BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut berguna untuk mempertajam hasil pencitraan dari lamun yang selanjutnya menghasilkan peta tematik yang berupa hasil peta sebaran lamun Klasifikasi Citra Proses pengklasifikasian diolah dengan software ER Mapper yang didasarkan pada algoritma lyzenga sebagai kunci interpretasi. Sebelumnya kita melakukan praproses citra ( Lampiran 1) sebelum masuk ke klasifikasi citra. Kelas yang dihasilkan pada unsupervised classification adalah kelas spektral dimana kelas didasarkan pada nilai natural spektral citra. Banyaknya kelas diperlihatkan pada histogram hasil algoritma lyzenga yang diwakili oleh puncakpuncak nilai piksel yang dominan (Lampiran 4) dan hasil citra dari klasifikasi algoritma lyzenga (Lampiran 5). Klasifikasi citra dibagi menjadi 20 kelas agar lebih memudahkan dalam penggabungan kelas mengingat jumlah kelas yang dihasilkan diperkirakan sekitar 100 kelas yang selanjutnya di reclass menjadi 7 kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang hidup, karang mati, pecahan karang, darat dan laut dalam sesuai kunci interpretasi yang digunakan (Siregar 1995) (Lampiran 6). Proses klasifikasi juga di reclass kembali untuk menggabungan kelas yang sama dengan menggunakan ArcToolbox dengan ekstensi Reclassify pada Software Arc GIS 9.3 berdasarkan nilai-nilai data raster citra. Hasil reklasifikasi dilakukan pengeditan warna dan interpretasi kelas serta diberi label. Pengeditan dilakukan untuk memperbaiki keakuratan kondisi sebenarnya dan menghilangkan fitur yang tidak diinginkan setelah diidentifikasi seperti awan, pecahan karang, dan karang mati sehingga pada akhirnya hanya mempunyai 5 kelas. Hasil tersebut masih perlu diakurasikan dengan pemeriksaan langsung dengan survei lapangan 28

2 29 sehingga hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk peta tematik sebagai informasi sebaran dan kondisi lamun di perairan Bintan Timur Peta Tematik Sebaran Ekosistem Lamun Hasil data citra yang telah di olah dapat dijadikan sebagai informasi sebaran ekosistem padang lamun di Perairan Bintan Timur dan disajikan dalam bentuk peta tematik sebaran ekosistem lamun yang diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. (Gambar 7, 8, 9, 10 dan 11). Panjang keseluruhan garis pantai pada peta adalah 25,254 Km dan luas padang lamun adalah ha, dimana panjang garis pantai dan luas lamun dari setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 6. Penghitungan ini di dapat dari pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Stasiun 1 merupakan stasiun yang memiliki sebaran lamun yang paling luas dibanding tiga stasiun yang lain yaitu seluas 264,89 ha dan merupakan kondisi lamun yang baik. Pada peta dapat dilihat adanya seberan terumbu karang yang berada didepan ekosistem lamun di banding pada stasiun yang lainya hal ini disebabkan adanya asosiasi antara ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang yang berjalan dengan baik, berupa ekosistem lamun sebagai penahan sedimen yang baik sebelum sedimen masuk dan merusak ekosistem terumbu karang, hal ini menyebabkan pertumbuhan terumbu karang yang baik sehingga terdapat terumbu karang yang cukup luas. Menurut (Supriadi 2008) ekosistem terumbu karang sebagai pelindung bagi ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove dari hempasan gelombang dan arus yang datang dari laut lepas, sehingga jika kondisi terumbu karang yang baik dan banyak dapat membantu ekosistem lamun dari hempasan gelombang dan arus. Pada stasiun 2 masih terdapat terumbu karang walaupun lebih sedikit dibandingkan dengan stasiun 1, sedangkan pada stasiun 3 dan stasiun 4 tidak ditemukannya terumbu karang di karenakan luasan lamun yang sedikit yaitu hanya sebesar ha pada stasiun 3 dan ha pada stasiun 4 ditambah lagi dengan kondisi perairan yang sangat buruk seperti salinitas pada stasiun 4 hanya sebesar 25,75 jauh dibawah standar baku mutu yaitu antara ±35 - ±40 (waycot et al 2007). Kadar oksigen terlarut pada stasiun 4 sebesar

3 30 4,4mgL -1 s, sedangkan menurut (Effendi 2003) dimana perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memilih kadar oksigen tidak kurang dari 5mgL -1, subtrat yang terdapat pada stasiun 4 dan stasiun 3 lebih berlumpur dibandingkan dengan stasiun 1 dan stasiun 2 yang subtratnya sebagian besar adalah pasir sehingga kecerahan perairan bisa rendah. Kecerahan berpengaruh terhadap cahaya yang masuk keperairan untuk kepentingan fotosintesis lamun, dengan kondisi parameter perairan dan subtrat seperti itu tidak baik untuk pertumbuhan pada ekosistem lamun maupun ekosistem terumbu karang. Tabel 6. Panjang Garis Pantai dan Luas Lamun Stasiun Panjang Garis Pantai (km) Luas lamun (ha) Stasiun ,89 Stasiun ,563 Stasiun ,572 Stasiun ,107 Jumlah ,132 Gambar 7. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Bintan Timur

4 31 Gambar 8. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 1 Gambar 10. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 3 Gambar 9. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 2 Gambar 11. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Stasiun 4

5 Kondisi Parameter Perairan Pengamatan parameter lingkungan fisika dan kimia perairan di lakukan pada saat perairan pasang yaitu pada kisaran pukul WIB pengambilan sampel dilakukan 4 pengulangan di setiap stasiun (Lampiran 10). Hasil dari penghitungan parameter perairan dilapangan seperti : suhu, salintas, derajat keasaman (ph), oksigen terlarut (DO), kecepatan arus, kedalaman, kecerahan disajikan dalam bentuk grafik yang disatukan dari setiap stasiun agar lebih muda dianalisis perbedaan setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 12. Parameter Perairan Setiap Stasiun Kedalaman (m) DO (mg/l) ph Suhu (C) Kecerahan (%) Arus (cm/s) Salinitas ( ) Stasiun Gambar 12. Grafik Parameter Parairan Setiap Stasiun Pada stasiun 1 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan didapatkan : suhu sebesar 30,55 C, kedalaman 1,22 m, kecerahan sebesar 100%, DO sebesar 6,6 mgl -1, arus sebesar 0.13 ms -1, ph sebesar 7,67, dan salinitas sebesar 35,075. Kondisi dari perairan tersebut sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun, dikarenakan nilai-nilai tersebut masih masuk dalam baku mutu yang baik untuk pertumbuhan lamun. Pada stasiun 2 dan stasiun 3 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan hasilnya tidak terlalu berbeda didapatkan berturut-turut : suhu sebesar 32,3 C dan 0

6 33 34,9 C, kedalaman 1,34 m dan 1,11 m, kecerahan sebesar 100% dan 100%, DO sebesar 5,57 mgl -1 dan 5,7 mgl -1, arus sebesar 0.12 ms -1 dan 0.08 ms -1, ph sebesar 7,12 dan 7,77, dan salinitas sebesar 34,32 dan 34,17. Dibandingkan dengan stasiun 1 parameter di stasiun 2 dan stasiun 3 tidak sebagus pada stasiun 1 namun nilai tersebut masih masuk dalam nilai standar baku mutu yang baik untuk pertumbuhan lamun. Pada stasiun 4 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan didapatkan : suhu sebesar 28,07 C, kedalaman 1,8 m, kecerahan sebesar 87,5%, DO sebesar 4,4 mgl -1, arus sebesar 0.3 ms -1, ph sebesar 6,27, dan salinitas sebesar 25,75. Kualitas perairan di stasiun 4 ada beberpa parameter yang di bawah baku mutu seperti DO hanya 4,4 mgl -1, menurut (Effendi 2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memilih kadar oksigen tidak kurang dari 5 mgl -1. Salinitas hanya sebesar 25,75 menurut (Waycott et al. 2007) Salinitas yang ideal bagi kehidupan lamun adalah senilai ±35 - ±40. Sehingga perairan di stasiun 4 termasuk perairan yang tidak baik untuk pertumbuhan lamun. Perbedaan kualitas air di setiap stasiun disebabkan karena kondisi lingkungan yang berbeda dari setiap stasiun seperti adanya muara sungai yg besar pada stasiun 4 hal ini dapat mempengaruhi parameter salinitas karena perbedaan salinitas pada air tawar yang lebih rendah dibandingkan dengan air laut, semakin besar debit air yang masuk ke perairan laut maka semakin tinggi juga pengaruh ke salinitasnya. Akitifitas manusia disekitar lingkungan stasiun juga mempengaruhi perbedaan dari setiap parameter perairan pada stasiun 1 tidak ada ditemukan nya aktifitas manusia yang mengganggu perairan sehingga keadaan parameter perairan di stasiun 1 lebih bagus di banding 3 stasiun lainnya. Berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan substrat pada setiap stasiun tidak jauh berbeda, sehingga peneliti menggunakan data sekunder dari Bappeda Kabupaten Bintan (2010) yang menyatakan substrat yang berada pada perairan Bintan Timur adalah pasir yaitu pada stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3 kecuali di daerah kawal atau stasiun 4 yang merupakan substrat pasir belumpur.

