Bab 6 KESIMPULAN A. Menggoyang Kemapanan Dangdut mengalami sebuah perjalanan panjang sebagai kata, sekaligus sebagai sebuah irama. Penyusuran secara historis yang dilakukan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana wacana dangdut mengalami pergerakan. Pergerakan yang tidak dapat dibaca sebagai gerak yang linier; ada patahan, ada ketidaksinambungan, ada konteks sosial dan politik yang turut mempengaruhi geraknya di tiap masa. Berangkat dari percampuran musik melayu, gambus dan India, perlahanlahan musik dangdut mengalun ke dalam telinga orang Indonesia. Rhoma Irama dapat dikatakan berhasil meng-indonesia-kan dangdut. Dia menautkan irama musik yang dia mainkan dengan irama musik melayu yang dianggap sebagai akar budaya bangsa. Pernyataan tersebut dapat dibaca sebagai sebuah pembangunan wacana musik dangdut, yang bukan saja hanya dilakukan melalui teks pernyataan dalam media, tetapi juga pada teks syair. Meskipun pernyataan tersebut mendapat bantahan dari Elvy Sukaesih yang menyatakan bahwa musik dangdut banyak terpengaruh oleh irama India, Rhoma tetap meyakini pandangannya dan terus mereproduksi pernyataan tersebut sehingga menjadi sebuah wacana. Perbedaan pendapat dari keduanya dapat menjelaskan bagaimana praktik pemaknaan atas dangdut, pewacanaan atasnya pun tidak tunggal. Penelusuran teks-teks pernyataan Rhoma serta dukungan dari teks syair lagunya telah menunjukan bagaimana penggunaan bahasa memilik pengaruh yang besar dalam menghadirkan wacana. Pada wacana irama, dapat terlihat bagaimana 153
Rhoma menghadirkan wacana musik dangdut yang dibawakan olehnya merupakan musik melayu, dan bukan musik India sebagaimana dikemukakan oleh Elvy. Wacana musik dangdut melayu ini pun kemudian terus-menerus direproduksi dan digunakan untuk meudia memberikan definisi atas kemunculan irama dangdut koplo. Dalam hal ini Rhoma juga melakukan produksi atas dirinya dan liyan. Pada wacana moralitas, tercatat bagaiamana Rhoma menghadirkan pelarangan atas Inul dengan kata haram, menjaga moral bangsa, dan ke- Islam-an nya. Teks tersebut dapat kemudian dianalisis pada tataran antar teks, dan antar diskursusnya. Hal ini terjabarkan dalam Bab 3, bagaimana Rhoma menghadirkan wacana moral dan ke-islam-an dalam syair lagu dan pernyataanpernyataan pribadinya. Teks syair lagunya yang banyak mengumandangkan ayatayat suci Al Quran, kalimat-kalimat yang bernada instruktif ( jangan dan boleh ), serta menjadikan kredo musiknya sebagai musik dakwah.hal tersebut juga merupakan bukti bagaimana bahasa dapat menujukkan ideologi produsen teks tersebut. Pada wacana legalitas, peneliti tidak menghadirkan secara tegas bagaimana sistem alur produksi industri musik arus utama, melainkan justru membawanya kepada hasrat politik praktis Rhoma Irama yang kian hari kian menebal. Hal ini dihadirkan untuk mengkerangkai bagaimana hasrat kuasa yang dimiliki Rhoma atas penguasaan modal sosial dan kapital ditempuh melalui jalur politik praktis, bukan hanya melalui produksi musik saja. Maka dari itu, respon yang muncul dari Rhoma menyerupai respon yang pernah ditunjukkan oleh rezim yang pernah mencekalnya pada tahun 1970-an. Rhoma mencekal Inul dan melarang stasiun televisi menyiarkan penampilan Inul. Respon ini sangat menyerupai bagaimana saat itu Rhoma diperlakukan oleh rezim orde baru. Rhoma 154
irama menghadirkan praktik kuasa dengan bahasa dan praktik sosial. Dengan menghadirkan diskursus identitas musikal, moralitas, dan legalitas. Pada ketiga wacana tersebut, terlingkupi aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dari rentetetan peristiwa tersebut dapat ditelusuri bagaimana Rhoma melakukan praktik kuasa wacana dalam ranah musik populer. Dalam hal ini, pembacaan atas dangdut koplo adalah bagaimana wacana hadir dalam bentuk praktik sosial. Praktik-praktik sosial yang dihadirkan dalam dangdut koplo telah menghadirkan wacana tersendiri atas identitas musikal, moralitas, dan legalitas. Praktik tersebut bukanlah praktik individual, melainkan telah terlekat dalam masyarakat. Hal ini kemudian menyuguhkan pemaknaan lain atas dangdut dalam praktik masyarakat dan bagaimana setiap komunitas memaknai dangdut. Praktik sosial dapat hadir dalam bermacam orientasi, ekonomi, politik, budaya, dan ideologi, wacana dapat hadir dan bekerja di dalam masing-masing aspek tersebut (Fairclough, 1992: 66). Pada sisi irama, dangdut koplo menyatukan irama dangdut melayu-rock dengan elemen irama-irama lokal daerahnya. Irama ini bukanlah satu-satunya irama dangdut daerah yang lahir pada masa itu, banyak irama-irama dari daerah lain yang tetap hidup dan mencoba beradaptasi dengan irama pada arus utama. Pada praktik pertunjukannya, goyang erotis dan saweran juga merupakan suatu pengaplikasian praktik yang ada pada tradisi hiburan rakyat pada panggung musik dangdut koplo. Goyang tersebut tidak merujuk pada agenda politik tertentu, goyangan tersebut merupakan sebuah ekspresi kenikmatan atas tekanan hidup harian. Inul yang dipersoalkan goyangannya, mendapat pembelaan dari Gus Dur, yang melambangkan Islam yang berbasis kultural di Indonesia. 155
Proses produksi, distribusi, dan konsumsi dangdut koplo yang hadir memaksa Rhoma Irama yang melarang dangdut koplo menyanyikan lagu ciptaan artis yang tergabung dari PAMMI. Dalam hal ini terlihat persoalan yang lebih besar daripada persoalan irama dan moralitas, yaitu persoalan ekonomi. Proses produksi kelompok musik dangdut koplo tidak terpaku pada satu jalan saja, mereka dapat membawakan lagu yang sudah ada sebelumnya, mereka sangat luwes terhadap semua jenis musik, mereka mampu menghadirkan lagu-lagu ciptaan sendiri dan digunakan secara bersama-sama, dan mereka mampu merespon tema-tema terkini dengan sangat cepat dan dengan gaya tutur yang relatif lebih jenaka, hal ini menyebabkan mereka sangat mudah dalam produksi lagu. Dukungan persebaran musik yang sporadis dari penjual VCD lapak membuat musik mereka secara masif tersebar tanpa upaya yang begitu besar. Sementara Rhoma yang berada pada industri arus utama hanya merasa dirugikan karena pola dangdut koplo sangat masif, hemat, dan menghasilkan ekonomi yang besar. Persoalan hak cipta masih dipegang teguh oleh Rhoma, sementara pada praktik dangdut koplo, terjadi praktik kerja berbagi, memperlakukan lagu dengan demokratis tanpa izin yang mengikat. Hal ini harus dilihat sebagai siasat, bahwa dangdut koplo muncul dari situasi sosial, ekonomi, dan politik yang sedang krisis. Pola berkesenian yang terjadi dalam dangdut koplo adalah sekaligus sebuah siasat bertahan hidup. Dalam hal ini Rhoma merepresentasikan kebakuan pola industri arus utama yang mencirikan keterpusatan kekuasaan serta penguasaan modal. Sedangkan dangdut koplo menunjukkan bagaimana kemampuan orang-orang kalah dapat menciptakan sendiri alur produksi dan distribusi ekonomi yang lebih demokratis dan mengisi infrastruktur yang tidak tersedia bagi kaum jelata. 156
Pelarangan lagu cabul oleh KPID, menunjukan bagaimana praktik dangdut koplo di wilayah televisi dan media digital telah berkembang dengan sangat pesat. Kemungkina terjadinya penciptaan lagu menjadi semakin luas, akan tetapi sangat beresiko terjatuh pada kontroversi dan komodifikasi belaka. Dengan kemunculan lagu Rumangsane Penak dapat dijadikan sebagai sebuah contoh yang ideal, bagaimana kemahiran mengolah tema dari penulis lagu dangdut koplo dapat secara cepat merespon situasi sosial dan berbicara pada konteks yang lebih luas dalam percakapan lintas media. Kemunculan dangdut koplo memiliki kemiripan dengan kemunculan awal dangdut Rhoma Irama. Pada masa awal kemunculan dangdut Rhoma, musiknya kerap dianggap kampungan oleh penyanyi dari kalangan musik Rock. Begitupun juga dengan pelarangan yang dilakukan rezim orde baru terhadap Rhoma, pada kasus dangdut koplo Rhoma menjadi rezim kemapanan yang mencekal dan melarang dangdut koplo. Pada perkembangannya, keduanya justru semakin melejit setelah adanya konflik pelarangan tersebut. Dengan demikian, posisi dangdut koplo pada saat ini sebenarnya sedang mengulang apa yang dialami oleh dangdut Rhoma Irama dengan konteks yang berbeda. Dangdut koplo dalam hal ini telah mampu menggoyang kemapanan sebuah rezim yang terwujud pada Rhoma Irama. Pertama, menggoyang rezim kemapanan irama dangdut yang dianggap murni dengan menghadirkan irama tradisional/daerah yang cepat dan menghentak. Kedua, menggoyang rezim kemapanan moralitas yang dihadirkan Rhoma melalui ideologi Islam konservatif dalam kredo musik dan syair lagu tapi kontradiktif dalam praktik kehidupannya dengan perayaan kebebasan otoritas tubuh yang terlalu lama 157
didisiplinkan melalui goyangan yang sebebas-bebasnya sebagai penghilang stress dan kepenatan persoalan hidup harian dan rutinitas kerja. Ketiga, menggoyang rezim kemapanan pola produksi, distribusi, dan konsumsi industri musik arus utama dengan sistem kerja sama yang tidak terencana (terbatas kontrak) dan mampu menguntungkan masing-masing pihak. Dalam hal ini, praktik musik dalam industri dangdut koplo sedang menguji praktik yang selama ini berjalan pada arus utama (dominan), memberikan alternatif atas praktik yang kaku dan terpusat menjadi praktik yang lebih demokratis. Wacana irama, pemaknaan moralitas, dan praktik produksi yang tidak patuh pada hukum kepemilikan dan hak cipta yang dilakukan oleh dangdut koplo memberi tantangan, kritik, atau bantahan terhadap wacana dominan yang dihadirkan oleh Rhoma Irama. Praktik musik dangdut koplo melekat dalam kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial merupakan jaringan praksis sosial yang terhubung dari beragam kegiatan ekonomi, politik, budaya, maka dalam praksis sosial selalu terkandung unsur semiotik. Dalam praksis sosial terkandung aktivitas produktif, sarana produksi, hubungan sosial, identitas sosial, nilai budaya, kesadaran, dan proses semiosis. Dalam hal ini, ada hubungan dialektik antara unsur semiosis dengan unsur-unsur lain praksis sosial (Haryatmoko, 2016: 22). Kemapanan musik dangdut arus utama memang telah tergoyang dengan hebat oleh praktik dangdut koplo, tapi ia belum runtuh. Kemungkinan dangdut koplo untuk dicaplok pada televisi sebagai bentuk komodifikasi lanjutan terlihat di depan mata dengan adanya acara musik Bintang Pantura di Indosiar. Hal ini peneliti tempatkan sebagai tantangan atas perkembangan musik dangdut koplo 158
pada era yang terkini dan dapat menjadi penelitian lanjutan yang lebih mendalam. Bagaimanapun, peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini dan sangat membutuhkan saran untuk mempertajam analisis dan melanjutkan penelitian terkait musik dangdut dalam kajian budaya populer. Tapi setidaknya penelitian ini dapat memberikan pandangan terkait praktik bekerjanya kekuasaan dalam wilayah musik populer, serta memaknai dan menggunakan analisis wacana pada teks-teks yang hadir dalam ranah musik. 159