DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan"

Transkripsi

1 DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

2 Kata Pengantar Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 huruf (f) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mempunyai tugas untuk menyusun suatu pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun Pedoman tersebut disusun agar KPPU dapat melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 secara tepat. Pedoman ini menunjukkan bagaimana pelaku usaha dan para pihak yang terkait berperilaku dalam kegiatan usahanya sehari-hari sehingga iklim usaha yang sehat dapat tercapai. Atas pertimbangan tersebut, KPPU menyusun Pedoman Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun Sehubungan dengan kegiatan dunia usaha yang sangat dinamis dan selalu berkembang maka tidak tertutup kemungkinan bahwa Pedoman ini akan terus disempurnakan. Ketua KPPU 2

3 Bab 1 Latar Belakang Untuk menjamin persaingan usaha yang sehat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menerbitkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5/1999 ). Pelaksanaan UU No. 5/1999 yang efektif diharapkan dapat memupuk budaya berbisnis yang sehat sehingga dapat terus menerus mendorong dan meningkatkan daya saing diantara pelaku usaha. Salah satu tujuan diberlakukannya undang-undang Hukum Persaingan adalah untuk memastikan bahwa mekanisme pasar bekerja dengan baik dan konsumen menikmati hasil dari proses persaingan atau surplus konsumen. Adalah menjadi tujuan dari setiap pelaku usaha yang rasional untuk dapat mengembangkan usahanya semaksimal mungkin atau menjadi yang terbaik di bidang usahanya. Idealnya tujuan ini akan mendorong setiap pelaku usaha berupaya meningkatkan kinerja dan daya saingnya melalui inovasi dan efisiensi sehingga lebih unggul dari pesaingya. Apabila berhasil, sebagai konsekuensi logisnya adalah pelaku usaha tersebut akan memperoleh kedudukan yang kuat (posisi dominan), dan atau memiliki kekuatan pasar (market power) yang signifikan di pasar bersangkutan. Dengan keunggulan relatif ini, pelaku usaha mampu untuk menguasai pasar bersangkutan atau dapat mempertahankan kedudukannya yang kuat di pasar bersangkutan. Dari sudut pandang ekonomi, memiliki kemampuan penguasaan pasar yang diraih melalui keunggulan inovasi dan efisiensi dapat memberikan efek yang positif bagi konsumen. Pelaku usaha yang menguasai pasar dapat mewujudkan efisiensi biaya (cost saving), atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk mencapai keunggulan skala dan cakupan ekonomi (economy of scale). Penguasaan terhadap pasar bersangkutan juga memungkinkan pelaku usaha untuk dapat menekan biaya rata-rata produksi melalui cakupan produksi yang luas (economy of scope). Semuanya itu bisa berujung pada terciptanya harga yang rendah dan menguntungkan konsumen secara keseluruhan. Namun disisi lain, kemampuan untuk menguasai atau untuk mempertahankan posisi di pasar bersangkutan juga bisa dilakukan melalui kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat. Umpamanya, pelaku usaha, baik secara sendiri maupun bersamasama, menciptakan hambatan persaingan (competition restraint) bagi pesaingnya maupun pesaing potensialnya, seperti menghambat masuknya pesaing potensial, membatasi produksi pesaing, menghambat perkembangan pasar serta teknologi dan berbagai perilaku yang unfair lainnya. Berkurangnya persaingan yang diakibatkan dari tindakan ini bisa merugikan konsumen pada akhirnya. Lebih jauh, perilaku penyalahgunaan posisi dominan dapat merugikan pelaku usaha kecil yang berada pada segmen pasar yang sama. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan asas dan tujuan UU No.5/

4 Pada akhirnya, mengingat karakterisitik dan dampak dari penyalahgunaan posisi dominan tersebut, maka analisis yang mendalam terhadap maksud dan tujuan serta akibat yang ditimbulkannya mutlak diperlukan. Untuk itu diperlukan pedoman untuk/dalam melakukan analisa kegiatan tersebut sehingga tercipta pemahaman yang selaras antara komisi dan pelaku usaha dalam menilai kegiatan ini. 4

5 Bab 2 Tujuan dan Cakupan Pedoman 2.1. Tujuan Pembuatan Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5/1999. Adapun tugas-tugasnya adalah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun Salah satu tugas KPPU adalah membuat pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU. No. 5/1999 (Pasal 35 huruf f). Pedoman ini diperlukan untuk memberikan gambaran lebih jelas UU No. 5/1999. Dengan adanya Pedoman, diharapkan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya dapat menyesuaikan dirinya dengan Pedoman sehingga tidak melanggar persaingan usaha sebagaimana diatur oleh UU No. 5/1999. Dengan demikian, Pedoman Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan (untuk selanjutnya disebut Pedoman ) bertujuan untuk: a. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan kegiatan Penyalahgunaan Posisi Dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 5/1999. b. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam pelaksanaan Pasal 25 sehingga tidak ada penafsiran lain selain yang diuraikan dalam Pedoman ini. c. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan dalam berperilaku agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan selanjutnya untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang tumbuh secara wajar. Pedoman ini bukan untuk menjelaskan bagaimana KPPU melakukan pemeriksaan dalam melakukan penegakkan hukum atau memberikan saran dan kebijakan, namun difokuskan kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan, serta batasan ketentuan larangan penguasaan pasar. Walaupun Pedoman ini memberikan penjelasan ketentuan tentang penyalahgunaan posisi dominan, namun demikian dalam proses penegakkan hukum UU No. 5/1999, pandangan dan putusan Komisi dalam melakukan pemeriksaan atas tindakan penguasaan pasar yang diduga melanggar UU No. 5/1999 tetap didahulukan dan tidak hanya terbatas pada Pedoman. 5

6 2.2. Cakupan Pedoman Pedoman Penguasaan Pasar melalui berbagai kegiatan dilarang berdasarkan Pasal 25 UU No. 5/1999 ini mencakup filosofi, semangat dan arah dari ketentuan dalam mempromosikan persaingan yang sehat. Di dalam Pedoman ini juga diuraikan singkat tentang kondisi sebagai akibat dari tidak adanya sistem yang mendukung ditegakkannya prinsip persaingan sehat, khususnya tentang akibat dari praktek persaingan usaha yang tidak sehat dalam upaya penguasaan pasar. Secara sistematis, Pedoman ini mencakup: Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Bab VI Latar Belakang Tujuan dan Cakupan Pedoman Bab ini menjelaskan tentang tujuan pembuatan Pedoman dan hal hal yang tercakup dalam Pedoman. Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Bab ini menjelaskan larangan penyalahgunaan posisi dominan berdasarkan pasal 25, terutama penjabaran unsur-unsur yang relevan dalam pasal tersebut serta keterkaitan pasal 25 dengan pasal-pasal lain dalam UU No 5/1999 Penyalahgunaan Posisi Dominan dan Contoh Kasus. Bab ini menjelaskan tentang konsep penyalahgunaan posisi dominan, pendekatan yang dapat digunakan dalam analisa penyalahgunaan posisi dominan, dampak penyalahgunaan posisi dominan serta beberapa contoh kasus. Aturan Sanksi Bab ini menyebutkan beberapa sanksi yang dapat dikenakan KPPU terhadap pelanggaran pasal 25. Penutup Sistematika serta bahasa Pedoman ini diusahakan sesederhana dan sejelas mungkin untuk dapat dimengerti, sehingga akan memudahkan semua pihak untuk memahami aturan yang berlaku dan guna menghindarkan ketidakpastian hukum dalam penegakan UU No. 5/

7 Bab 3 Pasal 25 tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan 3.1. Pasal 25 tentang larangan penyalahgunaan posisi dominan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat melarang adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 25 UU No.5/1999, yaitu: (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. (2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu Penjabaran unsur pasal 25 - Unsur Pelaku usaha Sesuai dengan Pasal 1 nomor 5 dalam Ketentuan Umum UU No.5/1999, pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. - Unsur Posisi dominan Sesuai dengan Pasal 1 nomor 4 dalam Ketentuan Umum UU No.5/1999, posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu 7

8 - Unsur Secara langsung maupun tidak langsung Pengertian secara langsung adalah pelaku usaha dominan melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan, sementara pengertian tidak langsung adalah pelaku usaha dominan memanfaatkan pelaku usaha lain untuk melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan. - Unsur Syarat-syarat perdagangan Pengertian syarat-syarat perdagangan pada intinya adalah peristiwa atau butir perjanjian yang oleh para pihak terkait dijadikan sebagai ukuran bahwa perjanjian dimaksud dapat dilaksanakan, atau tidak terpenuhinya peristiwa atau butir tersebut ditetapkan sebagai pembatalan perjanjian. - Unsur Konsumen Sesuai dengan Pasal 1 nomor 15, konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. - Unsur Membatasi Pasar dan Pengembangan Teknologi Sesuai dengan Pasal 1 nomor 9, pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi berarti suatu bentuk perilaku yang menghambat transaksi perdagangan, inovasi serta pengembangan barang dan atau jasa. - Unsur pelaku usaha lain Mengacu pada penjelasan pasal 17 ayat 2 poin b, pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan. - Unsur Pasar Bersangkutan Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 10, Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. - Unsur Pangsa pasar Sesuai dengan Pasal 1 nomor 13, pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. 8

9 3.3. Keterkaitan dengan pasal lain Dalam UU No 5/1999 terdapat beberapa pasal yang memiliki keterkaitan erat dengan penyalahgunaan posisi dominan. Beberapa pasal tersebut diantaranya adalah: - Pasal 6 tentang Diskriminasi Harga Perusahaan yang memiliki posisi dominan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar, diantaranya melalui penetapan kebijakan harga (melalui perjanjian) yang berbeda untuk barang dan atau jasa yang sama atau sejenis; - Pasal 15 tentang Perjanjian Tertutup Perusahaan yang memiliki posisi dominan memiliki kemampuan untuk melakukan perjanjian tertutup, dalam hal ini mitra dagang perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk memperoleh persyaratan perjanjian yang lebih adil dan proporsional secara ekonomis; - Pasal 17 Perusahaan dengan posisi dominan pada hakekatnya identik dengan memiliki kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktek monopoli yang menghambat persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi; - Pasal 18 Perusahaan dengan posisi dominan, khususnya di tingkat hilir memiliki kemampuan untuk menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal melalui penetapan syarat-syarat pembelian yang tidak wajar kepada supliernya; - Pasal 19 Perusahaan dengan posisi dominan pada hakekatnya memiliki kemampuan untuk menguasai pasar sehingga dapat melakukan perilaku seperti diskriminasi, membatasi peredaran barang/jasa dan berbagai perilaku anti persaingan lainnya; - Pasal 20 Perusahaan dengan posisi dominan memiliki kemampuan untuk menetapkan jual rugi atau harga yang sangat rendah dengan tujuan untuk menyingkirkan pesaing secara tidak sehat; - Pasal 26 Perusahaan dapat menyalahgunakan posisi dominan secara tidak langsung, yang diakibatkan dari rangkap jabatan antar perusahaan yang bersangkutan; - Pasal 27 Perusahaan dapat menyalahgunakan posisi dominan secara tidak langsung, yang diakibatkan dari kepemilikan silang antar perusahaan yang bersangkutan; 9

10 - Pasal 28 Perusahaan yang memiliki posisi dominan dapat merupakan perusahaan hasil dari penggabungan beberapa perusahaan, peleburan dalam satu kelompok perusahaan dan atau pengambil alihan perusahaan oleh perusahaan lain; Dalam hal keterkaitan pasal 25 dengan beberapa pasal lain yang telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut tidak sama sekali berimplikasi pada penerapan pasal oleh KPPU. Dengan kata lain, KPPU dapat menerapkan Pasal 25 sebagai dakwaan tunggal apabila terkait dengan struktur pasar, ataupun menggunakan pasal lain (dakwaan berlapis) yang terkait dengan pembuktian struktur pasar dan perilaku dari terlapor dalam menyelidiki dugaan penyalahgunaan posisi dominan. Posisi Dominan Penyalahgunaan Tidak Bersifat Penyalahgunaan Pembuktian pangsa pasar 50% dan 75% Pembuktian perilaku tanpa pembuktian pangsa pasar Tidak ada pelanggaran Pasal 25 Pasal 19, 15, 6, 20 10

11 Bab 4 Penyalahgunaan Posisi Dominan 4.1. Konsep Dasar Posisi Dominan Perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar dalam suatu industri disebut sebagai perusahaan dominan. Perusahaan dapat memiliki posisi dominan jika memiliki kendali atas pasar dimana perusahaan tersebut beroperasi dan memiliki pesaing yang tidak signifikan. Pesaing perusahaan dominan biasanya merupakan perusahaan kecil yang saling bersaing pada pangsa pasar yang tersisa. Perusahaan-perusahaan kecil pesaing perusahaan dominan disebut fringe firm. Sebuah perusahaan bisa memiliki posisi dominan dalam suatu industri karena memiliki keunggulan bersaing seperti halnya dalam hal ukuran, pengakuan nama perusahaan dan sumber daya. Dengan posisi dominan tersebut, perusahaan dapat melakukan strategi yang bersifat independen terhadap perilaku pelaku usaha pesaing. Perusahaan dominan dapat bertindak atau melakukan strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaing ataupun konsumennya karena memiliki market power yang tinggi. Market power adalah kemampuan perusahaan mempengaruhi harga dari barang dan jasa yang dijualnya. Dengan demikian market power merefleksikan dominansi yang dimiliki oleh sebuah perusahaan di pasar. Dengan market power yang dimilikinya tersebut perusahaan dominan dapat mengendalikan harga. Namun karena perusahaan dominan masih tetap memiliki pesaing maka kenaikan harga yang dilakukan oleh perusahaan dominan dapat membuat konsumen beralih kepada fringe firm. Oleh karena itu dalam bersaing perusahaan dominan tetap harus memperhatikan reaksi dari fringe firm. Interaksi penentuan harga dan kuantitas di dalam pasar yang memiliki perusahaan dominan dan fringe firm dapat dilihat pada gambar berikut. 11

12 Gambar 1. Produksi Perusahaan Dominan dan Fringe Firm Harga (P) S fringe P 1 P dom Ddom P 2 MCdom MRdom Dpasar 0 Q fringe Q dom Q T Kuantitas (Q) Pada gambar tersebut dapat terlihat bahwa harga keseimbangan di pasar ditentukan oleh perusahaan dominan berdasarkan biaya dan permintaan yang dihadapinya, sehingga harga yang terdapat di pasar adalah sebesar P dom. Perusahaan dominan akan menguasai kuantitas di dalam pasar, yakni sebesar Q dom sementara fringe firm hanya akan berproduksi sebesar Q fringe. Jika harga keseimbangan meningkat maka output perusahaan fringe juga akan meningkat mengikuti bentuk kurva penawarannya (S fringe ). Dan sebaliknya jika harga keseimbangan turun hingga dibawah P 2, perusahaan fringe akan keluar (exit) dari pasar. Terlihat jelas bahwa perusahaan dominan adalah pihak yang bertindak sebagai pemegang pangsa pasar terbesar, sementara fringe firm hanya mampu menikmati pangsa pasar yang tidak mampu dipenuhi oleh perusahaan dominan. Strategi perusahaan yang dapat menjadi sumber terciptanya dan dipertahankannya posisi dominan melibatkan investasi sumber daya dalam perusahaan yang tidak dapat ditiru oleh perusahaan pesaing. Saat sebuah perusahaan sudah dapat memliki posisi dominan dalam suatu industri maka perusahaan tersebut dapat menerapkan perilaku 12

13 strategis (strategic behaviour) tertentu untuk mempertahankan posisi tersebut seperti halnya: Merger. Meger merupakan cara paling jelas untuk mempertahankan posisi dominan perusahaan karena dengan merger pangsa pasar yang dimiliki perusahaan akan semakin besar. Direct cost-based strategy. Merupakan sebuah strategi untuk mendominasi pasar dengan cara memperbesar output dan menekan harga untuk dapat menghalangi pesaing memasuki pasar atau untuk menekan pesaing keluar pasar Technology-based strategy. Diantaranya: o Ekspansi kapasitas produksi. Kelebihan kapasitas produksi dapat dilakukan dengan adanya teknologi. Jika satu-satunya cara yang paling efisien untuk dapat meningkatkan kapasitas produksi adalah dengan pabrik yang berskala besar maka perusahaan akan mempertahankan kelebihan kapasitasnya atau mengambil risiko kehilangan permintaan yang melonjak secara tiba-tiba. o Integrasi vertikal. Integrasi dalam hal produksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan menjamin kepastian supply input produksi dan mengurangi biaya transaksi yang akan dikeluarkan jika perusahaan berkoordinasi dengan tahapan produksi lainnya. Market-based strategy. Diantaranya: o Product differentiation. Merupakan strategi lain untuk mempertahankan posisi dominan dengan cara memperbanyak variasi produk yang ditawarkan perusahaan. Iklan dan usaha penjualan lainnya dapat digunakan untuk menciptakan brand image dimata konsumen dan menghasilkan brand loyality bagi konsumen. Dengan demikian perusahaan baru yang ingin memasuki pasar harus menghadapai biaya yang besar utuk dapat meandingi perusahaan dominan yang sudah mendapatkan brand loyality. o Access to consumers. Mendekatkan diri kepada konsumen dapat membuat perusahaan mempertahankan posisi dominan yang dimilikinya seperti halnya dengan menawarkan diskon pada sejumlah penjualan tertentu, menyadiakan jasa yang lebih baik, atau menawarkan berbagai merk produk yang beragam Konsep Dasar Penyalahgunaan Posisi Dominan Menjadi perusahaan dominan dengan pangsa pasar terbesar di pasar bukanlah sesuatu yang salah. Apabila pangsa pasar terbesar tersebut diperoleh melalui proses persaingan, dimana perusahaan tersebut berhasil melakukan efisiensi, inovasi, dan strategi lain yang bersifat pro-persaingan sehingga menempatkan perusahaan tersebut pada posisi yang lebih unggul dibanding perusahaan lain di pasar, maka posisi dominan merupakan insentif dari tindakan-tindakannya tersebut. Efisiensi dan inovasi yang dilakukan oleh perusahaan dominan tersebut akan diterjemahkan dalam bentuk harga yang lebih murah dan kualitas barang yang lebih baik. Persoalan muncul ketika posisi dominan yang diperoleh tidak menghasilkan kinerja pasar seperti yang diharapkan. 13

14 Bahkan posisi dominan tersebut digunakan untuk menghalangi perusahaan baru untuk masuk ke dalam pasar atau menghalangi pesaing yang sudah berada di pasar untuk tidak melakukan ekspansi. Penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position) muncul ketika pelaku usaha memiliki kekuatan secara ekonomi yang memungkinkan ia untuk beroperasi di pasar tanpa terpengaruh oleh persaingan dan melakukan tindakan yang dapat mengurangi persaingan (lessen competition). Terdapat dua konsep dalam pengertian tersebut, yaitu pertama, penentuan posisi dominan, dan kedua, melakukan tindakan yang bersifat anti-persaingan Perilaku Eksklusif Penyalahgunaan posisi dominan biasanya dapat dilihat dari perilaku strategis perusahaan atau strategic behavior. Strategic behavior adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan profit perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kuantitas secara sederhana. Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang gerak pesaing. Strategic behavior terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif. Pertama, strategic behavior yang bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan perusahaan yang mencoba meningkatkan profit mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Mereka tidak melakukan kerjasama satu sama lain. Strategic behavior jenis ini biasanya meningkatkan profit satu perusahaan dan menurunkan profit perusahaan pesaingnya. Kedua, strategic behavior yang bersifat kooperatif diciptakan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan untuk berkoordinasi dan membatasi respon pesaing mereka. Bentuk strategic behavior kooperatif ini mampu meningkatkan profit semua perusahaan yang bermain dipasar dengan meminimalisir persaingan. Konsep kedua ini mengacu pada perilaku kolusif yang dimotori oleh perusahaan dominan. Perilaku kolusif Price Leadership termasuk ke dalam tipe kedua ini. Namun pada pedoman mengenai penyalahgunaan posisi dominan ini hanya akan menekankan kepada perilaku strategis perusahaan yang bersifat non-kooperatif. Perilaku strategis yang masuk ke dalam kategori ini dapat diistilahkan sebagai perilaku eksklusif (exclusionary strategic behavior). Perilaku eksklusif ini merupakan perilaku perusahaan dominan untuk membatasi atau menyingkirkan perusahaan pesaingnya. Perilaku eksklusif ini dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu (i) perilaku harga, dan (ii) perilaku non-harga. Terkait dengan uraian sebelumnya mengenai interaksi antara perusahaan dominan dan perusahaan fringe maka pada sub-bagian ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai perilaku eksklusif yang menggunakan instrumen harga. Dua jenis perilaku eksklusif tersebut adalah predatory pricing dan limit pricing Dua jenis model non-cooperative strategic behavior itu melibatkan kebijakan perusahaan yang dirancang untuk membuat pesaing tidak tertarik untuk berkompetisi di pasar. Perusahaan dominan biasanya 14

15 memanfaatkan keunggulan posisinya (baik dalam hal kemampuan produksi, distribusi, akses kepada pasokan, maupun keuangan) ketika melakukan strategi perusahaan dalam mengejar pangsa pasar. Predatory Pricing Predatory Pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan dominan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga dibawah biaya produksi. Namun dalam prakteknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua pesaing telah keluar, maka perusahaan dominan langsung menaikkan harga. Selama periode praktek predatori ini, perusahaan dominan kehilangan untung, dan mengalami kerugian melebihi kerugian pesaingnya. Perusahaan dominan harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga yang rendah. Namun demikian pesaing masih bebas menentukan output guna mengurangi kerugiannya. Gambar berikut ini dapat menjelaskan bagaimana interaksi perusahaan dominan dan pesaing dalam praktek predatory pricing. Gambar 2. Predatory Pricing Harga (P) MC G F AC Demand pasar D C p* A B E q 1 q*-q 1 q* Kuantitas (Q) Misalkan perusahaan dominan menetapkan harga pada p* sehingga memaksa pesaingnya untuk merugi dan keluar dari pasar. Dengan demikian untuk dapat melakukannya, maka jumlah yang harus diproduksi di pasar adalah sebesar q* unit sehingga harga yang mau dibayarkan oleh konsumen adalah sebesar p*. Jika biaya marjinal (MC) dan biaya rata-rata (AC) pelaku usaha dominan dan pesaing adalah sama, kemudian pesaing berproduksi hanya di q 1 dan pada harga p*, maka kerugian pesaing mencapai luas ABCD. Sebaliknya dominan harus berproduksi pada q*- q 1 sehingga total output industri sejumlah q* unit dan harga tetap pada p*. Dengan jumlah produksi yang lebih besar, kerugian perusahaan dominan juga lebih besar, yaitu seluas bidang AEFG. Kerugian pelaku dominan menjadi semakin besar jika permintaan pasar semakin besar pula. 15

16 Kerugian pelaku dominan selama periode praktek predatory pricing ini melebihi pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang memperoleh manfaat dari praktek ini. Mereka dapat membeli produk pada tingkat harga p*. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan jika kedua perusahaan menjadi duopolis. Namun demikian setelah itu, ketika harga meningkat pada level yang lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen akan mengalami kerugian. Jika praktek predatori ini berhasil hingga memaksa pesaingnya bangkrut, dapat dipastikan bahwa aset mereka secara permanen dapat ditarik keluar dari industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika tidak, perusahaan lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan persaingan kembali tak dapat dihindari. Praktek ini kemungkinan besar akan berhasil ketika aset pesaing keluar secara permanen dari indusri dan dikuasai oleh predator. Oleh karena itu strategi yang paling jitu agar praktek ini sukses adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan harga penawaran. Standar Penentuan Praktek Predatory Pricing Literatur ekonomi dan hukum secara luas telah mengembangkan standar khusus untuk menentukan apakah sebuah perusahaan sedang melakukan praktek predatory pricing atau tidak. Salah satu literatur yang paling berpengaruh terhadap kasus ini adalah literatur Areeda dan Turner (1995). Mereka menilai bahwa standar penentuan praktek ini dapat dilihat ketika sebuah perusahaan menetapkan harga dibawah biaya marjinal jangka pendeknya. Namun karena data mengenai biaya marjinal jangka pendek sulit diperoleh, mereka menyarankan untuk menggunakan data AVC (average variable cost) sebagai proxy. Logika yang mendasari adanya penentuan ini adalah bahwa belum pernah ada perusahaan yang mendapatkan untung ketika beroperasi pada kondisi dimana harga lebih randah dari biaya marjinal jangka pendek kecuali ada kepentingan ataupun taktik atau strategi. Penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek adalah tidak masuk akal jika tanpa prospek keuntungan dalam jangka panjang. Beberapa pihak lainnya mengembangkan studi Areeda dan Turner dengan alternatif lain. Ada yang menyarankan penentuan dengan menggunakan LRMC (long run marginal cost), ada juga yang menyarankan menggunakan AC. Beberapa lainnya juga menyarankan masih perlunya untuk melakukan observasi sepanjang waktu baik untuk harga maupun untuk kuantitas output demi meyakinkan apakah praktek predatory pricing ini benar-benar terjadi atau tidak. Semua jenis tes untuk mendeteksi keberadaan praktek ini masih menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada saat implementasi di lapangan. Pertama untuk alasan data yang diperlukan untuk mengukur SRMC (short run marginal cost) atau bahkan data AVC (average variable cost). Kedua, permasalahan lainnya adalah, jika perusahaan tidak melakukan apa-apa tapi bisa saja dinilai telah melakukan praktek ini. Misalnya ada perusahaan yang baru masuk ke dalam pasar untuk menarik konsumen ia menerapkan harga promosi. Selama fase awal operasi perusahaan adalah hal yang biasa bagi mereka untuk memberikan gratis atau secara cuma-cuma produk mereka. Dan ini tentu saja hal ini bisa bertentangan dengan tes yang dilakukan Areeda dan Turner. Pemberian produk secara cuma-cuma sangatlah efektif sebagai bagian dari promosi demi 16

17 membangun bisnis di masa depan dan tentunya dapat dijadilakan langkah awal untuk dapat meningkatkan profit. Selain faktor promosi, munculnya penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek (SRMC) sebenarnya bisa terjadi dengan wajar jira preusan mampu melakukan tindakan yang dikenal dengan istilah learning by doing. Tindakan ini mengacu pada penurunan biaya produksi karena perusahaan mampu berproduksi jauh lebih efisien. Dengan harga yang murah pada saat awal perusahaan tentu dapat meningkatkan penjualan dan kemudian mampu belajar untuk dapat menurunkan biayanya di masa depan. Meskipun harga saat ini lebih rendah dari biaya produksi, tetapi ada prospek untuk menurunkan biaya di masa datang. Dengan mengumpulkan segala informasi dan pengetahuan yang ada sekarang, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga yang rendah sekarang dapat dipandang sebagai sebuah investasi di masa datang. Dalam konteks persaingan, praktek predatori ini seringkali membingungkan. Kebanyakan perkara hukum yang melibatkan praktek ini diajukan demi menjatuhkan pesaingnya. Pesaing yang satu melakukan komplain bukan karena harga yang ditetapkan dibawah biaya produksi, namun karena kompetisi harga dari perusahaan yang jauh lebih efisien. Jika sebuah perusahaan lebih efisien dari yang lainnya maka mungkin saja perusahaan tersebut menetapkan harga lebih rendah dan dapat mengambil alih pasar. Limit Pricing Strategic behavior lainnya yang juga termasuk perilaku penyalahgunaan posisi dominan adalah limit pricing. Konsep ini dikembangkan oleh bebrapa ekonom seperti Bain (1956), Modigliani (1958), Sylos-Labini (1962). Pada konsep sederhana limit pricing, potential entrant percaya bahwa perusahaan dominan tidak akan mengubah level outputnya setelah ada pemain baru. Karena itu pemain baru akan percaya bahwa total output industri akan sama dengan output pesaing ditambah output incumbent. Pada model ini, dominan memilih level output dan harga untuk menghilangkan insentif perusahaan untuk masuk ke pasar. Harga (P) Gambar 3. Limit Pricing p* Demand pasar AC p 1 Demand entrant = demand pasar - q* q 1 q* Kuantitas (Q) 17

18 Analisis tentang potential entrant dan pelaku dominan dalam model limit pricing diilustrasikan oleh gambar diatas. Gambar diatas menunjukkan permintaan industri dan kurva AC yang dihadapi kedua pelaku usahan dominan dan potential entrant. Jika pelaku dominan memproduksi q* unit (dan akan terus melakukannya keika ada pesaing masuk), maka kurva permintaan menghadapi pesaing baru sama dengan permintaan industri dikurangi q*. Gambar ini menunjukkan kurva permintaan bergeser ke kiri dari total permintaan ketika q*. Jika ada potential entrant tidak masuk ke pasar, maka pelaku dominan berproduksi pada q* dan menerapkan harga p*. Jika perusahaan baru masuk ke industri dan memproduksi sebesar q unit output dengan demikian total output industri adalah q + q* dan harga industri p 1. Perhatikan bahwa p 1 sama dengan AC potential entrant yang berproduksi sebanyak q 1 unit, ini berarti bahwa tidak ada insentif bagi mereka untuk masuk ke dalam industri (logika dasarnya adalah jika P = AC tidak akan perusahaan yang masuk karena zero profit). Jika q* dipilih, sehingga permintaan yang tersisa dalam menghadapi pesaing baru, dibawah atau sama dengan kurva AC nya, maka tidak ada level output yang diproduksi oleh new entrant yang dapat menghasilkan profit di industri. Dengan memilih q* perusahaan dominan mampu mengenakan limit price p*, yang berada di atas AC. Meskipun sebenarnya perusahaan dominan tidak harus berproduksi pada q* untuk menghalangi pesaing masuk, cukup memberi ancaman saja dengan sinyal jika pesaing benar-benar masuk Dampak Penyalahgunaan Posisi Dominan terhadap Persaingan dan Konsumen Dengan adanya penyalahgunaan pelaku usaha dominan di pasar, maka dipastikan terjadi peningkatan tingkat konsentrasi di suatu industri yang menjadi indikasi peningkatan market power pelaku usaha dalam industri tersebut. Peningkatan market power memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price maker). Ada tidaknya penggunaan market power yang dimiliki oleh pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan tingginya harga jual produk, relatif dengan produk substitusi, relatif dengan biaya produksi, dan tingginya margin keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan. Dampak terhadap Persaingan Pada industri dimana terdapat pemain dominan, tingginya market power perusahaan dominan relatif terhadap para pesaingnya, memudahkan perusahaan tersebut untuk menentukan output dan harga tanpa terpengaruh keputusan pesaing. Terdapat dua bentuk dampak yang diakibatkan oleh penyalahgunaan posisi dominan. Dampak pertama muncul sebagai akibat dari penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif. Keputusan perusahaan dominan untuk menetapkan harga tinggi sebagai bentuk penggunaan market power secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati harga yang tinggi tersebut. Fenomena tersebut adalah bentuk dari munculnya price leadership. Price Leadership yang menjelaskan 18

19 bahwa perusahaan dominan mempunyai kekuatan sebagai price setter (penentu harga). Harga yang ditetapkan oleh perusahaan dominan kemudian akan diikuti oleh perusahaanperusahaan lainnya sebagai price taker. Kehadiran price leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah menjadi terhambat. Indikasi terjadinya price leadership adalah tingginya harga produk, serta tingginya margin keuntungan antar pelaku usaha. Dampak kedua yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan posisi dominan adalah hasil dari perilaku strategis yang bersifat eksklusif (non-cooperative). Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat bahwa penerapan strategi ini akan mampu membatasi atau mempersempit ruang gerak bagi para pemain baru yang akan masuk ke dalam industri, dan bahkan mampu mengeluarkan (membangkrutkan) perusahaan pesaingnya. Dampak terhadap Konsumen Pada periode predatory pricing dimana pelaku dominan menetapkan harga yang serendah-rendahnya, tentu saja konsumen mendapatkan dampak positif yaitu terjadi peningkatan consumer surplus. Namun setelah periode tersebut berakhir, dan perusahaan dominan telah berhasil mengusir pesaingnya keluar dan bersiap untuk melakukan manuver sebagai monopolis, dapat dipastikan peningkatan harga oleh perusahaan dominan akan terjadi (recoupment) karena pesaing menjadi sedikit dan nyaris tidak memiliki kekuatan. Sehingga consumer loss yang muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih rendah dari yang seharusnya konsumen dapatkan menjadi naik. Kerugian konsumen lainnya dengan adanya tindakan penyalahgunaan posisi dominan adalah hilangnya kesempatan konsumen untuk memperoleh harga yang lebih rendah, hilangnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan yang lebih banyak pada harga yang sama, kerugian intangible konsumen, serta terbatasnya alternatif pilihan konsumen Pembuktian Penyalahgunaan posisi dominan KPPU dalam pembuktian dugaan penyalahgunaan posisi dominan, menggunakan pendekatan yang dapat dibagi ke dalam tiga-tahap (3 step process), yaitu: a. Pendefinisian pasar bersangkutan ; b. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar bersangkutan ; c. Pembuktian apakah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan; Berikut adalah skema flowchart proses pembuktian pasal 25: 19

20 Definisi Pasar Bersangkutan (Tahap I) Dalam menentukan ada tidaknya posisi dominan, KPPU akan menetapkan jangkauan atau cakupan dari pasar bersangkutan (relevant market) terlebih dahulu. Penentuan pasar bersangkutan yang tepat diperlukan untuk mendefinisikan ukuran pasar dari sebuah produk. Ukuran pasar ini menjadi penting, karena dapat mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha. Dalam pasar bersangkutan yang cakupan terlalu sempit, maka sangat mungkin pelaku usaha yang menguasai produk tertentu dinilai menjadi pemegang posisi dominan. Sebaliknya apabila definisi pasar produk tersebut cakupannya terlalu luas, maka bisa jadi pelaku usaha tersebut tidak dinilai sebagai pemegang posisi dominan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 Ketentuan Umum UU No.5/1999, pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran 20

21 tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Pendefinisian pasar bersangkutan mengacu kepada Peraturan Komisi Nomor 3 Tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasar bersangkutan terdiri dari dua dimensi, dimensi produk (set of products) dan dimensi wilayah (relevant geographic market). Untuk menentukan produk apa yang termasuk ke dalam pasar bersangkutan, KPPU dapat menggunakan pendekatan elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran, melalui analisis preferensi konsumen dengan menggunakan tiga parameter utama sebagai alat pendekatan (proxy), yaitu harga, karakter dan kegunaan (fungsi) produk. Untuk menentukan wilayah mana yang menjadi cakupan geografis dari suatu produk, parameter yang dipertimbangkan adalah kebijakan perusahaan, indikator mengenai biaya dan waktu transportasi, serta tarif dan regulasi. A. Pasar Menurut Produk Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bias menjadi substitusi dari produk tersebut. Produk lain menjadi substitusi sebuah produk jika keberadaan produk lain tersebut membatasi ruang kenaikan harga dari produk tersebut. Batasan dari sebuah pasar dapat dilihat dari dua sisi yaitu substitusi permintaan konsumen (demand-side substitution) dan substitusi produsen (supply-side substitution). KPPU akan menggabungkan pendefinisian dari dua sisi pendekatan tersebut. Pendekatan substitusi dari sisi konsumen, KPPU akan mendefinisikan pasar melalui analisis hubungan antara barang/jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha yang sedang diinvestigasi dengan barang/jasa substitusi terdekatnya (close substitute). Barang substitusi terdekat tersebut akan dikategorikan dalam pasar bersangkutan yang sama dengan barang yang diinvestigasi, jika konsumen akan mengalihkan pembelian pada barang substitusi terdekatnya jika terjadi kenaikan harga signifikan diatas harga tingkat persaingan (competitive level) pada barang yang diinvestigasi. Substitusi dari sisi produsen juga mempengaruhi batasan atau cakupan pasar bersangkutan. Jika harga barang/jasa yang sedang diinvestigasi naik cukup signifikan di atas harga tingkat persaingan, yang mana akan mengakibatkan pelaku usaha sebuah produk lain mengalihkan fasilitas produksinya untuk memproduksi substitusi terdekat dari barang/jasa yang sedang mengalami kenaikan harga tersebut. Dalam kondisi tersebut, KPPU akan mengkategorikan baik barang yang bersangkutan beserta barang substitusinya ke dalam satu pasar relevan. B. Pasar Menurut Geografis 21

22 Pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut. Hal ini antara lain terjadi karena biaya transportasi yang harus dikeluarkan konsumen tidak signifikan, sehingga tidak mampu mendorong terjadinya perpindahan konsumsi produk tersebut. Metode yang sama akan diaplikasikan KPPU untuk menentukan cakupan geografis dari sebuah pasar bersangkutan. Jika harga barang yang diinvestigasi naik signifikan di atas harga tingkat persaingan, apakah konsumen dengan mudah dapat mengalihkan pembelian produk yang sama (atau mirip) dari produsen di daerah lain. Jika ya, maka daerah lain tersebut merupakan bagian dari pasar bersangkutan secara geografis. Pembuktian Posisi Dominan (Tahap II) Sesuai dengan Pasal 1 angka 4 dalam Ketentuan Umum UU No.5/1999, posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Dalam kondisi posisi dominan, maka dapat diasumsikan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan memiliki market power yang cukup signifikan. Market power adalah kemampuan pelaku usaha untuk menaikkan harga di atas tingkat persaingan namun masih menguntungkan bagi pelaku usaha tersebut. Kemampuan menaikkan harga tersebut menunjukkan bahwa perilaku pelaku usaha dominan bersifat independen dari tekanan persaingan yang dilakukan oleh pesaing - pesaingnya. Dengan kata lain pelaku usaha dominan tidak memiliki pesaing yang berarti di pasar bersangkutan. Dengan kemampuan tersebut, maka pelaku usaha dominan dapat melakukan tindakan yang bersifat anti-persaingan sekaligus dapat mencegah masuknya pesaing potensial atau mengusir pesaing dari pasar. Dengan kemampuan menaikkan harga tersebut, keuntungan yang diperoleh perusahaan dominan akan meningkat. Peningkatan keuntungan ini terjadi selain karena harga yang semakin tinggi, juga diakibatkan oleh biaya produksi yang rendah karena pemanfaatan skala ekonomis. Dengan demikian, keuntungan perusahaan dominan yang lebih tinggi dibanding pesaingnya di pasar bersangkutan berimplikasi pada kemampuan keuangan yang juga lebih tinggi. Sebagai perusahaan dominan, produksinya akan lebih besar dibanding pesaingnya di pasar bersangkutan. Dari sisi proses produksi, produksi yang besar akan memerlukan pasokan dan faktor produksi yang juga besar. Pembelian pasokan yang besar dibanding pesaing akan membuat perusahaan dominan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan pasokan. Dari sisi penjualan, produksi yang besar membuat jumlah 22

23 penjualan perusahaan dominan lebih tinggi dibanding pesaingnya di pasar bersangkutan. Hal ini dapat berakibat meningkatnya kemampuan perusahaan untuk mengatur permintaan barang atau jasa tertentu. Dalam menentukan posisi dominan, KPPU akan memperhatikan beberapa batasanbatasan (atau hambatan) yang dimiliki oleh pelaku usaha yang diduga memiliki posisi dominan. Batasan tersebut diduga dapat mempengaruhi independensi perilaku pelaku usaha terhadap tekanan persaingan. Batasan/hambatan tersebut dapat dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu i) hambatan dari pesaing yang ada saat ini, ii) hambatan yang berasal dari pesaing potensial, dan iii) hambatan lain misal dari konsumen, ataupun pemasok. Pada prinsipnya, apabila hambatan-hambatan tersebut relatif tidak signifikan, maka posisi dominan yang dimiliki perusahaan akan semakin menguat. Konsumen / Pemasok Pesaing di Pasar Pelaku Usaha Pesaing Potensial Posisi Dominan A. Hambatan dari Pesaing yang Ada Saat Ini Persaingan dengan pelaku usaha pesaing yang ada saat ini mengacu pada pelaku usaha yang berada di pasar bersangkutan yang sama dengan pelaku usaha dominan. Untuk mengukur batasan dari pesaing yang sudah ada di pasar dapat dilakukan dengan melihat pangsa pasar pelaku usaha dominan dan pesaingnya. Penggunaan ukuran pangsa pasar didasarkan atas asumsi adanya korelasi positif antara penguasaan pasar dengan market power. 23

24 Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, penghitungan pangsa pasar mengacu pada pasal 1 poin 13 yaitu berdasarkan persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Perilaku penyalahgunaan posisi dominan dapat dilakukan oleh pelaku usaha dominan tunggal (single dominance) maupun beberapa pelaku usaha dominan secara kolektif (collective dominance). Dalam Pasal 25 ayat (2) UU No.5/1999, pelaku usaha dikatakan dominan tunggal jika satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Sementara pelaku usaha disebut dominan secara kolektif jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Posisi dominan yang dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha yang independen terjadi ketika di antara pelaku usaha tersebut terdapat kesamaan penerapan strategi dan kebijakan di pasar. Kesamaan itu dapat terjadi karena adanya hubungan struktural maupun hanya karena mengadopsi kebijakan yang sama. Misalkan para pelaku usaha memberlakukan kebijakan harga yang sama di pasar meskipun tidak memiliki kesepakatan mengenai harga, maka para pelaku usaha tersebut dikatakan memiliki posisi dominan kolektif. B. Hambatan dari Pesaing Potensial Batasan atau hambatan yang berasal dari pesaing potensial menunjukkan seberapa besar tingkat hambatan masuk ke dalam pasar (entry barrier). Pelaku usaha di pasar bersangkutan dapat terlindungi dari pesaing potensial jika terdapat tingkat hambatan masuk yang cukup tinggi. Hambatan masuk ini muncul ketika pelaku usaha dominan yang telah ada di pasar memiliki keuntungan-keuntungan (advantages) dibanding pesaing potensial (potential entrant). Dalam kondisi dimana terdapat hambatan masuk yang signifikan, maka dapat diasumsikan bahwa hal tersebut ikut memberikan kontribusi terhadap terbentuknya posisi dominan oleh pelaku usaha tertentu. KPPU akan melakukan analisa terhadap hambatan masuk serta indikator signifikansinya melalui teknik kuantitatif dan kualitatif berdasarkan pendekatan kasus per kasus. C. Hambatan Lain Jika kekuatan yang dimiliki oleh konsumen (buyer power) cukup kuat relatif terhadap perusahaan yang diduga memiliki posisi dominan maka kondisi tersebut dapat mencegah perilaku penyalahgunaannya meskipun perusahaan yang bersangkutan memiliki pangsa pasar yang cukup besar. D. Penentuan Posisi Dominan 24

25 Penentuan ada atau tidaknya posisi dominan sepenuhnya mengacu kepada pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan batasan pangsa pasar pelaku usaha dominan yaitu sebesar 50% atau lebih untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dan 75% atau lebih untuk dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha. Dalam kondisi dimana rasio pangsa pasar pelaku usaha yang bersangkutan mencapai lebih dari 50% (individual) dan atau 75% (kolektif), maka dapat dikatakan bahwa kondisi posisi dominan telah terpenuhi. Dalam kondisi dimana rasio pangsa pasar bersangkutan menunjukkan angka dibawah kriteria batasan pangsa pasar tersebut, maka unsur pasal 25 ayat 2 dinyatakan tidak terpenuhi. Dengan demikian, dugaan pelanggaran pasal 25 tidak terbukti Perilaku penyalahgunaan posisi dominan (Tahap III) Setelah tahapan pendefinisian pasar bersangkutan dan pembuktian posisi dominan, langkah selanjutnya adalah pembuktian perilaku penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Perilaku pelaku usaha dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan posisi dominan apabila dampak dari perilaku pelaku usaha dominan berpengaruh negatif terhadap proses persaingan (competitive process). Perilaku pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dapat dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan jika perilaku tersebut terkait dengan peningkatan efisiensi, seperti inovasi, skala ekonomis (economies of scale), dan cakupan ekonomis (economies of scope). Secara konseptual, perilaku yang termasuk sebagai penyalahgunaan posisi dominan secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:. o Perilaku yang merugikan konsumen atau pemasok. Perilaku yang merugikan konsumen pada umumnya berupa penetapan harga yang sangat tinggi (excessive high price) o Perilaku yang bersifat eksklusif. Perilaku yang dapat digolongkan sebagai perilaku eksklusif adalah perilaku yang bersifat anti kompetisi karena membatasi atau menghilangkan persaingan dari pelaku usaha pesaing yang sudah ada (existing competitor) ataupun yang akan masuk ke pasar (potential competitor). Dalam Pasal 25 UU No 5/1999, perilaku penyalahgunaan posisi dominan telah dinyatakan secara eksplisit dalam ayat (1). Pasal 25 ayat (1) UU No.5 Tahun

26 menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) jenis perilaku penyalahgunaan posisi dominan, yaitu: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Butir A; Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas Perilaku penyalahgunaaan posisi dominan yang terkait dengan penetapan syaratsyarat perdagangan (trading terms) terjadi dalam hubungan ke level hulu-hilir atau terjadi dalam transaksi perdagangan antara pembeli dan pemasok. Penggunaan syaratsyarat perdagangan sebagai sarana untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang bertindak sebagai pembeli (dominant buyer) atau oleh pelaku usaha yang berperan sebagai penjual. Dalam kasus pertama, pembeli dengan posisi dominan dapat melakukan tindakan penyalahgunaan melalui penetapan butir-butir perjanjian (yang merupakan bagian dari syarat perdagangan), seperti mensyaratkan pemasok untuk tidak memasok barang kepada pembeli lainnya. Permintaan ini disertai dengan persyaratan, bahwa pembeli akan mengurangi atau menghentikan pasokan tanpa justifikasi yang jelas (refusal to trade), menahan atau mengubah sistem pembayaran yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat merugikan mitra dagang (pemasok), serta berbagai perilaku tidak menyenangkan lainnya. Dalam kasus kedua, hubungan yang terjadi tetap dalam level hulu-hilir, namun yang terjadi adalah suatu transaksi dimana penjual (dominan) menetapkan syarat-syarat perdagangan agar pelaku usaha yang menjadi pembelinya tidak membeli barang dari penjual yang lain. Adapun dampak dari penetapan syarat-syarat perdagangan sebagaimana butir A tersebut adalah berkurangnya alternatif pilihan bagi (atau menghalangi) konsumen dalam memperoleh produk yang bersaing (berdasarkan harga dan kualitas). Dampak terhadap konsumen tersebut bersifat tidak langsung, sementara dampak langsungnya adalah dengan tersingkirnya pesaing dari pasar karena tidak mendapatkan pasokan (penetapan syarat perdagangan oleh pembeli) atau tersingkirnya pesaing dari pasar karena tidak mendapatkan pembeli (penetapan syarat perdagangan oleh penjual). Dalam kondisi pemasok yang tidak memiliki bargaining power signifikan, penetapan berbagai syarat perdagangan tersebut pada umumnya akan dipatuhi. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan dikenakan sanksi dari mitra dagangnya yang dominan, mulai dari yang paling ringan (teguran) sampai pada yang paling berat (seperti pemutusan kontrak jual beli secara sepihak). 26

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 (JUAL RUGI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 (JUAL RUGI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 (Jual Rugi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak

Lebih terperinci

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Daftar Isi Bab I. Latar Belakang Bab II Tujuan dan Cakupan Pedoman

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 TENTANG JUAL RUGI (PREDATORY PRICING)

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 TENTANG JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 1 PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 TENTANG JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) Seri Pedoman Pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 19 HURUF D (PRAKTEK DISKRIMINASI) UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 HURUF D UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Daftar Isi Daftar Isi..

