DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT"

Transkripsi

1 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN DAN CAKUPAN PEDOMAN Tujuan Pembuatan Pedoman Cakupan Pedoman.. 5 BAB III HAKEKAT KETENTUAN PASAL Pengertian dan Ruang Lingkup Penjabaran Unsur Keterkaitan dengan Pasal Lain BAB IV PELAKSANAAN PASAL Konsep dan Definisi Penguasaan Pasar Rasionalitas Pelarangan Penguasaan Pasar Pengertian Menolak atau Menghalangi Pelaku Usaha Melakukan Kegiatan Usaha yang Sama Pada Pasar Bersangkutan Pengertian Menolak atau Menghalangi Konsumen dan/atau Pelanggan Berhubungan Dengan Pesaing Pengertian Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan/atau Jasa di Pasar Bersangkutan Pengertian Melawan Praktek Diskriminasi Terhadap Pelaku Usaha Tertentu Dampak Kegiatan Penguasaan Pasar Contoh Kasus.. 22 BAB V ATURAN SANKSI.. 25 BAB VI PENUTUP 27 1

2 BAB I LATAR BELAKANG Untuk menjamin persaingan usaha yang sehat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5/1999 ). Pelaksanaan UU No. 5/1999 yang efektif diharapkan dapat memupuk budaya berbisnis yang sehat sehingga dapat terus menerus mendorong dan meningkatkan daya saing di antara pelaku usaha. Salah satu tujuan diberlakukannya UU No. 5/1999 adalah untuk memastikan bahwa mekanisme pasar bekerja dengan baik dan konsumen menikmati hasil dari proses persaingan yang berjalan dengan sehat. Dalam UU No. 5/1999 diatur mengenai larangan perjanjian, kegiatan, dan penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengarah pada persaingan usaha tidak sehat. Salah satu kegiatan yang dilarang adalah penguasaan pasar, sebagaimana diatur dalam Pasal 19. Perlu dipahami bahwa tujuan dari setiap pelaku usaha yang rasional adalah untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan dengan cara mengembangkan usahanya semaksimal mungkin atau menjadi yang terbaik di bidang usahanya. Tujuan ini akan mendorong setiap pelaku usaha berupaya meningkatkan kinerja dan daya saingnya melalui inovasi dan efisiensi sehingga lebih unggul dari pesaingnya. Apabila berhasil, maka pelaku usaha tersebut akan memperoleh kedudukan yang kuat (posisi dominan) dan/atau memiliki kekuatan pasar (market power) yang signifikan di pasar bersangkutan. Dengan keunggulan relatif tersebut, pelaku usaha akan mampu untuk menguasai pasar bersangkutan atau dapat mempertahankan kedudukannya yang kuat di pasar bersangkutan. Dari sudut pandang ekonomi, pelaku usaha yang memiliki kemampuan penguasaan pasar yang diraih melalui keunggulan inovasi dan efisiensi dapat memberikan efek yang positif bagi konsumen. Melalui penguasaan pasar, pelaku usaha dapat mewujudkan efisiensi biaya (cost saving) atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk mencapai skala ekonomi (economy of scale). Penguasaan pasar bersangkutan juga memungkinkan pelaku usaha untuk dapat menekan biaya ratarata produksi melalui cakupan produksi yang luas (economy scope). Semuanya itu bisa berujung pada terciptanya harga yang rendah dan menguntungkan konsumen secara keseluruhan. Di sisi lain, kemampuan untuk menguasai atau untuk mempertahankan posisi di pasar bersangkutan dapat memungkinkan munculnya kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat. Secara teoritis pelaku usaha yang telah memiliki penguasaan posisi dominan juga akan berupaya mempertahankan posisi tersebut dengan mempraktekan kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat. 2

3 Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan para pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar secara negatif dengan cara-cara menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Tindakantindakan tersebut pada akhirnya akan merugikan pelaku usaha yang lain dan para konsumen akhir. Mengingat karakteristik dan dampak dari kegiatan penguasaan pasar yang memiliki dua sisi yang berbeda, maka analisis yang mendalam terhadap maksud dan tujuan serta akibat yang ditimbulkan mutlak diperlukan. Maka dari itu diperlukan pedoman untuk mengkaji Pasal 19 secara khusus sehingga tercipta pemahaman yang harmonis antara KPPU dan pelaku usaha mengenai Pasal 19 UU No. 5/

4 BAB II TUJUAN DAN CAKUPAN PEDOMAN 2.1. Tujuan Pembuatan Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5/1999. Adapun tugas-tugasnya adalah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5/1999. Salah satu tugas KPPU tercantum dalam Pasal 35 huruf f: Tugas Komisi meliputi membuat pedoman atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini. Pedoman diperlukan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai UU No. 5/1999. Pedoman akan menjadi pedoman bagi penegakan UU No. 5/1999, dengan adanya pedoman, diharapkan para pelaku usaha, para penegak hukum yang berkaitan dengan hukum persaingan (seperti: pengacara, KPPU, hakim dan lain-lain) dapat menyesuaikan diri dengan berdasarkan pada pedoman, sehingga tidak membuat tafsir atau menyalah tafsirkan isi dari UU No. 5/1999. Salah satu pasal yang akan diberikan pedoman adalah Pasal 19. Pedoman Pasal 19 (selanjutnya disebut Pedoman ) bertujuan untuk: a. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan kegiatan berdasarkan penguasaan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU No. 5/1999. b. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam menafsirkan bagian-bagian dari Pasal 19 sehingga tidak ada penafsiran lain selain yang diuraikan dalam Pedoman ini. c. Memberikan landasan bagi para pihak dalam berperilaku agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan selanjutnya untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang tumbuh secara wajar. Pedoman Pasal 19 bukan untuk menjelaskan bagaimana KPPU melakukan pemeriksaan dalam melakukan penegakan hukum atau memberikan saran dan kebijakan namun difokuskan kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan serta batasan ketentuan larangan kegiatan penguasaan pasar. Walaupun Pedoman ini memberikan penjelasan ketentuan tentang penguasaan pasar sebagaimana diatur dalam Pasal 19, namun demikian dalam proses penegakan hukum 4

5 persaingan usaha berdasarkan UU No. 5/1999, pandangan dan putusan Komisi dalam melakukan pemeriksaan atas kegiatan penguasaan pasar yang diduga melanggar Pasal 19 UU No. 5/1999 tetap didahulukan dan tidak hanya terbatas pada Pedoman Cakupan Pedoman Pedoman Pasal 19 UU No. 5/1999 ini mencakup filosofi, semangat, dan arah dari ketentuan dalam mempromosikan persaingan usaha yang sehat. Pedoman juga menguraikan secara singkat tentang kondisi sebagai akibat dari tidak adanya sistem yang mendukung ditegakkannya prinsip persaingan usaha yang sehat, khususnya tentang akibat dari persaingan usaha yang tidak sehat dalam upaya penguasaan pasar. Secara sistematis Pedoman mencakup: Bab I Latar Belakang Bab II Tujuan dan Cakupan Pedoman Bab ini menjelaskan tentang tujuan pembuatan Pedoman dan hal-hal yang tercakup dalam Pedoman. Bab III Hakekat Ketentuan Pasal 19 Bab ini menjelaskan tentang hakekat ketentuan Pasal 19, yaitu meliputi pengertian dan ruang lingkup yang diatur oleh Pasal 19, kemudian di dalamnya juga akan dijabarkan unsur-unsur dari Pasal 19 serta akan dijelaskan keterkaitan antara Pasal 19 dengan pasal-pasal lainnya dalam UU No. 5/1999. Bab IV Pelaksanaan Pasal 19 Bab ini akan menjelaskan mengenai pelaksanaan Pasal 19 termasuk di dalamnya pengertian atas kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam Pasal 19 secara mendetail. Akan dijelaskan pula kerangka analisis dalam menilai pelanggaran Pasal 19 berdasarkan jabaran kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut. Bab ini juga akan menjabarkan beberapa contoh kasus yang pernah diputus oleh KPPU. Bab V Aturan Sanksi Bab ini menyebutkan mengenai beberapa sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran Pasal 19. Bab VI Penutup 5

6 Sistematika serta bahasa dalam Pedoman ini diusahakan sesederhana dan sejelas mungkin agar dapat dimengerti dan dipahami, sehingga akan memudahkan semua pihak untuk dapat memahami aturan yang berlaku dan dapat menghindari ketidakpastian hukum dalam penegakan UU No. 5/

7 BAB III HAKEKAT KETENTUAN PASAL Pengertian dan Ruang Lingkup Pasal 19 merupakan bagian dari Bab IV UU No. 5/1999 mengenai Kegiatan Yang Dilarang dan secara khusus mengatur mengenai Penguasaan Pasar. Pasal 19: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Sedangkan keterangan mengenai Pasal 19 hanya ada mengenai Pasal 19 huruf a yaitu: Huruf a: Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain. Ruang lingkup larangan kegiatan yang diatur dalam Pasal 19 ini mencakup kegiatankegiatan yang dilakukan secara sendiri oleh pelaku usaha maupun kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat mengarah pada terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sehingga dapat terkena larangan ketentuan Pasal 19 UU No. 5/ Penjabaran Unsur Pasal 19: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau 7

8 b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Unsur Pelaku: a. Pelaku Usaha Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999, pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. b. Pelaku Usaha Lain Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang melakukan satu atau beberapa kegiatan secara bersama-sama pada pasar bersangkutan. Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No. 5/1999 adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan. c. Pelaku Usaha Tertentu Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha yang dirugikan oleh kegiatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 huruf a dan d UU No. 5/1999. d. Pelaku Usaha Pesaing Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama. e. Konsumen Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 5/1999, konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. f. Pelanggan Pelanggan adalah pemakai atau pengguna dari barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak lain yang menggunakan secara berkesinambungan, teratur, terus menerus baik melalui perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Unsur Tindakan: a. Penguasaan Pasar Kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi pembentukan harga atau kuantitas 8

9 produksi atau aspek lainnya dalam sebuah pasar. Aspek lainnya tersebut dapat berupa, namun tidak terbatas pada pemasaran, pembelian, distribusi, penggunaan atau akses atas barang atau jasa tertentu di pasar bersangkutan. Kegiatan ini dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya dan dapat terdiri dari satu atau beberapa kegiatan sekaligus. b. Praktek Monopoli Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 5/1999, praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. c. Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 5/1999, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. d. Pasar Bersangkutan Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999, pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan jasa tersebut. Sejalan dengan pengertian di atas dan dari sudut pandang ekonomi, ada dua dimensi pokok yang harus dipertimbangkan untuk menentukan pengertian pasar bersangkutan, yaitu produk (barang atau jasa yang dimaksud) dan wilayah geografis. e. Melakukan Sendiri Maupun Bersama-sama Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan keputusan atau perbuatan independen tanpa kerjasama dengan pelaku usaha yang lain. Kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar bersangkutan yang sama dimana pelaku usaha mempunyai hubungan dalam kegiatan usaha yang sama. f. Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan Satu atau beberapa kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan secara terpisah ataupun beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan kepada seorang pelaku usaha. g. Kegiatan Usaha Yang Sama Kegiatan usaha yang sama adalah kegiatan usaha yang sejenis dengan yang dilakukan oleh pelaku usaha. h. Hubungan Usaha 9

10 Hubungan usaha adalah kegiatan ekonomi antar pelaku usaha dalam bentuk berbagai transaksi dan/atau kerjasama i. Barang Berdasarkan Pasal 1 angka 16 UU No. 5/1999, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. j. Jasa Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No. 5/1999, jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. k. Menolak Menolak adalah ketika pelaku usaha tidak bersedia melakukan kegiatan usaha dengan pelaku usaha lainnya. l. Menghalangi Menghalangi adalah ketika pelaku usaha melakukan kegiatan yang menciptakan hambatan bagi pelaku usaha lain atau pelaku usaha pesaingnya untuk masuk ke dalam suatu pasar bersangkutan yang sama. m. Membatasi Peredaran Membatasi peredaran adalah kegiatan yang dilakukan pelaku usaha dengan tujuan untuk mengendalikan distribusi atau wilayah peredaran barang dan/atau jasa. n. Praktek Diskriminasi Praktek diskriminasi adalah termasuk di dalamnya menolak sama sekali melakukan hubungan usaha, menolak melakukan hubungan usaha, menolak syarat-syarat tertentu atau perbuatan lain, dimana pelaku usaha lain diperlakukan dengan cara tidak sama. Terjadi perbedaan perlakuan oleh pelaku usaha tertentu kepada pelaku usaha lainnya dalam suatu pasar bersangkutan Keterkaitan dengan Pasal Lain a. Pasal 11 UU No.5/1999 tentang Kartel Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat 10

11 b. Pasal 15 huruf 1 UU No. 5/1999 tentang Perjanjian Tertutup Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu. Pasal ini hanya menjadi salah satu titik awal untuk membuktikan bahwa telah ada niat dari para pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya dengan tujuan menolak, membatasi atau menghalangi, serta melakukan tindakan diskriminasi yang akan mengakibatkan munculnya penguasaan pasar secara negatif bagi pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha yang dapat berakibat munculnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. c. Pasal 17 UU No. 5/1999 tentang Monopoli (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. d. Pasal 18 UU No. 5/1999 tentang Monopsoni (1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 akan memberikan dasar mengenai penetapan seorang pelaku usaha atau pelaku-pelaku usaha untuk dapat dikatakan melakukan tindakan monopoli dan monopsoni. Untuk melihat tujuan dari tindakan yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha untuk munculnya pemenuhan Pasal 17 dan Pasal 18 maka diperlukan Pasal 19. Karena Pasal 17 dan Pasal 18 hanya akan memberikan petunjuk mengenai apa yang dapat dikategorikan sebagai monopoli dan monopsoni. Secara khusus Pasal 19 akan memberikan pedoman mengenai tindakan-tindakan spesifik yang dapat dilakukan untuk 11

12 mencapai tujuan monopoli atau monopsoni tersebut. e. Bagian Keempat tentang Persekongkolan UU No. 5/1999 Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Bagian Keempat UU No. 5/1999 tentang Persekongkolan menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk melakukan ketiga hal yang dapat termasuk dalam kategori bersekongkol. Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU No. 5/1999 secara tegas melarang kegiatan-kegiatan tersebut. Pasal 19 UU No. 5/1999 yang menyebutkan tentang larangan melakukan diskriminasi secara lebih kuat akan memberikan gambaran tentang apa yang akan terjadi apabila melakukan persengkongkolan-persekongkolan. f. Pasal 25 tentang Posisi Dominan (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. (2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pasal 25 UU No. 5/1999 tentang Posisi Dominan tetap penting dalam mengukur apakah ada 12

13 tindakan yang melanggar mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Sedangkan Pasal 19 UU No. 5/1999 bertujuan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam mempertahankan posisi dominan tersebut memakai cara-cara penguasaan pasar yang bermuara pada tindakan diskriminatif. 13

14 BAB IV PELAKSANAAN PASAL Konsep dan Definisi Penguasaan Pasar Secara teoritis, penguasaan pasar oleh sebuah perusahaan atau kelompok perusahaan adalah perilaku monopolisasi, yaitu tindakan atau upaya perusahaan atau kelompok perusahaan untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi monopoli atau posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Posisi monopoli atau posisi dominan yang dimiliki perusahaan atau kelompok perusahaan memberikan kekuatan kepada perusahaan untuk mengendalikan atau mengontrol elemen-elemen strategis di pasar bersangkutan. Elemen-elemen strategis di pasar bersangkutan diantaranya adalah harga, jumlah output, tingkat pelayanan, kualitas, dan distribusi. Dalam UU No. 5 Tahun 1995 Pasal 1 angka 10, pasar bersangkutan didefinisikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan jasa tersebut. Sejalan dengan pengertian di atas dan dari sudut pandang ekonomi, ada dua dimensi pokok yang lazim dipertimbangkan dalam menentukan pengertian pasar bersangkutan, yakni (a) produk (barang atau jasa) yang dimaksud, dan (b) wilayah geografis 1. Pasar berdasarkan cakupan geografis terkait dengan jangkauan dan/atau daerah pemasaran, sementara pasar berdasarkan produk terkait dengan kesamaan atau kesejenisan dan/atau tingkat substitusinya. Pasar bersangkutan adalah sebuah konsep yang dilakukan untuk mendefinisikan tentang ukuran pasar dari sebuah produk. Ukuran pasar ini menjadi penting, karena dapat mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha. Dalam pasar bersangkutan yang cakupannya terlalu sempit, maka sangat mungkin pelaku usaha yang menguasai produk tertentu dinilai menjadi pemegang posisi dominan, dan apabila cakupan pasar bersangkutan terlalu luas maka pelaku usaha tidak akan dinilai sebagai pemegang posisi dominan. Ketika perusahaan atau kelompok perusahaan memiliki posisi monopoli atau posisi dominan, maka perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan dan mengendalikan harga 1 Peraturan KPPU No. 03 Tahun 2009, Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 tentang Pasar Bersangkutan. 14

