4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Rofizar. A 1, Yales Veva Jaya 2, Henky Irawan 2 1

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

III. METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Tabel 3. Alat-alat Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

3. METODE PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

Kondisi perairan keramba jaring apung ikan kerapu di perairan Pulau Semujur Kabupaten Bangka Tengah

Bab V Hasil dan Pembahasan

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto)

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu. hingga Pulau Sebira di Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

3. METODE PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

Identifikasi Sebaran Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai Di Pesisir Muara Perancak-Bali Menggunakan Data Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Dan SPOT-4

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. METODE PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Diagram TS

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Journal Of Aquaculture Management and Technology Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Zona Potensial Budidaya dengan Citra Satelit 4.1.1. Pengolahan Awal Citra Satelit Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS akusisi 21 November 2008. Citra satelit ALOS dipilih untuk memodelkan lokasi budidaya karena memiliki resolusi yang cukup tinggi yaitu 10 x 10 m. Satuan piksel tersebut cukup merepresentasikan lokasi-lokasi zona potensial budidaya sebagai dasar dari Cell Based Modelling. Citra satelit ALOS yang digunakan dalam penelitian ini telah terkoreksi radiometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas dari citra satelit yang disebabkan oleh kondisi atmosfer dimana terjadi penyerapan atau hamburan dari radiasi sinar matahari, untuk itu nilai-nilai digital setiap piksel band akan direkonstruksi dan mendapatkan masukan [raw] data perekaman sensor yang terkalibrasi secara fisik (Prahasta, 2008). Metode koreksi radiometrik yang digunakan yaitu penyesuaian histogram (histogram adjustment), dimana nilai digital dari citra satelit terendah pada setiap kanalnya adalah nol. Oleh karena itu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua kanal sehingga nilai minimumnya nol. Koreksi geometrik dilakukan untuk memberikan informasi geografis pada citra satelit. Koreksi geometrik yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode image to map registration berdasarkan titik-titik kontrol bumi (Ground Control Point) yang mudah diidentifikasi pada peta maupun citra yang akan dikoreksi, seperti : percabangan sungai, perpotongan jalan, atau perpotongan sungai dengan jalan. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan 31

32 perangkat lunak image processing dengan acuan dari Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) BAKOSURTANAL yang telah terkoreksi geometrik dimana diambil sebanyak 30 titik yang tempatnya berbeda menyebar pada citra satelit Gambar 9. Kualitas koreksi geometrik ditentukan berdasarkan nilai RMS error nilai idealnya, yaitu lebih kecil dari 1 karena pergeseran tidak akan melebihi satu piksel (Lampiran 1). Tahapan selanjutnya setelah melakukan koreksi geometrik yaitu pemotongan citra (cropping) yang dilakukan untuk membatasi citra satelit sesuai dengan daerah kajian penelitian. Gambar 9. Titik Ground Control Point (GCP) 4.1.2. Substrat Dasar Perairan Dangkal Substrat dasar perairan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan keberhasilan atau kelancaran dari proses budidaya. Budidaya keramba jaring apung dan jaring tancap sangat efektif dilakukan diperairan yang

33 memiiki tipe substrat dasar berkarang dan pasir, sebab pada wilayah berkarang kondisi kualitas air pada wilayah tersebut terjaga, disamping itu pada wilayah atau kawasan berkarang pada umumnya terlindung dari faktor oseanografi seperti gelombang dan arus. Substrat berlumpur sangat tidak cocok dijadikan kawasan budidaya, hal ini disebabkan karena tingkat turbulensi pada wilayah ini sangat tinggi. Substrat lumpur yang naik ke permukaan tidak baik bagi pertumbuhan ikan yang dibudidaya serta dapat mengganggu proses metabolisme dari biota yang dibudidayakan. Informasi substrat dasar perairan Kepulauan Seribu diperoleh dari hasil transformasi citra satelit. Pendugaan awal substrat dasar perairan dangkal dapat dilihat dengan menggunakan komposit RGB 321. Hasil dari komposit citra tersebut setelah dilakukan penajaman histogram (histogram enhancement) maka akan terlihat dengan jelas penyebaran terumbu karang pada wilayah Kepulauan Seribu. Gambaran umum terumbu karang dari hasil komposit citra akan terlihat berwarna biru muda (cyan). Komposit citra RGB 321 dapat dilihat pada Gambar 10. Algo itma penu unan Depht Invariant Index digunakan dalam pemrosesan citra satelit untuk mendapatkan penampakan substrat dasar perairan dangkal yang maksimal. Pada algoritma ini mengkombinasikan kanal 1 dan kanal 2 dari citra satelit ALOS yang selanjutnya didapat nilai koefisien attenuasi perairan (k i /k j ) sebesar 0.686955277 (hasil perhitungan terdapat pada Lampiran 2). Dengan demikian, persamaan algoritma yang digunakan dalam mengekstrak substrat dasar perairan menjadi Y = ln (K 1 ) - 0,59289 *ln (K 2 ).

34 Gambar10. Komposit Citra ALOS RGB 321 Sesuai dengan sebaran nilai digital hasil iterasi, maka terdapat beberapa komponen domain pada citra hasil algoritma. Rentang perbedaan warna pada citra hasil transformasi menunjukkan banyaknya kelas yang ada pada substrat dasar perairan. Kelas kelas tersebut terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan yaitu dengan sebaran nilai antara 7. 462137 sampai 9.290035. Hasil penajaman citra satelit menghasilkan gambaran substrat dasar perairan dimana warna kuning menggambarkan objek pasir, objek karang mati digambarkan dengan warna merah, terumbu karang atau karang hidup digambarkan dengan warna cyan, sedangkan lamun digambarkan dengan warna orange. Dari hasil tersebut kemudian dilakukan pengklasifkasian dengan menggunakan teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification). Hasil klasifikasi substrat dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 11, sedangkan peta klasifikasi kesesuaian budidaya perikanan laut berdasarkan substrat dasar perairan ditunjukan pada Gambar 12.

Gambar 11. Klasifikasi Substrat Dasar Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 35

Gambar 12. Klasifikasi Kesesuaian berdasarkan Substrat Dasar PerairanKepulauan Seribu, DKI Jakarta 36

37 Berdasarkan peta hasil klasifikasi dapat dilihat bahwa substrat perairan Kepulauan Seribu dibagi menjadi empat kelas yaitu karang hidup yang digambarkan dengan warna hijau, karang mati yang digambarkan dengan warna merah, lamun berwarna orange, serta pasir digambarkan dengan warna kuning. Pada perairan ini substrat karang mati dan pasir mendominasi seluruh pulau- pulau yang menjadi wilayah kajian, sebaran karang hidup banyak berada pada wilayah goba serta tubir. Sedangkan pasir dan lamun tersebar di seluruh pulau yang menjadi wilayah kajian pada umumnya terdapat pada wilayah goba yang terlidung. Luasan substrat dasar perairan masing-masing pulau dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Penutupan Substrat Dasar Perairan. No Nama Pulau Luas (Ha) Karang Hidup Karang Mati Lamun Pasir 1 Pulau Air 42.16 42.76 58.49 70.64 2 Pulau Bongkok 30.28 28.71 122.36 78.25 3 Pulau Harapan dan Kelapa 35.06 12.14 105.78 104.02 4 Pulau Kaliage Besar 7.19 3.08 12.85 17.11 5 Pulau Kaliage Kecil 2.59 0.16 0.73 3.23 6 Pulau Karang Congkak 50.38 16.73 155.33 151.21 7 Pulau Karya dan Panggang 40.15 31.38 81.87 75.55 8 Pulau Kelapa Dua 18.56 9.24 37.37 28.24 9 Pulau Kotok Besar 9.78 0.66 7.28 15.15 10 Pulau Kotok Kecil 4.88 2.26 6.23 7.01 11 Pulau Opak Besar 10.02 0.31 7.47 22.09 12 Pulau Opak Kecil 3.87 0.09 1.45 4.73 13 Pulau Pemagaran 40.71 9.71 63.94 82.66 14 Pulau Pramuka 10.48 9.53 33.57 34.72 15 Pulau Sekati 2.87 0.03 0.53 4.78 16 Pulau Semak Daun 88.75 91.72 198.37 177.08 17 Pulau Semut 3.26 0.27 0.76 2.82 Total 419.94 260.69 914.8 908.1

38 Berdasarkan tabel hasil perhitungan penutupan substrat dasar (Tabel 3), kategori penutupan substrat dasar yang mendominasi perairan ini yaitu lamun dan pasir dengan luasan berturut-turut yaitu 914.8 ha dan 908.1 ha. Sedangkan karang hidup pada perairan ini memiliki luasan sebesar 419.94 ha, karang hidup tersebar pada hampir setiap pulau. Terumbu karang paling banyak ditemukan pada sekitar Pulau Semak Daun dan Gosong Karang Lebar yang memiliki luasan sebesar 419.94 ha. Luasan karang mati yang diperoleh dari hasil transformasi citra yaitu sebesar 260.69 ha yang tersebar diseluruh pulau yang menjadi daerah kajian. Substrat dasar karang hidup dan karang mati merupakan substrat dasar yang paling sesuai untuk lokasi budidaya keramba perikanan laut. Karang hidup merupakan salah satu daya dukung kehidupan sehingga digolongkan ke dalam kelas sangat sesuai, sedangkan pasir dan lamun merupakan substrat dasar yang sesuai dan substrat lumpur merupakan kelas yang paling tidak sesuai. Wilayah atau zona budidaya yang sangat sesuai berdasarkan substrat dasar perairan berada pada goba serta perairan sekitar tubir 4.1.3. Keterlindungan Lokasi Keterlindungan lokasi budidaya merupakan salah satu parameter yang cukup penting, sebab kegiatan budidaya perikanan laut dilakukan pada umumnya dialkukan pada media keramba jaring apung maupun keramba jaring tancap yang berlangsung sepanjang tahun. Pemilihan lokasi pada daerah yang terlindung akan mengurangi dampak resiko kerusakan keramba akibat dari faktor oseanografi seperti arus dan gelombang. Kecepatan arus dan gelombang pada musim tertentu sangat tinggi khususnya pada kondisi cuaca yang ekstrim, hal ini dapat

39 menyebabkan kerusakan pada konstruksi keramba serta kondisi biota yang dibudidayakan akan mengalami gangguan. Kecepatan arus yang disarankan dalam penentuan lokasi budidaya yaitu berkisar antara 0.15 sampai 0.3 m/detik (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2010), sedangkan tinggi gelombang yang disarankan yaitu berkisar 0.11 sampai 0.18 m (Tiskiantoro, 2006). Pada wilayah Kepulauan Seribu tinggi gelombang saat musim Barat yaitu antara 0.15 1.5 m, bahkan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1.5 m sedangkan kecepatan arus pada musim barat yaitu sekitar 0.43 m/detik. Jika dilihat kondisi angin dan gelombang yang tinggi pada musim barat pada lokasi penelitian maka diperlukan lokasi yang terlindung pada musim timur maupun musim barat. Penentuan keterlindungan lokasi dilakukan melalui interpretasi secara visual dari citra satelit kemudian dilakukan klasifikasi. Keterlindungan lokasi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu wilayah sangat terlindung, terlindung, serta tidak terlindung. Hasil klasifikasi keterlindungan lokasi dapat dilihat pada Gambar 13. Wilayah sangat terlindung digambarkan pada peta dengan warna hijau, dimana lokasi ini berada pada goba yang sekitarnya dikelilingi oleh gugusan terumbu karang. Berdasarkan Gambar 14 wilayah sangat terlindung masuk kedalam kategori sangat sesuai untuk budidaya keramba perikanan laut. Pada kelas terlindung digambarkan dengan warna kuning pada peta, lokasi ini berada pada sekitar gugusan terumbu karang dan celah sempit yang berada diantara pulau-pulau. Pada kelas terlindung termasuk kedalam kategori sesuai. Sedangkan

40 kelas tidak terlindung tidak cocok untuk dijadikan kawasan budidaya karena letaknya berada pada laut lepas tanpa penghalang apapun. Gambar 13. Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Gambar 14. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 41

42 4.2. Analisis Spasial Parameter Kualitas Air 4.2.1. Suhu Perairan Suhu merupakan salah satu parameter yang memegang peranan penting dalam penentuan lokasi budidaya. Suhu perairan yang tidak sesuai akan mengakibatkan terganggunya biota yang dibudidaya seperti gangguan metabolisme, pertumbuhan biota menjadi terhambat, serta meningkatkan jumlah karbondioksida diperairan. Toleransi suhu untuk budidaya yaitu berkisar antara 28 sampai 30 o C. Sebaran nilai suhu perairan di wilayah Kepulauan Seribu diperoleh melalui hasil interpolasi dari data hasil pengukuran lapang. Hasil interpolasi suhu perairan dapat dilihat pada Gambar 15. Sebaran suhu perairan di Kepulauan seribu pada wilayah penelitian berkisar antara 28 sampai 31 o C. Jika dilihat dari suhu perairan pada wilayah ini sebagian besar dapat dikategorikan sangat sesuai untuk dijadikan kawasan budidaya keramba perikanan laut. Suhu pada kisaran 31 sampai 32 o C dikategorikan sesuai, sedangkan kisaran suhu pada < 28 dan > 32 o C tidak cocok untuk kegiatan budidaya. Wilayah Kepulauan Seribu jika dilihat dari sebaran suhu perairan pada umumnya sesuai untuk kegiatan budidaya keramba perikanan laut. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16 wilayah sangat sesuai digambarkan dengan warna hijau sedangkan wilayah yang sesuai ditunjukkan dengan warna kuning. Jika dilihat dari persebarannya wilayah yang sangat sesuai berada pada sekitar gugusan Karang Congkak dan Karang Lebar.

Gambar 15. Sebaran Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 43

44 Gambar 16. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

45 4.2.2. Salinitas Salinitas perairan merupakan kadar garam yang terkandung dalam satu kilogram air laut. Toleransi kisaran salinitas untuk budidaya yaitu antara 30-35 ppt, salinitas yang tidak sesuai akan mengakibatkan tidak maksimalnya tingkat produksi dari kegiatan budidaya tersebut. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ikan akan terganggu serta menyebabkan gangguan keseimbangan dari biota yang dibudidayakan, maka dari itu dalam penentuan kawasan budidaya keramba perikanan laut tidak disarankan pada wilayah yang dekat dengan daratan sebab pada wilayah tersebut banyak terdapat masukan air tawar yang dapat menyebabkan salinitas pada wilayah tersebut tidak sesuai Kisaran salinitas diperairan Kepulauan Seribu yaitu antara 32 34 ppt (Gambar 17). Nilai salinitas semakin tinggi ke arah laut lepas, hal ini ini disebabkan pada perairan dekat dengan daratan adanya masukan air tawar dari darat. Kisaran nilai salinitas perairan yang cocok dalam kegiatan budidaya keramba perikanan laut yaitu 32 ppt yang dikategorikan wilayah sangat sesuai. Nilai salinitas antara 32 35 termasuk kedalam kategori sesuai, sedangkan pada kisaran salinitas < 27 dan > 35 ppt wilayah perairan tersebut dikategorikan tidak sesuai untuk kegiatan budidaya. Dilihat dari kisaran nilai salinitas tersebut perairan Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang sesuai dijadikan kawasan budidaya. Berdasarkan hasil pembobotan salinitas perairan, wilayah yang sangat sesuai berada pada sekitar Karang Bongkok serta Goba Karang Lebar. Peta Kesesuaian budidaya keramba perikanan laut berdasarkan salinitas perairan ditunjukkan pada Gambar 18.

Gambar 17. Sebaran Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 46

Gambar 18. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 47

48 4.2.3. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen yang terlarut dalam air, yang diukur dalam unit satuan miligram per liter (mg/l). Kadar oksigen dapat menggambarkan tingkat produktivitas primer dari suatu perairan, semakin tinggi kadar oksigen terlarut disuatu perairan maka semakin tinggi juga tingkat produktivitas primer perairan tersebut. Jumlah kadar oksigen diperairan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan organisme atau biota yang dibudidayakan, jika jumlah oksigen terlarut kadarnya berlebihan juga akan menyebabkan kematian pada biota yang dibudidayakan. Kadar oksigen terlarut yang disarankan dalam kegiatan budidaya yaitu antara 5 8 mg/l, karena pada nilai kisaran tersebut ikan atau biota dapat hidup dengan baik. Nilai kisaran kadar oksigen terlarut pada lokasi penelitian diperoleh melalui hasil interpolasi data pengukuran lapang. Nilai kadar oksigen pada lokasi penelitian berkisar antara 5 8.6 mg/liter (Gambar 19), dari nilai kisaran tersebut perairan Kepulauan Seribu dikategorikan sangat sesuai untuk kegiatan budidaya. Kelas kesesuaian zona budidaya dari nilai kadar oksigen terlarut dibagi kedalam tiga kelas yaitu pada nilai > 5 mg/liter perairan dikategorikan sangat sesuai, nilai oksigen terlarut pada kisaran 3 5 mg/liter dimasukan kedalam kategori sesuai, sedangkan perairan yang memiliki nilai kadar oksigen < 3 mg/liter tidak cocok untuk dilakukan kegiatan budidaya pada wilayah tersebut, sehingga wilayah tersebut dikategorikan tidak sesuai. Pada wilayah kajian Kepulauan Seribu nilai sebaran DO termasuk kedalam zona sangat sesuai yaitu pada nilai > 5 mg/l. Sebaran spasial oksigen terlarut dapat dilihat pada.gambar 20.

Gambar 19. Sebaran DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 49

Gambar 20. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 50

51 4.2.4. Potential of Hydrogen (ph) Potential of Hydrogen (ph) merupakan konsentrasi ion hidrogen di dalam air, Kadar ph perairan merujuk kepada aktivitas ion hydrogen didalamnya. Pada saat ph bernilai 0 sampai 7, hal ini merupakan suatu larutan pada kisaran asam, sedangkan pada kisaran 7 sampai 14 menunjukan kisaran basa. Nilai ph perairan pada umumnya berkisar antara 6.5 sampai 9. Kondisi perairan dengan ph netral sampai sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan air laut. ph optimum perairan bagi pertumbuhan biota yaitu antara 7 8.5. Secara umum nilai ph pada perairan Kepulauan Seribu yaitu berkisar antara 7 8.9, pola persebaran nilai ph pada lokasi penenlitian didapat dari hasil interpolasi titik-titik oengukuran, adapun sebaran spasial hasil pengukuran ph dapat dilihat pada Gambar 21. Nilai ph 7.5 8 dikategorikan wilayah sangat sesuai, nilai ph pada kisaran 7 7.5 dan 8 8.5 termasuk kedalam kategori sesuai, sedangkan perairan yang memiliki nilai ph < 7 dan > 8.5 tidak sesuai untuk dijadikan kawasan budidaya sehingga perairan ini dimasukkan kedalam kategori tidak sesuai, dari hasil pengukuran pada perairan kepulauan seribu tidak ada yang termasuk kategori yang tidak sesuai. Wilayah Kepulauan Seribu berdasarkan pembobotan parameter ph sebagian besar wilayahnya termasuk kedalam kelas sangat sesuai, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22. Warna Hijau menunjukkan wilayah sangat sesuai untuk kegiatan budidaya keramba perikanan laut, sedangkan warna kuning pada peta menunjukkan wilayah yang sesuai.

Gambar 21. Sebaran ph Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 52

Gambar 22. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan ph Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 53

54 4.2.5. Total Dissolved Solid (TDS) TDS adalah ukuran dari gabungan dari semua bahan organik dan anorganik yang terkandung dalam cairan. Konsetrasi TDS mengambarkan kualitas perairan yang ada. Sumber primer TDS di perairan Kepulauan Seribu banyak didapat dari limbah rumah tangga. Konsentrasi TDS sangat mempengaruhi tingkat kecerahan dari suatu perairan, perairan yang tingkat kecerahannya tinggi mengindikasikan perairan tersebut cukup jernih dan layak untuk lokasi budidaya. Sebaliknya perairan dengan tingkat kecerahan yang rendah mengindikasikan tingginya bahan organik terlarut, selain itu nilai TDS berbanding lurus dengan nilai konduktivitas serta salinitas perairan. Semakin tinggi nilai TDS maka semakin tinggi pula nila dari konduktivitas serta salinitas perairan. Nilai kandungan TDS pada lokasi penelitian berkisar antara 32 33 g/liter (Gambar 23), menandakan bahwa perairan di lokasi penelitian cukup sesuai untuk kegiatan budidaya. Umumnya nilai TDS cenderung tinggi di dekat daratan berkurang seiring menjauhi daratan. Nilai TDS yang paling sesuai untuk kegiatan budidaya yaitu < 25 yang dikategorikan wilayah sangat sesuai, sedangkan kisaran antara 25 80 g/liter dikategorikan kelas sesuai. Suatu wilayah perairain dikatakan tidak layak untuk kegiatan budidaya jika mempunyai nilai TDS > 80 g/liter. Nilai TDS di Wilayah Kepulauan Seribu jika diklasifikasikan berada pada kelas sangat sesuai yang ditandai dengan warna hijau pada peta. Peta kesesuaian budidaya keramba perikanan laut berdasarkan TDS dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 23. Sebaran TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 55

Gambar 24. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 56

57 4.3. Kedalaman Perairan Kedalaman merupakan merupakan faktor yang turut serta berperan dalam penentuan budidaya laut karena dengan adanya stratifikasi kedalaman berpengaruh terhadap jumlah nutrient. Selain itu kedalaman perairan berperan dalam penentuan desain konstruksi keramba baik jaring apung maupun keramba jarring tancap. Dalam penentuan lokasi budidaya keramba perikanan laut kedalaman perairan sebaiknya tidak terlalu dalam dan tidak terlalu dangkal, sebab jika perairan terlalu dangkal maka akan menyebabkan kegiatan budidaya tidak akan optimal. Pada perairan yang dangkal proses pengadukan akan menyebabkan material sedimen akan terangkat ke permukaan dan menyebabkan gangguan pada biota yang dibudidayakan, selain itu pada kegiatan budidaya di laut berbeda dengan budidaya yang dilakukan pada air tawar. Pada perairan laut dipengaruhi oleh pasang surut maka untuk itu perlu dipertimbangkan pasang surut pada lokasi. Pada perairan yang dalam proses perencanaan budidaya akan tidak optimal, sebab konstruksi yang dibuat akan lebih banyak mengeluarkan biaya dalam pembuatannya. Selain itu pula pada perairan yang dalam akan sulit menentukan serta penempatan jangkar keramba. Kepulauan Seribu memiliki kedalaman yang relatif dangkal yaitu berkisar antara 1-50 m yang semakin bertambah dalam seiring menjauhi daratan. Pulau-pulau di Kepulauan Seribu pada umumnya terdapat gosong karang disekitarnya yang memiliki kedalaman 1-5 m. Sedangkan pada goba kedalamannya dapat mencapai 10 m, pada wilayah ini dikelilingi oleh gosong karang dan terdapat banyak terumbu karang sehingga pada wilayah ini sesuai untuk dijadikan lokasi budidaya. Peta kedalaman perairan Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar 25.

Gambar 25. Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 58

Gambar 26. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 59

60 Berdasarkan kedalaman perairan wilayah yang sesuai untuk dijadikan lokasi budidaya keramba perikanan laut yaitu pada sekitar gosong karang dan goba yang memiliki kedalaman 1-20 m, selain itu pada wilayah tersebut terlindung dari arus serta gelombang yang besar. Kedalaman perairan yang dikategorikan sangat sesuai dalam kegiatan budidaya keramba jaring apung dan jaring tancap yaitu berkisar antara 10-30 m. sedangkan pada wilayah yang memiliki kedalaman antara 4-10 m dikategorikan sesuai. Perairan yang memiliki kedalaman < 4 m dan > 30 m tidak cocok dijadikan wilayah budidaya, sehingga dikategorikan tidak sesuai Pada Gambar 26 merupakan peta kesesuaian lokasi budidaya keramba perikanan laut, dapat dilihat bahwa warna hijau menandakan wilayah tersebut termasuk kedalam kelas sangat sesuai, warna kuning menandakan kelas sesuai, sedangkan warna biru merupakan wilayah yang tidak sesuai untuk kegiatan budidaya. Zona atau wilayah yang sangat sesuai tersebar diseluruh pulau pada wilayah kajian, wilayah ini berada di sekitar gosong karang dan goba yang kedalamannya tidak terlalu dalam yaitu sekitar 10-30 m. Wilayah sesuai berada di dalam gosong karang sebelum tubir. Pada wilayah ini kedalamannya relatif lebih dangkal dari kelas sangat sesuai. Sedangkan wilayah yang termasuk tidak sesuai berada di laut lepas yang mempunyai kedalaman lebih dari 30 m. 4.4. Kecepatan Arus Kecepatan arus perairan sangat penting dalam media budidaya untuk menjaga kondisi berada pada kondisi yang optimum. Pada umumnya biota yang dibudiadayakan menyukai kondisi perairan yang bersih dan kondisi perairan yang

61 stabil (Aslianti, 2010). Oleh karena itu arus berfungsi dalam transfortasi masa air sekaligus membersihkan kotoran, mengurangi organisme menempel pada keramba yang digunakan, mengurangi dekomposisi pakan-pakan yang tidak termakan dari biota yang dibudidayakan serta menjaga kestabilan distribusi kandungan oksigen terlarut dalam air. Pada umumnya kecepatan arus dipengaruhi oleh pasang surut dan angin. Pada penelitian ini kecepatan arus diperoleh dari hasil pengolahan data pasang surut, angin, serta kedalaman perairan. Tipe pasang surut di Perairan Kepulauan Seribu adalah harian tunggal (diurnal) dimana terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. grafik pasang surut dapat dilihat pada Gambar 27. 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 14-Okt-10 15-Okt-10 16-Okt-10 17-Okt-10 18-Okt-10 Elevas (m) 19-Okt-10 20-Okt-10 21-Okt-10 22-Okt-10 23-Okt-10 24-Okt-10 25-Okt-10 26-Okt-10 27-Okt-10 28-Okt-10 29-Okt-10 30-Okt-10 31-Okt-10 Waktu Sumber: Data Ramalan Pasang Surut DISHIDROS Tahun 2010 Gambar 27. Grafik Pasang Surut Perairan Kepulauan Seribu Data pasang surut tersebut digunakan dalam meramalkan atau memodelkan pola arah dan kecepatan arus pada lokasi penelitian. Dimana arah dan kecepatan arus tersebut dibangkitkan melalui data pasang surut serta data

62 angin. Wilayah Kepulauan Seribu memilki kecapatan arus perairan tinggi pada saat musim Barat yang dapat mencapai 0.43 m/s. Kecepatan Arus yang diperoleh dari hasil model yaitu berkisar antara 0.1-0.26 m/detik. Berdasarkan hasil simulasi niali kecepatan arus terbesar berada pada wilayah bagian timur daerah kajian, dimana pada wilayah ini langsung berhadapan dengan laut lepasatau dalam berada pada wilayah yang tidak terlindung sehingga pada perairan wilayah ini sebagian besar arus dipengaruhi oleh angin yang bertiup. Peta sebaran kecepatan arus seperti yang terdapat pada Gambar 28. Kecepatan arus yang disarankan untuk kawasan budidaya perikanan laut yaitu berkisar antara 0.2-0.4 m/s sehingga dikategorikan wilayah sangat sesuai. Sebagian besar wilayah Kepulauan Seribu berdasarkan pada Gambar 28 termasuk kedalam kategori sesuai, kategori ini memiliki kisaran arus sebesar 0.05-0.2 m/s. Sedangkan pada kisaran nilai <0.05 dan >0.4 m/s tidak layak dijadikan lokasi budidaya. Kecepatan arus yang terlalu besar tidak baik untuk lokasi budidaya sebab dapat merusak media yang digunakan pada kegiatan budidaya yang pada umumnya menggunakan keramba jaring apung maupun keramba jaring tancap. Arus dan gelombang besar biasanya terjadi pada musim Barat dimana angin bertiup sangat kencang sehingga dapat membangkitkan arus permukaan yang cukup besar. Peta kesesuaian budidaya keramba perikanan laut berdasarkan kecepatan arus ditunjukkan pada Gambar 29.

Gambar 28. Sebaran Kecepatan Arus Permukaan Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 63

Gambar 29. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kecepatan Arus Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 64

65 4.5. Analisis Lokasi Kesesuaian Budidaya Keramba Perikanan Laut Pemodelan kawasan budidaya keramba perikanan laut (KJA dan KJT), dilakukan dengan menspasialkan data setiap parameter yang didapat baik dari hasil interpolasi maupun dari hasil penurunan citra setelah itu dilakukan klasifikasi ulang untuk memudahkan dalam pengkodean. Pengkodean dari setiap sel atau piksel dilakukan secara otomatis berdasarkan nilai setiap selang kelas. Overlay dilakukan untuk menggabungkan semua parameter baik kimia maupun fisika yang telah dikelaskan. Metode overlay yang digunakan dalam penelitian ini yaitu weight overlay. Berdasarkan hasil overlay zona kesesuaian budidaya keramba perikanan laut dibagi kedalam tiga kelas yaitu sangat sesuai (S1), dimana pada lokasi ini tidak terdapat faktor pembatas sehingga dapat memenuhi persyaratan minimal dalam melakukan kegiatan budidaya keramba secara optimal. Kelas yang kedua yaitu sesuai (S2), pada kawasan ini cukup berbermanfaat untuk dikembangkan untuk kegiatan budidaya, namun wilayah ini mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Faktor pembatas tersebut dapat meningkatkan biaya yang diperlukan untuk melakukan kegiatan budidaya. Kelas Tidak Sesuai (S3), dimana pada kawasan ini tidak dapat diusahakan untuk kegiatan budidaya meskipun dilakukan penambahan perlakuan sekalipun. Peta kawasan budidaya keramba perikanan laut wilayah Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar 30. Pada gambar terlihat dengan metode berbasis sel dapat dibentuk spot-spot zona potensial yang direpresentasikan dengan warna hijau dan kuning, sedangkan untuk zona tidak potensial atau tidak sesuai direpresentasikan dengan warna biru. Pada gambar terdapat titik-titik berwarna

66 merah melambangkan kegiatan budidaya keramba perikanan laut yang sudah ada pada wilayah Kepulauan Seribu. Hasil survey lapang diambil titik lokasi budidaya keramba yang telah ada sebelumnya, ini berguna sebagai perbandingan lokasi budidaya yang sudah ada dengan wilayah yang akan dikembangkan berikutnya. Seperti yang terdapat pada Gambar 30 terdapat point atau titik berwarna merah yang melambangkan keramba yang sudah ada, jika dilihat pada umumnya lokasi keramba yang sudah ada berada pada wilayah potensial. Jumlah pembudidaya keramba baik jaring apung dan keramba jaring tancap pada wilayah kajian masih terpusat pada sekitar wilayah Pulau Panggang dan Gosong Karang Lebar. Hasil pemodelan kawasan budidaya perikanan diperoleh bahwa pada umumnya lokasi potensial untuk budidaya banyak terdapat pada wilayah sekitar gosong karang dan goba seperti yang terdapat pada goba karang lebar dan goba Pulau panggang. Sedangkan kawasan yang tidak sesuai terdapat pada perairan yang relatif dangkal dan wilayah laut lepas, karena pada wilayah laut lepas sangatlah tidak terlindung dari pengaruh faktor oseanografis seperti arus dan gelombang besar yang dapat merusak, serta mengganggu dalam kegiatan budidaya. Zona yang sangat sesuai berada pada goba atau sekitar gosong karang, hal ini memungkinkan bahwa pada wilayah tersebut faktor pendukung dalam melakukan kegiatan budidaya sangat besar. Pada wilayah sekitar goba banyak terdapat terumbu karang yang dapat menyokong kehidupan habitat di sekitarnya, selain itu pada wilayah ini pula sangat terlindung dari faktor alam seperti arus serta gelombang yang besar.

Gambar 30. Kesesuaian Budidaya Keramba Perikanan Laut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 67

68 Luas dari wilayah kajian dalam penelitian ini yaitu sekitar 14723.76 ha dimulai dari Pulau Air di Sebelah Selatan hingga Pulau Kelapa Dua di sebelah Utara. Dari kajian ini diperoleh daerah potensial untuk pengembangan lokasi budidaya perikanan laut yang luasnya mencapai sekitar 2305.46 ha. Luas keseluruhan kawasan potensial tersebut terdiri dari lokasi yang dikategorikan sangat sesuai memiliki luas sekitar 351.89 ha, serta wilayah yang termasuk kedalam kategori sesuai memiliki luas sekitar 1953.57 ha seperti yang tercantum pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Wilayah Potensial Budidaya Keramba Perikanan Laut No Nama Pulau Luas (Ha) Sangat Sesuai Sesuai 1 Pulau Air 30.42 113.18 2 Pulau Bongkok 11.28 263.99 3 Pulau Harapan dan Kelapa 9.47 180.92 4 Pulau Kaliage Besar 42.14 30.73 5 Pulau Kaliage Kecil 1.31 18.93 6 Pulau Karang Congkak 72.63 224.19 7 Pulau Karya dan Panggang 44.87 223.11 8 Pulau Kelapa Dua 8.24 107.88 9 Pulau Kotok Besar 3.46 77.73 10 Pulau Kotok Kecil 0.42 31.14 11 Pulau Opak Besar 9.72 71.47 12 Pulau Opak Kecil 4.52 30.58 13 Pulau Pramuka 3.23 83.62 14 Pulau Sekati 0.26 22.01 15 Pulau Semak Daun 109.71 462.84 16 Pulau Semut 0.216 11.25 Total 351.89 1953.57

69 Tabel 4 menjelaskan mengenai luasan zona potensial dari setiap pulau pada wilayah kajian, berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat hampir disetiap pulau pada wilayah kajian dapat dilakukan kegiatan budidaya. Pulau yang memiliki area terluas dalam pengembangan kegiatan budidaya yaitu pada sekitar Pulau Semak Daun yang memiliki luasan potensial sekitar 109.71 ha untuk zona sangat sesuai serta 462.84 ha untuk zona sesuai. Luasan wilayah potensial budidaya perikanan laut yang didapat dari hasil pemodelan secara spasial ini belum merupakan luasan yang dapat dijadikan wilayah budidaya, dikarenakan pada penelitian ini belum dimasukan faktor-faktor pendukung lainnya seperti dari aspek sosial. Pengembangan budidaya keramba jaring apung dan keramba jaring tancap berpeluang cukup besar sebab area yang belum termanfaatkan masih cukup luas. Namun dalam proses pengembangan usaha budidaya perlu diperhatikan prinsip kelestarian dan berkelanjutan. Untuk itu, potensi yang ada sebaiknya tidak dimanfaatkan seluruhnya, tetapi disediakan untuk penyangga yang berguna dalam mengurangi efek penurunan kualitas lingkungan. Untuk itu diperlukan penataan dalam mendirikan keramba-keramba agar pada lokasi tersebut tidak terlalu padat.