BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY"

Transkripsi

1 BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2.1 Pengertian Posisi Dominan Dalam menjalankan kegiatan usahanya setiap pelaku usaha tentu memiliki tujuan untuk menjadi lebih unggul dari pelaku usaha pesaingnya di suatu pasar bersangkutan. Dengan menjadi lebih unggul (market leader) dari pelaku usaha lainnya di pasar bersangkutan tentu akan memberikan keuntungan yang lebih maksimal bagi pelaku usaha tersebut terutama dalam hal menarik konsumen. Dalam rangka mencapai suatu posisi dominan, penguasaan market power oleh pelaku usaha sangat penting. Market Power yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kekuatan pasar merupakan kemampuan dari pelaku untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, dalam hal ini pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi harga tanpa dapat dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaingnya. 20 Dalam kata lain market power merupakan kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi pasar. Pengukuran terhadap market power sangat penting dalam menentukan posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha. Dalam perspektif ekonomi, perusahaan yang mempunyai market power mempunyai kemampuan untuk menaikkan harga diatas biaya marginal, biaya marginal sendiri merupakan keadaan naiknya biaya total yang disebabkan oleh 20 Karl E. Case and Ray. C Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Edisi Kedelapan Jilid 1, (terjemahan Y.Andri Zaimur), Erlangga, Jakarta, 2007, h

2 15 produksi satu unit output. 21 Semakin besar market power yang dimiliki oleh perusahaan maka akan semakin besar selisih harga terhadap biaya marginal. Sehingga semakin tinggi market power yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka akan menyebabkan pasar semakin tidak efisien. 22 Market Power tidak hanya terbentuk karena pelaku usaha memiliki kemampuan dalam mempengaruhi pasar, namun dapat juga terbentuk karena produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut lebih diminati oleh konsumen. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya harga yang terjangkau, standar kualitas produk, pengaruh trend dan sebagainya. 23 Penguasaan market power dan keunggulan dalam hal finansial, jangkauan akses, efisiensi, teknologi dan sebagainya dapat membuat suatu pelaku usaha memiliki posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut maka memiliki posisi dominan merupakan prestasi tersendiri bagi pelaku usaha. Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar. 24 Dalam hukum persaingan usaha menjadi lebih unggul (market leader) tidaklah dilarang, pelaku usaha tentu akan terpacu untuk melakukan inovasi dan efisiensi dalam hal menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang kompetitif agar dapat memperoleh posisi yang lebih unggul (market leader) dari pelaku usaha lainnya dalam suatu pasar 21 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h Ayu Sitoresmi, Strategi Brand Proliferation Sebagai Bentuk Penyalahgunaan Posisi Dominan Dalam Konteks Persaingan Usaha, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, h Vegitya Ramadhani Putri, Hukum Bisnis Konsep & Kajian Kasus; Kajian Perbandingan Hukum Bisnis Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, Setara Press, Malang, 2013, h Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h. 21.

3 16 bersangkutan. Persaingan inilah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang dominan. Namun dengan memiliki posisi dominan, pelaku usaha berpotensi untuk melakukan tindakan anti persaingan dalam bentuk penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position), hal ini disebabkan dengan posisi dominan yang dimilikinya pelaku usaha tersebut dapat dengan mudah melakukan tindakan yang mempengaruhi dinamika pasar (penawaran dan permintaan) secara luas tanpa terpengaruh dengan pelaku usaha lainnya. Tindakan inilah yang pada akhirnya berpotensi mengancam keberlangsungan persaingan usaha yang sehat dan efektif di suatu pasar bersangkutan. Posisi dominan dilihat dari perspektif ekonomi dapat diartikan sebagai posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar dan dengan pangsa pasar yang besar itu perusahaan tersebut memiliki market power sehingga dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya. 25 Kepemilikan posisi dominan menandakan bahwa pelaku usaha tersebut memiliki market power yang lebih kuat dari pelaku usaha pesaingnya. Penyalahgunaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha biasanya terlihat dari perilaku strategis (strategic behaviour) pelaku usaha tersebut. Perilaku strategis merupakan suatu konsep bagaimana suatu perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing yang 25 Ibid, h.166.

4 17 potensial yang akan masuk di pasar bersangkutan. 26 Perilaku strategis ini pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha. Perilaku strategis ini meliputi penetapan harga dan kuantitas, mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas hingga mempersempit ruang gerak pesaing. Terdapat dua bentuk perilaku strategis yang digunakan oleh pelaku usaha untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha yaitu: Perilaku strategis yang bersifat kooperatif Perilaku strategis ini bertujuan untuk mengubah kondisi pasar sehingga mempermudah koordinasi antar pelaku usaha yang sudah ada di pasar bersangkutan dan mempersempit ruang gerak pelaku usaha pesaing mereka. Dalam perilaku strategis ini terdapat kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha yang telah ada di pasar bersangkutan. 2. Perilaku strategis yang bersifat non kooperatif Berbeda dengan perilaku strategis kooperatif, dalam perilaku strategis ini tidak ada kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha. Melalui perilaku strategis ini pelaku usaha berupaya meningkatkan profit mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pelaku usaha pesaing. Tujuan dari penggunaan perilaku strategis ini adalah untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha dan menurunkan keuntungan pelaku usaha pesaing. Dengan posisi dominan yang dimilikinya pelaku usaha dapat menerapkan perilaku strategis ini sehingga dapat mempengaruhi dinamika di suatu pasar 26 Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h Ibid.

5 18 bersangkutan. Penerapan perilaku strategis yang bertujuan menghambat persaingan oleh pelaku usaha dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap persaingan maupun konsumen. a. Dampak terhadap persaingan 28 1.) Meminimalisir persaingan diantara pelaku usaha di pasar bersangkutan Penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah koordinasi antar pelaku usaha yang telah ada di pasar bersangkutan. Kerja sama ini biasanya dimotori oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan. Kerja sama diantara pelaku usaha ini tentu menimbulkan manfaat bagi pelaku usaha karena kerjasama ini bertujuan untuk melindungi kepentingan dari pelaku usaha namun disisi lain kerja sama diantara pelaku usaha ini dapat meminimalisir persaingan dalam pasar bersangkutan yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. 2.) Timbulnya hambatan masuk (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial Dengan besarnya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan terhadap pesaingnya tentu akan memudahkan pelaku usaha tersebut menciptakan hambatan masuk terhadap pelaku usaha pesaing yang potensial masuk ke suatu pasar bersangkutan yang dikuasai oleh pemegang posisi dominan. Dengan adanya hambatan masuk yang diciptakan pemegang posisi dominan ini tentu akan meminimalkan tingkat persaingan yang terjadi di suatu pasar bersangkutan. 3.) Timbulnya hambatan perdagangan (restraint trade) bagi pelaku usaha pesaing 28 Ibid, h.19.

