BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

Analisa Kalibrasi Kamera Sony Exmor Pada Nilai Orientasi Parameter Interior untuk Keperluan Pemetaan (FUFK)

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY UNTUK PERHITUNGAN VOLUME OBJEK

Pemetaan Foto Udara Menggunakan Wahana Fix Wing UAV (Studi Kasus: Kampus ITS, Sukolilo)

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011)

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

I. BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 STUDI LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

STEREOSKOPIS PARALAKS

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN : PENGUKURAN DENGAN TOTAL STATION

PELAKSANAAN PENGUKURAN DAN HITUNGAN VOLUME METODE FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DAN METODE TACHYMETRI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

SURVEYING (CIV -104)

BAB 3 PEMBAHASAN START DATA KALIBRASI PENGUKURAN OFFSET GPS- KAMERA DATA OFFSET GPS- KAMERA PEMOTRETAN DATA FOTO TANPA GPS FINISH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN PETA ORTOFOTO DENGAN UAV UNTUK RENCANA PENYUSUNAN PETA DESA

BAB I PENDAHULUAN I.1.

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

PENGEMBANGAN KAMERA NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN PEMODELAN BANGUNAN

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

3. KAMERA UDARA. 12 inchi=304,8mm 8,25 inchi = 209,5 mm 6 inchi = 152,4 mm 3,5 inch = 88,9 mm Universitas Gadjah Mada

ANALISA PLANIMETRIK HASIL PEMETAAN FOTO UDARA SKALA 1:1000 MENGGUNAKAN WAHANA FIX WING UAV (Studi Kasus : Kampus ITS Sukolilo)

PENGGUNAAN FOTO UDARA FORMAT KECIL MENGGUNAKAN WAHANA UDARA NIR-AWAK DALAM PEMETAAN SKALA BESAR

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

HASIL DAN ANALISIS. Tabel 4-1 Hasil kalibrasi kamera Canon PowerShot S90

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

III. BAHAN DAN METODE

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Fotogrametri dapat didefisinikan sebagai ilmu untuk memperoleh

Metode Titik Kontrol Horisontal 3.1. Metode Survei Klasik Gambar. Jaring Triangulasi

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

Oghy Octori 1, Agung Budi Cahyono 1 1 Jurusan Teknik Geomatika FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB III METODE PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI I (Individu)

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1

ANALISIS KOREKSI GEOMETRIK MENGGUNAKAN METODE DIRECT GEOREFERENCING PADA CITRA SATELIT ALOS DAN FORMOSAT-2

9. PEMOTRETAN UDARA. Universitas Gadjah Mada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pemanfaatan Foto Udara Format Kecil untuk Ekstraksi Digital Elevation Model dengan Metode Stereoplotting

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH. ACARA 2 Mozaik Foto Udara dan Pengamatan Sterioskop. Oleh : Muhamad Nurdinansa [ ]

Analisa Ketelitian Planimetris Citra Quickbird Guna Menunjang Kegiatan Administrasi Pertanahan (Studi Kasus: Kabupaten Gresik, 7 Desa Prona)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

REGISTRASI PETA TUTORIAL I. Subjek Matter: 1.1 GEOFERENSING 1.2 COORDINAT GEOMETRIK (COGO)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

PEMROGRAMAN VIRTUAL STEREOPLOTTER SEBAGAI PROGRAM SPASIAL PENGHASIL DIGITAL SURFACE MODEL DARI FOTO UDARA STEREO DIGITAL

Defry Mulia

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

Ilustrasi: Proses Produksi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Peta topografi adalah peta yang memperlihatkan unsur - unsur alam (asli) dan unsur - unsur buatan manusia di atas permukaan bumi. Unsur unsur tersebut, di representasikan pada posisi sebenarnya. Peta topografi disebut juga sebagai peta umum (bersifat umum). Karena dalam peta topografi menyajikan semua unsur yang ada pada permukaan bumi, tentu saja dengan dengan memperhitungkan skala yang sangat terbatas. (Prihandito, 1999). Dalam pembuatan peta topografi terdapat 2 macam metode yaitu terestris dan ekstra terestris. Metode terestris adalah metode pengukuran langsung sementara metode ekstra terestis adalah metode pengukuran menggunakan metode fotogrametri yang menghasilkan foto udara ataupun citra. Pemetaan topografi dengan metode tesetris menghasilkan peta yang memiliki kualitas posisi yang tinggi. Penggunaan metode ini untuk pemetaan pada area sangat luas menjadi kurang efektif, dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Untuk area sangat luas metode seperi fotogrametri merupakan solusi yang sangat sesuai. Teknologi fotogrametri dilihat dari sisi biaya juga sangat mahal. Hal ini dikarenakan biaya yang besar harus dikeluarkan untuk urusan dan biaya perizinan dan biaya pesawat (platform penerbangan) dan juga biaya untuk security officer yang biasanya memerlukan orang militer dan security clearance. Perkembangan teknologi pesawat remote control (RC) menjadi alternatif solusi teknologi fotogrametri dengan biaya yang rendah / murah. Penggunaan pesawat RC ini selanjutnya berkembang menjadi sangat populer untuk pemotretan udara dengan pesawat tanpa awak yang biasa dikenal dengan istilah Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Teknologi UAV untuk kegiatan pemetaan menggunakan kamera non metrik sebagai sensor yang digunakan, sehingga penggunaan teknologi UAV tergolong dalam foto udara format kecil (FUFK). Beberda dengan foto udara format besar (FUFB) yang menggunakan kamera metrik sebagai sensor, kamera non metrik tidak disesain untuk keperluan pemetaan 1

