44 5 KERAGAAN AGROINDUSTRI GULA TEBU Penelitian ini akan menganalisis dinamika perkembangan pelaku agroindustri gula tebu di bawah naungan BUMN yang terdiri dari 51 pabrik gula. Hal ini disebabkan karena pabrik gula BUMN bersifat lebih relevan sebagai obyek kajian yang berdasarkan fakta bahwa pabrik gula BUMN jauh banyak menghadapi berbagai persoalan. Secara umum kinerja pabrik gula BUMN yang menempati lahan 66% dari total luas lahan tanam hanya dapat menghasilkan 54% dari total produksi gula nasional. Selebihnya penggunaan sisa luas lahan tanam dan kontribusi produksi gula nasional dilakukan oleh pabrik gula swasta yang berjumlah 9 pabrik (Revitalisasi Pabrik Gula BUMN 2011). Dengan analisis keragaan ini diharapkan penelitian dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang perilaku elemen pembentuk sistem dan kekhasan tentang hubungan saling keterkaitanya. 5.1 Penjelasan pelaku produsen agroindustri gula tebu Indonesia Pabrik gula tebu di bawah naungan kepemilikan dan pengelolaan BUMN tersebar di berbagai lokasi dan terdiri dari berbagai ukuran kapasitas produksi. Pengelolaanya dilakukan oleh PT. Perkebunan Nusantara, antara lain sebagai berikut: a. PT. Perkebunan Nusantara II, PTPN II (2 PG) PTPN II berlokasi di kawasan Sumatra Utara, dan menurut perubahan legalitas pada tahun 1996 PTPN II berstatus sebagai BUMN yang merupakan hasil merger dari perusahaan-perusahaan di bawah naungan PTPN II dan PTPN IX. Bidang usaha PTPN II meliputi perkebunan kelapa sawit, karet, kako, gula dan tembakau. Keseluruhan konsiesi lahan mencapai 103,860 ha. Komoditas tanaman musiman tebu dilakukan di atas lahan kering seluas 16,046 ha yang terbagi ke dalam tebu sendiri (TS) seluas 14,474 ha dan tebu rakyat (TR) seluas 1,572 ha. Hasil perkebunan tebu diproses di 2 (dua) pabrik gula Kuala Madu (1984)dan Sei Semayang (1983). Pada tahun 2010 hanya mampu memproduksi 31,000 Ton gula dengan rata-rata rendemen 6%.
45 b. PT. Perkebunan Nusantara VII ( 2 PG ) PTPN VII berlokasi di kawasan Lampung. Sebagai perusahaan perkebunan BUMN hasil penggabungan PTP X, PTP XI, PTP XXIII dan PTP XXXI, perusahaan ini mengelola berbagai perkebunan seperti kelapa sawit, karet, teh, kakao, hortikultura, dan tebu. Khusus perkebunan tebu, PTPN VII mengalokasikan lahan seluas 29,114 ha. Pada tahun 2010, PTPN VII berhasil memproduksi 132,060 ton gula dengan tingkat rendemen rata-rata mencapai 6.7% yang dihasilkan oleh dua pabrik gula yaitu Bunga Mayang (1982) dan Cinta Manis (1982). c. PT. Perkebunan Nusantara IX ( 8 PG ) PTPN IX berlokasi di kawasan Jawa Tengah dengan kantor utama di kota Semarang dan merupakan penggabungan perusahaan dari PTP XV, XVI, dan XVII. Perusahaan perkebunan ini mengelola berbagai jenis komoditas seperti: teh, karet, kopi, kakao, kapok randu dan tebu. Khusus perkebunan tebu, perusahaan ini mengalokasikan lahan sendiri seluas 7,422 ha atau sekitar 19% dari total konsesi lahan seluas 39,137 ha. Sementara total tanaman tebu yang dikelola dengan tebu rakyat menempati lahan seluas 31,694 ha. Pada tahun 2010, PTPN IX berhasil memproduksi 129,355 ton gula dengan tingkat rendemen rata-rata sebesar 5.8% yang diproduksi oleh 8 (delapan) pabrik yang relatif sudah sangat tua. Pabrik gula tersebut adalah: PG Modjo (1833), PG Jatibarang (1860), PG Pangka (1860), PG Rendeng (1840), PG Sumberjarjo (1911), PG Tasik Madu (1855), PG Sragi (1928) dan PG Gondang Baru (1860) d. PT. Perkebunan Nusantara X ( 11 PG ) PTPN X merupakan penggabungan perkebunan yang berada di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kantor pusat di Surabaya dan merupakan penggabungan beberapa perusahaan yaitu PTP XIX, XXI, XXII dan XXVII. Perusahaan ini mengelola komoditas tanaman tembakau dan tebu. Tanaman tebu ditanam di atas lahan basah dan kering seluas kurang lebih 74,670 ha. Pada tahun 2010, PTPN X berhasil memproduksi 410,817 ton gula dengan tingkat rendemen rata-rata sebesar 6.5%. PTPN X mengelola 11 pabrik gula yaitu PG Djombang Baru (1859), PG Lestari (1910), PG Tjoekir (1884), PG Gempol Krep (1827), PG
46 Watoetoelis (1838), PG Kremboong (1847), PG Toelangang (1858), PG Modjo Panggoong (1852), PG Ngadiredjo (1912), PG Pesantren Baru (1849), dan PG Meritjan (1926). e. PT. Perkebunan Nusantara XI ( 16 PG ) PTPN XI berstatus BUMN yang beroperasi di wilayah Jawa Timurdan merupakan penggabungan dari perusahaan di bawah PTP XX, XXIV, dan XXV. Perusahaan ini mengelola khusus komoditas tebu dan pabrik gula di atas lahan tanam seluas 66,374 ha. Pada tahun 2010 PTPN XI memproduksi total 318,514 ton gula dengan tingkat rendemen rata-rata 5.7%. PTPN XI mengelola 16 pabrik gula, yaitu: PG Poerwodadi (1832), PG Soedhono (1888), PG Redjosari (1890), PG Kanigoro (1894), PG Pagotan (1884), PG Asembagoes (1891), PG Olean (1846), PG Pandhe (1887), PG Wringin Anom (1881), PG Pradjekan (1883), PG Semboro (1928), PG Djatiroto (1905), PG Padjarakan (1885), PG Wonolangan (1897), PG Gendhing (1927), dan PG Kedhawoeng (1898). f. PT. Perkebunan Nusantara XIV ( 3 PG ) PTPN XIV merupakan perseroan hasil penggabungan PTP VII, XXVIII, XXXII,dan PT. Bina Mulia Ternak. PTPN XIV berwilayah kerja di kawasan Sulawesi, Maluku dan NTT. Perusahaan ini mengelola perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, kelapa hibrida, kelapa tinggi/ Nias, pala, kopi, dan tanaman semusim tebu. Pada tahun 2010, luas lahan tanaman tebu mencapai 11,470 ha dan hasil produksi gula sebanyak 27,312 ton dengan tingkat rendemen rata-rata relatif sangat rendah 4.8%. PTPN XIV mengelola 3 (tiga) pabrik gula, yaitu: PG Takalar (1984), PG Bone (1975), dan PG Camming (1985). g. PT. Rajawali Nusantara Indonesia ( 10 PG) PT. RNI mula-mula merupakan perusahaan perdagangan hasil bumi Oei Tiong Ham Concern yang beroperasi di Semarang. Pada tahun 1961 perusahaan ini diambil alih oleh Pemerintah dan perusahaan berganti status sebagai perusahaan BUMN yang pada tahun 1964 bernama PT. Rajawali Nusantara Indonesia. Bidang usaha PT. RNI adalah agroindustri, farmasi, alat kesehatan, dan distribusi. Pada tahun 2010, bidang usaha agroindustri PT. RNI mengelola areal lahan tebu seluas 64,897 ha dan mampu menghasilkan gula sebanyak 334,916 ton dengan tingkat
