BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN BIOMASSA TEGAKAN PINUS MENGGUNAKAN BACKSCATTER ALOS PALSAR, UMUR, DAN TINGGI TEGAKAN: KASUS DI KPH BANYUMAS BARAT, JAWA TENGAH

III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. SIMPULAN DAN SARAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

Analisis Regresi: Regresi Linear Berganda

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. global, sehingga terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi hutan dapat merusak

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDUGAAN BIOMASSA ATAS TEGAKAN DI HUTAN RAKYAT MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo) LILA JUNIYANTI

BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN. Menurut Jogiyanto (2007:61) mengemukakan bahwa, obyek penelitian

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012

STK 511 Analisis statistika. Materi 7 Analisis Korelasi dan Regresi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak terdaftar di

III. METODE PENELITIAN

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB III METODE PENELITIAN. Guna menyelesaikan penelitian ini terutama untuk memperoleh data-data dan

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN. harga lahan di sekitar Bandara Raja Haji Fisabilillah, Kepulauan Riau adalah

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur,

BAB III METODE PENELITIAN. yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode melalui website :

Bab IV Analisis dan Pembahasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB III. penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan metode statistik.

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 METODE PENELITIAN. Dalam penelitan ini yang menjadi populasi oleh penulis adalah Satuan Kerja

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON TEGAKAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Eucalyptus grandis hybrid MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 DI PT.TOBA PULP LESTARI RANI ILMA PURBA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2013 sampai Maret 2014

BAB III METODE PENELITIAN. mengenai pengaruh free cash flow, leverage, payout, undervalue, dan size terhadap

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

APLIKASI CITRA LANDSAT 8 DALAM MEMETAKAN BIOMASSA ATAS TEGAKAN DI KPH CIAMIS MUHAMMAD PANJI SOLIHIN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah asosiatif, menurut Sugiyono (2012:11),

Surat Pemberitahuan (SPT) BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Deskriptif

BAB 3 METODA PENELITIAN

PENGAUH KUALITAS PRODUK, HARGA, CITRA MEREK DAN DESAIN PRODUK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN MOBIL JENIS MPV MEREK TOYOTA. Risnandar

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Analisis regresi merupakan suatu teknik statistika untuk menyelidiki dan

BAB III METODE PENELITIAN. mendapatkan data yang diperlukan dari responden. Dalam upaya pengumpulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS PENGARUH KUALITAS PRODUK DAN HARGA TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN ROKOK SAMPOERNA A MILD DIKALANGAN MAHASISWA UNIVERSITAS GUNADARMA KALIMALANG

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menguji apakah alat ukur (instrument) yang digunakan memenuhi

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Perusahaan emiten manufaktur sektor (Consumer Goods Industry) yang

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

Pengaruh Faktor Psikologis Terhadap Keputusan Pembelian Pocari Sweat Pada Mahasiswa Universitas Gunadarma. Destri Andini,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dan mempelajari berbagai literatur, jurnal, karangan ilmiah dan penerbitan lainnya

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah penelitian yang menganalisis datanya berbentuk. dikumpulkan telah selesai berlangsung (Nazir, 2005).

BAB II METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. mendapatkan data-data dan keterangan yang akurat dan langsung ke lokasi

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

BAB III METODE PENELITIAN. Pajak Reklame, dan Pajak Parkir dari tahun 2010 sampai dengan 2014.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. akan di analisis yaitu dari tahun 2009 sampai dengan Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Data kuantitatif adalah data yang diukur dalam suatu skala numerik atau

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh KAP yang terdapat di Daerah

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis Pengaruh Pajak Daerah,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menjadi sampel dalam penelitian mengenai pengaruh harga, kualitas produk, citra merek

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan

BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian merupakan variabel-variabel yang menjadi perhatian

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Biomassa Menurut Persamaan BEF dan Alometrik Dari hasil perhitungan data lapang, diperoleh biomassa pada masing-masing kelas umur dengan perhitungan alometrik rata-rata berkisar antara 4,836 ton/ha 356,363 ton/ha. Biomassa dengan perhitungan alometrik lebih besar dibandingkan nilai biomassa pada BEF dengan kisaran 3,517 ton/ha 238,955 ton/ ha. Tabel 2 berikut merupakan hasil perhitungan biomassa menggunakan perhitungan BEF dan alometrik. Tabel 2 Rata-rata biomassa lapangan dengan menggunakan BEF dan alometrik Biomassa (ton/ha) KU BEF Alometrik I 3,517 4,836 II 67,319 100,402 II 112,627 169,300 IV 128,767 189,554 V 174,545 231,883 VI 214,209 298,359 VII 129,043 203,344 VIII 238,955 356,363 Berdasarkan Tabel 2 diperoleh hasil biomassa atas permukaan dengan menggunakan persamaan alometrik berbeda dengan perhitungan biomassa atas permukaan menggunakan koefisien BEF. Menurut Riska (2011) hal ini disebabkan karena perhitungan menggunakan koefisien BEF sifatnya lebih umum untuk jenis pinus pada hutan tropis, sedangkan persamaan alometrik yang digunakan untuk perhitungan biomassa pada penelitian ini sifatnya lebih khusus karena persamaan tersebut dibuat untuk perhitungan pinus pada daerah dengan ketinggian dan topografi yang kurang lebih sama dengan daerah penelitian. Selain itu, dilakukan uji t-student berpasangan pada biomassa BEF dan alometrik yang menghasilkan nilai t hitung 9,381 lebih besar dibandingkan t (α/2) 2,026 pada taraf nyata 5% sehingga dapat diketahui bahwa kedua biomassa tersebut berbeda nyata.

22 Berdasarkan pernyataan tersebut, selanjutnya perhitungan biomassa menggunakan persamaan alometrik. 5.2 Nilai Backscatter Resolusi 50 Meter dan 12,5 Meter Pada pengolahan data citra dilakukan slope correction terlebih dahulu pada masing-masing citra yang digunakan, yaitu citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter. Selanjutnya dilakukan pencarian backscatter dari hasil perolehan digital number. Berikut hasil perhitungan nilai backscatter yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil nilai backscatter resolusi 50 m dan 12,5 m Polarisasi Resolusi citra Rata-rata HH Rata-rata 50 meter -5.76-11.72 12,5 meter -7.84-13.56 Dari hasil perolehan nilai backscatter pada Tabel 3 diketahui resolusi 50 meter dan 12,5 meter memiliki nilai backscatter yang berbeda. Perbedaan nilai backscatter tersebut dipengaruhi oleh tingkat perbedaan resolusi yang digunakan. Untuk menegaskan pernyataan tersebut dilakukan uji t-student berpasangan pada Tabel 4. Tabel 4 Uji t-student berpasangan backscatter HH dan resolusi 50 m dan 12,5 m Resolusi citra 12,5 m dan 50 m t hitung t (α/2) Sig backscatter (HH) 3,609 2,026 0,001 backscatter () 2,433 2,026 0,020 Berdasarkan hasil uji t-student berpasangan pada Tabel 4 diperoleh nilai t hitung lebih besar dibandingkan t (α/2) untuk backscatter polarisasi HH dan resolusi 50 m dan 12,5 m pada taraf nyata 5%. Sehingga dapat diketahui bahwa nilai backscatter resolusi 50 m dan 12,5 m berbeda nyata. Hal tersebut menjelaskan bahwa perbedaan resolusi yang digunakan dapat berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai hamburan balik yang diperoleh.

23 5.3 Hubungan Antara Peubah Biomassa dan Peubah Lain Sebelum pemilihan model terbaik dilakukan pendugaan korelasi dan multikolinearitas pada masing-masing peubah yang digunakan guna melihat hubungan antar variabel yang nantinya akan digunakan pada pembuatan model. Berikut merupakan korelasi antara peubah biomassa dan peubah lain yang ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Korelasi antara peubah biomassa, backscatter, umur, dan tinggi Peubah bebas Biomassa 50 m 50 m 12,5 m 12,5 m HH HH HH Umur 50 m HH 0,235 50 m 0,479 0,895 12,5 m HH 0,375 0,332 0,461 12,5 m 0,496 0,117 0,346 0,868 Umur 0,746 0,231 0,490 0,395 0,550 Tinggi 0,782 0,186 0,486 0,642 0,781 0,870 Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh informasi bahwa peubah backscatter, umur, dan tinggi memiliki korelasi positif dengan biomassa. Peubah backscatter 12,5 meter menunjukkan hubungan yang lebih erat dengan biomassa dibandingkan nilai backscatter pada resolusi 50 meter. Korelasi yang erat dapat dilihat pada peubah backscatter HH 12,5 meter dengan backscatter 12,5 meter dan peubah backscatter HH 50 meter dengan backscatter 50 meter serta pada peubah tinggi dengan umur. Korelasi yang erat ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Multikolinearitas merupakan adanya hubungan yang sangat erat antara satu peubah bebas dengan peubah bebas lainnya dalam satu model regresi. Hal tersebut dapat menyebabkan koefisien regresi tidak stabil (Irawan 2007). Dalam mengetahui adanya multikolinearitas pada suatu persamaan dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factor) dari peubah yang digunaksn. Nilai VIF yang sangat besar atau (VIF > 5) mempunyai arti bahwa model tersebut mengandung multikolinearitas. Berikut Tabel 6 menunjukkan nilai VIF dari masing-masing peubah bebas yang digunakan.

24 Tabel 6 Nilai VIF dari peubah bebas yang digunakan pada resolusi 50 meter Variance Inflation Factor (VIF) Peubah HH Umur Tinggi X 1, X 2, X 3, X 4 8,5 10,8 4,2 5,1 X 1, X 3, X 4 1,1 4,2 4,1 X 2, X 3, X 4 1,3 4,2 4,2 X 1, X 3 1,1 1,1 X 2, X 3 1,3 1,3 X 1,X 4 1 1 X 2, X 4 1,3 1,3 Keterangan : X 1 = polarisasi HH, X 2 = polarisasi, X 3 = umur, dan X 4 = tinggi Tabel 7 Nilai VIF dari peubah bebas yang digunakan pada resolusi 12,5 meter Variance Inflation Factor (VIF) Peubah HH Umur Tinggi X 1, X 2, X 3, X 4 4,3 6,3 5,2 9 X 1, X 3, X 4 1,5 4,2 4,4 X 2, X 3, X 4 2,3 4,2 5 X 1, X 3 1,2 1,2 X 2, X 3 1,4 1,4 X 1,X 4 1,7 1,7 X 2, X 4 2,6 2,6 Keterangan : X 1 = polarisasi HH, X 2 = polarisasi, X 3 = umur, dan X 4 = tinggi Berdasarkan data Tabel 6 dan Tabel 7 di atas menunjukkan adanya multikolinearitas pada peubah bebas resolusi 50 meter dan 12,5 meter. Multikolinearitas terdapat pada persamaan yang menggunakan peubah polarisasi HH, polarisasi, umur, dan tinggi, baik pada resolusi 50 meter maupun resolusi 12,5 meter berdasarkan nilai VIF > 5. Dari informasi nilai VIF di atas dapat diketahui bahwa adanya peubah HH dan atau polarisasi gabungan pada satu persamaan menyebabkan terjadi multikolinearitas. Berdasarkan uji multikolinearitas tersebut, maka salah satu peubah dari polarisasi HH atau harus dibuat dalam dua persamaan polarisasi yang berbeda guna menghasilkan koefisien regresi yang stabil.

25 5.3.1 Analisis Regresi Pada Resolusi 50 Meter Berikut merupakan hasil regresi pendugaan biomassa pada citra resolusi 50 meter yang ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter HH Y = 263,057 + 13,071X₁ 2,91 117,39 Y = 228,24 1,075X₁² 3,10 117,28 Y = EXP(5,617 + 0,068X₁ ) 2,70 117,52 Y = 456,818 + 22,949X₁ 20,80 106,02 Y = 318,267 0,917X₁² 21,18 105,77 Y = EXP(6,466 + 0,107X₁ ) 17,64 108,12 Keterangan : Y = biomassa, X 1 = backscatter Pemilihan model terbaik berdasarkan nilai R 2 adj terbesar dan nilai RMSE paling kecil. R 2 adj merupakan nilai koefisien determinasi terkoreksi dan RMSE merupakan nilai bias (error) rata-rata dari suatu persamaan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh permodelan terbaik pada polarisasi dengan model kuadratik dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi sebesar 21,18 % dan RMSE sebesar 105,77. Dari hasil permodelan menggunakan backscatter resolusi 50 meter, polarisasi merupakan nilai polarisasi terbaik sehingga untuk penyusunan model berikutnya hanya menggunakan polarisasi terbaik saja. Selanjutnya ditambahkan peubah umur pada resolusi 50 meter yang ditampilkan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter dan umur Y = 131 + 7,15X₁ + 7,8X₂ 54,89 80,02 Y = 186 0,469X₁² + 0,161X₂² 46,94 86,78 Y = EXP(5,145 + 0,048X₁ + 0,032X₂) 47,13 86,63 Keterangan : Y = biomassa, X 1 = backscatter, dan X 2 = umur Berdasarkan Tabel 9 regresi terbaik dengan menggunakan peubah backscatter dan umur pada citra resolusi 50 meter, yaitu Y = 131 + 7,15X₁ + 7,8X₂ dengan koefisien determinasi terkoreksi sebesar 54,89% dan RMSE sebesar 80,02.

