BAB I PENDAHULUAN. teman-temannya. Para orangtua pun merasa bangga jika anak-anak mereka menghasilkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dariyo (2011), keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB II KAJIAN TEORI. dialami oleh siswa sebagai peserta didik, untuk menentukan berhasil atau tidaknya

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap umat

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

POLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS. Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan. Mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan anak terjadi mulai aspek sosial, emosional, dan intelektual. Salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik maupun mental. Tetapi tidak semua anak terlahir normal, anak yang tidak

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan manusia (Ramawati, 2011). Kemampuan merawat diri adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BABI PENDAHULUAN. Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan

BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masa remaja terbagi menjadi tiga bagian yaitu, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB 1 PENDAHULUAN. familiar dikehidupan masyarakat adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

BAB I PENDAHULUAN. secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tenaga profesional untuk menanganinya (Mangunsong,2009:3). Adapun pengertian tentang peserta didik berkebutuhan khusus menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. anak mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan pola asuh yang tepat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perkembangan anak (Permeneg PP&PA Nomor 10 Tahun 2011).

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Ponija, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam

BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem. Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membaca dan keterampilan menulis. Anak-akan dituntut untuk dapat berbicara,

1 Universitas Indonesia

KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dapat dipastikan dalam kehidupan ini, bahwa setiap pasangan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa merosotnya moral di kalangan remaja, akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan

BAB I PENDAHULUAN. yang dituangkan melalui instrumen atau suara dengan unsur dasar melodi,

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

MODUL PSIKOEDUKASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA ANAK MENTAL RETARDASI. : Menjalin rapport dengan anak serta membuat peraturan-peraturan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu penggunaan komputer telah menjadi suatu hal yang diperlukan baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat disebut dengan Anak laur biasa yaitu anak yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Lingkungan yang mendukung perkembangan individu adalah lingkungan

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah Tunas harapan bangsa. Mereka ibarat bunga yang tengah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orangtua memiliki harapan yang besar agar perkembangan fisik dan mental anaknya dapat berkembang dengan baik. Betapa bangganya setiap orangtua melihat kondisi anaknya yang sehat dan mampu menghabiskan waktu bersama dengan keluarga bahkan teman-temannya. Para orangtua pun merasa bangga jika anak-anak mereka menghasilkan prestasi disekolahnya. Sayangnya kenyataan ini tidak dapat dialami oleh semua orangtua. Banyak anak yang dilahirkan dengan ketidak sempurnaan baik secara fisik maupun masalah dalam hal perkembangan anak. Biasanya cacat fisik ditandai dengan ketidak lengkapan bagian-bagian tubuh, hal ini dapat terjadi sejak kelahiran ataupun karena kecelakaan sedangkan masalah perkembangan ditandai dengan terhambatnya perkembangan anak yaitu dalam hal intelektual, sosial maupun komunikasinya. Anak-anak yang memiliki masalah dalam keterhambatan perkembangan biasanya disebut dengan anak berkebutuhan khusus. Menurut DSM IV-TR (2004) anak yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang mengalami keterbelakangan mental (Mental Retardation), ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosional atau perilaku, hambatan fisik, komunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan serta anak-anak yang memiliki bakat khusus. Salah satu dari kategori di atas yang saat ini marak adalah Mental retardation. DSM IV-TR (2004) menjelaskan bahwa Mental Retardation merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan fungsi intelektual yang berada di bawah 70 selain itu terganggu pula dalam perilaku adaptifnya seperti komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas serta kemampuan untuk

mengambil keputusan dan ciri-ciri ini sudah muncul sebelum usia 18 tahun. Wenar (2006) juga menyebutkan bahwa terjadinya ketidaksempurnaan atau masalah pada perkembangannya sehingga berpengaruh kepada intelegensinya baik dalam ranah kognitif, sosial, motorik, bahasa dan kemampuan lainnya. Keterbatasan fungsi kognitif pada anak Mental Retardation berdampak pada ketidakmampuannya dalam memproses persepsi, ingatan, dalam mengembangkan ide, penilaian serta penalaran. Oleh sebab itu prestasi yang ditunjukkan oleh anak Mental Retardation tergolong rendah (Effendi, 2006). Untuk itu DSM IV-TR (2004) mengklasifikasikan Mental Retardation berdasarkan 4 tingkatan, diantaranya adalah: Mild Mental Retardation (ringan) dengan rentang IQ 50-70 (anak dengan klasifikasi ini sulit dibedakan dengan anak normal ketika mereka belum masuk sekolah), Moderate Mental Retardation (sedang) dengan rentang IQ 35-55 (anak dengan klasifikasi ini memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik kasar dan halusnya. Mereka akan mampu jika banyak melakukan bimbingan dan latihan), Severe Mental Retardation (berat) dengan rentang IQ 20-40 (individu yang tergolong klasifikasi ini pada umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor) dan Profound Mental Retardation (parah) dengan rentang IQ dibawah 25 (biasanya hanya 1-2% individu yang masuk dalam kategori ini dan mereka pada umumnya harus diasuh sepanjang hidupnya). Somantri (2006) mengatakan bahwa karakteristik anak Mental Retardation kategori Mild adalah mereka pada umumnya masih dapat belajar membaca, menulis serta berhitung sederhana, mereka juga masih dapat bersekolah namun dengan pendidik khusus ataupun kelas khusus serta anak dengan kategori ini masih dapat diajarkan suatu keterampilan untuk bekalnya dikemudian hari. Dalam kaitannya dengan komunikasi anak Mild Mental Retardation memiliki perbendaharaan kata yang sedikit sehingga dalam melakukan

komunikasi dua arah mereka melakukannya dengan kurang baik. Selain itu mereka juga cenderung sulit untuk berfikir secara abstrak, dalam menganalisa sebab dan akibat dari suatu masalah pun belum dapat dilakukannya. Berdasarkan penjelasan diatas, walaupun anak Mild Mental Retardation memiliki banyak kekurangan baik dalam segi intelektual, sosial dan berkomunikasi namun potensi yang mereka miliki dapat dikembangan dengan pendidikan ataupun pelatihan khusus. Perkembangan kognitif yang terhambat membuat munculnya masalah emosi. Emosi adalah suatu perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting baginya (Santrock, 2002). Perkembangan emosi merupakan suatu hal yang harus diperkenalkan atau diajarkan kepada anak sejak dini. Setiap orang harus dapat mengenali emosi sebab penting untuk keberhasilan hidup. Saat orangtua mengajarkan emosi kepada anaknya sejak kecil artinya mereka telah mengurangi rentan terjadinya konflik dengan orang lain. Cara orangtua mengenalkan tentang emosi dapat melalui ekspresi wajah, misalnya saat menunjukkan rasa marah, senang, sedih, terkejut dan takut dapat diperlihatkan melalui dahi yang berkerut, mata serta mulut. Pendapat lain dikemukakan oleh Thompson dalam Santrock (2002) bahwa orangtua merupakan pihak yang dapat membantu anak-anak dalam menyalurkan emosi mereka yang sangat beragam. Orangtua dapat mengajarkannya dengan membuat label pada emosi tersebut serta melatih anak untuk berhadapan dengan emosi itu secara efektif. Kemampuan seseorang dalam mengenali emosi merupakan suatu dasar keberhasilan dalam interaksi sosial. Pada dasarnya isyarat secara nonverbal itu lebih penting dibandingkan secara verbal dalam menginformasikan perasaan kita kepada orang lain (Ellis, 1997). Nurhayati mengatakan bahwa pentingnya kita mampu mengenal emosi agar mampu berempati, dapat mengungkapkan dan memahami perasaan yang dirasakan, untuk mengendalikan amarah, kemandirian, mampu untuk menyesuaikan diri serta mampu

memecahkan masalah pribadi. Pada anak normal mungkin untuk melatihnya tidak terlalu memiliki hambatan yang berarti, orangtua dapat mempraktekkannya dengan sebuah situasi sehari-hari. Ada dua hal yang dilakukan untuk membuat anak memiliki kecerdasan emosi yaitu dengan mengajarkan untuk mengenali emosi dan cara mengelolanya. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengenalkan jenis emosi pada anak. Hurlock (1980) mengatakan jenis-jenis emosi adalah marah, takut, cemburu, senang atau gembira serta sedih. Apabila anak sejak usia dini sudah dilatih untuk mengenali jenis emosi ini maka semakin dewasa akan semakin mudah dalam mengenalinya dan pada akhirnya mampu menyesuaikan sikap dengan situasi yang ada. Langkah kedua adalah mampu mengelola emosi agar tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya untuk dapat mengendalikan diri agar tidak mengulangi kesalahannya lagi (Nurhayati, 2009). Hal ini berbeda dengan anak Mental Retardation, keterbatasan fungsi intelektual yang dimiliki membuat mereka kesulitan untuk mengenali, memahami serta menerima emosi tersebut (Gratz & Roeme dalam McClurer, 2004). Berdasarkan hasil penelitian diketahui juga bahwa anak Mental Retardation memiliki pemahaman dan kesadaran yang sangat rendah dalam memahami emosi serta mereka masih sulit menyampaikan apa yang dirasakannya kepada orang lain (Sovener & Hurley, dalam McClurer, 2004). Anak dengan kategori Mild Mental Retardation membutuhkan keterampilan dan pelatihan yang terus menerus dalam mengenali serta mengidentifikasi untuk dapat melabel emosi serta memahami emosi dan ekspresi yang dirasakan oleh oranglain (McClurrer, 2004). Kehidupan emosi anak Mild Mental Retardation tidak jauh berbeda dengan anak normal melainkan variasi gejala emosinya tidak sekaya anak normal (Mumpuniarti, 2006). Anak mental Retardation pada umumnya mampu memperlihatkan rasa sedihnya sayangnya

mereka tidak dapat mengutarakan atau menceritakan perasaan tersebut kepada oranglain. Selain itu, anak dengan diagnosa ini juga dapat merasakan kegembiraan namun mereka tidak dapat mengungkapkan kegagumannya. Hal ini dapat terjadi pada mereka karena pemahaman pada anak Mental Retardation sangat rendah dan tidak mendalam (Somantri, 2006). Sebuah penelitian menhatakan bahwa anak Mental Retardation sering salah dalam melabel jenis-jenis emosi akibatnya adalah mereka cenderung tidak tepat dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya selain itu mereka juga sulit untuk menganalisa emosi-emosi yang dirasakannya. Kemampuan anak dalam mengenali serta memahami emosi berkembang sesuai dengan usia anak dan memiliki kemampuan intelektual yang baik (Ellis, 1997). Salah satu cara untuk mengajarkan anak Mental retardation agar dapat mengenali serta memahami emosi bisa dilakukan dengan memberikan psikoedukasi. Psikoeduakasi adalah treatment yang diberikan secara profesional dimana mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFarlane, 2004). Fungsi psikoterapeutik dan edukasi menekankan pada masa kognitif dan afektif anak dengan membawa anak serta memperoleh wawasan terhadap masalah yang dihadapinya, menghilangkan suatu hambatan yang ada dan membuat klien dapat mendapatkan atau memperoleh informasi maupun pengetahuan secara aktif (Lukens & McFarlane, 2004). Psikoedukasi juga merupakan intervensi untuk penanganan anak Mental Retardation dalam mendorong untuk keterampilan akademik serta perilaku adaptifnya (Nevid, 2005). Langkah-langkah dalam psikoedukasi dapat dianalogikan dengan langkah pendidikan. Beberapa teori edukasi bahkan dikembangkan dari teori belajar. Keduanya menimbulkan tingkah laku yang dikehendaki dan mengeliminasi tingkah laku yang tidak dikehendaki. Dalam banyak hal terapi psikoedukasi dapat diterangkan dengan teori belajar, yaitu mencakup falsafah tentang manusia, visi pengubahan tingkah laku, lingkup penanganan dan teknik-teknik pengubahan tingkah laku (Sugiarmin, 2007).

Memberikan penjelasan mengenai emosi dapat disampaikan melalui psikoedukasi kepada anak. Psikoedukasi yang didapatkan dapat berupa informasi tentang jenis-jenis emosi yang tidak diketahui anak, penyebab emosi-emosi itu muncul, perubahan fisik yang terjadi serta cara seseorang dalam mengekspresikan perasaannya. Melalui psikoedukasi anak Mild Mental Retardasi tidak tidak hanya diajarkan memahami emosinya sendiri melainkan diajarkan dalam menilai dan memahami emosi oranglain serta bagaimana cara menghadapi saat oranglain menunjukkan emosi tersebut. Adapun cara yang akan dilakukan dalam memberikan psikoedukasi adalah melalui video-video dan gambar yang menarik. Selain itu mengajak anak untuk berdiskusi dengan memberikan contoh-contoh yang sifatnya konkrit. Pemberian psikoedukasi dapat dilakukan melalui sebuah cerita yang sederhana agar mudah dipahami oleh anak Mental Retardasi. Pentingnya psikoedukasi pada anak Mild Mental Retardation karena kondisi emosi mereka tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya, sehingga mereka membutuhkan pengetahuan atau informasi mengenai emosi dan cara mengelolanya secara bertahap. Pada penelitian ini, cara yang dilakukan adalah dengan memberikan gambar-gambar karena gambar dapat menarik perhatian anak. Nisa (2010) mengatakan bahwa anak lebih cepat memahami materi pelajaran melalui gambar karena sifatnya lebih konkrit. Keberhasilan dalam memberikan psikoedukasi kepada anak tidak akan berhasil tanpa dukungan dari orangtua. Orangtua yang memiliki anak Mental Retardasi belum tentu dapat menerima kondisi anaknya. Bagi mereka yang masih menolak biasanya cenderung malu membawa anak-anaknya didepan orang lain, melakukan permusuhan pada anak serta meminta oranglain dalam mengasuhnya. Sebuah penelitian juga menjelaskan bahwa orangtua yang masih menolak kondisi anaknya cenderung tidak responsif dan peduli akan kebutuhan anak tersebut (Barnett, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana efektivitas penerapan psikoedukasi untuk membuat anak mengenali jenis-jenis emosi serta paham penyebab maupun cara mengekspresikan emosi tersebut secara tepat sehingga penelitian ini berjudul Psikoedukasi untuk mengenali emosi pada anak Retardasi Mental. B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan Psikoedukasi dalam meningkatkan regulasi emosi pada anak Mental Retardation? 2. Bagaimana efektifitas pemberian Psikoedukasi dalam meningkatkan regulasi emosi pada anak Mental Retardasi? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah melihat bagaimana pelaksanaan serta efektivitas pemberian Psikoedukasi untuk mengenali emosi pada anak Mental Retardation. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi di bidang psikologi klinis anak, terutama mengenai efektifitas pemberian Psikoedukasi untuk mengenali emosi pada anak Mental Retardasi. Selain itu penelitian ini

diharapkan akan menambah sumber kepustakaan mengenai psikologi perkembangan anak sehingga hasil penelitian ini nantinya diharpkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharpkan dapat menjadi bahan referensi atau bahan pertimbangan bagi terapis atau peneliti yang ingin menerapkan Psikoedukasi dalam mengenali emosi pada anak Mental Retardasi. E. Sistematika Penulisan Berikut ini adalah sistem penulisan dari penelitian ini: BAB I : Pendahuluan: dalam bab ini terdiri dari uraian tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian. BAB II: Tunjauan Pustaka: di dalam bab ini dijelaskan beberapa teori hyang digunakan dalam penelitian ini yaitu Mental Retardasi dan Psikoedukas.i BAB III: Metode Penelitian: di bab ini akan dijelaskan metode yang akan digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian serta lokasi penelitian, prosedur penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian dan metode analisa data BAB IV : Pelaksanaan dan Hasil Intervensi: peneliti akan menguraikan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian serta pembahasannya. BAB V: Kesimpulan dan Saran: Menjelaskan kesimpulan yang telah diperoleh saat melakukan penelitian serta saran-saran metodologis dan praktis.