BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia memegang peranan penting bagi kehidupan lamun.parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan kecepatan arus (Dahuri 2003). Berdasarkan hasil penelitian di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, diperoleh nilai-nilai parameter fisika dan kimia yang dapat dilihat pada tabel 3, tabel 4 dan tabel 5: Tabel 3. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun I Parameter Stasiun I Rata-rata Suhu ( o C) ,7 ph 7,9 7,9 7,7 7,8 Salinitas ( o / oo ) ,7 Kedalaman (cm) Kecepatan Arus (m/s) 0,06 0,065 0,1 0,075 Kecerahan (%) Ket: 1,2,3 = Ulangan Tabel 4. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun II Parameter Stasiun II Rata-rata Suhu ( o C) ,7 ph 7,8 7,9 7,8 7,8 Salinitas ( o / oo ) ,7 Kedalaman (cm) Kecepatan Arus (m/s) 0,08 0,09 0,1 0,09 Kecerahan (%) Ket: 1,2,3 = Ulangan

2 31 Tabel 5. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun III Parameter Stasiun III Rata-rata Suhu ( o C) ,3 ph 7,9 7,9 7,8 7,86 Salinitas ( o / oo ) Kedalaman (cm) ,3 Kecepatan Arus (m/s) 0,1 0,09 0,12 0,1 Kecerahan (%) Ket: 1,2,3 = Ulangan Parameter Fisika 1. Suhu Suhu perairan rata-rata yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 30,7 o C-31,3 o C. Kisaran suhu tidak berbeda jauh disebabkan karena suhu antar pulau cenderung homogen. Menurut Dahuri (2003), kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun adalah o C. Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal tersebut. Sesuai dari hasil data yang diperoleh, menunjukkan bahwa suhu perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu tidak berada pada kisaran yang optimum bagi lamun untuk tumbuh tetapi lamun masih dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran suhu tersebut. 2. Kedalaman Kedalaman rata-rata yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 64 cm untuk stasiun I, 63 cm untuk stasiun II, dan 77,3 cm untuk stasiun III. Menurut Den Hartog (1970), padang lamun sangat mirip dan bahkan menyerupai padang rumput di daratan dan hidup pada kedalaman yang relatif dangkal yaitu sekitar 1-10 meter. Kedalaman yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan kedalaman yang ideal untuk lamun karena menurut Berwick 1983 dalam Argandi 2003 proses fotosintesis yang optimal didukung oleh dangkalnya perairan karena penetrasi cahaya yang cukup. 3.Kecepatan Arus Kecepatan arus yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 0,075 m/s untuk stasiun I, 0,09 m/s untuk stasiun II, dan 0,1 m/s untuk stasiun III.

3 32 Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Menurut Laevastu dan Hayes 1981 dalam Merryanto 2000, rendahnya kecepatan arus sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun. 4. Kecerahan Kecerahan perairan untuk ketiga stasiun memiliki nilai yang seragam yakni 100%.Nilai tersebut menunjukkan bahwa lamun dan dasar perairan dapat dilihat dengan mata telanjang dari atas permukaan. Hal ini disebabkan juga karena perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu merupakan perairan dangkal. Kondisi ini sangat menguntungkan karena lamun dapat berfotosintesis secara optimal. 5. Substrat Hasil analisis kandungan dan tipe substrat yang diperoleh dari Laboratorium Fisika Tanah, Jurusan Ilmu Tanah dan Manajemen Sumberdaya Lahan Universitas Padjadjaran, tipe substrat pada ekosistem lamun Pulau Pramuka cenderung sama (Tabel 6). Tabel 6. Analisis Kandungan dan Tipe Substrat Stasiun C-org (%) N- total (%) C/N Kadar Air (%) Tekstur (%) Tipe Substrat S Si C I 0,11 0,08 1,37 2, Lempung berpasir II 0,17 0,08 2,12 3, Pasir berlempung III 0,28 0,10 2,80 3, Pasir berlempung Ket: S =Sand (pasir), Si = Silt(debu), C = Clay (lempung) Berdasarkan Tabel 6, stasiun II dan stasiun III memiliki tipe substrat yang sama yaitu pasir berlempung, dimana jumlah pasir lebih banyak daripada jumlah lempung. Stasiun I memiliki tipe substrat lempung berpasir, dimana jumlah lempung lebih banyak daripada jumlah pasir.kadar air tertinggi ada pada stasiun II yaitu sebesar 3,65% dan terendah ada pada stasiun I yaitu sebesar 2,60%. Kandungan C-org, N-org dan C/N tertinggi ada pada stasiun III sedangkan kandungan C-org, N-org dan C/N terendah ada pada stasiun I. Menurut Effendi (2000), nitrogen di perairan alami merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun dan nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen. Nitrat yang dihasilkan dapat

4 33 digunakan untuk kesuburan perairan.kadar nitrogen yang tinggi pada stasiun III menjadikan stasiun ini memiliki nilai kerapatan lamun yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Selain nitrogen yang membantu dalam pertumbuhan, karbon juga mempunyai peranan dalam proses produksi. Karbon membantu tumbuhan dalam proses fotosintesis. Kadar karbon yang tinggi pada stasiun III membantu lamun sebagai produsen utama dalam proses fotosintesis sehingga pertumbuhan lamun pada stasiun III lebih baik daripada pertumbuhan lamun pada stasiun I dan II karena stasiun III memiliki nilai nitrogen dan karbon organik yang tinggi daripada stasiun I dan II Parameter Kimia 1. Derajat Keasaman (ph) Kisaran ph yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda jauh pada setiap stasiun pengamatan yaitu pada stasiun I dan stasiun II nilai ph sebesar 7,8, pada stasiun III ph sebesar 7,86. Menurut Effendi (2000), air laut umumnya memiliki kisaran ph antara 7 8,5 dan menurut Dawson dalam Reswara 2010 lamun dapat tumbuh optimal jika berada dalam kisaran ph antara 7,5 8,5. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai ph yang didapat berada dalam batas normal dan nilai ph tersebut menunjukkan bahwa kondisi perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu memungkinkan bagi lamun untuk tumbuh optimal. 2. Salinitas Nilai salinitas yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 32,7 o / oo - 33 o / oo. Menurut Effendi 2000, perairan laut alami memiliki kisaran salinitas antara 30 o / oo - 40 o / oo. Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbedabeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran antara 10 o / oo - 40 o / oo.menurut Dahuri 2003,nilai salinitas optimum untuk spesies lamun adalah 35 o / oo. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai salinitas berada dalam batas normal lamun untuk tumbuh.

5 Kerapatan (ind.m -2 ) Struktur Komunitas Lamun Kerapatan Jenis Lamun (ind.m -2 ) Kerapatan jenis lamun adalah banyaknya jumlah individu/tegakan suatu jenis lamun pada suatu luasan tertentu. Hasil perhitungan lamun, kepadatan total lamun di setiap stasiun disajikan pada Gambar 7dan Lampiran St I St II 0 Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Halophila ovalis Syringodium isoetifolium St III Jenis Lamun Gambar 7. Kerapatan Jenis Lamun (ind.m -2 ) Berdasarkan Gambar 7,spesies lamun yang memiliki kerapatan tertinggi di ketiga stasiun adalah Thalassia hemprichii. Menurut Yulianda (2002), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu jenis lamun dapat tumbuh dengan subur di suatu perairan, antara lain ialah kesesuaian substrat dan kondisi lingkungan. Dilihat dari kandungan substratnya, pada stasiun II dan III memiliki tipe substrat pasir berlempung dan pada stasiun I memiliki tipe substrat lempung berpasir, spesies Thalassia hemprichii dapat tumbuh optimal pada tipe substrat tersebut. Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat dijumpai pada berbagai substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah m dan spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki kerapatan

6 35 tinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah tangga. Keberadaan spesies Syringodium isoetifolium tidak ditemukan pada stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan keadaan perairan pada stasiun tersebut tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium karena menurut Azkab (2000), lamun spesies Syringodium isoetifolium terbatas penyebarannya disebabkan bentuk daun yang kurang dapat beradaptasi terhadap kekeringan yang lama, sehingga hanya pada stasiun II jenis lamun ini dapat ditemukan dimana stasiun II memiliki surut yang tidak terlalu rendah. Tidak adanya keberadaan spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III juga diakibatkan karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan substrat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium. Berdasarkan hasil keseluruhan perhitungan kerapatan jenis lamun (Lampiran 1), stasiun III memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi yaitu sebesar 556,7ind.m -2 kemudian stasiun II memiliki nilai kerapatan jenis sebesar 407,08 ind.m -2 dan stasiun I memiliki nilai kerapatan jenis terendah yaitu sebesar 328,8 ind.m -2. Stasiun III memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi karena nilai nitrogen dan karbon pada substrat di stasiun ini lebih tinggi dibandingkan dua stasiun lainnya.nilai nitrogen di stasiun III adalah 0,1 % sementara stasiun lain adalah 0,08 %. Nilai karbon di stasiun III adalah 0,28 % sedangkan di stasiun lain antara 0,11% - 0,17 %. Kandungan nitrogen dan karbon sangat berperan penting karena menurut Effendi (2000) nitrogen merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun. Nitrogen dapat menghasilkan nitrat dari proses nitrifikasi dan nitrat tersebut digunakan untuk kesuburan perairan di stasiun III. Kandungan karbon yang terdapat pada stasiun ini membantu lamun dalam proses fotosintesis dimana lamun merupakan produsen utama dalam ekosistem ini.

7 Frekuensi Frekuensi Jenis Lamun Frekuensi jenis lamun menunjukkan peluang banyaknya suatu jenis lamun yang ditemukan dalam titik sampel yang diamati. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh frekuensi jenis lamun di setiap stasiun pengamatan bervariasi (Gambar 8) St I St II St III Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Jenis Lamun Cymodocea serrulata Halophila ovalis Syringodium isoetifolium Gambar 8. Frekuensi Jenis Lamun Berdasarkan Gambar 8, frekuensi jenis lamun pada stasiun I dengan spesies Enhalus acoroides adalah 0,42, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea rotundata 0,58, dan Cymodocea serrulata 0,42. Stasiun II frekuensi jenis lamun spesies Enhalus acoroides adalah 0,75, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea rotundata 1, dan Cymodocea serrulata0,58, Halophila ovalis 0,25, dan Syringodium isoetifolium0,08. Stasiun III frekuensi jenis lamun spesies Enhalus acoroides adalah 0,08, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea rotundata 0,92, dan Cymodocea serrulata 0,33, dan Halophila ovalis 0,5. Spesies Thalassia hemprichii memiliki nilai frekuensi tertinggi pada setiap stasiunnya. Nilai frekuensi tertinggi ini menunjukkan bahwa lamun dengan spesies Thalassia hemprichii memiliki tingkat kemunculan yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lamun lainnya. Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat

8 37 dijumpai pada berbagai substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah m dan spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki frekuensitertinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah tangga. Keberadaan spesies Syringodium isoetifolium tidak ditemukan pada stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan keadaan perairan pada stasiun tersebut tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium. Menurut Azkab (2000), lamun spesies Syringodium isoetifolium terbatas penyebarannya disebabkan bentuk daun yang kurang dapat beradaptasi terhadap kekeringan yang lama, sehingga hanya pada stasiun II jenis lamun ini dapat ditemukan karena hanya stasiun II yang mengalami surut tidak terlalu rendah. Tidak adanya keberadaan spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III juga diakibatkan karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan substrat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium Penutupan Jenis Lamun Meurut Hemming dan Duarte dalam Reswara (2010), penutupan jenis lamun menggambarkan luasan daerah tertentu yang tertutupi oleh lamun dan bermanfaat untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun serta kemampuan lamun dalam memanfaatkan luasan yang ada.berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data penutupan jenis lamun yang bervariasi pada setiap stasiun pengamatan (Gambar 9).

9 Penutupan (%) St I St II St III Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Jenis Lamun Cymodocea serrulata Halophila ovalis Syringodium isoetifolium Gambar 9. Penutupan Jenis Lamun (%) Berdasarkan Gambar 9, penutupan jenis lamun tertinggi dari ketiga stasiun penelitian adalah Thalassia hemprichii. Stasiun III memiliki penutupan tertinggi dibandingkan dengan stasiun I dan stasiun II dengan penutupan sebesar 50%. Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat dijumpai pada berbagai substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah m dan spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki kerapatan tinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah tangga.penutupan jenis lamun spesies Cymodocea rotundata memiliki nilai terbesar kedua setelah Thalassia hemprichii. Stasiun I tidak memiliki penutupan jenis lamun spesies Cymodocea rotundata karena jumlahnya yang sangat sedikit pada stasiun ini. Tidak adanya penutupan jenis lamun spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III diakibatkan karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat

10 39 menyebabkan substrat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting (INP) menggambarkan keseluruhan peranan jenis lamun dalam suatu komunitas. Jika nilai INP suatu jenis lamun lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya, maka semakin tinggi peranan jenis lamun tersebut terhadap komunitasnya (Fachrul 2007). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh INP sebagai berikut: Tabel 7. Indeks Nilai Penting Lamun No Spesies INP 1 Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Halophila ovalis Syringodium isoetifolium 0.04 Total 3.00 Berdasarkan Tabel 7, lamun dengan spesies Thalassia hemprichii memiliki INP tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya dengan INP sebesar 1,58. Thalassia hemprichii juga memiliki nilai kerapatan jenis, frekuensi jenis dan penutupan jenis tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Thalassia hemprichii memiliki peranan yang tinggi dalam komunitas lamun di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.Menurut Susetiono (2007), Thalassia hemprichii umumnya hidup berdampingan dengan jenis lamun lainnya dan bila mendominansi selalu membentuk kelompok vegetasi yang rapat. Kondisi substrat yang cocok untuk spesies Thalassia hemprichii menjadikan spesies ini tumbuh subur pada perairan Pulau Pramuka. Menurut Yudista (2010), tingginya nilai INP serta kerapatan jenis, frekuensi jenis dan penutupan jenis spesies Thalassia hemprichii juga disebabkan karena kegiatan rehabilitasi lamun spesies Thalassia hemprichii yang pernah dilakukan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu.

11 40 Syringodium isoetifolium memiliki INP terendah karena dilihat dari keberadaan spesies Syringodium isoetifolium yang hanya ada pada stasiun II. Peranan spesies Syringodium isoetifolium sangat kecil terhadap komunitas lamun di perairan Pulau Pramuka. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan Syringodium isoetifolium yang tidak tahan terhadap kekeringan yang lama sehingga spesies ini hanya ditemukan pada stasiun II yang tingkat kesurutannya tidak terlalu rendah Keanekaragaman dan Keseragaman Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk melihat kestabilan struktur komunitas lamun yang biasa disebut dengan indeks biologis (Yulianda 2002). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh keanekaragaman dan keseragaman sebagai berikut: Gambar 10. Keanekaragaman Lamun (kiri) dan Keseragaman Lamun (kanan) Berdasarkan Gambar 10, keanekaragaman dan keseragaman tertinggi berada pada stasiun II dan keanekaragaman dan keseragaman terendah berada pada stasiun I. Stasiun II memiliki nilai keanekaragaman dan keseragaman tertinggi dibandingkan stasiun lainnya karena pada stasiun II ditemukan enam spesies lamun dimana jumlah spesies yang ditemukan pada stasiun ini lebih banyak dibandingkan stasiun lainnya. Kondisi perairan pada stasiun II lebih

12 41 tenang karena letaknya yang jauh dari perumahan penduduk ataupun aktivitas masyarakat sekitar sehingga perairan di stasiun II tidak terganggu dan cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium yang tidak ditemukan pada kedua stasiun lainnya. Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, stasiun I, stasiun II dan stasiun III tergolong dalam kategori tingkat keanekaragaman rendah karena nilai keanekaragaman ketiga stasiun kurang dari 1, Struktur Komunitas Ikan Komposisi Jenis Ikan pada daerah lamun terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan peranannya sama seperti ikan yang hidup pada terumbu karang, yaitu ikan target, ikan indikator dan ikan mayor. Berdasarkan peranannya ikan yang hidup pada terumbu karang terbagi dalam (TERANGI 2004): 1. Ikan target Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenaljuga dengan ikanekonomis penting atau ikan kosumsi seperti:seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae (Chelinus, Himigymnus,Choerodon), Haemulidae, Sphyraenidae, dan Nemipteridae. 2. Ikan indikator Ikan yang dijadikan sebagai indikator kondisi kesehatan dan kesuburan terumbu karang yaitu ikan darifamili Chaetodontidae (kepe-kepe). 3. Ikan mayor Ikan yang berperan dalam rantai makanan dan banyak dijadikan sebagai ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,Pomacanthidae Labridae, Apogonidae dll.) Berdasarkan pembagian kelompok tersebut, ikan yang tertangkap pada stasiun pengamatan berasal dari famili Pomacentridae, Scaridae, Apogonidae, Geridae, Monacanthidae, Pinguipedidae dan Labridae (Halichoeres) termasuk dalam ikan mayor (Lampiran 7). Ikan indikator hanya tertangkap pada stasiun II

13 42 yaitu dari famili Chaetodontidae. Ikan target yang tertangkap pada stasiun pengamatan berasal dari famili Lutjanidae, Lethrinidae, Siganidae, Labridae (Cheillinus dan Choerodon), Chanidae, Sphyranidae, Mugilidae, dan Nemipteridae (Lampiran 7). Ikan dari famili tersebut biasa dikonsumsi oleh para penduduk sekitar.ikan dari famili Siganidae merupakan ikan yang paling banyak tertangkap di ketiga stasiun. Penelitian Latuconsina et al (2012) juga menunjukkan komposisi spesies tertinggi yang tertangkap pada ekosistem lamun perairan Tanjung Tiram Teluk Ambon adalah Siganus canaliculatus dengan proporsi sebesar 62,91%. Tingginya komposisi spesies Siganus canaliculatuskarena ikan ini menjadikan ekosistem lamun sebagai habitat ideal untuk tempat asuhan dan pembesaran. Spesies Siganus canaliculatusjuga menjadikan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan karena ditemukannya potongan lamun dalam lambungnya.selain itu menurut Lam (1974) dalam Latuconsina et al (2012), kisaran suhu optimal bagi kehidupan Siganus canaliculatus adalah antara 25⁰C - 34⁰C, dan suhu perairan mempengaruhi aktivitas metabolisme ikan yang terkait dengan oksigen terlarut dan konsumsi oksigen, karena laju metabolisme ikan akan meningkat dengan meningkatnya suhu perairan dan secara bersamaan meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen terlarut bagi ikan. Selain itu menurut Laevastu & Hayes (1982) dalam Latuconsina et al (2012), suhu perairan merupakan faktor pembatas bagi tingkah laku ikan yang dapat membatasi distribusi juvenil dan ikan dewasa karena masing-masing memiliki tolerasi yang berbeda-beda.suhu perairan yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 30,7 o C-31,3 o Cmenunjukkan bahwa kisaran suhu tersebut adalah kisaran suhu optimal bagi kehidupan Siganus canaliculatus. Kisaran salinitas perairan yang didapatkan selama penelitian berkisar antara 32,7 o / oo - 33 o / oo yang masih optimal bagi petumbuhan kehidupan ikan. Menurut Lam (1974) dalam Latuconsina et al (2012), Siganus canaliculatus dapat mentoleransi perubahan salinitas sampai 5 dan sangat sensitif terhadap nilai ph perairan di atas 9. Kisaran ph perairan yang didapat 7,8-7,86, sehingga kisaran nilai phyang didapatkan masih merupakan kisaran optimal bagi kehidupan ikan Siganus canaliculatus. Menurut Kordi & Tancung (2007) bahwa pada ph 5,0

14 43 6,6 pertumbuhan ikan terhambat dan ikan sangat sensitif terhadap bakteri danparasit, pada ph 6,5-9,0 merupakan kisaran ph yang optimal bagi pertumbuhan ikan, dan nilai ph > 9,0 menghambat pertumbuhan ikan. Menurut Hutomo dan Martosejowo (1977), ikan dari famili Siganidae merupakan ikan terpenting dan bernilai ekonomis yang berada pada ekosistem lamun Kepulauan Seribu. a. Stasiun I Ikan yang tertangkap pada stasiun I sebanyak 295 individu yang terdiri dari 19 spesies dari 13 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,74ind.m -2. Komposisi jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 34% dan terendah adalah famili Chanidae, Lutjanidae, dan Monacanthidae dengan komposisi jenis sebesar 1% (Gambar 12 dan lampiran 2). Sphyraenidae, 2% Apogonidae, 2 % Chanidae, 1% Geridae, 15% Siganidae, 34% Labridae, 11% Scaridae, 3% Pomacentridae, 9% Nemipteridae, 15% Lethrinidae, 3% Lutjanidae, 1% Monacanthidae, 1% Mugilidae, 2% Gambar 11. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun I Pada stasiun I tertangkap spesies Sphyraena barracuda dan Chanos chanos, dimana spesies tersebut tidak tertangkap pada stasiun lainnya. Hal ini disebabkan karena pada stasiun I jumlah mangrove lebih banyak dan lebih lebat daripada stasiun II dan stasiun III. Ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur,

15 44 memelihara larva dan sebagai tempat mencari makan bagi spesies Chanos chanos (Perikanan Indonesia 2013), dan bagi spesies Sphyraena barracuda, stasiun ini merupakan tempat mencari makan karena bayaknya ikan-ikan kecil pada stasiun ini. b. Stasiun II Ikan yang tertangkap pada stasiun II sebanyak 257 individu yang terdiri dari 20 spesies dari 12 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,64 ind.m -2. Komposisi jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 34% dan terendah adalah famili Chaetodontidae dan Pinguipedidae dengan komposisi jenis sebesar 0,4% (Gambar 13 dan Lampiran 2). Apogonidae, 2 % Chaetodontida e, 0.4% Geridae, 16% Siganidae, 34% Labridae, 10% Lethrinidae, 4% Scaridae, 2% Pomacentridae, 10% Nemipteridae, 17% Lutjanidae, 2% Monacanthidae, 1% Pinguipedidae, 0.4% Gambar 12. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun II Ikan dari famili Chaetodontidae dan Pinguipedidae hanya tertangkap pada stasiun ini, dimana famili Chaetodontidae merupakan ikan indikator pada ekosistem terumbu karang.ikan tersebut dapat tertangkap pada stasiun ini karena stasiun II merupakan daerah lamun dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari garis

16 45 pantai dan letaknya dekat dengan terumbu karang sehingga banyak ikan karang yang mencari makan di stasiun II. c. Stasiun III Ikan yang tertangkap pada stasiun III sebanyak 229individu yang terdiri dari 17 spesies dari 11 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,57ind.m -2. Komposisi jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 29% dan terendah adalah famili Monacanthidae dengan komposisi jenis sebesar 0,4% (Gambar 14 dan Lampiran 2). Apogonidae, 4 % Siganidae, 29% Geridae, 17% Labridae, 5% Scaridae, 3% Pomacentridae, 11% Nemipteridae, 23% Mugilidae, 5% Lethrinidae, 2% Lutjanidae, 1% Monacanthidae, 0.4% Gambar 13. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun III Pada stasiun ini banyak tertangkap spesies Mugil cephalus atau yang sering dikenal dengan sebutan ikan belanak. Ikan belanak termasuk ikan pemakan detritus (Perikanan Indonesia 2013).Ikan ini banyak ditemukan di stasiun III karena stasiun ini mengandung banyak bahan organik. Bahan organik pada stasiun ini berasal dari limbah-limbah rumah tangga.

17 Keanekaragaman dan Keseragaman Ikan Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk melihat kestabilan struktur komunitas ikan yang biasa disebut dengan indeks biologis (Yulianda 2002). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh keanekaragaman dan keseragaman sebagai berikut: Gambar 14. Keanekaragaman Ikan (kiri) dan Keseragaman Ikan (kanan) Berdasarkan Gambar 14, nilai keanekaragaman ikan berkisar antara 2,18 2,40. Indeks keanekaragaman tertinggi adalah pada stasiun I sebesar 2,40 dan terendah pada stasiun III sebesar 2,18. Indeks keanekaragaman stasiun I, stasiun II dan stasiun III tergolong dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.kondisi ini sesuai dengan spesies ikan yang tertangkap pada setiap stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun jenis spesies yang tertangkap tidak terlalu banyak. Indeks keseragaman menunjukkan penyebaran jumlah individu tiap jenis dalam populasi, semakin kecil nilai keseragaman (mendekati 0) menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama. Sebaliknya jika nilai keseragaman semakin besar (mendekati 1) maka populasi akan menunjukkan keseragaman atau jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda (Odum 1993). Pada gambar diatas, indeks keseragaman ikan

18 47 berkisar antara 0,20 0,76. Indeks keseragaman tertinggi adalah pada stasiun I sebesar 0,76 dan indeks keseragaman terendah adalah pada stasiun II sebesar 0,20. Indeks keseragaman pada stasiun I dan stasiun III menunjukkan keseragaman atau jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama karena nilainya mendekati 1, sedangkan pada stasiun II penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama karena nilainya mendekati nol. 4.4 Korelasi Kelimpahan Ikan dengan Kerapatan Lamun Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar- 0,96 dan nilai r 2 sebesar 0,93 (Lampiran 5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi ikan dengan kerapatan lamun bersifat negatif, yang artinya apabila terjadi peningkatan kerapatan lamun dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan ikan. Stasiun I memiliki kerapatan lamun sebesar 328,75 ind.m -2 didapatkan ikan dengan jumlah yang paling banyak yaitu 295 individu sedangkan stasiun III memiliki kerapatan lamun sebesar 556,67 ind.m -2 didapatkan ikan dengan jumlah paling sedikit yaitu 229 individu (Lampiran 3). Kondisi tersebut diperkirakan karena pada stasiun I yang memiliki kerapatan lamun terendah tetapi jumlah ikan yang tertangkap paling banyak memiliki mangrove yang lebih lebat daripada stasiun III. Pada stasiun I tertangkap ikan yang tidak didapatkan di kedua stasiun lainnya, yaitu spesies Chanos chanos. Menurut Perikanan Indonesia (2013), ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur, memelihara larva dan sebagai tempat mencari makan bagi spesies Chanos chanos atau yang lebih dikenal dengan sebutan ikan bandeng. Ekosistem lamun yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove memiliki kelimpahan ikan yang lebih banyak daripada ekosistem lamun yang tidak berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Stasiun III yang letaknya dekat dengan pemukiman penduduk dan dekat dengan resort-resort wisatawan menjadikan stasiun ini banyak menerima limbah rumah tangga sehingga kandungan bahan organik pada stasiun ini sangat tinggi.kandungan C-org, N-org dan C/N pada stasiun ini lebih tinggi daripada kedua stasiun lainnya. Kandungan C-org, N-org dan C/N yang tinggi pada stasiun

19 48 ini baik untuk pertumbuhan lamun sehingga lamun pada stasiun III memiliki nilai kerapatan paling tinggi tetapi kandungan C-org, N-org dan C/N yang tinggi tidak baik untuk pertumbuhan ikan sehingga jumlah ikan yang tertangkap pada stasiun ini rendah. 4.5 Asosiasi Antar Jenis Ikan Hubungan keberadaan spesies satu dengan spesies yang lainnya dapat diketahui menggunakan nilai asosiasi.hasil uji X 2 (chi-square) didapatkan nilai a atau kenyataan yang muncul lebih besar dibandingkan dengan nilai harapan muncul pada 236 pasangan asosiasi positif antar spesies dan terdapat 17 pasangan asosiasi negatif antar spesies (Tabel 8 dan Lampiran 4).

20 49 Tabel 7. Asosiasi Positif dan Asosiasi Negatif Antar Spesies Ikan Spe cies Sb Cc Mu Sl Ca Sc Sg Gp Pn Sg h Ll Df Dp D ps H s H c Po Cf Ak Lh Lc Pe Ph Sb X Cc X Mu X Sl X Ca X Sc X Sg X Gp X Pn X Sgh X Ll X Df X Dp X Dps X Hs X Hc X Po X Cf X Ak X Lh X Lc X + + Pe X - Ph X Keterangan: Sb = Sphyraena barracuda Sg = Siganusguttatus Dps = Dischistoduspseudochrysopoecilus Cc = Chanoschanos Pn = Pervagornigrolineatus Hs = Halichoeresscapularis Lh = Lethrinusharak Mu = Mugilcephalus Sgh = Scarusghobban Hc = Halichoereschloropterus Lc =Lutjanuscarponotatus Sl = Scolopsislineatus Ll =Lethrinuslentjan Po =Parachaetodonocellatus Pe = Pentapodusemeryi Ca = Choerodonanchorago Df = Dischistodusfasciatus Cf = Cheilinusfasciatus Ph = Parapercishexophthalma Sc = Siganuscanaliculatus Dp = Dischistodusperspicillatus Ak = Apogonkiensi

21 50 Hasil uji X 2 (chi-square) menunjukkan bahwa asosiasi antar spesies tidak erat. Hal ini dapat dilihat dari nilai chi square hitung lebih kecil dari nilai chi square tabel yaitu 3,84. Hasil perhitungan E(a) dan uji Xi 2 (chi-square) dapat dilihat pada Lampiran 4.Asosiasi positif antara spesies Apogon kiensis dengan Sphyraena barracuda didukung hasil penelitian Muliawaty (2010) bahwa spesies Apogon kiensis merupakan penghuni tetap ekosistem lamun dan spesies Sphyraena barracuda adalah pengunjung di ekosistem lamun yang tujuannya untuk mencari makan. Spesies Sphyraena barracuda memangsa ikan-ikan kecil di ekosistem lamun sedangkan spesies Apogon kiensis memakan plankton dan bentos.dengan demikian tidak ada persaingan antar spesies tersebut. Asosiasi negatif antara spesies Sphyraena barracuda dengan spesies Lethrinus lentjan seperti dikemukakan oleh Supratomo (2000), adanya ketersediaan makanan di padang lamun mengakibatkan terjadinya persaingan makanan dari ikan-ikan yang mengunjungi padang lamun. Hal ini juga terjadi pada spesies Sphyraena barracuda dengan spesies Lethrinus lentjan yang keduanya merupakan pemangsa ikan-ikan kecil di ekosistem lamun sehingga persaingan antar keduanya sangat besar. 4.6 Pengelolaan Ekosistem Lamun Ekosistem lamun banyak mendapatkan tekanan gangguan utama dari aktivitas manusia, seperti pembuangan limbah rumah tangga, aktivitas kapal maupun aktivitas nelayan. Padahal telah banyak peneliti mengemukakan tentang fungsi lamun. Pada penelitian ini di ekosistem lamun banyak tertangkap spesies Siganus canaliculatusa tau yang sering dikenal dengan ikan baronang. Ikan ini merupakan ikan ekonomis karena ikan ini adalah ikan konsumsi yang sangat digemari. Menurut Latuconsina et al (2012), tingginya komposisi spesies Siganus canaliculatus karena ikan ini menjadikan ekosistem lamun sebagai habitat ideal untuk tempat asuhan (nursery ground) dan pembesaran. Spesies Siganus canaliculatus juga menjadikan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan karena ditemukannya potongan lamun dalam lambungnya. Selain Siganus canaliculatus adapula spesies Sphyraena barracuda, Chanos chanos, Mugil

22 51 cephalus dan Lethrinus lentjan yang juga termasuk ikan ekonomis. Spesies ikan tersebut merupakan ikan pendatang yang menjadikan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan. Hasil penelitian secara keseluruhan disajikan pada tabel 9. Tabel 9. Hasil Penelitian Secara Keseluruhan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Keterangan Kerapatan Lamun 328,75/m 2 407,08/ m 2 556,67/ m 2 Tinggi Spesies Lamun Dominan Thalassia hemprichii Thalassia hemprichii Thalassia hemprichii Kelimpahan Ikan 295/400 m 2 257/400 m 2 229/400 m 2 Rendah Keanekaragaman Ikan 2,40 2,22 2,18 Sedang Korelasi -0,96 Sangat kuat (negatif) Asosiasi Antar Jenis Ikan Chi-square hitung < Chi-square tabel Tidak erat Berdasarkan Tabel 9, kelimpahan ikan pada penelitian ini termasuk rendah dan kerapatan lamun termasuk tinggi dibandingkan dengan penelitian Latuconsina dkk pada tahun 2012 mengenai Komposisi Spesies dan Struktur Komunitas Ikan Padang Lamun di Perairan Tanjung Tiram Teluk Ambon Dalam. Keanekaragaman ikan pada ketiga stasiun tergolong dalam tingkat keanekaragaman sedang. Kondisi tersebut sesuai dengan spesies ikan yang tertangkap pada setiap stasiun tidak terlalu banyak. Spesies lamun yang dominan ditemukan pada penelitian ini adalah spesies Thalassia hemprichii. Spesies Thalassia hemprichii dominan pada ketiga stasiun karena pernah dilakukannya kegiatan transplantasi lamun pada spesies Thalassia hemprichii di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (Yudista 2010). Sedangkan menurut Kurniawan (2010), Enhalus acoroides mempunyai penutupan epifit yang lebih luas daripada Thalassia hemprichii dibuktikan dengan ditemukannya meiofauna paling banyak pada daun lamun Enhalus acoroides. Meiofauna yang paling banyak ditemukan adalah dari famili Copepoda dan menurut Hall and Bell (1993) dalam Kiswara

23 52 (1994), meiofauna dari famili Copepoda merupakan meiofauna penting sebagai sumber makanan ikan yang berasosiasi dengan lamun. Hal tersebut menjadikan kelimpahan ikan pada ketiga stasiun tergolong rendah karena bukan spesies Enhalus acoroides yang mendominasi stasiun penelitian. Oleh karena itu diperlukannya kegiatan transplantasi yang tidak hanya spesifik terhadap spesies Thalassia hemprichii tetapi juga dengan spesies Enhalus acoroides mengingat peranan spesies Enhalus acoroides juga sangat penting, seperti yang terdapat pada stasiun II dimana stasiun ini memiliki spesies Enhalus acoroides paling banyak dan didapatkan jumlah Siganus canaliculatus paling banyak dan juga memiliki jenis ikan yang lebih banyak dibandingkan stasiun lainnya. Penutupan lamun pada ketiga stasiun memiliki penutupan dibawah 50%. Menurut Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 dalam Kopalit (2010) penutupan lamun dibawah 60% termasuk dalam kondisi kurang sehat. Tingginya keberadaan ikan ekonomis dalam ekosistem lamun yang tergolong dalam kondisi kurang sehat menunjukkan perlunya pengelolaan pada ekosistem lamun yang mulai rusak di perairan Pulau Pramuka agar stok ikan ekonomis tetap terjaga.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. /Juni 06 (6-7) Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Saiyaf Fakhri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk wilayah di Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Bintan merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.Wilayah administrasi gugus Pulau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Siti Rahmi A.R. Nusi, 2 Abdul Hafidz Olii, dan 2 Syamsuddin 1 s.rahmi.nusi@gmail.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Lokasi pengambilan data

Lampiran 1. Lokasi pengambilan data 53 Lampiran 1. Lokasi pengambilan data Stasiun 1 (Selatan Pulau) di Desa Banassem Stasiun 2 (Barat Pulau) di Desa Soka Rammi Stasiun 3 (Utara Pulau) di Desa Sonok Stasiun 4 (Timur Pulau) di Desa Prambanan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan Pariwisata Kegiatan pariwisata di Pulau Karimunjawa sangat tinggi. Bisa dilihat dari kunjungan wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa dari setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra 4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk

Lebih terperinci

KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU Fiki Feryatun, Boedi Hendrarto, Niniek Widyorini Jurusan Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara.

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara. Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara Suhandoko 1, Winny Retna Melani 2, Dedy Kurniawan 3 suhandoko.2001@gmail.com Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Kelurahan Penyengat Kota Tanjungpinang Adi Febriadi 1), Arief Pratomo, ST, M.Si 2) and Falmi Yandri, S.Pi, M.Si 2) ADI FEBRIADI Program Studi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Pulau Barrang Lompo adalah salah satu pulau di kawasan Kepulauan Spermonde, yang berada pada posisi 119 o 19 48 BT dan 05 o 02 48 LS dan merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara.

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Arah dan Kecepatan Angin Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA 1 SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN Devi Triana 1, Dr. Febrianti Lestari, S.Si 2, M.Si, Susiana, S.Pi, M.Si 3 Mahasiswa 1, Dosen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rudini, rudini1990@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT Rene Ch. Kepel 1 dan Sandra Baulu 2 1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan selama periode pengamatan menunjukkan kekayaan jenis ikan karang sebesar 16 famili dengan 789 spesies. Jumlah tertinggi ditemukan

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep

Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep M. FADJRIN ADIM 1, HASYIMUDDIN 1, ERNAWATI KASENG 1 Jurusan Biologi, Fak. Sains dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vegetasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

TELAAH EKOLOGI KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) PERAIRAN PULAU OSI TELUK KOTANIA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

TELAAH EKOLOGI KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) PERAIRAN PULAU OSI TELUK KOTANIA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TELAAH EKOLOGI KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) PERAIRAN PULAU OSI TELUK KOTANIA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Husain Latuconsina*, La Dawar** *Staf Pengajar Faperta UNIDAR-Ambon, e-mail: husainlatuconsina@ymail.com

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIOMASSA DAUN Thalassia hemprichii PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN DESA SEBONG PEREH, BINTAN

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIOMASSA DAUN Thalassia hemprichii PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN DESA SEBONG PEREH, BINTAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIOMASSA DAUN Thalassia hemprichii PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN DESA SEBONG PEREH, BINTAN Nella Dwi Amiyati,nelladwi@gmail.com Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU SATRYO ARIF WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009)

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) 59 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) 60 61 Lampiran 3. Data

Lebih terperinci

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Rinta Kusumawati ABSTRAK Lamun merupakan tanaman laut berbentuk daun tegak memanjang dengan pola sebaran mengelompok pada substrat

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV Hasil dan Pembahasan A. Kondisi Lokasi Penelitian Pulau Misool merupakan salah satu pulau besar di antara empat pulau besar yang ada di Kabupaten Raja Ampat. Secara Umum luas wilayahnya adalah 2.034

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Syahrir Syarifuddin Fu adi Pembimbing : 1. Aunurohim, S.Si, DEA 2. Dra. Nurlita Abdulgani, M. Si

TUGAS AKHIR. Syahrir Syarifuddin Fu adi Pembimbing : 1. Aunurohim, S.Si, DEA 2. Dra. Nurlita Abdulgani, M. Si TUGAS AKHIR DISTRIBUSI IKAN KARANG DI PANTAI BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR Syahrir Syarifuddin Fu adi 1506 100 034 1 Pembimbing : 1. Aunurohim, S.Si, DEA 2. Dra. Nurlita Abdulgani, M. Si BAB

Lebih terperinci

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Dini Arifa 1, Arief Pratomo 2, Muzahar 2 Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun Menurut Azkab (2006), lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Mofologi Lamun Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

Lebih terperinci

1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat

1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat 1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat Lamun tumbuh di perairan dangkal terlindung pada batu yang lunak dan hidup pada habitat pantai seperti estuari. Istilah lamun pertama kali diperkenalkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

AKUATIK. Volume 6. Nomor. 1. Tahun PENANGGUNG JAWAB Eddy Nurtjahya. REDAKTUR Eva Utami

AKUATIK. Volume 6. Nomor. 1. Tahun PENANGGUNG JAWAB Eddy Nurtjahya. REDAKTUR Eva Utami AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 6. Nomor. 1. Tahun 2012 22 ISSN 1978-1652 AKUATIK Volume 6. Nomor. 1. Tahun 2012 PENANGGUNG JAWAB Eddy Nurtjahya REDAKTUR Eva Utami DEWAN EDITOR Andri Kurniawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil 1.Komposisi Jenis Ekosistem lamun, baik yang luas maupun sempit adalah habitat yang penting bagi bermacammacam spesies ikan. Hasil penelitian pada ekosistem padang lamun

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1.Latar Belakang

BAB I PENGANTAR 1.1.Latar Belakang BAB I PENGANTAR 1.1.Latar Belakang Wilayah kepesisiran dihuni oleh berbagai organisme dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi. Wilayah tersebut merupakan suatu sistem sosioekologis yang dinamis dengan

Lebih terperinci

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi Habitat berbagai organisme makrobentik Kelompok makrobentik infauna yang berperan penting pada ekosistem substrat lunak Berperan dalam proses

Lebih terperinci