26 Tabel 10 berikut merupakan tabel hasil permodelan dengan menggunakan peubah backscatter dan tinggi pohon. Tabel 10 Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter dan tinggi pohon Y = 44,241 + 6,189X₁ + 11,842X₂ 60,33 75,03 Y = 97,926 0,333X₁² + 0,358X₂² 59,30 76,00 Y = EXP(4,332 + 0,044X₁ + 0,071X₂) 58,11 77,12 Keterangan : Y = biomassa, X 1 = backscatter, dan X 3 = tinggi Berdasarkan Tabel 10 hasil regresi terbaik citra resolusi 50 meter dengan menggunakan peubah backscatter dan tinggi menggunakan persamaan linier dengan koefisien determinasi terkoreksi 60,33% dan nilai RMSE sebesar 75,03. Kemudian dilakukan analisis regresi terbaik menggunakan peubah backscatter, nilai dan umur untuk pendugaan biomassa yang ditampilkan pada Tabel 11 berikut. Tabel 11 Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter, umur dan tinggi Y = 41,7 + 5,18X₁ + 2,77X₂ + 8,59X₃ 60,64 74,75 Y = 98,7 0,318X₁² + 0.03X₂² + 0,317X₃² 59,73 75,60 Y = EXP (4,306 0,039X₁ + 0,005X₂ + 0,064X₃) 58,37 76,86 Keterangan :Y = biomassa, X 1 = backscatter, X 2 = umur, dan X 3 = tinggi Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 11, dapat diketahui bahwa model terbaik untuk menduga biomassa resolusi 50 meter menggunakan persamaan linier dengan koefisien determinasi terkoreksi sebesar 60,64% dan RMSE 74,75 yang berarti bahwa model regresi linier berganda menggunakan peubah backscatter, umur, dan tinggi mampu menjelaskan biomassa atas permukaan dengan alometrik sekitar 60,64%. Penambahan peubah umur dan tinggi dalam persamaan memberikan penambahan nilai koefisien determinasi terkoreksi pada model yang digunakan. Hal tersebut menandakan bahwa penambahan umur dan tinggi pada permodelan yang dibuat mampu memberikan pendugaan biomassa lebih baik dibandingkan hanya menggunakan peubah backscatter. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari

27 penambahan nilai koefisien determinasi terkoreksi dan perubahan nilai RMSE yang semakin kecil. 5.3.2 Analisis Regresi Pada Resolusi 12,5 Meter Berikut hasil permodelan dalam pendugaan biomassa pada citra resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter. Tabel 12 Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter HH Y = 469,955 + 40,526X₁ 11,70 111,95 Y = 324,398 2,751X₁² 13,98 110,49 Y = EXP(6,462 + 0,178X₁ ) 7,88 114,35 Y = 598,796 + 32,313X₁ 22,50 104,92 Y = 376,226 1,142X₁² 23,36 104,29 Y = EXP(7,546 + 0,185X₁ ) 18,77 107,38 Keterangan : Y = biomassa dan X 1 = backscatter Berdasarkan Tabel 12, hasil regresi terbaik menggunakan peubah backscatter, yaitu persamaan kuadratik pada polarisasi dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi sebesar 23,36% dan RMSE sebesar 104,29. Polarisasi terbaik pada permodelan di atas menggunakan polarisasi sehingga untuk penambahan peubah pada permodelan selanjutnya menggunakan polarisasi saja. Pada Tabel 13 berikut merupakan hasil permodelan dengan menggunakan peubah backscatter dan umur. Tabel 13 Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter dan umur Y = 341 + 18,6X₁ + 5,49X₂ 62,36 73,09 Y = 263 0,672X₁² + 0,123X₂² 57,38 77,78 Y = EXP(7,729 + 0,181X₁ + 0,016X₂) 62,07 73,38 Keterangan : Y = biomassa, X 1 = backscatter, dan X 2 = umur Berdasarkan hasil regresi menggunakan peubah backscatter dan umur pada Tabel 13, model terbaik yang dapat digunakan adalah model regresi linier dengan koefisien determinasi terkoreksi sebesar 62,36% dan RMSE sebesar 73,09. Selanjutnya dilakukan penyusunan model dengan menggunakan peubah

