25 METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun yang berasal dari Gunung Kidul - Yogyakarta dan tepung beras yang berasal dari beras varietas Rojolele. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: akuades, STPP (sodium tripolifosfat), tepung iles-iles, guar gum, CaCl 2 serta bahan pendukung lain yang digunakan untuk persiapan sampel maupun analisis. STPP dan guar gum diperoleh dari toko kimia di Bogor dan tepung iles-iles diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor. Alat utama yang digunakan terdiri atas pengering kabinet dan multifunctional noodle machine. Peralatan pendukung yang digunakan antara lain: timbangan analitik, chromameter, rapid visco analyzer, texture analyzer, peralatan gelas dan alat memasak. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari bulan Mei November 2010. Penelitian ini menggunakan fasilitas laboratorium yang terdapat di lingkungan kampus IPB Darmaga, yaitu laboratorium Pilot Plant Seafast Centre, laboratorium biokimia dan rekayasa proses pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I meliputi kajian terhadap pengaruh susbtitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku dan kualitas bihun yang dihasilkan. Tahap II adalah kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl 2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku. Pada Tahap III dilakukan kajian terhadap pengaruh hidrokoloid dan CaCl 2 terhadap karakteristik bihun sukun. Pada tahap ini dilakukan karakterisasi terhadap sifat fisik bihun untuk mengetahui kualitas bihun sukun yang dihasilkan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
26 Tepung sukun dan tepung beras Kajian pengaruh substitusi tepung beras terhadap bahan baku Karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional Tingkat substitusi tepung beras terbaik Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl 2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku bihun sukun Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl 2 terhadap karakteristik bihun sukun Analisis sifat fisik dan organoleptik bihun Produk bihun Gambar 8 Diagram alir penelitian Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Bahan Baku Bihun Sukun Pada tahap ini dilakukan studi pengaruh substitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku bihun sukun. Sustitusi tepung sukun dengan tepung beras diharapkan dapat memperbaiki sifat fungsional dari campuran tepung yang dihasilkan, sehingga dapat menghasilkan produk bihun sukun dengan kualitas yang lebih baik. Tepung beras disubstitusikan pada campuran tepung kering pada level 15 dan 30% (b/b). Penentuan tingkat substitusi tepung beras didasarkan pada ketentuan bahwa tepung sukun tetap menjadi komponen utama yang dominan dalam produksi bihun sukun, sehingga ditetapkan jumlah tepung sukun minimum yang digunakan adalah 70% dan maksimum 85%. Selanjutnya
27 dilakukan analisis terhadap karakteristik campuran tepung yang meliputi swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005), profil gelatinisasi pati dengan rapid visco analyzer (Zaidul et al. 2007), kadar air, protein dan lemak (AOAC 1995), kadar pati (SNI 01-2891- 1992) dan kadar amilosa (Riley et al. 2006). Campuran tepung sukun dan tepung beras selanjutnya diaplikasikan pada produk bihun sukun. Diagram alir proses produksi bihun dapat dilihat pada Gambar 9. Produksi bihun dilakukan dengan menggunakan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi. Tepung sukun 70% Air 1:1 Sodium tripolifosfat 0.3% Pencampuran Pemanasan Tepung sukun 0% dan 15% Pelarutan Tepung beras 30% dan 15% Pengadonan Pencampuran Pembentukan untaian bihun Pengukusan: 90 C, 2 menit Pengeringan: 60 C, 2 jam Bihun Gambar 9 Diagram alir proses produksi bihun (Collado et al. 2001) yang dimodifikasi
28 Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl 2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl 2 terhadap bahan baku bihun sukun dilakukan dengan melakukan analisis terhadap karakteristik gelatinisasinya. Level tepung beras yang digunakan pada tahap ini adalah jumlah tepung beras yang menghasilkan karakteristik campuran tepung terbaik dan karakteristik bihun terbaik yang dihasilkan dari Tahap 1. Hidrokoloid yang digunakan adalah guar gum dan tepung iles-iles dengan konsentrasi 0.5 dan 1% dari jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. CaCl 2 ditambahkan adalah pada level konsentrasi 0, 1, dan 2% dari jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. Parameter yang diukur dan diamati pada tahap ini meliputi swelling volume (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005) dan profil gelatinisasi pati dengan rapid visco analyzer (Zaidul et al. 2007). Kode perlakuan yang digunakan dalam penelitian dirangkum dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9 Keterangan kode perlakuan Tepung sukun 100% Tepung sukun 85% + tepung beras 15% CaCl 2 Guar gum Iles-iles Guar gum Iles-iles (%) 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 0 G1 G2 I1 I2 B1 B2 BI1 BI2 1 G3 G4 I3 I4 B3 B4 BI3 BI4 2 G5 G6 I5 I6 B5 B6 BI5 BI6 Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan Garam CaCl 2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun Proses produksi bihun dilakukan dengan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi. Bahan baku yang digunakan adalah tepung sukun dan tepung beras dengan tingkat substitusi sesuai hasil yang diperoleh pada tahap I. Bahan tambahan pangan yang digunakan meliputi sodium tripolifosfat (STPP), guar gum/tepung iles-iles dan CaCl 2. STPP dilarutkan dengan air yang digunakan untuk membuat binder, sementara bahan tambahan pangan yang lain dicampurkan kering bersama sisa tepung sukun dan tepung beras. Jumlah STPP yang digunakan adalah 0.3%, guar gum/tepung iles-iles sebanyak 0.5 dan 1%, sedangkan CaCl 2
29 sejumlah 0, 1, dan 2%. Semua persentase berdasarkan jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. Pembuatan bihun sukun diawali dengan membuat binder (pengikat) adonan. Sebanyak 70% tepung sukun dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:1. Ke dalam air ditambahkan STPP sebagai pembentuk tekstur. Suspensi dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi yang ditandai dengan meningkatnya kekentalan maupun transparansi adonan. Penentuan jumlah tepung sukun yang dijadikan binder dan jumlah air yang digunakan dalam proses produksi bihun sukun ditetapkan setelah melalui beberapa percobaan. Faktor yang menjadi dasar dalam menentukan jumlah dan komposisi binder adalah bentuk adonan dan untaian yang dihasilkan. Dari hasil percobaan diperoleh kombinasi jumlah binder 70% dan perbandingan jumlah tepung dan air 1:1 yang memberikan adonan dan untaian terbaik (tidak lengket dan mudah dibentuk). Binder yang diperoleh kemudian dicampurkan dengan 30% bagian tepung kering yang sebelumnya telah dicampur dengan hidrokoloid dan/atau tanpa penambahan CaCl 2. Campuran diadon sehingga diperoleh adonan yang homogen. Adonan dimasukkan ke dalam multifunctional noodle machine yang bekerja dengan prinsip ekstrusi. Ulir tunggal yang berputar dalam mesin akan menekan dan mendorong adonan keluar melalui die dengan ukuran tertentu. Untaian bihun selanjutnya dibentuk dan diletakkan di atas pelat-pelat berlubang, kemudian dikukus pada suhu 95 C selama dua menit. Proses dilanjutkan dengan mengeringkan bihun dalam pengering kabinet (cabinet dryer) bersuhu 60 C selama dua jam untuk mencapai kadar air yang relatif aman untuk penyimpanan. Bihun sukun yang diperoleh dikemas dengan menggunakan plastik PP (polyprophylene) untuk melindunginya selama penyimpanan. Bihun yang dihasilkan kemudian dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analisis warna, waktu rehidrasi, KPAP, berat rehidrasi dan tekstur. Dilakukan pula uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring terhadap beberapa parameter tekstur bihun yang diperoleh.
30 Prosedur Penelitian Analisis Karakteristik Tepung/Campuran Tepung a. Swelling Volume dan Kelarutan (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005) Sebanyak masing-masing 0.35 g tepung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse berukuran 12.5 x 16 mm. Ditambahkan sebanyak 12.5 ml akuades ke dalam tabung kemudian disetimbangkan selama 5 menit. Tabung dipanaskan dalam penangas bersuhu 92.5 C selama 30 menit sambil sesekali dikocok. Sampel didinginkan dengan air es selama 1 menit kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 5 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Tinggi gel yang terbentuk diukur dan dikonversi menjadi volume gel per g sampel yang kemudian dinyatakan sebagai swelling volume. Supernatan yang berada di bagian atas tabung disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya dan filtrat yang diperoleh kemudian ditampung dengan cawan yang telah diketahui beratnya pula. Kertas saring dan cawan dikeringkan pada suhu 110 C selama satu malam. Sampel yang tertinggal pada kertas saring merupakan berat pati yang tersuspensi di dalam supernatan dan sampel yang tertinggal pada cawan merupakan pati yang terlarut. Persentase pati yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal. b. Analisis Profil Gelatinisasi Pati dengan Rapid Visco Analyzer (Zaidul et al. 2007) Analisis terhadap profil gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan instrumen Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Ltd., Warriewood Australia. Sampel sebanyak 3 gram (kadar air diketahui) disuspensikan dalam 25 ml air destilata. Suspensi dipanaskan hingga suhu 50 C dan dipertahankan selama 1 menit, kemudian dipanaskan lebih lanjut hingga mencapai suhu 95 C dengan kecepatan pemanasan 6 C/menit dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pendinginan hingga
31 mencapai suhu 50 C dengan kecepatan pendinginan 6 C/menit dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit. Informasi yang dapat diperoleh dari kurva viskograf adalah parameter profil gelatinisasi pati, antara lain: viskositas puncak (VP = viskositas tertinggi selama proses pemanasan), suhu gelatinisasi (SG = suhu awal gelatinisasi), waktu puncak (WP = waktu untuk mencapai viskositas puncak), viskositas trough (VT = viskositas terendah yang teramati setelah VP tercapai), viskositas breakdown (VB = VP dikurangi VT), viskositas akhir (VA = viskositas setelah satu siklus terselesaikan), viskositas setback (VS = VA dikurangi VT). Seluruh nilai dilaporkan dalam menit, C atau centipoises (cp). Penentuan profil gelatinisasi pati dapat dilihat pada Gambar 10. (cp) VA VS SG WP VT Gambar 10 Kurva profil gelatinisasi pati: SG (suhu gelatinisasi), VP (viskositas puncak), WP (waktu puncak), VT (viskositas trough), VB (viskositas breakdown), VS (viskositas setback) dan VA (viskositas akhir) c. Analisis Kadar Air (AOAC 1995) Sebanyak 1 2 g sampel ditimbang ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam oven bersuhu 130 C selama 1 jam. Cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Cawan dipanaskan kembali hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus berikut:
32 Kadar air (g/100 g bahan basah) = 100 W = bobot contoh awal (g) W1 = bobot contoh + cawan setelah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g) d. Analisis Kadar Lemak (AOAC 1995) Kadar lemak ditetapkan berdasarkan metode ekstraksi Soxhlet. Prinsip metode ini adalah pelarutan lemak yang akan diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemak dapat ditimbang dan dihitung persentasenya. Labu lemak dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang langsung dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring berisi sampel diletakkan di dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di atas dan labu lemak di bawah alat tersebut. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai dengan ukuran Soxhlet yang digunakan. Kemudian, sampel direfluks selama minimum 5 jam hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak, berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi dan ditampung. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 C. Setelah labu dikeringkan hingga beratnya tetap dan didinginkan dalam desikator, labu berisi lemak tersebut ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar lemak (g/100 g bahan basah) = 100 W = bobot contoh awal (g) W1 = bobot contoh + labu lemak setelah dikeringkan (g) W2 = bobot labu lemak kosong (g) e. Analisis Kandungan Protein (AOAC 1995) Analisis terhadap kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0.2 gram dan dimasukkan ke
33 dalam labu Kjeldahl 100 ml. Kemudian ditambahkan 2 g K 2 SO 4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H 2 SO 4 pekat, selanjutnya didestruksi hingga warna larutan berubah menjadi hijau jernih dan didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan 35 ml akuades dan 10 ml NaOH pekat untuk selanjutnya didestilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H 3 BO 3 dan indikator, kemudian dititrasi menggunakan HCl 0.02 N hingga berubah warna. Prosedur analisis yang sama diterapkan juga untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar nitrogen dalam sampel (%N) =. Kadar protein (g/100 g bahan basah) = 6.25 x %N W = bobot contoh awal (g) Vs = volume HCl yang digunakan untuk titrasi sampel (ml) Vb = volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml) f. Analisis Kandungan Pati (SNI 01-2891-1992) 100 Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%, kemudian dididihkan selama 3 jam menggunakan pendingin tegak. Larutan dinetralkan dengan NaOH 30% dan ditambahkan sedikit CH 3 COOH 3% agar suasana larutan menjadi sedikit asam. Larutan dipindahkan dalam labu ukur 500 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambah dengan 25 ml larutan Luff, batu didih dan 15 ml akuades kemudian dipanaskan dengan nyala api tetap. Setelah mendidih selama 10 menit, erlenmeyer didinginkan di dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin, dilakukan penambahan KI 20% sebanyak 15 ml dan H 2 SO 4 25% sebanyak 25 ml. Campuran dititrasi menggunakan larutan Na 2 S 2 O 3 0.1 N dengan indikator pati 0.5% hingga diperoleh titik akhir. Prosedur analisis yang sama diterapkan terhadap blanko. Perhitungan kadar pati dilakukan berdasarkan kandungan glukosa yang terukur pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan rumus berikut: Na 2 S 2 O 3 yang digunakan = (Vb Vs) x N Na 2 S 2 O 3 x 10
34 Vb = volume Na 2 S 2 O 3 yang digunakan pada titrasi blanko Vs = volume Na 2 S 2 O 3 yang digunakan pada titrasi sampel N = konsentrasi Na 2 S 2 O 3 yang digunakan untuk titrasi Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk ml Na 2 S 2 O 3 yang digunakan ditentukan melalui tabel Luff Schoorl (Tabel 9). Dari tabel tersebut dapat diketahui hubungan antara volume Na 2 S 2 O 3 0.1 N yang digunakan dengan jumlah glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Selanjutnya kadar glukosa dan kadar pati dihitung berdasarkan rumus berikut: W Kadar glukosa (%G) = Kadar pati (%) = %G x 0.90 100 = glukosa yang terkandung untuk ml Na 2 S 2 O 3 yang digunakan (mg) dari tabel W1 = bobot sampel fp = faktor pengenceran Tabel 10 Penetapan gula menurut Luff Schoorl Na 2 S 2 O 3 0.1 N (ml) Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg) Na 2 S 2 O 3 0.1 N (ml) 1 2.4 13 33.0 2 4.8 14 35.7 3 7.2 15 38.5 4 9.7 16 41.3 5 12.2 17 44.2 6 14.7 18 47.1 7 17.2 19 50.0 8 19.8 20 53.0 9 22.4 21 56.0 10 25.0 22 59.1 11 27.6 23 62.2 12 30.3 Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg) g. Analisis Kandungan Amilosa dan Amilopektin (Riley et al. 2006) Penetapan Sampel Sebanyak 100 mg sampel tepung bebas lemak dimasukkan dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9.0 ml NaOH 1 N. Setelah
35 itu sampel dipanaskan dengan penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak 5 ml sampel dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml CH 3 COOH 1 N dan 2 ml larutan iod (0.2% iod dalam 2% KI) lalu ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah dikocok, larutan didiamkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Pembuatan Kurva Standar Standar amilosa disiapkan dengan cara menimbang 40 mg amilosa murni ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan standar dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan CH 3 COOH 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian masing-masing tabung ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, absorbansi dari intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y). Kadar amilosa dalam sampel dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar amilosa = 100 C = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) V = volume akhir sampel (ml) F = faktor pengenceran W = berat sampel (mg) Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan amilopektin yang dihitung berdasarkan selisih total kadar pati dengan kadar amilosa.