BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR ANDRI APRIYADI

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai Adapun pada tahun 2009

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. Hilir tahun adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang Pada

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya seperti Indonesia. Kemiskinan seharusnya menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sampai saat ini, karena itulah program-program pengentasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

I. PENDAHULUAN. Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009)

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengkait antara satu faktor dengan faktor lainnya. pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan. Sejak tahun 1960-an

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BANTUAN LANGSUNG UNTUK RAKYAT MISKIN DIBERIKAN HINGGA 2014

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia. Negara Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau dan

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan

BELAJAR DARI PENGUATAN APARATUR PEMDA DALAM PENGELOLAAN PNPM PISEW

BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Khaidar Syaefulhamdi Ependi, 2014

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

Siaran Pers Nomor : 13/Humas Kesra /IV/2014. Jakarta, 21 April 2014

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

lintas program dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus

Progress Report Peningkatan Kesejahteraan Sosial di 50 Kabupaten Tertinggal. Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

I. PENDAHULUAN A. Sejarah

BAB I PENDAHULUAN. hak bagi setiap orang. Karena setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

II. TINJAUAN PUSTAKA

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 84 / HUK / 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 83 / HUK / 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia. Hai ini mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

CAPAIAN KINERJA INDIKATOR INDIKATOR DAMPAK (IMPACT)

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 2010: PEMELIHARAAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar

RISALAH KESEPAKATAN PEMBAHASAN SIDANG KELOMPOK MUSRENBANG NASIONAL TAHUN 2010

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. periode tahun Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Maret 2006

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

Pengalihan Subsidi BBM, Program Pengurangan Kemiskinan, dan Bantuan Langsung Tunai

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah

APBN 2008 dan Program Kompensasi. Freddy H. Tulung Dirjen SKDI

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENGUATAN PERAN TKPK

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL

Jakarta, 10 Maret 2011

BAB VI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Dalam program

RANCANGAN AWAL RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/ Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM Mandiri Jakarta, 3 November 2008

Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2015

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara R

LAPORAN KINERJA KEPALA BIDANG PEMBERDAYAAN SOSIAL TAHUN 2015

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 Bidang: Lintas Bidang Penanggulangan Kemiskinan II.1.M.B-1. (dalam miliar rupiah)

IV.B.7. Urusan Wajib Perumahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini menganalisis partisipasi masyarakat melalui implementasi. penanggulangan kemiskinan di perkotaan melalui Program Nasional

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR

2015, No Peraturan Menteri Sosial tentang Rencana Program, Kegiatan, Anggaran, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan Lingkup Kementerian Sosial

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KONSEP OPERASIONAL UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI INPRES DESA TERTINGGAL

Efektivitas Program Bantuan Sosial dalam Pengurangan Kemiskinan dan Ketimpangan

Transkripsi:

52 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (DITJEN PMD Depdagri, 2003 dalam Nugroho, 2009). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan lain terhadap berbagai aspek pembangunan. Jika dilihat dari aspek ekonomi, kemiskinan berdampak pada produktivitas yang rendah, sementara jika dilihat dari aspek sosial menyebabkan berkembangnya masalah/penyakit sosial. Secara politik, kemiskinan bisa mengakibatkan instabilitas, dan dari aspek budaya bisa mengakibatkan dekadensi moral, sedangkan dari aspek pertahanan keamanan dinilai bisa mengakibatkan kerawanan keamanan. Hingga saat ini pemerintah telah melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan selama lebih dari tiga dasawarsa dan telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan terutama pada masa sebelum krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, selama dua dekade sejak tahun 1976 hingga 1996 angka kemiskinan pernah mengalami penurunan cukup signifikan dari 54,2 juta orang menjadi 22,5 juta orang atau dari 40,1 persen pada tahun 1976 menjadi 11,3 persen pada tahun 1996. Kemudian karena adanya krisis ekonomi pada tahun 1998, angka ini meningkat sangat signifikan. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI mengemukakan bahwa hal tersebut disebabkan karena masyarakat miskin di Indonesia masih rentan terhadap perubahan situasi politik, ekonomi, sosial, dan juga bencana alam yang terjadi di beberapa daerah. Berdasarkan paparan Bappenas dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan 2009 yang menggunakan data BPS tahun 1976-2009, untuk mengembalikan kondisi tersebut diperlukan waktu lebih dari 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan sebagaimana seperti saat sebelum krisis. Hal tersebut

53 memberikan pengalaman kepada pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat. Diperlukan waktu 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan seperti saat sebelum krisis Catatan: Terdapat penyempurnaan metode pada tahun 1998 yang meliputi perluasan cakupan komoditi dan keterbandingan antar daerah Sumber: BPS, 2009. (Materi Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan di Jakarta, 13 Juli 2009) Gambar 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976-2009. Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat ternyata juga memiliki permasalahan akan tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data pemetaan kemiskinan versi Departemen Sosial RI (2007), jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 453.418 jiwa atau 11,94 persen dari total penduduk dan menempati posisi kedua sebagai daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Propinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung (Gambar 2). Namun berdasarkan data penduduk miskin versi BPS Kabupaten Bogor (2007), jumlah penduduk miskin Kabupaten Bogor pada tahun 2003 berjumlah 476.371 jiwa dan semakin bertambah menjadi 1.026.879 jiwa pada tahun 2006 6. Walaupun demikian, proporsi jumlah penduduk miskin tahun 2006 tersebut masih sebesar 24,15 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang mencapai 4.215.585 jiwa 6 Perbedaan hasil pengukuran ini dipengaruhi oleh perbedaan penggunaan indikator kemiskinan antara BPS dan Departemen Sosial dalam menghitung angka kemiskinan

54 Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Sumber: Depatermen Sosial RI, 2007 Gambar 2. Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2008) telah merancang Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan yang terdiri dari 3 kluster yaitu, 1) Kluster Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Kluster Program-Program Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Kluster Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dalam Kluster Bantuan Sosial dicakup program-program bantuan sosial yang dikhususkan untuk kelompok masyarakat sangat miskin atau Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), misalnya Program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau disebut juga Program Keluarga Harapan (PKH), beras untuk masyarakat miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan sosial untuk pengungsi/korban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan lain sebagainya. Pada Kluster Pemberdayaan Masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan masyarakat yang menggunakan falsafah bahwa yang harus menjadi

55 aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri, bukan pemerintah ataupun pihak lain. Untuk itu, masyarakat miskin harus ditingkatkan kemampuannya untuk menjadi modal sosial yang bisa diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya. Menkokesra Abu Rizal Bakrie (2008) mengemukakan bahwa programprogram penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada pendekatan pemberdayaan masyarakat akan memberikan hasil yang lebih efektif dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh proyek seperti biasa. Masyarakat miskin jika diberikan peluang yang sebesar-besarnya untuk menentukan arah yang mereka sukai untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, maka masyarakat miskin akan bergiat bahkan tidak ragu-ragu akan memberikan berbagai kontribusi dalam bentuk apapun yang mereka mampu untuk terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat tersebut. Rasa kepemilikan terhadap program akan lebih kuat dan ada perasaan bahwa mereka dihargai oleh pemerintah untuk menentukan nasib mereka sendiri 7. Wujud dari program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat sebenarnya sudah ada sejak dulu. Salah satunya adalah diterapkannya kebijakan pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). KUBE ini dipelopori oleh Departemen Sosial RI sejak tahun 1983 sebagai salah satu alternatif kegiatan dalam penanggulangan kemiskinan, khususnya fakir miskin sebagai sasaran utama. Melalui metode ini masyarakat bisa memperoleh keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial karena tujuan pembentukan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan, pengembangan usaha, peningkatan kemampuan berusaha anggotanya, dan peningkatan kepedulian serta kesetiakawanan sosial diantara para anggota dengan masyarakat sekitar (Depsos RI, 2007). Metode ini kemudian diadopsi pula dalam program-program pemberdayaan masyarakat oleh instansi-instansi pemerintah lainnya seperti BKKBN, Departemen Pertanian, dan lain-lain. Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS) Kabupaten Bogor, dalam periode tahun 2005-2007 terdapat 433 7 Demokrasi bagi Kesejahteraan Rakyat, Sambutan Menkokesra pada acara Silaturakhmi Kerja Nasional ICMI di Pekanbaru - Riau, 12 Januari 2008.

56 KUBE yang dibentuk melalui pelatihan keterampilan dengan dana berasal dari APBD. Namun kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD ini tidak didukung anggaran pendampingan pasca-pelatihan dan penguatan modal yang sangat penting bagi kelanjutan usaha KUBE. Akibatnya banyak KUBE yang tidak berkembang atau gagal melanjutkan usaha yang dijalankannya. Padahal metode ini diharapkan menjadi salah satu pilihan mengangkat masyarakat miskin untuk diarahkan ke dalam bentuk pemberdayaan. Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan kebijakan pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) bagi penguatan modal KUBE. Menurut Depsos RI (2007) program yang diluncurkan sejak tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan terhadap berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah ada dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin di berbagai wilayah secara terpadu dan berkelanjutan. Dalam program ini, bantuan langsung yang diberikan berupa uang tunai yang digulirkan secara hibah bersyarat dengan titik berat pada pemberian/penguatan modal usaha bagi KUBE Fakir Miskin yang telah dibina sebelumnya. Kabupaten Bogor menerima dana ini dengan jumlah relatif besar yang digulirkan terhadap 25 KUBE Fakir Miskin pada 2 kecamatan (BPMKS Kabupaten Bogor, 2007). Dibandingkan kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD, maka P2FM-BLPS dapat dikategorikan sebagai langkah lanjut yang akan menunjang kelangsungan KUBE yang sudah terbentuk melalui dana APBD tersebut. Sebab didalamnya terdapat mekanisme pendampingan sosial dan penguatan modal yang akan mendukung keberhasilan usaha KUBE. Menurut Depsos RI, implementasi P2FM-BLPS di kedua kecamatan di Kabupaten Bogor ini merupakan pilot project yang jika berhasil bisa diterapkan di seluruh wilayah di Kabupaten Bogor sehingga dapat mengurangi jumlah kemiskinan secara signifikan. Dengan adanya dukungan P2FM-BLPS terhadap potensi KUBE di Kabupaten Bogor, maka pendekatan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE bisa diharapkan menjadi konsep yang siap dikembangkan di seluruh wilayah dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Namun demikian, penerapan kebijakan ini akan

57 menghadapi berbagai kendala yang berasal dari masyarakat maupun dari dukungan Pemerintah Daerah sendiri, untuk itu perlu dilakukan kajian Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor?. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan utama dalam memberdayaan fakir miskin adalah rendahnya kapasitas/kemampuan yang dimiliki masyarakat sehingga memerlukan berbagai dukungan baik sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan. Oleh karenanya dalam pembentukan KUBE selalu disertakan kegiatan bimbingan sosial, pelatihan keterampilan, dan pemberian stimulus baik berupa bahan/alat untuk usaha ataupun bantuan dana/modal. Namun pemberian bantuan baik dalam bentuk barang maupun uang pada kegiatan yang tergolong Program Pemberdayaan Masyarakat sangat berbeda tujuannya dengan pemberian bantuan tunai pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, bantuan yang diterima digunakan untuk dihabiskan atau dibelanjakan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan bantuan pada Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat tidak untuk dihabiskan melainkan digunakan untuk dikelola sehingga bisa meningkat nilainya. Melihat perbedaan tujuan ini, tentunya diperlukan kehati-hatian dalam menentukan sasaran program karena akan berdampak pada menguapnya dana tanpa terjadinya proses pemberdayaan dan peningkatan nilai yang diharapkan. Artinya sebelum kebijakan pemberdayaan fakir miskin diluncurkan perlu dikaji terlebih dahulu apakah cukup relevan dengan kondisi masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat miskin. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), selama ini implementasi upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor yang berbentuk pemberian bantuan langsung belum mempertimbangkan penggunaan data yang akurat sehingga banyak permasalahan terjadi seperti pada kisruhnya kasus Program Bantuan Langsung Tunai

58 (BLT) pada tahun 2005-2006 dan banyaknya kesalahan data dalam menentukan sasaran Program Keluarga Harapan pada Tahun 2007. Di lain pihak, ada juga beberapa wilayah yang menolak program tersebut karena dianggap tidak relevan dengan kondisi kemiskinan di masyarakatnya. Untuk itu dalam mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin juga perlu melihat kondisi kemiskinan melalui data yang akurat sehingga tidak mengalami kasus yang sama dengan program program tersebut. Kaitannya dengan harapan untuk dapat diterapkannya kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE secara tepat sasaran di seluruh wilayah Kabupaten Bogor, maka informasi akan kemiskinan di wilayah Kabupaten Bogor yang terdiri dari 40 kecamatan tentunya dibutuhkan agar dapat melihat perbedaan karakteristik kemiskinan di tiap wilayahnya. Informasi ini juga akan membantu dalam mempertimbangkan prioritas pelaksanaan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan lainnya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang pertama adalah bagaimanakah kondisi kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin. Keberhasilan suatu kebijakan pengentasan kemiskinan selain dipengaruhi oleh dukungan masyarakat juga dipengaruhi oleh dukungan dari keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Oleh karenanya sebuah keputusan yang sudah diformulasikan dengan baik tentunya hanya akan berhasil-guna jika dapat direalisasikan. Sebelum melangkah pada mencari strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin, perlu diidentifikasi terlebih dahulu upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan. Bagaimanapun informasi ini akan mempengaruhi peluang terealisasi tidaknya formulasi strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), sebenarnya sudah cukup banyak usulan kegiatan yang mendukung kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) di Kabupaten Bogor, namun demikian cukup banyak juga yang tidak disetujui oleh Tim Anggaran mengingat terbatasnya anggaran yang dialokasikan. Di sisi lain, Pengusung Program

59 biasanya kurang tepat memberikan argumentasi akan seberapa penting program yang diusulkannya sehingga berpengaruh terhadap lolos tidaknya suatu program direalisasi. Dengan demikian informasi yang tepat mengenai posisi program yang akan diusulkan diantara program penanggulangan kemiskinan lainnya akan sangat penting dalam mempengaruhi terealisasinya program. Sebagai bentuk keseriusan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya, Pemerintah Kabupaten Bogor sendiri telah menetapkan acuan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar manusia (basic need approach). Namun penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi Renstra/RPJMD, Rencana Kerja, dan tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada program/kegiatan di tiap instansi pemerintah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang kedua adalah bagaimanakah implementasi dan keterpaduan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor terutama dalam mendukung pemberdayaan fakir miskin. P2FM-BLPS yang merupakan salah satu wujud dari upaya penanggulangan kemiskinan dari Kluster Program Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri 8. Bagi Pemerintah Kabupaten Bogor program ini dianggap mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di wilayahnya. Jika melihat evaluasi dari pelaksanaan program-program di Kluster Bantuan dan Perlindungan Sosial, mengandalkan program bantuan langsung tunai saja tidak akan mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan, untuk itu upaya penanggulangan kemiskinan melalui metode pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE merupakan program tindak lanjut alternatif yang sedang terus dikembangkan. Penerapan P2FM melalui mekanisme BLPS dalam rangka penguatan KUBE Fakir Miskin diawali sejak tahun 2006 dengan menunjuk 44 kota/kabupaten sebagai pilot project. Pada tahun berikutnya program ini kemudian diterapkan pada 99 kabupaten di 33 propinsi. Kabupaten Bogor sendiri baru menerima P2FM pada akhir 8 Harmonisasi Program-Program Berbasis Pemberdayaan Masyarakat disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Tahun 2008.

60 tahun 2007 dimana pemerintah pusat mengucurkan dana sebesar Rp. 1,5 milyar bagi penguatan KUBE Fakir Miskin di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya. Program ini juga cukup menarik karena secara teori selain ada perguliran hasil usaha terjadi pula interaksi sosial dan kesetiakawanan sosial di antara anggota KUBE maupun dalam lingkungan sosialnya. Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang akan menyebabkan program ini tidak berhasil di beberapa daerah, semisal kesiapan daerah, kesiapan sasaran, dan dukungan dari pemerintah setempat (Muchtar, 2007). Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang ketiga adalah Sejauhmana keberhasilan pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor? P2FM-BLPS dari Pemerintah Pusat merupakan sebuah percontohan yang ke depannya diharapkan Pemerintah Kabupaten Bogor dapat mengadopsi program tersebut dan mengembangkannya dengan dana yang bersumber dari APBD sendiri. KUBE Fakir Miskin sendiri diharapkan dapat terus berkembang sehingga layak untuk mendapatkan akses dan penguatan ekonomi melalui Kredit Usaha Rakyat dalam rangka tahapan penanggulangan kemiskinan kluster berikutnya (Kluster III). Dengan adanya KUBE yang diperkuat secara ekonomi, kegiatan ekonomis produktif masyarakat miskin dimudahkan berpindah menjadi sektor usaha kecil dan menengah sehingga mampu mengangkat masyarakat lainnya untuk entas dari kemiskinan. Dengan melihat lingkungan strategis dari kondisi kemiskinan masyarakat yang ada serta posisi program pemberdayaan fakir miskin dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan kondisi pelaksanaan P2FM-KUBE sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor maka pertanyaan kajian ini yang keempat adalah Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE agar berhasil guna dan dapat dikembangkan secara menyeluruh pada masyarakat miskin di Kabupaten Bogor?. 1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir

61 miskin melalui KUBE yang tepat sasaran sesuai dengan karakteristik fakir miskin dan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan khusus dari kajian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin; 2. Menganalisis implementasi dan keterpaduan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dan dampaknya dalam mengurangi kemiskinan; 3. Mengevaluasi pelaksanaan BLPS melalui penguatan KUBE Fakir Miskin di Kabupaten Bogor; 4. Merumuskan langkah strategis dalam upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan karakteristik fakir miskin. 1.4. Manfaat Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan juga pihak-pihak yang terkait lainnya dalam mengembangkan program pemberdayaan fakir miskin melalui metode KUBE dan memberi masukan strategi pengembangan kebijakan tersebut agar bisa dikembangkan di masyarakat Kabupaten Bogor secara menyeluruh.