28 backscatter dan tinggi pada model regresi resolusi 12,5 meter dengan hasil regresi ditunjukkan pada Tabel 14 berikut. Tabel 14 Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter dan tinggi Y = 219,492 14,483X₁ + 9,025X₂ 63,60 71,89 Y = 159,557 0,451X₁² + 0,297X₂² 63,45 71,33 Y = EXP(6,139 + 0,136X₁ + 0,044X₂) 65,29 70,18 Keterangan : Y = biomassa, X 1 = backscatter, dan X 2 = tinggi Berdasarkan Tabel 14 hasil analisis regresi menggunakan peubah backscatter dan tinggi diperoleh model terbaik, yaitu model regresi eksponensial dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi sebesar 65,29% dan RMSE sebesar 70,18. Kemudian dilakukan analisis regresi menggunakan peubah backscatter, umur dan tinggi dengan hasil regresi ditunjukkan pada Tabel 15 berikut. Tabel 15 Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter, umur, dan tinggi Y = 219 + 13,8X₁ + 2,72X₂ + 5,84X₃ 63,96 71,52 Y = 164 0,45X₁² + 0,0378X₂² + 0,0243X₃² 63,07 72,40 Y = EXP (3,01 0,055X₁ + 0,006X₂ + 0,073X₃) 57,48 77,68 Keterangan : y = biomassa, X 1 = backscatter, X 2 = umur, dan X 3 = tinggi Pada Tabel 15 diketahui hasil permodelan pendugaan biomassa terbaik dengan peubah backscatter, umur, dan tinggi menggunakan persamaan linier dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi sebesar 63,96% dan nilai RMSE sebesar 71,52. Berdasarkan hasil permodelan tersebut menunjukkan bahwa penambahan peubah umur dan tinggi mempengaruhi pendugaan biomassa dalam permodelan dibandingkan hanya menggunakan peubah backscatter saja. Namun data tinggi pohon yang tersedia pada penelitian ini hanya terdapat pada plot-plot pengamatan saja sehingga tidak dapat memberikan informasi keseluruhan data tinggi di wilayah yang diamati. Selain itu, tinggi pohon saat ini hanya dapat dipetakan menggunakan LIDAR (Light Detection and Ranging) sehingga pemilihan model pendugaan biomassa terbaik untuk pemetaan sebaran biomassa pada penelitian ini menggunakan peubah backscatter dengan umur.

29 5.4 Pemetaan Biomassa dan Analisis Akurasi Pemetaan dilakukan dengan menggunakan model terpilih. Sebelum dilakukan pemetaan terlebih dahulu dilakukan pembagian kelas untuk memperoleh dugaan terbaik dari pembagian kelas yang dilakukan. Berikut grafik pembagian kelas biomassa berdasarkan sebaran plot. Biomassa (ton/ha) 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Gambar 5 Grafik distribusi kelas biomassa Dari grafik distribusi kelas biomassa di atas dapat diketahui bahwa selang nilai biomassa pada kelas 1 antara 2,7 ton/ha 129 ton/ha, kelas 2 antara 130 ton/ha 238 ton/ha, dan selang nilai biomassa pada kelas 3 antara 239 ton/ha 506,4 ton/ha. Selanjutnya dilakukan akurasi dari peta sebaran biomassa berdasarkan pemilihan model terbaik. Berikut hasil akurasi pendugaan biomassa pada resolusi 50 meter dan 12,5 meter yang ditunjukkan pada Tabel 16 dan Tabel 17. Tabel 16 Hasil perhitungan Kappa Acuracy dan Overall Acuracy resolusi 50 meter Anak Petak Filtering 1x1 3x3 5x5 OA(%) KA(%) OA(%) KA(%) OA(%) KA(%) OA(%) KA(%) 34,21 3,94 42,11 14,87 42,11 14,87 42,11 14,95

30 Tabel 17 Hasil perhitungan Kappa Acuracy dan Overall Acuracy resolusi 12,5 meter Anak Petak Filtering 3x3 5x5 7x7 OA(%) KA(%) OA(%) KA(%) OA(%) KA(%) OA(%) KA(%) 63,16 35,59 60,53 41,36 65,79 49,54 71,05 56,95 Berdasarkan hasil akurasi pada Tabel 16 dan Tabel 17 diketahui bahwa pemetaan menggunakan basis piksel, baik pada resolusi 50 meter maupun resolusi 12,5 meter, menghasilkan nilai akurasi yang lebih baik dibandingkan pemetaan menggunakan anak petak. Nilai Kappa Acuracy (KA) terbaik untuk resolusi 50 meter, yaitu pada filtering kernel 5x5 sebesar 14,95%, sedangkan untuk resolusi 12,5 meter pada filtering kernel 7x7 sebesar 56,95%. Sebagian besar kesalahan saat pengakurasian, yaitu menduga biomassa di plot merupakan kelas 1, namun di lapangan masuk ke dalam kelas 2. Pada hasil penelitian Riska (2011) dalam pendugaan biomassa di KPH Banyumas Barat dengan peubah backscatter, hasil uji akurasi biomassa menggunakan KA pada pemetaan terbaik sebesar 54,32% lebih kecil dibandingkan nilai KA dengan penambahan peubah umur pada penelitian ini, yaitu sebesar 56,95%. Berdasarkan uji akurasi tersebut diketahui bahwa penambahan umur pada penelitian ini dapat meningkatkan nilai akurasi dalam pemetaan biomassa. Berdasarkan hasil uji akurasi pada Tabel 16 dan Tabel 17 menjelaskan bahwa tingkat resolusi citra mempengaruhi nilai akurasi pemetaan terhadap biomassa. Semakin tinggi resolusi yang digunakan, semakin besar pengaruhnya terhadap tingkat ketelitian akurasi serta besar nilai pendugaan biomassa. Peta sebaran biomassa resolusi 50 meter hasil akurasi menggunakan anak petak dan filtering dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7 berikut.

31 Gambar 6 Peta sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat resolusi 50 meter berdasarkan anak petak Gambar 7 Peta sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat resolusi 50 meter filtering kernel 5x5

32 Dari hasil distribusi biomassa pada Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa citra resolusi 50 meter didominasi oleh kelas biomassa tiga, baik pada peta sebaran biomassa menggunakan anak petak maupun peta sebaran biomassa menggunakan basis piksel. Hal tersebut menerangkan bahwa kedua jenis peta di atas memiliki sebaran kelas biomassa serupa yang didominasi oleh kelas tiga dan secara umum memiliki sebaran kelas biomassa yang kurang lebih sama. Pada Gambar 6, penampakkan citra sebaran biomassa masih banyak generalisasi dibandingkan citra sebaran biomassa menggunakan basis piksel pada gambar 7. Hal tersebut disebabkan luasan rata-rata untuk pemetaan menggunakan anak petak lebih besar dibandingkan pemetaan menggunakan basis piksel. Luasan rata-rata anak petak sekitar 36,7 ha atau 367.000 m 2, sedangkan pada pemetaan basis piksel terbaik resolusi 50 meter dengan filtering kernel 5 5 sekitar 6,25 ha atau 62.500 m 2. Perbedaan luasan rata-rata kedua metode sebaran biomassa tersebut yang menimbulkan perbedaan citra yang ditampilkan dari masing-masing metode pemetaan. Selanjutnya hasil pemetaan sebaran biomassa resolusi 12,5 meter dengan menggunakan basis anak petak dan basis piksel yang ditunjukkan pada Gambar 8 dan Gambar 9. Gambar 8 Peta sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat resolusi 12,5 meter berdasarkan anak petak

33 Gambar 9 Peta resolusi sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat 12,5 meter filtering kernel 7x7 Berdasarkan hasil peta sebaran biomassa pada Gambar 8 dan Gambar 9 dapat dilihat bahwa resolusi 12,5 meter didominasi oleh biomassa kelas tiga. Pemetaan pada resolusi 12,5 meter, baik menggunakan anak petak maupun basis piksel, memiliki distribusi kelas biomassa yang serupa, yaitu didominasi oleh kelas biomassa tiga. Peta sebaran biomassa menggunakan anak petak pada Gambar 8 lebih general dengan luasan rata-rata sekitar 36,7 ha atau 367.000m 2, sedangkan sebaran biomassa menggunakan basis piksel terbaik dengan filtering kernel 7 7 memiliki luasan rata-rata sekitar 0,7 ha atau 7.00 m 2. Oleh karena itu, pemetaan dengan menggunakan basis piksel lebih detail karena ukuran luasan yang lebih kecil sehingga lebih akurat dalam memetakan biomassa. Selanjutnya dibuat matriks konfusi antara model pemetaan terbaik resolusi 50 meter dengan model pemetaan terbaik resolusi 12,5 meter untuk melihat seberapa besar perbedaan kedua citra resolusi tersebut. Berikut hasil matriks konfusi kedua citra resolusi yang ditunjukkan pada Tabel 18.

34 Tabel 18 Matriks konfusi resolusi 50 meter dan 12,5 meter Bentuk 12,5 meter Kelas1 Kelas 2 Kelas 3 Total Kelas1 1.105 2.635 529 4.269 50 meter Kelas 2 1.428 1.182 1.553 4.163 Kelas 3 1.121 6.449 1.805 9.375 Total 3.654 10.266 3.887 17.807 Berdasarkan Tabel 18 resolusi 12,5 meter diasumsikan lebih teliti pendugaannya sehingga dianggap sebagai producer s accuracy (PA) dan resolusi 50 meter sebagai user s accuracy (UA). Matriks konfusi ini dapat mengetahui besar ketelitian akurasi antara citra resolusi 50 meter terhadap citra resolusi 12,5 meter. Berdasarkan data matriks konfusi Tabel 18 diketahui bahwa biomassa kelas 1 memiliki 1.105 piksel yang sama antara resolusi 50 meter dan 12,5 meter dari 3.654 jumlah piksel yang dikelaskan sebagai kelas 1 atau sekitar 30,24% jumlah piksel yang benar untuk PA kelas 1. Pada biomassa kelas 2 terdapat 1.182 piksel yang sama dari 10.266 piksel yang dikelaskan sebagai biomassa kelas 2 atau sekitar 11,51% jumlah piksel yang benar untuk PA kelas 2. Kemudian untuk biomassa kelas 3 terdapat 529 piksel yang sama dari 1.805 jumlah piksel yang dikelaskan sebagai kelas 3 atau sekitar 46,43% jumlah piksel yang benar untuk PA kelas 3. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kesalahan pengkelasan biomassa paling banyak antara resolusi 50 meter dan 12,5 meter, yaitu pada kelas biomassa 2. Banyaknya piksel yang sama dari masing-masing kelas biomassa selanjutnya dijumlahkan dan diperoleh jumlah piksel yang benar sebanyak 4.092 piksel antara resolusi 50 meter dengan resolusi 12,5 meter atau sekitar 22,98%. Ini berarti citra resolusi 50 meter mampu menjelaskan citra resolusi 12,5 meter sebesar 22,98% berdasarkan OA. Pada Gambar 10 berikut menampilkan secara visual perbedaan spasial antara resolusi 50 meter dan 12,5 meter.

35 a b Keterangan : Kelas 3 : Kelas 2 Gambar 10 Sebaran kelas biomassa antara (a) resolusi 50 meter dan (b) resolusi12,5 meter Berdasarkan Gambar 10 di atas terlihat adanya perbedaan antara sebaran kelas biomassa pada resolusi 50 meter dan 12,5 meter. Wilayah yang dianggap kelas dua pada resolusi 50 meter ternyata merupakan kelas tiga pada resolusi 12,5 meter. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaaan resolusi akan mempengaruhi keakuratan pendugaan biomassa. Semakin tinggi resolusi yang digunakan, maka seharusnya akan menghasilkan tingkat ketelitian yang lebih baik dibandingkan resolusi di bawahnya.