6 19 Dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mempengaruhi dinamika pasar secara mandiri tanpa dapat dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaingnya. Dengan kekuatan ini tentu pelaku usaha dapat dengan mudah mengeluarkan kebijakan yang dapat menghambat kinerja dari pelaku usaha pesaingnya seperti membatasi pasokan dan distribusi produk bagi pesaingnya serta membatasi akses terhadap hal yang esensial bagi pelaku usaha pesaing. Dengan adanya hambatan perdagangan yang diberikan pelaku usaha pemegang posisi dominan terhadap pelaku usaha pesaingnya ini dapat menimbulkan dampak terhadap persaingan. Dengan hambatan perdagangan tersebut pelaku usaha pesaing tidak akan optimal dalam menjalankan kegiatan usahanya sehingga akan menyulitkan bagi pelaku usaha itu untuk bersaing terutama dengan pemegang posisi dominan, yang pada akhirnya akan menyebabkan persaingan antar pelaku usaha di suatu pasar bersangkutan tidak berjalan secara efektif. 4.) Terciptanya kondisi pasar yang tidak efektif dan efisien Besarnya market power yang dimiliki pelaku usaha ini dapat menyebabkan pasar beroperasi secara tidak efektif dan efisien. Dengan market power yang dimilikinya pelaku usaha dapat dengan mudah mengontrol harga suatu produk di pasar bersangkutan selain itu pelaku usaha pemegang posisi dominan juga dapat melakukan pengaturan terhadap pasokan maupun permintaan terhadap suatu produk di pasar bersangkutan. Penyalahgunaan inilah yang dapat menyebabkan

7 20 suatu pasar yang tidak beroperasi secara efektif dan efisien sehingga akan menimbulkan dampak terhadap persaingan yang terjadi di pasar tersebut. b. Dampak terhadap konsumen 29 1.) Terbatasnya alternatif pilihan bagi konsumen Tindakan kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha ini dapat meminimalisir persaingan dalam pasar bersangkutan, hal ini tentu akan berdampak terhadap konsumen khususnya terkait dengan menjadi terbatasnya pilihan bagi konsumen untuk mendapatkan produk yang lebih murah. Salah satu bentuk kerja sama yang dapat membatasi alternatif pilihan bagi konsumen untuk mendapatkan produk yang lebih murah adalah tindakan price leadership pelaku usaha pemegang posisi dominan. Penetapan harga tinggi oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan sebagai bentuk penggunaan market power yang optimal dapat menjadi pelindung dan insentif bagi pelaku usaha pesaing untuk ikut menikmati harga tersebut. Pemegang posisi dominan mempunyai kekuatan untuk bertindak sebagai price setter (penentu harga) hal ini membuat pemegang posisi dominan berperan sebagai price leadership dalam suatu pasar sehingga harga yang ditetapkan pemegang posisi dominan itu akan diikuti oleh pelaku usaha pesaingnya sebagai price taker. 30 Kondisi inilah yang dapat menyebabkan pilihan konsumen untuk dapat menikmati harga yang lebih murah menjadi terbatas. 2.) Ketidakstabilan harga dan pasokan suatu produk 29 Ibid. 30 Ibid, h.19.

8 21 Salah satu unsur dari posisi dominan adalah kemampuan pelaku usaha dalam melakukan penyesuaian terhadap pasokan penjualan atau permintaan. Dengan besarnya market power yang dimiliki pelaku usaha pemegang posisi dominan, tentu pelaku usaha tersebut dapat dengan mudah melakukan kontrol terhadap harga maupun distribusi suatu produk di pasar bersangkutan. Bentuk penyalahgunaan seperti inilah yang dapat menciptakan ketidakstabilan harga dan pasokan di suatu pasar yang pada akhirnya akan merugikan konsumen. 3.) Deadweight loss Salah satu dampak lain yang dirasakan oleh konsumen sebagai akibat dari adanya penyalahgunaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha adalah deadweight loss. Deadweight loss adalah jumlah biaya yang harus ditanggung masyarakat jika pasar tidak beroperasi secara efisien. 31 Besarnya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan ini membuat pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pasar. Besarnya pangsa pasar serta market power yang dimiliki pemegang posisi dominan membuat pelaku usaha pemegang posisi dominan dapat menyesuaikan pasokan dengan penjualan serta permintaan, dengan hal tersebut pemegang posisi dominan dapat melakukan penyalahgunaan dengan menjauhkan besarnya harga dan jumlah barang dari titik keseimbangan penawaran dan permintaan. Ketidakseimbangan antara harga dan jumlah barang dengan penawaran dan permintaan inilah yang menyebabkan pasar tidak beroperasi secara efisien yang 31 N.Gregory Mankiw, Euston Quah dan Peter Wilson, Pengantar Ekonomi Mikro edisi Asia (Principles of Economics An Asian Edition Volume 1), Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2012, h.187.

9 22 akhirnya menimbulkan keadaan deadweight loss. 32 Salah satu akibat adanya deadweight loss bagi konsumen adalah berkurangnya kemampuan konsumen untuk menabung yang disebabkan oleh tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk suatu produk. 4.) Berkurangnya tingkat kesejahteraan konsumen Bentuk-bentuk penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan seperti membatasi distribusi suatu produk, mengatur jumlah pasokan dan pengontrolan harga terhadap suatu produk di suatu pasar bersangkutan tentu akan menyebabkan pasar tidak beroperasi secara efektif dan efisien yang akhirnya menimbulkan ketidakstabilan harga di suatu pasar. Ketidakstabilan harga ini umumnya terwujud dengan tingginya harga suatu produk yang harus dibayar oleh konsumen. Dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen terhadap suatu produk yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah ini menyebabkan tingkat kesejahteraan dari konsumen juga akan berkurang. Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan terhadap persaingan maupun konsumen, maka tindakan penyalahgunaan posisi dominan merupakan hal yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. Terdapat berbagai definisi terkait dengan posisi dominan salah satunya adalah definisi dari The European Court of Justice (ECJ) yang mengartikan posisi dominan berdasarkan putusannya terhadap kasus United Brands, yaitu: a position of economic strength enjoyed by an undertaking which enable it to prevent effective competition being maintained on the 32 Ibid.

