BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan insfratruktur menjadi tolak ukur kemajuan suatu daerah.

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan dan perundangundangan. Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal dengan istilah desentralisasi. Dengan otonomi daerah setiap daerah dituntut untuk mampu mengelola seluruh sumber daya yang dimiliki untuk membiayai seluruh belanja-belanja daerah berdasarkan azas kepatuhan, kebutuhan dan juga kemampuan daerah seperti yang tercantum dalam anggaran daerah. Tujuan dari otonomi daerah ini adalah untuk mempercepat peningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah otonom, peningkatan jumlah dan kualitas layanan umum dan adanya daya saing daerah yang cukup kuat. Implikasinya terhadap daerah adalah menjadikan daerah memiliki peranan yang penting dalam mengatasi masalah pemerataan pembangunan dan pengelolaan kepemerintahan secara mandiri. Pemerintah daerah sebagai pelaksana utama pembangunan memiliki kewajiban dalam melaksanakan program-program pembangunan yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

Program peningkatan kesejahteraan masyarakat, tentunya terkait erat dengan kualitas pelayanan aparat pemerintah terhadap masyarakat, tersedianya layanan umum dan layanan sosial yang cukup dan berkualitas, perbaikan dan penyediaan kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, penambahan dan perbaikan dalam bidang infrastruktur, bangunan, peralatan, dan harta tetap lainnya. Program peningkatan kesejahteraan masyarakat ini membutuhkan sumber pendanaan yang cukup besar. Tentunya sumber dana yang diharapkan untuk membiayai program peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut dapat berasal dari pendapatan ataupun kekayaan daerah itu sendiri. Apabila suatu daerah dikatakan sebagai daerah mandiri maka daerah tersebut mampu membiayai semua belanja daerahnya dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerahnya dan juga dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran tanpa harus meminjam dan tergantung dari bantuan dana Pemerintah Pusat. Namum pada kenyataannya daerah otonom di Indonesia belum ada yang menjadi daerah mandiri. Semua daerah pemerintahan di Indonesia membutuhkan Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat disamping PAD, Pinjaman Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah sebagai sumber penerimaan daerahnya yang digunakan untuk belanja daerah. Untuk dapat melaksanakan program peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka berbagai komponen penerimaan daerah seperti PAD, DAU dan lain-lain harus dialokasikan ke komponen Belanja Modal. Untuk berbagai daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara perkembangan jumlah Belanja Modal dalam 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 1.1 Postur APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (000) Keterangan 2010 2011 2012 PAD 2.554.780.317 3.578.462.081 4.052.104.891 DAU 812.747.639 948.867.504 1.103.389.237 DAK 29.137.700 38.485.500 38.485.500 DBH 405.841.910 386.544.541 460.163.933 SiLPA 346.533.461 404.884.723 720.866.153 Belanja Modal 716.805.622 1.063.237.377 803.607.598 Sumber: Data diolah peneliti (2013) Dari tabel 1.1 di atas dapat dilihat bahwa Belanja Modal daerah mengalami peningkatan sebesar 48% dari tahun 2010 ke tahun 2011 namun menurun sebesar 75% dari tahun 2011 ke tahun 2012. Peningkatan Belanja Modal ini juga dapat mengindikasikan bahwa peningkatan penyediaan sarana dan prasarana layanan publik setiap tahunnya semakin bertambah, walaupun di tahun 2012 menurun tapi pemerintah tetap mengalokasikan dana untuk kegiatan Belanja Modal untuk penyediaan prasarana layanan publik dan jumlahnya lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2010. Dana Alokasi Khusus (DAK) mengalami peningkatan sebesar 9,5% dari tahun 2010 ke tahun 2011 namun turun sebesar 9,8% dari tahun 2011 ke tahun 2012. Peningkatan jumlah DAK dapat mengindikasikan adanya pembangunan prioritas nasional di daerah Sumatera Utara. Walaupun di tahun 2012 DAK mengalami penurunan tapi hal ini masih dapat menunjukkan adanya komitmen daerah dalam melakukan pembangunan yang bersifat prioritas nasional di daerah Sumatera Utara Dari sisi Belanja Daerah, kita dapat melihat porsi alokasi dana terbesar dalam jenis belanja daerah di Sumatera Utara pada tabel berikut ini:

Tabel 1.2 Jenis Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (000) Keterangan 2010 2011 2012 Belanja Rutin 2,949,200,552 3,548,085,286 6,827,451,955 Belanja Modal 716,805,622 1,063,237,377 803,607,598 Belanja Tak Terduga 700,000 154,500 2,574,957 Total Belanja Daerah 3,666,706,174 4,611,477,163 7,633,634,510 Sumber: Data diolah peneliti (2013) Dari tabel 1.2 di atas kita dapat melihat bahwa jenis Belanja Daerah yang memiliki alokasi dana paling besar pada tahun 2010 dan 2012 adalah Belanja Rutin yaitu sebesar 89,4% dari total Belanja Daerah, sedangkan Belanja Modal hanya 10,5% dari total Belanja Daerah. Pada tahun 2011, alokasi dana paling besar adalah untuk Belanja Rutin sebesar 76,9% dari Belanja Daerah sedangkan alokasi dana untuk Belanja Modal hanya 23% dari total Belanja Daerah. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah dalam peningkatan pembangunan daerah masih belum maksimal. Pemerintah daerah lebih banyak menghabiskan anggaran daerah untuk belanja rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang dan jasa, sedangkan pengalokasian dana untuk pembangunan daerah sangat kecil dari total anggaran belanja daerah. Dari postur APBD Sumatera Utara tahun 2010-2012, besaran Belanja Modal daerah semakin meningkat, namun peningkatan Belanja Modal tersebut belum dapat mengindikasikan bahwa pemenuhan atas keterbatasan ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana daerah itu selesai. Banyak pembangunan dan pengembangan infrastruktur yang harus dilakukan khususnya di Sumatera Utara untuk membantu proses percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya daerah pemekaran yang masih jauh tertinggal pembangunan infrastruktur daerahnya, bahkan di daerah pelosok yang masih belum menikmati

pembangunan daerah. Salah satu upaya Pemda untuk percepatan pembangunan dan pengembangan infrastruktur daerah yaitu dengan mengalokasikan sumbersumber pendapatan daerah dan juga pembiayaan daerah secara efektif dan efisien terhadap belanja modal daerah. Sumber pendapatan dan pembiayaan daerah itu tentunya berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pusat, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), Pinjaman Daerah, Dana Cadangan dan Penjualan Kekayaan Daerah. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dana perimbangan pemerintah pusat kepada daerah semakin lama semakin besar. Apabila dilihat dari sudut pandang kemandirian daerah otonom, semakin besar dana perimbangan dari pemerintah pusat menggambarkan bahwa tidak mandirinya daerah otonom di Indonesia. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal dengan DAK sebagai variabel moderating. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan belanja daerah keseluruhan sebagai variabel dependen tetapi lebih spesifik kepada belanja modal karena belanja modal merupakan bagian belanja langsung yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat, (Mardiasmo, 2002). Program-program pembangunan yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah tentunya dianggarkan dan dibelanjakan dalam rekening belanja modal. Misalnya kegiatan pembangunan Rumah Sakit, Pembangunan Sekolah Dasar, pembangunan jalan antar desa, yang semua kegiatan ini langsung dinikmati masyarakat hasil dan manfaatnya dan

menjadi modal bagi pemerintah berupa aset tetap yang memiliki masa manfaat yang cukup lama lebih dari 1 tahun. Jadi peneliti lebih memfokuskan pada Belanja Modal yang secara langsung memiliki dampak terhadap layanan publik. Sedangkan jika menggunakan variabel Belanja Daerah, maka seluruh jenis belanja daerah yaitu belanja operasional, belanja modal, belanja lain-lain/belanja tak terduga dan belanja transfer yang sebagian besarnya tidak secara langsung dinikmati hasilnya oleh masyarakat hasil dan manfaatnya menjadi bagian penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan DAU dan DBH sebagai variabel independennya. DAU dan DBH bersifat block grant artinya apabila dana tersebut telah sampai di rekening Pemerintah Daerah maka Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan dana tersebut untuk membiayai belanja daerah sesuai dengan kebutuhan prioritas. Demikian halnya dengan PAD, Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan PAD pada kegiatan-kegiatan yang bersifat prioritas. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) merupakan sumber pembiayaan yang digunakan apabila daerah mengalami defisit APBD dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat selama tahun berjalan. Presiden Republik Indonesia dalam penyerahan DIPA 2012 di Istana Negara menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia belum memuaskan dan menghendaki agar sisa anggaran tidak digunakan untuk keperluan yang tidak jelas namun dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). Demikian juga Plt. Walikota Medan, dalam Nota Pengantar Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD TA 2012 dalam Medan Bisnis (25/06/13) menyampaikan bahwa SiLPA Pemko Medan TA

2012 akan dikelola untuk mendukung kebutuhan pembiayaan pembangunan tahun 2013. Namun SiLPA yang besar juga dapat mengindikasikan ketidakmampuan daerah untuk mengelola dan mengalokasikan sumber-sumber pendapatan daerah terutama untuk belanja modal. Salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan prasarana dan sarana adalah Luas Wilayah seperti yang tertera dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Daerah yang memiliki wilayah yang luas pasti membutuhkan penyediaan prasarana dan sarana dan infrastruktur yang lebih bayak dari pada daerah dengan luas wilayah yang kecil dalam hal layanan publik. Apalagi jika dikaitkan dengan adanya pemekaran daerah maka banyak daerah pemekaran yang membutuhkan pembangunan prasarana dan sarana serta infrastruktur yang lebih banyak untuk meningkatkan layanan publik demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan sebagai variable moderating karena DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 32 Tahun 2004). Nurcholis (2005) menjelaskan bahwa DAK digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Dalam keadaan tertentu DAK dapat juga digunakan untuk membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 tahun. DAK ini tentunya dialokasikan kepada derah berdasarkan usulan kegiatan dan sumber pembiayaanya yang diajukan kepada Menteri teknis oleh Pemerintah

daerah. Dengan demikian apabila seluruh usulan kegiatan belanja Modal Pemerintah Daerah diterima dan disetujui oleh Pemerintah Pusat untuk dibiayai dengan DAK maka jumlah alokasi dana untuk Belanja Modal daerah semakin besar. Berdasarkan hal tersebut peneliti mencoba menjadikan DAK sebagai variabel moderating. Penelitian yang telah dilakukan sebelumya oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan bahwa secara keseluruhan PAD, DAU, SiLPA dan luas wilayah berpengaruh terhadap alokasi belanja modal, sedangkan secara parsial PAD tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Abdullah dan Halim (2008) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa sumber pendapatan daerah berupa dana berimbang berasosiasi positif terhadap belanja modal, sedangkan PAD tidak. Menurut Situngkir (2009) bahwa PAD, DAU, DAK berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, sedangkan Pertumbuhan Ekononomi tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Putro (2011) bahwa Pertumbuhan Ekonomi, DAU berpengaruh postitif terhadap belanja modal secara parsial, namun PAD tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti bermaksud untuk menganalisis sejauh mana DAU, PAD, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah berpengaruh terhadap Belanja Modal dengan DAK sebagai variabel moderating pada Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah berpengaruh secara simultan maupun parsial terhadap Belanja Modal? 2. Apakah DAK dapat memoderasi hubungan antara PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah dengan Belanja Modal? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: 1. Pengaruh PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal baik secara simultan maupun parsial. 2. Peran DAK dalam memoderasi hubungan antara PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah dengan Belanja Modal. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Akademisi, penelitian ini dapat menjadi bahan literatur untuk pengembangan penelitian selanjutnya tentang sektor publik, khususnya untuk menganalisa lebih mendalam tentang Belanja Modal. 2. Bagi Peneliti, penelitian ini memberikan kontribusi keilmuan terutama dalam menambah ilmu pengetahuan dan mengembangkan wawasan tentang Belanja Modal Pemda khususnya pengaruh PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal. 3. Bagi Pemda, penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan anggaran dan pemanfaatan anggaran Belanja Modal.

4. Bagi Publik, dengan penelitian ini masyarakat mengetahui sumber pendanaan Belanja Modal dan mengetahui kontribusi masyarakat dalam menunjang peningkatan alokasi Belanja Modal melalui PAD. 1.5 Originalitas Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012). Perbedaan penelitian ini dengan Kusnandar dan Siswantoro terletak pada variabel, objek dan waktu penelitian. Kusnandar dan Siswantoro (2012) menggunakan variabel PAD, DAU, SiLPA dan Luas Wilayah sebagai variabel independen sedangkan penelitian ini menambahkan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai variabel independen. Selain itu penelitian ini menambahkan DAK sebagai variabel moderating. Objek penelitian Kusnadar dan Siswantoro (2012) adalah Kabupaten/Kota se Indonesia dengan periode amatan tahun 2010, sedangkan objek penelitian ini adalah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dengan periode amatan tahun 2011-2012.