4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

3 METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

DAYA PERAIRAN. Fisheries Department UMM

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. LKPJ Gubernur Sulawesi Selatan Tahun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

4 KEADAAN UMUM. 25 o -29 o C, curah hujan antara November samapai dengan Mei. Setiap tahun

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BERITA RESMI STATISTIK

ASESMEN SUBSEKTOR EKONOMI

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

Transkripsi:

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Potensi Sumberdaya Perikanan Wilayah perairan Provinsi Sulawesi Selatan merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Flores dan Selat Makassar (WPP-4) dengan posisi geografis kurang lebih 2 o 7 o LS dan 115 o 123 o BT. Berdasarkan hasil pengkajian stok ikan di perairan Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 diperoleh data bahwa pada WPP-4 tersebut memiliki total potensi sumberdaya ikan sebesar 929,72 ribu ton/tahun, dengan produksi mencapai 655,45 ribu ton/tahun sehingga tingkat pemanfaatannya mencapai 70,50%. Berdasarkan data tersebut secara umum masih terdapat peluang pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP-4, namun demikian untuk komoditas cumi-cumi, udang penaid, dan ikan demersal di WPP tersebut sudah terindikasi tangkap lebih. Pada Tabel 10 diperlihatkan potensi lestari dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di WPP-4 dan WPP lainnya di perairan Indonesia. 4.2 Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap Pada Tahun 2002, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Selatan dari sektor perikanan mencapai Rp 1.206.245.931,- yang bersumber dari retribusi penjualan produksi usaha Daerah, retribusi pemakaian kekayaan Daerah, retribusi pelayanan jasa ketatausahaan, serta dana bergulir (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2002). Konsumsi ikan perkapita di provinsi Sulawesi Selatan dalam Tahun 2002 mencapai 44,4 kg/kapita/tahun, sedangkan pada tahun 2001 tercatat 44,2 kg/kapita/tahun sehingga terjadi peningkatan sebesar 4,5%. Memperhatikan tingkat konsumsi ikan yang telah dicapai, jika dibandingkan dengan konsumsi ikan nasional maka secara keseluruhan konsumsi ikan di daerah ini relatif besar meskipun tidak

merata, khusus pada daerah-daerah yang jauh dari pantai masih jumpai kondisi rawan gizi.

Tabel 10. Potensi Lestari dan Peluang Pengembangan Masing-Masing Kelompok Sumberdaya Ikan Laut Pada Setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Kelompok Wilayah Pengelolaan Perikanan Perairan Sumber Daya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Indonesia Ikan Pelagis Besar Potensi (10 3 ton/tahun) 7,67 66,08 55,00 193,60 104,12 106,51 75,26 50,86 386,26 1.165,36 Produksi (10 3 ton/tahun) 5,27 35,16 137,82 85,10 29,10 37,46 53,43 34,55 188,28 736,17 Pemanfaatan (%) >100 53,21 >100 43,96 27,95 35,17 87,54 67,93 48,74 63,17 Ikan Pelagis Kecil Potensi (10 3 ton/tahun) 47,30 621,50 340,00 605,44 132,00 379,44 384,75 468,66 526,57 3.605,66 Produksi (10 3 ton/tahun) 32,70 205,53 507,53 333,35 146,47 119,43 62,45 12,31 264,56 1.784,33 Pemanfaatan (%) 90,15 33,07 >100 55,06 >100 31,48 16,23 2,63 50,21 49,49 Ikan Demersal Potensi (10 3 ton/tahun) 82,40 334,80 75,20 87,20 9,32 83,84 54,86 202,34 135,13 1.365,09 Produksi (10 3 ton/tahun) 146,23 54,69 34,92 167,38 43,20 32,14 15,31 156,80 134,83 1.085,50 Pemanfaatan (%) >100 16,34 89,26 >100 >100 38,33 27,91 77,49 99,78 79,52 Ikan Karang Konsumsi Potensi (10 3 ton/tahun) 5,00 21,57 9,50 34,10 32,10 12,50 14,50 3,10 12,88 145,25 Produksi (10 3 ton/tahun) 21,60 7,88 48,24 24,11 6,22 4,63 2,21 22,58 19,42 156,89 Pemanfaatan (%) >100 36,53 >100 70,70 19,38 37,04 15,24 >100 >100 >100 Udang Penaeid Potensi (10 3 ton/tahun) 11,40 10,00 11,40 4,80 0,00 0,90 2,50 43,10 10,70 94,80 Produksi (10 3 ton/tahun) 49,46 70,51 52,86 36,91 0,00 1,11 2,18 36,67 10,24 259,94 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 0,00 >100 87,20 85,08 95,70 >100 Lobster Potensi (10 3 ton/tahun) 0,40 0,40 0,50 0,70 0,40 0,30 0,40 0,10 1,60 4,80 Produksi (10 3 ton/tahun) 0,87 1,24 0,93 0,65 0,01 0,02 0,04 0,16 0,16 4,08 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 92,86 2,50 6,67 10,00 >100 10,00 85,00 Cumi-cumi Potensi (10 3 ton/tahun) 1,86 2,70 5,04 3,88 0,05 7,13 0,45 3,39 3,75 28,25 Produksi (10 3 ton/tahun) 3,15 4,89 12,11 7,95 3,48 2,85 1,49 0,30 6,29 42,51 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 >100 39,97 >100 8,85 >100 >100 Total Potensi (10 3 ton/tahun) 76,03 1.057,05 96,64 929,72 277,99 590,62 632,72 771,55 1.076,89 6.409,21 Produksi (10 3 ton/tahun) 389,28 379,90 1.094,41 655,45 228,48 197,64 237,11 263,37 623,78 4.069,42 Pemanfaatan (%) >100 35,94 >100 70,50 82,19 33,46 7,47 34,14 57,92 63,49 Sumber : DKP, 2002 Catatan: 1. Selat Malaka, 2. Laut Cina Selatan, 3. Laut Jawa, 4. Selat Makassar dan Laut Flores, 5. Laut Banda, 6. Laut Seram dan Teluk Tomini, 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, 8. Laut Arafura, 9. Samudera Hindia Overfishing Lebih besar dari MSY Belum optimal

Tercatat tujuh Kabupaten/Kota di provinsi Sulawesi Selatan bagian Selatan telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan perikanan tangkap di provinsi Sulawesi Selatan. Ketujuh Kabupaten/Kota tersebut yaitu Makassar, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng, Sinjai, dan Selayar. Berdasarkan data statistik perikanan provinsi, pada tahun 2003 produksi perikanan tangkap provinsi Sulawesi Selatan adalah 354.434,5 ton, dimana 163.640,4 ton atau 46,2%-nya dihasilkan dari tujuh Kabupaten/Kota tersebut. Sisanya 53,8% dihasilkan dari 12 Kabupaten/Kota lainnya di provinsi Sulawesi Selatan. Produksi sebesar 163.640,4 ton dari tujuh Kabupaten/Kota tersebut berturut-turut dihasilkan dari Jeneponto (26,7%); Takalar (24,2%); Bulukumba (14,6%); Sinjai (13,2%); Makassar (11,0%); Selayar (8,3%); dan Bantaeng (2,0%). Alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di Sulawesi Selatan cukup beragam. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan (2004), sejak tahun 1979 sampai dengan 2003 terdapat sekitar 13 jenis alat tangkap dominan yang digunakan. Alat tangkap tersebut adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu. Keseluruhan alat tangkap tersebut tidak sepenuhnya ditemukan di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan penggunaan alat tangkap tersebut disesuaikan dengan kondisi perairan Kabupaten/Kota tersebut. (1) Kotamadya Makassar Jenis alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu. Sejak tahun 1979 sampai dengan 2003, dari keseluruhan alat tangkap yang ada, terdapat 3 (tiga) alat tangkap yang mengalami peningkatan dalam hal jumlah yakni Pukat cincin, Jaring klitik dan Pancing tonda. Walaupun memiliki kecenderungan yang meningkat, namun ketiga alat tersebut juga memiliki kecenderungan yang berfluktuasi terutama pada kurun waktu tahun 1980-

an. Adapun untuk alat lainnya, memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan periode tahun 1979 sampai dengan 2003. Alat tersebut umumnya banyak digunakan sekitar tahun 1979 sampai dengan 1983. Namun mulai tahun 1984 hingga 2003 penggunaan alat tangkap tersebut sangat berfluktuatif dan memiliki kecenderungan menurun. Secara keseluruhan, alat tangkap yang paling dominan digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar secara berurutan adalah jaring klitik rata-rata sebanyak 191 unit per tahun, bagan tancap rata-rata sebanyak 152 unit per tahun, jaring insang tetap rata-rata sebanyak 124 unit per tahun, sedangkan alat tangkap dengan jumlah penggunaan paling sedikit adalah bubu yakni rata-rata sebanyak 13 unit per tahun. Data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan (2004) juga memperlihatkan besarnya produksi tangkapan dengan menggunakan ke-13 alat tangkap tersebut. Umumnya, jumlah produksi alat tangkap tersebut mengalami peningkatan dalam kurun waktu 24 tahun, kecuali untuk alat tangkap jaring insang hanyut dan bubu yang jumlah produksinya cenderung menurun. Secara rata-rata, urutan jumlah produksi terbanyak adalah untuk alat tangkap pukat cincin yakni sebesar 3.027 ton per tahun, jaring insang hanyut sebesar 2.615 ton per tahun, bagan tancap sebesar 1.625 ton per tahun, dan jumlah produksi terendah adalah alat tangkap bubu sebanyak 45 ton per tahun. (2) Kabupaten Takalar Jenis alat tangkap yang umum digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Takalar umumnya sama dengan yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar, kecuali alat tangkap bagan perahu dan pancing tonda. Keseluruhan alat tangkap yang ada cenderung mengalami peningkatan dalam hal jumlah (unit) sejak tahun 1979 sampai dengan 2003. Peningkatan tersebut mengalami fluktuasi naik turun pada periode tahun 1990-an. Terdapat 2 (dua) alat tangkap yang justru mengalami penurunan kuantitas yakni sero dan bubu. Secara rata-rata, alat tangkap yang dominan digunakan adalah rawai tetap yakni sebanyak

1.292 unit per tahun, jaring insang hanyut sebanyak 480 unit per tahun, jaring insang tetap sebanyak 424 unit per tahun dan yang paling sedikit digunakan adalah jaring lingkar sebanyak 67 unit per tahun. Dalam hal jumlah hasil tangkapan (produksi), alat tangkap bubu justru menghasilkan produksi dalam jumlah besar walaupun dengan kuantitas yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Produksi alat tangkap bubu yakni rata-rata sebanyak 2.588 ton per tahun, diikuti oleh rawai tetap sebanyak 2.392 ton per tahun, dan yang paling sedikit memperoleh hasil tangkapan adalah sero yakni sebanyak 134 ton per tahun. (3) Kabupaten Jeneponto Alat tangkap yang umum digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, rawai tetap, dan bubu. Beberapa alat tangkap yang pernah digunakan namun pada akhirnya tidak dimanfaatkan lagi yakni jaring lingkar, jaring klitik dan sero (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Berdasarkan ke-8 jenis alat tangkap tersebut, 4 (empat) diantaranya mengalami penurunan, 3 (tiga) mengalami peningkatan sedangkan 1 (satu) diantaranya berfluktuasi naik turun dalam hal kuantitas selama periode 24 tahun. Alat tangkap yang mengalami peningkatan yakni pukat cincin, jaring insang tetap dan rawai tetap, yang mengalami penurunan adalah payang, jaring insang hanyut, bagan tancap serta bubu, dan yang mengalami fluktuasi adalah pukat pantai. Secara rata-rata, jumlah alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang tetap yakni sebanyak 491 unit per tahun, rawai tetap sebanyak 315 unit per tahun dan jaring insang hanyut sebanyak 288 unit per tahun. Sedangkan alat tangkap yang paling sedikit digunakan adalah pukat pantai yakni berkisar 93 unit per tahun. Pukat cincin sebagai alat tangkap yang penggunaannya mengalami peningkatan, berdampak pada hasil tangkapan (produksi) yang diperoleh yakni 2.473 ton per tahun, diikuti oleh jaring insang tetap sebagai alat tangkap yang paling