10 23 relevant market by giving it power to behave to an appreciable extent independently of its competitors, customers and ultimately of consumers. 33 Konsep posisi dominan berdasarkan The European Court of Justice (ECJ) pada intinya adalah sebuah posisi kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh pelaku usaha yang memungkinkan pelaku usaha tersebut untuk mencegah persaingan yang efektif pada pasar bersangkutan secara mandiri dari pelaku usaha pesaingnya, pelanggan dan konsumennya. Definisi lain terkait dengan posisi dominan juga dapat ditemui dalam UU No.5/1999, yang mendefinisikan posisi dominan sebagai: keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. 34 Penguasaan posisi dominan ini dapat dimiliki oleh satu pelaku usaha yang disebut dengan monopolist yaitu jika ada satu pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar yang lebih tinggi dari pesaingnya. 35 Dapat juga dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha yang disebut dengan oligopolist yaitu keadaan dimana suatu pasar bersangkutan terdapat dua pelaku usaha atau lebih yang mempunyai kekuatan 33 Andi Fahmi Lubis et al., Loc.Cit., dikutip dari Valentine Korah, An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice (7 th ed.), Portland Oregon, Oxford, 2000, p Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps. 1 angka Ibid, Ps. 25 Ayat (2) huruf a.

11 24 pasar yang hampir sama atau seimbang. Dalam posisi ini umumnya antar pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut saling bergantung satu sama lain Unsur-unsur posisi dominan Berdasarkan definisi posisi dominan yang terdapat dalam pasal 1 angka 4 UU No.5/1999 terdapat empat unsur-unsur yang perlu diteliti untuk menentukan apakah pelaku usaha tersebut mempunyai posisi dominan atau tidak. 1. Pangsa pasar Definisi pangsa pasar dalam pasal 1 angka 13 UU No.5/1999 adalah presentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Pangsa pasar merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan apakah pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan atau tidak. Dalam pasal 25 ayat (2) dijelaskan bahwa satu pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu atau menguasai lebih dari 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu untuk dua atau lebih kelompok usaha. 2. Kemampuan keuangan Salah satu unsur yang perlu diteliti dalam menentukan pelaku usaha memiliki posisi dominan atau tidak adalah kemampuan keuangan. Pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila memiliki kemampuan keuangan yang lebih kuat dibanding pesaingnya. Salah satu tanda paling penting dalam 36 Ibid, Ps. 25 Ayat (2) huruf b.

12 25 menganalisis kemampuan keuangan suatu pelaku usaha adalah cash flow yang dimiliki pelaku usaha tersebut. Cash flow disini dapat diartikan sebagai jumlah keuntungan pelaku usaha dalam suatu periode tertentu. Hal lain yang menentukan besarnya kemampuan keuangan suatu pelaku usaha adalah dengan perbandingan antara omset pelaku usaha dengan modal dasarnya. 37 Dalam menilai apakah suatu pelaku usaha mempunyai kemampuan keuangan yang kuat dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu: 38 a.) b.) c.) d.) e.) f.) Modal dasar; Cash flow; Omset; Keuntungan; Batas kredit; dan Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional. 3. Kemampuan pada pasokan atau penjualan Salah satu ciri pelaku usaha memegang posisi dominan adalah kemampuan untuk mengatur pasokan atau penjualan. Kemampuan ini pada umumnya diperoleh karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya. 4. Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan Pada prinsipnya kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan memiliki kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan. Pelaku usaha pemegang posisi dominan tentu akan dengan mudah menyesuaikan pasokan atau permintaan dengan pangsa pasar yang mereka miliki. 37 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.172. dikutip dari Emmerich, Voelker, Kartellrecht, 8 Auflage, (Muenchen: Verlag C.H Beck) p Ibid. dikutip dari Heermann, in Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, 2002, Katalis-Publishing-Media Services, p.42.

13 26 Penilaian terhadap keempat unsur diatas tersebut penting sebagai dasar untuk menentukan kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha di pasar bersangkutan Penetapan posisi dominan Berdasarkan UU No. 5/1999 sebelum menentukan apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan atau tidak, terlebih dahulu lembaga otoritas persaingan melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan. Investigasi tersebut dilakukan dengan cara melakukan pembatasan terhadap pasar bersangkutan. Definisi dari pasar bersangkutan dapat ditemui dalam UU No.5/1999 pasal 1 angka 10 yaitu pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang dan atau jasa tersebut. 39 Pasar bersangkutan merupakan suatu konsep untuk mendefinisikan ukuran pasar dari sebuah produk. 40 Pengukuran terhadap pasar bersangkutan ini sangat penting untuk melihat ada tidaknya posisi dominan yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha dalam suatu pasar bersangkutan.definisi dari pasar bersangkutan ini berfungsi sebagai batasan dalam mengukur luasnya dampak dari tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps.1 Angka Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h Ibid.

14 27 Pasar bersangkutan (relevant market) terdiri atas pasar produk, pasar geografis, dan pasar temporal. Secara umum pendekatan terhadap pasar bersangkutan terdiri atas dua aspek yaitu pasar produk dan pasar geografis. Terdapat dua metode pembatasan pasar bersangkutan dalam menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha yaitu: 42 a.) Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk (product market) Pasar produk (product market) diartikan sebagai produk-produk persaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang dapat menjadi subtitusi dari produk tersebut. 43 Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara objektif adalah kondisi dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subtitusinya. 44 Dalam rangka menentukan apakah suatu barang dengan barang lain dapat dikategorikan sama atau dapat menjadi subtitusi terhadap barang tertentu dapat dilihat dari empat aspek yaitu: a. Bentuk dan sifat barang Dalam menentukan apakah suatu produk berada dalam satu pasar bersangkutan dapat dilihat dari bentuk dan fisik suatu barang. Apabila bentuk dan sifat barang dari produk yang berbeda itu sama maka dapat dikatakan produk tersebut berada dalam satu pasar bersangkutan. b. Fungsi barang 42 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h Andi Fahmi Lubis et al., Loc.Cit.

15 28 Pengidentifikasian produk tersebut juga dapat dilihat dari fungsi barang, apakah produk satu dengan produk yang lain mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen. Apabila produk yang berbeda tersebut mempunyai fungsi yang sama maka produk tersebut berada dalam satu pasar bersangkutan. c. Harga Salah satu unsur penting dalam menentukan apakah produk tersebut berada dalam pasar bersangkutan yang sama atau tidak adalah harga. Apabila perbedaan harga antara produk yang berbeda tersebut tidak terlalu jauh maka barang tersebut dapat dikatakan bersubtitusi satu sama lain dan berada di pasar bersangkutan yang sama. d. Fleksibilitas barang bagi konsumen (interchangeable) Unsur terakhir dalam menentukan apakah suatu produk dapat dinyatakan berada dalam satu pasar bersangkutan atau tidak adalah fleksibilitas kebutuhan barang tersebut bagi konsumen. Hal ini disebut sebagai konsep kebutuhan konsumen. 45 Dalam konsep ini suatu barang dapat dikatakan berada dalam satu pasar bersangkutan apabila ketika konsumen kehabisan produk tersebut, konsumen secara otomatis mau beralih kepada produk yang berbeda. Produk dikatakan berada dalam satu pasar bersangkutan apabila produk yang berbeda ini dapat saling menggantikan satu sama lain (interchangeable). Dalam menentukan hal ini aspek penilaian konsumen sangatlah penting karena konsumen membeli suatu produk untuk kebutuhannya. 45 Ibid, h.176.

16 29 Apabila suatu produk sudah dikategorikan berada dalam satu pasar bersangkutan yang sama, maka konsekuensinya adalah pangsa pasar barang sejenis dan barang subtitusi akan ikut dijumlahkan untuk menentukan apakah pangsa pasar bersangkutan memiliki posisi dominan atau tidak. 46 b. Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis (relevant geographic market) Pasar geografis (relevant geographic market) adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut. 47 Pembatasan pasar bersangkutan ditentukan sejauh mana produsen memasarkan produknya seluas itulah dihitung produsen yang memasarkan produk di wilayah tersebut. 48 Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ini bertujuan untuk menghitung pangsa pasar bersangkutan secara objektif disekitar wilayah barang tersebut dipasarkan. Pasar disini meliputi wilayah regional, nasional, internasional dan pasar global. Dalam pasar geografis faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan luas dan cakupan wilayah suatu produk adalah 49 : a. Kebijakan perusahaan Kebijakan perusahaan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan luas dan cakupan wilayah suatu produk. Hal ini dikarenakan 46 Ibid, h Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h Ibid. 49 Ibid, h.17.

17 30 kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan akan sangat menentukan logistik suatu produk terutama terkait dengan wilayah yang akan dijadikan target pemasaran. Analisa terhadap kebijakan perusahan terkait logistik suatu produk akan menunjukkan mengenai luas cakupan geografis dari produk tersebut. b. Biaya transportasi dan lamanya perjalanan Biaya serta waktu transporatsi juga merupakan faktor yang mempengaruhi ketersediaan produk di wilayah tertentu. Semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan serta lamanya perjalanan yang harus ditempuh tentu akan menyulitkan pelaku usaha untuk memperluas wilayah pemasarannya sehingga cakupan wilayah produk tersebut relatif terbatas untuk wilayah pemasaran yang sudah ada. Sebaliknya apabila biaya serta waktu yang harus ditempuh tidak signifikan maka akan mendorong pelaku usaha untuk melakukan ekspansi pasar produk tersebut. c. Tarif dan peraturan yang membatasi lalu lintas perdagangan antar kota/wilayah Penentuan tarif disini juga menentukan luas jangkauan wilayah pemasaran suatu produk. Kebijakan tarif suatu yang dapat menyebabkan peningkatan harga produk sehingga menurunkan minat beli konsumen tentu akan membatasi lalu lintas produk tersebut di wilayah tersebut. Dengan terbatasnya distribusi produk dalam satu wilayah tentu akan mempersempit jangkauan wilayah geografis dari produk tersebut. Peraturan yang dapat membatasi peredaran suatu produk di suatu wilayah juga merupakan faktor untuk menentukan cakupan geografis suatu produk.

18 31 Dengan adanya peraturan yang menghambat distribusi suatu produk di suatu wilayah tentu akan mempersempit cakupan geografis dari produk tersebut. Berdasarkan pasar geografis ini pelaku usaha pemegang posisi dominan ialah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar di wilayah tersebut. 2.2 Penyalahgunaan Posisi Dominan (Abuse of Dominant Position) Kepemilikan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha tidaklah dilarang sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya pada pasar yang bersangkutan dilakukan atas kemampuannya sendiri dan dengan cara yang dibenarkan. Fokus utama dalam hukum persaingan usaha adalah menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha untuk menjadi pelaku usaha yang memiliki posisi dominan melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif. 50 Kepemilikan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha baru dilarang apabila dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha tersebut melakukan tindakan anti persaingan yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di suatu pasar yang bersangkutan. Dengan posisi dominan yang dimilikinya, suatu pelaku usaha dapat melakukan tindakan anti persaingan pada suatu pasar bersangkutan secara individu tanpa memperhitungkan pelaku usaha pesaingnya. Dengan memegang posisi dominan suatu pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi keadaan pasar secara mandiri dengan cara penentuan harga, 50 Ibid, h.166.

19 32 mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk-produk yang diminta Bentuk penyalahgunaan posisi dominan (Abuse of Dominant Position) Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua bentuk penyalahgunaan posisi dominan, yaitu penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) dan penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse). a.) Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif ini merupakan penyalahgunaan yang berbentuk upaya maksimalisasi profit dengan cara mereduksi iuaran dan menaikkan harga diatas level kompetitif. 52 Tindakan penyalahgunaan ini akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap konsumen. Bentuk penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif ini terdiri atas: 53 a. Excessive price yaitu membebankan suatu harga yang bersifat monopolistik; b. Unfair condition yaitu penerapan syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen sehingga konsumen tidak dapat membeli atau menjual kembali secara bebas; c. The quite life yaitu pelaku usaha yang memegang posisi dominan menolak menggunakan teknologi tertentu dengan alasan-alasan yang tidak dapat diterima. b.) Penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse) 51 Ibid, h.167 dikutip dari Valentine Korah, Op.Cit., p Vegitya Ramadhani Putri, Op.Cit., h Ibid. dikutip dari Rodger, Barry & MacCulloch, Angus, 2009, Competition Law and Policy in the EC and UK, London: Routledge, p

20 33 Pelaku usaha yang memegang posisi dominan memiliki tanggung jawab khusus (special responsibility) untuk mencegah tindakannya menyebabkan suatu persaingan yang tidak sehat di dalam pasar bersangkutan. Penyalahgunaan bersifat penyingkiran ini bertujuan untuk menutup pasar dari pesaing atau pelaku usaha baru baik secara potensial maupun aktual. Bentuk penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran ini terdiri atas: a. Melindungi market power dengan cara mempersulit pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar bersangkutan (barrier to entry). b. Export bans yaitu pelarangan terhadap ekspor. c. Pricing strategies (strategi harga) yang berbentuk: (1) Discount and rabates (diskon dan rabat) Diskon dan rabat ini dapat diberikan oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan kepada pelaku usaha tertentu atau konsumen dengan tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaingnya dari pasar bersangkutan. Sebagai contoh produsen kain A memberikan diskon kepada pengusaha konveksi B, C dan D dengan kesepakatan bahwa para pengusaha konveksi tersebut tidak boleh membeli kain dari produsen lain. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan hambatan bagi pelaku usaha lain untuk bersaing di pasar bersangkutan. (2) Predatory pricing (harga predator) Harga predator ini merupakan kebijakan pelaku usaha untuk menurunkan harga serendah-rendahnya sehingga pelaku usaha lain tidak bisa bersaing dengan harga tersebut. Tujuan akhir dari predatory pricing ini untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar bersangkutan.

