I PENDAHULUAN II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor ) PUTRI YASMIN NURUL FAJRI

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

Tabel 3 Aliran energi dan massa III METODOLOGI. Variabel neraca energi. Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 )

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA)

ix

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III DATA DAN METODOLOGI

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

dengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang (data LAI observasi). I. PENDAHULUAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Peta DAS penelitian

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan

BAB V RADIASI. q= T 4 T 4

LAPORAN PRAKTIKUM AGROKLIMATOLOGI

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk membuat agar bahan makanan menjadi awet. Prinsip dasar dari pengeringan

Ditemukan pertama kali oleh Daniel Gabriel Fahrenheit pada tahun 1744

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Transkripsi:

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi karakteristik unsur iklim mikro lainnya seperti suhu udara, arah angin dan sebagainya. Pada daerah perkotaan, unsur-unsur fisis atmosfer sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan aktivitas penggunaan lahan. Aktivitas tersebut membentuk karakteristik iklim mikro yang khas di perkotaan. Salah satu karakteristik iklim mikro yang tampak adalah dengan terbentuknya pulau panas (urban heat island) di mana terdapat perbedaan yang nyata antara suhu rata-rata daerah urban dengan daerah sub-urban. Pada dasarnya, penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap penerimaan radiasi matahari dan kemampuan bahan penutup lahan tersebut dalam melepaskan panas yang diterima dari radiasi matahari. Menurut Wardhani (2006), penutupan lahan berupa penutupan vegetasi, dapat menurunkan suhu di pusat kota dibandingkan dengan daerah pinggiran kota. Dengan pertimbangan tersebut, maka diperlukan eksistesi ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Namun demikian, Perencanaan wilayah perkotaan seringkali kurang memperhatikan aspek fisis perkotaan. Umumnya, pembangunan ruang terbuka hijau hanya dilakukan pada lahanlahan yang kosong dan kurang mencukupi sebagai peredam panas perkotaan. Oleh Karena itu, diperlukan perumusan dalam penentuan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan agar ruang terbuka hijau tersebut dapat secara efektif menciptakan iklim mikro diperkotaan yang nyaman. Pendugaan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dapat ditempuh dengan observasi pengaruh ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu udara di perkotaan. Akan tetapi, untuk dapat diperoleh data yang menggambarkan pengaruh ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan dengan tepat, maka diperlukan kondisi cuaca yang menghampiri kondisi normal di mana tidak terjadi fenomena ENSO pada tahun tersebut. Oleh sebab itu, pendugaan sebaran suhu permukaan pada area yang luas, dilakukan dengan menggunakan teknik teknik penginderaan jauh. Teknik pengindraan jauh selain dapat menghemat biaya dan waktu, dapat pula menyediakan data yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan serta meliputi area kajian yang luas. Dengan demikian, perumusan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan dapat diperoleh melalui ekstraksi komponen neraca energi, suhu permukaan dan jarak antar-ruang terbuka hijau sehingga dapat memudahkan penentu kebijakan dalam perencanaan pembangunan tata kota dan wilayah perencanaan tata ruang di perkotaan. 1.2. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model hubungan antara jarak RTH terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan model tersebut, didapatkan jarak RTH yang efektif, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perencanaan tata ruang perkotaan. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Terbuka Hijau Dalam Undang-Undang no 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 1 ayat 31 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Selanjutnya, pada pasal 29 ayat 3 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1998 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan, terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu : RTH yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi, RTH untuk tujuan keindahan kota, RTH karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga, RTH untuk tujuan pengaturan lalu lintas kota, 1

RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan perumahan, RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang, RTH untuk halaman maupun bangunan rumah dan bangunan Menurut Wardhani (2006), ruang terbuka hijau sangat efektif dalam mengurangi climatological heat effect pada lokasi pemusatan bangunan tinggi yang berakibat pada timbulnya anomali pergerakan zat pencemar udara yang berdampak destruktif baik terhadap fisik bangunan maupun makhluk hidup. 2.2. Citra Satelit Landsat Menurut Kieffer & Lillesand (1997), Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai suatu cara untuk memperoleh informasi dari objek tanpa mengadakan kontak fisik dengan objek tersebut, sedangkan secara khusus adalah usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek. Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber daya alam dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca diantaranya METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS-N dan NOAA-N (USA). The United States Geological Survey USGS (2002), menyebutkan bahwa pemantauan sumber daya yang ada di bumi dapat dilakukan dengan menggunakan Satelit Landsat 5 yang diluncurkan pada tanggal 1 maret 1984. Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit pada 705 km, sun synchronous, dan memetakan bumi dengan siklus pengulangan 16 hari sekali pada pukul 10.00 waktu setempat. Tabel 1 Fungsi dan panjang gelombang tiap kanal dalam satelit Landsat ETM+ ( Lillesan dan Kiefer, 1997) Kanal Panjang Gelombang(µm) Warna Spektral Kegunaan 1 0.45-0.52 Biru Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tanah, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan dan mengidentifikasi budidaya manusia. 2 0.52-0.60 Hijau Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan kenampakan budidaya manusia. 3 0.63-0.69 Merah Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman juga untuk pengamatan budidaya manusia. 4 0.76-0.90 Infra merah dekat Untuk membedakan jenis tumbuhan aktifitas dan kandungan biomassa untuk membatasi tubuh air dan 5 1.55-1.75 Infra merah sedang 6 10.4-12.5 Infra Merah Termal 7 2.08-2.35 Infra merah sedang Sistem Landsat-5 dirancang untuk bekerja 7 kanal atau kanal energi pantulan (kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7) dan satu kanal energi emisi (kanal 6). Sensor ETM+ bekerja pada tiga resolusi, yaitu : pemisahan kelembaban tanah Menunjukkan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan. Untuk menganalisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas. Berguna untuk pengenalan terhadap mineral dan jenis batuan, juga sensitif terhadap kelembaban tumbuhan.. Kanal spektral yaitu kanal 1 hingga kanal 5 dan kanal 7 untuk resolusi 30 meter Kanal 6 bekerja dengan resolusi 120 meter. 2

Dalam menganalisis suhu permukaan, maka kanal yang digunakan adalah kanal 6 yang merupakan satu- satunya kanal yang memilki sensor terhadap thermal IR pada sistem penginderaan jauh. Panjang gelombang yang ditangkap oleh kanal tersebut adalah 10.4-12.5 µm, di mana secara umum memiliki fungsi untuk mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan kelembaban tanah. 2.3. Pengertian dan komponen neraca energi Radiasi netto (Rn) Permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 Kelvin akan memancarkan radiasi sebesar 73,5 juta Wm -2. Radiasi yang sampai di puncak atmosfer rata-rata 1360 Wm -2, hanya sekita 50% yang diserap oleh permukaan bumi, 20% diserap oleh air dan partikel-partikel atmosfer, sedangkan 30% dipantulkan oleh permukaan bumi, awan dan atmosfer. Matahari dapat memancarkan radiasi gelombang pendek, sedangkan benda di alam yang mempunyai suhu permukaan lebih besar dari 0 Kelvin (atau -273 o C) dapat memancarkan radiasi gelombang panjang yang nilainya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaan benda tersebut (Hukum Stefan-Bolzman). Sebagian dari radiasi matahari akan diserap dan dipancarkan lagi dalam bentuk gelombang panjang. Selisih antara gelombang pendek netto dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang hilang disebut radiasi netto yang dirumuskan sebagai berikut: R n = R s +R s +R l +R l (1) dengan R s adalah radiasi gelombang pendek yang datang, Rs adalah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan, R l radiasi gelombang penjang yang dipantulkan dan R l adalah radiasi gelombang penjang yang datang. Sebagian dari radiasi gelombang pendek dipantulkan dan diserap atau diteruskan. Seberapa besar energi pantulannya tergantung pada albedo (α) permukaanya. Gambar 1 Ilustrasi komponen-komponen neraca energy. Sumber : Langensiepen (2003). Berdasarkan pemanfaatan radiasi netto sebagaimana Gambar 1, radiasi netto dapat pula dirumuskan sebagai R n = H+G+λE+S (2) dimana H adalah sensible heat flux, G adalah soil heat flux, λe adalah latent heat flux, S adalah storage. Samson dan Lemeur (2001) dalam tulisannya menyebutkan bahwa radiasi netto yang diterima oleh obyek di muka bumi akan digunakan untuk proses-proses fisis dan biologis yang dirumuskan ke dalam persamaan berikut : R n = S a +S g +S w +S v +S p. (3) di mana R n merupakan radiasi netto, S a adalah sensible heat flux yang seringkali dilambangkan dengan H, S g adalah soil heat flux yang sering dilambangkan dengan G, S w adalah latent heat flux yang sering dilambangkan dengan λe, S v adalah bimass heat storage dan S p adalah photosynthesis heat storage. Keseluruhan pemanfaatan radiasi netto tersebut dinyatakan dalam satuan Wm -2. Berbeda dengan Samson dan Lemeur (2001), Mayers dan Hollinger (2003) dalam tulisannya menjelaskan bahwa G berbeda dengan S g. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), S g merupakan ground heat storage di atas soil heat flux plate (G). Mayers dan Hollinger (2003) juga menyebutkan bahwa terdapat komponen pemanfaatan radiasi netto untuk pemanasan kandungan air (S c ). Dengan demikian, persamaan radiasi netto menurut Mayers dan Hollinger (2003) adalah : R n = H+G+λE+S v +S p +S c. (4) Proses-proses pemanfaatan radiasi netto ke dalam berbagai komponenkomponen di atas akab berinteraksi dengan berbagai obyek di permukaan, termasuk interaksinya terhadap tumbuhan. Pengaruh interaksi radiasi terhadap tumbuhan dibagi menjadi tiga bagian (Ross, 1975 dalam Impron 1999) : 3

Pengaruh thermal radiasi hampir 70% diserap oleh tanaman dan diubah sebagai lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Pengaruh fotosintesis karena hampir 28% dari energi yang ada diserap untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia Pengaruh fotomorfogenetik yaitu sebagai regulator dan pengendali proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sensible Heat Flux (H) Sensible Heat Flux (H) atau yang dikenal dengan lengas terasa atau fluks pemanasan udara merupakan energi yang digunakan untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Maharani, 2005). Fluks lengas terasa pada umumnya berlangsung secara konveksi di mana panas dipindahkan bersama-sama dengan fluida yang bergerak. Proses tersebut dirumuskan kedalam persamaan berikut :..(5) di mana H adalah fluks pemanasan udara (Wm -2 ), ρ adalah kerapatan udara kering (Kgm -3 ), C p adalah panas jenis udara pada tekanan tetap (JKg -1 K -1 ), T s adalah suhu permukaan ( o C), T a adalah suhu udara ( o C) dan Γ a adalah tahanan aerodinamik. Berdasarkan persamaan 5 diatas, diketahui bahwa semakin besar perbedaan antara suhu permukaan dengan suhu udara diatasnya dengan tahanan aerodinamik yang kecil, maka jumlah energi akan menjadi besar. Proses pemanasan udara melalui konveksi lebih efektif dibandingkan dengan konduksi atau radiasi. Oleh karena itu, proses pemanasan udara dalam neraca energi hanya diwakili oleh proses konveksi, sehingga nilai H ~ Rn. Latent Heat Flux (LE) Latent heat flux (LE) merupakan limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Monteith dan Unsworth (1990), fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama. Bila terjadi evaporasi, maka sistem yang berevaporasi mengalami pengurangan energi, sedangkan aliran energi akan bersifat positif (Michael, 2006). Pada proses ini terjadi konversi panas laten menjadi lengas terasa yang kemudian meningkatkan suhu udara dan menurunkan suhu permukaaan. Soil Heat Flux (G) Soil Heat Flux (G) merupakan sejumlah energi matahari yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Bentuk aliran energi pada fluks panas udara berupa konduksi di mana sebagian energi kinetik molekul benda/medium yang bersuhu lebih tinggi dipindahkan ke molekul benda yang lebih rendah melalui tumbukan molekul-molekul tersebut. Hal ini ditunjukkan melalui persamaan berikut :..(6) di mana G adalah fluks pemanasan tanah (Wm -2 ), k adalah koefisien konduktifitas tanah (Wm -2 K -1 ) dan adalah gradient suhu (Km -1 ). Menurut Pusmahasib (2002), limpahan lengas tanah yang sampai di permukaan tanah akan berkurang seiring dengan meningkatnya indeks luas daun suatu vegetasi. Storage (S) Sebagaimana persamaan 2, diketahui bahwa pemanfaatan radiasai netto selain digunakan untuk sensible heat flux, soil heat flux dan latent heat flux, radiasi netto yang diserap akan digunakan sebagai komponen storage. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), komponen storage terdiri dari penggunaan radiasi netto untuk adveksi, pengubahan energi menjadi biomasa (S v ), energy untuk fotosintesis (S p ) dan memanaskan sejumlah air yang terkandung di dalam suatu obyek terutama pada vegetasi (S c ). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jing et. al. (2006), adveksi merupakan pemanfaatan radiasi netto untuk proses pemanasan secara horizontal. Adveksi dipengaruhi oleh energi yg tersedia, kandungan air, kecepatan angin dan gradien vertical dari suhu udara.dalam penelitian tersebut, didapatkan pula adanya ragam spasial pada proses adveksi. Samson dan Lemeur (2001) menyebutkan bahwa penggunaan komponen storage pada radiasi nettto tidak sebesar pemanfaatan radiasi netto untuk G, LE dan H. Terkadang, komponen S hanya dipertimbangkan sebagai fraksi yang tetap pada pemanfaatan R n oleh suatu obyek karena sulitnya menentukan heat storage terutama S p ( (Aston (1985) dalam Samson dan Lemeur (2001)). Penelitian yang dilakukan oleh Samson dan Lemeur (2001) di Belgia (50 o 58 LU 4

dan 3 o 49 BT) menyatakan bahwa peningkatan dan penurunan penggunaan radiasi netto mengubah energi menjadi biomasa (S v ) sebanding dengan sensible heat flux. Selain itu, Samson dan Lemeur (2001) juga menyebutkan bahwa pemanfaatan radiasi netto untuk proses fotosintesis (S p ) pada tumbuhan pinus hanya sebesar 3% dari keseluruhan radiasi netto yang diterima vegetasi tersebut. 2.4. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Departemen Kehutanan 2001 mendefinisikan NDVI ( Normalized Difference Vegetation Index ) sebagai suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal infra merah dan kanal merah dekat yang menunjukkan tingkat konsentrasi klorofil daun yang berkorelasi dengan kerapatan vegetasi berdasarkan nilai spektral pada setiap piksel. Sementara Panuju (2009) mendefinisikan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai nilai indeks tanpa satuan yang menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu hamparan yang dirumuskan sebagai (7) di mana NIR adalah gelombang infra merah dekat (0.76-0.90 µm) dan IR adalah gelombang infra merah (0.63-0.69 µm). Menurut Knipling (1970), vegetasi memiliki reflektansi yang rendah terhadap gelombang cahaya tampak dan IR karena sebagian besar gellombang cahaya tampak tersebut diserap oleh klorofil dan sebagian besar IR pada panjang gelombang di atas 1.3 µm akan diserap oleh air. Sebaliknya, vegetasi akan merefleksikan sebagian besar gelombang infra merah dekat yang diterimanya. Perhitungan NDVI merupakan perbandingan antara reflektansi gelombang infra merah dekat dengan gelombang cahaya tampak. Nilai NDVI berkisar dari -1 hingga +1. Nilai tersebut mengindikasikan tingkat kesuburan dan kerapatan vegetasi dari suatu penutupan lahan. Semakin rapat dan subur suatu vegetasi, maka nilai NDVI akan menunjukkan nilai yang tinggi, sedangkan pada area yang telah terjadi pembukaan lahan akan menunjukkan nilai NDVI yang rendah. Nilai NDVI positif (+) terjadi apabila suatu obyek lebih banyak memantulkan gelombang inframerah dekat dibandingkan dengan infra merah. Nilai NDVI nol (0) terjadi apabila pemantulan gelombang inframerah sama dengan pemantulan gelombang infra merah. Nilai NDVI negatif (-) terjadi apabila suatu awan, salju dan badan air memantulkan gelombang infra merah yang lebih banyak dibandingkan dengan gelombang inframerah dekat. Menurut Allen et. al (2001) terdapat hubungan antara nilai NDVI, soil heat flux (G), radiasi netto, albedo dan suhu permukaan : G = f (R n, T s, α, NDVI ).(8) dirumuskan sebagai berikut : NDVI 4 )..(9) (1-0.98 di mana : G = soil heat flux (Wm -2 ) Ts = suhu permukaan (K) NDVI = indeks vegetasi Rn = radiasi netto (Wm -2 ) α = albedo. Panuju (2009) menyatakan bahwa pendugaan indeks vegetasi dengan menggunakan NDVI memiliki berbagai keuntungan. Pertama, NDVI potensial untuk mempelajari tanaman. Kedua, NDVI dapat digunakan untuk memisahkan tipe permukaan bervegetasi. Ketiga, NDVI merupakan indeks vegetasi yang relatif tidak sensitif terhadap topografi. Menurut Darmawan (2005), berdasarkan beberapa studi menunjukkan bahwa indeks vegetasi (NDVI) menunjukkan bahwa NDVI sebagai parameter terbaik dalam membedakan berbagai kelas vegetasi. Minimum NDVI adalah nilai NDVI minimal dan umumnya merupakan titik terendah dari kegiatan fotosintesis, sementara maksimum NDVI adalah nilai maksimum yang merupakan titik tertinggi aktivitas fotosintesis. 2.5. Suhu Permukaan Menurut Rosenberg (1974), suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu objek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Ketika radiasi melewati permukaan suatu objek, fluks energi tersebut akan meningkatkan suhu permukaan objek. 5

Hal ini akan meningkatkan fluks energi yang keluar dari permukaan benda tersebut. Energi panas tersebut akan dipindahkan dari permukaan yang lebih panas ke udara diatasnya yang lebih dingin. Sebaliknya, jika udara lebih panas dan permukaan lebih dingin, panas akan dipindahkan dari udara ke permukaan dibawahnya. Perubahan suhu permukaan obyek tidaklah sama. Hal ini tergantung pada karakteristik objek tersebut. Karakteristik yang menyebabkan perbedaan tersebut diantaranya emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Suhu permukaan objek akan meningkat bila memiliki emisivitas dan kapasitas panas yang rendah dan konduktivitas termalnya tinggi (Adiningsih, 2001). Emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan. Emisivitas adalah rasio total energi radian yang diemisikan suatu benda per unit waktu per unit luas pada suatu permukaan dengan panjang gelombang tertentu pada temperatur benda hitam pada kondisi yang sama. Konduktivitas termal dapat didefinisikan sebagai kemampuan fisik suatu benda untuk menghantarkan panas dengan pergerakan molekul. Kapasitas panas merupakan jumlah panas yang dikandung oleh suatu benda (Handayani 2007 ). 2.6. Neraca Energi Tiap Penutupan Lahan bervegetasi Menurut Waspadadi (2007), ruang terbuka hijau dengan luasan 30x30 meter mampu menurunkan suhu udara di lahan terbangun sebesar 0,0631 o C. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diidentifikasi bahwa bila RTH mampu menurunkan suhu udara. Oleh karena itu, RTH juga mampu menurunkan suhu permukaan pada penutupan lahan non-vegetasi. Dengan demikian, dapat dipertimbangkan bahwa luasan RTH mempengaruhi kondisi suhu permukaan disekitaanya dan dapat digunakan sebagai peubah penjelas dari peubah respon berupa suhu permukaan. Pada penelitian yang dilakukan Waspadadi (2007) juga diketahui bahwa dengan penambahan 213,75 m lahan bervegetasi pada 3 poligon (14.850 m 2 ) mampu menggeser rentang suhu permukaan yaitu dari selang 21-33 o C menjadi 23-32 o C. Persawahan Pusmahasib (2002) menjelaskan bahwa pada lahan bervegetasi tanaman padi sawah, radiasi netto yang mencapai permukaan tanah akan berkurang. Hal ini terjadi karena sebagian dari radiasi netto akan mengenai tanaman sebelum mencapai permukaan tanah. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa untuk penutupan lahan berupa persawahan, nilai fluks pemanasan udara (H) berfluktuasi sesuai dengan perkembangan umur tanaman padi. Fluks pemanasan udara relatif besar terjadi pada awal umur tanaman padi dan akan menurun ketika tajuk tanaman mulai rapat. Kondisi ini dikarenakan pada saat tersebut tanaman masih muda dengan rumpun yang masih renggang, sehingga radiasi global yang datang langsung mengenai air pada lahan sawah. Akibatnya suhu air akan tinggi dan akan terjadi peningkatan limpahan lengas terasa. Ketika tanaman mulai tumbuh dan tajuk tanaman mulai rapat, radiasi yang sampai ke permukaan tanah akan menurun karena tajuk tanaman padi yang rapat menghalangi penerimaan langsung radiasi ke tanah. Nilai H pada persawahan akan meningkat saat menjelang panen karena terjadi perontokan tanaman padi dan pembukaan lahan akibat proses pemanenan. Pada rujukan yang sama, diketahui bahwa untuk daerah persawahan, LE (latent heat) yang terjadi cukup tinggi dan berbanding lurus terhadap penerimaan radiasi netto yang mengenai kawasan persawahan tersebut. Nilai LE akan menurun seiring dengan umur tanaman dan akan meningkat pada saat menjelang panen. Hal ini dikarenakan pada saat umur tanaman masih muda, lahan sawah masih terairi sehingga kelembaban udara di sekitar tanaman akan meningkat dan defisit tekanan uap air akan menurun, akibatnya nilai LE akan berkurang. Sebaliknya, pada saat akhir tanam, pengairan pada lahan mulai dikurangi, maka kelembaban udara akan turun sehingga terjadi peningkatan defisit tekanan dan mengakibatkan LE juga akan meningkat. Sementara itu, untuk nilai fluks panas tanah (G) pada persawahan, nilainya akan berkurang seiring dengan pertambahan umur tanaman padi sawah dan akan meningkat kembali pada saat tanaman padi sawah menggugurkan daunnya ketika menjelang panen. Vegetasi tinggi Dalam Impron (1999), kanopi tanaman memiliki tiga sifat optikal, yaitu refleksivitas, transmisivitas dan absorbsivitas. Refleksivitas merupakan proporsi kerapatan fluks radiasi matahari 6

yang direfleksikan oleh unit indeks luas daun atau kanopi, sedangkan transmisivitas adalah proporsi kerapatan fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit indeks luas daun. Absorbsivitas dapat didefinisikan sebagai proporsi kerapatan fluks radiasi yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun. Dalam June (1993), radiasi surya yang sampai di permukaan kanopi tanaman ± 85% akan diserap dan kurang dari 10% akan dipantulkan. Sedangkan bagian yang tidak diintersepsi akan diteruskan atau ditransmisikan ke bagian bawah kanopi sebesar 5%. Proses penyerapan, pemantulan dan penerusan radiasi pada area tanaman akan menyebabkan terjadinya perubahan spektrum dari radiasi surya di puncak, tengah dan dasar kanopi. Keadaan ini mempunyai implikasi penting untuk tanaman yang tumbuh di bawah kanopi yang tebal. Faktor yang mempengaruhi penetrasi radiasi surya ke dalam tajuk meliputi sudut berdirinya daun, sifat permukaan daun, ketebalan daun (transmisi radiasi), ukuran daun, elevasi matahari serta proporsi dari radiasi langsung dan baur tajuk tanaman. Dalam suatu vegetasi, bila indeks pantulan yang terjadi adalah (ρ), indeks transmisi (η), dan indeks absorbsi (α), maka keseimbangan radiasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Impron, 1999) : ρ + η + α = 100%...(10) Koefisien pemadaman (extinction coefficient) tajuk tanaman menggambarkan besarnya kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman, mulai dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (June, 1993). Distribusi cahaya dalam kanopi tanaman merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman dan efisiensi konversi penerimaan radiasi menjadi bahan kering (June, 1993). Koefisien pemadaman dapat menjelaskan bagaimana hubungan karakteristik kanopi tanaman dan intersepsi radiasi. Nilai koefisien pemadaman (k) bergantung pada spesies, tipe tegakan, dan distribusi daun. Nilai k kurang dari 1 terdapat pada kondisi dedaunan yang tidak horizontal atau distribusi daun tidak merata (merumpun). Sementara nilai k lebih dari 1 terdapat pada distribusi daun yang tersebar merata (June, 1993). Yoshida (2009) menyatakan bahwa pada penutupan lahan berupa hutan dengan vegetasi tinggi yang rapat, akan memancarkan 70% fluks panas laten dan 30% lengas terasa dari radiasi netto yang diterimanya. Untuk daerah urban, radiasi netto yang diserap oleh vegetasi menjadi lebih besar dibandingkan dengan wilayah hutan. Selanjutnya disebutkan dalam Rauf (2009) bahwa kandungan air pada tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput, sehingga kebutuhan panas laten untuk mengevaporasikan air pada permukaan tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput. Rumput/semak Menurut Newton & Blackman (1970), rumput memiliki tekstur daun yang kasar dan berujung runcing, tekstur ini menyebabkan radiasi yang diterimanya akan dipancarkan lebih besar dibandingkan dengan daun yang bertekstur halus. Hal ini menyebabkan rumput akan memancarkan suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu permukaan pada daun bertekstur halus. Tabel 2 Neraca energi pada vegetasi tinggi dan rumput Hutan/ Variabel Vegetasi Rumput neraca tinggi (MJm -2 hari -1) energi (MJm -2 hari -1) Rn 11.28±2.74 10.21±2.5 LE 8.41± 6.50 4.21±2.4 H 2.85±6.16 6.00 2.7 G 0.02±0.59 0.01±0.2 Sumber : Rauf (2009) Pada penelitian yang dilakukan Rauf (2009) diketahui bahwa radiasi global yang diterima rumput akan lebih besar nilainya dibandingkan dengan radiasi global yang diterima oleh vegetasi tinggi. Di kawasan Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu, padang rumput menerima radiasi global 19.19 MJm -2 hari -1, sedangkan vegetasi tinggi akan menerima radiasi global sebesar 18.55 MJm -2 hari -1 pada hari tidak hujan. Selain itu, terdapat pula perbedaan radiasi netto pada rumput dan vegetasi tinggi yang disebabkan oleh perbedaan albedo kedua penutupan lahan tersebut. Monteith (1975) melaporkan hasil penelitian Marriam (1961) dan Leyton (1967) bahwa kapasitas tajuk rumput adalah 0.5-0.9 mm. 7

Tabel 3 Aliran energi dan massa Variabel neraca energi Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 ) Rumput (MJm -2 hari -1 ) Rn 11.28±2.74 10.21±2.53 LE 8.41± 6.50 4.21±2.48 LE/Rn 74.56 41.23 H 2.85±6.16 6.00 2.69 H/Rn 25.27 58.77 Aliran massa 3.43 1.72 Sumber : Rauf (2009) Ladang Pada penelitian yang dilakukan oleh Jose dan Berrade (1983) di Calobozo Biological Station, USA, dihasilkan bahwa dengan penghitungan Radiasi netto, sensible heat flux, latent heat flux dan soil heat flux melalui pendekatan neraca energi selama musim basah dihasilkan radiasi netto yang diserap oleh tanaman ladang ladang seperti singkong dengan radiasi yang cukup rendah pada siang hari, pada umumnya radiasi netto yang diru bah menjadi panas laten sebesar 76 hingga 86 persen. Proses tersebut bergantung pada fase-fase pertumbuhan tanaman pada ladang dan tutupan kanopi tanaman tersebut. Selanjutnya, disebutkan bahwa sensile heat flux pada ladang akan mencapai maksimum terjadi pada tengah hari. Tabel 4 Neraca energi (MJm -2 ) pada ladang singkong di sabana pada musim basah komponen Periode observasi 50 84 115 153 Hari setelah pemupukan Rl 18.4 21.5 9.6 18.5 Rn 14.1 12.7 5.0 11.4 G 0.3 0.5 0.2 0.7 H -1.8-7.5-0.9-5.5 LE - 12.2-8.1-3.9-5.3 Sumber : Lean, 1996. III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan April 2011 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data diantaranya: Perangkat lunak Erdas 9.1 untuk mengklasifikasikan penutupan lahan pada wilayah kajian serta menentukan berbagai komponen-komponen NDVI, neraca energi, suhu permukaan dan albedo. Perangkat lunak ArcGIS 9.3 digunakan untuk menentukan jarak dengan prinsip Euclidean distance, menentukan titik amatan dan memperoleh berbagai komponen-komponen sebagai peubah penjelas dan peubah respon berdasarkan titik amatan. Perangkat lunak Ms. Office 2010 untuk mengolah data yang diperoleh dan melaporkan hasil penelitian. Perangkat lunak Minitab 15.0 sebagai perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh menggunakan alasisa statistik Perangkat lunak R 2.13.0 untuk mentransformasi matrik yang diperoleh pada Erdas 9.1. 8