5% 25% N=20 10% 45% 15% HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Untuk Produsen Kuesioner Penelitian Untuk Produsen

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan energi dan untuk proses metabolisme dalam tubuh. Mengkonsumsi

I. PENDAHULUAN. Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu

Preferensi Konsumen dan Pedagang Mi Bakso terhadap Mi Basah Jagung Teknologi Ekstrusi

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia adalah perkembangan pola

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Produk olahan yang paling strategis untuk dikembangkan dalam. rangka menunjang penganekaragaman (diversifikasi) pangan dalam waktu

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada anak-anak membuat anak buta setiap tahunnya

III. METODOLOGI PENELITIAN

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki potensi di sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. aman dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan. Penentuan

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kita hidup di dunia ini dilengkapi dengan lima indra yaitu penglihatan,

PENGARUH LAMA PEMERAMAN TELUR ASIN TERHADAP TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif

KADAR PROTEIN DAN BETAKAROTEN BAKSO IKAN TUNA YANG DIPERKAYA JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) DAN UMBI WORTEL NASKAH PUBLIKASI

Natallo Bugar dan Hermansyah, Uji Sensoris Pada Pembuatan Mie Basah Dengan Penambahan Surimi

BAB I PENDAHULUAN. dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan

VI. KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN DAN PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN MOCI KASWARI LAMPION. mengetahui, mengenal serta mengkonsumsi moci Kaswari Lampion.

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian.

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. ikan laut yang dicampur dengan bahan-bahan, seperti cabe kering yang dihaluskan

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

Gambar 12.(a) Persentase Responden yang Memilih Makanan Ringan dan Makanan Berat, (b) Persentase Produk Makanan Ringan

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Saya adalah Mahasiswa Universitas Esa Unggul Fakultas Ekonomi dan. Bisns Jurusan Manajemen yang berfokus pada Bidang Pemasaran, sedang

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri. Berdasarkan data dari Wardhana (2013) dalam Majalah Tempo

KARAKTERISTIK KONSUMEN RESTORAN MIRA SARI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Februari tahun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

LEMBAR KUESIONER PENILAIAN SENSORIS PRODUK SUSU UHT FULL CREAM PADA RESPONDEN DEWASA

BAB I PENDAHULUAN. Keamanan pangan (food safety) merupakan hal-hal yang membuat

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN

BAB I PENDAHULUAN. Mie merupakan jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah. dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mie juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan yang banyak disukai masyarakat (Anonim, 2007).

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Biologi DIAH AYU FITRIANI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengolahan hasil pertanian dalam pelatihan ini dimaksudkan untuk mengubah bentuk bahan baku menjadi bahan

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Proses Pembuatan Mie Basah Rasa Sayur Bayam Hijau

BAB 1 PENDAHULUAN. Jajanan pasar Indonesia yang ada di tanah air kita merupakan ciri khas budaya

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Maenggunakan Pewarna Buatan dan Pewarna Alami Kulit Buah Naga

Standar Mutu Bihun Instan Menurut SNI No. Uraian Satuan Persyaratan 1. Keadaan : 1.1. bau 1.2. rasa 1.3. warna

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jewawut, pencampuran bahan-bahan, mencetak/membentuk choco chip,

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN

Tabel 9. Rata-rata kadar air mi sagu MOCAL

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan bangsa khususnya pada Program Pendidikan Dasar, anak usia

BAB I PENDAHULUAN. setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung

BAB I PENDAHULUAN. penganekaragaman produk pangan, baik berupa serealia (biji-bijian), tahun terjadi peningkatan konsumsi tepung terigu di

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2014 di

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan vitamin dan mineral yang diperoleh dari buah-buahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ulangan 1 Ulangan 2 (%)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. ANALISIS TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK MINUMAN SARI BUAH MINUTE MAID PULPY ORANGE DI KOTA BOGOR

PENDAHULUAN. ekonomi yang masih lemah tersebut tidak terlalu memikirkan akan kebutuhan

PENGARUH PENGGUNAAN CENGKEH (Syzygium aromaticum) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum sp.) SEBAGAI PENGAWET ALAMI TERHADAP DAYA SIMPAN ROTI MANIS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium kimia Analis Kesehatan,

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Survei Manfaat Daun Hantap Cara Penetapan Sampel

BAB I. PENDAHULUAN. cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sehingga pengembangan industri

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) adalah jenis tanaman

BAB V PEMBAHASAN. Cempedak Terhadap Kualitas Fisik Dan Organoleptik. Proses fermentasi tempe dimulai dari fase pertumbuhan cepat (0-30 jam

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada jaman globalisasi saat ini persaingan antar produsen sangat tinggi.

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PREFERENSI PADA PEDAGANG MI BAKSO 1. Karakteristik Responden Pedagang Mi Bakso Karakteristik responden perlu diketahui untuk memberikan gambaran mengenai faktor-faktor eksternal produk yang mungkin mempengaruhi preferensi responden terhadap mi basah jagung teknologi ekstrusi. Beberapa karakteristik pedagang mi bakso yang dianalisis pada penelitian ini antara lain usia, lama berdagang, jenis mi yang biasa digunakan, dan tingkat pengetahuan responden terhadap mi jagung. Seluruh responden pedagang mi bakso yang berhasil diwawancarai adalah pria. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pedagang bakso keliling yang berjenis kelamin wanita (jika ada) sangat sedikit. Dengan demikian, faktor pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap seluruh analisis preferensi pedagang mi bakso dapat diasumsikan tidak ada. Usia responden dibagi ke dalam beberapa kategori. Pertama, kategori usia anak-anak yaitu kurang dari sama dengan 15 tahun. Kedua, kategori usia remaja-pemuda yaitu antara 16-25 tahun. Ketiga, kategori usia pemuda-dewasa yaitu antara 26-35 tahun. Keempat, kategori usia dewasa yaitu antara 36-45 tahun. Kelima, kategori usia dewasa-tua yaitu antara 46-55 tahun. Keenam, kategori usia tua yaitu lebih dari 55 tahun. 10% 5% 25% N=20 45% 15% Gambar 5. Usia responden pedagang mi bakso 25

Berdasarkan data pada Gambar 5 mengenai usia responden, dapat terlihat bahwa kategori usia dengan jumlah responden terbanyak berturutturut adalah usia dewasa (36-45 tahun), remaja-pemuda (16-25 tahun), pemuda-dewasa (26-35 tahun), dewasa-tua (46-55 tahun), serta usia tua (lebih dari 55 tahun). Mayoritasnya kategori usia dewasa dari responden pedagang bakso disebabkan rentang usia ini merupakan usia produktif seseorang dalam bekerja. Pengalaman berdagang responden pedagang mi bakso dikategorikan menjadi tiga, yaitu 0-9 tahun, 10-19 tahun, dan lebih dari 20 tahun. Kategori pengalaman berdagang dengan jumlah responden terbanyak secara berturut-turut adalah selama rentang 0-9 tahun (45%), lebih dari 20 tahun (40%) dan 10-19 tahun (15%). Diagram pie pengalaman responden berdagang dapat dilihat pada Gambar 6. 40% N=20 15% 45% Gambar 6. Pengalaman berdagang responden pedagang mi bakso Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada responden pedagang mi bakso, diketahui bahwa seluruh responden biasa menggunakan mi instan curah yang ada di pasar. Hanya ada 15% responden yang juga biasa menggunakan tambahan dari jenis mi basah/ kuning yang ada di pasar. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat keawetan dan kepraktisan mi instan curah yang lebih baik dari jenis mi basah. Menurut Astawan (1999), kadar air mi instan umumnya mencapai 5-8%, 26

sehingga memiliki daya simpan yang cukup lama. Persentase jenis mi yang biasa digunakan responden dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis mi yang biasa digunakan responden pedagang mi bakso Jenis Mi Jumlah Persentase Mi Instan Curah 17 85,00 Mi Instan Curah dan Mi Kuning/ Basah 3 15,00 Total 20 100,00 Stepherd dan Spark (1994) menyebutkan bahwa pengetahuan mempengaruhi preferensi pangan, sehingga perlu juga diketahui tingkat pengetahuan responden terhadap produk pangan yang diujikan. Hasil wawancara terkait pengetahuan responden terhadap produk mi jagung dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengetahuan responden pedagang mi bakso terhadap mi jagung Pengetahuan Responden Jumlah Persentase sudah pernah mendengar 3 15,00 belum pernah mendengar 17 85,00 Total 20 100,00 Hasil tersebut menunjukkan hanya 15% atau 3 orang dari jumlah total responden yang menyatakan pernah mendengar atau mendapat informasi tentang mi jagung. Ketiga orang ini kemudian menyatakan bahwa mereka mengetahui informasi tentang mi jagung karena pernah disewa oleh Institut Pertanian Bogor dalam sebuah acara launching mi jagung. Sementara seluruh responden yang lain menyatakan belum pernah mendengar ataupun mendapat informasi tentang mi jagung. Rendahnya tingkat pengetahuan responden terhadap mi jagung disebabkan produk ini memang belum dipasarkan ke masyarakat luas. Jika responden diberikan informasi mengenai mi jagung beserta keunggulankeunggulannya, seperti nilai gizi dan kesehatan, maka penilaian responden terhadap mi jagung dapat menjadi lebih baik. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pengembangan produk mi jagung selanjutnya. 27

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Responden Pedagang Mi Bakso dalam Memilih Mi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi responden dalam memilih mi, di antaranya adalah kualitas sensori, selera konsumen, harga, kemudahan memperoleh produk, dan kemudahan cara penyajian. Responden mengurutkan kelima faktor tersebut dari mulai yang terpenting (nilai 1) hingga yang paling tidak penting (nilai 5). Secara deskriptif, hal ini dapat dilihat pada tabulasi silang antara faktor dan peringkatnya sebagaimana terlampir pada Lampiran 3. Selain dalam tabulasi silang, secara deskriptif juga dapat dilihat dalam bentuk diagram batang yang ditampilkan pada Gambar 7. jumlah responden (n=2 16 14 12 10 8 6 4 2 1 2 3 4 5 0 peringkat faktor Gambar 7. Penilaian peringkat kepentingan faktor-faktor pemilihan mi oleh responden pedagang mi bakso Gambar 7 memperlihatkan bahwa kualitas sensori merupakan faktor yang terbanyak mendapatkan peringkat satu (warna biru muda) dari responden. Sedangkan peringkat dua (warna biru) paling banyak diberikan kepada faktor selera konsumen, peringkat tiga (warna hijau toska) diberikan paling banyak kepada faktor harga, peringkat empat (warna hijau) diberikan paling banyak kepada faktor kemudahan cara pengolahan 28

saat disajikan, dan peringkat lima (warna abu-abu) diberikan paling banyak kepada faktor kemudahan memperoleh produk. Statistik deskriptif tidak dapat memberikan kesimpulan lebih jauh mengenai hubungan antara berbagai variabel, kecuali sekedar memberikan gambaran fenomena. Oleh karena itu, data antara faktor-faktor memilih mi dan peringkatnya perlu dianalisis lebih lanjut menggunakan Uji Kruskal- Wallis yang hasil pengolahan statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai p sebesar 0,00 atau kurang dari nilai α yang ditetapkan sebesar 0,05. Hal ini berarti H 0 ditolak dan disimpulkan bahwa paling sedikit ada satu faktor yang menunjukkan nilai-nilai peringkat yang lebih besar. Dapat juga dijelaskan bahwa di antara kelima faktor memilih mi, setidaknya ada satu faktor yang memperoleh nilai peringkat lebih besar atau lebih kecil secara nyata pada taraf signifikansi 0,05. Cara mengetahui faktor yang memiliki nilai peringkat lebih besar atau lebih kecil adalah dengan melihat nilai mean rank yang dihitung dari nilai pemeringkatan masing-masing atribut, seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai-nilai mean rank peringkat kepentingan masing-masing faktor pemilihan mi bagi responden pedagang mi bakso (n=20) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Responden dalam Memilih Mi Mean Rank Kualitas Sensori 30,50 Selera Konsumen 29,50 Harga 49,50 Kemudahan Memperoleh Produk 75,50 Kemudahan Cara Pengolahan Saat Disajikan 67,50 Dalam Tabel 8, semakin kecil nilai mean rank suatu faktor berarti faktor tersebut semakin mendekati peringkat terpenting pertama. Tabel 8 memperlihatkan bahwa faktor kualitas sensori dan selera konsumen memiliki nilai mean rank yang tidak berbeda jauh, sehingga dapat dikatakan kedua faktor tersebut memiliki nilai peringkat yang serupa, yaitu berada pada peringkat terpenting pertama. 29

Masing-masing responden memiliki pengetahuan dan kecenderungan subjektif terhadap kualitas mi yang dipilihnya. Subjektifitas tersebut berpengaruh bagi penilaian dan prediksi responden pedagang bakso terhadap nilai kepuasan konsumennya. Sebaliknya, komentar dan saran konsumen mengenai kepuasan terhadap produk yang ditawarkan juga mempengaruhi parameter kualitas sensori bagi pedagang. Hal ini dapat menjadi penyebab tingkat kepentingan faktor selera konsumen dan faktor kualitas sensori hampir sama. Faktor-faktor selain kualitas sensori dan selera konsumen memiliki nilai mean rank yang cukup berbeda, sehingga faktor-faktor tersebut dapat diurutkan peringkatnya. Faktor harga menempati urutan terpenting kedua dengan nilai mean rank 49,50. Sementara faktor kemudahan cara pengolahan saat disajikan dan faktor kemudahan memperoleh produk menempati urutan terpenting ketiga dan keempat dengan nilai mean rank masing-masing 67,50 dan 75,50. Hasil tersebut menunjukkan responden pedagang mi bakso berorientasi pada kepuasan konsumen dalam memilih mi. Menurut Akbar (2009), kepuasan merupakan dampak dari perbandingan antara harapan konsumen sebelum pembelian dan yang sesungguhnya diperoleh konsumen dari produk yang dibeli tersebut. Orientasi pada kepuasan konsumen merupakan suatu hal yang umum bagi pedagang produk apapun, tidak terkecuali pedagang mi bakso. Kesimpulan yang dapat diambil adalah responden pedagang mi bakso sangat terpengaruh oleh komentar dan saran dari para konsumennya dalam memilih mi. Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa jika ada produk mi dengan kualitas sensori yang kurang bagus menurut responden atau konsumennya, maka produk mi tersebut tidak akan dipilih untuk digunakan, meskipun mi tersebut dijual dengan harga yang relatif murah atau mudah didapatkan oleh para pedagang bakso. Kualitas sensori mi ditentukan oleh berbagai atribut. Beberapa di antaranya menjadi parameter utama yang seringkali menjadi acuan masyarakat untuk menilai bagus atau tidaknya kualitas mi tersebut. 30