21 34 d. Tying and Leverage yaitu pelaku usaha dominan memperluas market powernya dari pasar yang telah didominasinya ke pasar lain. Perilaku ini dapat dilakukan dengan cara pemborongan sehingga dominasi pada pasar yang produknya terikat akan meluas ke pasar produk ikatan tersebut. e. Merger yang bertujuan untuk menciptakan posisi dominan. f. Refusal to supply yaitu penolakan penyaluran kepada konsumen. Penolakan ini dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) Refusal to deal yaitu penolakan penyaluran kepada konsumen tertentu dengan tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing. (2) Refusal to allow consumers access to essential facility yaitu penolakan kepada konsumen untuk mengakses fasilitas yang esensial Hubungan afiliasi dengan pelaku usaha yang lain Salah satu penilaian posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha dapat juga dinilai melalui afiliasi suatu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain. Hubungan terafiliasi antar pelaku usaha ini terbagi menjadi dua jenis yaitu: a.) Jabatan rangkap Dalam UU No.5/1999 terdapat pengaturan mengenai larangan jabatan rangkap. Pasal 26 UU No.5/1999 menegaskan larangan adanya jabatan rangkap: Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaanperusahaan tersebut: a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu,

22 35 yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 54 Berdasarkan ketentuan pasal 26 ini jabatan rangkap baru dilarang apabila dengan hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Penilaian terhadap jabatan rangkap ini biasanya dilakukan pada proses merger atau akuisisi saham, apabila perusahaan melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain dan akibat akuisisi tersebut ditempatkan Komisaris atau Direksi, maka penempatan tersebut dapat dinilai apakah nantinya akan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar bersangkutan atau tidak. Jabatan rangkap disini dapat dilakukan diantara perusahaan yang berada di pasar bersangkutan yang sama 55 maupun perusahaan yang tidak bergerak di bidang usaha yang sama. 56 Jabatan rangkap yang dilakukan diantara pelaku usaha yang bergerak di bidang yang sama penilaiannya dilakukan melalui besarnya saham yang dimiliki dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang mengambilalih dan pangsa pasar yang diambilalih (secara horizontal). Jabatan rangkap juga dapat dilakukan diantara pelaku usaha yang tidak bergerak dalam bidang usaha yang sama, diantara pelaku usaha tersebut mempunyai keterkaitan usaha dalam proses produksi barang dari pasar hulu ke pasar hilir. Dalam hal ini antar pelaku usaha tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha. 54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps Ibid, Ps. 26 huruf a. 56 Ibid, Ps. 26 huruf b.

23 36 Jabatan rangkap juga dapat dinilai melalui pangsa pasar perusahaanperusahaan tempat dimana seseorang merangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris. 57 Dua atau tiga pelaku usaha dikatakan memegang posisi dominan apabila memiliki pangsa pasar lebih dari 75%. Jabatan rangkap Direksi atau Komisaris yang dimiliki oleh seseorang dapat menimbulkan hambatan persaingan bagi pelaku usaha pesaingnya, hal ini disebabkan kedua perusahaan tempat dimana seseorang memegang jabatan rangkap tersebut akan menimbulkan perilaku yang sama ke pasar yang mengakibatkan pelaku usaha tersebut dapat bertindak sebagai satu pelaku usaha. Perilaku seperti inilah yang berpotensi menghilangkan persaingan di suatu pasar yang bersangkutan. 58 b.) Kepemilikan saham silang Hubungan afiliasi antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain dapat juga dilihat dari kepemilikan saham suatu pelaku usaha di dua atau lebih perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang sama atau dengan pelaku usaha yang lain. Dalam UU No.5/1999 terdapat larangan memiliki saham mayoritas. 59 Kepemilikan saham mayoritas ini bisa terjadi pada beberapa perusahaan sejenis yang bergerak di bidang usaha yang sama di pasar bersangkutan yang sama atau dapat berupa pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang mengakibatkan: a.) satu pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps. 26 huruf c. 58 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h Lihat pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

24 37 b.) dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Kepemilikan saham mayoritas oleh pelaku usaha di beberapa perusahaan harus dibuktikan terlebih dahulu kemudian dibuktikan penguasaan pangsa pasar di pasar yang bersangkutan 60 setelah itu dibuktikan apakah posisi dominan yang dimiliki oleh pemilik saham mayoritas tersebut disalahgunakan untuk menciptakan suatu persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan Kontrol terhadap merger Kebijakan merger selain dapat menciptakan efisiensi bagi pelaku usaha dapat juga menghilangkan persaingan yang ada antara pihak yang melakukan merger. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah pesaing yang berada di dalam pasar dan dikhawatirkan dapat merusak iklim persaingan dalam suatu pasar bersangkutan dan berpotensi menimbulkan tindakan anti persaingan seperti penyalahgunaan posisi dominan. Bisa saja dengan merger yang dilakukan dua atau lebih pelaku usaha ini mengakibatkan pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Sebagai upaya untuk mencegah adanya pemusatan konsentrasi pasar sehingga menimbulkan posisi dominan yang dihasilkan dari tindakan merger tersebutmaka perlu dibentuk pengaturan kontrol terhadap merger. Dalam UU No. 5/1999 terdapat larangan terhadap penggabungan atau peleburan badan usaha serta pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat 60 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.186 dikutip dari Hikmahanto Juwana, Prosiding Seminar Eksaminasi Putusan No. 07/KPPU-L/2007 Kasus Posisi Dominan dan Kepemilikan Silang. (Jakarta: CSIS, 2008), p.211.

25 38 mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 61 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun (untuk selanjutnya disebut PP No. 57/2010) praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilarang salah satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan. 63 Pengaturan mengenai batasan nilai aset atau penjualan yang ditetapkan pemerintah terhadap merger diatur di PP No.57/2010, apabila nilai dari merger yang dilakukan pelaku usaha melebihi batas nilai yang ditetapkan oleh pemerintah maka pelaku usaha tersebut wajib melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk kemudian dianalisa apakah merger tersebut dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar bersangkutan. 64 Batasan nilai aset atau nilai penjualan yang ditetapkan pemerintah adalah nilai aset sebesar Rp ,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah) dan/atau nilai penjualan sebesar Rp ,00 (lima triliun rupiah) 65, sedangkan untuk pelaku usaha bidang perbankan batasan nilai aset melebihi Rp ,00 (dua puluh triliun rupiah). 66 Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian terhadap merger ini berdasarkan PP No.57/2010 dilakukan dengan metode ex post yaitu penilaian 61 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 89). 63 Ibid, Pasal 2 ayat (2). 64 Ibid, Pasal Ibid, Pasal 5 ayat (2). 66 Ibid, Pasal 5 ayat (3).