dominan digunakan. Alat yang memperoleh hasil tangkapan terendah adalah payang yakni sebanyak 422 ton per tahun. (4) Kabupaten Bantaeng Penggunaan alat tangkap oleh nelayan di Kabupaten Bantaeng berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, cenderung dalam jumlah yang lebih kecil (sedikit) dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Alat tangkap yang umum digunakan adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda dan bubu. Beberapa diantara alat tangkap tersebut mengalami peningkatan dan penurunan. Kedua kondisi tersebut disertai dengan kenaikan dan penurunan yang cukup fluktuatif selama periode 24 tahun. Namun secara keseluruhan, alat tangkap dominan yang digunakan adalah jaring insang hanyut sebanyak 170 unit per tahun, jaring insang tetap yakni rata-rata sebanyak 115 unit per tahun, rawai tetap sebanyak 81 unit per tahun dan pukat cincin sebanyak 64 unit per tahun. Untuk alat yang paling minim digunakan adalah payang yakni rata-rata hanya 19 unit per tahun. Berdasarkan alat tangkap dominan yang digunakan berdampak pada hasil tangkapan (produksi) alat tangkap tersebut, yakni untuk alat tangkap jaring insang hanyut sebagai alat tangkap dominan memperoleh hasil tangkapan sebanyak 1.168 ton per tahun. Namun demikian, alat tangkap yang paling produktif adalah pukat cincin dengan perolehan hasil tangkapan terbesar yakni 4.512 ton per tahun. Hasil tangkapan dengan menggunakan pukat cincin pada dasarnya adalah mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan periode tahun 1980 hinga 1990-an. Selanjutnya adalah pukat pantai sebanyak 783 ton per tahun. (5) Kabupaten Bulukumba Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Bantaeng beberapa mengalami peningkatan dan beberapa pula mengalami penurunan. Alat tangkap yang mengalami peningkatan jumlah adalah pukat pantai, pukat cincin, jaring insang tetap, bagan perahu, rawai tetap dan bubu. Alat tangkap yang

mengalami penurunan adalah payang, jaring insang hanyut, jaring lingkar, bagan tancap dan pancing tonda. Salah satu alat tangkap yakni jaring klitik bahkan digunakan hanya pada satu periode yaitu pada tahun 1983 dan setelah itu tidak digunakan lagi oleh masyarakat nelayan. Secara rata-rata alat tangkap yang paling dominan selama kurun waktu tahun 1979 hingga 2003 adalah jaring insang hanyut (240 unit per tahun), jaring insang tetap (192 unit per tahun), pancing tonda (174 unit per tahun) dan yang paling sedikit digunakan adalah bubu (28 unit per tahun). Alat tangkap yang paling produktif adalah Pukat cincin dengan besar produksi yang dapat dihasilkan adalah rata-rata 3.565 ton per tahun, diikuti oleh alat tangkap jaring lingkar rata-rata sebanyak 1.458 ton per tahun dan jaring insang tetap rata-rata sebesar 1.301 ton per tahun. Alat tangkap dengan hasil tangkapan yang lebih rendah adalah bubu yakni rata-rata sebesar 96,9 ton per tahun. (6) Kabupaten Sinjai Berdasarkan ke-13 alat tangkap yang dominan digunakan oleh masyarakat nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan, hampir keseluruhan alat tangkap tersebut digunakan oleh masyarakat nelayan Kabupaten Sinjai kecuali alat tangkap rawai tetap selama periode tahun 1979 sampai dengan 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Khusus untuk alat tangkap pukat cincin, baru digunakan oleh masyarakat pada tahun 1991 dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2003. Peningkatan alat tangkap tersebut diikuti pula oleh alat tangkap lainnya yakni payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring insang tetap serta bagan perahu. Selain alat tangkap tersebut, terdapat pula alat tangkap lain yang mengalami penurunan yakni jaring klitik, bagan tancap, pancing tonda, sero dan bubu. Apabila ditinjau secara rata-rata, maka penggunaan alat tangkap yang terbanyak adalah jaring insang hanyut yakni sebanyak 272 unit per tahun, bagan perahu sebanyak 234 unit per tahun, sedangkan penggunaan yang paling sedikit adalah jaring lingkar yakni rata-rata sebanyak 30 unit per tahun. Adapun alat tangkap yang paling produktif di Kabupaten Sinjai adalah bagan perahu dengan besar rata-rata hasil tangkapan yakni 4.842 ton per tahun, diikuti oleh

alat tangkap jaring insang hanyut sebanyak 3.595 ton per tahun dan pukat cincin sebanyak 2.032 ton per tahun. Alat tangkap yang paling rendah tingkat produktivitasnya adalah jaring klitik dengan hasil tangkapan sebanyak 86 ton per tahun. (7) Kabupaten Selayar Jenis alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar selama 24 tahun adalah payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, bagan tancap dan sero. Adapun untuk alat tangkap pukat cincin digunakan oleh masyarakat nelayan sejak tahun 1993 dan terus mengalami peningkatan dalam hal kuantitas hingga tahun 2003. Peningkatan ini diikuti pula oleh alat tangkap lainnya yakni payang, jaring insang hanyut, bagan perahu dan sero. Untuk alat tangkap bagan tancap mengalami penurunan hingga tahun 2003, dan bahkan untuk alat tangkap pancing tonda dan bubu memiliki kecenderungan tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat nelayan. Namun secara keseluruhan, rata-rata penggunaan alat tangkap yang dominan adalah jaring insang hanyut sebanyak 412 unit per tahun, diikuti oleh sero sebanyak 199 unit per tahun. Alat tangkap yang paling sedikit digunakan adalah pancing tonda yakni 8 unit per tahun. Berdasarkan keseluruhan alat tangkap yang ada, alat tangkap yang paling produktif adalah jaring insang hanyut dengan rata-rata hasil tangkapan sebanyak 3.016 ton per tahun, diikuti oleh pukat cincin sebanyak 1.059 ton per tahun. Alat tangkap dengan hasil tangkapan terendah adalah pancing tonda sebanyak 14,9 ton per tahun selama periode tahun 1979 sampai dengan 2003. 4.3 Kondisi Perekonomian Secara Umum Pada tahap awal pembangunan di Indonesia, sektor pertanian memegang peranan penting seperti ditunjukkan oleh penyerapan tenaga kerja paling tinggi dibanding sektor lainnya (Tabel 11). Misalnya, pada tahun 1981 pertanian menyerap 31,6 juta pekerja atau 54,7% dari total pekerja dan diikuti oleh sektor keuangan (14,8%). Sebaliknya, sektor industri hanya menyerap 0,4 juta tenaga kerja (0,7%)

pada tahun yang sama. Selama periode 1981-1990 laju pertumbuhan penyerapan sektor pertanian adalah yang paling rendah (2,69%) dibanding sektor lainnya. Perdagangan tumbuh paling pesat (9,34%), diikuti oleh sektor industri (3,75%). Secara absolut jumah tenaga kerja yang diserap sektor pertanian masih yang paling besar, tetapi perannya semakin berkurang dan peranan sektor lain semakin penting. Pada periode berikutnya (1991-1997) sektor pertanian mengalami pertumbuhan negatif sedangkan sektor lainnya mengalami pertumbuhan positif dengan sektor angkutan merupakan yang paling tinggi (9,50%) diikuti sektor jasa (8,81%) di urutan kedua. Selama periode 1997-2001, sektor bangunan, keuangan, petambangan dan utility mengalami pertumbuhan negatif dalam penyerapan tenaga kerja.

Tabel 11. Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Perekenomian, 1971-2001 (orang) Sektor Tahun Pertumbuhan (%/thn) 1981 1991 1997 2001 1981-91 1991-97 1997-2001 1. Pertanian 31.593.314 41.205.791 35.848.631 39.743.908 2,69-2,29 2,61 (%) 54,66 53,92 41,18 43,77 2. Industri 390.661 564.599 896.611 12.086.122 3,75 8,01 91,61 (%) 0,68 0,74 1,03 13,31 3. Bangunan 6.021.929 7.946.350 11.214.822 3.837.554 2,81 5,91-23,52 (%) 10,42 10,40 12,88 4,23 4. Perdagangan 61.666 150.660 233.237 17.469.129 9,34 7,56 194,18 (%) 0,11 0,20 0,27 19,24 5. Pengangkutan 2.146.210 2.436.594 4.200.200 4.448.279 1,28 9,50 1,44 (%) 3,71 3,19 4,83 4,90 6. Keuangan 8.553.919 11.430.655 17.221.184 1.127.823 2,94 7,07-49,41 (%) 14,80 14,96 19,78 1,24 7. Jasa 1.796.112 2.493.424 4.137.653 11.003.482 3,33 8,81 27,70 (%) 3,11 3,26 4,75 12,12 8. Lainnya *) 7.238.990 10.195.106 13.297.418 1.091.120 3,48 4,53-46,48 (%) 12,52 13,34 15,28 1,20 TOTAL 57.802.888 76.423.266 87.049.841 90.807.516 2,83 2,19 1,06 (%) 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS (1971-2001) *) Pertambangan dan utiliti Secara nominal pangsa sektor pertanian dalam PDB meningkat dari Rp 30.534 milyar pada tahun 1971 menjadi Rp 68.018 milyar pada tahun 2002 atau lebih dari dua kali. Tetapi pada periode yang sama PDB meningkat dari Rp 79.363 menjadi Rp 426.714 atau lebih dari lima kali (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian rata-rata lebih rendah daripada sektor lainnya. Peran sektor pertanian pada tahun 1971 adalah yang terbesar, yaitu 38,5%, tetapi terus menurun menjadi 15,0% pada tahun 1997. Pada periode berikutnya, yaitu 1997-1999, atau selama krisis ekonomi peranan sektor pertanian meningkat lagi tetapi menurun lagi pada tahun-tahun berikutnya. Berbeda dengan sektor pertanian, sektor industri pada awalnya memiliki pangsa yang relatif rendah, yaitu 7,0 persen pada tahun 1971, dan dua dasawarsa berikutnya (19,9%) melampaui peran sektor pertanian (Tabel 13). Hal ini merupakan indikasi bahwa pembangunan di Indonesia lebih mengarah ke industrialisasi.

Tabel 12. PDB Berdasaran Harga Konstan Tahun 1993, 1971-2002 (Rp milyar) Sektor 1971 1981 1991 1996 1997 1999 2000 2002 1. Pertanian 30.534,2 41.067,0 54.839,3 63.778,6 64.149,1 64.985,2 66.208,9 68.018,3 Tnmn Pangan 14.715,0 22.951,8 30.144,7 33.647,0 33.048,1 34.012,4 34.533,8 34.442,1 Perkebu nan 3.380,8 4.868,7 8.130,7 10.330,6 10.771,7 10.702,0 10.722,0 11.32,9 Peternakan 2.565,6 3.524,4 5.441,7 7.132,4 7.422,0 6.836,9 7.061,3 7.53,0 Kehutanan 7.938,7 6.911,0 6.307,2 6.384,2 6.345,9 6.288,1 6.388,9 6.651,3 Perikanan 1.934,1 2.811,1 4.815,1 6.284,4 6.561,4 7.145,8 7.502,9 8.060,0 2. Industri 5.523,5 20.371,3 56.508,1 96.377,6 103.024,5 90.298,1 93.868,3 100.834,3 3. Pertambangan 11.448,0 22.846,8 29.884,7 37.568,6 38.181,5 36.865,8 38.896,4 39.768,1 4. Bangunan 6.374,6 31.309,4 22.936,4 38.806,0 40.643,7 30.796,0 34.397,5 38.092,7 5. Listrik, air 369,5 1.344,9 2.712,5 4.840,5 5.413,9 6.112,9 6.547,8 7.514,6 6. Perdagangan 11.095,3 36.816,8 47.389,8 69.372,0 73.160,5 60.093,7 63.498,3 69.303,2 7. Angkutan 2.689,4 8.354,3 16.632,1 24.444,6 26.040,2 26.772,1 29.072,1 33.649,5 8. Keuangan 1.852,4 5.453,3 11.565,4 19.903,3 20.597,1 26.244,6 27.449,4 29.936,2 9. Jasa 9.475,6 22.779,9 42.262,2 54.107,4 56.310,7 37.184,0 38.051,5 39.596,6 Total 79.362,6 190.343,5 284.730,5 409.198,6 427.521,2 379.352,4 397.990,2 42.6713,5 Sumber: BPS (1973-2002), data diolah Tabel 13. PDB Berdasaran Harga Konstan Tahun 1993, 1971-2002 (%) Sektor 1971 1981 1991 1996 1997 2000 2002 1. Pertanian 38,47 21,58 19,26 15,59 15,00 16,64 15,94 Tanaman Pangan 18,54 12,06 10,59 8,22 7,73 8,68 8,07 Perkebunan 4,26 2,56 2,86 2,52 2,52 2,69 2,65 Peternakan 3,23 1,85 1,91 1,74 1,74 1,77 1,77 Kehutanan 10,00 3,63 2,22 1,56 1,48 1,61 1,56 Perikanan 2,44 1,48 1,69 1,54 1,53 1,89 1,89 2. Industri 6,96 10,70 19,85 23,55 24,10 23,59 23,63 3. Pertambangan 14,42 12,00 10,50 9,18 8,93 9,77 9,32 4. Bangunan 8,03 16,45 8,06 9,48 9,51 8,64 8,93 5. Listrik, air 0,47 0,71 0,95 1,18 1,27 1,65 1,76 6. Perdagangan 13,98 19,34 16,64 16,95 17,11 15,95 16,24 7. Angkutan 3,39 4,39 5,84 5,97 6,09 7,30 7,89 8. Keuangan 2,33 2,86 4,06 4,86 4,82 6,90 7,02 9. Jasa 11,94 11,97 14,84 13,22 13,17 9,56 9,28 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS (1973-2002), data diolah Dalam sektor pertanian, pangsa sub sektor tanaman pangan adalah yang paling menonjol sejak tahun 1971 (18,5%) hingga tahun 2002 (15,9%). Pangsa sub

sektor kehutanan menduduki peringkat kedua pada tahun 1971 (10,0%), tetapi turun tajam pada dasawarsa berikutnya dan periode selanjutnya. Sub sektor peternakan meiliki pangsa 3,2% atau yang keempat pada tahun 1971, turun menjadi 1,9% pada dasawarsa berikutnya dan berfluktuasi pada periode berikutnya. Pada tahun 1999 pangsa sub sektor perikanan melampaui sub sektor peternakan. Selama dasawarsa pertama (1971-1981) pertumbuhan PDB adalah sebesar 9,14% per tahun. Pertumbuhan tersebut terutama dipengaruhi oleh sektor bangunan, utility, industri, angkutan dan jasa masing-masing 17,25%, 13,79%, 13,94%, 12,00%, dan 19.17%. Di pihak lain, pada periode yang sama pertumbuhan sektor pertanian hanya 3,01%. Pangsa pertumbuhan sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan lebih besar dari pertumbuhan sektor pertanian tetapi sub sektor kehutanan tumbuh negatif (Tabel 14). Pertumbuhan PDB pada periode berikutnya turun menjadi 4,11% per tahun. Sebaliknya, sektor industri tumbuh relatif tinggi, yaitu 10.74% sedangkan sektor pertanian hanya tumbuh 2,93%. Sub sektor peternakan, perkebunan, dan perikanan mengalami pertumbuhan positif masingmasing sebesar 4,44%, 5,26%, dan 5,53%, atau lebih tinggi dari pertumbuhan sektor pertanian. Selama periode 1991-1997, atau sebelum krisis ekonomi menerpa Asia Tenggara termasuk Indonesia, PDB tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya, yaitu 7,01% per tahun. Pertumbuhan tersebut terutama dipengaruhi oleh sektor non pertanian, kecuali pertambangan. Selama periode ini sektor pertanian hanya tumbuh relatif kecil, yaitu 2,65% per tahun, sedangkan sub sektor peternakan mengalami pertumbuhan jauh lebih besar dari periode sebelumnya, yaitu 4,44% per tahun. Pertumbuhan PDB selama masa krisis ekonomi yang berlangsung selama 1997-2000 turun menjadi -2,36% per tahun. Hampir semua sektor non pertanian, yaitu industri, pertambangan, bangunan, perdagangan dan jasa mengalami pertumbuhan negatif. Di pihak lain, sektor pertanian tumbuh positif walaupun pada laju yang lebih rendah, yaitu 1,06% per tahun. Kecuali sub sektor perkebunan dan peternakan yang mengalami pertumbuhan negatif masing-masing sebesar -0,15% and

-1,65% per tahun, semua sub sektor dalam sektor pertanian tumbuh positif. Selama periode pasca krisis (2000-2002), PDB tumbuh pada laju 3,55% per tahun. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya pertumbuhan sektor lain, kecuali sektor pertanian yang hanya tumbuh rata-rata 1,06%. Kecuali sub sektor tanaman pangan, semua sub sektor mengalami pertumbuhan positif.