15 di pasar serta membatasi/menghilangkan pesaing nyata (exclude competitor). Kekuatan ini disebut sebagai kekuatan monopoli (monopoly power). Strategi-strategi perusahaan yang merupakan perwujudan dari kekuatan monopoli sebagai upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi monopoli disebut sebagai praktek monopoli. 2 Dengan demikian, praktek monopoli dan penguasaan pasar adalah suatu perilaku yang bermuara pada hal yang sama, yaitu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi monopoli dan/atau posisi dominan Rasionalitas Pelarangan Penguasaan Pasar UU No. 5/1999 tidak melarang perusahaan atau kelompok perusahaan untuk memiliki posisi monopoli atau posisi dominan, selama posisi tersebut diperoleh melalui mekanisme persaingan yang bersumber dari efisiensi yang dilakukan perusahaan. Jika suatu perusahaan mampu melakukan efisiensi biaya dan inovasi yang berhasil meningkatkan kualitas produk, maka perusahaan akan dapat memenangkan persaingan dan berhasil menguasai pasar bersangkutan. Penguasaan pasar tersebut dimungkinkan karena perusahaan memiliki produk yang superior. Efisiensi biaya dan produk yang berkualitas akan menguntungkan konsumen dan perekonomian secara keseluruhan. Kondisi demikian justru akan didukung dan sejalan dengan jiwa hukum persaingan. Namun, jika perusahaan memanfaatkan posisi monopoli atau posisi dominan yang dimiliki untuk mengurangi atau menghilangkan tekanan persaingan dari pelaku usaha pesaing, baik pesaing nyata (existing competitor) atau pesaing potensial (potential competitor), maka perusahaan dinyatakan telah melakukan penyalahgunaan posisi monopoli (abuse of monopoly). 3 Perilaku demikian bertentangan dengan prinsip persaingan usaha di dalam hukum persaingan karena bersifat anti-persaingan dan berdampak negatif terhadap pasar secara keseluruhan. Dampak negatif tersebut diantaranya adalah pilihan konsumen menjadi terbatas (karena berkurangnya pelaku usaha pesaing), harga yang harus dibayar konsumen meningkat, dan turunnya kesejahteraan sosial (kerugian yang ditanggung konsumen masih lebih besar dibanding peningkatan keuntungan yang diperoleh perusahaan). Oleh karena itu diperlukan pemahaman dan persepsi yang jelas mengenai perilaku penguasaan pasar seperti apa yang termasuk ke dalam penyalahgunaan posisi monopoli. 2 Kekuatan monopoli dan praktek monopoli terkait erat dengan monopoli, sebagaimana diatur di dalam Pedoman KPPU No 11 tahun 2011 mengenai Pedoman Pasal Pedoman KPPU No. 11 tahun 2011 mengenai Pedoman Pasal 17 15

16 Pasal 19 mengenai penguasaan pasar ini telah memberikan batasan terhadap perilaku perusahaan yang melanggar UU No , yaitu: menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Sebelum Pedoman ini menguraikan secara terperinci perilaku-perilaku penguasaan pasar yang bertentangan dengan UU No , terlebih dahulu akan disinggung mengenai penggunaan pangsa pasar (market share) dalam kaitannya dengan pelarangan penguasaan pasar. Posisi monopoli dan posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha dapat diindikasikan dari penguasaan pangsa pasar bersangkutan dan atau terdapatnya hambatan masuk (entry barrier) yang signifikan. Penguasaan pangsa pasar menunjukkan proporsi kemampuan pelaku usaha terhadap keseluruhan penjualan di pasar yang juga diisi pelaku usaha pesaing. Tingkat pangsa pasar ditunjukan dalam angka persentase dan dapat dipakai untuk menentukan pedoman atau menentukan standar keberhasilan pemasaran suatu perusahaan dalam membandingkan kedudukannya dengan pesaing-pesaingnya dalam pasar bersangkutan. Sampai sejauh mana suatu kemampuan suatu perusahaan menguasai persentase dalam pasar (market share) dapat dikatakan merupakan penguasaan pasar dapat dilihat dari beberapa unsur berikut, yaitu: 1. Pangsa pasar yang dominan sehingga menimbulkan dugaan munculnya kekuatan sebagai monopolis. UU No Pasal 25 ayat (2) memberikan definisi yang jelas mengenai posisi dominan berdasarkan pada pangsa pasar, yaitu: apabila Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a). satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b). dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. 2. Kemampuan untuk memperpanjang penguasaan pasar yang dilakukan dengan menetapkan harga di atas harga rata-rata pasar untuk jangka waktu yang relatife lama dan penetapan harga tersebut tidak terganggu dengan munculnya pesaing baru ke pasar bersangkutan. Kegiatan penguasaan pasar sangat erat kaitannya dengan pemilikan posisi dominan 16

17 dan pangsa pasar yang signifikan (di atas 50%) di pasar bersangkutan. Penguasaan pasar akan sulit dicapai apabila pelaku usaha, baik secara sendiri atau bersama-sama tidak memiliki posisi pangsa pasar dengan nilai persentase yang tinggi di pasar bersangkutan. Sebagai ilustrasi, sulit untuk dibayangkan pelaku usaha, baik secara sendiri maupun bersama-sama yang mempunyai pangsa pasar hanya 10% (sepuluh persen) dapat mempengaruhi pembentuan harga, atau produksi atau aspek lainnya di pasar bersangkutan. Namun di sisi lain, satu pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar 50% (lima puluh persen) di dalam pasar duapoli (hanya ada dua penjual) juga belum tentu secara individual mampu menguasai pasar bersangkutan Pengertian Menolak atau Menghalangi Pelaku Usaha Melakukan Kegiatan Usaha Yang Sama Pada Pasar Bersangkutan Perilaku penguasaan pasar pertama yang dilarang dalam UU No terdapat dalam huruf (a), yaitu: menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperjelas dalam perilaku tersebut. Pertama: siapa yang digolongkan sebagai pelaku usaha tertentu? Kedua: tindakan seperti apa yang termasuk dalam menolak dan/atau menghalangi? Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha potensial (potential competitor) yang merupakan calon/kandidat pesaing langsung dari pelaku usaha pemegang posisi monopoli atau posisi dominan. Penentuan apakah pelaku usaha tertentu termasuk ke dalam calon/kandidat pesaing langsung atau bukan, dapat dilakukan pada saat penentuan cakupan pasar bersangkutan sesuai dengan Pedoman Pasar Bersangkutan. Tindakan yang termasuk ke dalam menolak dan/atau menghalangi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha (mandiri atau bersama-sama pelaku usaha lain) yang telah ada di pasar bersangkutan (incumbent) baik secara langsung maupun tidak langsung yang ditujukan kepada pelaku usaha tertentu yang berakibat pada meningkatnya hambatan masuk yang dihadapi oleh pelaku usaha tertentu. Hambatan masuk yang meningkat dapat berupa, namun tidak terbatas pada: Tertutupnya akses masuk ke dalam pasar; Biaya yang ditanggung pelaku usaha tertentu untuk masuk ke pasar meningkat; Akses pelaku usaha tertentu ke pemasok (upstream) dan/atau konsumen (downstream) menjadi terhambat. Tindakan menolak dan/atau menghalangi dapat dilakukan secara langsung, yaitu pelaku 17

18 usaha tidak memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha yang berada di luar pasar bersangkutannya, seperti pelaku usaha di hulu (upstream market) atau pelaku usaha di hilir (downstream). Sementara tindakan menolak dan/atau menghalangi yang tidak dilakukan secara langsung apabila tindakan tersebut memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha di hulu (upstream market) atau pelaku usaha di hilir (downstream market). Secara umum, tindakan menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dapat diilustrasikan di Gambar 1. Gambar 1 B A Pasar Bersangkutan X D B B B A B B Pasar Bersangkutan atau X D A atau Pasar Bersangkutan C X D A Pasar Bersangkutan C X D B Keterangan A = Pelaku Usaha Tertentu B = Pelaku usaha lain di luar pasar bersangkutan D = Pelaku Usaha Pesaing C = Pelaku Usaha Lain di dalam pasar bersangkutan K = Konsumen Satu atau beberapa Kegiatan bersama X Kegiatan menolak atau menghalangi 4.4. Pengertian Menolak atau Menghalangi Konsumen dan/atau Pelanggan Berhubungan Dengan Pesaing Perilaku penguasaan pasar kedua yang melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 terdapat dalam huruf (b), yaitu: menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu. Perbedaan 18

19 utama antara perilaku penguasaan pasar huruf (a) dengan huruf (b) adalah pengertian pelaku usaha tertentu dan pelaku usaha pesaing. Dalam Pasal 19 huruf (a), pelaku usaha menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Pelaku usaha tertentu yang dimaksud disini adalah pelaku usaha pesaing potensial (potential competitor). Sementara dalam huruf (b), pelaku usaha melakukan tindakan untuk menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu. Pelaku usaha pesaing yang dimaksud disini adalah pelaku usaha nyata (existing competitor), yaitu pelaku usaha lain yang telah berada di dalam pasar bersangkutan yang sama dengan pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran. Tindakan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama pelaku usaha lain di pasar bersangkutan yang sama, dan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung diartikan sebagai tindakan yang tidak memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha yang berada di luar pasar bersangkutannya. Sedangkan secara langsung dimaksudkan sebagai tindakan yang memerlukan kerjasama dengan pelaku usaha yang berada di luar pasar bersangkutannya. Tindakan yang termasuk ke dalam menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, diantaranya adalah: Melakukan perjanjian tertutup (exclusive dealing) 4 dengan konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya itu. Melakukan kampanye negatif mengenai pelaku usaha pesaing yang ditujukan kepada konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing tersebut. Perilaku menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak berhubungan dengan pelaku usaha pesaingnya itu dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2. Gambar 2 4 Penjabaran lebih lanjut dari bentuk-bentuk perjanjian tertutup dapat dilihat pada Perkom tentang Perjanjian Tertutup 19

20 A Pasar Bersangkutan D A C Pasar Bersangkutan D X X atau atau K atau atau K A Pasar Bersangkutan B A C Pasar Bersangkutan D X X B K B K Keterangan A = Pelaku Usaha Tertentu B = Pelaku usaha lain di luar pasar bersangkutan D = Pelaku Usaha Pesaing C = Pelaku Usaha Lain di dalam pasar bersangkutan K = Konsumen Satu atau beberapa Kegiatan bersama X Kegiatan menolak atau menghalangi 4.5. Pengertian Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan/atau Jasa di Pasar Bersangkutan Perilaku ketiga yang termasuk dalam penguasaan pasar yang melanggar UU No terdapat dalam huruf (c), yaitu: membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan. Perilaku ketiga ini sesuai dengan konsep penguasaan pasar sebagai bentuk dari praktek monopoli yang telah diungkapkan sebelumnya. Sebagai pemilik posisi monopoli, maka pelaku usaha akan dapat mengendalikan harga melalui pembatasan kuantitas di pasar. Perilaku membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan merupakan bentuk nyata dari monopolisasi pasar oleh pelaku usaha. Bagaimana tindakan membatasi peredaran dan/atau penjualan dapat digolongkan sebagai penguasaan pasar? Penguasaan pasar dapat dilakukan ketika jumlah barang dan/atau jasa di pasar dapat dikendalikan oleh pelaku usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi jumlah barang dan/atau jasa milik pelaku usaha atau membatasi jumlah barang 20

21 dan/atau jasa milik pelaku usaha pesaing yang bertujuan agar pangsa pasar pelaku usaha pesaing berkurang. Untuk kategori pertama, membatasi jumlah barang dan/atau jasa milik pelaku usaha dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama dengan pelaku usaha lain di pasar bersangkutan yang sama. Jika dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain maka perilaku ini termasuk ke dalam perilaku kartel seperti yang dinyatakan dalam Pasal 11 UU No Sedangkan dalam kategori kedua, barang dan/atau jasa yang dibatasi adalah milik pelaku usaha pesaing yang ditujukan untuk mengurangi pangsa pasar pelaku usaha pesaing tersebut, sehingga jumlah barang dan jasa yang ada di pasar bersangkutan dapat dikuasai dan dikendalikan oleh pelaku usaha. Tindakan ini dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama dengan pelaku usaha lain di pasar bersangkutan yang sama. Jika dilakukan secara bersama-sama maka tindakan ini termasuk ke dalam kegiatan bersekongkol seperti yang dinyatakan dalam Pasal 24 UU No Ilustrasi dari perilaku pembatasan peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 A Pembatasan peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa A C Pembatasan peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa Pasar Bersangkutan Pasar Bersangkutan atau atau atau atau B A Pembatasan peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa B A C Pembatasan peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa Pasar Bersangkutan Pasar Bersangkutan 21

22 Keterangan A = Pelaku Usaha B = Pelaku Usaha lain (di luar pasar bersangkutan ) C = Pelaku Usaha Lain (di dalam pasar bersangkutan) K = Konsumen = Kegiatan membatasi peredaran atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan = Kegiatan melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain 4.6. Pengertian Melakukan Praktek Diskriminasi Terhadap Pelaku Usaha Tertentu Perilaku penguasaan pasar keempat yang melanggar UU UU No terdapat dalam huruf (f), yaitu: melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu 5. Yang dimaksud dalam praktek diskriminasi adalah perlakuan berbeda yang dilakukan terhadap pelaku usaha tertentu. Perlakuan berbeda tersebut dapat mengambil berbagai macam bentuk, seperti perlakuan harga, perlakuan kuantitas, perlakuan pelayanan, perlakuan syarat perdagangan dan perlakukan berbeda lainnya. Secara umum, perlakuan diskiminasi dapat diilustrasikan dalam gambar 4. Gambar 4 B C D A X AX B C D Keterangan : A = Pelaku usaha B = Pelaku usaha lain C = Pelaku usaha lain D = Pelaku usaha tertentu Kegiatan melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain X Kegiatan diskriminasi 5 Praktek diskriminasi yang termasuk ke dalam pelanggaran pasal 19 huruf (d) telah diatur dalam Pedoman tersendiri yaitu Perkom... 22

23 4.7. Dampak Kegiatan Penguasaan Pasar Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, secara konseptual kegiatan penguasaan pasar adalah kegiatan monopolisasi, yaitu upaya untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi monopoli atau posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Dengan demikian dampak dari kegiatan penguasaan pasar secara umum terlihat dari peningkatan posisi pelaku usaha di pasar. Secara khusus, beberapa dampak terhadap persaingan usaha yang bisa diakibatkan oleh pelanggaran Pasal 19 UU No , antara lain meliputi dan tidak hanya terbatas pada hal-hal tersebut : a) Adanya pelaku usaha pesaing yang akan tersingkir atau tersingkir dari pasar bersangkutan; atau b) Adanya pelaku usaha pesaing yang tereduksi perannya (proporsinya menjadi semakin kecil) dalam pasar bersangkutan; atau c) Ada satu atau sekelompok pelaku usaha yang dapat memaksakan kehendaknya di pasar bersangkutan; atau d) Terciptanya hambatan persaingan berupa hambatan untuk masuk ke pasar bersangkutan atau hambatan untuk mengembangkan pasar di pasar bersangkutan; atau e) Berkurangnya persaingan usaha yang sehat di pasar bersangkutan; atau f) Berkurangnya pilihan konsumen Contoh Kasus Beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan pelanggaran Pasal 19 yang telah ditangani dan diputus oleh KPPU Kasus Menolak dan/atau Menghalangi Pelaku Usaha Tertentu untuk Melakukan Kegiatan Usaha yang Sama pada Pasar Bersangkutan (Pasal 19 huruf (a)) Dalam rangka pelaksanaan program geser kompetitor dan mempertahankan kedudukan batu baterai merk X di pasar bersangkutan, PT A, selaku distributor batu baterai merk X, melakukan perjanjian dengan para grosir/semi grosir tradisional dimana dalam salah satu ketentuannya menyebutkan bahwa grosir/semi grosir yang menjual batu baterai merk X tidak boleh menjual batu baterai merk Y, yang merupakan pesaing batu baterai merk X. Bagi grosir/semi grosir yang mengikuti program ini, PT A akan memberikan tambahan diskon 23

24 sebesar 2%. Akibatnya, banyak grosir/semi grosir yang tertarik dengan program ini, sehingga batu baterai merk Y mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan. Bentuk perjanjian ini telah menagakibatkan terhambatnya penjualan/peredaran batu baterai merk Y di pasar distribusi batu baterai di level grosir/semigrosir tradisional. Contoh kasus ini melanggar Pasal 19 huruf (a) Kasus Menghalangi Konsumen atau Pelanggan Pelaku Usaha Pesaingnya untuk Tidak Melakukan Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha Pesaing (Pasal 19 huruf (b)) Sebuah perusahaan operator terminal peti kemas PT X menghalangi konsumennya untuk tidak menggunakan terminal peti kemas milik pesaingnya PT Y. Penghalangan dilakukan melalui tindakan pengiriman surat oleh PT X kepada perusahaan kapal selaku konsumen layanan peti kemas untuk tidak melakukan bongkar muat di terminal milik pesaingnya (PT Y). Bila dilanggar maka konsumen tersebut diancam tidak diperbolehkan menggunakan terminal peti kemas yang dikelola PT X. Perusahaan operator terminal peti kemas PT X merupakan perusahaan terbesar pada pasar jasa layanan peti kemas di pelabuhan bersangkutan. Contoh kasus ini bertentangan dengan Pasal 19 huruf (b) Kasus Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan atau Jasa pada Pasar Bersangkutan (Pasal 19 huruf (c)) Beberapa perusahaan pelayaran yang saling bersaing melayani satu jalur pelayaran melakukan perjanjian (kartel) penetapan harga dan kuota bongkar muat peti kemas untuk masing-masing perusahaan. Perjanjian ini bertujuan untuk mempertahankan penguasaan pasar oleh kartel tersebut di pasar bersangkutan. Untuk menjalankan perjanjian dibuat suatu mekanisme hukuman, berupa denda bagi perusahaan yang melanggar. Penetapan harga dan kuota bongkar muat ini jelas-jelas membatasi penjualan jasa layanan bongkar muat peti kemas di pelabuhan di pasar jalur pelayaran bersangkutan. Contoh kasus ini merupakan pelanggaran atas Pasal 19 huruf (c) Kasus Melakukan Praktek Diskriminasi terhadap Pelaku Usaha Tertentu (Pasal 19 huruf (d)) PT X melakukan penunjukan langsung kepada PT Y tanpa melalui proses tender guna melakukan pengembangan sistem e-reporting dan monitoring yang disertai pemberian hak 24

25 eksklusif sebagai satu-satunya penyelenggara sistem e-reporting dan monitoring di tempat PT X dan memungut biaya aplikasinya kepada perusahaan yang menggunakannya. Kebijakan PT X tersebut dianggap telah mendiskriminasi pelaku usaha jasa penyelenggara sistem e-reporting lainnya dengan memperlakukan PT Y secara istimewa. Contoh kasus ini melanggar Pasal 19 huruf (d) Kasus Pasal 19 huruf (a) dan (b) PT A adalah perusahaan telekomunikasi incumbent yang terintegrasi, yang memiliki jaringan tetap (fixed line) dan memberikan layanan sambungan langsung internasional (SLI). Sedangkan PT Y adalah pesaing PT A dalam pemberian jasa layanan SLI. Untuk memberikan layanan SLI dibutuhkan jaringan tetap (fixed line) yang hanya dipunyai PT A. Melalui keunggulannya selaku pemilik fasilitas esensial berupa jaringan tetap, PT A berusaha menghambat atau membatasi layanan SLI pesaingnya PT Y dengan melakukan pengalihan sambungan di pasar layanan SLI. Contoh kasus ini bertentangan dengan Pasal 19 huruf (a) dan (b). BAB V ATURAN SANKSI 25

26 Sesuai dengan UU No. 5/1999, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 berupa: Tindakan Administratif (Pasal 47 UU No. 5/1999) (1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan/atau b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan/atau c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat; dan/atau d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan/atau e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan/atau f. Penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp ,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Pidana Pokok (Pasal 48 UU No. 5/1999) (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp ,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp ,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 6 (enam) bulan. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp ,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp ,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. 26

27 (3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendahrendahnya Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp ,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. Pidana Tambahan (Pasal 49 UU No. 5/1999) Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; atau b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undangundang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. BAB VI PENUTUP 27

28 Penguasaan pasar yang dilakukan melalui upaya menolak atau menghalangi pelaku usaha melakukan kegiatan usaha; menolak atau menghalangi konsumen dan atau pelanggan berhubungan dengan pesaing; membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan atau jasa di pasar bersangkutan dan melakukan praktek diskriminasi, sesuai dengan ketentuan kegiatan yang dilarang berdasarkan Pasal 19 UU No. 5/1999 dinilai dapat menghambat persaingan usaha. Pedoman ini akan memperjelas apa yang dimaksud dengan tindakan-tindakan penguasaan pasar secara lebih spesifik sehingga pelaku usaha dapat mempergunakan pedoman ini sebagai upaya penyempurnaan mekanisme pasar yang sempurna, pasar yang bersaing secara sehat. Pedoman ini tidak tertutup kemungkinan untuk selalu disempurnakan. 28

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Daftar Isi Bab I. Latar Belakang Bab II Tujuan dan Cakupan Pedoman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 HURUF D UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Daftar Isi Daftar Isi..

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 19 HURUF D (PRAKTEK DISKRIMINASI) UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA MONOPOLI Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Bahan Konsinyering, 06-02-17 MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Undang-Undang Nomor... Tahun... tentang RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif Pedoman Pasal 47 Tentang Tindakan Administratif KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 252 /KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 47 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

Lebih terperinci

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM 1. Pengertian Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi Yang bertanggung jawab adalah Korporasi Korporasi = badan hukum => Perseroan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan

Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Komisi

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT I. Pendahuluan Pimpinan Komisi VI Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 POSISI DOMINAN Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Dominant Firm Dominant Firm (DF) adalah suatu perusahaan yg berprilaku seperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI. i BAB I PENDAHULUAN.. 1 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

JAWABAN SANGGAHAN ATAS PENGADAAN MAKAN DAN EXTRAFOODING DIKTUK BRIGADIR POLRI TA.2016 LANJUTAN TAHUN ANGGARAN 2017

JAWABAN SANGGAHAN ATAS PENGADAAN MAKAN DAN EXTRAFOODING DIKTUK BRIGADIR POLRI TA.2016 LANJUTAN TAHUN ANGGARAN 2017 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH SUMATERA SELATAN SEKOLAH POLISI NEGARA JAWABAN SANGGAHAN ATAS PENGADAAN MAKAN DAN EXTRAFOODING DIKTUK BRIGADIR POLRI TA.2016 LANJUTAN TAHUN ANGGARAN 2017 Sebelumnya,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

Penegakan Hukum atas Pelanggaran Terhadap Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Penegakan Hukum atas Pelanggaran Terhadap Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 1 Penegakan Hukum atas Pelanggaran Terhadap Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kop.Wil. I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Intisari Persaingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi persaingan merupakan satu karakteristik yang melekat dengan kehidupan manusia, dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 17 (PRAKTEK MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa perilaku concerted action

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843] BAB XI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 65 Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI PENGANTAR MERGER PT A PT B DAPAT A/B PENGANTAR KONSOLIDASI PT A PT B MUNCUL C PENGANTAR AKUISISI PT A PT B ASAL: 1. 20% 2. 50% 3. 30% MENJADI: 1. 20% PT. A 50% 3. 30% Merger

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999

Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999 Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999 Dalam rangka penegakan hukum persaingan usaha, maka sangatlah penting untuk meningkatkan efektifitas dalam mengimplementasikan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kepada Toray Advanced Materials Korea Inc. Dalam suatu tindakan pengambilalihan saham

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang Pedoman Pasal Tentang Ketentuan Pasal 50 Huruf a dalam Persaingan Usaha KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 253/KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 HURUF a UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 43 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 http://www.harianpilar.com I. Pendahuluan Pengadaan barang atau jasa pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan usaha 1. Dasar Hukum Persaingan Usaha Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Nomor 3 Tahun 2009 Tanggl 1 Juli 2009 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana

Lebih terperinci

ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH.

ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. 1 ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. I Istilah kewirausahaan secara umum dapat dikatakan sebagai suatu tindakan sadar dari seseorang yang memiliki sifat keunggulan

Lebih terperinci

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

UU No. 8/1995 : Pasar Modal UU No. 8/1995 : Pasar Modal BAB1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1 Afiliasi adalah: hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat a. kedua, baik

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENERAPAN PASAL 1 ANGKA 10 TENTANG PASAR BERSANGKUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1964 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1963 NOMOR 66) MENJADI

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba Bab I: PENDAHULUAN Perkembangan usaha waralaba di Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain seperti

Lebih terperinci

DRAFT DRAFT PEDOMAN PASAL 27 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT DRAFT PEDOMAN PASAL 27 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT DRAFT PEDOMAN PASAL 27 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Kata Pengantar Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 huruf (f) Undang-Undang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN... iv DAFTAR ISI Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar...... Daftar Isi... Intisari...... Abstract... i iv x xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Permasalahan.. 1 B. Perumusan

Lebih terperinci

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BAHAN POKOK DAN BARANG STRATEGIS LAINNYA

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BAHAN POKOK DAN BARANG STRATEGIS LAINNYA SALINAN WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BAHAN POKOK DAN BARANG STRATEGIS LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SORONG,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong 1. PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong timbulnya berbagai kegiatan usaha dan juga pelaku usaha yang berperan untuk memajukan kegiatan ekonomi.

Lebih terperinci

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT http://ekbis.sindonews.com/ Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pengantar Pasal 35 huruf (f): Menyusun pedoman dan atau publikasi

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 PENEGAKAN HUKUM ANTIMONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1999 1 Oleh: Rival Rumimpunu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah keberadaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 71 (1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, tindakan atau perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Hukum Persaingan Usaha

Hukum Persaingan Usaha Hukum Persaingan Usaha Oleh : Prof Dr Jamal Wiwoho, S.H.,M.Hum. 1 Sejarah Letter of Intent (LoI) : Pemerintah Indonesia IMF Tap MPR RI tahun 1973 Perubahan & perkembangan Hk. Bisnis (ketidakmampuan pasal

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R No.374, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. RUPS. Perusahaan Terbuka. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5644) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 8 (PENETAPAN HARGA JUAL KEMBALI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 8 (PENETAPAN HARGA JUAL KEMBALI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 18 Oktober 2010 BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan, disadari atau tidak,

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 27 (PEMILIKAN SAHAM) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 27 (PEMILIKAN SAHAM) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal

Lebih terperinci