26 39 terhadap merger baru dilakukan setelah merger diantara pelaku usaha tersebut berlaku efektif secara yuridis Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia dan ASEAN Pengaturan posisi dominan di Indonesia Di Indonesia pengaturan mengenai posisi dominan dapat ditemui dalam UU No.5/1999. Pasal yang mengatur mengenai posisi dominan terdapat dalam Bab V yang terdiri dari empat bagian dan lima pasal, sedangkan pasal yang mengatur secara khusus mengenai praktek posisi dominan terdapat di dalam pasal 25 UU No.5/1999. Dalam undang-undang ini pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% pangsa pasar atau lebih bagi pelaku usaha perorangan dan 75% atau lebih pangsa pasar di suatu pasar bersangkutan bagi kelompok pelaku usaha. 68 Penguasaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha tidaklah dilarang, yang dilarang adalah apabila penguasaan posisi dominan itu disalahgunakan oleh suatu pelaku usaha untuk melakukan tindakan anti kompetisi yang pada akhirnya menciptakan suatu persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan. Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 25 ayat (1) UU No.5/1999 yang secara tegas mengatur bahwa: Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: 67 Ibid, Pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., ps.25 ayat (2).

27 40 a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi untuk menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. 69 Dalam UU No.5/1999 selain terdapat pengaturan mengenai kepemilikan posisi dominan dan penyalahgunaannya, juga terdapat pengaturan yang terkait dengan kepemilikan posisi dominan yaitu hubungan afiliasi dengan pihak lain yang dibagi menjadi dua yaitu jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang serta terdapat juga pengaturan mengenai kontrol terhadap merger. Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah pelaku usaha tersebut melanggar ketentuan undang-undang yaitu pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal tanpa disertai pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. 70 Pendekatan lainnya adalah rule of reason yaitu pendekatan yang digunakan lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan usaha tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. 71 Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam rule of reason diperlukan 69 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., ps.25 ayat (1). 70 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h Ibid.

28 41 analisis lebih lanjut mengenai akibat yang ditimbulkan dari suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu terhadap persaingan. Pasal 25 UU No.5/1999 ini dilihat secara kontekstual menggunakan pendekatan per se illegal namun dalam prakteknya pendekatan yang dilakukan lembaga otoritas persaingan usaha dalam menentukan suatu pelaku usaha melakukan penyalahgunaan posisi dominan atau tidak adalah pendekatan rule of reason. Pendekatan rule of reason ini digunakan mengingat penguasaan posisi dominan bukanlah suatu pelanggaran dalam hukum persaingan usaha. Penguasaan posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha bisa jadi diperoleh karena efisiensi dan inovasi-inovasi yang dilakukannya sehingga menghasilkan suatu produk yang lebih berkualitas dibandingkan dengan produk dari pelaku usaha pesaingnya. Perbuatan yang dilarang adalah ketika posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha tersebut disalahgunakan untuk menimbulkan praktek persaingan tidak sehat di suatu pasar bersangkutan. Di Indonesia, lembaga pengawas persaingan usaha yang berhak melakukan penilaian serta penetapan penyalahgunaan posisi dominan adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (untuk selanjutnya disebut KPPU). KPPU sebelum menentukan apakah suatu pelaku usaha pemegang posisi dominan melakukan penyalahgunaan posisi dominan atau tidak, perlu melakukan analisis lebih lanjut dari berbagai aspek terutama analisis ekonomi untuk menentukan apakah dengan posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha tersebut, pelaku usaha tersebut melakukan tindakan-tindakan yang bersifat anti kompetisi dan menimbulkan praktek persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan. Hal ini

29 42 sebagai wujud dari pendekatan rule of reason yang digunakan di pasal 25 UU No.5/ Pengaturan posisi dominan di negara-negara ASEAN Pengaturan mengenai posisi dominan diantara negara-negara anggota ASEAN tidaklah sama. Tidak semua negara di kawasan ASEAN memiliki instrumen hukum persaingan usaha di negaranya terutama yang mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Bagian ini akan membahas mengenai pengaturan posisi dominan yang terdapat di negara-negara kawasan ASEAN. 1. Brunei Darussalam Di negara Brunei Darussalam tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persaingan usaha secara umum, namun negara ini menerapkan kebijakan yang terkait dengan persaingan secara sektoral. Dalam hal ini, kebijakan terkait persaingan usaha diterapkan dalam sektor telekomunikasi yang diatur dalam Authority for Info-communications Technology Industry of Brunei Darussalam Order 2001 (the AITI Order) dan the Telecommunications Order 2001 (the Telecommunications Order) 72 yang berlaku bagi seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang teknologi telekomunikasi. Telecommunications Order 2001 merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Brunei Darussalam yang berkaitan dengan sistem dan layanan telekomunikasi di Brunei Darussalam. 72 ASEAN Secretariat, Handbook on Competition Policy and Law in ASEAN for Business 2013, Jakarta, May 2013, h.14.

30 43 Di dalam kebijakan ini tidak ditemui pengaturan yang secara spesifik mengatur mengenai posisi dominan dan bentuk penyalahgunaannya.dalam kedua kebijakan ini hanya diatur mengenai larangan bagi the AiTi yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Brunei Darussalam sebagai pengatur dan penyedia sistem dan layanan telekomunikasi di negara tersebutuntuk mendominasi penggunaan hak ekslusif yang diberikan undang-undang kepadanya. 2. Filipina Berbeda dengan Brunei Darussalam yang pengaturan mengenai persaingan usahanya hanya bersifat sektoral, Filipina mempunyai beberapa peraturan yang mengatur mengenai persaingan usaha diantaranya terdapat dalam The 1987 Constitution of The Republic of The Philippines, Article XII Sections 1, 6, 11, 19, 22; The Revised Penal Code of The Philippines Article 186 (amendment by Republic Act No.1956) Section 1 paragraph d (5) of Republic Act No.7080; The New Civil Code of The Philippines (R.A. No.386) article 28; dan The Act to Prohibit Monopolies and Combinations in Restraint of Trade Section 6. Selain beberapa aturan tersebut terdapat juga peraturan yang mengatur persaingan usaha secara sektoral seperti Price Act (R.A. No.7581) Section 5; The Cooperative Code (R.A. No. 6938) Article 8; The Downstream Oil Industry Deregulation Act of 1988 (R.A. No.8479) Rule III Section 9 and Rule IV Section 15; dan The Corporation Code (Act No.68) yang mengatur mengenai kontrol terhadap merger Ibid, h.58.

