BAB I PENDAHULUAN. dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati nurani. 1 Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batasbatas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik miskin maupun kaya, laki-laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya. 2 Sebagai norma yang ditujukan bagi pengakuan hak semua orang, maka setiap orang baik sendiri-sendiri maupun kelompok perlu mengenali dasar-dasar hak asasi manusia dan selanjutnya menuntut peningkatan pelaksanaannya. Peletakkan rumusan tentang dasar-dasar hak asasi manusia merupakan bagian dari tujuan sosialisasi. 3 Adapun norma-norma yang mengatur hubungan antara negara dengan individu (warga) adalah seperti yang 1 Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, 2002, hlm Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya dari Masa ke Masa, ELSAM, Jakarta, 2007, hlm Suryadi Radjab, loc. Cit.

2 2 dijelaskan di dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) tahun Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia membawa konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka mengakui hak-hak setiap orang sebagai hak asasi yang harus dihormati, guna mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi berbagai tindakan dan kebijakan negara yang sewenang-wenang terhadap individu-individu warganya. Berdasarkan deklarasi ini semua negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) hak-hak asasi setiap warganya. 5 Hak dalam hak asasi mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki, disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat kelahirannya. Seketika itu pula muncul kewajiban dari manusia lain untuk menghormatinya. 6 Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai apabila diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan 4 Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunyi, Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. 5 Hendriati Trianita dalam Suryadi Radjab, op. Cit. Hlm A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manuisa (HAKHAM), Ghalia Utama, Bogor, 2005, hlm. 8.

3 3 untuk menegakkan hak asasi manusia dapat menjadi awal masalah. 7 Salah satunya adalah masalah pemenuhan hak-hak bagi penyandang cacat. Penyandang cacat terdapat di semua bagian dunia dan pada semua tingkatan dalam setiap masyarakat. Jumlah penyandang cacat di dunia ini besar dan senantiasa bertambah, baik penyebab maupun akibat kecacatan di dunia ini bervariasi. Dunia internasional pada dasarnya telah sepakat bahwa permasalahan penyandang cacat ataupun pemenuhan hak-hak penyandang cacat merupakan suatu permasalahan yang sangat penting untuk dikaji, karena orang-orang penyandang cacat juga merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya, oleh karena itu pada tahun 2006 anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan suatu pertemuan dan merundingkan yang kemudian menghasilkan suatu konvensi tentang hak-hak penyandang cacat yaitu Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) 2006 atau sering disebut juga dengan Konvensi Hak Penyandang Cacat. Terdapat hak-hak penyandang cacat yang tercantum dalam konvensi penyandang cacat tersebut, yaitu hak hidup, situasi beresiko dan darurat kemanusiaan, pengaturan yang setara di hadapan hukum, akses atas peradilan, kebebasan dan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, kebebasan dan keamanan seseorang, kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan, 7 Ibid, hlm. 127.

4 4 perlindungan terhadap integritas seseorang, habilitasi dan rehabilitasi, pekerjaan, standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial, partisipasi dalam kehidupan politik dan publik, partisipasi dalam budaya, rekreasi, waktu luang dan olah raga. Namun demikian realisasi terhadap pemenuhan, pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak penyandang cacat sebagai hak asasi manusia masih banyak mendapat hambatan. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya pengertian dan pemahaman hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari hak asasi manusia baik dalam pengertian subtansi maupun pengertian secara hukum. Selama ini, para penyandang cacat masih menghadapi berbagai hambatan dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota yang setara dalam masyarakat, serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di segala aspek dalam lintas bidang kehidupan. Hambatan, keterbatasan dan diskriminasi yang umumnya dihadapi para penyandang cacat adalah dalam mengakses informasi, pendidikan, pekerjaan, transportasi serta sarana dan layanan publik lainnya. Kondisi inilah yang membuat penyandang cacat termasuk dalam kelompok miskin dan terpinggirkan. Hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) memperoleh pengaturan secara internasional dalam instrumen internasional. Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan

5 5 mengikat negara, apabila negara tersebut telah menyatakan diri untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Konvensi Hak Penyandang Cacat menandai akhir dari sebuah perjuangan panjang oleh orang-orang penyandang cacat dan organisasiorganisasi perwakilan mereka untuk diakuinya secara penuh sebagai isu hak asasi manusia, yang dimulai kembali pada tahun 1981, dengan Tahun Internasional Penyandang Cacat dan Program Aksi Dunia Cacat, diadopsi sebagai hasil tahun itu. Pada tahun 1993, oleh Majelis Umum Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, laporan Pelapor Khusus tentang Kecacatan dan Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan serangkaian resolusi oleh Komisi Hak Asasi Manusia pada tahun 1998, 2000, dan 2002 memberikan kontribusi signifikan untuk membuka jalan bagi pendekatan hak asasi manusia. 8 Konvensi Hak-Hak Penyandang cacat atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities merupakan sebuah pengakuan masyarakat internasional terhadap hak Penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainya. Konvensi ini disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang ke 61, 13 Desember 2006 lalu di Markas Besar PBB di New York.. Selanjutnya ditandangani oleh sekitar 82 negara termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamzah 8 Navanethem Pillay, Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities, Guidance for human rights monitors, Halaman 12, diakses tanggal 24 Oktober 2011.

6 6 pada 30 Maret 2007 yang lalu. 9 Pada saat upacara penandatanganan pada 30 Maret 2007, Indonesia merupakan negara urutan ke-9 dari 82 negara pertama yang menandatangani Konvensi tersebut. Hingga saat ini sudah ada 152 negara yang sudah menandatangani dan 104 diantaranya telah meratifikasinya termasuk Indonesia. Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas juga memperkenalkan suatu paradigma baru yang sangat penting dalam pemajuan hak penyandang disabilitas. Melalui Konvensi ini, penyandang disabilitas tidak lagi dilihat sebagai obyek tetapi subyek penuh. Upaya pengembangan penyandang disabilitas tidak lagi secara pemberian charity atau penyembuhan, sarana medis, sedekah dan lainnya. Namun, penyandang disabilitas dilihat dan dinilai sebagai pribadi penuh yang bisa mengklaim haknya dan mandiri (autonomous individual) yang bisa memutuskan sendiri, serta dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada tanggal 18 Oktober Proses persiapan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat ini telah berjalan selama 4 tahun di tingkat antar kementerian sejak 2007 hingga 2011, yang juga melibatkan perwakilan dari organisasi kemasyarakatan penyandang disabilitas. Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) dengan UU Nomor 19 Tahun 2011, konvensi ini 9 Agung Kuncahya B., Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.

7 7 mengganti istilah penyandang cacat dengan penyandang disabilitas yang dinilai lebih tepat dan manusiawi. 10 Setelah meratifikasi konvensi negara harus melakukan tindakantindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang cacat, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap perumahan, gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya. Negara juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi, dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan akses para penyandang cacat dan para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang cacat (disability policy). Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan maka perlu untuk melakukan penelitian mengenai kesiapan pemerintah Indonesia dalam menerapkankan konvensi tersebut dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan hukum internasional khususnya hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, penulis menetapkan judul untuk penulisan ilmiah (skripsi) ini yaitu PENGATURAN TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG CACAT BERDASARKAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES TAHUN 2006 DI INDONESIA , DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.

8 8 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun 2006? 2. Bagaimanakah penerapan Convention on the Rights of Person with disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun Untuk mengetahui implementasi Convention on the Rights of Person with Disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di Indonesia. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Perjanjian Internasional khususnya dalam penerapan perjanjian internasional dan hak asasi manusia dalam hukum nasional, sehingga hukum Internasional dapat diterapkan dengan baik di Indonesia.

9 9 b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan. 2. Kegunaan praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka yang melakukan penelitian serupa.

10 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Asasi Manusia dan Penyandang Cacat 1. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Instrumen Hak Asasi Manusia Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de l homme dalam bahasa Perancis atau Human Rights dalam bahasa Inggris, yang artinya hak manusia. Pengertian secara teoritis dari hak asasi manusia adalah : hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Illahi. Berarti hak-hak asasi manusia merupakan hakhak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur dan suci. 11 Pengertian Hak Asasi Manusia yang diatur dalam hukum positif Negara Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut : Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 11 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1983, hlm. 7-8

11 11 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut sudah dijelaskan bahwa Hak Azasi Manusia merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena itu terhadap hak azasi manusia negara sebagai pelingdung warganya diharapkan dapat mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut. Konsep hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan konsep tertib dunia, karenanya tanpa memperhatikan konsep HAM tersebut, apa yang dinamakan atau diusahakan manusia untuk mewujudkan tertib dunia akan sulit dicapai. Demikian pula tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu lainnya yang bersama-sama berusaha mengangkat derajat manusia agar lebih adil, makmur, sejahtera, aman, tertib, dan tenteram tidak akan mudah diraih. 12 Pengembangan dan perlindungan HAM untuk semua orang dan di seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, mengingat keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perbedaan-perbedaan latar belakang ini menyebabkan timbulnya perbedaan konsepsional dalam perumusan HAM. Globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an bukan saja melanda masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek, sosial, budaya dan hukum. Globalisasi di bidang 12 A. Masyhur Effendy. Perkembangan dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM) Hlm 127.

12 12 politik tidak terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi dan demokratisasi. Adanya globalisasi dalam pergerakan HAM, maka Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara PBB ke dalam hukum positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Penerapan instrumen HAM internasional dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat teologis, filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridik dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban negaranegara anggota PBB sebagian mengikat secara yuridis sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi secara formal. 13 Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai yang universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk 13 H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 6

13 13 hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam instrumen internasional, termasuk perjanjian internasional di bidang HAM, Namun kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan dan keseragaman. Penerapan instrumen HAM internasional akan terkait dengan karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. Adalah merupakan suatu fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan dari berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting sistem budaya hukum sebagai akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam pelaksanaan HAM di tingkat paling nyata di masyarakat. Ada empat penyebab utama alasan perjanjian internasional di bidang HAM tidak dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti, yaitu : Pertama, perancangan dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka berfikir (framework of thinking) dari perancangnya. Kedua, kendala pada saat perjanjian internasional diperdebatkan. Ketiga, menyangkut tujuan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia menghormati HAM melainkan untuk tujuan politis. Keempat, perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya mendapatkan perhatian secara setengah hati oleh negara berkembang Ibid, hlm

14 14 2. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam perkembangan hak asasi manusia, pemikiran mengenai hak asasi manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia, terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini, sebenarnya mulai muncul setelah manusia memikirkan dirinya dalam lingkungan semesta. Pemikiran mengenai hak asasi manusia ini mulai mencapai titik paling rendah setelah dikemukakannya konsep kedaulatan Tuhan yang dilakukan didunia ini dilakukan oleh seorang Raja atau Paus (Pemimpin Gereja sedunia). Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh raja ataupun Paus tersebut, menjadikan raja atau Paus mempunyai kekuasaan yang maha dasyat, sehingga mengakibatkan hak-hak raja termasuk para keturunannya dan Paus dapat terpenuhi secara optimal, sementara bagi manusia kebanyakan sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena menganggap bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah perintah Tuhan, dan memperolah kuasa dari Tuhan. Kondisi yang demikian ini, maka hak asasi manusia dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang impian dan barang komoditi yang sangat mahal harganya, sekaligus langka keberadaannya.

15 15 Perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia dapat dijelaskan sebagai berikut: 15 a. Abad XVII dan XVIII Berdasarkan sejarah perkembangannya, dijumpai adanya beberapa naskah yang dapat dikategorikan sebagai dokumentasi perkembangan hak asasi manusia, yaitu: a) Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen yang mencatat hak yang diberikan oleh Raja John Lackland dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tutntutan mereka. Dengan adanya naskah ini, sekaligus menimbulkan konsekuensi terhadap pembatasan kekuasaan Raja John Lackland. Hak yang diberikan kepada para bangsawan ini merupakan kompensasi dari jasa-jasa kaum bangsawan dalam mendukung Raja John di bidang keuangan. b) Bill of Rights (UU Hak 1689): Suatu Undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II, dalam suatu revolusi gemilang. Dalam analisis Marxis, Revolusi Gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakan adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang diatas monarki. Sementara rakyat dan kaum pekerja tetap hidup tertindas. 15 Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Yogyakarta, 2003, hlm

16 16 c) Declaration des droits de I homme et du citoyen (Peryataan hakhak manusia dan warga negara 1789), yakni suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dari rezim lama. d) Bill of Rights (UU Hak): suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan Deklarasi Perancis) dan menjadi bagian dari UUD Amerika pada tahun Berdasarkan naskah-naskah dokumentasi tersebut diatas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia abad XVII dan XVIII muncul sebagai akibat adanya kesewenangwenangan penguasa. Naskah-naskah itu merupakan ekspresi perlawanan terhadap penguasa yang dzalim. Hak-hak yang dirumuskan pada abad ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam (Natural Law) oleh John Locke ( ) dan JJ. Rousseau ( ) yang hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan lainnya. b. Abad XX Dalam abad ini ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang memporak-porandakan kehidupan kemanusiaan. Perang dunia ini disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak demokratis, seperti Jerman oleh Hitler, Italia oleh Benito Mussolini, dan Jepang oleh Hirohito. Berkaitan dengan hal ini, maka hak-hak politik yang tertuang dalam naskah-naskah abad XVII dan XVIII

17 17 dianggap kurang sempurna dan perlu diperluas ruang lingkupnya. Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II merumuskan adanya 4 (empat) hak, yaitu: a) Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech). b) Kebebasan beragama. c) Kebebasan dari ketakutan. d) Kebebasan dari kemelaratan. Kemudian pada tahun 1946, Commision on Human Rights (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang Hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember Dari penjelasan sejarah perkembangan tersebut diatas, maka nampak bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami peralihan yang cukup signifikan, yakni dari semata-mata kepedulian akan perlindungan individu-individu dalam menghadapi absolutisme kekuasaan negara, beralih kepada penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu-individu mengembangkan potensinya sampai maksimal.

18 18 3. Macam-macam Hak Asasi Manusia Hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi: 16 a) Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya. b) Hak-hak asasi ekonomi atau property rights yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual serta memanfaatkannya. c) Hak-hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya. d) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legalequality e) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights yaitu hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan dan sebagainya. f) Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights yaitu peraturan dalam penahanan, penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya. Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas dari adanya suatu kewajiban yang timbul baik oleh suatu negara atau masyarakat dalam negara tersebut sehingga muncul suatu keharmonisan 16 Ramdlon Naning, Op.Cit, hlm. 17.

19 19 yang berjalan secara selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban manusia. B. Perjanjian Internasional 1. Pengertian dan Istilah-istilah Perjanjian Internasional Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional disebutkan bahwa yang termasuk sumber hukum internasional, yaitu: 17 a. Perjanjian Internasional atau Traktat (International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states). Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional. 18 Traktat memberikan pengaruh terhadap arah pembentukan suatu kaidah hukum internasional. Pada dasarnya traktat memiliki dua sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan traktat kontrak (treaty of contract). b. Kebiasaan Internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum yang dilakukan oleh negara dan diterima sebagai hukum (International custom as evidence of a general practices accepted as law). 17 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 12.

20 20 Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh negara-negara. 19 Tidak setiap kebiasaan internasional merupakan kaidah hukum. Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut: 20 a).harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Tindakan tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional; b). Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negaranegara tidak menyatakan keberatan terhadapnya. c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The general principles of law recognized by civilized nations). Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum dari berbagai bangsa dan negara, yang secara universal mengandung kesamaan. 21 d. Keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum (Judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law). Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum hanya merupakan sumber tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran ahli hukum 19 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Intenasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hlm. 64.

21 21 dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan asas-asas umum hukum. 22 Pengertian perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 23 Dalam arti sempit pengertian Perjanjian Internasional disebutkan dalam Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties) : Treaty means an internastional agreement concluded between States in written form and governed by international law, wether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular Artinya : Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dengan apapun nama yang diberikan. Dalam arti sempit ini dimaksudkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara saja. Terdapat dua unsur pokok yang ada dalam definisi perjanjian internasional diatas, yaitu : 24 a. Adanya subjek hukum internasional Negara adalah subjek hukum internasional, (par excellence) yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum dalam pasal 6 Konvensi Wina tahun 22 Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm I Wayan Parthiana,Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju Bandung, 2002, hlm Boer Mauna, Op.cit, hlm. 85

22 , namun pada saat ini organisasi-organisasi internasional juga memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional, sebagai contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis tanggal 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, selain itu antara PPB dengan pemerintah Amerika Serikat tanggal 26 Juni 1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. b. Adanya rejim hukum internasional Suatu perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang tunduk dan diatur oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk dalam definisi perjanjian internasional (treaty). Dalam arti luas pengertian perjanjian internasional adalah : Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai obyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Berdasarkan pengertian secara luas tersebut terdapat unsur-unsur perjanjian internasional, yaitu : 25 a) Kata sepakat. Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari perjanjian, tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan ada perjanjian. 25 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm

23 23 b) Subjek subjek hukum internasional. Subjek-subjek hukum dalam hal ini adalah subjek-subjek hukum internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian internasional yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas, pihak-pihak yang melakukan perundingan (negotiating state) merupakan pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Sedangkan pada perjanjian internasional yang terbuka dan isinya mengenai masalah-masalah yang bersifat umum, antara para pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian belum tentu sama. Subjek-subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional adalah: 1) Negara; Negara merupakan subjek hukum internasional yang memiliki kapasitas penuh (full capacity) untuk mengadakan atau berkedudukan sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Kemampuan yang dimiliki negara untuk membuat suatu perjanjian adalah sebagai implementasi dari kedaulatan negara tersebut. Tidak ada batasan terhadap hak dari negara untuk membuat suatu perjanjian, jika ada batasan hak bagi sebuah negara untuk membuat suatu perjanjian biasanya lebih bersifat politis bukan yuridis Ibid,, hlm. 19

24 24 2) Negara bagian; Dalam suatu negara federal, yang menjadi pengemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal. Akan tetapi, ada kalanya konstitusi federal memungkinkan negara bagian mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal 27. 3) Tahta Suci atau Vatican; Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi terutama setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci pada tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui 28. Oleh karena itu Vatikan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara dan dapat melakukan hubungan dengan luar negeri sebagai salah satu masyarakat internasional juga membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara dan organisasi internasional. 4) Wilayah perwalian (Trusteeship Territory); Wilayah perwalian adalah wilayah bekas jajahan dimana dulu disebut dengan wilayah mandat dalam kerangka Liga Bangsa- 27 Oppenheim-Lauterpacht, Internasional Law, 8 th, ed, London, Vol.I (peace), p.p , pp , dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 100

25 25 Bangsa (LBB). Wilayah perwalian merupakan wilayah yang belum merdeka yang sedang diarahkan untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat penuh. 5) Organisasi internasional; Organisasi internasional sebagai subjek dalam arti yang luas dimaksudkan tidak saja menyangkut semua organisasi yang dibentuk oleh negara-negara (public international organization), tetapi juga yang dibentuk oleh badan-badan non-pemerintah (private international organization) personalitas dari suatu subjek hukum organisasi internasional, untuk melakukan tidakantindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam instrument dasar yang dimilki oleh organisasi internasional tersebut 29. 6) Kaum Beligerensi; Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu 30. Kaum beligerensi atau kelompok yang sedang berperang memiliki kedudukan yang sama dengan pemerintah yang berkuasa maupun dengan negara-negara pada umumnya. Kaum beligerensi merupakan kelompok yang memberontak kepada pemerintahan yang tengah berkuasa. Namun, pemberontakan yang dilakukan bukan lagi dalam lingkup 29 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1990, hlm Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op., Cit., hlm. 110

26 26 nasional negara tersebut melainkan sudah menjadi masalah internasional 31. 7) Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. Misalnya perjuangan bangsa Palestina dalam memperjuangkan hak-haknya tanpa dibelenggu oleh bangsa Yahudi Israel. Karena apa yang menjadi hak milik bangsa Palestina hampir seluruhnya raib. c) Berbentuk tertulis. Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. d) Objek tertentu Objek dari perjanjian internasional itu adalah objek atau hal yang diatur didalamnya. Setiap perjanjian internasional perjanjian pasti mengandung objek tertentu, tidak ada perjanjian yang tanpa objek yang pasti. Objek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut. e) Tunduk dan diatur oleh hukum internasional. Hukum internasional dalam unsur ini adalah baik hukum internasional pada umumnya, maupun hukum internasional pada khususnya, seperti 31 I wayan Parthiana, Op., Cit.,, hlm. 24

27 27 yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Sejak perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian, pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum internasional. hal ini menunjukkan bahwa perjanjian itu memiliki sifat internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum internasional. Boer Mauna memberikan pengertian bahwa melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumeninstrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya, dan bersifat mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. 32 Dalam suatu praktik pembuatan perjanjian diantara negara-negara dikenal dengan berbagai macam nama dan istilah. Suatu terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur 32 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Edisi ke , PT. Alumni, Bandung, hlm. 82

28 28 dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam perjanjian internasional tersebut. Dari uraian tersebut maka dapat ditarik ciri-ciri dari perjanjian internasional, yaitu: a) Dibuat oleh subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjannjian internasional terdiri dari negara, negara bagian, wilayah perwalian, tahta suci atau vatikan, kaum belligerensi, dan organisasi internasional yang merupakan subjek buatan, serta bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. b) Perbuatannya diatur oleh hukum internasional. Dalam bukunya Boer Mauna menyebutkan, pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. 33 c) Akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak (pacta sunt servanda). Sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional bahwa Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith. Negara yang 33 Ibid. hlm. 1

29 29 menjadi pihak kemudian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangen nasional negaranya. Perjanjian internasional mempunyai istilah-istilah yang sudah biasa digunakan secara umum antara lain, traktat, konvensi, deklarasi, statuta, piagam, kovenan, persetujuan, perjanjian, pakta, protokol, final act, agreed minutes dan sumary record, memorandum of understanding, arrangement, exchange of notes, process verbal, dan modus vivendi. Masing-masing dari istilah tersebut mempunyai kriteria sendiri-sendiri. 1) Treaties (Traktat) Traktat atau treaties merupakan perjanjian internasional yang mencakup seluruh instrument yang dibuat oleh subjek hukum internasional dan memiliki kekuatan mengikat menurut hukum internasional. Traktat biasanya berisi materi perjanjian yang menyangkut masalah penting, besar, dan sangat prinsipil. 2) Convention (Konvensi) Convention atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan konvensi dalam praktek internasional merupakan istilah dari perjanjian yang mempunyai kedudukan paling tinggi salain treaties atau traktat. Konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur masalah yang sangat penting dan besar. Perjanjian yang dibuat dengan menggunakan istilah konvensi biasanya dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum dan luas.

30 30 3) Agreement (Persetujuan) Persetujuan atau agreement merupakan perangkat perjanjian internasional yang tingkatannya lebih rendah dari traktat atau konvensi. Agreement mengatur masalah yang ruang lingkupnya lebih sempit dari traktat atau konvensi. Biasanya agreement digunakan untuk perjanjian bilateral atau multilateral terbatas. 4) Charter (Piagam) Istilah charter biasanya digunakan untuk perjanjian yang merupakan dasar pendirian sebuah organisasi internasional. Contohnya Piagam PBB ) Protocol (Protokol) Istilah lain dari perjanjian internasional adalah protokol (protocol). Protokol biasanya memuat perjanjian yang materinya lebih sempit dibandingkan dengan traktat atau konvensi. Penggunaan protokol memiliki berbagai macam keragaman, yaitu : 1. Protocol of Signature (Protokol Penandatanganan), Protokol penandatanganan merupakan perangkat tambahan suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian. Protokol tersebut umumnya berisikan halhal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian. 2. Optional protocol (Protokol tambahan), Protokol tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tambahan memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya. 3. Protocol Based of Framework Treaty (Protokol Kerangka Perjanjian),

31 31 Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya. 4. Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian Internasional, 5. Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya. 6) Declaration (Deklarasi) Merupakan suatu perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi berjanji untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu dimasa yang akan datang. Perbedaan dengan konvensi ialah deklarasi isinya lebih ringkas dan padat serta mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal seperti surat kuasa (full powers), ratifikasi dan lain-lainnya. 34 Deklarasi dibagi menjadi empat macam, yaitu 35 ; 1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati atau sebenarnya. 2. Deklarasi sebagai suatu instrument yang tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penafsiran atau penjelasan tentang ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut. 3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak begitu penting. 4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua negara. 7) Statute (Statuta) Istilah statuta biasa digunakan untuk perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional, organisasi internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice) Boer Mauna, Op.cit, hlm I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm Ibid, hlm

32 32 8) Agreement (Persetujuan) Istilah agreement memiliki pengertian umum dan khusus, sama halnya dengan convention, dalam pengertian umum Konvensi Wina 1969 menggunakan istilah agreement dalam artian luas. selain memasukkan definisi treaty sebagai international convention, konvensi tersebut juga menggunakan istilah international agreement bagi perangkat internasional yang tidak memenuhi definisi treaty, dengan demikian pengertian umum dari agreement mencakup seluruh perangkat internasional yang biasanya mempunyai kedudukan lebih rendah dari traktat atau konvensi. Pengertian agreement secara khusus dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya mengatur materi yang lebih kecil dibanding materi yang diatur pada traktat. Isitilah persetujuan saat ini cenderung digunakan bagi perjanjian bilateral dan terbatas pada perjanjian multilateral. 37 9) Arrangement (Penetapan) Digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau dari isinya lebih bersifat teknis dan administratif. Dalam hal ini arrangement juga digunakan untuk melaksanakan proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul bersifat teknis. Istilah arrangement digunakan untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuanpersetujuan kerjasama teknis, persetujuan-persetujuan kerjasama teknik 37 Boer Mauna, Op.cit, hlm

33 33 tersebut hanya menyebutkan bidang-bidang kerjasama saja sedangkan pelaksanaan tiap-tiap bidang serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak akan diatur dalam special arrangement ) Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman). Nota kesepahaman merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, nota kesepahaman dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian ini. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatangan tanpa memerlukan pengesahan ) Pact (Pakta). Istilah pakta dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang, militer, pertahanan dan keamanan, misalnya perjanjian tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) disebut Pakta Atlantik ) Exchange of Notes Pertukaran nota atau exchange of notes merupakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan menukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen ibid, hlm Ibid, hlm I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm Ibid., hlm 95

34 34 13) Modus Vivendi Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Modus Vivendi tidak memerlukan pengesahan Macam-macam Perjanjian Internasional Perjanjian internasional selain mempunyai berbagai istilah juga terdapat pengklasifikasian yang merupakan macam-macam perjanjian internasional yang membedakan antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain. Macam-macam perjanjian ini diltinjau dari sudut pendekatan yang ditempuh. Macam-macam perjanjian, yaitu 43 ; 1) Perjanjian internasional ditinjau dari jumlah peserta; a. Perjanjian internasional bilateral Perjanjian internasional bilateral merupakan perjanjian yang disepakati oleh dua negara saja. Perjanjian tersebut hanya mengikat kedua negara tersebut. b. Perjanjian internasional multilateral. Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang pihaknya terdiri dari lebih dari dua negara. 42 Ibid., hlm I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm

35 35 2) Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak a. Perjanjian internasional khusus Perjanjian internasional khusus disebut juga perjanjian tertutup yaitu hanya mengikat bagi para pihak saja, sifatnya tertutup hanya bagi yang ikut dalam perjanjian. b. Perjanjian internasional terbuka Perjanjian internasional terbuka merupakan perjanjian yang bersifat terbuka bagi negara-negara yang tidak ikut dalam perundingan untuk bergabung di dalam perjanjian tersebut. 3) Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya; a. Perjanjian internasional yang berlaku khusus (Treaty contract) Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah hukum bagi negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian saja. Perjanjian ini bersifat tertutup. b. Perjanjian internasional regional Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah hukum bagi negara-negara yang ada dalam satu kawasan saja atau dalam satu regional. Mempunyai akibat hukum hanya bagi negara-negara yang berada dalam satu kawasan tersebut. c. Perjanjian internasional yang berlaku umum (Law making treaty)

36 36 Perjanjian internasional ini melahirkan kaidah hukum yang diharapkan menjadi sebuah kaidah yamg berlaku umum bagi seluruh masyarakat internasional. Biasanya perjanjian ini berkaitan dengan hal-hal atau masalah yang penting dan besar. 4) Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasanya; a. Perjanjian yang dirumuskan dalam satu bahasa, biasanya bahasa yang digunakan dalam perjanjian ini adalah bahasa Inggris sebagai bahasa universal. b. Perjanjian yang dirumuskan dengan dua bahasa, perjanjian ini biasanya dituangkan dalam bahasa Inggris dan bahasa yang sesuai dengan kesepakatan para pihak, tetapi hanya yang dirumuskan dalam satu bahasa saja yang merupakan perjanjian yang sah. c. Perjanjian yang dirumuskan dengan tiga bahasa, semua perjanjian tersebut sah dan otentik. 5) Perjanjian internasional ditinjau dari substansinya. a. Perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan. Perjanjian semacam ini tampaknya tidak ada lagi mengingat perkembangan hukum internasional yang semakin pesat yang mengakibatkan selalu ada unsur-unsur yang sama sekali baru

37 37 disamping kaidah-kaidah hukum yang sudah merupakan hukum kebiasaan internasional. b. Perjanjian internasional yang merupakan perumusan dan melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru. Perjanjian internasional semacam ini biasanya berkenaan dengan masalah-masalah yang sama sekali baru dan kaidah hukumnya sama sekali belum ada. Pada umumnya masalahmasalah tersebut terjadi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. c. Perjanjian internasional yang merupakan perpaduan antara hukum kebiasaan internasional dengan kaidah hukum internasional yang baru. Perjanjian semacam ini yang semakin banyak muncul, karena masyarakat dan hukum internasional yang terus berkembang dengan pesatnya, sehingga perumusannya dalam bentuk perjanjian internasional, disamping harus menampung kaidah-kaidah hukum yang sudah ada sebelumnya, juga harus dipadukan dengan kaidahkaidah hukum yang merupakan unsur-unsur baru sama sekali. 6) Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya. a. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh negara atau negara-negara; Perjanjian internasional ini diprakarsai oleh negara dengan negara atau negara-negara dimana objek dalam perjanjian ini

38 38 merupakan kepentingan dari negara-negara saja. Untuk itu perjanjian tersebut mengikat negara-negara yang mempunyai kepentingan. Namun, perjanjian ini juga terbuka bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan yang sama untuk ikut terikat dengan perjanjian tersebut meskipun tidak ikut dalam perundingan. b. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh organisasi internasional. Organisasi internasional terutama organisasi internasional antar negara atau antar pemerintah dapat memprakarsai dibentuknya suatu perjanjian. Namun, perjanjian disini haruslah sesuai dengan objek yang merupakan kegiatan, tujuan, dan maksud dari dibentuknya organisasi internasional yang bersangkutan. 7) Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya. Pada dasarnya macam-macam perjanjian internasional ini sama dengan perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak atau peserta, karena negara-negara yang telah menjadi pihak atau peserta perjanjian internasional tersebut maka secara otomatis berlaku dalam ruang lingkup negara-negara pesertanya, yang membedakan terletak wilayah dan pemerintahnya, dalam hal ini berlaku asas teritorial dan personalitas dari negara-negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to

BAB I PENDAHULUAN. negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia membawa konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka mengakui hak-hak setiap orang sebagai

Lebih terperinci

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Internasional Sebagai salah satu sumber hukum Internasional, perjanjian Internasional telah dan nampaknya

Lebih terperinci

Negara Hukum. Manusia

Negara Hukum. Manusia Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Negara hukum / Rule of Law / Rechtsstaat yang bersumber dari pengalaman demokrasi konstitusional di Eropa Negara demokrasi adalah negara hukum, namun negara hukum belum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Drs. H. M. Umar Djani Martasuta, M.Pd

HAK AZASI MANUSIA. Drs. H. M. Umar Djani Martasuta, M.Pd HAK AZASI MANUSIA Drs. H. M. Umar Djani Martasuta, M.Pd Hak Asasi Manusia (HAM) Universal Declaration of Human Right UU RI No. 39 Tahun 1999 Landasan Hukum HAM di Indonesia Universal Declaration of Human

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

KEWARGANEGARAAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika KEWARGANEGARAAN Modul ke: NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan Pengertian dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 09 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Hak Asasi Manusia : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan Hak mendapatkan pengajaran Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat C. Konsep

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

HAM KEWARGANEGARAAN. Hak Asasi Manusia FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

HAM KEWARGANEGARAAN. Hak Asasi Manusia FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KEWARGANEGARAAN HAM Hak Asasi Manusia Disusun oleh : Lanny Ariani (125100601111013) Khanza Jasmine (125100601111015) Budi Satriyo (125100601111017) Avia Intan Rafiqa (125100601111019) FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1 PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun 1945 Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA NASIONAL INTERNASIONAL LOKAL / DAERAH INTERNASIONAL dalam konteks pergaulan antar bangsa (Internasional) Penghargaan dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA -------------- KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

Dikdik Baehaqi Arif

Dikdik Baehaqi Arif Dikdik Baehaqi Arif dik2baehaqi@yahoo.com PENGERTIAN HAM HAM adalah hak- hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia Idak dapat hidup sebagai manusia (Jan Materson) PENGERTIAN

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

SEJARAH HAK AZASI MANUSIA

SEJARAH HAK AZASI MANUSIA SEJARAH HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Hukum dan HAM ke-2 FH Unsri URGENSI SEJARAH HAM Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum

Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum Indonesia merupakan negara yang ikut dalam Deklarasi HAM, berimplikasi terhadap revisi Hukum melalui amandemen UUD 1945 dengan ditambahkannya Bab XA tentang HAM yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA HAK ASASI MANUSIA DALAM PANCASILA DOSEN PENGAMPU : HARI SUDIBYO S.KOM UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA NAMA: HERI SANTOSO NIM: 11.11.5151

Lebih terperinci

PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekua

PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekua Hak Azazi Manusia 2012 PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA.

HAK ASASI MANUSIA. HAK ASASI MANUSIA www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN HAM yaitu hak dasar yg dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan YME Menurut Tilaar, hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tanpa hak-hak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

Dapat memahami materi tetang HAM. Dapat memahami materi HAK dan Kewajiban Warga Negara. Dapat memahai dan menjelaskan pelaksanaan HAM di Indonesia

Dapat memahami materi tetang HAM. Dapat memahami materi HAK dan Kewajiban Warga Negara. Dapat memahai dan menjelaskan pelaksanaan HAM di Indonesia Dapat memahami materi tetang HAM Dapat memahami materi HAK dan Kewajiban Warga Negara Dapat memahai dan menjelaskan pelaksanaan HAM di Indonesia Hak azasi manusia merupakan suatu konsep etika politik modern

Lebih terperinci

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Pengantar Memahami Hak Ekosob M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Manusia dan Perjuangan Pemajuan Hak Asasinya Semua manusia memperjuangkan hak hidup layak. Agama menginspirasi perjuangan manusia itu. Berbagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

Mengetahui hak manusia yang melekat sejak lahir RINA KURNIAWATI, SHI, MH

Mengetahui hak manusia yang melekat sejak lahir RINA KURNIAWATI, SHI, MH Modul ke: HAK ASASI MANUSIA Mengetahui hak manusia yang melekat sejak lahir Fakultas FAKULTAS www.mercubuana.ac.id RINA KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi DEFINISI Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) adalah

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi. Modul ke: Hak Asasi Manusia Fakultas Rusmulyadi, M.Si. Program Studi www.mercubuana.ac.id Pengertian HAM Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

A. Pengertian Hak Asasi Manusia B. Tujuan Hak Asasi Manusia C. Perkembangan Pemikiran HAM

A. Pengertian Hak Asasi Manusia B. Tujuan Hak Asasi Manusia C. Perkembangan Pemikiran HAM HAK ASASI MANUSIA Modul ke: 08 Fakultas Udjiani EKONOMI DAN BISNIS A. Pengertian Hak Asasi Manusia B. Tujuan Hak Asasi Manusia C. Perkembangan Pemikiran HAM D. HAM pada Tatanan Global dan di Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: 09Fakultas Matsani EKONOMI DAN BISNIS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi & Rule of Law, SE.,MM. Program Studi AKUNTANSI PENGERTIAN HAM yaitu hak dasar yg dimiliki manusia sejak lahir sebagai

Lebih terperinci

Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Diambil dan terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan diaksesi oleh resolusi Mahkamah Umum 2200A (XXI) pada 16 Desember 1966, berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian

Lebih terperinci

NAMA : WAHYU IFAN AGASTYO NIM : KELOMPOK : I (NUSA) DOSEN : Drs.Muhammad Idris STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

NAMA : WAHYU IFAN AGASTYO NIM : KELOMPOK : I (NUSA) DOSEN : Drs.Muhammad Idris STMIK AMIKOM YOGYAKARTA MAKALAH RANCANGAN PANCASILA MENYANGKUT `HAM` NAMA : WAHYU IFAN AGASTYO NIM : 11.12.5850 KELOMPOK : I (NUSA) PROGRAM STUDI: S1 SISTEM INFORMASI DOSEN : Drs.Muhammad Idris STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1. Aspek-aspek Perjanjian Internasional 2.1.1. Istilah-Istilah Perjanjian Internasional Mengenai peristilahan dari perjanjian internasional, jika

Lebih terperinci

Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi.

Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi. IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2000 DALAM PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (The Implementation of UU No. 24/2000 in the Making and Ratification of International Treaties) Oleh: Malahayati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA 1 K 100 - Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya 2 Pengantar

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL

BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Perjanjian Internasional 1. Pengertian Perjanjian Internasional Hukum Internasional di dalam pelaksanaannya, memiliki beberapa beberapa

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD BAB III HAK ASASI MANUSIA DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA Dra.Hj.Rosdiah Salam, M.Pd. Dra. Nurfaizah, M.Hum. Drs. Latri S,

Lebih terperinci

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN Prasayarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci