BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

DATA UMUM 1. KONDISI GEOGRAFIS

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA

VI. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

PERATURAN BUPATI TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PAJAK DAERAH PADA BADAN PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015

V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR. Tabel. 22 Dasar Perwilayahan di Kabupaten Bogor

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

KEADAAN UMUM LOKASI. Gambar 2. Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor. tanah di wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur

KEADAAN UMUM WILAYAH

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pola Spasial Pembangunan Manusia dan Sosial. Sumberdaya Manusia

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

TABEL 1 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13).

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB III TINJAUAN LOKASI

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

3. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Asal Terjadinya Tanah. 4. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Sifat Dan Bentuk Tanah

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

SKPD : DINAS ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Daerah Rawan Longsor

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114 TAHUN 1999 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR-PUNCAK-CIANJUR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah 2013 BAB I PENDAHULUAN

Gambar. 4 Peta Lokasi Kabupaten Bogor

Transkripsi:

20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Pemicu Tanah Longsor 4.1.1 Letak, Luas dan Batas Wilayah Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota RI dan secara geografis, Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat dengan Ibukota Cibinong yang terletak antara 6.19 0 6.47 0 lintang selatan dan 106.1 0 107.103 0 bujur timur. Kabupaten Bogor memiliki luas wilayah sebesar 299.428 Ha dan merupakan wilayah administratif terluas keenam di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan, yaitu Babakan Madang, Bojong Gede, Caringin, Cariu, Ciampea, Ciawi, Cibinong, Cibungbulang, Cigombong, Cigudeg, Cijeruk, Cileungsi, Ciomas, Cisarua, Ciseeng, Citeureup, Dramaga, Gunung Putri, Gunung Sindur, Jasinga, Jongggol, Kemang, Klapanunggal, Leuwiliang, Leuwisadeng, Megamendung, Nanggung, Pamijahan, Parung, Parung Panjang, Rancabungur, Rumpin, Sukajaya, Sukamakmur, Sukaraja, Tajurhalang, Tamansari, Tanjungsari, Tenjo dan Tenjolaya. Menurut BP4K (2011) Kabupaten Bogor memiliki jumlah total desa/kelurahan paling banyak di Provinsi Jawa Barat yaitu berjumlah 428 desa / kelurahan (200 desa/kelurahan termasuk dalam klasifikasi perkotaan sedangkan 228 desa lainnya berstatus perdesaan). Pada posisi pemetaan, batas wilayah Kabupaten Bogor dapat diuraikan sebagai berikut : Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) Timur Laut : Berbatasan dengan Kabupaten Kabupaten Bekasi Barat Daya : Berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang (Provinsi Banten) Utara : Berbatasan dengan Kota Depok dan Jakarta Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Tenggara : Berbatasan dengan Kabupaten Cianjur

Gambar 2 Peta Administrasi Kabupaten Bogor. 21

22 4.1.2 Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk tipe A (Sangat Basah) untuk bagian selatan sedangkan bagian barat termasuk tipe B (Basah). Suhu udara berkisar antara 20 0 30 0 C, sementara suhu rata-rata tahunan sekitar 25 0 C. Curah hujan tahunan berkisar antara 2.500 5.000 mm/tahun, kecuali sebagian kecil di bagian Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta dengan Curah Hujan yang kurang dari 2.500 mm. Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dipengaruhi oleh faktor pegunungan yang mengelilingi Kabupaten Bogor, antara lain Gunung Gede, Pangrango, Halimun dan Salak. Angin musim yang membawa awan hujan di sekitar gunung-gunung tersebut akan menjatuhkan hujan dengan intensitas serta ketinggian curah hujan mengikuti bentang alamnya. Hal itu akan menyebabkan tingginya curah hujan di wilayah yang semakin dekat dengan gunung (BP4K 2011). Sebagai salah satu parameter untuk menentukan wilayah rawan longsor, factor-faktor curah hujan seperti besarnya curah hujan, intensitas hujan dan distribusi curah hujan akan menentukan seberapa besar peluang terjadinya longsor dan dimana longsor itu akan terjadi. Intensitas dan distribusi curah hujan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 3. Tabel 8 Intensitas dan distribusi curah hujan Curah Hujan (mm/tahun) Luas (Ha) 2000-<3000 21573 3000-<4000 110409 >= 4000 167445 Total (Ha) 299428 Sumber : Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor Berdasarkan klasifikasi curah hujan BBSDLP, Kabupaten Bogor memiliki tiga kelas curah hujan yaitu 2000-3000 mm/tahun, 3000-4000 mm/tahun dan >4000 mm/tahun. Curah hujan dengan intensitas 2000-3000 mm/tahun memiliki luasan wilayah terkecil yaitu 21573 Ha (7%). Curah hujan dengan intensitas 3000-4000 mm/tahun memiliki luasan wilayah 110409 Ha ( 37%). Curah hujan dengan intensitas >4000 mm/tahun memiliki luasan wilayah terbesar yaitu 167445 Ha (56%).

Gambar 3 Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor. 23

24 4.1.3 Jenis Batuan Secara geologi Kabupaten Bogor merupakan wilayah dengan struktur batuan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pegunungan disekitarnya. Sifat-sifat teknis batuan berbeda-berda tergantung pada asal usulnya. Secara umum sifatsifat teknis batuan dipengaruhi oleh : struktur dan tekstur, kandungan mineral, kekar/bentuk gabungan lapisan bidang dasar, kondisi cuaca dan sedimentasi/rekatan (Rahmat 2010). Berdasarkan klasifikasi BBSDLP (2009) klasifikasi formasi batuan di Kabupaten Bogor berdasarkan asal bentukannya dibagi menjadi tiga yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen dan karst serta batuan alluvial. Formasi batuan vulkanik merupakan batuan gunung api yang tidak teruraikan. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor tinggi. Batuan vulkanik terdiri atas satuan batuan gunung api muda, gunung api tua dan batuan intrusi. Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut dan pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan tersebut terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor sedang. Batuan sediamen terdiri atas satuan batuan tersier dan gamping. Batuan alluvial merupakan batuan hasil endapan proses geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor rendah. Satuan batuan alluvial yang terdapat di Kabupaten Bogor yaitu bataun endapan permukaan. Jenis dan distribusi batuan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 4. Tabel 9 Jenis dan distribusi batuan Jenis Batuan Luas (Ha) Batu gamping 7297 Batuan intrusi 8863 Batuan tersier 20462 Endapan permukaan 71858 Gunung api muda 142389 Gunung api tua 48559 Total (Ha) 299428 Sumber : Peta Jenis Batuan Kabupaten Bogor

Gambar 4 Peta Jenis Batuan Kabupaten Bogor. 25

26 Berdasarkan hasil tabulasi jenis batuan seperti tertera pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jenis batuan gunung api muda merupakan jenis yang paling dominan dengan luasan 142389 Ha (48%) sedangkan jenis batuan gamping merupakan jenis yang memiliki luasan terkecil yaitu 7297 Ha (2%). Luas jenis batuan lainnya antara lain batuan intrusi 8863 Ha (3%), batuan tersier 20462 Ha (7%), batuan endapan permukaan 71858 Ha (24%) serta batuan gunung api tua 48559 Ha (16%). 4.1.4 Jenis Tanah Jenis tanah di Kabupaten Bogor antara lain alluvial, podsolik, andosol, litosol, latosol, regosol dan grumosol serta perpaduan diantaranya jenis-jenis tanah tersebut seperti yang terdapat pada beberapa wilayah. Jenis serta distribusi jenis tanah di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 5. Klasifikasi dan deskripsi jenis tanah di Kabupaten Bogor menurut BP4K (2011) dapat diuraikan sebagai berikut : a. Tanah Alluvial Terbentuk dari hasil sedimentasi erosi tanah dengan bahan Aluvial dan Koluvial. Secara umum tergolong ke dalam sub group entisols terbentuk pada daerah dengan bentuk fisiografi dataran banjir. Sifat-sifat tanahnya kemudian banyak dipengaruhi oleh jenis bahan endapan tersebut. Tanah jenis ini memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap longsor. b. Tanah Podsolik Ketebalan Solum antara 50 180 cm, dengan batasan horison yang nyata warna merah kuning dengan strukur lempung berpasir Osol hingga liat. Jenis tanah ini bersifat gembur dan mempunyai perkembangan penampang. Cenderung tidak seberapa mantap dan teguh, peka terhadap pengikisan. Tanah jenis ini memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap longsor. c. Tanah Andosol Jenis tanah ini terdapat pada tofografi datar, bergelombang dan berbukit. Jenis tanah ini umumnya berwarna hitam, memiliki penampang yang berkembang, dengan horizon-a yang tebal, gembur dan kaya bahan

27 organik. Batuan asal adalah andesit, tufa andesit dan dasit. Sifat fisiknya baik, dengan kelulusan sedang serta peka terhadap erosi. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor. d. Tanah Latosol Ketebalan jenis tanah ini antara 130 500 mm, batas horizon jelas, warna merah, coklat sampai kuning, ph tanah 4.5 6.5 dengan tekstur tanah liat dan struktur renah, daya menahan air cukup baik dan agak tahan menahan erosi. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan rendah terhadap longsor. e. Grumosol Tanah grumusol atau margalith adalah tanah yang terbentuk dari material halus berlempung. Jenis tanah ini berwarna kelabu hitam dan bersifat subur, tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, NusaTenggara, dan Sulawesi Selatan. Tanah Grumusol pada umumnya dengan kadar liat lebih dari 30% bersifat mengembang dan mengerut, jika musim kering tanah keras dan retak-retak karena mengerut, jika musim basah tanah menjadi lengket. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor. f. Regosol Tanah Regosol, jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk abu dan pasir vulkan intermedier. Bentuk wilayahnya berombak sampai bergunung. Tanah Regosol belum jelas menempatkan perbedaan horizonhorizon. Tekstur tanah ini biasanya kasar, tanpa ada struktur tanah, konsistensi lepas sampai gembur dan keasaman tanah dengan ph sekitar 6-7. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor. g. Litosol Tanah Litosol, jenis tanah ini biasa disebut laterit. Penampang umumnya tebal, tanah atasnya mengandung beberapa persen bahan organik. Berwarna coklat, kuning, hingga kemerahan. Bersifat berbutir, teguh, mantap, mengandung kaolinit, bersifat tidak plastis, dan dapat diolah pertanian sepanjang tahun. Jenis tanah ini bersifat meniris, tahan

28 terhadap erosi. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan rendah terhadap longsor. h. Hidromorf Tanah ini terbentuk akibat dari pelapukan batuan sedimen masam yang sering tergenang air vulkanik asam dan batu pasir. Tanah yang banyak ditemui di wliayah dataran rendah dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor. Tabel 10 Jenis dan distribusi tanah Jenis Tanah Luas (Ha) Aluvial 28423 Andosol 3259 Assosiasi latosol merah latosol coklat kemerahan 74666 Assosiasi andosol regosol 2979 Assosiasi latosol coklat latosol kekuningan 9190 Assosiasi latosol coklat latosol kemerahan 22296 Assosiasi latosol coklat regosol 22968 Assosiasi podsolik kuning hidromof kelabu 1921 Gromosol 15975 Komp latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol 45661 Komp latosol merah kekuningan podsolik merah kekuningan 9867 Podsolik merah kekuningan 32289 Podsolik kekuningan 11878 Podsolik merah 9990 Regosol 8065 Total (Ha) 299428 Sumber : Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa jenis tanah yang memiliki areal penyebaran terluas adalah asosiasi latosol merah latosol dan latosol coklat kemerahan yang meliputi luasan 74666 Ha (25%), jenis ini sedangkan jenis tanah yang memiliki areal penyebaran terkecil adalah asosiasi podsolik kuning dan hidromof kelabu yang meliputi luasan 1921 Ha (1%).

Gambar 5 Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor. 29

30 4.1.5 Kemiringan Lahan Kemiringan lahan di Kabupaten Bogor bervariasi mulai dari datar sampai sangat curam. Variasi tersebut dipengaruhi oleh ketinggian tempat di Kabupaten Bogor yang juga bervariasi berkisar dari 15 mdpl pada dataran di bagian utara hingga lebih dari 2.500 mdpl pada puncak-puncak gunung di bagian selatan dengan monografi wilayah utara hingga selatan berturut-turut meliputi : Dataran rendah (15 100 mdpl), sekitar 87672 Ha (29,28% dari luas wilayah). Dataran bergelombang (100 500 mdpl), sekitar 139593 Ha (46,62% dari luas wilayah). Pegunungan (500 1.000 mdpl), sekitar 58478 Ha (19,53% dari luas wilayah). Pegunungan tinggi (> 1.000 mdpl), sekitar 25241 Ha (8,43% dari luas wilayah). Secara umum wilayah Kabupaten Bogor mempunyai kemiringan relatif ke arah utara. Sungai-sungai mengalir dari daerah pegunungan di bagian selatan ke arah utara yang meliputi 6 Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Cidurian, Cimanceuri, Cisadane, Ciliwung, Bekasi dan Citarum. Dengan demikian wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah hulu bagi wilayah-wilayah di sebelah utara (BP4K 2011). Berdasarkan hasil DEM (Digital Elevation Model) Kabupaten Bogor, didapatkan klasifikasi kemiringan lahan datar (kemiringan 0-8%), landai (kemiringan (8-15%), terjal (kemiringan 15-25%), curam (kemiringan 25-45%) dan sangat curam (kemiringan >45%). Luas dan distribusi masing-masing kelas kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 6. Tabel 11 Luas dan distribusi kelas kemiringan lahan Kemiringan Lahan (%) Luas (Ha) 0-8 165372 8-15 45058 15-25 43166 25-45 42269 >45 3564 Total (Ha) 299428 Sumber : Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor

Gambar 6 Peta Kemiringan Lahan Kabupaten Bogor. 31

32 Wilayah dengan kemiringan lahan 0-8% (datar) memiliki areal penyebaran terluas dengan 165372 Ha (55%). Wilayah dengan kemiringan lahan 8-15% (landai) memiliki luas areal penyebaran sebesar 45058 Ha (15%). Wilayah dengan kemiringan lahan 15-25% (terjal) memiliki luas areal penyebaran sebesar 43166 Ha (14%). Wilayah dengan kemiringan lahan 25-45% (curam) memiliki luas areal penyebaran sebesar 42269 Ha (14%). Wilayah dengan kemiringan lahan >45% (sangat curam) merupakan wilayah yang memiliki areal penyebaran paling kecil yaitu sebesar 3564 Ha (1%), wilayah ini umumnya berada di tepi pegunungan ataupun daerah aliran sungai yaitu di sekitar tebing sungai. Wilayah dengan lereng >45% (sangat curam) merupakan wilayah yang sangat berpotensi untuk terjadinya tanah longsor. Dalam bencana tanah longsor, faktor kemiringan lahan sangat berpengaruh, semakin tinggi dan semakin tegak lereng maka kemungkinan terjadinya longsoran semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan lereng, semakin curam lereng maka lereng akan mengalami tekanan beban yang lebih besar sehingga makin tidak stabil untuk menahan beban di atasnya dari pengaruh gravitasi bumi. 4.1.6 Penutupan Lahan Penutupan lahan di Kabupaten Bogor terbagi kedalam sembilan tipe yaitu : hutan, kebun, ladang/tegalan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tambak/empang dan tubuh air (Bappeda 2010). Tipe dan distribusi penutupan lahan di Kabupaten bogor dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 7. Tabel 12 Tipe dan distribusi penutupan lahan Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) Hutan 43726 Kebun 64366 Ladang/Tegalan 33797 Permukiman 40773 Rawa 91 Sawah 61651 Semak/Belukar 52512 Tambak/Empang 21 Tubuh Air 2489 Total (Ha) 299428 Sumber : Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor

Gambar 7 Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor. 33

34 Tipe penutupan lahan berupa hutan memiliki luasan 43726 Ha atau 14,6% dari luas Kabupaten Bogor. Kawasan hutan lebih terkonsentrasi di bagian selatan Kabupaten Bogor dan menempati daerah-daerah dengan kemiringan lereng datar hingga sangat curam. Kawasan hutan ini sangat vital dalam menjaga lingkungan disekitarnya dari bahaya tanah longsor. Tipe penutupan lahan berupa permukiman memiliki luasan 40773 Ha (13,62%). Kawasan permukiman lebih terkonsentrasi di bagian utara dan tengah Kabupaten Bogor. Namun kawasan ini dapat ditemukan hampir diseluruh wilayah baik pada kemiringan lereng mendatar sampai sangat curam. Hal ini dikerenakan pesatnya perkembangan penduduk dan tekanan pembangunan yang demikian tinggi di Kabupaten Bogor yang membawa konsekuensi terhadap pemenuhan sarana prasarana dasar, infrastruktur dan jenis kegiatan baru lainnya. Sehingga akan banyak membutuhkan kawasan-kawasan hunian baru yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus berkembang dan menyebar hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak selayaknya dihuni. Banyaknya ruko ataupun permukiman penduduk yang didirikan di sepanjang sempadan sungai serta villavilla yang dibangun di kawasan puncak pada lereng-lereng curam yang seharusnya menjadi kawasan lindung merupakan salah satu contoh nyata. Tipe penutupan lahan lainnya yaitu berupa kebun 64366 Ha (21,5%), ladang/tegalan 33797 Ha (11,29%), tipe penutupan lahan berupa rawa 91 Ha (0,03%), tipe penutupan lahan berupa sawah 61651 Ha (20,59%), tipe penutupan lahan berupa semak/belukar 52512 Ha (17,54%), tambak/empang 21 Ha (0,01%) dan tipe penutupan lahan berupa tubuh air 2489 Ha (0,83%). Tipe penutupan lahan berupa kebun dan sawah merupakan tipe penutupan paling luas yaitu 64366 Ha (21,5%) dan 61651 Ha (20,59%), sedangkan tambak/empang merupakan tipe penutupan lahan paling kecil yaitu 21 Ha (0,01%). Penutupan lahan di suatu wilayah erat hubungannya dengan kondisi ekonomi dan tipe masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berdasarkan uarain tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar mata pencaharian masyarakat Kabupaten Bogor berasal dari hasil mengelola kebun dan sawah mereka. Menurut Rahmat (2010) kondisi penutupan lahan sebagai faktor penyebab tanah longsor berkaitan dengan kestabilan lahan, kontrol terhadap kejenuhan air

35 serta kekuatan ikatan partikel tanah. Tipe penutupan lahan memiliki kontribusi yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan kondisi penutupan lahan tersebut seperti bentuknya berupa bangunan atau tanaman, jenis tanaman, sifat tanaman, luasan penutupan lahan serta lokasi dimana penutupan lahan itu berada adalah halhal yang berpengaruh dalam penentuan kerawanan wilayah. Lahan yang ditutupi hutan dan perkebunan relatif lebih bisa menjaga stabilitas lahan karena sistem perakaran yang dalam sehingga bisa menjaga kekompakkan antar partikel tanah serta partikel tanah dengan batuan dasar dan bisa mengatur limpasan dan resapan air ketika hujan. Sedangkan tegalan dan sawah memiliki vegetasi yang tidak bisa menjaga stabilitas permukaan karena bersifat tergenang, serta memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga kurang menjaga kekompakkan partikel tanah. Pada lahan dengan tipe penutupan lahan demikianlah tanah longsor seringkali terjadi. 4.1.7 Kerentanan Gerakan Tanah Kerentanan gerakan tanah merupakan salah satu faktor yang ikut andil dalam proses terjadinya tanah longsor. Hal ini berhubungan dengan letak suatu wilayah yang berada pada zona geologi aktif, dimana suatu wilayah yang berada pada zona geologi aktif memiliki frekuensi gerakan tanah yang tinggi. Gerakan tanah dapat memicu terjadinya longsor terutama pada daerah yang berada di lereng-lereng curam. Semakin tinggi frekuensi gerakan tanah, maka semakin tinggi pula potensi terjadinya tanah longsor. Luas dan distribusi zona kerentanan gerakan tanah dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 8. Tabel 13 Luas dan distribusi zona kerentanan gerakan tanah Zona Kerentanan Gerakan Tanah Luas (Ha) Sungai 1187 Zona kerentanan gerakan tanah menengah 118650 Zona kerentanan gerakan tanah rendah 86085 Zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah 59209 Zona kerentanan gerakan tanah tinggi 8972 Diluar zona 25325 Total (Ha) 299428 Sumber : Peta Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Bogor

Gambar 8 Peta Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Bogor. 36

37 Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa wilayah dengan kategori zona kerentanan gerakan tanah tinggi memiliki luas 8972 Ha atau 3% dari total luas Kabupaten Bogor, zona kerentanan gerakan tanah menengah yang merupakan kategori dengan wilayah terluas yaitu 118650 Ha (39,63%), zona kerentanan gerakan tanah rendah 86085 Ha (28,75%), zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah 59209 Ha (19,77%), sungai 1187 Ha (0,4 %) dan diluar zona 25325 Ha (8,46%). Zona kerentanan gerakan tanah tinggi merupakan wilayah yang paling berpotensi terjadinya tanah longsor mengingat tingginya frekuensi gerakan tanah di wilayah tersebut. Sedangkan wilayah yang berada diluar zona menandakan wilayah tersebut tidak berada pada zona geologi aktif sehingga frekuensi gerakan tanah sangat jarang terjadi. 4.2 Analisis Kerawanan Tanah Longsor 4.2.1 Model Pendugaan Bencana Tanah Longsor Pendugaan kawasan bencana tanah longsor dilakukan dengan menggunakan model pendugaan yang bersumber pada penelitian BBSDLP (2009). Berdasarkan model tersebut parameter yang digunakan untuk menduga kawasan rawan longsor meliputi parameter curah hujan, jenis batuan, jenis tanah, kemiringan lahan, penutupan lahan dan kerentanan gerakan tanah. Semua parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai kontribusinya masing-masing dan kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Parameter curah hujan mendapat bobot 20%, jenis batuan 25%, jenis tanah 10%, kemiringan lahan 20%, penutupan lahan 10% dan kerentanan gerakan tanah 15% dengan formula sebagai berikut : SKOR TOTAL = 0,2FCH+0,25FJB+0,2FKL+0,1FPL+0,1FJT+0,15FKT Keterangan : FCH = Faktor Curah Hujan FJB = Faktor Jenis Batuan FKL = Faktor Kemiringan Lereng FPL = Faktor Penutupan Lahan FJT = Faktor Jenis Tanah FKT = Faktor Kerentanan Gerakan Tanah 0,25;0,2;0,1 = Bobot Nilai

38 Berdasarkan hasil analisis 6 parameter kerawanan tanah longsor dengan menggunakan model pendugaan BBSDLP (2009) diperoleh 3 kriteria kerawanan tanah longsor yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat kerawanan tanah longsor yang tersebar di Kabupaten Bogor terbentuk setelah penggabungan (overlay) semua parameter. Interval kelas kerawanan longsor dibuat berdasarkan nilai rata-rata (Mean) dan standar deviasi (SD) jumlah skor akhirdengan penentuan selang skor : Kerawanan sedang Kerawanan rendah Kerawanan tinggi : Nilai rata-rata (Mean) ± standar deviasi (SD) : Nilai minimum - <= Skor Kerawanan sedang : >= Skor Kerawanan sedang Nilai maksimum Berdasarkan hasil analisis skor total hasil tumpang susun (overlay) parameter yang ada di lokasi penelitian diperoleh klasifikasi kelas kerawanan dengan interval skor masing-masing tingkat kerawanan dimana semakin tinggi total skor maka semakin tingggi tingkat kerawanan tanah longsor di wilayah tersebut seperti tercantum pada Tabel 14. Tabel 14 Interval skor kelas kerawanan tanah longsor Kelas Kerawanan Interval Skor Rendah 105-299 Sedang 300-424 Tinggi 425-500 Sumber : Peta Kerawanan Tanah Longsor Kabupaten Bogor 4.2.2 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor Hasil analisis kerawanan tanah longsor dibagi kedalam tiga kelas kerawanan longsor yaitu wilayah dengan tingkat kerawanan rendah, sedang dan tinggi dengan Gambaran distribusi spasial dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta tingkat kerawanan tanah longsor dengan wilayah administrasi kecamatan Kabupaten Bogor dapat dilihat bahwa setiap kecamatan memiliki tingkat kerawanan serta luasan yang berbeda-beda seperti terlihat pada Tabel 15.

39 Tabel 15 Luas dan distribusi tingkat kerawanan tanah longsor Kecamatan Luas Daerah Rawan Rendah (Ha) Sedang (Ha) Tinggi (Ha) Luas Kecamatan (Ha) Babakan Madang 1466 7463 315 9238 Bojong Gede 2830 0 0 2830 Caringin 0 4928 2843 7757 Cariu 4828 3666 81 8572 Ciampea 348 2960 21 3304 Ciawi 0 3630 1087 4717 Cibinong 4616 4 0 4620 Cibungbulang 956 2904 6 3845 Cigombong 0 2845 1998 4838 Cigudeg 2335 15551 129 17761 Cijeruk 0 2550 2198 4729 Cileungsi 7034 0 0 7034 Ciomas 15 1770 29 1814 Cisarua 0 7062 333 7394 Ciseeng 3963 168 0 4129 Citeureup 2656 4176 49 6881 Dramaga 663 1924 50 2637 Gunung Putri 6046 49 0 6095 Gunung Sindur 4895 67 0 4952 Jasinga 3647 10167 512 14308 Jonggol 6637 5825 1035 13489 Kemang 2909 458 0 3367 Klapanunggal 3780 5779 89 9607 Leuwiliang 78 7828 1256 9161 Leuwisadeng 527 2668 347 3540 Megamendung 0 5539 704 6243 Nanggung 754 12551 2891 16079 Pamijahan 17 7138 5415 12557 Parung 2574 0 0 2574 Parung Panjang 4085 3053 0 7132 Rancabungur 1836 430 0 2267 Rumpin 6870 6800 70 13736 Sukajaya 740 10595 4391 15646 Sukamakmur 1279 14278 1772 17016 Sukaraja 2705 1567 81 4352 Tajurhalang 3095 0 0 3095 Tamansari 9 2310 1114 3433 Tanjungsari 5052 10160 735 15946 Tenjo 5748 2849 0 8598 Tenjolaya 0 2569 1574 4135 Total (Ha) 94991 173309 31127 299428 Sumber : Peta Kerawanan Tanah Longsor Kabupaten Bogor

Gambar 9 Peta Kerawanan Tanah Longsor Kabupaten Bogor. 40

41 Berdasarkan hasil analisis Peta Kerawanan Tanah Longsor maka di Kabupaten Bogor terdapat wilayah-wilayah yang memiliki : a. Kelas Kerawanan Longsor Rendah Kelas kerawanan longsor rendah merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan rendah untuk terjadinya tanah longsor. Wilayah ini berada pada kisaran kemiringan lereng mulai dari datar (kemiringan 0-8%) sampai landai (kemiringan (8-15%). Kemungkinan terjadinya tanah longsor pada wilayah ini rendah, tanah longsor dalam ukuran kecil mungkin dapat terjadi pada tebing lembah sungai, tergantung kepada sifat tanah, batuan pembentuk, penutupan lahan dan kerentanan gerakan tanah. Areal seluas 94991 Ha atau 31,7% dari luas Kabupaten Bogor tergolong kedalam kelas kerawanan longsor rendah. Penyebarannya sebagian besar berada di sebelah utara Kabupaten Bogor meliputi 33 kecamatan seperti terlihat pada Tabel 15. Kecamatan Cileungsi merupakan kecamatan yang memiliki areal penyebaran kelas kerawanan longsor rendah terluas yaitu sebesar 7034 Ha. b. Kelas Kerawanan Longsor Sedang Kelas kerawanan longsor sedang merupakan wilayah yang secara umum memiliki tingkat kerawanan sedang untuk terjadinya tanah longsor. Tanah longsor besar maupun kecil dapat terjadi terutama di daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing pemotongan jalan dan pada lereng yang mengalami ganguan. Tanah longsor lama masih mungkin dapat aktif kembali terutama oleh curah hujan yang tinggi dalam waktu yang lama dan erosi yang kuat. Wilayah ini umumnya berada pada kisaran kemiringan lereng mulai dari datar (kemiringan 0-8%) sampai dengan curam (kemiringan 25-45%). Areal seluas 173309 Ha atau 57,8% dari luas Kabupaten Bogor tergolong kedalam kelas kerawanan longsor sedang. Kelas kerawanan ini merupakan kelas kerawanan dengan areal penyebaran terluas dibandingkan kelas lainnya. Penyebarannya sebagian besar berada di bagian tengah dan selatan Kabupaten Bogor meliputi 36 kecamatan seperti

42 terlihat pada Tabel 15. Kecamatan Cigudeg merupakan kecamatan yang memiliki areal penyebaran kelas kerawanan longsor sedang terluas yaitu sebesar 15551Ha. c. Kelas Kerawanan Longsor Tinggi Kelas kerawanan longsor tinggi merupakan wilayah yang secara umum memiliki tingkat kerawanan tinggi untuk terjadinya tanah longsor. Tanah longsor berukuran besar sampai sangat kecil telah sering dan akan cenderung sering terjadi. Tanah longsor lama dan baru masih ada dan aktif akibat curah hujan yang tinggi dan erosi yang kuat. Wilayah ini berada pada kisaran kemiringan lereng terjal (kemiringan 15-25%) sampai dengan sangat curam (kemiringan >45%). Areal seluas 31127 Ha atau 10,396% dari luas Kabupaten Bogor tergolong kedalam kelas kerawanan longsor sedang. Kelas kerawanan ini merupakan kelas kerawanan dengan areal penyebaran terkecil dibandingkan kelas lainnya. Penyebarannya sebagian besar berada di bagian selatan Kabupaten Bogor meliputi 28 kecamatan seperti terlihat pada Tabel 15. Kecamatan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki areal penyebaran kelas kerawanan longsor tinggi terluas yaitu sebesar 5415 Ha. Daerah pada kelas kerawanan ini harus selalu diwaspadai karena sewaktu-waktu dapat terjadi tanah longsor, terutama saat memasuki musim hujan. 4.3 Analisis Tata Ruang Dinamika Kabupaten Bogor yang akan mencapai penduduk diatas 5 juta jiwa pada tahun-tahun mendatang tentu membawa konsekuensi terhadap pemenuhan sarana prasarana dasar, infrastruktur, dan jenis kegiatan baru lainnya. Kebutuhan ruang Kabupaten Bogor pada masa-masa mendatang kemudian dirumuskan didalam RTRW Kabupaten Bogor. 2005-2025. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman pembangunan Kabupaten Bogor dalam 20 tahun kedepan (2005-2025). Sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, rencana tata ruang memiliki fungsi yang sangat vital dalam upaya pelestarian

43 lingkungan hidup. Oleh karena itu rencana tata ruang harus disusun dengan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara proporsional, di samping mempertimbangkan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan pertahanan-keamanan. Di antara berbagai permasalahan lingkungan, permasalahan bencana alam terutama tanah longsor, akhir-akhir ini mendapat perhatian besar sehubungan dengan berbagai kejadian bencana longsor yang menimbulkan kerugian besar berupa korban meninggal, kerusakan lingkungan permukiman, hilangnya harta benda masyarakat, serta kerusakan sarana dan prasarana penunjang kehidupan manusia dan aktivitasnya. Tingginya frekuensi bencana longsor dan besarnya kerugian yang ditimbulkan dari bencana tersebut telah menyadarkan kita semua akan perlunya reposisi perilaku manusia dalam mengelola lingkungan hidupnya. Upaya reposisi perilaku manusia tersebut selanjutnya perlu diletakkan pada sebuah kerangka pikir atau pendekatan yang memungkinkan seluruh pihak untuk saling bersinergi dalam merevitalisasi ruang kehidupannya agar dapat mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Dardak 2008). Zonasi atau pembagian pola ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dapat dilihat pada Gambar 10 dan Tabel 16. Tabel 16 Zonasi RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 Pola Ruang Luas(Ha) Zona Industri 3218,1 Kawasan Hutan Konservasi 42387,5 Kawasan Hutan Lindung 8565,0 Kawasan Hutan Produksi 20033,0 Kawasan Hutan Produksi Terbatas 15154,2 Kawasan Industri 1858,4 Kawasan Perkebunan 9811,5 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 9118,7 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 20971,9 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 37607,4 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 11880,6 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 27934,3 Kawasan Pertanian Lahan Basah 39782,2 Kawasan Pertanian Lahan Kering 23439,9 Kawasan Tanaman Tahunan 26749,7 Waduk 703,5 Danau 212,1 Total (Ha) 299428 Sumber : Peta RTRW Kabuapten Bogor 2005-2025

Gambar 10 Peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. 44

45 4.3.1 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor pada Peruntukan Ruang Permukiman Dinamika Kabupaten Bogor yang akan mencapai jumlah penduduk diatas 5 juta jiwa pada tahun-tahun mendatang tentu membawa konsekuensi terhadap pemenuhan sarana prasarana dasar, infrastruktur, dan jenis kegiatan baru lainnya. Salah satu kebutuhan ruang yang paling mendasar yaitu permukiman. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah Kabupaten Bogor mengalokasikan 107512,9 Ha atau 35,9 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor sebagai kawasan permukiman yang dirumuskan didalam RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Dimana kawasan permukiman dibagi menjadi lima pola ruang yaitu Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang), Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah), Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat), Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) dan Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang). Kawasan Permukiman Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Sedangkan Kawasan Permukiman Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Perda Kabupaten Bogor Nomor 19 tahun 2008). Namun, dari hasil analisis overlay antara Peta RTRW dan Penutupan Lahan kabupaten Bogor dengan Peta Kerawanan Tanah Longsor, menunjukkan bahwa beberapa kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman berada pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi seperti yang terlihat pada Tabel 17 dan Gambar 11. Selain itu pada kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman tersebut dapat diidentifikasi penutupan lahannya antara lain berupa kebun, hutan, permukiman, sawah, ladang dan tegalan. Artinya, akan ada hutan dan kebun yang dikonversi menjadi permukiman, hal ini tentu saja merupakan suatu kebijakan yang salah mengingat kawaan tersebut berada pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi, dimana hutan dan kebun sangat vital perannya dalam menjaga lingkungan sekitar dari bahaya tanah longsor.

46 Tabel 17 Kawasan permukiman yang berada pada kerawanan longsor tinggi Pola Ruang Lokasi (Kecamatan) Kerawanan Penutupan Lahan Rekomendasi Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Babakan Madang, Caringin, Cariu, Ciawi, Cigombong, Cigudeg, Cijeruk, Cisarua, Citeureup, Jasinga, Jonggol, Leuwisadeng, Megamendung, Nanggung, Pamijahan, Sukajaya, Sukamakmur, Sukaraja, Tamansari, Tanjungsari Babakan Madang, Caringin, Cariu, Ciampea, Cibungbulang, Cigombong, Cigudeg, Cijeruk, Ciomas, Cisarua, Dramaga, Jonggol, Leuwiliang, Leuwisadeng, Megamendung, Nanggung, Pamijahan, Sukajaya, Sukamakmur, Sukaraja, Tamansari, Tanjungsari, Tenjolaya Tinggi Kebun Revisi RTRWK Hutan Permukiman Sawah Ladang Tegalan Revisi RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Tinggi Kebun Revisi RTRWK Hutan Permukiman Sawah Ladang Tegalan Revisi RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Leuwiliang, Leuwisadeng Tinggi Kebun Revisi RTRWK Hutan Revisi RTRWK Permukiman Revisi RTRWK, Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Sawah Revisi RTRWK Ladang Revisi RTRWK Tegalan Revisi RTRWK Babakan Madang, Tinggi Kebun Revisi RTRWK Caringin, Cariu, Ciawi, Hutan Revisi RTRWK Cigudeg, Cijeruk, Permukiman Revisi RTRWK, Insert Cisarua, Jonggol, upaya mitigasi dalam Leuwiliang, RTRWK Leuwisadeng, Sawah Revisi RTRWK Megamendung, Ladang Revisi RTRWK Nanggung, Rumpin, Tegalan Revisi RTRWK Sukamakmur, Sukaraja, Tanjungsari. Kawasan Babakan Madang, Tinggi Kebun Revisi RTRWK Permukiman Caringin, Cariu, Ciawi, Hutan Revisi RTRWK Perkotaan (Hunian Sedang) Ciampea, Cibungbulang, Cigombong, Cijeruk, Ciomas, Cisarua, Permukiman Revisi RTRWK, Insert upaya mitigasi dalam RTRWK Dramaga, Jonggol, Sawah Revisi RTRWK Leuwiliang, Tanjungsari Ladang Revisi RTRWK Megamendung, Tegalan Revisi RTRWK Nanggung, Sukamakmur, Sukaraja, Tamansari. Sumber : Peta Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor Pada Peruntukan Ruang Permukiman

Gambar 11 Peta Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor Pada Peruntukan Ruang Permukiman. 47

48 Kawasan permukiman pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi masih memungkinkan untuk pola ruang Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) dan Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) yang mempunyai kegiatan utama pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam dimana pada kawasan tersebut intensitas dan skala pemanfaatan ruang juga relatif rendah. Namun, pada kawasan dengan penutupan lahan berupa hutan dan kebun, sebaiknya tidak dijadikan permukiman karena kawasan tersebut sangat vital fungsinya untuk menjaga lingkungan disekitarnya dari tanah longsor. Sehingga pada penutupan lahan demikian perlu adanya revisi dalam RTRW. Selain itu, pada kawasan ini juga diperlukan upaya-upaya mitigasi bencana tanah longsor di dalam RTRW. Sebaliknya, kawasan permukiman pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi tidak memungkinkan Untuk pola ruang Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat), Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) dan Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dimana pada kawasan tersenbut intensitas dan skala pemanfaatan ruang relatif tinggi. Pada kawasan ini diperlukan revisi dalam RTRW berterkaitan dengan pola ruang. Mengingat bahwa kawasan ini berada pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi, maka sebaiknya pemanfaatan lahan dilakukan secara non intensif. Sehingga pola ruang kawasan ini sebaiknya direvisi menjadi Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) dan Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah). Sedangkan pada permukiman yang sudah berdiri, selin diperlukan revisi pola ruang, juga diperlukan upaya-upaya mitigasi bencana tanah longsor di dalam RTRW. Upaya-upaya mitigasi bencana tanah longsor sangat diperlukan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan dari ancaman bencana longsor. Menurut Dardak (2008), Upaya-upaya mitigasi bencana tanah longsor secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni hard engineering dan soft engineering. a. Hard engineering adalah pembangunan struktur buatan seperti tembok penahan gerakan tanah (retaining wall), saluran drainase untuk mengurangi tingkat kejenuhan air dalam tanah, terasering lahan untuk

49 mengurangi erosi tanah, penanaman pohon dengan perakaran kuat pada lereng-lereng curam, dan sebagainya. b. Sementara soft engineering adalah upaya-upaya untuk merekayasa pola pikir masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pemanfaatan ruang. Upaya ini antara lain dapat dilakukan melalui penyuluhan, penyebarluasan informasi, pelatihan, dan sebagainya. 4.3.2 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor pada Peruntukan Ruang Kawasan Konservasi & Lindung Selain masalah yang telah disebutkan diatas, kendala lain yang dihadapi Kabupaten Bogor dalam hubungannya dengan tata ruang adalah ketidaktertiban dalam penggunaan lahan. Berdasarkan hasil overlay antara Peta RTRW Kabupaten Bogor dengan Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor, pada beberapa kecamatan ditemukan kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana diatur dalam RTRW Kabupaten Bogor seperti yang terlihat pada Tabel 18 dan Gambar 12. Kawasan yang berdasarkan RTRW seharusnya merupakan kawasan konservasi dan kawasan lindung yang berfungsi untuk melindungi lingkungan disekitarnya dari bencana tanah longsor pada kenyataannya beralih fungsi menjadi permukiman, kebun, sawah, ladang maupun tegalan. Hal tersebut tentu saja menyalahi aturan pemanfaatan dari kawasan konservasi dan kawasan lindung sendiri. Kawasan konservasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a. Penelitian dan pengembangan b. Ilmu pengetahuan c. Pendidikan d. Kegiatan penunjang budidaya e. Pariwisata alam dan rekreasi f. Pelestarian budaya

50 Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, kegiatan pemanfaatan hutan pada kawasan lindung dapat berupa : 1. Kegiatan pemanfaatan kawasan meliputi : a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa liar; atau f. budidaya hijauan makanan ternak. 2. Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung meliputi : a. pemanfaatan jasa aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam; d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon 3. Pemungutan hasil hutan pada Hutan Lindung meliputi : a. rotan; b. madu; c. getah; d. buah; e. jamur; atau f. sarang burung walet. Kegiatan pemanfaatan baik di kawasan konservasi maupun kawasan lindung tentunya dilakukan dengan tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak untuk menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. Penyalahgunaan lahan dapat memicu terjadinya tanah longsor terutama pada wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi. Berdasarkan hasil overlay antara Peta RTRW dan Penutupan Lahan Kabupaten Bogor dengan Peta Kerawanan

51 Tanah Longsor, diketahui bahwa alih fungsi lahan tersebut juga terjadi pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi seperti yang terlihat pada Gambar x dan Tabel 18. Hal tersebut tentu menambah kerentanan daerah alih fungsi tersebut terhadap bencana tanah longsor mengingat tidak lagi adanya kawasan yang mampu melindungi lingkungan sekitar dari bahaya tanah longsor. Tabel 18 Distribusi kawasan rawan tanah longsor pada peruntukan ruang kawasan konservasi dan lindung Pola Ruang Lokasi (Kecamatan) Kerawanan Penutupan Lahan Kesesuaian Rekomendasi Kawasan Konservasi Babakan Madang, Caringin, Ciawi, Tinggi Permukiman Tidak Sesuai Relokasi, Rehabilitasi Cigombong, Hutan Sesuai Pengamanan Cigudeg, Cijeruk, Cisarua, Jasinga, Leuwiliang, Kebun Tidak Sesuai Enrichment Planting, Pengamanan Megamendung, Nanggung, Sawah Tidak Sesuai Rehabilitasi, Pengamanan Pamijahan, Sukajaya, Ladang Tidak Sesuai Rehabilitasi, Pengamanan Tamansari, Tenjolaya Tegalan Tidak Sesuai Rehabilitasi Kawasan Lindung Babakan Madang, Cisarua, Megamendung, Sukamakmur, Sukaraja Tinggi Permukiman Tidak Sesuai Relokasi, Rehabilitasi Hutan Sesuai Pengamanan Kebun Tidak Sesuai Enrichment Planting, Sawah Ladang Tegalan Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Pengamanan Rehabilitasi, Pengamanan Rehabilitasi, Pengamanan Rehabilitasi Sumber : Peta Distribusi Kawasan Rawan Tanah longsor pada Peruntukan Ruang Kawasan Konservasi dan Kawasan Lindung Berdasarkan Tabel 18 diatas diketahui bahwa pada Kawasan Konservasi maupun Kawasan Lindung terdapat ketidaksesuaian antara peruntukan kawasan dengan pemanfaatan kawasan. Kawasan Konservasi dan Kawasan Lindung seharusnya berupa hutan, namun penutupan lahan di kawasan ternyata berupa permukiman, kebun, sawah, ladang dan tegalan. Untuk kawasan yang sudah berupa permukiman, perlu adanya direlokasi karena pada Kawasan konservasi maupun kawasan Lindung dilarang adanya pendirian bangunan, terlebih kawasan tersebut berada pada daerah kerawanan longsor tinggi, sehingga dapat membahayakan penduduk yang tinggal di dalamnya. Selain itu, pada lahan bekas permukiman tersebut juga diperlukan rehabilitasi lahan guna mengembalikan fungsi dari kawasan tersebut.

52 Untuk kawasan yang masih berupa hutan diperlukan pengamanan kawasan agar tidak terjadi kembali alih fungsi lahan. Sedangkan untuk kawasan yang berupa kebun, secara substansial penutupan lahan tidak berbeda jauh fungsinya dengan hutan karena jenis tumbuhan di dalamnya bisa saja berupa pohon. Hal yang perlu diperhatikan adalah jenis tumbuhan yang ada di dalamnya sebaiknya berupa pohon. Sehingga diperlukan enrichment planting dengan pohon yang dapat menahan gerakan tanah, pada kawasan konservasi jenis yang ditanam tentunya adalah jenis-jenis setempat. Selain itu, tentunya diperlukan pengamanan kawasan sehingga pemanfaatan lahan dapat dikendalikan. Untuk kawasan berupa sawah dan ladang perlu adanya rehabilitasi dan pengamanan karena telah menyalahi aturan pemanfaatan pada Kawasan konservasi maupun kawasan Lindung. Sedangkan untuk kawasan yang tidak berfungsi optimal dengan penutupan lahan berupa tegalan juga diperlukan rehabilitasi guna mengoptimalkan fungsi dari kawasan tersebut. Menurut Suranto (2008) tingginya aktivitas alihfungsi lahan oleh masyarakat tersebut dipengaruhi oleh karakteristik fisik alam, karakteristik sosial ekonomi masyarakat, faktor turun temurun, tingginya nilai lahan yang layak huni dan kondisi lingkungan yang masih alami. Dengan demikian, diperlukan kebijakan dan strategi terkait pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi dan lindung terutama pada daerah rawan bencana longsor dalam konteks penataan ruang antara lain : 1. Perlu upaya evaluasi pelaksanaan atau implementasi kewajiban kepemilikan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagai pengendali pemanfaatan lahan khususnya permukiman melalui penguatan kelembagaan dan bimbingan teknis kepada petugas pemerintah. 2. Perlu upaya pemantauan dan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang dilaksanakan secara terus menerus. 3. Perlu adanya regulasi disertai penertiban yang tegas berupa sanksi hukum kepada siapapun yang membangun bangunan dengan tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan sehingga mempermudah dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan penataan ruang yang direncanaka dapat terwujud. Penertiban tersebut dapat berupa pemberian sanksi tersebut dapat berupa

53 peringatan tertulis, penghentian kegiatan sementara, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, penolakan atau pembatalan izin, pembongkaran bangunan, dan/atau pemulihan fungsi ruang. 4. Penerapan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor. Mekanisme insentif dan disinsentif dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang dan untuk mengurangi atau mencegah timbulnya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Mekanisme ini dipandang sangat relevan untuk diterapkan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor, misalnya: a. Pembatasan pengembangan prasarana dan sarana umum di kawasan rawan bencana longsor b. Pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang dikembangkan di kawasan rawan bencana longsor c. Pengenaan kewajiban kepada pemanfaat ruang di kawasan rawan bencana longsor untuk terlebih dahulu meningkatkan kontrol terhadap faktor penyebab longsor (penghijauan, pembangunan retaining wall dan sebagainya) dalam cakupan yang lebih luas daripada lahan yang dikuasai d. Pemberian preferensi kepada pemanfaat ruang yang bersedia untuk membebaskan dan menghutankan lahan di kawasan rawan bencana longsor. 5. Perlu upaya pendekatan kepada masyarakat yang memanfaatkan lahan pada kawasan konservasi dan lindung agar bersedia untuk direlokasi dan penyediaan lokasi untuk relokasi yang lebih layak huni untuk kawasan permukiman dan aktivitas ekonomi masyarakat.

Gambar 12 Peta Distribusi Kawasan Rawan Tanah longsor pada Peruntukan Ruang Kawasan Konservasi dan Kawasan Lindung. 54