7 Kondisi Ekositem Lamun Survei lapangan dilakukan selama 10 hari yaitu pada tanggal 22 april sampai 2 Mei Pengambilan dan penghitungan sampel dilakukan saat perairan surut yaitu sekitar pukul WIB. Pemeriksaan lapangan di lakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun pada empat stasiun yang berbeda agar dapat digabungkan hasilnya dengan peta sebaran lamun yang telah di dapat, dimana setiap stasiun ditentukan berdasarkan kondisi lingkungan sekitar. Hasil dari pengambilan data kondisi lamun mencakup persentasi jumlah jenis lamun, persentasi tutupan lamun dan biomassa lamun dapat dilihat pada Table 7. Tabel 7. Hasil Pengambilan Data Kondisi Lamun Stasiun Jenis Lamun Biomassa g(m 2 ) -1 Persen Tutupan % Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Persentase Jumlah Jenis Lamun Berdasarkan pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda, ditemukan 5 jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium dan Halophila spinulosa. Jenis lamun yang banyak ditemukan di perairan Bintan Timur adalah jenis Enhalus acoroide dan Thallasia hemprichi. Pada stasiun 1 merupakan stasiun yang paling banyak di temukan jenis lamun dibandingkan dengan stasiun 2, 3 dan 4. Hal ini disebabkan lokasi pada stasiun 1 merupakan lokasi yang masih dapat dikatakan alami karena belum terjadinya pencemaran lingkungan disekitar lokasi selain itu juga pada stasiun 1 merupakan lokasi yang sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun karena dari pengamatan parameter perairan di lapangan hasilnya masuk kedalam standar baku mutu untuk pertumbuhan lamun. Pada stasiun 2 dan stasiun 3 sama-sama hanya ditemukan tiga jenis lamun, hal ini dikarenakan lokasi pada stasiun 2 dan stasiun 3 yang berdekatan hanya

8 35 berjarak sekitar 3 Km di banding ke stasiun 1 berjarak 9 Km dan ke stasiun 4 berjarah 8 Km. Lingkungan pada stasiun 2 yang berdekatan dengan tempat penginapan atau hotel sedangkan pada stasiun 3 berdekatan dengan tempat makan atau restoran dimana hal ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dari limbah pembuangan hotel dan restoran yang dapat mempengaruhi kualitas perairan. Pada stasiun 4 sangat sedikit ditemukan jenis lamun yaitu hanya terdapat dua jenis lamun, hal ini di karenakan lokasi pada stasiun 4 merupakan daerah yang kondisi parametr perairan yg paling buruk dari 3 stasiun lainnya ditambah lagi lokasi stasiun 4 yang berdekatan dengan pemukiman warga sehingga tingkat pencemaran di lokasi tersebut lebih tinggi dibanding 3 stasiun lainnya yang tidak ada pemukiman warga. Pencemaran-pencemaran dapat ditimbulkan dari aktifitas warga seperti tumpahan bahan bakar minyak dari kapal-kapal nelayan yang berlabuh disekitar perairan stasiun 4 dan pengecatan kapal yang dilakukan langsung didekat perairan. Pada stasiun 1 ditemukan jenis lamun yang paling banyak yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium dan Halophila spinulosa (Lampiran 7). Jenis lamun Enhalus acoroides merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu dengan persentase sebesar 44,81%, Thallasia hemprichi 26,41%, Cymodocea rotundata 16,03%, Syringodium isoetifolium 8,0% dan Halophila spinulosa 4,71%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 13. 8% 5% Stasiun 1 Enhalus acoroides 16% 45% Thalasia hemprichi Cymodecea rotundata 26% syringodium isoetifolium Halophila spinulosa Gambar 13. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 1

9 36 Pada stasiun 2 ditemukan jenis lamun lebih sedikit dibandingkan stasiun 1 hanya tiga jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi dan Cymodocea rotundata (Lampiran 7). Jenis lamun Enhalus acoroides tetap merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu dengan persentase sebesar 65,16%, Thallasia hemprichi 24,71% dan Cymodocea rotundata 10,11%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 14. Stasiun 2 25% 10% 65% Enhalus acoroides Thalasia hemprichi Cymodecea rotundata Gambar 14. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 2 Pada stasiun 3 ditemukan jenis lamun tidak jauh berbeda dengan stasiun 2 tetapi lebih sedikit dibandingkan stasiun 1. Persentase jenis lamun pada stasiun 3 yaitu Enhalus acoroides 62,59%, Thallasia hemprichi 24,42% dan Cymodocea rotundata 12,97%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 15. Stasiun 3 24% 13% 63% Enhalus acoroides Thalasia hemprichi Cymodecea rotundata Gambar 15. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 3 Pada stasiun 4 ditemukan jenis lamun yang paling sedikit dibandingkan stasiun 1, 2 dan 3 hanya ditemukan dua jenis lamun yaitu Enhalus acoroides dan Thallasia hemprichi (Lampiran 7) dengan masing-masing persentase Enhalus

10 37 acoroides sebesar 80% dan Thallasia hemprichi sebesar 20%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar % Stasiun 4 Enhalus acoroides Thalasia hemprichi 80% Gambar 16. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun Analisis Data Biomasa Lamun Berdasarkan data pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda, ditemukan 5 jenis lamun yang berbeda pula, dimana setiap pengambilan sampel dilakukan tiga kali pengulangan disetiap stasiun. Penghitungan biomassa lamun yang digunakan adalah jenis lamun Enhalus acoroides karena jenis lamun Enhalus acoroides yang paling banyak ditemukan disetiap stasiun dibandingkan dengan jenis lamun yang lainya. Pada stasiun 1 dapat kita lihat berat biomassa lamun Enhalus acoroides sebesar 636,25 g(m 2 ) -1, 684,25 g(m 2 ) -1, dan 860,75 g(m 2 ) -1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut adalah 727,08 g(m 2 ) -1. Pada Stasiun 2 berat biomassa lamun Enhalus acoroides sebesar 441,75 g(m 2 ) -1, 354,25 g(m 2 ) -1 dan 316 g(m 2 ) -1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut adalah 370,66 g(m 2 ) -1. Pada stasiun 3 tidak jauh berbeda dengan stasiun 2 yaitu sebesar 553,25 g(m 2 ) -1, 391 g(m 2 ) -1 dan 493 g(m 2 ) -1 dengan rata-rata 479,08 g(m 2 ) -1. Pada stasiun 4 berat biomassa lamun yang paling kecil yaitu sebesar 233,5 g(m 2 ) -1, 190,5 g(m 2 ) -1 dan 167,75 g(m 2 ) -1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut adalah 197,25 g(m 2 ) -1 (Lampiran 8). Perbandingan persentase dari ke 4 stasiun di atas dapat dilihat pada Gambar 17.

11 38 Biomassa 27% 11% 41% Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 21% Gambar 17. Presentase Biomassa dari Setiap Stasiun Dapat dilihat dari gambar di atas bahwa nilai berat biomassa lamun Enhalus acoroides pada stasiun 1 merupakan nilai biomassa yang tertinggi dibandingkan dari stasiun lainnya, hal ini di sebabkan daun-daun dari lamun Enhalus acoroides distasiun 1 masih sangat bagus dan meliliki kerapatan yang tinggi, sehingga mempunyai berat yang lebih tinggi di banding pada stasiun 2 dan stasiun 3 yang mempuyai biomassa lebih kecil dibanding stasiun 1 walaupun demikian perbedaan yang sangat mencolok terdapat pada stasiun 4 dengan kerapatan yang sangat rendah dan kulitas daun-daun lamun yang tidak bagus. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan pada setiap stasiun berbeda-beda dan lokasi pada stasiun 4 berdekatan dengan permukiman warga dan pelabuhan nelayan sehingga pengaruh pencemaran yang terjadi juga lebih tinggi Persentase Penutupan Lamun Berdasarkan data pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda, ditemukan persentase penutupan yang berbeda-beda. Pengambilan data dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada setiap stasiun. Persentase penutupan lamun dapat kita lihat dari seberapa banyak sub-transek yang tertutupi oleh lamun, jumlah sub-transek sebanyak 25 sub-transek dimana transek kuadrat tersebut mempunyai ukuran sebesar 1m x 1m.

12 39 Hasil penghitungan dilapangan menunjukan bahwa nilai persentase penutupan yang tertingi pada stasiun 1 yaitu sebesar 66% hal ini menunjukan bahwa lingkungan distasiun 1 sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun, dibandingkan stasiun 2 dan stasiun 3 yang memiliki nilai persentase yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 30% dan 39% hal ini dikarenakan lokasi pada stasiun 2 dan stasiun 3 yang berdekatan sehingga kondisi lingkungan perairan tersebut tidak jauh berbeda. Pada stasiun 4 memiliki perbedaan yang signifikan lebih rendah persentasi penutupan lamun dibandingkan dengan 3 stasiun yang lainnya, dimana nilai persentase penutupan lamun stasiun 4 hanya sebesar 3% hal ini dikarenakan kondisi parameter perairan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan lamun dan pada stasiun 4 lokasinya berdekatan dengan muara sungai yang cukup besar sehingga perairan tersebut dapat mengalami perubahan dari setiap parameter perairan dimana perubahan yang secara drastis akan sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perkembangan lamun. Pada stasiun 1 jumlah sub-transek yang tertutupi lamun adalah 21, 23, dan 22 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 22 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada stasiun 1 sebesar 66% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 1 dapat kita lihat pada Gambar % Stasiun 1 Penutupan Lamun Sisa Penutupan 66% Gambar 18. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 1 Pada stasiun 2 jumlah sub-transek yang tertutupi oleh lamun adalah 20, 11 dan 10 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 13.6 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun

13 40 pada stasiun 2 sebesar 30.5% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 2 dapat kita lihat pada Gambar 19. Stasiun 2 30% Penutupan Lamun Sisa Penutupan 70% Gambar 19. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 2 Pada stasiun 3 jumlah sub-transek yang tertupi oleh lamun adalah 12, 18 dan 15 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 15 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada stasiun 3 sebesar 39% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 3 dapat kita lihat pada Gambar 20. Stasiun 3 39% Penutupan Lamun Sisa Penutupan 61% Gambar 20. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 3 Pada stasiun 4 jumlah sub-transek yang tertupi oleh lamun adalah 5, 3 dan 6 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 4,6 sub transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada stasiun 4 sebesar 3,2% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 4 dapat kita lihat pada Gambar 21.

14 41 Stasiun 4 3% Penutupan Lamun Sisa Penutupan 97% Gambar 21. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun Kondisi Ekosistem Lamun Kondisi ekosistem lamun yang berada pada perairan Bintan Timur di bagi menjadi tiga klasifikasi kondisi lamun yaitu buruk, sedang dan baik. Pengamatan kondisi ekosistem lamun dilakukan di masing-masing stasiun. Hasil pengamatan tiap stasiun dari kondisi lamun berbeda-beda, di mana stasiun 1 memiliki kondisi ekosistem lamun baik dengan persentasi IKL 73,33%, stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki kondisi lamun yang sama yaitu sedang dengan persentasi IKL 46,66%, berbeda hal nya dengan stasiun 4 yang memilki kondisi lamun yang buruk dengan persentasi IKL 20% (Lampiran 11). Meningkatnya lahan terbangun atau lahan terbuka hasil aktifitas manusia dan kegiatannya di wilayah pesisir pantai dapat menjadi salah satu ancaman bagi ekosistem lamun terutama akan meningkatkan suplai sedimen terlarut dan sedimentasi ke perairan dan meningkatnya muatan nutrien (Duarte 2002). Penyebab perbedaan kondisi ekosistem lamun dari setiap stasiun dikarenakan beberapa faktor diantaranya : perbedaan kualitas perairan, aktifitas masyrakat disekitarnya, pelabuhan nelayan, muara sungai yang besar. Pada stasiun 4 memiliki nilai persentasi IKL yang paling rendah hal ini dikarenakan hasil dari perhitungan jumlah jenis, biomassa dan persen penutupan pada stasiun 4 sangat rendah dibandingkan tiga stasiun lainnya, dimana kondisi perairan pada stasiun 4 banyak nilai yang tidak mencakup nilai baku mutu untuk kondisi yang baik dalam pertumbuhan lamun. Nilai parameter perairan pada stasiun 4 yang

15 42 buruk disebabkan oleh banyaknya aktifitas masyrakat sekitar yang kurang peduli dengan pencemaran yang dilakukannya seperti diantaranya membuang air limbah rumah seperti air bekas mandi, pencucian baju yang langsung dibuang ke perairan laut karena rumah masyarakat sekitar berupa rumah panggung yang berada langsung di atas perairan langsung dan aktifitas yang paling merusak perairan yaitu adanya kegiatan nelayan yang memperbaiki kapalnya langsung di perairan tersebut dari membuang oli-oli bekas sampai pengecatan lambung-lambung kapal, ditambah lagi lokasi stasiun 4 yang berdekatan dengan muara sungai yang cukup besar dan membawa air tawar masuk ke perairan laut sekitar. Bandingkan dengan stasiun 1 yang kondisi ekosistem lamun yang baik, dimana lokasi tersebut sangat jauh dari aktifitas masyarakat yang dapat merusak dan mencemari perairan sehingga stasiun 1 sangat cocok dan baik untuk pertumbuhan lamun. Menurut (Short dan Echeverria 2000) salah satu sebab kerusakan lamun karena kurangnya kesadaran manusia terhadap nilai dan fungsi ekosistem lamun. Pembangunan wilayah pesisir dengan konsep sustainable tourism dapat dijadikan alternatif dalam pemecahan masalah pemanfaatan ruang perairan pantai. Setelah mendapatkan kondisi dari ekosistem lamun dari setiap stasiun pengamatan maka kita akan mendapatkan hasil peta berupa sebaran dan kondisi ekosistem lamun di perairan Bintan Timur Kepulauan Riau (Gambar 22).

16 43 Gambar 22. Peta Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra 4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul Dinamika Karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Pemetaan Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur Kepulauan Riau.

KATA PENGANTAR Pemetaan Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur Kepulauan Riau. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang diajukan sebagai acuan pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Firman Farid Muhsoni, S.Pi., M.Sc 1 Dr. HM. Mahfud Efendy, S.Pi, M.Si 1 1) Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Bintan merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.Wilayah administrasi gugus Pulau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Oleh : Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Prof. Dr. Indra Jaya, M.Sc Ir. Indarto H.

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta

Lebih terperinci

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA 1 SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep

Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep M. FADJRIN ADIM 1, HASYIMUDDIN 1, ERNAWATI KASENG 1 Jurusan Biologi, Fak. Sains dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut. Secara sepintas

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

ANWAR SADAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2004

ANWAR SADAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2004 29 KONDISI EKOSISTEM MANGROVE BERDASARKAN INDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN DAN PENGUKURAN MORFOMETRIIC DAUN DI WAY PENET, KABUPATEN LAMPUNG TIMUR, PROPINSI LAMPUNG ANWAR SADAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terdiri atas 13.667 pulau tetapi baru sekitar 6.000 pulau yang telah mempunyai nama, sedangkan yang berpenghuni sekitar 1000 pulau. Jumlah panjang garis

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

Lampiran 1. Lokasi pengambilan data

Lampiran 1. Lokasi pengambilan data 53 Lampiran 1. Lokasi pengambilan data Stasiun 1 (Selatan Pulau) di Desa Banassem Stasiun 2 (Barat Pulau) di Desa Soka Rammi Stasiun 3 (Utara Pulau) di Desa Sonok Stasiun 4 (Timur Pulau) di Desa Prambanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

Pendahulua n PENDAHULUAN. segi kuantitas maupun kualitas, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar

Pendahulua n PENDAHULUAN. segi kuantitas maupun kualitas, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar Pendahulua n A. Latar Belakang PENDAHULUAN Potensi sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia begitu beragam baik dari segi kuantitas maupun kualitas, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Jenis dan Biomassa Lamun (Seagrass) Di Perairan Pulau Belakang Padang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau.

Jenis dan Biomassa Lamun (Seagrass) Di Perairan Pulau Belakang Padang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau. Jenis dan Biomassa Lamun (Seagrass) Di Perairan Pulau Belakang Padang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau By : Muhammad Yahya 1), Syafril Nurdin 2), Yuliati 3) Abstract A Study of density

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini III METODE PENELITIAN.. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Rinta Kusumawati ABSTRAK Lamun merupakan tanaman laut berbentuk daun tegak memanjang dengan pola sebaran mengelompok pada substrat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Selat Dompak Taivjung Kepulauan Riau yang merupakan daerah pengamatan dan pengambilan sampel (Lan^iran 1).

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Analisis parameter kimia air laut

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

Analisis Perubahan Luasan Terumbu Karang dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Perairan Pulau Pramuka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

Analisis Perubahan Luasan Terumbu Karang dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Perairan Pulau Pramuka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Analisis Perubahan Luasan Terumbu Karang dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Perairan Pulau Pramuka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Jeppry Candra Manullang, Hartoni, Heron Surbakti Program

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA Nurida siregar*), Suwondo, Elya Febrita, Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan

Lebih terperinci

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara.

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara. Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara Suhandoko 1, Winny Retna Melani 2, Dedy Kurniawan 3 suhandoko.2001@gmail.com Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem Tabel Parameter Klasifikasi Basis Data SIG Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Kelautan No Parameter Satuan 1 Parameter Fisika Suhu ºC Kecerahan M Kedalaman M Kecepatan Arus m/det Tekstur

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Lamun 2.1.1 Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2

I. PENDAHULUAN km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2 keseluruhan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010

Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010 Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010 MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH Rezha Setyawan 1, Dr. Ir. Achmad Rusdiansyah, MT 2, dan Hafiizh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Proses pengambilan sampel dilakukan di Perairan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta pada tiga

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014 Analisis Distribusi Klorofil A Dengan Pengaruhnya Terhadap Hasil Perikanan Menggunakan Metode Penginderaan Jauh ( Studi Kasus Pesisir Pantai Pesawaran Lampung ) Henndry, Andri Suprayogi, Bambang Darmo

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil pengukuran kualitas air

Lampiran 1 Hasil pengukuran kualitas air 78 Lampiran 1 Hasil pengukuran kualitas air HASIL TEST RESULT N o PARAMETER PARAMETERS SATUAN UNIT STA1.11 STA2.11 STA3.11 Pasang Surut Pasang Surut Pasang Surut Parameter Fisika kimia 1. ph 8.11+ 0.06

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Panggang adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian diawali dengan survei pendahuluan pada bulan Agustus 2012. Penelitian utama ini telah dilaksanakan pada Januari 2013 - Februari

Lebih terperinci

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rudini, rudini1990@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan Pariwisata Kegiatan pariwisata di Pulau Karimunjawa sangat tinggi. Bisa dilihat dari kunjungan wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa dari setiap

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009)

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) 59 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) 60 61 Lampiran 3. Data

Lebih terperinci