PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropika merupakan salah satu ekosistem yang banyak menarik minat orang untuk mempelajarinya. Oleh karena itu pengelolaan hutan tropika saat ini banyak mendapat perhatian baik dari masyarakat umum maupun kalangan ilmuwan. Alasan utamanya adalah hutan tropika berada di daerah tropis dimana absorpsi energi matahari terjadi dalam jumlah besar dan peranannya yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan carbon global, serta keberadaannya dimasa mendatang semakin terancam akibat makin meningkatnya tekanan terhadap kelestariannya. Intervensi manusia dalam pemanfaatan hutan tropis baik pada masa silam maupun sekarang merupakan pengalaman yang konsekuensinya tidak dapat dihindarkan, yaitu adanya kerusakan ekosistem hutan seperti menurunnya suplai air, erosi, pemadatan tanah dan pencucian hara serta kerusakan vegetasi. Diperkirakan bahwa pertumbuhan dan laju regenerasi menurun pada areal bekas tebangan. Namun demikian, informasi tentang pengaruh penebangan hutan terhadap ekosistem hutan dalam jangka panjang, terutama perubahan vegetasi, iklim dan tanah bervariasi menurut waktu dan metode penebangan, kondisi iklim setempat, topografi dan karaktersitik tanah. Sehubungan dengan kerusakan hutan tersebut di atas maka Jordan (1985) menyatakan bahwa tingkat kerusakan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kategori pertama mencakup skala kecil seperti pohon tumbang secara alami yang membentuk celah (gap). Kategori kedua adalah tebang pilih dan perladangan berpindah. Adapun yang tergolong kelompok ketiga adalah tebang habis untuk tujuan lain seperti hutan tanaman atau perkebunan. Sistem tebang pilih merupakan penebangan yang diberlakukan terhadap pohon-pohon dengan batasan diameter tertentu dan dari jenis komersial, dengan tujuan untuk menghasilkan hutan campuran tidak seumur. Kerusakan terhadap
vegetasi serta tanah dalam areal tebangan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan (Bruijnzeel dan Critchley 1994). Kawasan hutan sekunder yang ada saat ini merupakan hutan bekas tebangan yang menggunakan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Berdasarkan hasil evaluasi dan kenyataan di lapangan, pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia dengan sistem TPTI selama ini belum menunjukkan adanya pembinaan hutan, berupa tanaman pengayaan dan pemeliharaan yang nyata intensif. Untuk mengatasi kekurangan tersebut perlu dirancang suatu sistem silvikultur dimana dapat lebih memberikan kemudahan terhadap kegiatan penanaman dan pemeliharaan serta peningkatan pertumbuhan tanaman. Sistem tersebut kemudian dikenal dengan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) sebagai salah satu contoh selective sistem atau selective logging merupakan sistem pengelolaan hutan alam produksi yang diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan dan sudah berlangsung ± 5 tahun di dua HPH, diantaranya PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah, kini menjadi salah satu alternatif yang patut dipertimbangkan untuk memperbaiki kualitas hutan alam bekas tebangan yang rusak melalui penanaman beberapa jenis tanaman meranti dengan sistem jalur. Dalam sistem ini batas diameter tebangan diturunkan sampai 40 cm sehingga produksi kayu per ha menjadi lebih besar. Disisi lain sebagai akibat dari penurunan tersebut terjadi perubahan pada komposisi dan struktur vegetasi serta iklim mikro yang lebih luas sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perubahan lingkungan yang cukup besar pada areal penebangan tersebut. Secara umum perubahan struktur dan komposisi vegetasi akan mempengaruhi suhu dan kelembaban tanah yang dapat menurunkan kualitas tanah. Kualitas tanah merupakan gambaran utuh dari suatu kondisi spesifik tanah untuk melakukan fungsinya (Karlen et al. 1997). Untuk itu maka kajian tentang perubahan kualitas tanah merupakan studi yang sangat penting dalam praktek sistem TPTJ yang selama ini belum banyak dibahas. Informasi tentang kualitas tanah, sebagai indikator yang bersifat sensitif, dapat digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan menurunnya produktivitas hutan dan 2
banyaknya carbon yang disimpan di dalam tanah hutan. Lebih lanjut lagi, informasi kualitas tanah akan turut membantu di dalam meneliti beberapa kunci penting ekosistem hutan, seperti produktivitas dan kelestarian sistem pengelolaan hutan, konservasi sumberdaya tanah dan air, serta kontribusi kawasan hutan terhadap siklus carbon global (O Neill dan Arnacher 2004). Dengan demikian kualitas tanah merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan isu kelestarian dan lingkungan (Lal 1998). Penelitian dalam bidang ini sangat perlu dilakukan untuk mengkaji kecenderungan hubungan keterkaitan antara kualitas tanah dengan perubahan vegetasi dan iklim mikro dalam sistem TPTJ, serta identifikasi parameter kualitas tanah yang sensitive sebagai indikator awal untuk perbaikan ekosistem. Perumusan Masalah Secara umum, praktek tebang pilih yang diterapkan di dalam areal konsesi hutan (HPH) telah menyebabkan perubahan baik vegetasi, iklim mikro maupun sifat tanah (Bruijnzeel dan Critchley 1994; Lal 1995). Berbagai studi menunjukkan adanya peningkatan hilangnya hara sebagai akibat deforestasi (Vitousek 1981; Van Migroet dan Johnson 1993). Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut sangat menentukan produktivitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumberdaya hutan di daerah tropis. Menurut teori, pengelolaan sumberdaya alam (hutan) akan lestari jika tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah (Lal dan Miller 1993). Pengelolaan hutan yang berbasis pada cadangan hara yang rendah, karena adanya penebangan, perubahan jumlah dan kualitas bahan organik, erosi dan pencucian hara mempunyai sifat tidak lestari (Lal 1995). Dengan kata lain kelestarian suatu sistem penggunaan lahan terkait secara langsung dengan kualitas tanah yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Kualitas tanah memuat dua aspek, yaitu aspek yang bersifat pokok (intrinsic part) yang mencakup kapasitas yang melekat pada sifat tanah tersebut 3
untuk pertumbuhan tanaman, dan aspek dinamik (dynamic part) yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan terhadap tanah tersebut (Carter et al. 1997). Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem TPTJ merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam sistem TPTJ adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan jalur tanam (jalur bersih). Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan anakan dari kelompok jenis meranti, namun di sisi lain dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi kemudian dipertanyakan. Untuk memahami perubahan baik fungsi ekosistem maupun struktur ekosistem akibat penerapan sistem silvikultur TPTJ maka diperlukan penelitian untuk melihat bagaimana trend atau kecenderungan kualitas tanah pada areal TPTJ umur 0, 1, 2, 3, 4, 5 tahun dan hutan alam sebagai pembanding. Untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah, indikator kunci biologi, kimia dan fisik harus diidentifikasi atau dievaluasi untuk melihat sensitivitas dari indikator tersebut terhadap sistem silvikultur TPTJ. Beberapa parameter penting dari sifat tanah yang menentukan kualitas tanah dalam penelitian ini adalah sifat fisik tanah (bobot volume dan stabilitas agregat), sifat kimia tanah (ph, C-total, N-total, N- anorganik) dan sifat biologi tanah (biomassa mikroorganisme tanah). Selain itu struktur ekosistem juga perlu diketahui untuk melihat struktur vertikal dan horizontal, dan iklim mikro pada plot yang sama. Kerangka Pemikiran Salah satu perhatian utama dari dampak penebangan hutan adalah timbulnya dampak lokal yang berkaitan dengan perubahan vegetasi, iklim mikro dan sifat tanah. Kerangka pemikiran sebagai landasan untuk melakukan penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Adapun landasan teoritisnya dijelaskan melalui uraian di bawah ini. 4
Secara umum sistem tebang pilih telah menyebabkan perubahan pada struktur tegakan dan komposisi jenis. Kerapatan tegakan mengalami penurunan setelah penebangan meskipun intensitas penebangan tergolong rendah. Perubahan komposisi jenis ditandai oleh adanya peningkatan kerapatan regenerasi per ha pada lahan bekas tebangan dibandingkan hutan primer (Kobayashi 1994; Riyanto 1995). Perubahan yang terjadi pada struktur tegakan mengakibatkan perubahan iklim mikro terutama suhu udara, suhu tanah dan kelembaban udara yang sangat drastis pada lahan terbuka sedangkan suhu tanah di bawah tegakan tinggal relatif tetap rendah. Kelembaban tanah lapisan atas (topsoil) menjadi lebih rendah di bawah tegakan tinggal dibandingkan lahan terbuka sebagai akibat menurunnya proses evapotranspirasi. Akibat meningkatnya suhu tanah dan menurunnya kelembaban tanah akan mempengaruhi secara tidak langsung sifat kimia tanah, sedangkan perubahan sifat fisik tanah terjadi akibat aktivitas penebangan dan pergerakan alat berat selama penebangan tersebut (Binkley 1986; Kobayashi 1988 dalam Kobayashi 1994 ). Ada tiga faktor kombinasi yang menyebabkan peningkatan hilangnya unsur hara akibat penebangan (Binkley 1986). Pertama, kondisi lingkungan pada lantai hutan menjadi terbuka sehingga suhu meningkat dan kelembaban tanah menurun, dan pada saat yang sama ketersediaan residu organik juga meningkat. Kondisi seperti ini akan meningkatkan laju dekomposisi dan pelepasan hara. Kedua, penyerapan hara oleh pohon menurun. Ketersediaan hara mencapai puncaknya ketika penyerapan hara minimal. Ketiga, proses nitrifikasi meningkat akibat tingginya ketersediaan ammonium. Pernyataan ini didukung oleh studi yang menyatakan bahwa penebangan meningkatkan ketersediaan ammonium yang ditransformasi menjadi nitrat (Vitousek dan Matson 1985). Pemadatan tanah dilaporkan sebagai bentuk utama kerusakan yang diakibatkan oleh lalu lintas alat berat dalam penebangan (harvesting traffic). Pemadatan menyebabkan bobot volume tanah meningkat, menurunkan pergerakan air dan udara dalam tanah sehingga menghambat pertumbuhan akar dan meningkatkan limpasan air permukaan serta erosi (Greacen dan Sands 1980). 5
Perubahan struktur vegetasi juga mengakibatkan penurunan kandungan bahan organik tanah (BOT) dengan cepat akibat meningkatnya proses dekomposisi. Indikasi penurunan BOT biasanya diukur melalui perubahan bagian BOT aktif yang berupa biomassa mikroorganisme tanah (soil microbial biomass = C-mic) (Daly et al. 1993 dalam Anas et al. 1995). Informasi tentang perubahan biomassa mikroorganisme tanah setelah penebangan mempunyai arti penting karena memberikan indikasi status BOT yang mempengaruhi kesuburan tanah (Henrot dan Robertson 1994). Untuk itu penurunan BOT perlu diwaspadai sedini mungkin. Perubahan ketiga sifat tanah di atas akan berdampak pada menurunnya kapasitas tanah dalam melakukan fungsinya untuk mendukung pertumbuhan pohon. Respon sifat-sifat tanah terhadap suatu sistem penggunaan lahan mengandung pengertian adanya perubahan terhadap kualitas tanah. Oleh karena itu untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah maka indikator kunci biologi, kimia dan fisik tanah harus diidentifikasi dan dievaluasi sehingga dapat dilihat sensitivitas indikator tersebut terhadap sistem pengelolaan lahan (Handayani 2001). Isu kualitas tanah erat kaitannya dengan kelestarian suatu sistem penggunaan lahan dan lingkungan. Produktivitas dan kelestarian hutan ditentukan melalui interaksi antara kualitas tanah, faktor lingkungan dan manajemen (Lal 1998). Stabilitas ekosistem sebagai gambaran dari suatu pengelolaan lahan yang lestari dicirikan oleh adanya stabilitas biologi (biological stability) yang menyangkut struktur dan komposisi vegetasi dan stabilitas ekologi (ecological stability) yang berkaitan dengan aliran hara (Foelster 1993). 6
Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan TPTI Sistem TPTJ Bekas Tebangan Perubahan Vegetasi Perubahan Iklim Perubahan Kondisi Tanah Kualitas Tanah Struktur Ekosistem Produktivitas Hutan Pengukuran dan Analisis Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membandingkan perubahan vegetasi dan kualitas tanah pada areal TPTJ umur 1 sampai 5 tahun, hutan bekas tebangan dengan sistem TPTJ, dan hutan primer. 7
2. Mengidentifikasi indikator kualitas tanah yang sensitif terhadap perubahan ekosistem hutan. 3. Menentukan lebar jalur tanam yang ideal bagi pertumbuhan tanaman meranti. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1. Terjadi perubahan vegetasi dan penurunan kualitas tanah pada tahap awal pembuatan jalur tanam pada sistem TPTJ. 2. Carbon biomassa mikroorganisme tanah (C-mic) merupakan indikator kualitas tanah yang bersifat peka untuk menilai perubahan bahan organik tanah. 3. Ada pengaruh lebar jalur tanam terhadap pertumbuhan tanaman meranti. Manfaat Penelitian Dengan tersedianya data kuantitatif, baik vegetasi, pertumbuhan tanaman dan kualitas tanah diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang interaksi antar komponen ekosistem hutan bekas tebangan yang dikelola dengan sistem TPTJ. Informasi ini diharapkan dapat membantu pihak pengelola hutan dalam merencanakan dan mengembangkan sistem TPTJ di areal Hak Pengusahaan Hutan PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. Selain itu dapat memberi pertimbangan dari segi ilmiah dalam pengambilan keputusan penerapan sistem TPTJ dalam skala luas. 8