Atribut-atribut itu antara lain rasa, aroma, tekstur, dan warna/ penampakan. Analisis untuk mengetahui atribut kualitas mi yang terpenting bagi responden diperlukan agar bisa memahami penyebab utama mi disukai atau tidak. Analisis ini menggunakan metode tabulasi silang dan Uji Kruskal- Wallis. Tabulasi silang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena pemeringkatan masing-masing atribut oleh responden sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5. Selain itu, secara deskriptif juga dapat dilihat pada Gambar 8. 14 jumlah responden (n=20) 12 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 peringkat faktor Gambar 8. Penilaian peringkat kepentingan atribut sensori mi bagi responden pedagang mi bakso Gambar 8 memperlihatkan bahwa rasa merupakan atribut sensori yang paling banyak dinilai terpenting pertama (warna biru muda) oleh responden. Sementara atribut terpenting kedua (warna biru) paling banyak diberikan kepada aroma, atribut terpenting ketiga (warna hijau toska) paling banyak diberikan kepada tekstur, dan atribut terpenting keempat (warna hijau) paling banyak diberikan kepada warna. Analisis atribut sensori mi yang terpenting selanjutnya dilakukan dengan menggunakan Uji Kruskal-Wallis. Hasil pengolahan statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil analisis tersebut menunjukkan nilai p 31

sebesar 0,00 atau lebih kecil dari nilai α yang ditetapkan sebesar 0,05. Hal ini berarti H 0 ditolak dan disimpulkan bahwa paling sedikit ada satu atribut sensori yang menunjukkan nilai-nilai yang lebih besar pada taraf signifikansi 0,05. Urutan atribut yang terpenting dapat dianalisis dengan membandingkan nilai mean rank di antara masing-masing atribut. Nilainilai mean rank atribut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai-nilai mean rank kepentingan atribut sensori mi bagi responden pedagang mi bakso Atribut Sensori Mi Mean Rank Rasa 18,50 Aroma 39,50 Tekstur 47,50 Warna 56,50 Tabel 9 menunjukkan nilai mean rank di antara masing-masing atribut sensori mi berbeda jauh satu sama lain, sehingga tingkat kepentingan atribut sensori mi dapat diperingkatkan. Peringkat atribut sensori mi dari yang terpenting bagi responden adalah rasa dengan nilai mean rank 18,50. Aroma menempati peringkat terpenting kedua dengan nilai mean rank 39,50. Tekstur menempati peringkat terpenting ketiga dengan nilai mean rank 47,50. Sementara peringkat terpenting keempat adalah atribut warna dengan nilai mean rank 56,50. Atribut yang terpenting dapat diasumsikan sebagai atribut yang paling mempengaruhi responden dalam menilai kualitas sensori overall mi, sehingga dapat juga diambil kesimpulan bahwa peningkatan kualitas atribut rasa dan aroma akan berdampak nyata pada meningkatnya kualitas overall mi. Atribut yang menempati peringkat kepentingan ketiga dan keempat bukan berarti tidak penting dalam menentukan kualitas mi, melainkan kurang penting jika dibandingkan dengan atribut yang menempati peringkat pertama dan kedua. 32

3. Penilaian Responden Pedagang Mi Bakso terhadap Mutu Sensori Mi Basah Jagung Teknologi Ekstrusi Salah satu hal utama yang perlu dianalisis dalam menentukan preferensi pedagang mi bakso adalah penilaian responden terhadap mutu sensori mi basah jagung teknologi ekstrusi. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis faktor pemilihan mi oleh responden pedagang mi bakso yang menunjukkan bahwa penilaian terhadap kualitas sensori mi dan faktor selera konsumen merupakan faktor yang paling penting dan menentukan bagi pedagang mi bakso untuk memilih mi yang digunakan. Responden diberikan kesempatan untuk menilai masing-masing atribut mutu sensori dan kualitas overall mi basah jagung dengan menggunakan skala likert 1-5, dengan 1 berarti tidak suka, 2 berarti kurang suka, 3 berarti biasa saja, 4 berarti agak suka, dan 5 berarti suka. Secara deskriptif, penilaian dari responden terhadap mutu sensori mi basah jagung dapat dilihat dalam bentuk tabulasi silang seperti terlampir pada Lampiran 7. Deskripsi penilaian responden juga ditampilkan dalam bentuk diagram batang sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. 16 jumlah responden (n=20) 14 12 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 nilai kesukaan terhadap atribut Gambar 9. Penilaian responden pedagang mi bakso terhadap mutu sensori mi basah jagung teknologi ekstrusi 33

Gambar 9 memperlihatkan bahwa nilai empat (warna hijau) mendominasi seluruh penilaian atribut sensori mi basah jagung, kecuali pada atribut aftertaste. Hal ini berarti secara deskriptif terlihat kecenderungan responden menilai agak suka terhadap seluruh atribut sensori mi basah jagung, kecuali aftertaste. Mayoritas responden memberikan nilai tiga (warna hijau toska) untuk kesukaan terhadap atribut aftertaste, yang berarti biasa saja. Analisis lebih lanjut dari penilaian mutu sensori mi basah jagung oleh responden memerlukan suatu batas nilai minimal yang bisa menjadi acuan untuk menentukan diterima atau tidaknya atribut yang diujikan. Dalam hal ini, batas nilai minimal untuk dinyatakan bahwa atribut tersebut diterima adalah 3 yang berarti biasa saja. Hal ini disesuaikan dengan asumsi bahwa produk mi basah jagung diperuntukkan sebagai produk alternatif dari mi terigu yang sudah beredar di pasaran. Jika responden menilai produk alternatif ini sebagai biasa saja, maka diasumsikan pada taraf harga dan kondisi lain yang ceteris paribus, kualitas sensori mi basah jagung sudah cukup mampu menggantikan produk mi terigu. Berdasarkan batas nilai minimal tersebut, analisis penilaian responden terhadap mutu sensori mi basah jagung kemudian dilakukan dengan menggunakan Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon yang hasilnya secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan hasil pengolahan statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 10. Hasil Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon untuk analisis penilaian responden pedagang mi bakso terhadap mutu sensori mi basah jagung Atribut Mutu Sensori Nilai p Nilai Estimated Median Rasa 0,00 4,00 Aroma 0,01 3,50 Tekstur 0,10 3,50 Warna 0,55 3,00 Aftertaste 0,27 3,00 Overall 0,01 4,00 34

Hasil Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon menunjukkan bahwa tiga atribut mutu sensori, yaitu tekstur, warna, dan aftertaste, memiliki nilai p berturut-turut sebesar 0,10; 0,55; dan 0,27 atau lebih besar dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05. Kesimpulan bagi ketiga atribut tersebut yaitu H 0 diterima dan dinyatakan bahwa median nilai ketiga atribut mutu sensori sama dengan nilai batas minimal 3. Hal ini berarti atribut mutu tekstur, warna dan aftertaste mi basah jagung masih dapat diterima oleh responden pedagang mi bakso, tapi dengan tingkat kesukaan yang berada pada batas minimal. Mi basah jagung teknologi ekstrusi memiliki nilai kekerasan dan kekenyalan yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan mi terigu yang biasa digunakan. Hal tersebut memberikan karakteristik yang khas di dalam produk mi bakso, seperti terhindarnya mi dari tekstur yang membengkak, terlalu lembek, atau patah-patah. Karakteristik tersebut dapat menjadi nilai lebih atau justru nilai kurang bagi masing-masing responden. Hal ini disebabkan setiap responden memiliki selera dan kesukaan terhadap tekstur yang berbeda-beda. Namun, hasil penilaian terhadap tekstur mi basah jagung menunjukkan bahwa responden masih menilai wajar dan dapat menerima tekstur mi basah jagung. Secara visual, intensitas warna kuning mi jagung lebih tinggi dibandingkan dengan mi terigu yang biasa digunakan. Selain itu, warna kuning ini juga tidak luntur pada saat penyajian bersama kuah bakso. Di sisi lain, karakteristik warna ini dapat memberikan dampak negatif terhadap preferensi responden jika warna kuning tersebut diduga berasal dari pewarna sintetis atau pewarna yang dilarang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, hasil Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon menunjukkan bahwa atribut warna mi basah jagung teknologi ekstrusi masih dapat diterima dan dinilai wajar oleh responden. Jika informasi bahwa warna mi basah jagung adalah warna alami dan baik dari segi kesehatan diberikan kepada responden, maka penilaiannya terhadap atribut warna mi basah jagung dapat meningkat. 35

Di sisi lain, hasil analisis terhadap penilaian atribut aftertaste menunjukkan bahwa setelah menelan produk mi jagung, responden tidak merasakan adanya aftertaste yang mengganggu, seperti sensasi berpasir (sandy) dan sisa mi yang melekat pada rongga mulut. Penjelasan ini lebih mungkin diambil karena sebagian besar responden merupakan orang yang awam terhadap uji organoleptik. Sebagian besar responden yang dimaksud sulit memahami dan mendeskripsikan aftertaste sebagai atribut yang disukai. Sebaliknya, responden lebih mudah memahami dan mendeskripsikan aftertaste sebagai sensasi yang mengganggu pada rongga mulut setelah makanan ditelan. Atribut rasa, aroma, dan kualitas overall masing-masing memiliki nilai p berturut-turut 0,00; 0,01; dan 0,01 atau lebih kecil dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05. Kesimpulan yang dapat diambil bagi atribut rasa, aroma, dan kualitas overall adalah H 0 ditolak dan dinyatakan bahwa median nilai atribut mutu sensori tidak sama dengan nilai batas minimal 3. Pengertian tidak sama dengan nilai batas minimal 3 pada kesimpulan ini dapat mengandung dua arti yang saling berkebalikan. Pertama, atribut mutu tidak diterima oleh responden. Kedua, atribut mutu memiliki nilai kesukaan yang melebihi batas minimal, atau dengan kata lain tidak lagi dinilai sekedar biasa saja melainkan agak disukai. Pengertian yang lebih tepat dari kesimpulan tersebut dapat ditentukan melalui nilai estimated median dari masing-masing atribut. Jika nilai estimated median atribut lebih dari 3 berarti atribut itu memiliki nilai kesukaan yang melebihi batas minimal atau cenderung agak disukai. Sebaliknya jika nilai estimated median atribut kurang dari 3 berarti atribut itu tidak diterima oleh responden. Hasilnya menunjukkan atribut rasa, aroma, dan kualitas overall memiliki nilai estimated median yang lebih dari 3. Maka kesimpulannya adalah atribut rasa, aroma, dan kualitas overall mi basah jagung memiliki nilai kesukaan yang melebihi batas minimal atau cenderung agak disukai oleh responden. Diterimanya atribut rasa dapat disebabkan oleh sensasi gurih dan asin dari garam yang dicampurkan dalam adonan mi basah 36

jagung, serta adanya rasa khas jagung yang berbeda dari mi terigu. Aroma mi basah jagung cenderung agak disukai karena tidak memiliki aroma berkapur/ basa seperti terdapat pada mi terigu yang biasa digunakan. Aroma berkapur pada mi terigu di pasaran disebabkan penggunaan senyawa soda abu atau senyawa kimia lainnya yang dimaksudkan untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi, meningkatkan kehalusan tekstur, serta meningkatkan sifat kenyal (Astawan, 1999). Data nilai kesukaan responden terhadap atribut sensori mi basah jagung juga dapat digunakan untuk mengetahui atribut mutu sensori yang menjadi penyebab lebih atau kurang disukainya kualitas overall mi basah jagung. Hal ini perlu diketahui agar dapat menjadi pertimbangan untuk pengembangan kualitas produk mi basah jagung selanjutnya. Analisis tersebut menggunakan Uji Kruskal-Wallis dengan hasil pengolahan statistik yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai p sebesar 0,03 atau lebih kecil dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 ditolak dan dinyatakan bahwa paling sedikit ada satu atribut sensori mi basah jagung yang menunjukkan nilai-nilai yang lebih besar. Atribut sensori mi basah jagung yang menunjukkan nilai-nilai yang lebih besar dapat ditentukan dengan melihat nilai mean rank seperti ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai-nilai mean rank kesukaan responden pedagang mi bakso terhadap atribut sensori mi basah jagung Atribut Sensori Mi Jagung Mean Rank Rasa 65,52 Aroma 52,78 Tekstur 51,00 Warna 42,18 Aftertaste 41,02 Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa hanya atribut rasa yang memiliki nilai-nilai mean rank yang lebih besar dari atribut yang lain, 37

sedangkan atribut aroma cenderung memiliki nilai yang serupa dengan atribut tekstur seperti halnya atribut warna cenderung memiliki nilai yang serupa dengan atribut aftertaste. Kesimpulannya adalah atribut rasa merupakan atribut yang memiliki nilai kesukaan paling tinggi dibandingkan dengan nilai-nilai kesukaan dari semua atribut lainnya. Hal ini juga berarti atribut rasa merupakan atribut yang paling menyebabkan lebih disukainya kualitas overall mi basah jagung. Kesimpulan ini sesuai dengan hasil analisis tingkat kepentingan atribut mutu sensori mi basah jagung yang menunjukkan bahwa atribut rasa merupakan atribut terpenting pertama. Hasil tersebut menyebabkan nilai estimated median dan nilai p antara atribut rasa dan kualitas overall pada hasil Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon tidak berbeda jauh. Sebaliknya, atribut warna dan aftertaste merupakan atribut yang memiliki nilai kesukaan paling rendah dibandingkan dengan nilai-nilai kesukaan dari semua atribut lainnya. Namun, karena pemaknaan dari nilai 3 atau biasa saja bagi atribut aftertaste lebih kepada tidak terdeteksinya sensasi yang mengganggu setelah mi jagung ditelan oleh responden, maka sesungguhnya hanya atribut warnalah yang dapat disimpulkan sebagai penyebab kurang disukainya kualitas overall mi basah jagung. Hal ini dapat disebabkan karena responden merasa khawatir dengan penggunaan pewarna sintetik di dalam mi basah jagung yang disebabkan tingkat pengetahuan yang rendah terhadap produk tersebut. Dengan demikian, atribut warna merupakan atribut yang penting untuk diperhatikan dan diperbaiki agar nilai kesukaan responden terhadap mi basah jagung dapat ditingkatkan. Salah satu hal terpenting yang berhubungan langsung dengan analisis penilaian pedagang mi bakso terhadap atribut mutu sensori produk mi basah jagung teknologi ekstrusi adalah bersedia atau tidak bersedianya responden menggunakan produk mi basah jagung, baik sebagai produk komplementer maupun sebagai produk subtitusi dari produk mi terigu yang sudah biasa digunakan. Hasil rekapitulasi jawaban responden (tabel 38

frekuensi) mengenai kesediaan untuk menggunakan produk mi basah jagung teknologi ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Kesediaan responden pedagang mi bakso menggunakan mi basah jagung teknologi ekstrusi Kesediaan responden Jumlah Persentase Bersedia 17 85,00 tidak bersedia 3 15,00 Total 20 100,00 Tabel 12 menunjukkan bahwa 85% responden (17 orang) bersedia menggunakan mi basah jagung sebagai produk komplementer atau subtitusi dari produk mi terigu yang sudah biasa digunakan. Sedangkan yang menyatakan tidak bersedia hanya 15% atau 3 orang. Hal ini sesuai dengan kesimpulan sebelumnya bahwa seluruh atribut mutu sensori mi basah jagung dapat diterima oleh responden pedagang mi bakso. Beberapa atribut, seperti rasa dan aroma, bahkan melebihi nilai batas minimal penerimaan produk oleh responden dan cenderung agak disukai. Meskipun demikian, setiap produk pangan pada dasarnya memiliki kekurangan dan kelebihan, apalagi bagi suatu produk pangan baru yang masih terus dikembangkan baik secara metode produksi maupun pemasarannya. Kesediaan menggunakan mi basah jagung bukan berarti produk tersebut tanpa kekurangan, dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, komentar dan saran dari responden dapat menjadi acuan dan pertimbangan dalam pengembangan produk mi basah jagung selanjutnya. Komentar dan saran ini direkapitulasi sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 10. Beberapa komentar dan saran cukup penting untuk diperhatikan. Misalnya, saran untuk segera memasarkan produk mi jagung dalam bentuk kering agar lebih awet, permintaan untuk sedikit mengurangi intensitas warna kuning dan tingkat kekenyalan serta kekerasan mi, dan penentuan harga yang disesuaikan dengan harga mi terigu yang sudah biasa digunakan. 39

4. Pengaruh Berbagai Faktor terhadap Penilaian Mutu Sensori Overall Mi Basah Jagung Teknologi Ekstrusi oleh Responden Pedagang Mi Bakso Usia dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penilaian mutu sensori mi basah jagung oleh responden, sehingga perlu dianalisis lebih lanjut. Analisis menggunakan Uji Kruskal-Wallis yang hasil pengolahan statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai p sebesar 0,24 atau lebih besar dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 diterima dan dinyatakan bahwa distribusi nilai kesukaan kualitas overall mi basah jagung identik untuk seluruh kategori usia responden. Dengan kata lain, perbedaan usia tidak berpengaruh nyata terhadap penilaian mi basah jagung oleh responden pedagang mi bakso pada taraf signifikansi 0,05. Dengan demikian, segmentasi pasar yang mungkin untuk produk mi jagung tersebar merata diberbagai tingkat usia pedagang bakso. Analisis mengenai pengaruh pengalaman responden berdagang mi bakso dan penilaiannya terhadap kualitas overall mi jagung juga perlu dilakukan. Hal ini disebabkan lebih lamanya seorang responden berdagang mi bakso dapat diasumsikan dengan pengalaman dan pengetahuan yang lebih mengenai segala hal yang berhubungan dengan penjualan mi bakso, termasuk kualitas overall mi yang digunakan. Pengalaman masing-masing responden berdagang dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, responden yang telah berdagang kurang dari 10 tahun. Kedua, responden yang telah berdagang selama 10-19 tahun. Ketiga, responden yang telah berdagang setidaknya selama 20 tahun. Jumlah responden dari masing-masing kategori dapat dilihat kembali pada Gambar 6. Analisis yang dilakukan menggunakan Uji Kruskal-Wallis dengan hasil Lampiran 12. pengolahan statistik sebagaimana dapat dilihat pada Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai p sebesar 0,55 atau lebih besar dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 diterima dan dinyatakan bahwa distribusi nilai kesukaan 40

overall mi basah jagung identik untuk seluruh kategori lama berdagang responden. Kesimpulan tersebut juga dapat diartikan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara pengalaman responden berdagang mi bakso dan penilaiannya terhadap kualitas overall mi basah jagung pada taraf signifikansi 0,05. Hal ini dapat disebabkan oleh status mi jagung sebagai produk baru yang memang belum ada di pasaran. Hasil ini sesuai dengan fakta bahwa 85% responden belum pernah mendengar ataupun mendapatkan informasi tentang mi basah jagung sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Sedikitnya informasi mengenai mi basah jagung yang diterima responden menyebabkan faktor pengalaman dan lamanya berdagang mi bakso tidak memiliki pengaruh nyata terhadap penilaian kualitas overall mi basah jagung. Masing-masing responden pedagang mi bakso memiliki subjektifitas terkait kecukupan waktu perebusan mi basah jagung saat akan disajikan bersama bakso kepada konsumen. Subjektifitas tersebut menyebabkan deskripsi perlakuan pengolahan mi basah jagung oleh masing-masing responden pedagang mi bakso menjadi diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar pengaruh antara perbedaan perlakuan pengolahan mi basah jagung saat disajikan dan penilaian sensori mi basah jagung dapat dianalisis. Secara deskriptif, perbedaan perlakuan pengolahan mi jagung oleh responden pedagang mi bakso ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi yang dapat dilihat pada Tabel 13. Hasilnya menunjukkan bahwa 40% responden atau sebanyak 8 pedagang mi bakso mengolah mi basah jagung dengan cara perebusan di dalam kuah bakso selama lebih dari dua menit. Jumlah pedagang mi bakso yang mengolah mi basah jagung dengan pencelupan beberapa kali dalam kuah rebusan bakso sebanyak 7 orang atau 35% dari total responden, sementara yang mengolah dengan perebusan selama kurang dari dua menit sebanyak 5 orang atau 25% dari total responden. 41

Perbedaan pengolahan mi basah jagung berasal dari subjektifitas masing-masing responden pedagang bakso. Subjektifitas ini didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda selama berdagang bakso. Beberapa hal yang mungkin menjadi pertimbangan dari masingmasing responden untuk menentukan lamanya waktu perebusan adalah penampakan fisik mi jagung dan tingkat kepraktisan relatif dari masingmasing pedagang mi bakso. Tabel 13. Perlakuan pengolahan mi basah jagung saat disajikan oleh responden pedagang mi bakso Perlakuan Jumlah Persentase Dicelup beberapa kali dalam air rebusan bakso 7 35,00 Direbus <2 menit 5 25,00 Direbus >2menit 8 40,00 Total 20 100,00 Pada proses pemanasan produk pangan, jumlah satuan waktu yang digunakan untuk proses pemasakan akan berpengaruh terhadap karakteristik mutu sensori produk pangan tersebut. Hal itu berlaku juga bagi mi basah jagung teknologi ekstrusi, sehingga pengaruh antara perlakuan pengolahan mi saat disajikan dan penilaian responden terhadap mutu sensori overall mi basah jagung perlu dianalisis. Selain untuk mengetahui nyata atau tidaknya pengaruh tersebut, hasil analisis ini juga bisa menjadi pertimbangan cara pengolahan mi basah jagung yang paling disukai oleh responden. Perlakuan pengolahan mi saat disajikan dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, pengolahan dengan pencelupan beberapa kali dalam kuah rebusan bakso. Kedua, pengolahan dengan perebusan dalam kuah bakso selama kurang dari 2 menit. Ketiga, pengolahan dengan perebusan dalam kuah bakso selama lebih dari 2 menit. Jumlah responden dari masing-masing perlakuan dapat dilihat kembali pada Tabel 13. Analisis dilakukan dengan menggunakan Uji Kruskal-Wallis dengan hasil pengolahan statistik terlampir pada Lampiran 13. 42

Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai p sebesar 0,63 atau lebih besar dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 diterima dan dinyatakan bahwa distribusi nilai kesukaan kualitas overall mi basah jagung identik untuk seluruh perlakuan pengolahan mi saat disajkan. Kesimpulan ini juga dapat berarti bahwa perbedaan perlakuan pengolahan mi basah jagung saat disajikan tidak berpengaruh nyata terhadap penilaian kualitas overall mi basah jagung oleh responden pedagang mi bakso pada taraf signifikansi 0,05. Hal ini dapat disebabkan oleh bias yang terjadi akibat subjektifitas masing-masing pedagang mi bakso ketika menentukan waktu yang tepat untuk mengolah mi saat disajikan. Asumsi yang berlaku dalam hal ini adalah masing-masing responden akan memberikan penilaian tertinggi bagi kualitas overall mi basah jagung pada perlakuan pengolahan mi yang mereka anggap tepat. B PREFERENSI PADA KONSUMEN MI BAKSO 1. Karakteristik Responden Konsumen Mi Bakso Hasil pengumpulan data menunjukkan beberapa karakteristik dari 100 responden konsumen mi bakso yang diwawancarai, di antaranya adalah jenis kelamin, usia, pekerjaan, rata-rata pengeluaran responden setiap bulan, frekuensi responden mengkonsumsi mi bakso, dan pengetahuan responden terhadap mi jagung. Masing-masing karakteristik tersebut kemudian dideskripsikan dalam bentuk diagram pie atau tabel frekuensi. Diagram pie jenis kelamin responden tertera pada Gambar 10. N=100 Gambar 10. Sebaran frekuensi jenis kelamin responden konsumen mi bakso 43

Diagram pie jenis kelamin responden menunjukkan bahwa 68% responden merupakan wanita, sementara 32% lainnya merupakan pria. Sementara itu, usia responden dibagi ke dalam 6 kategori seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pembahasan karakteristik responden pedagang mi bakso, yaitu berusia antara 0-15 tahun, antara 16-25 tahun, antara 26-35 tahun, antara 36-45 tahun, antara 46-55 tahun, dan lebih dari 55 tahun. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa rentang usia dengan jumlah responden terbanyak berturut-turut adalah 16-25 tahun (42%), 26-35 tahun (22%), 36-45 tahun (19%), 0-15 tahun (7%), 46-55 tahun (6%), dan >55 tahun (4%). Diagram pie dari usia responden konsumen mi bakso dapat dilihat pada Gambar 11. N=100 Gambar 11. Frekuensi usia responden konsumen mi bakso Rata-rata pengeluaran responden setiap bulan dibagi menjadi lima kategori, yaitu kurang dari Rp.500.000,-, antara Rp.500.000,- dan Rp.999.999,-, antara Rp.1.000.000,- dan Rp.1.999.999,-, antara Rp.2.000.000,- dan Rp.3.999.999,-, serta lebih dari Rp.3.999.999,-. Hasilnya memperlihatkan mayoritas responden, yaitu sebanyak 37%, memiliki tingkat rata-rata pengeluaran setiap bulan kurang dari Rp.500.000,-. Selanjutnya berturut-turut adalah antara Rp.500.000,- dan Rp.999.999,- (32%), antara Rp.1.000.000,- dan Rp.1.900.000,- (22%), antara Rp.2.000.000,- dan 3.999.999,- (8%), serta lebih dari 44

Rp.4.000.000,- (1%). Diagram pie rata-rata pengeluaran responden setiap bulan dapat dilihat pada Gambar 12. N=100 Gambar 12. Rata-rata pengeluaran responden konsumen mi bakso setiap bulan Pekerjaan responden dikategorikan menjadi 7 kategori, yaitu pegawai negeri sipil, pegawai swasta, wiraswasta, ibu rumah tangga, pelajar/ mahasiswa, tidak bekerja, dan lain-lain. Hasil pendataan memperlihatkan bahwa jumlah yang paling banyak adalah responden yang masih menjadi mahasiswa atau pelajar, yaitu sebesar 34%. Setelah itu berturut-turut adalah ibu rumah tangga (29%), wiraswasta (17%), tidak bekerja (8%), pegawai swasta (6%), lain-lain (4%), dan pegawai negeri sipil (2%). Sebaran jenis pekerjaan responden tentunya dipengaruhi oleh metode dan waktu pengambilan data yang berkisar antara pukul 13.00 WIB s.d pukul 18.00 WIB, sehingga jenis pekerjaan yang memiliki waktu kerja terikat seperti pegawai negeri sipil dan pegawai swasta cenderung memiliki persentase yang kecil. Diagram pie pekerjaan responden konsumen mi bakso dapat dilihat pada Gambar 13. 45

N=100 Gambar 13. Pekerjaan responden konsumen mi bakso Frekuensi responden mengkonsumsi mi bakso perlu dijabarkan secara deskriptif. Hal ini disebabkan tingkat frekuensi responden mengkonsumsi mi bakso dapat memberikan gambaran tentang pengalaman terhadap penilaian mi bakso. Frekuensi mengkonsumsi juga berhubungan dengan tingkat pengetahuan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi yang dapat berpengaruh pada penilaian mutu sensorinya. Frekuensi konsumen mengkonsumsi mi bakso dalam sepekan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu 1-2 kali, 3-5 kali, dan lebih dari 5 kali. Jumlah terbanyak dari ketiga kategori tersebut berturut-turut yaitu 3-5 kali (42%), 1-2 kali (38%), dan lebih dari 5 kali (20%). Hasil ini menunjukkan sebagian besar responden termasuk cukup sering mengkonsumsi mi bakso, sesuai dengan kajian preferensi konsumen terhadap produk-produk pangan non-beras (Juniawati, 2003) yang menyatakan bahwa mi merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan. Diagram pie frekuensi konsumen mengkonsumsi mi bakso dalam sepekan dapat dilihat pada Gambar 14. 46

N=100 Gambar 14. Frekuensi responden mengkonsumsi mi bakso dalam sepekan Pengetahuan responden menjadi sesuatu yang perlu diketahui untuk menjadi pertimbangan dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan dari preferensi konsumen terhadap mi basah jagung, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian hasil dan pembahasan preferensi pada responden pedagang mi bakso. Pengetahuan responden konsumen mi bakso terhadap mi jagung dideskripsikan dengan tabel frekuensi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Pengetahuan responden konsumen mi bakso terhadap mi jagung Pengetahuan Responden Jumlah Persentase Pernah Mendengar 28 28,00 Belum Pernah Mendengar 72 72,00 Total 100 100,00 Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum pernah mendengar dan mendapat informasi apapun mengenai mi jagung. Selain itu, dari data wawancara diketahui bahwa seluruh responden yang menyatakan pernah mendengar informasi mengenai mi jagung adalah pelajar atau mahasiswa, kecuali 1 orang yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dapat dipertimbangkan untuk pengembangan produk mi jagung selanjutnya, karena tingkat pengetahuan tentang kelebihan produk mi jagung dapat meningkatkan nilai penerimaan konsumen terhadapnya. Sebagai contoh, kelebihan yang dimaksud antara lain tidak memerlukan 47

penggunaan pewarna sintetis, mengandung beta-karoten, dan merupakan produk dalam negeri. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Responden Konsumen Mi Bakso dalam Memilih Mi Beberapa faktor yang mempengaruhi responden konsumen mi bakso dalam memilih mi antara lain kualitas sensori, harga, kemudahan memperoleh produk, dan karakter mengenyangkan. Prioritas responden konsumen terhadap keempat faktor ini dijabarkan pada tabulasi silang sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 14, serta dalam bentuk diagram batang seperti pada Gambar 15. 80 jumlah responden (n=100) 70 60 50 40 30 20 10 1 2 3 4 0 kualitas sensori harga kemudahan memperoleh produk peringkat faktor mengenyangkan Gambar 15. Penilaian peringkat kepentingan faktor-faktor pemilihan mi oleh responden konsumen mi bakso Gambar 15 memperlihatkan bahwa kualitas sensori merupakan faktor yang terbanyak dinilai oleh responden sebagai faktor terpenting pertama (warna biru muda). Faktor terpenting kedua (warna biru) paling banyak diberikan kepada faktor harga. Faktor terpenting ketiga (warna hijau toska) paling banyak diberikan kepada faktor kemudahan memperoleh produk. Terakhir, faktor terpenting keempat (warna hijau) paling banyak diberikan kepada faktor mengenyangkan. 48

Uji Kruskal-Wallis dilakukan untuk menarik kesimpulan statistik mengenai urutan di antara keempat faktor tersebut. Hasil statistik Uji Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai p sebesar 0,00 atau lebih kecil dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05. Hal ini berarti H 0 ditolak dan dinyatakan bahwa paling sedikit satu faktor menunjukkan nilai-nilai peringkat yang lebih besar. Faktor-faktor yang memiliki nilai peringkat lebih besar dapat diketahui dengan nilai mean rank seperti dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai-nilai mean rank peringkat kepentingan beberapa faktor yang mempengaruhi responden konsumen mi bakso dalam memilih mi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Responden dalam Memilih Mi Mean Rank Kualitas Sensori 84,50 Harga 164,50 Kemudahan Memperoleh Produk 250,50 Mengenyangkan 302,50 Hasil tersebut memperlihatkan bahwa keempat faktor memiliki nilai mean rank yang berbeda jauh satu sama lain, sehingga dapat dilakukan pemeringkatan. Faktor kualitas sensori merupakan faktor yang terpenting menurut responden dengan nilai mean rank 84,50. Faktor harga menempati peringkat terpenting kedua dengan nilai mean rank sebesar 164,50. Faktor kemudahan memperoleh produk menempati peringkat terpenting ketiga dengan nilai mean rank sebesar 250,50. Terakhir, faktor mengenyangkan dinilai sebagai faktor terpenting keempat dengan nilai mean rank sebesar 302,50. Hasil ini sesuai dengan pendapat responden pedagang mi bakso yang juga menempatkan faktor kualitas sensori (bersama dengan faktor selera konsumen) sebagai faktor terpenting pertama. Hal tersebut menunjukkan kualitas sensori merupakan faktor utama yang mempengaruhi preferensi konsumen, sehingga pengembangan produk 49

pangan baru termasuk mi jagung harus mementingkan faktor ini sebelum yang lainnya. Kesimpulan lain yang bisa diambil adalah mayoritas responden konsumen tidak mengkonsumsi produk mi bakso sebagai makanan utama. Hal ini terlihat dari faktor karakter mengenyangkan yang kurang dipentingkan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Juniawati (2003) yang menyatakan produk mi sering dikonsumsi sebagai sarapan atau makanan selingan, bukan makanan pokok. Seperti halnya pada responden pedagang mi bakso, atribut sensori mi yang paling dipentingkan oleh responden konsumen mi bakso perlu juga diujikan. Atribut sensori mi yang dimaksud terdiri dari 4 hal, yaitu rasa, aroma, tekstur, dan warna atau penampakan. Penjabaran nilai peringkat masing-masing atribut sensori mi dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 16. Selain itu, hubungan antara kedua variabel tersebut juga dideskripsikan dalam bentuk diagram batang seperti yang dapat dilihat pada Gambar 16. 90 jumlah responden (n=100) 80 70 60 50 40 30 20 10 1 2 3 4 0 Rasa Aroma Tekstur Warna peringkat faktor Gambar 16. Penilaian peringkat kepentingan atribut sensori mi oleh responden konsumen mi bakso 50

Gambar 16 memperlihatkan rasa merupakan atribut yang paling banyak dinilai oleh responden sebagai atribut terpenting pertama (warna biru muda). Atribut terpenting kedua (warna biru) paling banyak diberikan kepada tekstur. Atribut terpenting ketiga (hijau toska) paling banyak diberikan kepada aroma. Terakhir, warna paling banyak diberikan nilai sebagai atribut terpenting keempat (warna hijau) oleh responden konsumen mi bakso. Analisis lebih lanjut mengenai tingkat kepentingan masing-masing atribut sensori mi dilakukan dengan menggunakan Uji Kruskal-Wallis. Hasil pengolahan statistik Uji Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 17. Nilai p dari hasil Uji Kruskal-Wallis adalah sebesar 0,00 atau lebih kecil dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 ditolak dan dinyatakan bahwa paling sedikit satu atribut mi menunjukkan nilai-nilai peringkat yang lebih besar. Atribut mi yang menunjukkan nilai-nilai peringkat yang lebih besar dapat diketahui menggunakan nilai-nilai mean rank seperti pada Tabel 16. Tabel 16. Nilai-nilai mean rank kepentingan atribut sensori mi basah jagung menurut responden konsumen mi bakso Atribut Sensori Mi Jagung Mean Rank Rasa 92,50 Aroma 214,50 Tekstur 184,50 Warna 310,50 Nilai mean rank masing-masing atribut mi menunjukkan perbedaan yang cukup jauh satu sama lain, sehingga dapat diperingkatkan dari mulai yang terpenting (nilai mean rank terkecil) hingga yang paling kurang penting (nilai mean rank terbesar). Atribut rasa merupakan atribut terpenting dengan nilai mean rank 92,50. Atribut tekstur menempati peringkat kepentingan kedua dengan nilai mean rank sebesar 184,50. Atribut aroma menempati peringkat kepentingan ketiga dengan nilai mean rank 214,50. Terakhir, atribut warna menjadi atribut dengan tingkat kepentingan keempat dengan nilai mean rank sebesar 310,50. 51

Hasil ini menunjukkan adanya kesamaan pemeringkatan atribut mi antara responden pedagang dan responden konsumen mi bakso, yaitu pada peringkat kepentingan yang pertama (rasa) dan yang terakhir (warna). Kesamaan ini menguatkan kesimpulan bahwa atribut rasa merupakan sesuatu yang harus paling diperhatikan dalam pengembangan sebuah produk pangan baru seperti mi basah jagung Akan tetapi pada penilaian peringkat kepentingan kedua dan ketiga, terdapat perbedaan di antara kedua populasi responden. Responden pedagang mi bakso menempatkan aroma sebagai atribut terpenting kedua dan tekstur sebagai atribut terpenting ketiga, sementara responden konsumen sebaliknya. Hal ini dapat disebabkan perbedaan kondisi mi ketika dibeli oleh kedua populasi responden. Responden pedagang mi bakso biasa membeli mi dalam kondisi sebelum diolah yang menyebabkan aroma produk mi menjadi sesuatu yang mudah dideteksi dan mengindikasikan bagus atau tidaknya produk tersebut. Di sisi lain, responden konsumen mi bakso biasa membeli mi dalam kondisi sudah diolah dan dicampur bersama kuah bakso, sehingga pengaruh atribut aroma berkurang karena bias dengan aroma bakso dan kuahnya. Sebaliknya, pengaruh atribut tekstur menjadi semakin besar karena proses pengolahan mengakibatkan perubahan pada tekstur mi, terutama disebabkan oleh proses rehidrasi dan pematangan mi. 3. Penilaian Responden Konsumen Mi Bakso terhadap Mutu Sensori Mi Basah Jagung Teknologi Ekstrusi Responden menilai mutu sensori mi basah jagung yang terdiri dari atribut rasa, aroma, tekstur, warna, aftertaste dan kualitas overall dalam skala likert 1-5. Nilai 1 berarti tidak suka, 2 berarti kurang suka, 3 berarti biasa saja, 4 berarti agak suka, dan 5 berarti suka. Secara deskriptif, hasilnya dijabarkan dalam bentuk tabulasi silang sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 18 dan dalam bentuk diagram batang seperti yang dapat dilihat pada Gambar 17. 52

80 jumlah responden (n=100) 70 60 50 40 30 20 10 1 2 3 4 5 0 Rasa Aroma Tekstur Warna Aftertaste Overall nilai kesukaan responden terhadap atribut mutu sensori Gambar 17. Penilaian responden konsumen mi bakso terhadap mutu sensori mi basah jagung teknologi ekstrusi Diagram batang tersebut menunjukkan secara deskriptif bahwa nilai 4 yang berarti agak suka mendominasi hampir di semua variabel penilaian, kecuali pada atribut aftertaste yang didominasi oleh nilai 3 yang berarti biasa saja. Namun, kesimpulan lebih lanjut memerlukan uji statistik inferensia. Dalam hal ini uji yang dimaksud adalah Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon dan Uji Kruskal-Wallis. Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui diterima atau tidaknya atribut-atribut mutu dan kualitas overall mi basah jagung oleh responden. Sebagaimana pada analisis preferensi responden pedagang mi bakso, nilai kesukaan minimal yang menjadi asumsi diterimanya atribut oleh responden adalah 3 atau biasa saja. Hasilnya secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 17, sementara pengolahan statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 19 Hasil Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon menunjukkan nilai p semua atribut mutu sensori dan kualitas overall mi jagung lebih kecil daripada nilai yang ditetapkan yaitu 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 ditolak dan dinyatakan bahwa median nilai atribut mutu sensori tidak sama 53

dengan nilai batas minimal 3. Kemudian, dengan melihat nilai estimated median dapat disimpulkan bahwa semua atribut mutu sensori dan kualitas overall telah melebihi batas minimal penerimaan konsumen, kecuali pada atribut aftertaste yang memiliki nilai estimated median sama dengan 3. Tabel 17. Hasil Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon untuk analisis penilaian responden konsumen mi bakso terhadap mutu sensori mi basah jagung Atribut Mutu Sensori Nilai p Nilai Estimated Median Rasa 0,00 4,00 Aroma 0,00 3,50 Tekstur 0,00 3,50 Warna 0,00 3,50 Aftertaste 0,00 3,00 Overall 0,00 4,00 Dengan demikian, diperlukan Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon dengan hipotesis satu sisi untuk memastikan pemaknaan dari penolakan H 0, khusus untuk atribut aftertaste. Hasil pengolahan statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 20. Nilai p yang diperoleh untuk Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon Satu Sisi dari atribut aftertaste adalah sebesar 0,00 atau lebih kecil dari nilai yang ditetapkan sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 ditolak dan dinyatakan bahwa median nilai atribut aftertaste lebih dari nilai batas minimal 3. Kesimpulannya adalah seluruh atribut mutu sensori dan kualitas overall mi basah jagung memiliki nilai penerimaan di atas batas nilai minimal untuk diterima atau cenderung agak disukai. Hasil ini memperlihatkan bahwa responden dengan karakteristik sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya memiliki tingkat kesukaan yang lebih terhadap mi basah jagung dibandingkan dengan mi terigu yang biasa digunakan. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab antara lain rasa yang sedikit asin dan gurih, aroma yang tidak berbau kapur, tekstur yang kenyal dan tidak mudah patah, aftertaste yang tidak mengganggu setelah mi ditelan, serta intensitas warna kuning yang masih bisa diterima 54

oleh responden. Dari sisi bisnis, hasil tersebut cukup menguatkan produk mi basah jagung untuk dikembangkan lebih lanjut. Meskipun hasil analisis penilaian responden konsumen mi bakso terhadap atribut sensori mi basah jagung menunjukkan bahwa seluruh atribut sensori dan kualitas overall mi basah jagung sudah cenderung agak disukai oleh responden, namun analisis tentang atribut yang paling menyebabkan lebih disukainya mi jagung tetap diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui atribut yang paling menjadi sumber keunggulan relatif mi basah jagung terhadap produk mi terigu yang sudah ada di pasaran. Analisis dilakukan menggunakan Uji Kruskal-Wallis dengan hasil seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai p sebesar 0,00 atau lebih kecil dari nilai sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan H 0 ditolak dan dinyatakan bahwa paling sedikit satu atribut sensori mi basah jagung menunjukkan nilai-nilai yang lebih besar. Kesimpulan ini juga menunjukkan bahwa memang ada atribut sensori yang lebih berperan dalam meningkatkan penilaian kesukaan terhadap kualitas overall mi basah jagung. Atribut sensori yang lebih berperan tersebut dapat diketahui dengan membandingkan nilai mean rank di antara semua atribut sensori. Nilai-nilai mean rank semua atribut sensori dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Nilai-nilai mean rank kesukaan responden konsumen mi bakso terhadap atribut sensori mi basah jagung Atribut Sensori Mi Jagung Mean Rank Rasa 343,65 Aroma 293,34 Tekstur 301,94 Warna 281,02 Aftertaste 224,34 Tabel 18 memperlihatkan bahwa nilai mean rank dari atribut rasa jauh melebihi nilai mean rank atribut lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa atribut rasa merupakan faktor utama yang menyebabkan nilai kualitas overall mi basah jagung cenderung lebih disukai. Selain itu, hasil 55