31 44 Dalam hukum persaingan usaha di negara ini tidak ditemui aturan yang mengatur secara spesifik mengenai penguasaan posisi dominan. Aturan persaingan usaha di negara ini lebih menekankan pada larangan terhadap praktek monopoli dan segala tindakan yang dapat mengganggu persaingan sehat seperti praktek monopoli, predatory pricing, dan kartel. Selain itu pengaturan persaingan usaha di negara ini juga mengatur mengenai kontrol terhadap merger. Kontrol terhadap merger ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya posisi dominan sehingga menyebabkan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan yang dapat terjadi di suatu pasar bersangkutan akibat tindakan merger tersebut. 3. Kamboja Di negara Kamboja belum terdapat pengaturan yang komperhensif mengatur mengenai persaingan usaha. Di negara ini terdapat rancangan undangundang yang mengatur mengenai persaingan usaha yang masih dalam tahap pembahasan. Rancangan undang-undang ini nantinya akan berlaku untuk seluruh kegiatan produksi dan distribusi barang serta penyediaan jasa baik oleh perusahaan publik maupun swasta serta yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum. Praktek persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam rancangan undangundang ini meliputi penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian yang menimbulkan tindakan anti persaingan serta terdapat juga pengaturan kontrol terhadap merger maupun akuisisi. 4. Laos

32 45 Di negara Laos, persaingan usaha diatur dalam Decree 15/PMO(4/2/2004) on Trade Competition. Dalam aturan ini dicantumkan mengenai definisi posisi dominan yang terdapat dalam article 2 yaitu : market dominance means sales volume or market share of any goods or services of one or more business entities is above that prescribed by the Trade Competition Commission. 74 Berdasarkan definisi diatas posisi dominan merupakan keadaan dimana volume penjualan atau pangsa pasar suatu barang atau jasa satu atau lebih pelaku usaha berada diatas yang ditetapkan oleh Trade Competition Commission (TCC). Dalam undang-undang ini tidak ditemui pengaturan yang mengatur secara spesifik mengenai penyalahgunaan posisi dominan, bentuk penyalahgunaan dominasi pasar yang diatur dalam undang-undang ini adalah monopoli. Monopoli disini diartikan sebagai dominasi pasar yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha. 75 Berdasarkan analisis terhadap Decree No.15 PMO (4/2/2004) on Trade Competition kepemilikan posisi dominan oleh pelaku usaha tidaklah dilarang, posisi dominan ini baru dilarang apabila diperoleh akibat dari tindakan yang dilarang dalam aturan ini dan posisi dominan tersebut tidak ditujukan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain atau untuk membatasi persaingan, hal ini dapat dilihat dalam article 9 mengenai merger dan akuisisi. 74 Decree No. 15/PMO (4/2/2004) on Trade Competition, article Ibid.

33 46 Dominasi pasar dalam peraturan ini juga dilarang apabila terjadi karena penunjukan atau pemberian kewenangan terhadap satu pelaku usaha untuk melakukan penjualan produk atau penyediaan jasa di satu pasar Malaysia Di Malaysia pengaturan mengenai persaingan usaha secara umum dapat ditemui dalam The Competition Act 2010, selain peraturan tersebut terdapat beberapa peraturan khusus yang mengatur persaingan usaha di beberapa sektor tertentu yaitu The Communications and Multimedia Act 1998, The Energy Commission Act 2001, The Electricity Supply Act 1990 dan The Gas Supply Act 1993, sedangkan pengaturan mengenai penegakan hukum persaingan usaha diatur di dalam The Competition Commission Act Dalam The Competition Act 2010 posisi dominan didefinisikan sebagai a situation in which one or more enterprises possess such significant power in a market to adjust prices or outputs or trading terms, without effective constraint from competitiors or potential competitors. 77 Berdasarkan definisi ini posisi dominan merupakan keadaan dimana satu atau lebih pelaku usaha memiliki kekuatan yang signifikan di suatu pasar untuk melakukan pengaturan terhadap harga, produk yang dihasilkan serta memberikan persyaratan perdagangan tanpa menemui perlawanan efektif dari pelaku usaha pesaingnya baik yang telah ada di pasar maupun pesaing potensial. 76 Ibid, article The Competition Act 2010, Part 1(2).

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 POSISI DOMINAN Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Dominant Firm Dominant Firm (DF) adalah suatu perusahaan yg berprilaku seperti

Lebih terperinci

BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 3.1 Pentingnya Harmonisasi Pengaturan tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KONSULTASI PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI PENGANTAR MERGER PT A PT B DAPAT A/B PENGANTAR KONSOLIDASI PT A PT B MUNCUL C PENGANTAR AKUISISI PT A PT B ASAL: 1. 20% 2. 50% 3. 30% MENJADI: 1. 20% PT. A 50% 3. 30% Merger

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kepada Toray Advanced Materials Korea Inc. Dalam suatu tindakan pengambilalihan saham

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk dapat mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, persaingan usaha dalam pasar perdagangan semakin ketat. Perusahaan dituntut untuk selalu mengembangkan strategi dan menciptakan inovasi-inovasi

Lebih terperinci

DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan

DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Komisi Pengawas Persaingan

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

- dalam kemampuan keuangan - akses pada pasokan dan pasar - kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang/jasa tertentu [psl 1 (4)]

- dalam kemampuan keuangan - akses pada pasokan dan pasar - kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang/jasa tertentu [psl 1 (4)] Posisi Dominan - Pasal 25 sd 29 Definisi Posisi Dominan Keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan pangsa pasar yang dikuasai,....pelaku usaha mempunyai

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 HURUF D UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Daftar Isi Daftar Isi..

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment dalam Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia mengingat topik tersebut belum

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penerbangan merupakan salah satu sektor transportasi yang banyak diminati. Selain dapat menghemat waktu, penerbangan juga memberikan tarif yang cukup murah untuk setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN 2.1. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2.1.1. Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN Masyarakat Ekonomi ASEAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger,

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, konsolidasi dan akuisisi. Merger, konsolidasi dan akuisisi kerap berpengaruh terhadap persaingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi persaingan merupakan satu karakteristik yang melekat dengan kehidupan manusia, dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Lebih terperinci

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. NOMOR 22/KPPU-Pat/VIII/2016 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. NOMOR 22/KPPU-Pat/VIII/2016 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 22/KPPU-Pat/VIII/2016 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN PT GRAHA CIPTA KHARISMA OLEH PT AGUNG PODOMORO LAND TBK I. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 18 Oktober 2010 BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan, disadari atau tidak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206)

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Efisiensi dalam Persaingan Sempurna Tiga pertanyaan dasar dalam perekonomian kompetitif adalah : 1. Apa yang akan diproduksi? 2. Bagaimana cara memproduksinya? 3. Siapa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA MONOPOLI Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan

Lebih terperinci

CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi

CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi THE 2 nd EAST ASIA CONFERENCE ON COMPETITION LAW AND POLICY TANGGAL 3 DAN 4 MEI 2005 DI BOGOR Pada tanggal 3 4 Mei 2005 di Hotel Novotel, Bogor diadakan The 2 nd East Asia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 9/KPPU/PDPT/IV/2013 TENTANG

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 9/KPPU/PDPT/IV/2013 TENTANG Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 9/KPPU/PDPT/IV/2013 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PELEBURAN BADAN USAHA MITSUI-SOKO AIR CARGO Inc DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

PRAKTIK JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) PELAKU USAHA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA

PRAKTIK JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) PELAKU USAHA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA PRAKTIK JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) PELAKU USAHA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA Oleh I Dw Gd Riski Mada A.A Sri Indrawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Jual rugi adalah

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN

PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2009 Tanggal 13 Mei 2009 PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN DAFTAR ISI BAB I BAB II BAB III

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN Oleh: Dewa Ayu Reninda Suryanitya Ni Ketut Sri Utari Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah klaimnya, asosiasi perusahaan ritel Indonesia

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI

KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI Oleh : Ida Bagus Kade Benol Permadi A.A Ketut Sukranatha Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Monopoly is the concentration

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pengendalian terhadap penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM

BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM TINJAUAN UMUM Dari perspektif ekonomi dan hukum, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa tujuan kebijakan persaingan (competition policy)

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang

BAB V PENUTUP. Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang 111 BAB V PENUTUP A.KESIMPULAN Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu: 1. Untuk mengetahui mekanisme masukknya BBM

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Nomor 3 Tahun 2009 Tanggl 1 Juli 2009 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana

Lebih terperinci

Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Persaingan Usaha, Kebijakan, Harmonisasi.

Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Persaingan Usaha, Kebijakan, Harmonisasi. 1 HARMONISASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Oleh I Gusti Ayu Agung Ratih Maha Iswari Dwija Putri Ida Bagus Wyasa Putra Ida Bagus Erwin Ranawijaya Program Kekhususan Hukum Internasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum persaingan usaha di Indonesia diatur dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum persaingan usaha di Indonesia diatur dalam Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum persaingan usaha di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Industri Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang menghasilkan produk sejenis dimana terdapat kesamaan dalam bahan baku yang digunakan, proses,

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN telah menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya. Pada awal berdirinya, kerjasama ASEAN lebih bersifat politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang berhak untuk melakukan suatu usaha, hal ini dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka seharihari. Di dalam kondisi

Lebih terperinci

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari )

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari ) TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI Hasan Jauhari ) Abstrak Saat ini sekitar 60 negara dari 200an negara di dunia ini telah memiliki undang-undang anti monopoli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan usaha yang diselenggarakan terus menerus oleh masing-masing orang,

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan usaha yang diselenggarakan terus menerus oleh masing-masing orang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan dinamika dunia usaha di tanah air dalam 12 tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi tersebut banyak dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

Materi 11 Ekonomi Mikro

Materi 11 Ekonomi Mikro Materi 11 Ekonomi Mikro Pasar Oligopoli Tujuan Pembelajaran : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami : - Ruang Lingkup Pasar Oligopoli - Karakteristik Pasar Olipogoli - Faktor-faktor Penyebab Terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah merger dapat didefinisikan sebagai suatu fusi atau absorbsi dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018 ANALISIS PERJANJIAN INTEGRASI VERTIKAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 1 Oleh : Andi Zuhry 2 KOMISI PEMBIMBING: Dr. Devy K. G. Sondakh, SH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini dunia usaha semakin dinamis dan berkembang dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini dunia usaha semakin dinamis dan berkembang dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dunia usaha semakin dinamis dan berkembang dengan sangat pesat dan luar biasa dinegara tercinta kita. Dalam perkembangan usaha ini jelas diperlukan

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian negara tersebut. Apabila membahas tentang perekonomian suatu negara, maka tidak lepas

Lebih terperinci

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Bahan Konsinyering, 06-02-17 MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Undang-Undang Nomor... Tahun... tentang RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. 1 Dengan berbagai

I.PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. 1 Dengan berbagai 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keperihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan

Lebih terperinci

Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri. Oleh : Agus Priyanto, M.Kom

Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri. Oleh : Agus Priyanto, M.Kom Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri Oleh : Agus Priyanto, M.Kom Perangkat Regulasi Pendukung Konsep dasar persaingan telekomunikasi Perilaku Pasar Indikator perilaku pasar adalah penetapan harga,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Perlindungan Usaha Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi SH HK 1201 2 V (lima) Muhammad

Lebih terperinci

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. NOMOR 20/KPPU-Pat/VIII/2016 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. NOMOR 20/KPPU-Pat/VIII/2016 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 20/KPPU-Pat/VIII/2016 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN PT WAHANA SENTRA SEJATI OLEH PT AGUNG PODOMORO LAND TBK I. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENERAPAN PASAL 1 ANGKA 10 TENTANG PASAR BERSANGKUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

Lebih terperinci

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A10712, A11112 TENTANG

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A10712, A11112 TENTANG PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A10712, A11112 TENTANG PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN PT SARANA INTI PERSADA, DAN PT PLATINUM TEKNOLOGI OLEH PT SOLUSI TUNAS PRATAMA Tbk LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A20110 TENTANG

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A20110 TENTANG PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A20110 TENTANG PENGAMBILALIHAN (AKUISISI) PT BANK AGRONIAGA, TBK OLEH PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) I. LATAR BELAKANG 1.1 Pada tanggal 13 Oktober 2010,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Pedoman Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 19 HURUF D (PRAKTEK DISKRIMINASI) UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di luar perusahaan, antara lain melalui Penggabungan (merger), Pengambilalihan

BAB I PENDAHULUAN. di luar perusahaan, antara lain melalui Penggabungan (merger), Pengambilalihan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, persaingan usaha dalam pasar perdagangan semakin ketat. Perusahaan dituntut untuk selalu mengembangkan strategi dan menciptakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan disadari atau tidak, akan mempengaruhi persaingan antar para pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan dan membawa dampak kepada

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 BAB IV PEMBAHASAN A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 Dalam putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 pada halaman 136 poin 10 dan halaman

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TENTANG

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TENTANG Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TENTANG PENILAIAN PEMBERITAHUAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN (AKUISISI) SAHAM PT PERKASA MELATI OLEH PT UNITED

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PUTUSAN KPPU NOMOR 08/KPPU-M/2012 TERKAIT UNSUR-UNSUR DUGAAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

BAB III ANALISIS PUTUSAN KPPU NOMOR 08/KPPU-M/2012 TERKAIT UNSUR-UNSUR DUGAAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 BAB III ANALISIS PUTUSAN KPPU NOMOR 08/KPPU-M/2012 TERKAIT UNSUR-UNSUR DUGAAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 Dari pertamakali dibentuk hingga sekarang KPPU sudah banyak

Lebih terperinci

Sulit Berantas Kartel, KPPU Butuh Apa Lagi? Oleh: M. Nurfaik *

Sulit Berantas Kartel, KPPU Butuh Apa Lagi? Oleh: M. Nurfaik * Sulit Berantas Kartel, KPPU Butuh Apa Lagi? Oleh: M. Nurfaik * Naskah diterima: 2 November 2015; disetujui: 6 November 2015 Dalam Kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, Cartel is a group of separate

Lebih terperinci