V. PERKEMBANGAN PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, PEKERJA, DAN INLASI

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. runtut waktu (time series). Penelitian ini menggunakan data-data Produk

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Data digunakan adalah data sekunder (time series) berupa data bulanan yang

BAB III METODE PENILITIAN

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak

III. METODE PENELITIAN. Dalam penelitian Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Produk Domestik Bruto, Inflasi,

METODE PENELITIAN. Data yang dipakai untuk penelitian ini adalah data sekunder (time series)

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. FDR, Inflasi dan kurs terhadap ROA di Indonesia pada tahun 2013: I 2016: VII.

METODE PENELITIAN. Data digunakan adalah data sekunder (time series) berupa data bulanan yang

III. METODELOGI PENELITIAN. Dalam penelitian yang berjudul Analisis Determinan Nilai Aktiva Bersih Reksa

BAB 4 PEMBAHASAN. H 1 : tidak terdapat unit root (data stasioner)

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series

panjang antara ukuran perusahaan (SIZE) dengan capital adequacy ratio dan loan to

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

ANALISIS FLUKTUASI KURS RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA TAHUN

III. METODOLOGI PENELITIAN. A. Data dan Sumber Data Penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian arsip yaitu suatu penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

III. METODELOGI PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah current account

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang

METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Dalam penelitian ini variabel terikat (dependent variabel) yang digunakan adalah

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. bentuk runtut waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yaitu data dalam

PUBLIKASI KARYA TULIS ILMIAH ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR MIGAS (MINYAK DAN GAS) DI INDONESIA; PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

METODE PENELITIAN. Selang periode runtun waktu. Bulanan Tahun Dasar PDB Triwulanan Miliar rupiah. M2 Bulanan Persentase

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut runtun

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN RUTIN DAN PENGELUARAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA PERIODE

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

semua data, baik variabel dependen maupun variable independen tersebut dihitung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh ProdukDomestikBruto (PDB),

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis dan Sumber Data Pada penelitian ini data yang digunakan yaitu data sekunder. Data sekunder

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

METODOLOGI PENELITIAN. Data yang dipakai untuk penelitian ini adalah data sekunder (time series) yang

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan uji stasioneritas dengan uji akar-akar unit (unit roots test).

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah data sekunder yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Skripsi ini meneliti mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang

ANALISIS PENGARUH VARIABEL MAKROEKONOMI TERHADAP INVESTASI ASING DI INDONESIA (TAHUN 2000:1 2011:4)

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. tabungan masyarakat, deposito berjangka dan rekening valuta asing atau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui apakah data yang dipakai sudah stationary dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian yang bertujuan untuk menganalisis

METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang

III. METODE PENELITIAN. Laporan Kebijakan Moneter, Laporan Perekonomian Indonesia, Badan Pusat

III.METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini

Tabel 4.1 Deskripsi Variabel Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung yang berupa cetakan atau publikasi

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan perekonomian baik yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. yang mempunyai hubungan dengan penelitian yang terdiri dari data kualitatif dan

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah perilaku prosiklikalitas perbankan di

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penelitian ini adalah uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Apabila nilai

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga,

III. METODE PENELITIAN. Jenderal Pengelolaan Utang, Bank Indonesia dalam berbagai edisi serta berbagai

BAB V PEMBAHASAN. harga gula domestic (HGD), PDB perkapita (PDB), dan jumlah penduduk

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

III. METODE PENELITIAN. gabungan dari data runtun waktu (time series) tahunan. Data yang digunakan

BAB III METODE PENELITIAN. (time series data). Dalam penelitiaan ini digunakan data perkembangan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

METODE PENELITIAN. deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. statistik. Penelitian ini mengukur pengaruh pembalikan modal, defisit neraca

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Pencarian data dilakukan melalui riset perpustakaan (library research)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. capital adequacy ratio (CAR), non performing financing (NPF), financing to

BAB 1V HASIL DAN ANALISIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Perbankan nasional mengalami krisis

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua negara baik negara maju maupun negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang

III. METODE PENELITIAN. yaitu CAR (Capital Adequacy Ratio), LDR (Loan to Deposit Ratio), EPS

METODE PENELITIAN. berbagai institusi seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, World Bank,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kegiatan pemerintah dalam perekonomian tampaknya semakin besar dan

Transkripsi:

V. PERKEMBANGAN PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, PEKERJA, DAN INLASI 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan ukuran yang mencerminkan keberhasilan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut dicirikan dengan meningkatnya output disertai dengan tingkat pertumbuhan yang cepat. Selama periode 1975-2004 pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai pada tahun 1980 yaitu sebesar 9,88 persen. Kemudian pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada tahun 1998 yaitu mencapai 13,13 persen, hal ini dikarenakan adanya krisis moneter pada bulan Juli 1997 yang mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Persentase 15 10 5 0-5 -10-15 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Sumber: BPS, BI (1975-2004) Gambar 5.1. Pertumbuhan Ekonomi

35 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1980 tidak lain karena pada periode 1973-1982 merupakan era boom minyak, yaitu harga minyak di pasar internasional melambung tinggi. Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak saat itu mendapat rejeki nomplok dari hasil ekspornya, sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun situasi berubah pada tahun 1983 ketika dunia mengalami resesi ekonomi, terjadi krisis minyak yaitu harga minyak di pasar internasional merosot. Seiring dengan hal tersebut penerimaan pemerintah dari minyak pun ikut menurun, sehingga memberikan dampak yang buruk bagi pertumbuhan ekonomi, dimana pada periode 1983-1986 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,88 persen per tahun. Setelah masa resesi yaitu pada periode 1987-1996 pertumbuhan ekonomi kembali mengalami peningkatan yaitu dari 3,59 persen pada tahun 1987 menjadi 7,82 persen pada tahun 1996. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh kenaikan yang cukup besar dalam konsumsi dan investasi. Memasuki pertengahan tahun 1997 Indonesia dihadapkan pada kondisi krisis moneter. Hal ini disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam dunia perbankan nasional. Krisis tersebut melemahkan perekonomian yang ditandai dengan merosotnya pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 13,13 persen. Pertumbuhan ekonomi setelah masa krisis kembali mengalami peningkatan. Seiring dengan meningkatnya perekonomian global, perekonomian Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang baik. Kinerja ekonomi selama tahun 2002 tumbuh sebesar 4,38 persen dan pada tahun 2003 kembali meningkat menjadi 4,88 persen. Kondisi ekonomi yang cukup stabil selama tahun 2002 dan

36 2003 mendorong kemajuan pada perekonomian tahun 2004, dimana pada tahun 2004 pertumbuhan ekonomi meningkat hingga mencapai 5,13 persen. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut juga didukung oleh situasi keamanan yang terkendali serta diimbangi pula oleh rendahnya laju inflasi. 5.2. Pengeluaran Rutin Pemerintah Pengeluaran rutin pemerintah riil dari periode awal penelitian yaitu tahun 1975 hingga akhir periode tahun 2004 cenderung selalu mengalami peningkatan. Peningkatan yang sangat tajam terjadi pada tahun 2001 dimana pengeluaran rutin pemerintah riil mencapai hingga Rp 27.474,87 milyar. Peningkatan tersebut disebabkan oleh kembali stabilnya laju inflasi hingga mencapai 12,55 persen pada tahun 2001 setelah melewati angka 77,63 persen pada tahun 1998. Perkembangan pengeluaran rutin pemerintah riil dapat dilihat pada Gambar 5.2. Pengeluaran Rutin Pemerintah Riil Milyar Rp 35200 30200 25200 20200 15200 10200 5200 200 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Sumber: BPS (1975-2004), diolah Tahun Gambar 5.2. Perkembangan Pengeluaran Rutin Pemerintah Riil (2002=100)