Lebih terperinci

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 POSISI DOMINAN Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Dominant Firm Dominant Firm (DF) adalah suatu perusahaan yg berprilaku seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Industri Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang menghasilkan produk sejenis dimana terdapat kesamaan dalam bahan baku yang digunakan, proses,

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan

Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Komisi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah klaimnya, asosiasi perusahaan ritel Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

TEORI PASAR. Materi Presentasi. Pasar Persaingan Sempurna Pasar Monopoli Pasar Monopolistis Pasar Oligopoli. Sayifullah, SE., M.

TEORI PASAR. Materi Presentasi. Pasar Persaingan Sempurna Pasar Monopoli Pasar Monopolistis Pasar Oligopoli. Sayifullah, SE., M. TEORI PASAR Sayifullah, SE., M.Akt Materi Presentasi Pasar Persaingan Sempurna Pasar Monopoli Pasar Monopolistis Pasar Oligopoli 1 Teori Pasar Pasar Persaingan Sempurna Pasar Persaingan Tidak Sempurna

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang struktur dan kinerja industri telekomunikasi seluler. Bab ini juga akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang struktur dan kinerja industri telekomunikasi seluler. Bab ini juga akan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menjelaskan teori-teori yang digunakan untuk melakukan studi tentang struktur dan kinerja industri telekomunikasi seluler. Bab ini juga akan menjadi panduan untuk memahami

Lebih terperinci

PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA

PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA P E R T E M U A N 6 N I N A N U R H A S A N A H, S E, M M MONOPOLI Bahasa Yunani monos polein artinya menjual sendiri Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran

Lebih terperinci

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI PENGANTAR MERGER PT A PT B DAPAT A/B PENGANTAR KONSOLIDASI PT A PT B MUNCUL C PENGANTAR AKUISISI PT A PT B ASAL: 1. 20% 2. 50% 3. 30% MENJADI: 1. 20% PT. A 50% 3. 30% Merger

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 18 Oktober 2010 BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan, disadari atau tidak,

Lebih terperinci

Referensi utama: Modern Industrial Organization Carlton and Pertloff 4 th ed Chapter 4, #

Referensi utama: Modern Industrial Organization Carlton and Pertloff 4 th ed Chapter 4, # Referensi utama: Modern Industrial Organization Carlton and Pertloff 4 th ed. 2005 Chapter 4, # 110-120 Apakah yang akan terjadi pada monopolijika ada perusahaan lain dengan biaya produksi yang lebih tinggi,

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN LITERATUR

BAB II TINJAUAN LITERATUR BAB II TINJAUAN LITERATUR II.1 Monopoli Sebuah perusahaan disebut melakukan monopoli apabila perusahaan tersebut menjadi satu satunya penjual produk di pasar, dan produk tersebut sendiri tidak memiliki

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif Pedoman Pasal 47 Tentang Tindakan Administratif KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 252 /KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 47 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG 1 BAB I LATAR BELAKANG Di dunia usaha, persaiangan usaha atau konmpetensi antar para pelaku usaha dalam merebut pasar adalah hal yang sangat wajar. Namun hal itu menjadi tidak wajar manakala persaingan

Lebih terperinci

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA MONOPOLI Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI. i BAB I PENDAHULUAN.. 1 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 8 (PENETAPAN HARGA JUAL KEMBALI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 8 (PENETAPAN HARGA JUAL KEMBALI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Nomor 3 Tahun 2009 Tanggl 1 Juli 2009 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Pasar Persaingan Sempurna(Perfect Competition)

Pasar Persaingan Sempurna(Perfect Competition) Pasar Persaingan Sempurna(Perfect Competition) PertemuanVII Tujuan Memahami definisi (perfect competition) Menjelaskan bagaimana perusahaan mengambil keputusan dan mengapa terjadi pemberhentian kerja dan

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

Pasar Oligopoli & Arsitektur Perusahaan. Dr. Muh. Yunanto, MM Pertemuan ke-8

Pasar Oligopoli & Arsitektur Perusahaan. Dr. Muh. Yunanto, MM Pertemuan ke-8 Pasar Oligopoli & Arsitektur Perusahaan Dr. Muh. Yunanto, MM Pertemuan ke-8 ASUMSI YANG MELANDASI BENTUK-BENTUK PASAR No Asumsi-asumsi Persaingan Sempurna Monopolistik Oligopoli Monopoli 1 Banyaknya Penjual

Lebih terperinci

BAB VIII PENETAPAN HARGA

BAB VIII PENETAPAN HARGA BAB VIII PENETAPAN HARGA Sebagai perusahaan berusaha untuk menumbuh keuntungan mereka, mereka sering fokus pada penurunan biaya produksi atau peningkatan permintaan produk. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM

BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM TINJAUAN UMUM Dari perspektif ekonomi dan hukum, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa tujuan kebijakan persaingan (competition policy)

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENERAPAN PASAL 1 ANGKA 10 TENTANG PASAR BERSANGKUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

Materi 8 Ekonomi Mikro

Materi 8 Ekonomi Mikro Materi 8 Ekonomi Mikro Pasar Persaingan Sempurna Tujuan Pembelajaran : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami metode dan model pasar persaingan sempurna dalam : Karakteristik Pasar Persaingan Sempurna,

Lebih terperinci

STRUKTUR PASAR I. Beberapa asumsi yang diperlukan dalam menganalisa struktur pasar : PRICE MAKERS

STRUKTUR PASAR I. Beberapa asumsi yang diperlukan dalam menganalisa struktur pasar : PRICE MAKERS Bentuk Bentuk asar erfect Competition Monopoly Monopolistic Competition Oligopoli STRUKTUR ASAR I Beberapa asumsi yang diperlukan dalam menganalisa struktur pasar : RICE TAKERS RICE MAKERS Asumsi erfect

Lebih terperinci

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Pedoman Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN

PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2009 Tanggal 13 Mei 2009 PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN DAFTAR ISI BAB I BAB II BAB III

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan disadari atau tidak, akan mempengaruhi persaingan antar para pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan dan membawa dampak kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I LATAR BELAKANG 1 TUJUAN PENYUSUNAN PEDOMAN TENTANG INTEGRASI VERTIKAL Tujuan Pembuatan Penjelasan Cakupan Penjelasan 3

DAFTAR ISI BAB I LATAR BELAKANG 1 TUJUAN PENYUSUNAN PEDOMAN TENTANG INTEGRASI VERTIKAL Tujuan Pembuatan Penjelasan Cakupan Penjelasan 3 DAFTAR ISI BAB I LATAR BELAKANG 1 BAB II TUJUAN PENYUSUNAN PEDOMAN TENTANG INTEGRASI VERTIKAL 2.1. Tujuan Pembuatan Penjelasan 3 2.2. Cakupan Penjelasan 3 BAB III PENGERTIAN DAN PENJABARAN PASAL 14 TENTANG

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 17 (PRAKTEK MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI

Lebih terperinci

Bab 11 Struktur Pasar : Pasar Oligopoli

Bab 11 Struktur Pasar : Pasar Oligopoli Bab 11 Struktur Pasar : Pasar Oligopoli 1 Ekonomi Manajerial Manajemen 2 Oligopoli: Arti & Sumbernya Oligopoli ada suatu bentuk organisasi pasar dimana penjual atas sebuah produk yang homogen atau terdiferensiasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa perilaku concerted action

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba Bab I: PENDAHULUAN Perkembangan usaha waralaba di Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain seperti

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

Pertemuan Ke 5. Bentuk Pasar

Pertemuan Ke 5. Bentuk Pasar Pertemuan Ke 5 Bentuk Pasar Berdasarkan jumlah penjual yang ada, struktur pasar output dibedakan menjadi empat, yaitu : 1. Pasar Persaingan Sempurna (perfect competitive market) : pasar dengan jumlah penjual

Lebih terperinci

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Bahan Konsinyering, 06-02-17 MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Undang-Undang Nomor... Tahun... tentang RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

TEORI PASAR. Pengantar Ilmu Ekonomi

TEORI PASAR. Pengantar Ilmu Ekonomi TEORI PASAR Pengantar Ilmu Ekonomi Pasar Secara Sederhana Tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa. Secara Luas (W.J. Stanton ) orang-orang yang mempunyai

Lebih terperinci

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari )

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari ) TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI Hasan Jauhari ) Abstrak Saat ini sekitar 60 negara dari 200an negara di dunia ini telah memiliki undang-undang anti monopoli

Lebih terperinci

November 1, 2012 DIE-FEUI. Kuliah ke-8: Monopoli dan Monopsoni. Rus an Nasrudin. Outline. Kekuatan Pasar. Sumber Konsekuensi dari Monopoli Monopoli

November 1, 2012 DIE-FEUI. Kuliah ke-8: Monopoli dan Monopsoni. Rus an Nasrudin. Outline. Kekuatan Pasar. Sumber Konsekuensi dari Monopoli Monopoli dan Pasar: dan DIE-FEUI November 1, 2012 dan Pasar: 1 2 3 dengan : Rujukan dan Pasar: Pindyck Bab 10 dan Bab 11 Apa itu monopoli dan apa itu kekuatan pasar? dan Pasar: Struktur pasar yang hanya terdiri

Lebih terperinci

Proses dimana tingkat harga dan output ditentukan sangat dipengaruhi oleh struktur pasarnya Pasar: terdiri atas pembeli dan penjual aktual maupun

Proses dimana tingkat harga dan output ditentukan sangat dipengaruhi oleh struktur pasarnya Pasar: terdiri atas pembeli dan penjual aktual maupun Proses dimana tingkat harga dan output ditentukan sangat dipengaruhi oleh struktur pasarnya Pasar: terdiri atas pembeli dan penjual aktual maupun potensial suatu produk tertentu Struktur Pasar: mengacu

Lebih terperinci

Bab 10 Struktur Pasar: Pasar Persaingan Sempurna, Monopoli & Monopolistik. Ekonomi Manajerial Manajemen

Bab 10 Struktur Pasar: Pasar Persaingan Sempurna, Monopoli & Monopolistik. Ekonomi Manajerial Manajemen Bab 10 Struktur Pasar: Pasar Persaingan Sempurna, Monopoli & Monopolistik 1 Ekonomi Manajerial Manajemen 2 Struktur Pasar & Tingkat Persaingan Proses dimana tingkat harga dan output ditentukan sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

STRUKTUR PASAR DAN STRATEGI PENETAPAN HARGA. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Suhardi, S.Pt.,MP

STRUKTUR PASAR DAN STRATEGI PENETAPAN HARGA. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Suhardi, S.Pt.,MP STRUKTUR PASAR DAN STRATEGI PENETAPAN HARGA Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Suhardi, S.Pt.,MP Materi : Pengertian Struktur Pasar Bentuk Pasar Maksimisasi Keuntungan Metode

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009 Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 tentang Pengaturan Monopoli BUMN Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

Oligopoli ada suatu bentuk organisasi pasar dimana penjual atas sebuah produk yang homogen atau terdiferensiasi jumlahnya sedikit Apabila hanya ada

Oligopoli ada suatu bentuk organisasi pasar dimana penjual atas sebuah produk yang homogen atau terdiferensiasi jumlahnya sedikit Apabila hanya ada Oligopoli ada suatu bentuk organisasi pasar dimana penjual atas sebuah produk yang homogen atau terdiferensiasi jumlahnya sedikit Apabila hanya ada dua penjual namanya Duopoli Oligipoli Murni: apabila

Lebih terperinci

STRUKTUR PASAR & LABA MAKSIMUM

STRUKTUR PASAR & LABA MAKSIMUM STRUKTUR PASAR & LABA MAKSIMUM Lecturer Notes by Rini Setyo W, SE.MM FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Pasar Adalah suatu institusi atau badan yg menjalankan aktivitas jual beli barang 2 dan/atau

Lebih terperinci

Teori Pasar Persaingan.

Teori Pasar Persaingan. Teori Pasar Persaingan www.aeunike.lecture.ub.ac.id Kondisi ekstrim 1 perfect competition >>> jumlah perusahaan banyak namun kemampuan sangat kecil untuk mempengaruhi harga pasar. Kondisi ekstrim 2 Monopoli

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT 55 VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT Bab ini membahas sistem pemasaran rumput laut dengan menggunakan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP). Struktur pasar

Lebih terperinci

Materi 11 Ekonomi Mikro

Materi 11 Ekonomi Mikro Materi 11 Ekonomi Mikro Pasar Oligopoli Tujuan Pembelajaran : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami : - Ruang Lingkup Pasar Oligopoli - Karakteristik Pasar Olipogoli - Faktor-faktor Penyebab Terbentuknya

Lebih terperinci

BAB 3 STUDI KASUS MASYARAKAT PERS DAN PENYIARAN INDONESIA (MPPI) VS PT MEDIA NUSANTARA CITRA TBK (MNC)

BAB 3 STUDI KASUS MASYARAKAT PERS DAN PENYIARAN INDONESIA (MPPI) VS PT MEDIA NUSANTARA CITRA TBK (MNC) 48 BAB 3 STUDI KASUS MASYARAKAT PERS DAN PENYIARAN INDONESIA (MPPI) VS PT MEDIA NUSANTARA CITRA TBK (MNC) 3.1 Duduk Perkara Dugaan ini bermula dari tembusan surat somasi dari Masyarakat Pers dan Penyiaran

Lebih terperinci

BAB VI Struktur Pasar

BAB VI Struktur Pasar BAB VI Struktur Pasar 6.1. Pengertian Struktur Pasar Di stasiun televisi sering kita melihat iklan yang mencerminkan persaingan di pasar produk masing-masing, misalnya persaingan yang sangat ketat di pasar

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pengendalian terhadap penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penerbangan merupakan salah satu sektor transportasi yang banyak diminati. Selain dapat menghemat waktu, penerbangan juga memberikan tarif yang cukup murah untuk setiap

Lebih terperinci

Definisi Pasar Monopoli

Definisi Pasar Monopoli Struktur Pasar Definisi Pasar Monopoli suatu bentuk pasar dimana dalam suatu industri hanya terdapat sebuah perusahaan dan produk yang dihasilkan tidak memiliki pengganti yang sempurna Karakteristik Pasar

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2010 tentang K A R T E L copyright@kppu.2011 DILARANG MENCETAK DAN MEMPERBANYAK ISI BUKU INI TANPA SEIJIN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

STRUKTUR PASAR PERSAINGAN MONOPOLI

STRUKTUR PASAR PERSAINGAN MONOPOLI STRUKTUR PASAR PERSAINGAN MONOPOLI TIU : Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat memahami tentang konsep pasar persaingan monopoli, mampu menghitung tingkat harga baik dalam jangka pendek dan jangka

Lebih terperinci

pada persepsi konsumen.

pada persepsi konsumen. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan pada industri otomotif di Indonesia tahun 1983-2013, maka dapat diperoleh kesimpulan yaitu: 1. Struktur

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN. Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN. Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan 1.1 Latar Belakang PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan perbuatan administrasi negara, baik yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009. Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba

KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009. Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009 Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2.1 Pengertian Posisi Dominan Dalam menjalankan kegiatan usahanya setiap pelaku usaha tentu memiliki

Lebih terperinci

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat,

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat, Bab I Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat, dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang antipersaingan. Persaingan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. 1 Dengan berbagai

I.PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. 1 Dengan berbagai 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keperihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar

Lebih terperinci

Struktur pasar dan karakteristik pasar persaingan sempurna

Struktur pasar dan karakteristik pasar persaingan sempurna BAB 5 PASAR PERSAINGAN 1. PASAR PERSAINGAN SEMPURNA Struktur pasar dan karakteristik pasar persaingan sempurna Dalam kegiatan dunia usaha, kita melihat banyak perusahaan yang menjual produk tertentu. Ketika

Lebih terperinci