Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi."

Transkripsi

1 IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2000 DALAM PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (The Implementation of UU No. 24/2000 in the Making and Ratification of International Treaties) Oleh: Malahayati, S.H. Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi. Abstract The result of this study shows that the implementation of UU No. 24/2000 about International Treaty is not consistent with the rule of treaty making practice and treaty making powers. Therefore, It should be more consistent with the rules of UU No. 24/2000 and the government should prepare the JUKLAK (technical guidance) for the implementation of UU No. 24/2000 about International Treaty. A. Latar Belakang Permasalahan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang anti penjajahan dan bertekad untuk menghapuskannya serta turut aktif berpartisipasi dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk itulah Bangsa Indonesia menggunakan landasan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyai, Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Untuk mencapai tujuan di atas, pemerintah telah menentukan kebijakan yang hendak ditempuh dan diperjuangkan. Tujuan yang ingin dicapai, cara pendekatan dan pelaksanaannya dirumuskan dalam berbagai kebijaksanaan dan dilakukan melalui diplomasi perjuangan diantaranya dengan mengadakan kerjasama dengan negara lain, atau melalui perjanjian internasional.

2 Kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional yang akan dijadikan acuan dalam melaksanakan diplomasi dan perjanjian kerjasama dengan negara lain, atau subjek hukum internasional lainnya. Perjanjian internasional merupakan instrumen yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan diplomasi bangsa dengan negara lain. Globalisasi telah menjadikan seluruh bangsa di dunia mau tidak mau harus melakukan kerjasama dengan negara lain. Perjanjian ini merupakan rujukan terhadap Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional yang dibuat antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi internasional dengan organisasi internasional. Walaupun Konvensi ini belum berlaku, namun hampir semua bangsa merujuk kepada ketentuan di dalam konvensi tersebut. Konvensi ini hanya mengatur mengenai prosedur membuat, menjalankan dan mengakhiri suatu perjanjian internasional. Untuk isi suatu perjanjian internasional diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang melakukan perjanjian Indonesia walaupun belum menjadi pihak dalam konvensi tersebut, namun dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, maka Indonesia telah ikut merujuk isi dari konvensi tersebut. Perbedaanya adalah, pada konvensi mengatur mengenai prosedur antara para pihak dalam perjanjian, sedangkan dalam undang-undang perjanjian internasional mengatur prosedur yang harus dilakukan oleh instansi terkait di Indonesia dalam membuat perjanjian internasional. Dari Pasal 11 UUD 1945 dan Undang-undang No. 24 tahun 2000 tersebut, jelas disebutkan bahwa pemegang wewenang dalam membuat perjanjian di Indonesia

3 adalah Presiden, yang kemudian memberikan wewenangnya kepada Menteri Luar Negeri. Setelah suatu perjanjian internasional dibuat, maka akan diperlukan suatu pengesahan yang dilakukan melalui undang-undang ataupun keputusan presiden. Hal ini diatur dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 24 tahun Pasal 10 menyebutkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara. Hal mengenai perubahan wilayah, penetapan batas wilayah, kedaulatan negara, hak asasi manusia, lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman atau hibah luar negeri juga membutuhkan pengesahan melalui undang-undang. Selain hal yang disebutkan di atas, dalam Pasal 11 ditentukan bahwa perjanjian internasional tersebut akan disahkan melalui keputusan presiden. Materi dari perjanjian tersebut bersifat prosedural, dan penerapannya dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis perjanjian yang termasuk di sini adalah perjanjian induk menyangkut kerjasama di bidang iptek, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, dan penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis (Mochtar, 2003: 120). Walupun telah diatur dalam Pasal 10 dan 11 tersebut, dalam implementasinya sering terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat dari instansi terkait yang pada umumnya didasarkan pada kepentingan masing-masing. Berdasarkan uraian di atas, sehubungan dengan implementasi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000 tentang

4 Perjanjian Internasional, maka yang dirasakan perlu untuk dibahas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses pembuatan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000? 2. Bagaimana proses ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000? 3. Kendala apa saja yang dihadapi dalam mengimplementasikan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000? B. Ruang Lingkup dan Tujuan Penulisan Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dibahas di atas, maka ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas mengenai prosedur pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional berdasarkan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. yaitu: Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menjawab beberapa pertanyaan 4. Untuk mengetahui proses pembuatan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000; 5. Untuk mengetahui proses ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000; 6. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan pengesahan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000.

5 C. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan ini, digunakan cara atau metode Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan mengumpulkan data-data dari surat kabar, majalah, bulletin, hasil penelitian maupun makalahmakalah pada seminar oleh para ahli yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Selain itu data juga didapat dari naskah-naskah perjanjian maupun perundang-undangan dan melalui informasi website tertentu. Data kemudian dianalisa dengan seksama dan diinterpretasikan secara sistematis. Dalam menganalisa data yang diperoleh, penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu menguraikan data secara teoritis terlebih dahulu, kemudian diinterpretasikan sesuai dengan teori yang ada yang berkenaan dengan masalah yang diteliti, sehingga kemudian diperoleh suatu kesimpulan yang nantinya akan dapat menjawab permasalahan yang timbul sebelumnya. D. Perjanjian Internasional 1. Pengertian Perjanjian Internasional Menurut Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969, Perjanjian Internasional didefinisikan sebagai : An international agreement concluded between states in written form and govern by intenational law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. (Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih

6 instrumen yang berkaitan dan apapun yang diberikan padanya, terjemahan bebas dari penulis) Defenisi ini kemudian dikembangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu : Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Indonesia yang bersifat hukum publik. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur menurut hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan atau hubungan yang mempunyai akibat-akibat hukum. Ada baiknya kita uraikan unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian internasional. Ada dua unsur yang terdapat dalam pengertian perjanjian internasional menurut Konvensi Wina dan Undang-undang Perjanjian Internasiona, yaitu unsur adanya para pihak sebagai subjek hukum internasional dan unsure yang kedua adalah adanya pengaturan dari hukum internasional.

7 Unsur yang pertama adalah adanya subjek hukum internasional, yang terdiri dari negara-negara, organisasi internasional, ataupun gerakan-gerakan pembebasan nasional, serta subjek hukum internasional lainnya. Artinya, setiap perjanjian internasional dibatasi dalam pengertian bahwa para pihak dalam perjanjian tersebut adalah subjek hukum internasional, termasuk di dalamnya perjanjian antara negaranegara, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, dan perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Selain itu bisa juga dikategorikan ke dalam perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara-negara dengan Tahta Suci, Palang Merah Internasional, dan dengan Gerakan Pembebasan Nasional, misalnya PLO. Sebaliknya, suatu perjanjian tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional menurut Konvensi Wina dan Undang-undang Perjanjian Internasional Republik Indonesia di atas, terhadap perjanjian yang dibuat antara satu negara dengan orang perorangan atau antara satu negara sengan suatu badan hukum, misalnya perusahaan minyak dari Amerika Serikat dengan Pemerintah Indonesia. Kontrak antara suatu negara dengan maskapai minyak bukan perjanjian internasional karena diatur oleh hukum nasional negara yang bersangkutan dan dapat diatur melalui hukum perdata, bukan hukum publik (Mochtar, 2003: 118). Dalam perkembangannya, ada perbedaan antara ketentuan dalam Konvensi Wina dengan ketentuan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perjanjian Internasional mengenai para pihak dalam perjanjian internasional. Konvensi Wina mengatur khusus perjanjian internasional yang para pihaknya adalah negara, sedangkan untuk perjanjian internasional antar organisasi internasional atau antara

8 organisasi internasional dengan subjek hukum internasional lainnya, akan diatur dalam ketentuan tersendiri. Sedangkan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perjanjian Internasional mengatur seluruh perjanjian yang melibatkan subjek hukum internasional, baik negara, organisasi internasional maupun subjek hukum internasional lainnya (Mauna, 2003: 85). Jadi konsep Undang-undang Perjanjian Internasional lebih luas dibandingkan dengan pengaturan dalam Konvensi Wina Unsur yang kedua, adanya pengaturan oleh hukum internasional. Artinya suatu perjanjian dikategorikan sebagai perjanjian internasional apabila ketentuan mengenai perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang diatur menurut hukum nasional, tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional menurut Konvensi dan Undang-undang tersebut di atas. Contohnya adalah perjanjian pembelian tanah, pembangunan gedung, atau transaksi lainnya yang menggunakan hukum nasional setempat, tidak dapat dimasukkan sebagai perjanjian internasional. Demikian juga dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat antara perusahaanperusahaan swasta tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, karena mereka bukan subjek hukum internasional (Mauna, 2003: 86). 2. Nama dan Istilah Perjanjian Internasional Ada beberapa nama dan istilah yang digunakan dalam menyebutkan suatu perjanjian internasional. Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional atau antara Organisasi-organisasi Internasional tidak memberikan pembedaan terhadap berbagai bentuk perjanjian internasional. Pada umumnya bentuk

9 dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politik dan hukum bagi para pihak tersebut. Adapun nama atau istilah perjanjian internasional yang sering dipraktekkan di Indonesia adalah sebagai berikut (Deplu, 2004: 2): a. Traktat (Treaty) Bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh, yang umumnya bersifat multilateral. b. Konvensi (Convention) Suatu perjanjian penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat Law Making Treaty dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional. c. Persetujuan (Agreement) Suatu bentuk perjanjian internasional yang isinya tidak termasuk materi seperti yang dikategorikan dalam treaty atau convention. Umumnya bersifat bilateral. d. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) Bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat khas. Dalam prakteknya, kerjasama melalui MoU lebih disukai karena dianggap sederhana dan dapat dibuat sebagai persetujuan induk atau sebagai pelaksanaan

10 perjanjian yang mengatur hal-hal teknis. Karena dianggap sederhana maka umumnya MoU tidak perlu diratifikasi. e. Pengaturan (Arrangement) Bentuk perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari suatu perjanjian internasional yang telah ada, atau sering disebut implementing arrangement. f. Agreed Minutes/Summary Records/Records of Discussion Suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan tentang hasil akhir atau hasil sementara dari suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak dipakai untuk merekam pembicaraan pada acara-acara kunjungan resmi atau tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan sementara sebagai bagian dari rangkaian putaran perundingan mengenai suatu masalah. g. Pertukaran Nota Politik (Exchange of Notes) Instrumen diplomatik yang berisi pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi Pemerintah masing-masing yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu. Exchange of Note dapat berupa sekedar pelaksanaan tindak lanjut dari suatu persetujuan yang telah dicapai; konfirmasi dari kesepakatan lisan yang telah dicapai sebelumnya; kesepakatan tentang perbaikan dari suatu perjanjian yang telah berlaku; atau suatu perjanjian yang ditandatangani di tempat yang berbeda dan dalam waktu yang tidak sama. Atau istilah lain seperti Joint Statement, Modus Vivendi, Protocol, Charter, Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side Letter, Reciprocal Agreement, Letter of Intent, Aide Memoire, atau Demarche. 3. Jenis-jenis Perjanjian Internasional Ada beberapa jenis perjanjian internasional yang biasa dilaksanakan oleh negara-negara. Penggolongan yang pertama adalah perbedaan perjanjian internasional dalam dua bagian, yaitu perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian

11 bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, sedangkan perjanjian multilateral adalah perjanjian dengan banyak para pihak. Penggolongan yang kedua adalah penggolongan perjanjian dalam treaty contract dan law making treaties (Mochtar, 2003: 119). Treaty contract maksudnya adalah perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Contohnya adalah perjanjian mengenai batas wilayah teritorial, perjanjian kewarganegaraan, dan perjanjian perdagangan. Sedangkan yang dimaksud dengan law making treaties adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Contohnya adalah Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik dan Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang. Perbedaan antara kedua bentuk di atas adalah terletak pada pihak yang tidak turut serta dalam perundingan yang melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian treaty contract, sedangkan dalam law making treaties selalu terbuka bagi pihak yang tidak ikut serta dalam perjanjian untuk menjadi salah satu pihak perjanjian tersebut. E. Pembuatan Perjanjian Internasional 1. Dasar Hukum Pembuatan Perjanjian Internasional Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Kemudian dikeluarkan Surat Presiden Republik

12 Indonesia Nomor 2826/HK/60, pada tanggal 22 Agustus 1960 tentang pembuatan perjanjian dengan negara lain, sebagai bentuk penjelasan Pasal 11 Undang-undang Dasar Selanjutnya untuk melaksanakan operasional Pasal 11 tersebut, maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang juga merupakan pelaksana ketentuan-ketentuan Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dari ketentuan-ketentuan di atas, disebutkan bahwa yang menjadi pemegang kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional adalah Presiden, yang dibantu oleh Menteri Luar Negeri. Dalam berhubungan dengan pihak luar negeri untuk membuat perjanjian, Indonesia berpedoman kepada Konvensi Wina 1969, yang menentukan bahwa yang dapat mewakili negara dalam pembuatan perjanjian internasional adalah: - Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan; - Menteri Luar Negeri; - Kepala Perwakilan atau Misi diplomati; - Pejabat Pemerintah yang diberi kuasa oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri. Dalam melaksanakan wewenang untuk membuat perjanjian internasional tersebut, Presiden akan dibantu oleh Menteri Luar Negeri, melalui Direktorat Perjanjian Politik dan Keamanan Wilayah, dan Direktorat Perjanjian Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kedua direktorat ini bertugas untuk menyiapkan naskah perjanjian dan juga merundingkan dengan pihak-pihak lain dalam perjanjian tersebut (Deplu, 2004: 5). 2. Proses Pembuatan Perjanjian

13 Pasal 4 Undang-undang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa dalam membuat suatu perjanjian internasional, Pemerintah Indonesia harus berdasarkan kepada kesepakatan diantara para pihak, serta perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, ataupun subjek hukum internasional lainnya. Dalam membuat perjanjian internasional, Pemerintah juga harus berpedoman kepada kepentingan nasional dan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, memperhatikan hukum yang berlaku, dan tidak bertentangan dengan politik luar negeri Republik Indonesia, yaitu Politik Bebas Aktif. Secara umum, mekanisme pembuatan perjanjian internasional didasarkan juga pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Perjanjian Internasional, yang menentukan agara lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen ataupun non departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang memiliki rencana untuk mambuat perjanjian internasional, harus melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri Luar Negeri. Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis perjanjian, baik bilateral maupun multilateral. Mekanisme konsultasi dan koordinasi dilakukan melalui rapat interdepartemen antara lembaga dengan departemen luar negeri untuk meminta pendapat mengenai rencana pembuatan, perundingan, hingga pengesahan perjanjian internasional tersebut. (Deplu, 2004: 5) Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan. Tahap-tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

14 - Tahap Penjajakan; Pada tahap ini, para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional. Penjajakan ini dapat dilakukan melalu inisiatif instansi atau lembaga pemerintahan di Indonesia atau bisa juga melalui inisiatif dari pihak asing yang ingin mengadakan perjanjian dengan pihak Indonesia. - Tahap Perundingan; Tahap perundingan adalah suatu upaya yang ditempuh oleh para pihak yang membuat perjanjian internasional untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum disepakati dalam tahap penjajakan. Tahap ini juga merupakan tahap pemaparan konsep-konsep yang akan ditawarkan dalam perjanjian tersebut. Perundingan dalam suatu konferensi internasional umumnya dilakukan oleh utusan-utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri. Namun, untuk perundinga-perundingan bidang tertentu akan langsung ditangani oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri. Untuk utusan suatu negara dalam konferensi internasional biasanya akan dilengkapi dengan surat kuasa (full powers). Full powers ini adalah surat kuasa yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang diwakilkannya dalam berunding, menerima atau membuktikan keaslian naskah suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lain yang berhubungan dengan perjanjian tersebut. Hingga saat ini, pembuatan perjanjian di Indonesia berpedoman pada Surat Presiden No yang akhirnya menimbulkan banyak penyimpangan-penyimpangan, terutama dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. - Tahap Perumusan Naskah; Pada tahap ini dirumuskan suatu hasil kesepakatan dalam perundinganperundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional, yang dilakukan dengan pemarafan terhadap naskah tersebut. Pada tahap ini disusun Agreed Minutes, Minutes of Meeting, Records of Discussion atau Summary Records yang berisi hal-hal yang telah disepakati, hal-hal yang belum disepakati, dan perundingan-perundingan berikutnya yang akan dilakukan. - Tahap Penerimaan; Kesepakatan terhadap suatu naskah awal hasil perundingan dalam perjanjian bilateral dapat dianggap sebagai suatu bentuk penerimaan. Hal ini ditandai dengan pemarafan oleh masing-masing delegasi pada naskah perjanjian. Sedangkan dalam perundingan multilateral, tindakan penerimaan suatu perjanjian biasanya berupa pengesahan oleh negara pihak perjanjian. - Tahap Penandatanganan; Ini merupakan tahap terakhir dalam suatu prosedur perundingan perjanjian. Namun penandatanganan tidak selalu merupakan pemberlakuan

15 perjanjian internasional, karena ada juga perjanjian yang akan berlaku bila sudah diratifikasi. F. Pengesahan Perjanjian Internasional 1. Proses Pengesahan Penandatangan suatu perjanjian internasional belum berarti menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya. Bagi perjanjian yang belum berlaku dengan ditandatanganinya naskah, maka perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan ini dinamakan ratifikasi. Pembedaan antara tanda tangan dan ratifikasi memiliki anti penting, yang dianggap perlu untuk memungkinkan pejabat negara yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian untuk meneliti kembali apakah para utusan yang ditugaskan untuk berunding tidak keluar dari instruksi. Pasal 14 Konvensi Wina menyebutkan bahwa persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyakan dalam bentuk ratifikasi apabila: - Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi; - Terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi; - Utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasinya kemudian; - Kuasa penuh delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan kemudian. 2. Bentuk-bentuk Pengesahan Pada perjanjian multilateral, ada beberapa bentuk pengesahan, seperti prosedur akseptasi, aksesi, dan persyaratan (reservation). Namun demikian, semua

16 bentuk atau prosedur ini tergantung kepada sistem konstitusional negara masingmasing (Mauna, 2003: 120). Di Indonesia istilah yang sering dipakai untuk pengesahan adalah ratifikasi. Bentuk akseptasi menurut Konvensi Wina merupakan istilah yang mempunyai bentuk pengesahaan dengan syarat-syarat yang sama seperti yang berlaku terhadap ratifikasi. Bentuk aksesi adalah suatu perbuatan perbuatan hukum dimana suatu negara yang bukan merupakan peserta asli perjanjian multilateral, menyatakan menyetujui untuk terikat dengan perjanjian tersebut. Persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dapat dinyatakan dengan aksesi apabila perjanjian itu sendiri secara jelas menyatakan hal tersebut, atau terbukti negara-negara yang ikut berunding menginginkan demikian. Bentuk pensyaratan atau reservation adalah suatu sistem dimana suatu negara yang merupakan pihak pada perjanjian dapat menyatakan pensyaratan terhadap pasalpasal tertentu. Jadi kalau pensyaratan tersebut diterima, maka negara tersebut dapat menolak untuk melaksanakan pasal-pasal tertentu tersebut. Mahkamah Internasional dalam pendapatnya yang dikeluarkan tanggal 28 Mei 1951 mengakui praktek pensyaratan dengan pembatasan yaitu tidak boleh bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian, serta negara yang menyatakan keberatan terhadap pensyaratan yang diajukan dapat menganggap dirinya tidak terikat dalam perjanjian dengan negara tersebut (Mauna, 2003: 122). G. Implemetasi UU No. 24 Tahun 2000 dalam Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional 1. Implementasi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

17 Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional, membuat perjanjianperjanjian, baik dengan negara lain ataupun organisasi internasional, bahkan subjek hukum internasional lainnya. Ditinjau dari segi materi, perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Indonesia meliputi hampir semua bidang, baik politik, ekonomi, hukum, keuangan, perdagangan maupun budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, sampai tahun 2000 Indonesia telah membuat dan menjadi pihak pada sekitar 2000 perjanjian bilateral dan 100 perjanjian multilateral (Keterangan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di depan DPR atas Rancangan Undang-undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Jakarta 22 Mei 2000). Kegiatan dan keikutsertaan Indonesia dirumuskan dalam berbagai instrumen hukum. Dalam pembuatan perjanjian (treaty making practice) dibedakan antara perjanjian-perjanjian yang sangat penting yang biasanya disebut traktat dan konvensi, sedangkan untuk perjanjian yang biasa atau berupa aturan pelaksana, biasanya disebut persetujuan atau agreement. Menurut Surat Presiden R.I. No tahun 1960, hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan Presiden. Contoh perjanjian dalam pengertian di atas adalah perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah, kerjasama ekonomi, dan kerjasama pinjaman. Sedangkan perjanjian-perjanjian dengan materi lain, biasanya dilakukan dalam bentuk persetujuan hanya disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden (Deplu, 2003: 8).

18 Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Surat Presiden 2826 tersebut, ada perjanjian yang disahkan oleh Presiden setelah disetujui DPR dengan Undang-undang, dan ada juga persetujuan yang disahkan sendiri oleh Presiden dengan Keputusan Presiden. Untuk persetujuan yang disahkan melalui Keppres, DPR hanya diberitahukan saja, tanpa perlu memberikan persetujuannya. Mengenai prosedur pengesahan perjanjian internasional di Indonesia menurut Undang-undang Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000, ada dua jenis pengesahan perjanjian internasional. Pengesahan yang pertama dilakukan dengan undang-undang, dan pengesahan yang kedua dilakukan dengan keputusan presiden (Pasal 10 UU RI No. 24/2000). Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: - masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; - perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; - Kedaulatan dan hak berdaulat negara; - Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; - Pembentukan kaidah hukum baru; - Pinjaman atau hibah luar negeri. Sedangkan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui keputusan presiden apabila materi perjanjian tidak termasuk di dalam materi yang disebutkan di atas. Contohnya perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, dan penghindaran pajak berganda (Deplu, 2004: 8).

19 2. Kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Walaupun telah diatur dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 24 Tahun 2000 tentang pengesahan melalui Keppres dan Undang-undang, dalam implementasinya masih sering terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat dari instansi terkait yang pada umumnya didasarkan pada kepentingan masing-masing. Menurut hasil penelitian dan pengamatan, pada umumnya masalah-masalah yang berhubungan dengan politik, hukum dan ekstradisi dibuat dalam bentuk perjanjian, sedangkan soal-soal yang menyangkut bidang kerjasama ekonomi, keuangan, pinjaman dan kerjasama teknik yang seharusnya juga dibuat dalam bentuk perjanjian, yang pengesahannya harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR dalam bentuk undang-undang, ternyata hanya dibuat dalam bentuk persetujuan saja dan disahkan melalui keppres tanpa persetujuan DPR. Padahal ini merupakan materi yang fundamental dalam hubungan kenegaraan. Bahkan bidang-bidang kerjasama ekonomi, keuangan, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan itulah yang paling banyak dibuat oleh Indonesia dalam bentuk persetujuan. Selain perjanjian-perjanjian resmi di atas, ada juga perjanjian tidak resmi yang jumlahnya sangat banyak yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Menurut pengamatan Direktorat Perjanjian Internasional hingga Desember 2000, tidak kurang dari 1800 perjanjian tidak resmi yang telah dibuat, misalnya memorandum, pengaturan dan pertukaran nota, yang berlaku langsung setelah penandatanganan (Laporan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di depan DPR atas Rancangan

20 Undang-undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Jakarta 22 Mei 2000). Tetapi sebaliknya, tidak ada satupun ketentuan hukum yang mengatur pembuatan dan pengesahan perjanjian tidak resmi tersebut. Tidak adanya ketentuan ketentuan yang mengatur hal tersebut, telah menyebabkan diberlakukannya prosedur pengesahan terhadap persetujuan-persetujuan sederhana yang seharusnya cukup diberlakukan secara langsung setelah ditandatangani. Terjadilah tumpah tindih pengaturan dan salah kaprah dalam mengartikan suatu materi perjanjian, sehingga banyak terjadi kesalahpahaman dalam membuat dan memakai istilah terhadap perjanjian yang dibuat. Untuk lebih jelasnya, ada baiknya dilihat kasus yang terjadi dalam hal pengesahan perjanjian yang materinya adalah mengenai soal-soal politik atau yang mempengaruhi haluan politik luar negeri Indonesia, dimana seharusnya dibuat dalam bentuk perjanjian, dan disahkan oleh undang-undang. Permasalahan yang muncul adalah mengenai penentuan tapal batas landas kontinen. Apakah penentuan tapal batas kontinen dapat dirumuskan dalam perjanjian atau cukup dalam bentuk persetujuan; atau penentuan tapal batas landas kontinen sama dengan penentuan tapal batas laut teritorial. Dalam prakteknya, sampai sekarang penentuan tapal batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga hanya dibuat dalam bentuk persetujuan dan bukan perjanjian. Artinya, hanya disahkan melalui Keputusan Presiden, dan tidak memerlukan pengesahan dari DPR. Misalnya untuk Persetujuan antara Indonesia- Malaysia mengenai Penentuan Batas Landas Kontinen yang disahkan melalui

21 Keppres No. 89 tahun 1969, Lembaran Negara No. 54/1969, tanggal 5 Nopember Contoh lain adalah Persetujuan antara Indonesia-Thailand tentang Penentuan Batas Landas Kontinen, yang disahkan dengan Keppres No. 21 tahun 1972, Lembaran Negara No. 16/1872 tanggal 11 Maret Kemudian ada Persetujuan Indonesia-Australia tentang Penentuan Batas-batas Dasar Laut tertentu, yang disahkan melalui Keppres No. 42 tahun 1971, dalam Lembaran Negara No. 43/1971 tanggal 1 Juli Kalau dilihat dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa semua perjanjian mengenai landas kontinen hanya dibuat dalam bentuk persetujuan, yang disahkan melalui Keputusan Presiden. Artinya Pemerintah menganggap bahwa perjanjian mengenai landas kontinen tidak termasuk kedalam kategori perjanjian yang penting, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 UU No. 24 tahun Padahal di dalam Pasal 10 tersebut, sudah ditetapkan bahwa perjanjian internasional harus disahkan melalui undang-undang apabila menyangkut masalah perubahan wilayah, penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, atau kedaulatan atau hak berdaulat negara. Penerapan yang kurang tepat juga terjadi dalam perjanjian internasional yang materinya mengenai kerjasama ekonomi dan teknik atau pinjaman luar negeri. Dalam pelaksanaannya, banyak perjanjian dengan materi tersebut dibuat dalam bentuk persetujuan dan bukan dalam bentuk perjanjian. Namun di dalam pengesahannya, ada yang disahkan dengan undang-undang, ada pula yang disahkan hanya dengan Keputusan Presiden. Di sini telah terjadi kesimpangsiuran pengaturan, karena untuk

22 materi perjanjian internasional yang sama telah terjadi dua bentuk pengesahan yang berbeda. Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik yang disahkan dengan undangundang, misalnya Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Negara Pertamina dengan perusahaan-perusahaan minyak PT. Caltex Indonesia, PT. Stanvac Indonesia dan PT. Shell Indonesia. Semua perjanjian ini disahkan dengan Undang-undang No. 1 tahun Di sini dapat kita lihat bahwa perjanjian di atas dikategorikan kepada perjanjian internasional, yang dibuat dan disahkan melalui undang-undang. Hal ini sama sekali tidak tepat karena perusahaan-perusahaan tersebut bukanlah subjek hukum internasional, artinya perjanjian tersebut tidak dapat dibuat berdasarkan ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2000, ataupun disahkan melalui undang-undang. Seharusnya perjanjian-perjanjian tersebut cukup dilaksanakan dan mengikat para pihak secara langsung setelah penandatanganan perjanjian. Tidak lagi diperlukan pengesahan baik melalui Keppres, apalagi undang-undang. Di samping itu, hal-hal yang mengatur bantuan keuangan, baik pinjaman atau hibah (loan agreement) pada umumnya dibuat dalam bentuk persetujuan dan bukan dalam bentuk perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 24 tahun Karena hanya dibuat dalam bentuk persetujuan, maka pengesahannya cukup dilakukan melalui Keppres saja. Namun pada prakteknya, tidak semua persetujuanpersetujuan mengenai pinjaman uang tersebut disahkan melalui Keppres, malah ada yang disahkan melalui undang-undang. Bahkan yang lebih parah lagi, ada yang langsung diberlakukan tanpa melakukan pengesahan terlebih dahulu.

23 Contoh persetujuan yang disahkan melalui Keppres adalah Loan Agreement antara Republik Indonesia dengan Abu Dhabi, yang disahkan melalui Keppres No. 34 tahun 1877, Lembaran Negara No. 42/1977 tanggal 25 Juni 1977 dan Loan Agreement antara Republik Indonesia dengan Kuwait yang disahkan melalui Keppres No. 33 tahun 1977, Lembaran Negara No. 41/1977, tanggal 25 Juni Sedangkan persetujuan yang disahkan melalui undang-undang adalah Persetujuan antara Republik Indonesia dengan Bbelanda tentang Soal-soal Keuangan, yang disahkan dengan UU No. 7 tahun 1966, Lembaran Negara No. 34/1966 tanggal 8 Nopember Disamping itu tidak kurang dari 170 persetujuan bantuan keuangan dan kredit lainnya yang dibuat Indonesia dengan berbagai negara dari tahun 1960 sampai tahun 1978 yang tidak disahkan melalui Keppres maupun Undang-undang, melainkan diberlakukan secara langsung setelah penandatanganan persetujuan tersebut. Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelaslah bahwa pelaksanaan perjanjianperjanjian dibidang kerjasama ekonomi dan teknik dan juga di bidang pinjaman keuangan mengalami kesimpangsiuran karena ada yang dibuat dalam bentuk perjanjian tetapi pengesahannya hanya dengan Keputusan Presiden saja; banyak yang dibuat dalam bentuk persetujuan yang pengesahannya ada yang melalui Keputusan Presiden, ada juga yang melalui Undang-undang; bahkan ada yang dibuat dengan bentuk persetujuan yang tidak membutuhkan pengesahan, yang berlaku secara lagnsung setelah penandatanganan persetujuan tersebut.

24 H. Kesimpulan Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur menurut hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik, yang dilakukan oleh subjek hukum internasional. Dalam membuat suatu perjanjian internasional, Pemerintah Indonesia harus berdasarkan kepada kesepakatan diantara para pihak, serta perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, ataupun subjek hukum internasional lainnya. Perjanjian dibuat melalui lima tahap yaitu penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan. Mengenai prosedur pengesahan perjanjian internasional di Indonesia menurut Undang-undang Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000, ada dua jenis pengesahan perjanjian internasional. Pengesahan yang pertama dilakukan dengan undang-undang, dan pengesahan yang kedua dilakukan dengan keputusan presiden. Perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang biasanya disebut perjanjian (Treaty), sedangkan yang disahkan melalui Keputusan Presiden biasanya disebut Persetujuan (Agreement). Walaupun telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang pembuatan dan pengesahan melalui Keppres dan Undang-undang, dalam implementasinya masih sering terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat dari instansi terkait yang pada umumnya didasarkan pada kepentingan masing-masing. Ada yang seharusnya disahkan melalui undang-undang, tapi prakteknya disahkan dengan Keppres saja,

25 sebaliknya ada yang seharusnya cukup disahkan melalui Keppres, malah disahkan melalui Undang-undang. Bahkan ada yang tidak disahkan sama sekali dan langsung berlaku setelah penandatanganan persetujuan dilakukan. Permasalahan terjadi disebabkan kurang jelasnya ketentuan yang mengatur tentang pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. I. Saran Dalam menghadapi permasalahan di atas, ada baiknya disarankan kepada Pemerintah untuk membentuk suatu Petunjuk Pelaksana yang jelas terhadap Undangundang No. 24 tahun 2000 yang akan dijadikan sebagai pedoman teknis dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, sehingga dapat dihindarkan terjadinya kesimpangsiuran dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. DAFTAR KEPUSTAKAAN A. BUKU Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Dasar-Dasar dan Pelaksanaannya, DEPLU, Jakarta, 1987 Elias, Problems Concerning the Validiti of Treaties, RCAD, Third Edition. Glennon, The Senate Role in Treaty Ratification, American Journal of International Law. Harvarth, The Validity of Executive Agreement. Irewati, Awani. 1996, Ekonomi Politik dari Kerjasama Ekonomi ASEAN Sepuluh, Analisis CSIS. Mauna, Boer. 2003, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung. Moctar, K. 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Alumni, Bandung.

26 B. TEKS/NASKAH PERUNDANG-UNDANGAN/MEDIA MASSA The UN Treaties Registration with Particular References to Agreement of International Bank, NILR, Naskah Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional. Naskah Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pernyataan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pada akhir tahun DEPLU. Keterangan Menteri Luar Negeri di Depan DPR atas Rancangan Undang-undang Tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Jakarta, 22 Mei DEPLU. Anonymous, Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional dalam Kerangka UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Direktorat Perjanjian Ekososbud DEPLU. Disampaikan dalam Simposium Pengembangan dan Pengajaran Hukum Internasional di Era Globalisasi. Tanggal Desember Framework Agreement On Enhancing ASEAN Economic Cooperation, Singapura, 28 Januari 1992.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Internasional Sebagai salah satu sumber hukum Internasional, perjanjian Internasional telah dan nampaknya

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.14/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERJANJIAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI

TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI I II TEORI DUALISME MENEMPATKAN H.I. SBG. SISTEM HUKUM DARI H.I TEORI MONISME TERPISAH AS, INGGRIS, AUSTRALIA MENEMPATKAN

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas negara dan cenderung pada terbentuknya suatu sistem global sehingga mendorong semakin

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1)

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1) Chapter Three Pembuatan Perjanjian Internasional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 11 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1780, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Perjanjian Internasional. Penyusunan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN Prasayarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 49 TAHUN 1997 (49/1997) TENTANG PENGESAHAN SPECIAL AGREEMENT FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH DAERAH SEBAGAI KEWENANGAN OTONOMI DAERAH

PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH DAERAH SEBAGAI KEWENANGAN OTONOMI DAERAH 36 PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH DAERAH SEBAGAI KEWENANGAN OTONOMI DAERAH Noer Indriati Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah Abstract Law number 32 year 2004 on Regional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 31/2000, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT ALJAZAIR MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK *49553 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

KEPPRES 64/1996, PENGESAHAN PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA

KEPPRES 64/1996, PENGESAHAN PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 64/1996, PENGESAHAN PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA *46640 Bentuk: KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPPRES) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI DAN RATIFIKASI. A. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai

BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI DAN RATIFIKASI. A. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI DAN RATIFIKASI A. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai Lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah salah satu lembaga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN NOTA KESEPAHAMAN (MOU) ANTARA KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK FEDERASI JERMAN MENGENAI

Lebih terperinci

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997)

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 6/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS DEMOKRATIK SRI LANKA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.103, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. MOU. RI-Brunei Darussalam. Pertahanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5152) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN NOTA KESEPAHAMAN (MOU) ANTARA KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK FEDERASI JERMAN MENGENAI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 78/2004, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *51771 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang : Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) Oleh : PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK EKUADOR MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK (AGREEMENT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 99, 2004 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 89 TAHUN 1998 (89/1998) TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK KROASIA MENGENAI KERJASAMA EKONOMI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 34 TAHUN 1994 (34/1994) TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.186, 2014 PENGESAHAN. Persetujuan. Kerja Sama. Industri Pertahanan. Republik Indonesia. Republik Turki. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BEBERAPA CATATAN TENTANG UNDANG-UNDANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

BEBERAPA CATATAN TENTANG UNDANG-UNDANG PERJANJIAN INTERNASIONAL to Hukum dan Pembangunan BEBERAPA CATATAN TENTANG UNDANG-UNDANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Prof. Dr. Sri Setianingsih Suwardi, S.H. Tulisan menyampaikan analisis dan pembahasan tentang Undang-undang Perjanjian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS IN THE WESTERN AND CENTRAL PENGELOLAAN SEDIAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI

PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TANGGAL : PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1. Aspek-aspek Perjanjian Internasional 2.1.1. Istilah-Istilah Perjanjian Internasional Mengenai peristilahan dari perjanjian internasional, jika

Lebih terperinci

KEPPRES 178/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK MALI MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK

KEPPRES 178/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK MALI MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 178/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK MALI MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK *48544 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPBULIK INDONESIA,

PRESIDEN REPBULIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 159/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ARAB SURIAH MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *48381

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF FINLAND FOR THE PROMOTION

Lebih terperinci

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA 1958 Konvensi mengenai Pengakuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci