BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sebuah hubungan pacaran, keadaan untuk berkeinginan menyentuh, mencium, meraba, merangsang, hingga berhubungan seks merupakan kondisi yang tidak mudah untuk dikendalikan. Ibarat sebuah magnet yang memiliki dua kutup yang tarik menarik, medan magnet akan semakin besar gaya tarik menariknya jika berada dalam jarak yang sangat dekat. Masalahnya tidak berhenti di wilayah tersebut. Rasa cinta dan sayang mendadak saja bisa hancur berantakan ketika ada kondisi yang tidak setara antara pasangan remaja. Sebagian besar kaum remaja laki-laki melakukan dominasi terhadap pasangan perempuannya. Ketika dominasi terjadi tanpa ada ada perlawanan dari pasangan perempuan untuk kembali menyetarakan posisinya dalam hubungan cinta mereka, sesungguhnya cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut kekerasan dalam masa pacaran (KDP), kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan cinta (Set, 2009). Menurut Sugarman, and Hotaling (1989), kekerasan dalam masa pacaran (KDP) adalah kekerasan atau ancaman melakukan kekerasan dari satu pasangan yang belum menikah terhadap pasanganannya yang lain dalam konteks berpacaran atau tunangan. Sedang menurut Set (2009), kekerasan dalam masa pacaran (KDP) adalah pola berulang dari perilaku kekerasan yang ditimbulkan seorang kekasih terhadap pasangannya. Bentuk perulangan dari perilaku ini dapat mengakibatkan luka fisik, bahkan kematian. Kekerasan juga 1
termasuk dalam masalah verbal, biasanya berupa caci maki dan hinaan, serta masalah kekerasan emosional yang mengakibatkan korban kehilangan hubungan dengan teman-teman sekitarnya. Pihak remaja perempuan yang tidak menyadari bahwa telah terjadi sebuah penyimpangan di dalam hubungan cintanya dengan laki-laki yang selama ini dicintainya dengan sepenuh hati akan menganggap bahwa ia hanyalah makluk yang harus menuruti segala perintah sang kekasih. Kemudian, deraan dan siksaan yang lebih keras akan terjadi, baik secara fisik maupun mental. Hasil survei menyatakan bahwa 1 dari 5 remaja putri di Indonesia pernah atau sedang mengalami kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan atas nama cinta (Set, 2009). Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (242 orang). Sepertiganya (31 % atau 75 orang) merupakan kekerasan dalam pacaran (KDP). Kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan. Annisa (2002) mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan Januari-Juli 2002 tercatat sebanyak 248 kasus, 60 kasus merupakan kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan 30 kasus. Sedangkan PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran : 1) 57% adalah kekerasan emosional 2
2) 20% mengaku mengalami kekerasan seksual 3) 15% mengalami kekerasan fisik 4) 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi (Kompas, 20 Juli 2002). Tingginya kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) yang ditemukan menunjukkan ada baiknya jika pacaran hendaknya dihindari, karena dalam pacaran tidak terdapat mekanisme pertanggungjawaban. Namun apabila pacaran harus dilakukan maka hal yang perlu dilakukan adalah membangun kerangka kesejajaran, penuh pengertian dan saling menghargai. Setiap pasangan pacaran harus membuat kesepakatan-kesepakatan yang semestinya harus mereka taati dan tidak melanggarnya (Reginna, 2011). Hal yang patut disayangkan terkait dengan tingginya kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) yang ditemukan selama ini adalah bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi namun belum mendapat porsi perhatian yang lebih dari masyarakat. Banyak sekali orang tua, remaja, dan guru yang belum sepenuhnya memahami masalah kekerasan dalam masa pacaran (KDP), kebanyakan dari mereka belum menganggap persoalaan unik ini sebagai sebuah kasus besar yang harus dicermati bersama. Pacaran di kalangan remaja masih dianggap sebagai aktivitas main-main, cinta monyet, atau beberapa anggapan lain yang menyatakan pacaran gaya remaja hanya sebuah permainan belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas pacaran di kalangan remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat (Setyawati, 2010). 3
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (domestic violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat mereka sedang berpacaran (KDP). Sehingga tidaklah mungkin dalam berpacaran terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Kondisi tersebut menggambarkan salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data dari laporan korban mengenai kekerasan ini (Setyawati, 2010). Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi pada kenyataan dalam setiap kasus banyak ditemui jika perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki, karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi sebab adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa pantas menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena (Setyawati, 2010). Dijelaskan oleh Arieka (2007) yang mengutip dari Jurnal Perempuan (2002) bahwa bentuk-bentuk dari kekerasan dalam masa pacaran (KDP) yaitu : 1) Kekerasan emosional, bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini berupa pemberian julukan yang 4
mengandung olok-olok, membuat seseorang jadi bahan tertawaan, mengancam, cemburu yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, kekerasan ekonomi wujudnya dapat berupa pemerasan, memaksa meminta uang, meminta barang dan sebagainya, mengisolasi, larangan berteman, caci maki, larangan bersolek, larangan bersikap ramah pada orang lain dan sebagainya. 2) Kekerasan fisik, bentuk kekerasan fisik ini antara lain berupa memukul, menampar, menendang, menjambak rambut. Ini biasanya dilakukan karena pasangannya tidak mau menuruti kemauannya atau dianggap telah melakukan kesalahan. 3) Kekerasan seksual, berupa pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual (rabaan, ciuman, atau sentuhan) tanpa persetujuan. Menurut Arieka (2007) yang mengutip dari Jurnal Perempuan (2002), juga menyebutkan beberapa faktor penyebab kekerasan dalam pacaran, yaitu : 1) Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan 2) Peer group 3) Media massa 4) Kepribadian 5) Peran jenis kelamin. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam pacaran tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis yang mengaruhi kehidupan sosial pelaku dan korban (Minna, 2010). Dengan demikian dapat dikatakan apabila tindakan kekerasan dalam pacaran rentan terjadi pada remaja, karena pada usia tersebut minat untuk menjalin hubungan pacaran dan kecenderungan untuk mengeksplorasinya terlihat lebih nyata. Pacaran di kalangan siswa-siswi SMA, kadang juga tidak seromantis sebagaimana buku-buku dan artikel-artikel panduan pacaran. Dalam banyak kasus, pacaran di kalangan siswa-siswi juga diwarnai dengan berbagai macam penyimpangan. Tidak jarang pacaran menjadi ajang bagi hubungan dominasi. Dan dominasi adalah awal dari terjadinya kekerasan dan 5
penindasan. Ciri khas yang sering muncul dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan biasanya setelah itu menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan kekerasan lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada dasarnya, hubungan pacaran adalah sarana melatih keahlian individu dalam kepekaan, empati, kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik serta kemampuan untuk mempertahankan komitmen. Jika individu mampu mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik dengan baik niscaya kekerasan dalam pacaran (KDP) tidak akan terjadi. Walaupun pacaran adalah hal yang rumit untuk dibicarakan, namun sangat mungkin untuk dipecahkan dan diselesaikan bersama (Setyawati, 2010). Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan suatu penelitian mengenai pencegahan perilaku kekerasan dalam pacaran (KDP) di kalangan siswa-siswi SMA, sehingga hasil penelitian ini nantinya diharapkan akan memberikan pengetahuan kepada banyak pihak mengenai perilaku kekerasan dalam pacaran di kalangan siswa-siswi SMA, dan upaya pencehannnya. Terkait dengan mengurangi perilaku kekerasan tersebut peneliti akan menerapkan konseling kelompok behavioral melalui penerapan strategi latihan perilaku asertif atau asertivitas training. Latihan perilaku asertif atau asertivitas training terutama dapat diterapkan pada situasi-situasi interpersonal, dimana individu yang memiliki kesulitan perasaan sesuai atau tepat untuk menyatakannya. Pelatihan asertivitas dapat membantu bagi orangorang yang tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelan, bagi mereka 6
yang sopan berlebihan dan membiarkan mengambil keuntungan daripadanya, bagi orang-orang yang kesulitan untuk mengatakan tidak, bagi mereka yang suka menyatakan kecintaannya dan respon positif-positif lainnya, dan bagi mereka yang tidak punya hak menyatakan perasaan dan pikirannya (Corey, 1997). Demikian juga Wahyuningsih, dkk (2010) juga menyatakan bahwa tujuan dari penerapan teknik pelatihan asertif ini adalah : 1) Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain. 2) Meningkatkan ketrampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak. 3) Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaannya terhadap perasaan dan hak orang lain. 4) Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dengan berbagai situasi sosial. 5) Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi. Dengan demikian jelas bahwa melalui konseling kelompok behavioral dengan penerapan strategi latihan perilaku asertif mampu mencegah terjadinya kekerasan dalam pacaran di kalangan siswa-siswi SMA. Namun untuk mengetahui sejauh mana manfaat konseling kelompok behavioral dalam mencegah perilaku kekerasan dalam pacaran (KDP) pada siswa-siswa SMA maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Untuk tujuan tersebut peneliti memilih siswa-siswi Kelas XI SMA Bhinneka Karya 2 Kabupaten Boyolali sebagai subyek penelitian, hal ini didasarkan dari hasil 7
wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada 10 orang siswa siswi kelas XI SMA Bhinneka Karya 2 Kabupaten Boyolali yang dipilih secara random ternyata pernah menjadi korban kekerasan dalam pacaran (KDP), akibatnya menjadikan subyek : 1) Merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru, 2) Terisolir dari lingkungan sosialnya akibat pengekangan pasangan, dan 3) Sulit mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga. Tabel 1.1 Akibat Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) No. Akibat Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) f % 1 Merasa minder untuk bergaul terutama ketika 2 20 memasuki lingkungan yang baru 2 Terisolir dari lingkungan sosialnya akibat 6 60 pengekangan pasangan 3 Sulit mempercayai orang lain dan selalu merasa 2 20 curiga Total 10 100 Sumber : Hasil Wawancara Dengan 10 Orang Siswi SMA Bhinneka Karya 2 Berdasarkan data hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa dengan adanya korban kekerasan dalam pacaran (KDP) di sekolah tersebut, maka disinyalir di sekolah tersebut juga terdapat siswa atau siswi pelakupelaku kekerasan dalam pacaran (KDP). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 8
Apakah konseling kelompok behavioral dapat menurunkan perilaku kekerasan dalam pacaran (KDP) pada siswa-siswi Kelas XI SMA Bhinneka Karya 2 Kabupaten Boyolali?. C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah : Untuk mengetahui efektifitas konseling kelompok behavioral dalam menurunkan perilaku kekerasan dalam pacaran (KDP) pada siswa-siswi Kelas XI SMA Bhinneka Karya 2 Kabupaten Boyolali. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis a. Bagi penulis penelitian ini dapat memberikan pengalaman belajar dalam penulisan karya ilmiah, serta untuk menambah wawasan mengenai penerapan konseling kelompok behavioral sebagai salah satu cara untuk menurunkan perilaku kekerasan dalam pacaran (KDP). b. Bagi siswa, dapat memberi wawasan tentang pentingnya pencegahan kekerasan dalam pacaran (KDP) sehingga dapat dijadikan sebagai wahana dalam pengembangan kompetensi bergaul dengan orang lain. c. Bagi SMA Bhinneka Karya 2 Kabupaten Boyolali, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan layanan konseling sehingga kekerasan dalam pacaran (KDP) di kalangan siswa siswi di SMA tersebut dapat dikurangi. 2. Secara Teoritis 9
a. Memberi masukan untuk mempelajari dan memecahkan masalah kekerasan dalam pacaran (KDP) melalui konseling kelompok behavioristik dengan menerapkan teknik pelatihan asertif sehingga bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di SMA Bhinneka Karya 2 Kabupaten Boyolali. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara lebih mendalam dan dalam lingkup yang lebih luas. E. Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II. Landasan Teori, berisi tentang kekerasan, pacaran, kekerasan dalam pacaran (KDP), konseling kelompok behavioristik, hipotesis penelitian. Bab III. Metodelogi Penelitian, berisi tentang tipe penelitian, variable penelitian, definisi operasional, teknik pengumpulan data, uji coba instrumen, pemilihan subyek penelitian, pembagian kelompok eksperimen dan kontrol, teknik analisis data. Bab IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi tentang diskripsi subjek penelitian, pelaksanaan eksperimen, analisis data, uji hipotesis, pembahasan. Bab V. Penutup, berisi kesimpulan, saran. 10