Tabel 14. Pertumbuhan PDB Berdasarkan Harga Konstan 1993 (%/tahun) Sektor 1971-1981 1981-1991 1991-1997 1997-2000 2000-2002 1. Pertanian 3,01 2,93 2,65 1,06 1,36 Tanaman Pangan 4,55 2,76 1,54 1,48-0,13 Perkebunan 3,71 5,26 4,80-0,15 2,79 Peternakan 3,23 4,44 5,31-1,65 3,31 Kehutanan -1,38-0,91 0,10 0,23 2,03 Perikanan 3,81 5,53 5,29 4,57 3,65 2. Industri 13,94 10,74 10,53-3,05 3,64 3. Pertambangan 7,15 2,72 4,17 0,62 1,11 4. Bangunan 17,25-3,06 10,00-5,41 5,23 5. Listrik, air 13,79 7,27 12,21 6,54 7,13 6. Perdagangan 12,74 2,56 7,51-4,61 4,47 7. Angkutan 12,00 7,13 7,76 3,74 7,58 8. Keuangan 11,40 7,81 10,10 10,05 4,43 9. Jasa 9,17 6,38 4,90-12,25 2,01 Total 9,14 4,11 7,01-2,36 3,55 Sumber: BPS (1973-2002), data diolah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Propinsi Sulawesi Selatan didominasi oleh sektor pertanian yang mencapai Rp 3,5 triliun (34,8%) pada tahun 2000 (Tabel 15). Sektor yang memberikan sumbangan PDRB kedua terbesar adalah perdagangan, yaitu Rp 1,7 triliun (16,8%) dan ketiga adalah sektor industri sebesar Rp 1,3 triliun (12,9%). Didalam sektor pertanian, sumbangan sub sektor perikanan menempati urutan kedua sebesar Rp 796 milyar (7,9%) setelah sub sektor tanaman pangan yang mencapai Rp 1,9 triliun (19,5%). Pada tahun 2003 sumbangan sektor pertanian meningkat menjadi Rp 3,7 triliun tetapi pangsanya turun menjadi 31,9%. Kecuali sub sektor peternakan yang meningkat, sumbangan sub sektor perikanan juga turun menjadi 7,0% dan sumbangan sub sektor tanaman pangan turun menjadi 17,7%. Sektor bangunan dan perdagangan masing-maisang meningkat menjadi 12,5% dan 18,6%. Secara total PDRB Propinsi Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 10,1 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp 11,7 trilun pada tahun 2003.

Tabel 15. PDRB Sulawesi Selatan Tahun 2003 Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Rp juta) Sektor 2000 % 2003 % 1. Petanian 3.519.653,06 34,84 3.726.682,30 31,88 Tanaman Pangan 1.971.570,49 19,52 2.066.725,89 17,68 Perkebunan 636.441,33 6,30 687.063,61 5,88 Peternakan 89.943,00 0,89 119.385,85 1,02 Kehutanan 25.855,96 0,26 29.978,10 0,26 Perikanan 795.842,28 7,88 823.528,85 7,04 2. Industri 1.306.792,60 12,94 1.459.982,52 12,49 3. Pertambangan 486.408,29 4,81 532.515,15 4,56 4. Bangunan 441.773,06 4,37 1.459.982,52 12,49 5. Listrik, air 137.332,26 1,36 168.221,14 1,44 6. Perdagangan 1.698.229,34 16,81 2.169.851,82 18,56 7. Angkutan 801.648,15 7,94 1.040.615,17 8,90 8. Keuangan 434.088,58 4,30 680.261,95 5,82 9. Jasa 1.276.022,30 12,63 1.374.667,67 11,76 Total 10.101.947,63 100,00 11.690.525,15 100,00 Sumber: BPS (2003)