II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Salah satu komoditas utama pertanian Indonesia adalah padi karena padi merupakan kebutuhan pokok penduduk Indonesia. Komoditi ini tumbuh hampir di seluruh daerah di Indonesia. Mengingat pentingnya komoditi ini sebagai bahan makanan pokok, kiranya pengembangan komoditi padi membutuhkan perhatian khusus. Di kebanyakan daerah, usaha tani padi diusahakan dengan secara tradisional secara turun temurun. Salah satu kendala yang dihadapi petani adalah kurangnya modal usaha dan harga beras yang relatif murah. Selama ini pembiayaan usaha tani masih menggantungkan pada bantuan pemerintah dengan kredit lunak melalui Kredit Usaha Tani (KUT) dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Mengingat kondisi perekonomian yang belum pulih, maka bantuan pemerintah tersebut semakin menurun (Ruspandi, 2003). Pada pembiayaan usaha tani padi diperlukan peran dan dukungan perbankan untuk membantu petani dengan memberikan kredit khususnya untuk usaha tani padi. Yang menjadi permasalahan perbankan adalah tidak semua perbankan mau berkecimpung dalam pemberian bantuan kredit kepada jenis kredit ini mengingat tingkat resiko yang tinggi. PT BRI (Persero) yang selama ini dipercaya oleh pemerintah untuk menyalurkan KUT dan KKP belum memberikan kredit untuk usaha tani padi secara komersial. Hal ini disebabkan belum ada kajian khusus apakah usaha tani padi itu layak atau tidak dibiayai dengan kredit 7
komersial (Ruspandi, 2003). Sementara itu menurut Hermanto (1992), secara garis besar sumber dana yang tersedia bagi masyarakat di perdesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1) sumberdana yang berasal dari masyarakat, (2) kredit dari lembaga non-formal, (3) kredit program pemerintah dan (4) kredit dari bank swasta dan koperasi. Dari keempat sumber tersebut, umumnya petani memperoleh tambahan modal untuk meningkatkan produktivitas usahataninya dengan menerapkan teknologi yang ada. Hasil kajian Nurmanaf dkk, (2006) menunjukkan bahwa bagi petani ternyata tidak mudah untuk mengakses modal dari lembaga pembiayaan di sekitar tempat tinggal mereka, akibat prosedur dan persyaratan yang ketat (di lembaga formal) maupun tingkat suku bunga yang sangat tinggi (di lembaga nonformal). Dari sisi ketersediaan dana, secara teoritis sebetulnya lembaga perbankan formal memiliki potensi besar untuk pembiayaan usaha pertanian. Namun demikian, perbankan yang punya legalitas dalam menghimpun dana masyarakat dalam jumlah sangat besar, ternyata belum maksimal dalam mendanai sektor pertanian. Setidaknya hal ini dapat diketahui dari proporsi kredit perbankan nasional untuk pertanian yang masih relatif rendah. Sebagai gambaran, selama kurun waktu 2002-2006, pangsa kredit perbankan untuk sektor pertanian rata-rata 5,72 persen. Besaran pangsa sektor pertanian masih selalu di bawah sektor perindustrian, perdagangan, dan jasa dunia usaha (BI, 2006). Pemerintah sejak masa awal orde baru telah meluncurkan kebijakan kredit program yang diawali dengan kredit Bimas untuk mendukung ketersediaan modal
petani. Dari waktu ke waktu model program kredit pertanian ini telah mengalami berbagai perubahan, baik yang terkait dengan prosedur penyaluran, besaran dan bentuk kredit, bunga kredit maupun tenggang waktu pengembalian Pemerintah juga memberikan bantuan modal dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) atau dana bergulir, maupun berupa subsidi bunga. Walaupun regim pemerintah telah silih berganti, kebijakan tersebut terus dipertahankan dengan argumentasi bahwa modal merupakan faktor crucial dalam berusaha. Di lain pihak fasilitasi kredit (terutama dengan bunga rendah) oleh pihak swasta maupun LSM dipandang masih sangat minim. Sementara itu, kebutuhan modal usahatani makin lama juga meningkat sejalan dengan makin mahalnya harga sarana produksi (Taryoto,1992). 2.2. Landasan Teori 2.2.1 Kredit Munir Fuady mendefinisikan: Bank merupakan lembaga perantara (intermidiary) dibidang keuangan, sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan, giro, deposito, maupun simpanan lainnya yang dihimpun untuk disalurkan kembali pada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan lainnya. Menurut ketentuan pasal 1 (12) undang undang no.7 tahun 1992 yang dirubah dengan Undang undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Kasmir, 2008). Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut: 1. Kepercayaan Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu di masa yang akan datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah baik secara interen maupun eksteren. 2. Kesepakatan Disamping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi kredit dan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajiban masing-masing. 3. Jangka Waktu Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. 4. Risiko Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya.
5. Balas Jasa Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank. Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil (Kasmir, 2008). Istilah perjanjian kredit secara definitif tidak dikenal di dalam Undang- Undang Perbankan, namun bila ditelaah lebih lanjut mengenai pengertian kredit dalam Undang-Undang Perbankan tercantum kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang berbentuk pinjam-meminjam. Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam-meminjam. Hal-hal yang perlu diatur dalam perjanjian kredit antara lain mencakup: a. Jumlah kredit; b. Jangka waktu kredit; c. Bunga kredit; d. Penggunaan kredit; e. Cara pengembalian kredit; f. Jaminan kredit; g. Biaya administrasi, h. Asuransi dan tagihan (Sutarno, 2004).
2.2.2 Analisis SWOT Dalam suatu usaha perlu melakukan analisis lingkungan (lingkungan luar dan lingkungan dalam) guna meramalkan perubahan lingkungan yang mempengaruhi usaha tersebut. Analisis lingkungan ini dapat dilakukan dengan apa yang dikenal sebagai analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threath). Dimana analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity), dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat) (Rangkuti, 2003). Sebelum melakukan analisis, maka diperlukan tahap pengumpulan data yang terdiri atas tiga model yaitu: a. Matrik Faktor Strategi Internal Sebelum membuat matriks faktor strategi internal, kita perlu mengetahui terlebih dahulu cara-cara penentuan dalam membuat tabel IFAS. Susunlah dalam kolom 1 faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan). Beri rating masing-masing faktor dalam kolom 2 sesuai besar kecilnya pengaruh yang ada pada faktor strategi internal, mulai dari nilai 4 (sangat baik), nilai 3 (baik), nilai 2 (cukup baik) dan nilai 1 (tidak baik) terhadap kekuatan dan nilai rating terhadap kelemahan bernilai negatifnya. Beri bobot untuk setiap faktor dari 0 sampai 50 pada kolom bobot (kolom 3). Bobot ditentukan secara subyektif, berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis perusahaan. Kalikan rating pada kolom 2 dengan bobot pada kolom 3, untuk memperoleh
skoring dalam kolom 4. Jumlahkan skoring (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategi internalnya. Hasil identifkasi faktor kunci internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan, pembobotan dan rating dipindahkan ke tabel Matrik Faktor Strategi Internal (IFAS) untuk dijumlahkan dan kemudian di perbandingkan antara total skor kekuatan dan kelemahan. b. Matrik Faktor Strategi Eksternal Sebelum membuat matrik faktor strategi eksternal, kita perlu mengetahui terlebih dahulu cara-cara penentuan dalam membuat tabel EFAS. Susunlah dalam kolom 1 faktor-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman). Beri rating dalam masing-masing faktor dalam kolom 2 sesuai besar kecilnya pengaruh yang ada pada faktor strategi eksternal, mulai dari nilai 4 (sangat baik), nilai 3 (baik), nilai 2 (cukup baik) dan nilai 1 (tidak baik) terhadap peluang dan nilai rating terhadap ancaman bernilai negatif. Beri bobot untuk setiap faktor dari 0 sampai 50 pada kolom bobot (kolom 3). Bobot ditentukan secara subyektif, berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis perusahaan. Kalikan rating pada kolom 2 dengan bobot pada kolom 3, untuk memperoleh skoring dalam kolom 4. Jumlahkan skoring (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana
perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategi eksternalnya. Hasil identifkasi faktor kunci internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan, pembobotan dan rating dipindahkan ke tabel Matrik Faktor Strategi eksternal (EFAS) untuk dijumlahkan dan kemudian di perbandingkan antara total skor peluang dan ancaman. c. Matriks Posisi Hasil analisis pada tabel matriks faktor strategi internal dan faktor strategi eksternal dipetakan pada matriks posisi dengan cara sebagai berikut: a. Sumbu horizontal (x) menunjukkan kekuatan dan kelemahan, sedangkan sumbu vertikal (y) menunjukkan peluang dan ancaman. b. Posisi perusahaan ditentukan dengan hasil sebagai berikut: Kalau peluang lebih besar daripada ancaman maka nilai y>0 dan sebaliknya kalau ancaman lebih besar daripada peluang maka nilainya y<0. Kalau kekuatan lebih besar daripada kelemahan maka nilai x>0 dan sebaliknya kalau kelemahan lebih besar daripada kekuatan maka nilainya x<0.
EKSTERNAL FAKTOR Y(+) Kuadran III Strategi Turn-around X(-) Kuadran IV Strategi Defensif Y(-) Kuadran I Strategi agresif X(+) Kuadran II Strategi Diversifikasi I N T E R N A L F A K T O R Gambar1. Matriks Posisi SWOT Kuadran I Merupakan posisi yang menguntungkan. Perusahaan mempunyai peluang dan kekuatan sehingga ia dapat memanfaatkan peluang secara maksimal. Seyogyanya menerapkan strategi yang mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. Kuadran II Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan mempunyai keunggulan sumber daya. Perusahaan-perusahaan dalam posisi seperti ini menggunakan kekuatannya untuk memanfaatkan peluang jangka panjang. Dilakukan dengan penggunaan diversivikasi produk atau pasar.
Kuadran III Perusahaan menghadapi peluang besar tetapi sumber dayanya lemah, karena itu dapat memanfaatkan peluang tersebut secara optimal fokus strategi perusahaan pada posisi seperti inilah meminimalkan kendala-kendala internal perusahaan. Kuadran IV Merupakan kondisi yang serba tidak menguntungkan. Perusahaan menghadapi berbagai ancaman eksternal sementara sumberdaya yang dimiliki mempunyai banyak kelemahan. Strategi yang diambil: defensive, penciutan dan likuidasi. (Situmorang dan Dilham, 2007). 2.3. Kerangka Pemikiran Di kebanyakan daerah, usaha tani padi diusahakan dengan secara tradisional secara turun temurun. Salah satu kendala yang dihadapi petani adalah kurangnya modal usaha. Sehingga akan ada hubungan antara petani dan bank di dalam pemenuhan modal usaha tani. Untuk pembiayaan usaha tani padi diperlukan peran dan dukungan perbankan untuk membantu petani dengan memberikan kredit khususnya untuk usaha tani padi. Karena kebanyakan usaha tani yang masih tradisional dengan keadaan petani yang memiliki lahan yang sempit memenuhi biaya usaha taninya dengan meminjam kepada pihak informal di daerah tersebut.
Kredit yang dibutuhkan petani memiliki beberapa unsur yang harus cocok dengan kemampuan petani sehingga petani dapat mengambil kredit dengan mudah. Begitu juga dengan bank, ada unsur-unsur kredit yang dibutuhkan bank untuk menyediakan kredit kepada petani. Terdapat kesenjangan antara kebutuhan petani akan kredit dengan penyediaan kredit oleh bank. Kesenjangan ini dapat ditinjau dari aspek jumlah (apakah jumlah biaya cocok dengan jumlah kredit), aspek waktu (apakah waktu kebutuhan cocok dengan waktu kredit) dan aspek syarat serta bunga yang diberikan oleh bank. Oleh karena itu, diperlukan penentuan alternatif strategi dalam peningkatan kredit dalam usaha tani dengan menggunakan analisis SWOT. Setelah dilakukan analisis faktor SWOT, maka kita dapat menentukan strategi peningkatan apa yang cocok dan bisa diterapkan untuk meningkatkan kredit dalam usaha tani tanaman Padi di daerah penelitian. Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Petani Bank Kebutuhan Unsur Kredit Fasilitas Unsur Kredit 1. Jumlah 2. Waktu 3. Bunga 1. Jumlah 2. Waktu 3. Bunga Perbedaan SWOT Strategi Peningkatan Pemanfaatan Fasilitas Kredit Perbankan Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan: : Ada hubungan : Membutuhkan : Menyediakan
2.4. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis penelitian ini adalah: Ada perbedaan unsur kredit usaha tani (jumlah, waktu dan bunga) yang dibutuhkan petani dengan unsur kredit yang tersedia melalui fasilitas kredit Perbankan.