47 rendemen rata-rata 5,9. PT. RNI mengelola 10 pabrik gula, yaitu: PG Krebet Baru (1906), PG Rejo Agung Baru (1894), PG Candi Baru (1983), PG Sindang Laut (1896), PG Karang Suwung (1854), PG Tersana Baru (1937), PG Jati Tujuh (1977), PG Subang (1981), dan PG Madukismo (1958). h. Pabrik gula swasta dan pabrik gula rafinasi Di samping 51 buah pabrik gula di bawah kepemilikan dan pengelolaan BUMN, pelaku agroindustri gula tebu di Indonesia yang lain adalah pabrik gula milik swasta berjumlah 9 buah dan pabrik gula rafinasi berjumlah 8 buah. Dengan pertimbangan bahwa pabrik gula swasta dan pabrik gula rafinasi telah memiliki kinerja yang jauh lebih baik dari pada pabrik gula BUMN, maka dalam penelitian ini diperlakukan sebagai acuan dan tidak perlu didiskripsikan secara khusus. 5.2 Distribusi dan perdagangan gula tebu Sebagai komoditas yang berkarekteristik musiman, maka pada saat periode musim giling bulan Mei hingga Desember pasokan gula melimpah di pasar dan sebaliknya di luar musim giling pasokan gula akan mencapai titik minimum. Keadaan ini membawa konsekuensi langsung terhadap kelangsungan distribusi gula. Apabila kelancaran distribusi terganggu maka akan mempengaruhi harga, yaitu berupa harga relatif sangat rendah saat berada pada musim giling dan sebaliknya. Gambar 11 Kebijakan dana talangan
48 Sejak awal tahun 2000 kebijakan pemerintah Indonesia cenderung mengkondisikan pasar gula diserahkan kepada mekanisme pasar sesuai hukum supply-demandsehingga harga gula mengikuti harga internasional yang merujuk pada pasar berjangka London. Kebijakan pasar bebas ini mengakibatkan semakin terpuruknya beberapa pelaku usaha gula nasional yang tidak dapat bersaing dengan pasar internasional. Pemangku penentu kebijakan menyadari hal ini, sehingga mulai tahun 2010 pemerintah menempuh kebijakan jaminan kepastian harga berupa dana talangan yang bersaing dan mekanismenya seperti pada Gambar 11 dengan penjelasan sebagai berikut: a. Apabila harga pasar terjadi di bawah harga talangan, maka petani akan dijamin memperoleh harga sesuai dengan harga talangan. b. Apabila harga pasar terjadi di atas harga talangan, maka petani akan menikmati tambahan harga sesuai kesepakatan antara pemerintah dan petani. Sebagai contoh penerapan mekanisme kebijakan harga talangan di atas, misal terjadi kesepakatan harga minimal yang akan dijamin penalangan oleh PTPN (PG BUMN) sebesar Rp 5,000 per kg, dan kondisi pasar menunjukan harga Rp 6,500 per kg, maka bila disepakati distribusi proporsi Petani:PTPN = 60% : 40% masing-masing pihak akan menerima kelebihan harga sebesar Rp 1,500 sebagai berikut: a. Petani : 60% x Rp 1,500 = Rp 900 b. PTPN : 40% x Rp 1,500 = Rp 600 Apabila harga pasar jatuh di bawah harga talangan (harga minimal Rp 5,000), maka pihak PTPN tetap akan memberikan talangan seharga Rp 5,000 per kg. 5.3 Aspek supply-demand dan pasar gula tebu di Indonesia Hingga tahun 2010, kondisi neraca gula di Indonesia masih timpang pada posisi kekurangan supply sehingga bila kondisi defisit ini tidak dikendalikan maka akan mengakibatkan kenaikan harga gula tanpa kendali. Pemerintah melaksanakan kebijakan pemenuhan kekurangan supply dalam jangka pendek dengan melakukan importasi gula, yang mekanismenya dapat dijelaskan pada Gambar 12.
49 Gambar 12 Mekanisme kebijakan cadangan penyangga Kebijakan cadangan penyangga dimaksudkan untuk menjaga stabilitas supply-demand dan harga, sehingga dengan terpeliharanya stabilitas pasok dan harga akan mengakibatkan pemasok dan konsumen dapat melakukan perencanaan dengan mudah. Adapun mekanisme kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: a. Apabila cadangan gula cenderung berlimpah sehingga harga pasar cenderung di bawah harga wajar, pemerintah melalui Perum BULOG akan membeli kelebihan gula di pasar. b. Apabila harga pasar berada di atas harga wajar, pemerintah melalui Perum BULOG akan melepas cadangan dan apabila cadangan tidak mencukupi maka akan dilakukan importasi gula dari pasar internasional. 5.4 Tantangan agroindustri gula tebu ke depan Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 236 juta. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula, Indonesia memerlukan pasokan gula sebanyak 5 juta ton yang terdiri dari 2.75 juta ton bagi pemenuhan konsumen langsung rumah tangga dan 2.25 juta ton untuk keperluan industri. Merujuk pada Gambar 13 mengenai importasi gula, meskipun pola importasi sempat menurun setelah puncak importasi tertinggi tahun 2007, namun kecenderungan ke depan diperkirakan akan semakin menaik sejalan dengan kenaikan permintaan konsumen. Produk gula nasional baru mampu memenuhi kebutuhan sebesar 53% saja sehingga masih perlu impor sebesar 47% dari total kebutuhan.
50 4,000 3,000 2,000 1,000-790 1,510 2,990 1,820 1,600 1 2 3 4 5 6 Importasi Gula 2005-2010 Sumber: DGI 2010 2,040 Gambar 13 Importasi gula tebu 2005 2010 Dengan asumsi angka yang dikeluarkan oleh Kementerian BUMN bahwa kebutuhan gula konsumsi langsung rumah tangga meningkat per tahun sebesar 1.83% dan gula keperluan industri naik sebesar 5% per tahun maka pada tahun 2014 akan diperlukan gula sebesar 5.7 juta ton. Suatu tantangan yang berat mengingat kondisi kemampuan produksi dalam negeri yang jauh tertinggal dari kelajuan pertumbuhan permintaan. Gambar 14 Strategi generik kebijakan impor - ekspor Melihat strategi generik kebijakan impor-ekspor seperti pada Gambar 14 (Jamaran, 2009), dalam kondisi defisit pasokan gula di dalam negeri, bila pemerintah belum dapat melakukan kebijakan substitusi impor gula secara total, maka pemerintah dapat mendorong adanya foreign home investment atau mendorong pengolahan gula mentah di wilayah
51 Indonesia. Berkenaan dengan ini, pemerintah telah memberikan ijin baru pembangunan pabrik gula rafinasi untuk meningkatkan kapasitas produksi gula. Namun demikian kebijakan ini tidak semudah yang diharapkan karena terkandung kesulitan dalam penataan kondisi harmonis antara dua pabrik gula kristal putih berbahan baku tebu dan pabrik gula kristal rafinasi berbahan baku gula mentah impor. Di samping itu kebijakan meningkatkan kinerja pabrik gula rafinasi mengandung resiko ketergantungan pihak asing, mengingat hingga saat ini kebutuhan bahan baku gula mentah untuk pabrik gula rafinasi sepenuhnya diimpor dari luar negeri. Selain itu pabrik gula rafinasi tidak mengakibatkan multiplier effect di sektor hulu, seperti penyerapan tenaga kerja dan usaha terkait lainya.