelai Tanaman kedelai dapat mengikat Nitrogen di atmosfer melalui aktivitas bakteri Rhizobium japonicum. Bakteri ini terbentuk di dalam akar tanaman yang diberi nama

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci