BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Perjanjian Internasional 1. Pengertian Perjanjian Internasional Hukum Internasional di dalam pelaksanaannya, memiliki beberapa beberapa sumber. Di dalam Statuta Mahkamah Internasional, tertulis bahwa hukum Internasional bersumber dari 29 : 1. Perjanjian / konvensi Internasional yang diakui oleh pihak pihak yang terlibat di dalamnya (international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states). 2. Kebiasaan International (international custom, as evidence of a general practice accepted as law). 3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh negara negara beradab. (the general principles of law recognized by civilized nations). 4. Keputusan Pengadilan terdahulu dan pendapat para ahli yang telah diakui oleh negara negara.(judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law). Di dalam skripsi ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai perjanjian internasional sebagai suatu hukum internasional yang mengikat para pihak yang telah menyepakatinya. Subjek hukum Internasional sendiri tidak hanya terbatas pada negara saja, dimana organisasi internasional juga termasuk kedalamnya. Berikut ini, pendapat beberapa ahli terkemuka mengenai perjanjian Internasional : 29 Statuta Mahkamah internasional, Pasal 38 ayat (1),

2 Menurut Wayan Parthiana, perjanjian internasional ialah: Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional 30 Di Indonesia sendiri, ada disebutkan pengertian mengenai perjanjian internasional. Hal ini terdapat di dalam Undang-undang No.24 Tahun 2000 yang menyebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik 31 Pengertian perjanjian Internasional menurut G.Schwarzenberger 32 : Treatie are agreement between subjects of international law. They may be bilateral (ie. Concluded between contracting parties) or multilateral (ie. Concluded more than contracting parties). Perjanjian ialah suatu kesepakatan antara subjek-subjek international. Yang di dalamnya mencakup kesepaktan bilateral dan multilateral yang menyebabkan perikatan terhadap pihak pihak yang menyepakatinya. Pengertian perjanjian internasional menurut Ian Brownlie Treaty as an International agreement concluded between states in written form and governed by International law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Perjanjian internasional sebagai suatu kesepakatan antara negara-negara dalam bentuk tertulis dibawah hukum internasional, baik di dalam suatu badan ataupun beberapa badan yang terkait mengenai tujuan khusus yang ingin dicapai 33 : 30 Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, bagian 1, cet.i, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 32 G.Schwarenberger, A manual of International Law, Vol.1, Edisi ke-4, London 1960, hlm Ian Browlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3 rd edition, 1979), hlm. 602.

3 Mochtar Kusumaatmadja di dalam bukunya, mengartikan perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu karena itu dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjeksubjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. 34 Di dalam bukunya, Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya membatasi perjanjian internasional dalam lingkup negara saja, melainkan juga organisasi internasional dan lain lain 35. Perjanjian Internasional menurut Mochtar, ada kalanya dinamakan traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statuta), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, convenant dan sebagainya. 36 Boer Mauna, di dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional, menuliskan bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum. 37 Pengertian lebih jauh mengenai makna dan istilah perjanjian Internasional yang digunakan oleh para ahli hukum yaitu 38 : 1. Traktat, merupakan istilah yang sudah umum dipergunakan untuk perjanjian internasional antara negara negara yang substansinya tergolong penting bagi para pihak Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Buku 1- Bagian Umum, (Bandung : Binacipta, 1990), hlm Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm Mochtar Kusumaatmadja, op,cit., hlm Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era DInamika Global, edisi ke-2, (Bandung: P.T, Alumni.2005), dikutip dari Myers, The Names and Scope of Treaties, 51 American Journal of International Law, 574,575 (1957). 38 Tenri Ariantim Andi., Istilah-Istilah hukum perjanjian internasional, diakses pada 2 Novermber 2014 pukul WIB 39 Op.cit. I Wayan Parthiana. hal. 27.

4 2. Treaties (Perjanjian Internasional / Traktat). Umumnya, traktat ini digunakan untuk perjanjian yang materi merupakan hal-hal yang sangat prinsipil dan memerlukan pengesahan /ratifikasi Convention (Konvensi). Kata konvensi ini umumnya digunakan untuk perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak. 41 Konvensi juga digunakan secara umum di dalam bahasa indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik yang dipreakarsai oleh negara-negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional. Pada umumnya kovensi ini digunakan untuk perjanjianperjanjian internasional multilateral yang mengatur temntang masalah yang besar, penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum. Namun, ada pula perjanjian yang sebenarnya merupakan perjanjian bilateral tetapi diberi nama konvensi Persetujuan. Istilah persetujuan (agreement, arrangement) digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih bersifat teknis dadministratif. Jika dibandingkan dengan substansi traktat (treaty) ataupun kjonvensi (convention) yang berkenaan dengan masalah masalah yang besar dan penting, substansi dari persetujuan berkenanan dengan masalah-masalah yang besar dan penting, substansi dari persetujuan berkenaan dengan masalah-masalah teknis yang ruang lingkupnya relatif kecil. 43 Saat ini, istilah agreement jauh lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan istilah arrangement. Istilah persetujuan juga digunakan untuk perjanjian yang mengatur materi mengenai bidang ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan Boer Mauna. Hukum Internasional; Pengertian; Peranan; dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Hal Ibid. Hal Op.cit. I Wayan Parthiana. hal Ibid. hal Op.cit. Boer Mauna. Hal 91.

5 5. Charter (piagam). Istilah charter ini umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi international dimana penggunaan istilah ini berasal dari kata Magna Carta. 45 Istilah ini juga dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional Protokol, jika digunakan dalam pengertian suatu instrument perjanjian biasanya dikaitkan pada instrumen tunggal yang memberikan amandemen atau pelengkap terhadap persetujuan internasional sebelumnya. 47 Istilah protokol ini juga diberikan pada instrumen perjanjian yang memperpanjang masa berlakunya suatu perjanjian atau konvensi yang sudah hampir berakhir masa berlakunya Declaration (Deklarasi). Isi dari deklarasi umumnya lebih ringkas dan padat serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan formal seperti surat kuasa (full powers), ratifikasi, dll. 49 Deklarasi, dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai pernyataan ataupun pengumuman. Pada umumnya isi dari deklarasi tersebut lebih merupakan kesepakatan antara para pihak yang masih bersifat umum dan berisi tentang hal-hal yang merupakan pokok-pokok saja. Akan tetapi, ada pula deklarasi yang berisikan kaidah hukum yang mnegikat secara kuat sebagai kaidah hukum dalam pengertian yang sesungguhnya Final Act, adalah suatu dokumen yang berisikan laporan sidang dari suatu konferensi yang mnyebutkan perjanjian-perjanjian dan terkadang disertai anjuran dan harapan Agreed Minutes and Summary Records, yaitu catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian Ibid. hal 92. Op.cit. I Wayan Parthiana. hal 31. Op.cit. Boer Mauna. hal. 92 Sumaryo Suryokusumo. Hukum Perjanjian Internasional. hal 23. Tatanusa, Op.cit. Boer Mauna. hal 93 Op.cit. I Wayan Parthiana.hal 29 Op.cit. Boer Mauna.hal 94

6 Catatan ini selanjutnya akan digunakan sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya Memorandum of Understanding, yaitu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan Arrangement, yaitu suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional pada proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul bersifat teknis Exchange of Notes. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen Process-Verbal. Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan halhal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan Modus Vivendi, yakni suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat secara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan Statuta. Istilah statuta (Statute) biasa dipergunakan untuk perjanjianperjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Organisasi atau lembaga internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah Mahkamah Internasional Permanen dan Mahkamah Internasional yang masing Ibid. hal.94. Ibid. hal 95 Ibid. hal 95 Ibid. hal 95 Ibid. hal 96 Ibid. hal 96.

7 masing piagamnya disebut Statute of Permanent Court of International Justice, dan Statute of International Court of Justice Kovenan. Istilah kovenan (Covenant) juga mengandung arti yang sama dengan piagam, jadi digunakan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional General Act. Suatu general act adalah benar-benar sebuah traktat tetapi sifatnya mungkin resmi mungkin juga tidak resmi Pakta (Pact). Istilah pakta dalam bahasa Inggris pact dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang militer, pertahanan, dan keamanan. Misalnya perjanjian tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantic Treaty Organisation/NATO disebut dengan pakta atlantik. 61 Di dalam kasus ini, Jepang secara langsung telah melakukan perjanjian internasional dengan suatu organisasi internasional yaitu International Whaling commission (IWC) sehingga Jepang terikat terhadap konvensi yang dianut oleh anggota tersebut yaitu International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW). Segala bentuk peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh dilanggar oleh negara anggotanya karena bersifat mengikat meskipun sistem keanggotaannya bersifat sukarela. Dikarenakan adanya perjanjian internasional inilah, sengeketa antara Jepang dengan salah satu anggota IWC yaitu Australia dapat mengajukan gugatannya untuk diputus oleh Mahkamah Internasional dengan catatan adanya kesepakatan bersama untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional. 2. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Internasional Ibid. hal 30. Ibid. hal 31 J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh. hal 589. Op.cit. I Wayan Parthiana. hal 33.

8 Perjanjian Internasional, sejati mengacu kepada suatu prinsip dasar yang dianut oleh seluruh masyarakat internasional, yaitu Pacta Sun Servada. Pacta Sun Servada merupakan norma fundamental yang menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat. Tampak bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian internasional tumbuh dari perkembangan prinsip tersebut sebagai kebiasaan. 62 Lauterpact, di dalam bukunya mengenai perjanjian internasional mengemukakan Treaties are legally binding because there exist a customary rule of internasional law that treaties are binding. Yang dalam bahasa Indonesianya berbunyi Perjanjian mengikat secara hukum karena ada hukum kebiasaan intenasional yang mengikat perjanjian. 63 Perjanjian yang ditetapkan, mulai berlaku saat tanggal yang telah disepakati sebelumnya dan di tuangkan kedalam Final Provision (ketentuan penutup) tercapai. Seluruh pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut menentukan kapan mulai berlakunya perjanjian tersebut dan dicantumkan sebagai salah satu pasal atau ayat dari perjanjian itu. Di dalam buku yang berjudul Modern International law 64, terdapat 2 penggolongan terhadap perjanjian international. Salah satu diantaranya yaitu tentang perjanjian multilateral, yang berlaku setelah terpenuhi jumlah dari ratifikasi yang ditentukan atau yang tealh didepositokan/ disimpan oleh negara/ organisasi internasional yang ditugasi untuk menyimpannya kecuali dimaksud lain oleh para pihak agar perjanjian mulai berlakunya beberapa saat setelah ratifikasi terakhir yang diisyaratkan. 62 Budiono,K., Suatu Studi Terhadap Apek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bina Cipta, hlm Oppenheim Lauterpacht, International Law of Treaties, Volume 1, Edisi 8, Longmans, 1953, hlm R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana, 2 Sub edition (June 1984), the University of California

9 B. Sejarah Berdirinya IWC International Whaling commission (IWC) adalah organisasi internasional yang bergerak dibidang regulasi perburuan paus. Organisasi ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) yang ditandatangani di Washington D.C., Amerika Serikat pada tanggal 2 Desember IWC berpusat di Impington, Inggris dan memiliki 3 komite utama yang mencakup bagian penelitian, bagian keperluan sehari-hari, dan bagian finansial yang juga merangkap administrasi. Pada awalnya, IWC dibentuk dengan persetujuan bersama secara sukarela oleh negara-negara anggota yang menyetujui International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) pada tahun Negara-negara tersebut sepakat untuk membentuk suatu organisasi independen yang bekerja berdasarkan ICRW untuk memberikan ruang agar dapat membicarakan masalah terkait penggunaan sumber daya paus. Disinilah awal terbentuknya organisasi untuk menciptakan industri perburuan paus yang terorganiasir; termasuk implementasi tujuan ekonomis dan keterjagaan linkungannya. IWC pada mulanya beranggotakan 15 negara dan terus bertambah setiap tahunnya.. Partisipasi sebagai anggota IWC tidak terbatas hanya pada negara yang memiliki hubungan dengan paus., negara negara yang bersedia untuk turut serta mendukung IWC walaupun tidak memiliki paus didaerahnya diperbolehkan untuk bergabung dan bersama-sama memonitoring pelaksaan ICRW. Anggota IWC telah naik dua kali lipat sejak 2001 dengan jumlah hampir 6 negara bergabung tiap tahunnya dalam rentang waktu 2002 sampai Pada tahun 1982, IWC mengadopsi sebuah moratorium mengenai perburuan paus dimana Jepang dan Rusia menjadi salah satu negara yang paling menentang diberlakukannya moratorium ini bersama dengan negara-negara oposisi lainnya. IWC, sesuai dengan tujuan utamanya untuk melindungi keberlanjutan eksistensi paus, zero catch limit for commercial whaling yang berarti menghapus segala

10 bentuk perburuan paus pada tahun 1986 dan membatasi perburuan paus hanya untuk tujuan penelitian dengan syarat tertentu saja. 65 Untuk penduduk lokal yang memang masih memiliki budaya ataupun keduayaan untuk berburu paus, seperti suku Makah, negara Jepang, Iceland, Norway dan lain lain, IWC memberikan keringanan berupa non-zero whaling quota bagi penduduk asli dan setiap negara boleh mengisukan scientific permits kepada penduduk mereka yang berupa izin untuk melakukan penelitian terhadap paus. IWC memberikan izin khusus seperti ini karena masih diakui kebiasaan setempat seperti kebiasaan suku Makah yang menyatakan bahwa prosesi adat perburuan paus merupakan perayaan tradisional yang sudah dilakukan sejak zaman nenek moyangnya, dan adat inilah yang menjadi sumber inspirasi terhadap lagu, tarian, desain dan alat keterampilan mereka. Bagi suku Makah, perburuan paus memberikan tujuan dan disiplin bagi seluruh komunitasnya; pada tahun 1855, suku Makah berhasil mendapatkan hak untuk berburu paus di daerah Neah Bay sesuai dengan perjanjian terhadap Amerika Serikat. Izin lainnya yang diberikan oleh IWC yaitu izin penelitian. Yang dimaksud dengan izin penelitian ini ialah diperbolehkannya dilakukan penangkapan terhadap paus dengan tujuan untuk menganalisa, mencari data ataupun untuk memonitoring jenis paus tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan informasi berharga yang kelak dapat disumbangkan kembali untuk membantu pelestarian paus tersebut ataupun sebagai ilmu pengetahuan tambahan bagi umat manusia. 67 IWC, sebagai organisasi yang memberikan monitoriasi dan perlindungan terhadap paus memiliki tugas utama untuk terus mengawasi dan melakukan perubahan terhadap konvensinya seiring dengan aktivitas perburuan paus di seluruh dunia. IWC di dalam tindak tanduknya, juga membuat suatu wilayah perlindungan bagi paus dengan nama Southern Ocean Whale Sanctuary. Tempat ini merupakan IWC Resolution , Resolution on Special Permits for Scientific Research. 66 The Makah Whaling Tradition, diakses pada 12 Juni 2014 pukul International Convention for the Regulation of Whaling 1946, Pasal 8 ayat (1) & (2)

11 area seluas 50 juta kilometer persegi yang mengelilingi Antartika dimana IWC telah menetapkan bahwa disini tidak boleh ada perburuan paus komersial dalam bentuk dan alasan apapun. IWC sebenarnya memiliki dua tempat perlindungan paus, dimana satunya lagi Indian Ocean Whale Sanctuary. 68 Dari semua tindakan yang dilakukan oleh IWC, inilah yang dianggap sebagai tindakan terbaik dengan membuat kawasan lindung bagi paus seperti Southern Ocean Whale Sanctuary, sehingga dapat memberikan perlindungan total kepada jenis paus tertentu ; menentukan jumlah jenis paus yang boleh diburu didaerah tersebut; menentukan musim untuk melepas migrasi paus; mencegah penangkapan paus muda yang masih membutuhkan bantuan induknya. 69 Dalam melaksanakan tugasnya, IWC juga diberikan izin untuk bekerja sama dengan badan khusus negara anggota atau badan badan lainnya dengan catatan : a. Mendukung, merekomendasi, atau jika diperlukan, melakukan penelitiandan invesigasi yang berkaitan dengan paus dan perburuannya. b. Mengumpulkan dan menganalisa informasi statistik mengenai kondisi terkini dan laju pertumbuhan jumlah paus serta dampak dampak dari perburuan paus. c. Pembelajaran, pengamatan dan pembedahan informasi yang berkaitan dengan metode-metode untuk mempertahankan ataupun menambah jumlah populasi paus. 70 C. Regulasi International Whaling Commission (IWC) Terhadap Perburuan Paus IWC sebagai organisasi international yang bergerak di bidang perlindungan paus, tidak membatasi sepenuhnya hak-hak untuk melakukan perburuan paus. Di dalam 68 _ Southern Ocean Whale Sanctuary, Whale_Sanctuary,diakses pada 12 Juni 2014 pukul Catch Limits & Catches taken, diakses pada 14 Juni 2014 pukul International Convention for the Regulation of Whaling 1946, pasal 4 ayat (1)

12 organisasi tersebut, ada izin khusus yang bisa diperoleh yaitu izin penangkapan untuk tujuan penelitian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada tahun 1940-an, negara-negara menyadari bahwa perlu adanya sutau regulasi terhadap paus agar eksistensinya tetap terjaga dan dapat tetap diburu kedepannya secara berkala untuk kepentingan komersial. Lalu, dibentuklah melalui kesepakatan untuk membuat pembatasan pada jumlah paus yang boleh di buru agar ada peluang bagi paus untuk berkembang biak. Ide inilah yang mendasari di bentuknya IWC setelah regulasi mengenai perburuan paus dituangkan dalam ICRW Dengan tujuan agar kedepannya masih ada paus untuk diburu secara berkelanjutan., IWC selalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan penelitian sebagai bagian dari organisasi itu sendiri. Namun, setiap peraturan memiliki celah hukum sendiri yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang salah apabila tidak dimonitorisasi secara benar. Ada negara anggota yang dengan alasan demi ilmu pengetahuan dan penelitian berusaha mencari celah agar dapat menggunakan izin untuk kepentingan komersial negaranya sendiri dan melanggar regulasi yang ada. Pada tahun 1982, IWC melakukan voting untuk membentuk suatu moratorium terhadap perburuan paus. Di dalam voting tersebut, beberapa anggota dari IWC menolak, namun hal tersebut tetap dilakukan dan mulai berlaku tahun Setelah itu, para anggota IWC kembali melakukan voting untuk membentuk cagar untuk paus di Antartika. Secara perlahan, negara-negara yang menentang perburuan paus terus terkumpul dan mulai memberikan suaranya, IWC dianggap sebagai badan internasional untuk perlindungan paus, yang sebenarnya bukan tujuan utamanya. IWC pada dasarnya di berntuj untuk meregulasi perburuan paus demi ketersedian paus di masa depannya sehingga bisa diburu secara berkala. Konstitusi IWC yang lemah membuat banyak kontroversi. Anggota IWC sendiri meminta IWC untuk menguatkan eksistensi dan kewenangan organisasinya agar

13 memiliki daya paksa terhadap negara-negara lain, terutama yang bukan anggota untuk mengikuti ketentuan berburu paus. 71 Prof. Nick Gales dan tim nya di dalam tulisannya mengenai Applying scientific principles in international law on whaling, penerapan prinsip prinsip penelitian terhadap hukum international yang berkaitan dengan paus, menyatakan bahwa IWC tidak benar benar memiliki kemampuan untuk memaksa negara negara yang lain untuk patuh meskipun IWC berusaha melakukan revisi terhadap sistem regulasi perburuan paus demi penelitiannya. Prof. Gales menyarankan IWC untuk membuat larangan bagi tiap negara membuat izin penelitiannya sendiri. Harus ada faktor eksternal yang bukan dari negara tersebut yang ikut menentukan pemberian izin perburuan paus untuk penelitian. Tujuan dari penelitian itu juga harus disebutkan dengan jelas dan bukan sekedar alasan untuk menutupi kegiatan lainnya. IWC, di dalam kewenangannya menerapkan daerah cagar untuk paus, dipandang lemah dalam hal kredibilitas oleh Mahkamah Internasional. Segala perkembangan dan revisi peraturan yang ada di dalam IWC dianggap sama sekali tidak berpengaruh apapun karena masing-masing negara punya kepentingan politik masing-masing. IWC sebelum membuat revisi ataupun larangan haruslah menguatkan posisinya terlebih dahulu di dunia internasional atau kedepannya segala hal yang dilakukan IWC akan sia-sia. 72 D. International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) sebagai konvensi dasar International Whaling Commission (IWC). 71 The flawed nature of the International Whaling commission's science, diakses pada 22 Juni 2014 pukul de la Mare et al 2014 Policy Forum, Prof. Gales, Australian Antarctic Division, Kingston, Tasmania 6050, Australia

14 Di dalam menjalankan fungsinya, IWC yang bergerak dibidang regulasi perburuan paus, menggunakan ICRW sebagai dasar konvensinya untuk menjalankan kegiatannya dan memberikan izin terhadap kegiatan perburuan paus. ICRW sendiri merupakan sebuah konvensi internasional menyangkut permasalahan perburuan paus yang disetujui pada tahun 1946 di Washington D.C, Amerika Serikat. Pada awalnya, ICRW merupakan 2 perjanjian multilateral yang berkenaan dengan paus yang kemudian digabungkan. Kedua perjanjian tersebut yaitu konvensi mengenai regulasi paus (The Convention for the Regulation of Whaling) yang diadopsi pada tahun 1931 dan perjanjian internasional untuk regulasi paus pada tahun Konvensi mengenai regulasi perburuan paus (Convention for the Regulation of Whaling) diadopsi pada tahun 1931 dengan alasan karena adanya kekhawatiran terhadap keberlangsungan industri paus. Industri pada saat itu berkembang pesat karena adanya kapal yang memadai dan inovasi teknologi yang memungkinkan untuk melakukan perburuan secara intensif dan jauh dari stasiun darat seperti di Antartika. Di dalam konvensi awal ini, konvensi hanya mengatur mengenai perizinan kapal dan pelarangan terhadap perburuan beberapa jenis paus. Dikarenakan konvensi sebelumnya menyebabkan jumlah paus yang ditangkap semakin banyak dan harga minyak paus turun. Adopsi dilakukan sekali lagi terhadap perjanjian internasional untuk regulasi paus pada tahun 1937, yang dalam pembukaannya tertulis bahwa tujuan dari dimunculkannya perjanjian ini adalah untuk menjaga kemakmuran dari industri paus dan untuk itu, menjaga ketersediaan paus. Perjanjian ini lebih kompleks dengan mengatur beberapa jenis paus yang tidak boleh ditangkap, menjadwalkan penangkapan paus jenis tertentu sesuai musimnya, melakukan zona larangan penangkapan dan memperkuat regulasinya terhadap insdustri. Konvensi tahun 1937 juga menjadi fondasi munculnya sistem perburuan paus demi penelitian dengan izin khusus dimana dalam pelaksanaannya, setiap pihak terkait harus melaporkan seluruh informasi terkait mengenai paus dan data data berguna lainnya dan dibawa ke badan

15 penelitian internasional untuk data perburuan paus (International Bureau for Whaling Statistics) di Norwegia. Kedua konvensi tersebut digabungkan dan menjadi dasar daripada ICRW. Meskipun merupakan gabungan dari konvensi 1931 dan 1937, ICRW memiliki kekhususan tersendiri, salah satunya yaitu fungsi amandemen di dalam pasalnya, dimana ICRW dapat mengajukan sutau perubahan kepada negara anggotanya dan para anggota tersebut akan memberikan jawaban. Pemungutan suara dilakukan melalui voting sampai ¾ (tiga per empat) suara dari yang melakukan voting tercapai. Negara anggota juga berhak untuk menolak amandemen sehingga amandemen tersebut baru berlaku padanya apabila penolakan telah dicabut. Sistem seperti ini menyebabkan regulasi ICRW bersifat dinamis dan berubah sesuai dengan kebutuhannya. Tujuan dasar dari ICRW ini sendiri ialah untuk melakukan konservasi terhadap berbagai jenis paus dan membuat regulasi perburuan yang terorganisir dan bertahahap terhadap industri komersial paus. 73 ICRW ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 1948 dan terus diperbaiki sampai pada tahun 1956 dimana helicopter dan kapal juga dimasukkan sebagai alat transportasi yang dikategorikan sebagai kendaraan untuk menangkap paus. Konvensi ini juga bertujuan untuk untuk melakukan perlindungan seluruh jenis paus terhadap perburuan secara besar besaran, penetapan suatu sistem internasional terhadap perburuan paus untuk memastikan adanya konservasi yang berjalan dengan baik dan terjaganya keseimbangan jumlah paus, dan untuk menjaga tersedianya sumber daya alam untuk generasi kedepannya dengan paus sebagai bentuk sumber daya alam yang dapat dieksploitasi secara berkelanjutan. Salah satu cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan ini adalah dengan membentuk suatu organisasi internasional yaitu International Whaling commission (IWC). Badan ini juga berfungsi sebagai 73 International Convention for the Regulation of Whaling 1946

16 tempat untuk pertimbangan pemberian izin kepada negara negara untuk melakukan penelitian terhadap paus yang melibatkan terjadinya perburuan paus. 74 Di dalam pasal pertama disebutkan bahwa ICRW berlaku terhadap kapal pabrik, stasiun darat dan kapal pemburu paus dimana kewenangan konvensi ini berlaku terhadap seluruh negara peserta dan juga segala wilayah perairan yang melarang perburuan paus oleh kapal pabrik, stasiun darat dan pemburu paus. 75 ICRW juga menjelaskan bahwa yang dikategorikan sebagai Whale Catcher, penangkap paus,ialah kapal yang digunakan dengan tujuan untuk memburu, mengambil, menarik, meletakkan, ataupun memata-matai paus. Negara yang termasuk ke dalam negara yang turut serta menurut konvensi ini ialah negara yang telah meratifikasi ataupun telah memberikan persetujuan untuk konvensi ini. 76 Pada tahun 1950, IWC membuat suatu komite di dalamnya yang mengurus segala hal yang berkaitan dengan penelitian. Komite ini diberi nama Scientific committee yang terdiri dari para ilmuan yang direkomendari oleh negara anggota. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi ilmuan dan ahli lainnya yang bukan rekomendasi negara untuk ikut terlibat di dalamnya selama pertemuan tersebut yang tidak menggunakan voting. Badan penelitian ini, membantu IWC di dalam melaksanakan tugasnya yang berkaitan dengan studi dan penelitian mengenai paus dan perburuannya. Badan ini menganalisa informasi yang disediakan negara anggota yang merupakan kewajibannya untuk memberikan seluruh infromasi penting yang berkaitan dengan paus dan perburuannya. 78 ICRW, melalui badan penelitian IWC, dapat diamandemen dari waktu ke waktu sesuai dengan agenda dengan mengadopsi peraturan konservasi dan penggunaan International Convention for the Regulation of Whaling, te-2, diakses pada 20 Juni 2014 pukul WIB. 75 ICRW 1946, pasal 1 ayat (1) & (2). 76 ICRW 1946, pasal 2 ayat (3) & (4). 77 ICRW 1946, pasal ICRW 1946, pasal 8 ayat (3).

17 sumber daya paus, seperti mengamandemen peraturan tentang paus yang sudah dilindungi dan yang belum dilindungi, musim pembukaan dan penutupan, perairan terbuka dan tertutup, termasuk peruntukan daerah cagar perlindungan paus, ukuran maksimal untuk setiap jenis paus. Waktu, metode dan jumlah perburuan paus (termasuk jumlah perburuan paus maksimal disetiap musimnya); Jenis dan spesifikasi dari perlengkapan dan peralatan yang boleh digunakan; Metode pengukuran, penangkapan kembali serta data statistik dan biologis juga di atur di dalam ICRW. 79 Peraturan ICRW tidak serta merta melarang seluruh perburuan paus tanpa memikirkan dampak yang terjadi dimasyarakat. Pada masyarakat tertentu, paus masih memiliki hubungan yang erat dengan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan hidup mereka. Oleh karena itu, peraturan yang ada dan diamandemen masih terus memperhatikan perkembangan masyarakat international secara konsisten serta industri komersial paus. Amandemen yang direncanakan ke dalam ICRW kedepannya, haruslah benar benar diperlukan untuk melaksanakan tujuan dari konvensi ini seperti menyediakan konservasi, pengembangan dan penggunaan maksimal dari sumber daya paus. Amandemen juga didasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan tidak terikat pada pembatasan jumlah ataupun kewarganegaraan kapal dan tetap akan mempertimbangkan kepentingan konsumen produk paus serta badan usaha yang berkaitan dengan paus ICRW 1946, pasal 5 ayat (1). ICRW 1946, pasal 5 ayat (2).

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN Prasayarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL I. PENDIRIAN Prasyarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas menguntungkan dan tidak melanggar

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Internasional Sebagai salah satu sumber hukum Internasional, perjanjian Internasional telah dan nampaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1. Aspek-aspek Perjanjian Internasional 2.1.1. Istilah-Istilah Perjanjian Internasional Mengenai peristilahan dari perjanjian internasional, jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.14/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERJANJIAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Perjanjian Internasional Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional selanjutnya disingkat UUPI merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 Undang-

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara. 1 Dengan merujuk pada

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara. 1 Dengan merujuk pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut J.G. Starke, hukum internasional adalah suatu sistem yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara. 1 Dengan merujuk pada praktik internasional yang berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL a. Pengertian Sumber Hukum Internasional Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL OLEH : GRIZELDA (13/354131/PHK/7794) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perwujudan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2015 S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH Nama Mata

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA Disusun oleh : Robinson Smarlat Muni NPM : 07 05 09786 Program Studi

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi.

Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi. IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2000 DALAM PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (The Implementation of UU No. 24/2000 in the Making and Ratification of International Treaties) Oleh: Malahayati,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 Negara-negara Pihak pada Protokol ini, Menimbang bahwa untuk lebih jauh mencapai tujuan Kovenan Internasional tentang

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL (SOURCES OF INTERNATIONAL LAW) H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL (SOURCES OF INTERNATIONAL LAW) H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL (SOURCES OF INTERNATIONAL LAW) H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Brierly, 1962: law exists only in a society and a society cannot exist without a system of law to regulate the relations

Lebih terperinci

BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional hak-hak asasi manusia;

BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional hak-hak asasi manusia; BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA A. Tujuan Instruksional Umum Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat: 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003

K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003 K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003 1 K-185 Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 2003 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur

Lebih terperinci

KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA

KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA Kongres Organisasi Ketenagakerjaan Internasional. Setelah diundang ke Jenewa oleh Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan Internasional,

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177)

K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) 1 K177 - Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DAN ASAS PACTA TERTIIS NEC NOCENT NEC PROSUNT TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA CELAH TIMOR ANTARA INDONESIA, AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE Oleh : Stephanie Maarty K Satyarini

Lebih terperinci

KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA

KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA 1 KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA Ditetapkan oleh Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional, di Jenewa, pada tanggal 1 Juli 1949 [1] Konferensi

Lebih terperinci

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA 1 K 105 - Penghapusan Kerja Paksa 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL

BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oppenheim: International treaties are conventions, or contracts, between two or more statets concerning various matters of interest

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian 1. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

STANDARDISASI DAN KEGIATAN YANG TERKAIT ISTILAH UMUM

STANDARDISASI DAN KEGIATAN YANG TERKAIT ISTILAH UMUM 2012, No.518 4 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR : 5 TAHUN 2012 TANGGAL : 1 Mei 2012 STANDARDISASI DAN KEGIATAN YANG TERKAIT ISTILAH UMUM Ruang lingkup Pedoman ini menetapkan

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

Pengertian dan Penggolongan Organisasi Administrasi Internasional

Pengertian dan Penggolongan Organisasi Administrasi Internasional Pengertian dan Penggolongan Organisasi Administrasi Internasional Oleh: Marita Ahdiyana marita_ahdiyana@uny.ac.id WHY? Mengapa organisasi internasional dibutuhkan? What? Achievement apa yang ingin diwujudkan?

Lebih terperinci

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 2 K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN DAN PENGGOLONGAN ORGANISASI INTERNASIONAL 1

BAB I PENGERTIAN DAN PENGGOLONGAN ORGANISASI INTERNASIONAL 1 BAB I PENGERTIAN DAN PENGGOLONGAN ORGANISASI INTERNASIONAL 1 A. Pendahuluan Organisasi Internasional adalah kolektivitas dari entitas-entitas yang independen, kerjasama yang terorganisasi (organized cooperation)

Lebih terperinci

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG

Lebih terperinci

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI 1 K 87 - Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 2 K-183 Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN SINGAPURA DI BIDANG PERTAHANAN KEAMANAN SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian Sebelum membahas permasalahan lebih lanjut, perlu dikaji terlebih dahulu mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini. 1. Pengertian

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci