I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gerakan reformasi yang menurunkan Pemerintah Orde Baru pada bulan Mei 1998 telah mendorong timbulnya perubahan aspirasi rakyat untuk menuntut perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Salah satu diantara tuntutan perubahan kepada pemerintah pusat adalah desentralisasi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menanggapi tuntutan tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan pembaharuan atas komitmen politiknya untuk membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun dua undang-undang baru, yakni: Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undangundang tersebut berfungsi sebagai dasar hukum untuk mendesentralisasikan kekuatan politik dan ekonomi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Politik desentralisasi ini kemudian dikenal juga dengan istilah Otonomi Daerah dan resmi diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001 (Suharyo, 2000). Kedua undang-undang tersebut ditetapkan sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 memberikan otonomi penuh pada kabupaten/kota (Daerah Tingkat II) dan otonomi parsial pada provinsi (Daerah Tingkat I). Undang-undang ini juga menetapkan 11 bidang pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota, yaitu: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
2 kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Sementara itu, daerah provinsi mendapat kewenangan untuk melaksanakan pelayanan publik yang terbatas dan tugas-tugas yang didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 menetapkan sistem pembagian keuangan baru, dimana pemerintah daerah akan mendapat bagian yang lebih besar dari pemanfaatan sumberdaya alam. Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan tanggung jawab atas perencanaan, pengaturan, pembiayaan dan pelayanan kepentingan (jasa) publik berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan adanya pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat (Suharyo, 2000). Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 diharapkan membawa perubahan pada penataan kewenangan, sumberdaya aparatur/personil, keuangan daerah, manajemen pelayanan publik maupun sistem kelembagaan daerah. Dalam hal penataan kelembagaan daerah, adanya Undang-Undang tersebut telah memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyusun dan menata kelembagaannya sesuai dengan karakteristik dan keanekaragaman budayanya. Selain perubahan struktur kelembagaan, kebijakan otonomi daerah juga memberikan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan kata lain bahwa, konsekuensi atas penyerahan kewenangan dari pusat kepada daerah akan diikuti dengan penyerahan kewenangan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah (desentralisasi fiskal). Menurut Isdijoso et al. (2001), dari sisi penerimaan, desen tralisasi fiskal merupakan keleluasaan
3 bagi daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan (baru) sebagai tuntutan pembiayaan rutin dan pembangunan. Sedangkan dari sisi pengeluaran, desentralisasi fiskal merupakan kewenangan daerah dalam menentukan alokasi dan prioritas penggunaan dana bantuan pembangunan dari pusat. Perubahan -perubahan yang terjadi atas sistem pemerintahan daerah (kelembagaan maupun pengelolaan keuangan daerah) akibat penerapan kedua Undang-Undang tersebut akan mempengaruhi kegiatan perekonomian daerah. baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu visi otonomi daerah di Indonesia adalah untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan lokal sehingga pendayagunaan potensi ekonomi di masing-masing daerah dapat dioptimalkan (Rasyid, 2001). Oleh sebab itu, hasil akhir yang sangat diharapkan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan kegiatan perekonomian daerah. Penerapan kebijakan desentralisasi yang tepat dapat mendorong dan mempercepat pembangunan daerah melalui penciptaan dukungan yang lebih besar pada kegiatan perdagangan dan investasi (Isdijoso et al., 2001). Menurut Mahi (2000), dengan adanya otonomi daerah, terjadi perubahan mendasar dalam pembangunan daerah di Indonesia. Implikasi yang paling penting dari kebijakan otonomi daerah adalah terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daerah. Salah satu kabupaten di Indonesia yang menerima otonomi penuh semenjak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah pada tahun 2001 adalah kabupaten Pasuruan. Kabupaten ini merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur yang jika dilihat dari letak geografisnya, wilayah Kabupaten Pasuruan terletak
4 pada jalur segitiga Surabaya-Malang-Bali yang sangat strategis sebagai wilayah pengembangan investasi Provinsi Jawa Timur untuk menopang pertumbuhan ekonomi regional (Dinas Informasi & Komunikasi, 2002). Dari hasil studi KPPOD (Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), daya tarik investasi kabupaten Pasuruan menurut persepsi pengusaha menduduki peringkat ke-60 dari 134 sampel kabupaten/kota di Indonesia. Jika dilihat dari potensi ekonominya maka Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu dari 10 kabupaten/kota yang memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tertinggi di Jawa Timur (BPS, 2001a). Pada permulaan pelaksanaan dan penerapan undang-undang otonomi daerah, kinerja perekonomian daerah Kabupaten Pasuruan mengalami perkembangan yang relatif baik dimana laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2001 adalah sebesar 3.74 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang mencapai 3.59 persen. Bahkan pada tahun 2001 tersebut laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Pasuruan melebihi laju pertumbuhan PDB Nasional yang hanya 3.44 persen maupun PDRB Jawa Timur (3.34 persen), sedangkan pendapatan per kapita yang dicapai pada tahun 2001 adalah sebesar Rp 2 908 903.26 juta. Struktur ekonomi Kabupaten Pasuruan selama tahun 2000-2003 didukung oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, pertanian dan perdagangan (Tabel 1). Pada tahun 2003, sektor industri pengolahan memegang porsi terbesar sebagai penyumbang PDRB kabupaten Pasuruan dengan pangsa sebesar 33.85 persen, sektor pertanian menduduki peringkat kedua dengan pangsa sebesar 29.98 persen dan pangsa sektor perdagangan adalah sebesar 15.71 persen.
5 Tabel 1. PDRB Kabupaten Pasuruan Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2000-2003 (Juta Rp) Sektor 2000 2001 2002 2003 Pertanian 1 105 211.03 1 248 213.67 1 399 243.99 1 498 602.94 Pertambangan dan Penggalian 756.39 887.48 1 145.88 1 131.89 Industri Pengolahan 1 172 346.94 1 351 165.84 1 527 053.34 1 691 820.17 Listrik, Gas dan Air Minum 65 176.95 91 381.37 126 600.82 147 878.22 Bangunan 29 586.75 36 051.45 44 080.11 51 838.39 Perdagangan, Hotel dan Restoran 528 819.04 621 054.07 710 342.50 785 416.58 Angkutan dan Komunikasi 105 424.83 128 247.31 156 236.94 171 134.90 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 112 602.49 128 870.35 147 970.95 164 113.71 Jasa-Jasa 339 687.12 403 359.06 449 420.60 486 499.17 PDRB 3 459 611.55 4 009 230.60 4 562 095.13 4 998 435.97 Sumber: BAPPEDA dan BPS, 2004 Laju pertumbuhan sektoral pada tahun 2003 menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 2.26 persen dan relatif menurun jika dibandingkan laju pertumbuhan pada tahun 2002 yang mencapai 2.45 persen. Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun tersebut adalah sektor bangunan sebesar 8.83 persen. Sementara untuk sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan mengalami peningkatan laju pertumbuhan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan industri pengolahan meningkat dari 3.46 persen pada tahun 2002 menjadi 4.78 persen pada tahun 2003 sedangkan sektor perdagangan mengalami peningkatan laju pertumbuhan dari 5.10 persen menjadi 5.16 persen (BAPPEDA dan BPS, 2004). PDRB Kabupaten Pasuruan dari sektor pertanian lebih banyak dipengaruhi oleh kinerja sub sektor tanaman pangan karena sub sektor ini memberikan kontribusi terbesar diantara sub sektor-sub sektor lain (lebih dari 20 persen) kemudian diikuti oleh sub sektor peternakan dan perikanan (Tabel 2). Pangsa sub sektor perkebunan berada pada kisaran 1.38-1.45 persen setingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan sub sektor kehutanan yang memiliki pangsa
6 kurang dari 0.15 persen. Walaupun pangsanya relatif kecil namun potensi sub sektor perkebunan dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah relatif besar, hal ini dapat dilihat dari perkembangan laju pertumbuhannya (Tabel 3). Laju pertumbuhan sub sektor perkebunan menunjukkan arah yang cenderung makin baik setelah pada tahun 1998 dan 1999 mengalami kontraksi akibat adanya krisis ekonomi maka pada tahun 2000 hingga 2001 mengalami laju pertumbuhan positif dan lebih tinggi diantara keempat sub sektor lain yakni sebesar 6.13 dan 7.55 persen. Pada tahun 2002, sub sektor perkebunan mengalami penurunan laju pertumbuhan namun pada tahun 2003 sub sektor ini kembali mengalami peningkatan laju pertumbuhan dan menduduki posisi tertinggi diantara keempat sub sektor lain. Tabel 2. Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan, Tahun 1999-2003 (%) Sub Sektor 1999 2000 200 1 2002 200 3 Tanaman Bahan Makanan 22.13 21.86 20.72 20.38 20.06 Tanaman Perkebunan 1.38 1.41 1.47 1.45 1.45 Peternakan 3.79 3.76 3.87 3.88 3.81 Kehutanan 0.14 0.14 0.10 0.10 0.09 Perikanan 1.74 1.74 1.72 1.69 1.62 Pertanian 29.18 28.91 27.88 27.50 27.04 Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun (Diolah) Tabel 3. Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan, Tahun 1999-2003 (%) Sub Sektor 199 9 2000 200 1 2002 200 3 Tanaman Bahan Makanan 2.58 2.40-1.57 2.19 2.36 Tanaman Perkebunan -2.54 6.13 7.55 2.17 4.05 Peternakan -2.94 2.70 6.45 4.10 2.16 Kehutanan 1.70 1.14-26.23 1.31-3.23 Perikanan 1.94 3.55 2.42 2.15-0.13 Pertanian 1.58 2.69 0.18 2.45 2.26 Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun (Diolah)
7 Dengan laju pertumbuhan yang relatif besar, potensi sub sektor perkebunan di masa yang akan datang dapat diharapkan menjadi sub sektor andalan penggerak perekonomian daerah. Peranan penting sub sektor perkebunan selain sebagai sumber penerimaan daerah yang potensial, sub sektor perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan industri pengolahan (agroindustri) karena sebagian besar output sub sektor ini digunakan sebagai bahan baku pada industri pengolahan. Implikasinya, dinamika pertumbuhan sub sektor perkebunan sangat dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan industri pengolahan. Dengan kata lain industri pengolahan merupakan sektor pendukung sub sektor perkebunan (Saptana dan Sumaryanto, 2002). Semakin baik kinerja sub sektor perkebunan, akan meningkatkan pengembangan sektor pendukung seperti sarana produksi, transportasi, pengolahan dan pemasaran (perdagangan) (Said dan Dewi, 2003). Kabupaten Pasuruan menghasilkan sembilan jenis tanaman perkebunan yang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 4. Dari total luas areal perkebunan rakyat yang mencapai 31 266.80 ha, 50.3 persennya merupakan areal perkebunan kapuk randu, 16.5 persen merupakan areal tebu, 13 persen merupakan areal perkebunan kopi, 11 persen merupakan areal perkebunan kelapa sedangkan tanaman perkebunan yang lain memiliki luas areal kurang dari 1000 ha. Jika dilihat dari produksi yang dihasilkan, tebu merupakan komoditi yang menghasilkan produksi tertinggi dengan total produksi sebesar 21 184.76 ton jauh melampaui produksi kopi yang hanya mencapai 909 ton atau kapuk randu yang memiliki areal terluas hanya mampu berproduksi sebesar 4 242 ton. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah petani yang mengusahakan, tanaman tebu juga merupakan tanaman yang dalam pengusahaannya paling
8 banyak melibatkan petani dengan total petani sebanyak 24 657 kepala keluarga sedang tanaman kapuk randu hanya diusahakan oleh 20 393 kepala keluarga. Tanaman perkebunan lain yang melibatkan petani yang relatif besar lainnya adalah tanaman kelapa dan kopi dengan jumlah petani masing-masing 18 349 dan 9 601 kepala keluarga. Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Tanaman Perkebunan Kabupaten Pasuruan, Tahun 2003 Komoditi Luas Areal Produksi Bentuk Jumlah Petani (Ha) (Ton) Produksi (KK) Kelapa 3 539 2 400 Setara kopra 18 349 Kopi 4 184 909 Biji ose 9 601 Cengkeh 915 238 Biji kering 1 223 Kapuk Randu 15 702 4 242 Serat bersih 20 393 Jambu Mete 874 247 Biji mentor 4 024 Kenanga 302 534 Bunga segar 468 Tebu 5 169.3 21 184.76 Kristal gula 24 657 Kapas 8.5 1 610 Serat berbiji 127 Kunyit 223 1 173 Rimpang basah 853 Jahe 246 1 435 Rimpang basah 900 Temulawak 64 392 Rimpang basah 321 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pasuruan dalam BPS, 2004 Produksi perkebunan tebu yang relatif besar di Kabupaten Pasuruan menempatkan kabupaten ini sebagai salah satu sentra produksi gula di Jawa Timur. Perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan telah didukung oleh adanya industri pengolahan tebu yaitu pabrik gula (PG) Kedawung yang merupakan bagian dari PT Perkebunan Nusantara XI. PG Kedawung memiliki kapasitas giling sebesar 2 203 ton/hari. Pada tahun giling 2001, PG Kedawung mengolah 320 849.30 ton tebu dengan produksi hablurnya sebesar 19 975.20 ton (4.35 ton/ha) (P3GI, 2002). Produksi tanaman tebu yang relatif lebih besar dibanding tanaman perkebunan lain serta adanya industri pengolahan tebu menunjukkan bahwa perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan cukup potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sub sektor yang menyokong perekonomian daerah, apalagi
9 dalam kegiatan usahataninya tanaman tebu di Kabupaten ini melibatkan petani dalam jumlah yang relatif banyak. Peranan penting industri gula dalam suatu perekonomian daerah adalah karena industri gula ini merupakan industri yang tergolong dalam klasifikasi padat karya dan menghasilkan nilai tambah yang cukup besar melalui upah, laba dan sewa lahan (Woerjanto, 2000; Sawit, 1998). Selain itu gula sendiri merupakan bahan pangan yang penggunaannya bersifat luas. Hal ini disebabkan karena gula, pada satu sisi merupakan bahan pangan yang dapat dikonsumsi langsung juga merupakan bahan baku bagi banyak industri (input antara). Oleh karena itu, peningkatan produksi industri gula dapat mendorong peningkatan produksi industri-industri yang menggunakan gula seb agai bahan bakunya (Simatupang et al., 1998). Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri, menuntut adanya kemandirian daerah dalam merencanakan, membiayai maupun melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi masing-masing. Jika kebijakan otonomi daerah yang mendukung peran serta masyarakat dilaksanakan dengan baik, maka akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah yang pada gilirannya akan mendorong adanya ekspansi dalam perekonomian. Melalui pelaksanaan otonomi daerah, potensi kabupaten Pasuruan dalam menghasilkan produk gula seharusnya dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan yang dapat menopang kegiatan perekonomian daerah. Peran pemerintah daerah sebag ai fasilitator dan regulator dalam perekonomian diharapkan mampu meningkatkan kinerja industri gula di kabupaten pasuruan melalui penciptaan iklim yang kondusif.
10 Kajian atas pelaksanaan otonomi daerah telah banyak dilakukan akan tetapi masih bersifat parsial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pelaksanaan otonomi daerah serta menganalisis dampak penerapan otonomi daerah tersebut terhadap kinerja industri gula di kabupaten Pasuruan. Kajian ini mempertimbangkan aspek kelembagaan dan aspek ekonomi secara bersamaan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah aspek kelembagaan yang berkaitan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan apakah penerapan otonomi daerah benar-benar telah menciptakan ekspansi dalam perekonomian melalui perbaikan kinerja sektoral khususnya industri gula. 1.2. Perumusan Masalah Berkaitan dengan penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, maka sejak saat itu tiap -tiap pemerintah daerah termasuk Kabupaten Pasuruan memiliki kewenangan yang makin besar dalam mengurus pemerintahannya sendiri termasuk dalam mengembangkan perekenomian daerah sesuai dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Undang-Undang otonomi daerah tersebut merupakan strategi baru dalam manajemen pemerintahan dan keuangan daerah. Semakin meningkatnya kewenangan pemerintah daerah, maka selayaknya harus didukung oleh adanya perubahan atas sistem kelembagaan pemerintah daerah. Sistem kelembagaan di bawah pemerintahan sentralistis yang selama ini dijalankan sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan pemerintahan daerah yang baru. Pemerintah daerah perlu melakukan penataan kembali atas organisasi perangkat daerah termasuk didalamnya pembagian tugas dan fungsi sesuai dengan tujuan pembangunan daerah masing-masing. Oleh karena tiap-
11 tiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga tujuan masing-masing pembangunan daerah pun berbeda maka struktur dan perilaku kelembagaan tiap -tiap pemerintah daerah memiliki karakteristik yang berlainan. Penataan kelembagaan yang baru harus ditujukan untuk efisiensi dan efektifitas pemerintah daerah. Dari kajian yang dilakukan oleh tim SMERU di beberapa daerah menunjukkan bahwa setelah dua tahun pelaksanaan desentralisasi (otonomi) telah menimbulkan berbagai masalah dalam penataan kelembagaan pemerintah daerah. Struktur organisasi pemerintah di daerah cenderung dibuat besar untuk menampung pegawai dalam jumlah yang lebih banyak. Penyusunan organisasi yang tidak didasarkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi tertentu akhirnya menciptakan pengangguran terselubung. Selain masalah struktur dan penyusunan organisasi, hubungan antara berbagai tingkat pemerintahan menjadi tidak jelas, khususnya antara provinsi dan kabupaten/kota. Salah satu penyebab timbulnya kondisi ini adalah pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap daerah otonomi (provinsi, kabupaten/kota) berdiri sendiri dan tidak berhubungan satu sama lain. Dilain pihak rumusan kewenangan masing-masing tingkat pemerintahan yang tidak jelas menyebabkan tidak adanya koordinasi dalam pembuatan rencana pengembangan daerah dan peraturan daerah serta menyebabkan terjadinya kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi karena provinsi tidak memiliki instansi pelaksana di kabupaten/kota (Toyamah et al., 2002). Selanjutnya perubahan kewenangan yang disertai dengan tanggung jawab dalam hal pembiayaan dan pengelolaan keuangan daerah menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan anggaran pemerintah daerah. Dengan kebijakan
12 anggaran pemerintah atau yang disebut juga dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi jalannya perekonomian yaitu dengan mempengaruhi tingkat pendapatan regional, tingkat kesempatan kerja, tingkat investasi dan distribusi pendapatan. Hasil studi yang dilaksanakan oleh Isdijoso et al. (2001) maupun tim SMERU (Toyamah et al., 2002) menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan otonomi daerah (desentralisasi fiskal) ternyata tidak mampu menciptakan ekspansi dalam perekonomian daerah. Hal ini disebabkan karena adanya respon yang berlebihan dari aparat pemerintahan di daerah dalam meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yaitu melalui peningkatan berbagai macam jenis pajak dan pungutan, sementara upaya mengefektifkan alokasi pengeluaran anggaran daerah masih relatif belum terpikirkan. Kondisi ini justru menyebabkan terjadinya kontraksi dalam perekonomian. Sementara itu, industri gula merupakan salah satu industri yang paling banyak memperoleh campur tangan pemerintah (the most regulated commodity), mulai dari kegiatan produksi tebu hingga distribusinya ke pabrikpabrik gula serta distribusi gula ke konsumen maupun industri-industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku (Churmen, 2000; Sudana, 2000). Peraturan yang dibuat untuk mendukung industri gula, ditetapkan mulai dari yang berbentuk Undang-Undang hingga SK Bupati, artinya hampir seluruh jenjang pemerintahan ikut serta dalam pengaturan industri gula. Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Pasuruan, maka pengelolaan industri gula kini merupakan kewenangan pemerintah daerah setempat, walaupun tetap mengacu pada kebijakan pergulaan nasional. Aspek kelembagaan terutama aspek regulasi yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat
13 mempengaruhi tiap-tiap simpul dalam sistem agroindustri gula mulai dari alokasi sumberdaya lahan dan air, usahatani dan distribusi tebu hingga pada peningkatan investasi dalam industri gula. Sejalan dengan meningkatnya kemandirian Pemerintah Daerah dalam pengelolaan keuangan maka peran Pemerintah Kabupaten Pasuruan terhadap peningkatan kinerja sektor-sektor unggulan daerah akan semakin luas. Sebagai salah satu komoditi unggulan Kabupaten Pasuruan, perkebunan tebu dan industri gula seharusnya memperoleh dampak positif dari meningkatnya kewenangan pengelolaan anggaran daerah tersebut. Anggaran daerah sebagai salah satu instrumen pemerintah daerah Kabupaten Pasuruan dalam mempengaruhi kinerja industri gula dapat dialokasikan secara langsung pada industri gula, misalnya pemberian subsidi bagi petani tebu. Secara tidak langsung dapat dilakukan melalui alokasi anggaran bagi perbaikan infrastruktur industri gula. Jika kebijakan alokasi anggaran daerah digunakan sebaik-baiknya untuk mendukung kegiatan industri gula maka perbaikan kinerja industri pergulaan akan tercapai. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan penerapan otonomi daerah menurut Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 di Kabupaten Pasuruan, jika dilihat dari sudut pandang kelembagaan? 2. Bagaimanakah perubahan hubungan (fungsional dan koordinasi) antar lembaga/organisasi yang membawahi industri gula setelah penerapan kedua undang-undang tersebut?
14 3. Bagaimanakah kondisi perekonomian Kabupaten Pasuruan sebelum penerapan otonomi daerah termasuk posisi dan peranan industri gula dalam perekonomian Kabupaten Pasuruan? 4. Bagaimanakah dampak penerapan otonomi daerah terhadap kinerja industri gula di Kabupaten Pasuruan? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menelaah pelaksanaan penerapan otonomi daerah menurut Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 di Kabupaten Pasuruan dari sudut pandang kelembagaan. 2. Mengkaji perubahan hubungan (fungsional dan koordinasi) antar lembaga/organisasi yang membawahi industri gula setelah penerapan kedua undang -undang tersebut. 3. Menganalisis kondisi perekonomian Kabupaten Pasuruan sebelum penerapan otonomi daerah termasuk posisi dan peranan industri gula dalam perekonomian Kabupaten Pasuruan. 4. Menganalisis dampak penerapan otonomi daerah terhadap nilai produksi, nilai tambah dan penciptaan kesempatan kerja pada industri gula di Kabupaten Pasuruan. 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan evaluasi atas dampak penerapan otonomi daerah menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 di Kabupaten Pasuruan terhadap kinerja industri gula. 2. Sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan strategi untuk memaksimalkan penerapan otonomi daerah menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang 25 Tahun 1999 dan atau mengurangi
15 akibat-akibat negatif dari penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. 3. Sebagai bahan informasi dan rujukan untuk penelitian terkait lebih lanjut. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Industri gula dalam penelitian ini meliputi usahatani tebu dan Pabrik Gula. Lembaga dalam penelitian ini adalah instansi pemerintahan (dinas kehutanan dan perkebunan), PG Kedawung, APTR dan kelompok tani. Kajian terhadap kelembagaan meliputi aspek organisasi (institusi) dan aspek regulasi. Analisis terhadap kelembagaan bersifat deskriptif sedangkan analisis dampak menggunakan analisis keseimbangan umum menggunakan tabel I-O. Analisis dampak dengan menggunakan tabel I-O dapat juga digunakan untuk melihat kinerja makro ekonomi regional, namun pada penelitian ini difokuskan untuk melihat kinerja industri gula di Kabupaten Pasuruan. Pada analisis ini, adanya otonomi daerah ditunjukkan oleh perubahan alokasi dan peningkatan dana APBD yang diterima oleh Kabupaten Pasuruan sebagai akibat langsung adanya otonomi daerah serta perubahan tingkat investasi dan ekspor yang merupakan akibat tidak langsung dari adanya otonomi daerah. Kinerja industri gula yang dimaksud dalam penelitian ini diukur dari nilai produksi, nilai tambah bruto dan penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri gula. Penggunaan analisis input-output memiliki beberapa keterbatasan yang sulit dihindarkan baik yang bersifat teknis maupun asumsi yang mendasari analisis ini. Keterbatasan tersebut antara lain: 1. Analisis input-output didasarkan pada asumsi dasar Leontief, yakni koefisien input antara dianggap konstan selama periode analisis. Koefisien input antara yang konstan ini mengabaikan kemungkinan substitusi faktor
16 produksi. Asumsi ini seringkali tidak sesuai dengan kenyataan karena kemungkinan substitusi selalu ada, apalagi dalam jangka panjang. Asumsi ini juga menunjukkan bahwa teknologi produksi bersifat konstan. 2. Analisis input-output tidak mengenal mekanisme penyesuaian harga. Perubahan harga input diasumsikan akan selalu sebanding dengan perubahan harga output. 3. Analisis input-output mengasumsikan bahwa sektor-sektor produksi diturunkan dari permintaan (demand-driven) atau dengan kata lain perekonomian dibangun dari sudut permintaan. Dalam suatu perekonomian diasumsikan memiliki ekses kapasitas produksi sehingga peningkatan permintaan selalu dapat dipenuhi dengan peningkatan output tanpa ada peningkatan harga. Jika terjadi peningkatan permintaan akhir secara otomatis akan menggerakkan seluruh sektor perekonomian melalui proses pengganda ekonomi (multiplier). 4. Pada penelitian ini, dampak otonomi daerah melalui perubahan APBD dicerminkan hanya dari sisi pengeluaran, hal ini dikarenakan sisi penerimaan APBD tidak dinyatakan secara eksplisit dalam tabel I-O standar. Sisi ini akan terlihat secara jelas bila kuadran III tabel I-O dirinci lebih jauh. Namun karena keterbatasan data, perincian kuadran III tidak dapat dilakukan. 5. Kolom 305 (ekspor) pada Tabel I-O Kabupaten Pasuruan Tahun 2000 menunjukkan aliran barang dan jasa yang terjadi antara penduduk Kabupaten Pasuruan dengan bukan penduduk Kabupaten Pasuruan. Keterbatasan data menyebabkan kolom ekspor disusun tanpa membedakan antara ekspor antar daerah dengan ekspor luar negeri.