BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. prinsipal menyewa orang lain dalam hal ini disebut agen, untuk melakukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Scott (2000) dalam Bangun (2009)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah teori agensi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjelaskan

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di dalam teori keagenan terdapat hubungan yang diibaratkan sebagai sebuah kontrak yang mana satu atau lebih prinsipal menyewa orang lain dalam hal ini disebut agen, untuk melakukan beberapa jasa demi kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Permasalahan hubungan keagenan mengakibatkan dua permasalahan yaitu. 1) Terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana agen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dari prinsipal. Menurut Ahmad et al. (2012) menyatakan bahwa asimetri informasi berkaitan dengan efektivitas arus informasi dan interaksi antara prinsipal dan agen dalam melakukan tugas tertentu. 2) Terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidaksamaan tujuan, dimana agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Kaitan teori keagenan dalam penelitian ini terlihat pada hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan juga hubungan antara masyarakat (principal) dengan pemerintah daerah (agen). Tamtomo (2010) menyatakan pemerintah pusat melakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah 1

untuk mengatur secara mandiri segala urusan pemerintahan di daerahnya, sehingga sebagai konsekuensi dari pelimpahan wewenang tersebut, pemerintah pusat menurunkan dana perimbangan, berupa dana bagi hasil, dana alokasi umum dan khusus yang tujuannya adalah membantu pemerintah daerah baik dalam mendanai kebutuhan pemerintahan sehari-hari maupun memberi pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. 2.1.2 Teori Desentralisasi Fiskal Desentralisasi berarti pemberdayaan satu atau lebih lapisan subnasional pemerintah sebagai agen, yang kemudian diminta untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan atau hanya melaksanakan tugas administrasi dari pusat (Rodden, 2006:27). Selanjutnya Bodman et al. (2009) menyatakan secara teoritis desentralisasi fiskal adalah devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah diperoleh dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui otonomi daerah. Fungsi utama dari desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Faridi, 2011). Maggi dan Ladurner (2009) menyatakan bahwa New Perspective Theory of Fiscal Federalism lebih menekankan untuk melihat ke dalam setiap keputusan politik yang diambil oleh pemerintah, bagaimana pemerintah (eksekutif dan legislatif) berperilaku, berperan dan berpikir beserta lembaga-lembaga mereka. 2

Menurut Mardiasmo (dalam Putra, 2015) desentralisasi fiskal menuntut tiap-tiap daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi dengan mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk menjadi lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya fiskal, namun itu tidak selalu mengarah pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatnya kesenjangan antar daerah terutama ditingkat kapasitas pembangunan dan sumber daya (Tirtosuharto, 2010). Desentralisasi fiskal dapat dibedakan sesuai dengan independensi tingkat pengambilan keputusan. Pertama, dekonsentrasi berarti penyebaran tanggung jawab dalam pemerintah pusat untuk kantor cabang regional atau unit administrasi lokal. Kedua, delegasi mengacu pada situasi dimana pemerintah daerah bertindak sebagai agen untuk pemerintah pusat, melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pusat. Ketiga, devolusi mengacu pada situasi dimana tidak hanya pelaksanaan tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang dilakukan adalah di tangan pemerintah daerah (Bird dan Vaillancourt, 1998:3). Tujuan umum dari program desentralisasi fiskal Indonesia adalah untuk meningkatkan efisiensi operasional antara pusat dan daerah, meningkatkan struktur fiskal pemerintah secara menyeluruh, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, memperluas partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah, mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah daerah dan menjamin pelayanan publik untuk warga di seluruh negeri, 3

memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia dan mendukung stabilitas ekonomi makro (Alm et al. 2004:137). 2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah (Sukirno, 2010:9). Hasan (2012) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan parameter dari suatu kegiatan pembangunan, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi dapat mengukur tingkat perkembangan aktivitas pada sektor-sektor ekonomi dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) suatu daerah. PDRB merupakan jumlah nilai output bersih perekonmian yang ditimbulkan dari seluruh kegiatan ekonomi di daerah tertentu, biasanya dihitung dalam satu tahun. PDRB biasanya digunakan untuk mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dihitung dengan PDRB harga konstan. Menurut Rahardja dan Manurung (2008:131) penghitungan pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk melihat apakah kondisi perekonomian suatu daerah makin membaik. 2.1.4 Kinerja Keuangan Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah gambaran tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui 4

suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran (Julitawati, 2012). Bentuk keuangan tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD. Terkait dengan pentingnya kinerja, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Pengukuran kinerja diperlukan untuk menilai tingkat besarnya penyimpangan antara kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan (Sularso dan Restianto, 2011). Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan indikator keuangan, maka alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis keuangan. Penggunaan analisis rasio sebagai alat analisis keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial namun pada lembaga publik, khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan penyajian laporan keuangan pada pemerintah daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan penyajian laporan keuangan oleh perusahaan yang bersifat komersil. Penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang memperhatikan 5

bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi atau pun struktur APBD (Halim, 2007). Daya serap anggaran dalam konteks belanja barang dan jasa berpengaruh signifikan pada angka pertumbuhan ekonomi. Hal ini menuntut daerah untuk mengelola tingkat pengeluarannya agar mencapai target pembangunan. Namun kenyataan di lapangan anggaran tidak sampai terserap 100% dengan asumsi tetap dapat memenuhi setidaknya sekitar 80% hingga 90%. Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo (dalam Putra, 2015) disebutkan bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah: 1) mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi yang tersedia di daerah, 2) memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih rendah yang memiliki informasi yang lebih lengkap. Kemandirian fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya. 6

2.1.5 Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). DBH yang berasal dari pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan pajak (sumber daya alam). Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian Gugus (2013) dan Santosa (2013). DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Secara teoritis pertumbuhan ekonomi suatu daerah membutuhkan jumlah dana yang besar, untuk itu segenap penerimaan daerah baik PAD, DBH maupun pendapatan lain yang sah diprioritaskan untuk mendanai belanja daerah untuk keperluan sektor publik, yang nantinya akan menunjang roda perekonomian dan memaksimalkan angka PDRB tiap tahun. Berlandaskan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa DBH berperan aktif dalam memaksimalkan pertumbuhan ekonomi daerah. 2.1.6 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari tiga bagian, yaitu. 7

1) Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dimana pekerjaan tersebut berkaitan dengan pembentukan modal. 2) Belanja Barang dan Jasa Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. 3) Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aktiva tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai belanja modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria kapitalisasi aset tetap. 2.2 Hasil Penelitian Sebelumnya Menurut Hendriwiyanto (2015) dana bagi hasil terbukti memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif dan signifikan. Persamaan penelitian Hendriwiyanto dengan penelitian ini adalah penggunaan DBH sebagai variabel 8

independen dan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen, sedangkan perbedaannya terletak pada penggunaan PAD, DAU, dan DAK sebagai variabel independen. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian (Pujiati, 2008; Santosa, 2013; Riska, dkk. 2014; Dewi dan Budhi, 2015). Simpulan yang dapat ditarik adalah dana bagi hasil merupakan salah satu indikator penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya Dewi dan Budhi (2015) dalam penelitiannya membuktikan bahwa dana bagi hasil dan belanja langsung berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Pernyataan ini sekaligus didukung oleh penelitian Adi (2006), Bose dan Osborn (2007), Chude dan Chude (2013), yang menyatakan bahwa belanja modal pemerintah (bagian dari belanja langsung) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Persamaan penelitian Dewi dan Budhi (2015) dengan penelitian ini adalah penggunaan dana bagi hasil sebagai variabel independen, sedangkan perbedaannya terletak dari penggunaan PAD sebagai variabel independen dan belanja langsung sebagai variabel intervening. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat ditarik simpulan bahwa belanja langsung adalah salah satu indikator penting yang mendeskripsikan realisasi pengeluaran (belanja pemerintah) yang menstimulasi angka pertumbuhan ekonomi. Kemudian Hamzah (2008) membuktikan bahwa kinerja keuangan secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kawa (2011) dimana kinerja keuangan pemerintah yang diukur dengan rasio keserasian belanja 9

operasional dan rasio keserasian belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pemerintah daerah. Selanjutnya hasil penelitian yang senada oleh Ani dan Dwirandra (2014), menyebutkan bahwa kinerja keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Persamaan penelitian Hamzah (2008) dan Kawa (2011) dengan penelitian ini adalah menguji pengaruh kinerja keuangan pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan perbedaannya adalah penggunaan rasio efektivitas PAD dan penggunaan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel intervening. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian terdahulu adalah kinerja keuangan mampu dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan tinggi rendahnya angka pertumbuhan ekonomi daerah. 2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dana bagi hasil adalah salah satu bagian dari dana perimbangan selain dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, yang ditransfer dari pemerintah pusat ke daerah dengan tujuan memaksimalkan pembangunan daerah sesuai dengan tujuan otonomi daerah (Nehen, 2012:411). Semakin tinggi DBH maka ekspektasi tingkat pembangunan daerah semakin tinggi, sehingga DBH berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini juga didukung oleh penelitan Pujiati (2008), Santosa (2013), Riska, dkk.(2014), Dewi dan Budhi (2015) dan Hendriwiyanto (2015). Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diperoleh hipotesis sebagai berikut. 10

H 1 : Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 2.3.2 Pengaruh Belanja Langsung Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi setara dengan pengorbanan berupa belanja langsung yang besar, begitu pula sebaliknya. Dapat disimpulkan bahwa belanja langsung berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Adi (2006) menyatakan bahwa bagian dari belanja langsung yaitu belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain jika pengeluaran pembangunan meningkat maka pertumbuhan ekonomi meningkat dan begitu sebaliknya. Bose dan Osborn (2007), menyatakan bahwa belanja modal pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dalam penelitian tersebut diproksikan melalui GDP. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh Chude dan Chude (2013) yang membuktikan bahwa belanja modal bepengaruh positif signifikan pada pertumbuhan ekonomi, hal ini juga dibuktikan dalam penelitian Dewi dan Budhi (2015) yang menyatakan bahwa belanja langsung berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. Hal ini membuktikan bahwa tingginya realisasi belanja langsung merupakan indikator penting dalam menunjang pertumbuhan 11

ekonomi. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diperoleh hipotesis sebagai berikut. H 2 : Belanja Langsung berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 2.3.3 Pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) pada Pertumbuhan Ekonomi yang di Moderasi oleh Kinerja Keuangan Daerah Dana Bagi Hasil adalah turunan dari dana perimbangan sekaligus sumber penerimaan potensial selain PAD yang diterima daerah melalui transfer dana dari pusat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Penerimaan (DBH) diharapkan mampu berjalan secara maksimal dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Salah satu indikator yang mewadahi antara jumlah penerimaan di lapangan dapat dilihat melalui kinerja keuangannya. Menurut Sumarjo (2010) intergovernmental revenue (penerimaan dari transfer pusat ke daerah) berpengaruh terhadap kinerja keuangan daerah. Selanjutnya Hamzah (2008) membuktikan bahwa kinerja keuangan daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar penerimaan berarti semakin besar biaya dan semakin baik kinerja keuangan yang dilakukan maka akan semakin besar pembangunan infrastruktur publik yang dapat dikerjakan oleh Pemerintah Daerah dan hal tersebut secara langsung akan mengakibatkan kesejahteraan bagi masyarakat serta pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat, dan begitu sebaliknya. Dengan demikian maka suatu daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini juga didukung oleh penelitian Putra (2015), dimana 12

kinerja keuangan mampu meningkatkan pengaruh PAD terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diperoleh hipotesis sebagai berikut. H 3 : Kinerja keuangan daerah memoderasi (meningkatkan) pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 2.3.4 Pengaruh Belanja Langsung pada Pertumbuhan Ekonomi yang di Moderasi oleh Kinerja Keuangan Daerah Belanja langsung adalah salah satu konsumsi daerah selain belanja tidak langsung yang difokuskan pada pembangunan fasilitas publik guna menunjang keberlangsungan roda perekonomian daerah yang nantinya berperan dalam menentukan tinggi rendah angka pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi belanja langsung maka tingkat pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat dan begitu sebaliknya. Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa belanja langsung berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Adi, 2006; Bose dan Osborn, 2007; Chude dan Chude, 2013; Dewi dan Budhi, 2015). Kemudian penelitian Nugroho (2012) membuktikan bahwa secara tidak langsung belanja modal (bagian dari belanja langsung) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan kinerja keuangan daerah melalui PAD sebagai variabel intervening. Kinerja keuangan adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan. Kinerja keuangan digunakan sebagai media untuk mengukur besarnya pengaruh belanja daerah, khususnya belanja langsung 13

terhadap pertumbuhan ekonomi daerah melalui rasio efisiensi, dengan cara menghitung besarnya realisasi pengeluaran atas total realisasi penerimaan (Hamzah, 2010: Kawa, 2011). Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diperoleh hipotesis sebagai berikut. H 4 : Kinerja keuangan daerah memoderasi (meningkatkan) pengaruh Belanja Langsung pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 14