37 Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar selama tahun 1998/1999 telah memberikan dampak negatif pada operasional keuangan pemerintah secara keseluruhan. Memburuknya kinerja perekonomian yang didorong oleh keadaan politik yang belum stabil menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah melebihi peningkatan penerimaannya, sehingga keuangan pemerintah mengalami defisit. Peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut dilihat dalam bentuk nominal. Akan tetapi secara riil, dengan memperhitungkan tingkat inflasi, pengeluaran pemerintah mengalami penurunan. Pada tahun 1998 pengeluaran rutin pemerintah riil turun hingga mencapai Rp 1.345,50 milyar akibat inflasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 77,63 persen. Memasuki tahun 1999 pengeluaran rutin pemerintah riil mulai meningkat kembali seiring dengan stabilnya laju inflasi dan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat karena pemerintah merasa prihatin atas dampak krisis moneter yang memperburuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pada akhir periode penelitian tahun 2004 pengeluaran rutin pemerintah riil mencapai sebesar Rp 15.222,02 milyar yang sebelumnya sempat turun sebesar Rp 9.542,37 milyar pada tahun 2003. Peningkatan pengeluaran rutin pemerintah sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya pos pembayaran cicilan dan bunga utang.

38 5.3. Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai proyek pembangunan baik fisik maupun non fisik. Selama periode penelitian tahun 1975-2004 pengeluaran pembangunan pemerintah riil cenderung lebih berfluktuasi. Perkembangan pengeluaran pembangunan pemerintah riil dapat dilihat pada Gambar 5.3. Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Riil 6150 5150 Milyar Rp 4150 3150 2150 1150 150 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Sumber: BPS (1975-2004), diolah Tahun Gambar 5.3. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Riil (2002=100) Inflasi yang tinggi pada tahun 1998 hingga mencapai 77,63 persen menyebabkan secara riil pengeluaran pembangunan pemerintah mengalami penurunan yang tajam. Seiring dengan turunnya laju inflasi maka pengeluaran pembangunan pemerintah riil ikut membaik, ditandai dengan peningkatannya sebesar Rp 908,27 milyar pada tahun 1999, padahal sebelumnya hanya mencapai Rp 535,45 milyar.

39 Kondisi perekonomian yang buruk pasca krisis dan setelah krisis mendorong pemerintah untuk melaksanakan kebijakan yaitu mengalokasikan pengeluaran pembangunan pada program proyek prasarana sosial dan program pemulihan kegiatan perekonomian nasional (Statistik Indonesia, 2000). Dengan demikian sejak tahun 1999 sampai dengan akhir periode penelitian tahun 2004 pengeluaran pembangunan pemerintah riil cenderung mengalami peningkatan. Meskipun pada tahun 2003 pengeluaran tersebut mengalami penurunan, namun penurunannya tidak setajam pada tahun 1998. 5.4. Investasi Swasta Investasi swasta dialokasikan untuk penyediaan barang-barang modal yang dapat meningkatkan kapasitas produksi, yang kemudian pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi swasta dalam penelitian ini mencakup Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Luar Negeri (PMLN). Perkembangan investasi swasta riil dapat dilihat pada Gambar 5.4. Pada periode awal penelitian tahun 1975 investasi swasta riil mencapai sebesar Rp 4.345,25 milyar. Pada periode selanjutnya perkembangan investasi swasta riil cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1997 investasi swasta meningkat tajam sebesar Rp 24.128,04 milyar. Namun pada tahun 1998 investasi tersebut menurun drastis hingga mencapai angka Rp 1.129,33 milyar. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi pada tahun 1998, serta kondisi perekonomian yang tidak stabil. Ketidakstabilan perekonomian tersebut diikuti oleh ketidakstabilan

40 politik, sosial, dan keamanan. Situasi ini menyebabkan para investor tidak mau mengambil resiko menanamkan modalnya, sehingga akumulasi modal yang tersedia hanya sedikit. Investasi Swasta Riil 25100.00 20100.00 Milyar Rp 15100.00 10100.00 5100.00 100.00 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Sumber: BPS (1975-2004), diolah Tahun Gambar 5.4. Perkembangan Investasi Swasta Riil (2002=100) Setelah melewati masa krisis, investasi swasta riil mulai meningkat kembali. Hal ini dikarenakan pemerintah melakukan kebijakan yang dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya kembali, terutama untuk investor asing. Karena semenjak iklim investasi di Indonesia tidak kondusif, banyak investor asing yang berhati-hati dan sangat selektif untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada tahun 2002 hingga tahun 2004 investasi swasta riil mulai menurun kembali namun penurunannya tidak setajam pada tahun 1998. Pada akhir 2004 investasi swasta riil mencapai sebesar Rp 8.535,66 milyar.

41 5.5. Pekerja Seperti yang terlihat pada Gambar 5.5, perkembangan jumlah pekerja riil selama periode 1975-2004 sangat berfluktuasi. Perkembangan jumlah pekerja riil tersebut tidak terlepas dari pengaruh inflasi. Ketika inflasi rendah jumlah pengangguran meningkat sehingga jumlah pekerja menurun, demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain terjadi trade off antara inflasi dan pengangguran (Mankiw, 2000). Pekerja Riil 11500 9500 Milyar 7500 5500 3500 1500 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Sumber: BPS (1975-2004), diolah Gambar 5.5. Perkembangan Pekerja Riil (2002=100) Namun keadaan yang sangat jauh berbeda adalah pada tahun 1998 yaitu ketika terjadi peningkatan inflasi hingga 77,63 persen maka jumlah pekerja riil menurun hingga mencapai 69,70 persen, yaitu dari sebanyak 9.649,23 milyar pekerja pada tahun 1997 menjadi 2.923,17 milyar pekerja pada tahun 1998. Hal ini dikarenakan inflasi yang tinggi memicu biaya operasional perusahaan mengalami

42 peningkatan sehingga mendorong banyak perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan. Seiring dengan menurunnya tingkat inflasi, biaya operasional perusahaan kembali stabil. Perusahaan memerlukan pekerja untuk meningkatkan output yang akan memberikan tingkat pengembalian yang lebih besar, hal ini berarti terjadi peningkatan permintaan tenaga kerja sehingga jumlah pekerja kembali meningkat. Pada tahun 2003 jumlah pekerja mengalami penurunan, namun pada tahun 2004 meningkat kembali hingga mencapai 5.998,08 milyar pekerja. 5.6. Inflasi Laju inflasi yang dihitung berdasarkan pergerakan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada awal periode penelitian tahun 1975 tercatat sebesar 19,10 persen. Sampai dengan tahun 1996 laju inflasi Indonesia berada di bawah kisaran 12 persen. Namun pada bulan Juli tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang dipicu oleh jatuhnya mata uang bath Thailand. Jatuhnya mata uang bath Thailand tersebut menyebabkan pasar modal Indonesia jatuh lebih dari 80 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dolar jatuh hingga 75 persen (Gie, 2004). Perkembangan inflasi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.5. Terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar mendorong peningkatan pada harga bahan bakar minyak (BBM) yang kemudian diikuti dengan meningkatnya harga-harga barang dan jasa lainnya, sehingga inflasi pada tahun 1998 meningkat tajam sebesar 77,63 persen.

43 Laju Inflasi Persentase 82 72 62 52 42 32 22 12 2 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Sumber: BPS, BI (1975-2004) Gambar 5.6. Perkembangan Inflasi Inflasi yang sangat tinggi pada tahun 1998 mendorong pemerintah untuk melakukan serangkaian kebijakan yang dapat menekan atau menurunkan tingkat inflasi itu sendiri. Memasuki awal 1999 inflasi mulai stabil kembali hingga mencapai satu digit yaitu sebesar 2,01 persen. Kemudian pada akhir periode penelitian tahun 2004 inflasi tercatat sebesar 6,40 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari laju inflasi pada tahun 2003 sebesar 5,06 persen, namun masih berada dalam kisaran yang ditargetkan oleh otoritas moneter. Meningkatnya laju inflasi pada tahun 2004 selain karena meningkatnya permintaan dalam negeri, juga karena adanya tekanan dari harga minyak internasional yang terus meningkat sehingga berpengaruh langsung terhadap penggunaan bahan baku impor dan biaya transportasi (Laporan Perekonomian Indonesia, 2004).

VI. PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, PEKERJA, DAN INFLASI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA Bab ini akan menjelaskan tentang hasil dan pembahasan yang telah diperoleh dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Error Correction Model (ECM). Langkah awal sebelum melakukan estimasi ECM terlebih dahulu harus dilakukan uji akar unit untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Setelah dilakukan pengujian akar unit maka dilakukan pengujian kointegrasi Engel-Granger untuk melihat hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang tidak stasioner. Setelah diperoleh persamaan jangka panjang, maka langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi ECM yang digunakan untuk melihat hubungan jangka pendek diantara variabel-variabel yang stasioner, namun untuk mengetahui ada tidaknya masalahmasalah pelanggaran asumsi klasik yang muncul pada estimasi model jangka pendek pertumbuhan ekonomi di Indonesia maka dilakukan uji kebaikan model, yaitu uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. 6.1. Hasil Pengujian Akar-akar Unit Sebelum melakukan serangkaian proses terhadap model, sangat penting untuk diketahui apakah data time series yang digunakan bersifat stasioner atau non-stasioner. Untuk persamaan tunggal, uji akar-akar unit dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuler (ADF) test. Hasil pengujian akar-akar unit dapat dilihat pada Tabel 6.1.

45 Tabel 6.1. Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test) pada Level Variabel Nilai ADF t-statistik Nilai Kritis Mackinnon Ket 1 % 5 % 10 % Pertumbuhan Ekonomi -1,92-2,65-1,95-1,61 Stasioner Pengeluaran Rutin Tidak Pemerintah 0,93-2,65-1,95-1,61 stasioner Pengeluaran Pembangunan Tidak stasioner Pemerintah 0,55-2,65-1,95-1,61 Investasi Swasta Tidak Pekerja 0,64-2,65-1,95-1,61 stasioner Tidak stasioner -0,14-2,65-1,95-1,61 Inflasi -3,46-2,65-1,95-1,61 Stasioner Sumber: Lampiran 2a Dari Tabel 6.1 dapat dilihat bahwa hanya variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang stasioner pada taraf 10 persen (taraf nyata yang digunakan). Sedangkan variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, dan pekerja tidak stasioner baik pada taraf 1 persen, 5 persen maupun 10 persen. Hal ini terlihat dari nilai t-statistik ADF keempat variabel tersebut yang lebih besar dari nilai kritis Mackinnon. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol atau I(0) maka langkah selanjutnya perlu dilakukan pengujian derajat integrasi. Pengujian derajat integrasi sangat penting untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner dan berapa kali harus di-difference untuk menghasilkan variabel yang stasioner. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa variabel-variabel yang digunakan stasioner pada first difference. Adapun hasil pengujian derajat integrasi dapat dilihat pada Tabel 6.2.

46 Tabel 6.2. Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test) Pada First Difference Variabel Nilai ADF t-statistik Nilai Kritis Mackinnon Ket 1 % 5 % 10 % Pertumbuhan Ekonomi -6,60-3,69-2,97-2,62 Stasioner Pengeluaran Rutin Stasioner Pemerintah -6,22-3,70-2,98-2,63 Pengeluaran Stasioner Pembangunan Pemerintah -5,95-3,69-2,97-2,62 Investasi Swasta -6,91-3,70-2,98-2,63 Stasioner Pekerja -7,44-3,70-2,98-2,63 Stasioner Inflasi -6,49-3,70-2,98-2,63 Stasioner Sumber: Lampiran 2b Pada Tabel 6.2 dapat dilihat bahwa semua variabel, baik variabel independen maupun dependen, stasioner pada derajat satu I(1) atau first difference. Hal ini berarti bahwa hipotesis nol ditolak yang artinya semua variabel stasioner pada taraf 10 persen, ditunjukkan oleh nilai t-statistik ADF yang lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon. 6.2. Uji Kointegrasi Tujuan dilakukannya uji kointegrasi yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang diamati. Variabelvariabel tersebut dikatakan saling terkontegrasi jika ada kombinasi linear diantara variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi tersebut harus stasioner. Uji kointegrasi Engel-Granger digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi, pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan inflasi. Hasil uji kointegrasi dapat dilihat pada Tabel 6.3.

47 Tabel 6.3. Hasil Uji Akar Unit terhadap Residual Persamaan Regresi Variabel Nilai ADF Nilai Kritis Mackinnon Ket t-statistik 1 % 5 % 10 % U -5,20-2,65-1,95-1,61 Stasioner Sumber: Lampiran 3a Berdasarkan Tabel 6.3 dapat dilihat bahwa residual dari persamaan yang digunakan berhasil menolak hipotesis nol atau dengan kata lain uji akar unit pada residual U bersifat stasioner pada level atau I(0), sehingga dapat dikatakan bahwa variabel-variabel yang digunakan cenderung menuju pada keseimbangan jangka panjang walaupun pada tingkat level terdapat variabel yang tidak stasioner. Hal ini terlihat dari nilai t-statistik ADF yang lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon 10 persen. Selain itu, koefisien residual U sebesar 0,91 semakin menguatkan bahwa diantara variabel-variabel yang digunakan terdapat kointegrasi (Lampiran 3a). Oleh karena terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel dalam penelitian, maka model jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6.4. Tabel 6.4. Model Jangka Panjang Variabel Koefisien Probabilitas C -22,12 0,00 Pengeluaran Rutin - 2,05 0,02 Pengeluaran Pembangunan 1,32 0,24 Investasi Swasta 0,29 0,49 Pekerja 3,93 0,00 Inflasi - 0,23 0,00 R-squared = 0,86 Prob(F-statistic) = 0,00 Sumber: Lampiran 3b Ket : dalam logaritma Hasil estimasi jangka panjang menunjukkan nilai R-squared sebesar 0,86. Hal ini berarti model pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dapat

48 dijelaskan oleh variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan inflasi sebesar 86 persen. Sedangkan sisanya sebesar 14 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Pada persamaan jangka panjang mempunyai probabilitas F-statistik yang lebih kecil dari taraf yang digunakan yaitu 10 persen, sehingga seluruh variabel eksogen berpengaruh signifikan terhadap variabel endogen secara bersamaan atau serentak. Berdasarkan model jangka panjang tersebut dapat diketahui bahwa semua variabel penelitian memiliki arah yang benar sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Pada pengujian signifikasi secara statistik (t-hitung) diperoleh bahwa variabel pengeluaran rutin pemerintah, pekerja, dan inflasi memberikan pengaruh yang signifikan secara individu terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf 10 persen. Di sisi lain, variabel pengeluaran pembangunan dan investasi swasta tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada taraf 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, tetapi memberikan arah yang sesuai dengan hipotesis yang telah diajukan. Koefisien pengeluaran rutin pemerintah yang bernilai negatif menunjukkan bahwa apabila pengeluaran rutin pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka akan menurunkan atau menghambat pertumbuhan ekonomi sebesar 2,05 persen. Hal ini dikarenakan pengeluaran rutin pemerintah lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti pengeluaran untuk pembayaran cicilan dan bunga utang. Dengan meningkatnya pembayaran cicilan dan bunga utang menyebabkan dana yang semula dianggarkan untuk keperluan investasi domestik digunakan untuk menutupinya, sehingga

49 investasi domestik menurun. Penurunan investasi tersebut pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kweka dan Morissey (2000), investasi publik (pengeluaran pembangunan pemerintah) dapat tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena adanya ketidakefisienan dalam pelaksanaannya. Dalam penelitian ini diindikasikan bahwa penyebab tidak signifikannya pengeluaran pembangunan adalah karena terjadi kebocoran dalam APBN, khususnya dalam pembiayaan pembangunan, sehingga mengakibatkan pengeluaran pembangunan yang dilakukan tidak sebesar nilai dana yang dianggarkan untuk realisasi pembangunan. Selain itu juga karena pada periode penelitian terjadi guncangan bencana alam yaitu gempa bumi dan gelombang tsunami yang melumpuhkan propinsi Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara, sehingga diperlukan peran pemerintah yang besar yaitu dengan mengalokasikan anggaran pembangunan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi dan untuk membangun daerah tersebut kembali. Pengeluaran pembangunan pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa bila pengeluaran pembangunan pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,32 persen. Pengeluaran pembangunan pemerintah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk investasi, salah satunya adalah investasi fisik seperti pembangunan prasarana jalan dan gedung sekolah. Adanya pembangunan tersebut akan meningkatkan

50 permintaan agregat akan bahan bangunan dan jasa yang berhubungan dengan konstruksi. Permintaan agregat akan direspon dunia usaha dengan meningkatkan produksi barang dan jasa. Kemudian peningkatan produksi barang dan jasa tersebut akan meningkatkan output nasional yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,29 mengindikasikan bahwa jika investasi swasta meningkat sebesar 1 persen maka akan mengakibatkan peningkatan pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,29 persen. Namun dalam estimasi jangka panjang investasi swasta tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi perekonomian Indonesia pada periode penelitian mengalami keterpurukan yaitu karena adanya krisis ekonomi yang kemudian mendorong ketidakstabilan politik dan keamanan. Semenjak itu iklim investasi menjadi tidak kondusif sehingga para investor terutama investor asing lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini mengakibatkan investasi yang seharusnya bisa lebih besar terakumulasi menjadi berkurang. Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa adanya peningkatan investasi swasta berarti tersedia akumulasi modal dalam jumlah yang lebih besar sehingga tersedia dana untuk meningkatkan pembangunan. Selain itu investasi tersebut juga dapat mempengaruhi kapasitas produksi yang akan mendorong peningkatan produktivitas untuk menghasilkan output sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

51 Pekerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 3,93. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah pekerja sebesar 1 persen maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,93 persen. Semakin meningkatnya jumlah pekerja maka dapat meningkatkan jumlah output barang dan jasa, dengan asumsi dalam jangka panjang modal adalah fleksibel. Dengan adanya peningkatan output barang dan jasa yang dihasilkan maka output nasional akan meningkat, dan selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Rata-rata inflasi dari tahun 1975 sampai dengan tahun 2004 adalah 12,20 persen per tahun. Jika inflasi meningkat dari 12,20 persen menjadi 12,32 persen maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,23 persen. Kenaikan inflasi dalam jangka panjang akan menghambat investasi karena mempersulit harapanharapan rasional yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang tinggi bagi produsen dirasakan sebagai kenaikan harga barang-barang input produksi. Keterbatasan biaya produksi memaksa produsen mengurangi produksi, dengan kata lain penawaran mengalami penurunan. Penurunan penawaran mengakibatkan penurunan pada output riil. Selain itu inflasi yang tinggi pada jangka panjang akan menurunkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya akan menurunkan daya beli masyarakat. Hal tersebut mencerminkan penurunan kegiatan perekonomian atau dengan kata lain menghambat pertumbuhan ekonomi.

52 6.3. Pendekatan Koreksi Kesalahan 6.3.1. Uji Kebaikan Model ECM Untuk menunjukkan bahwa model jangka pendek yang diperoleh pada penelitian ini terbebas dari masalah pelanggaran asumsi OLS, maka dilakukan uji kebaikan. Adapun hasil uji kebaikan model ECM pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Uji Autokorelasi Berdasarkan hasil uji autokorelasi dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test diketahui bahwa model jangka pendek yang diestimasi terbebas dari masalah autokorelasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 1,00 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen (Lampiran 4a). 2. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas baik dengan menggunakan ARCH-Test maupun White Heteroskedasticity-Test, diperoleh bahwa model jangka pendek yang diestimasi terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0,32 pada ARCH-Test dan 0,33 pada White Heteroskedasticity-Test yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen (Lampiran 4b). 3. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Berdasarkan hasil uji normalitas diketahui bahwa error term

53 terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar 0,98 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen (Lampiran 4c). 6.3.2. Model Koreksi Kesalahan (ECM) Model koreksi kesalahan atau ECM digunakan untuk melihat perilaku jangka pendek dari persamaan regresi dengan mengestimasi dinamika error correction term (U). Setelah diketahui bahwa model ECM terbebas dari masalah pelanggaran asumsi OLS, maka model ECM dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.5. Tabel 6.5. Model Jangka Pendek Variabel Koefisien Probabilitas Pertumbuhan Ekonomi (-1) 0,30 0,01 Pertumbuhan Ekonomi (-2) -0,27 0,08 Pengeluaran Rutin 3,55 0,08 Pengeluaran Rutin (-2) -6,75 0,00 Pengeluaran Pembangunan 2,97 0,09 Pengeluaran Pembangunan (-1) 1,23 0,03 Investasi Swasta 1,43 0,00 Pekerja -6,97 0,01 Pekerja (-2) 8,17 0,00 Inflasi -0,15 0,00 Inflasi (-2) -0,10 0,01 U(-1) -0,58 0,01 R-squared = 0,97 Durbin-Watson stat = 1,72 Sumber : Lampiran 5 Ket : dalam first difference Hasil estimasi ECM menunjukkan nilai R-squared sebesar 0,97. Hal ini berarti model pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dapat dijelaskan oleh variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan inflasi sebesar 97 persen, sedangkan sisanya sebesar 3 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

54 Berdasarkan hasil estimasi model jangka pendek diketahui bahwa variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja dan inflasi signifikan atau berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf 10 persen serta memiliki arah yang benar sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan. Namun variabel yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu variabel dummy krisis ekonomi tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Adapun interpretasi dari hasil estimasi tersebut yaitu secara keseluruhan pengeluaran rutin pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada jangka pendek. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengeluaran rutin bersifat tidak produktif dan tidak mengarah kepada investasi. Salah satu komponen dalam pengeluaran rutin adalah pengeluaran subsidi. Dalam jangka pendek pengeluaran subsidi akan mendorong terjadinya distorsi pasar yang dapat menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian (Sutriono, 2006). Adanya subsidi dari pemerintah akan menurunkan minat investor menanamkan modal karena takut kalah bersaing dengan sektor usaha yang disubsidi oleh pemerintah. Dengan menurunnya investasi tersebut berarti terjadi penurunan akumulasi modal untuk pembangunan yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Koefisien pengeluaran pembangunan pemerintah secara keseluruhan bernilai positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran pemerintah dalam bentuk investasi. Investasi pemerintah dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan

55 permintaan agregat dan akan berpengaruh terhadap output. Misalnya pengeluaran pembangunan sarana pendidikan yaitu pembangunan gedung sekolah dasar. Adanya pembangunan gedung sekolah akan meningkatkan permintaan barang yang berhubungan dengan konstruksi, peralatan atau perlengkapan pendidikan, serta jasa yang terkait dengan pendidikan yang diselenggarakan. Hal ini akan mendorong produsen untuk meningkatkan produksi barang dan jasa, sehingga output meningkat dan selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek investasi swasta berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Samuelson dan Nordhaus, efek jangka pendek yang ditimbulkan bila terjadi perubahan besar pada investasi akan mempengaruhi permintaan agregat, yang pada akhirnya berakibat juga pada output dan kesempatan kerja (Lailatussholiha, 2005). Kemudian selanjutnya akan berpengaruh terhadap peningkatan output nasional atau pertumbuhan ekonomi. Secara keseluruhan pekerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada jangka pendek. Dalam jangka pendek perusahaan tidak dapat menambah output kecuali dengan menambah penggunaan tenaga kerja (Bellante dan Jackson, 1983). Dalam perekonomian agregat berlaku asumsi constant return to scale atau tingkat pengembalian skala yang konstan, maka dengan adanya tambahan jumlah pekerja dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan output barang dan jasa, yang selanjutnya akan mendorong peningkatan output nasional, kemudian pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek secara keseluruhan inflasi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Fenomena ekonomi yang terjadi di

56 masyarakat adalah ketika pemerintah mengumumkan akan ada kenaikan harga, maka dampak psikologis masyarakat langsung timbul. Sebelum pemerintah mengumumkan secara resmi kenaikan harga (misal harga BBM), ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga barang-barang lain (harga umum) biasanya sudah melambung tinggi, terutama ekspektasi harga yang dilakukan oleh para pedagang. Efek yang timbul pada jangka pendek adalah harga-harga atau inflasi melambung tinggi pada awal-awal diterapkannya kebijakan kenaikan harga. Efek tersebut mengakibatkan masyarakat mengurangi konsumsinya sehingga mendorong penurunan konsumsi secara agregat. Penurunan konsumsi secara agregat pada selanjutnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi Berdasarkan hasil estimasi jangka pendek diperoleh bahwa lag pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Koefisien lag pertumbuhan ekonomi sebesar 0,03 berarti apabila pertumbuhan ekonomi pada periode sebelumnya meningkat sebesar 1 persen maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0,03 persen. Nilai koefisien error correction term (U) sebesar 0,58 menunjukkan bahwa disekuilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang sebesar 0,58 persen. Error correction term menunjukkan seberapa cepat ekuilibrium tercapai kembali ke keseimbangan jangka panjang.