sehingga perlu dilakukan uji terhadap kualitas geometri yang dihasilkan. Salah satu metode yang dilakukan adalah melakukan perbandingan dengan data terestris, karena data terestris dianggap memiliki ketelitian lebih tinggi. Metode Global Navigation Satelite System (GNSS) termasuk dalam metode terestris yang berfungsi sebagai Ground Control Point (GCP) dan Independent Control Point (ICP). GCP digunakan untuk melakukan koreksi geometrik pada tahapan rektifikasi foto udara sementara ICP digunakan untuk membandingkan hasil pemetaan metode fotogrametri dengan hasil pengukuran GNSS. Dengan perbandingan tersebut dapat diketahui kualitas pemetaan menggunakan wahana UAV terhadap horizontal maupun vertikal pada area luas yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. mengikuti strandarisasi yang berlaku. Standarisasi yang digunakan merupakan Peraturan Kepala BIG No 15 tahun 2014. I.2. Identifikasi Masalah Kualitas pemetaan topografi dengan wahana UAV dan kamera non metrik dipengaruhi kualitas posisi horizontal dan kualitas posisi vertikal. Untuk mengetahui kualitas hasil pemetaan tersebut, perlu dilakukan analisis ketelitian secara horizontal maupun vertikal, sesuai standarisasi yang berlaku, dalam hal ini mengacu pada peraturan Peraturan Kepala BIG No 15 tahun 2014. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang muncul dari rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas posisi horizontal pemetaan menggunakan wahana UAV yang dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik Independent Control Point (ICP)? 2. Bagaimana kualitas posisi vertikal pemetaan menggunakan wahana UAV yang dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik Independent Control Point (ICP)? 3. Masuk kelas kualitas yang manakah, pemetaan menggunakan wahana UAV yang dihasilkan tersebut mengikuti standarisasi pemetaan menurut Peraturan Kepala BIG No 15 tahun 2014? 2

I.4. Tujuan Penelitian 1. Diketahuinya kualitas posisi horizontal pemetaan menggunakan wahana UAV yang dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik Independent Control Point (ICP). 2. Diketahuinya kualitas posisi vertikal pemetaan menggunakan wahana UAV yang dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik Independent Control Point (ICP). 3. Diketahui ketelitian kelas kualitas pemetaan menggunakan wahana UAV yang dihasilkan mengikuti standarisasi pemetaan menurut Peraturan Kepala BIG No 15 tahun 2014. I.5. Manfaat Penelitian Setelah diketahui kualitas posisi secara horizontal maupun vertikal dan tergolong pada skala dan kelas tertentu, maka kegiatan pemetaan menggunakan UAV dapat diaplikasikan pada pekerjaan pekerjaan sejenis pada skala tersebut. I.6. Cakupan Penelitian Kegiatan penelitan yang dilakukan dengan batasan - batasan antara lain: 1. Platform yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skywalker fixwing sebagaimana dalam lampiran A. 2. Kamera Sony DSC-QX10 yang memiliki 18,2 MP dengan panjang fokus f=4,45-44,5 mm sebagaimana dalam lampiran A. 3. GNSS yang digunakan adalah GNSS JAVAD Triumph-1. 4. Hasil pengukuran fotogrametri yang diolah menggunakan metode Structure from Motion (SfM) pada software Agisoft Photoscan. 5. Kegiatan Quality Control hanya dilakukan pada tahapan input GCP dan sewaktu analisis ketelitian ICP. 6. Ground Control Point (GCP) dan Independent Control Point (ICP) yang diukur dengan metode statik selama 60 menit dengan interval 5 detik. 7. Objek penelitian berupa permukaan tanah di daerah Segoroyoso, Bantul dengan area yang luas (3.330 ha) dengan kondisi terrain yang berbukit. 3

8. Jumlah GCP yang digunakan sejumlah 7 titik dan jumlah ICP yang digunakan sejumlah 7 titik. 9. Analisis perbandingan secara statistik dengan pengujian hipotesis dengan t student test. 10. Analisis ketelitian yang dilakukan mengacu pada Peraturan Kepala BIG No 15 Tahun 2014. I.7. Tinjauan Pustaka Penelitian terkait metode fotogrametri yang digunakan untuk keperluan pemetaan topografi dilakukan oleh Usyal, 2015. Penelitian yang dilakukan menggunakan area yang kecil (5 ha) sebagai objek penelitian dengan data berupa 200 foto udara, hasil akhir penelitian berupa Digital Elevation Model (DEM) yang dibentuk menggunakan 27 GCP dengan pengukuran GNSS metode Real Time Kinematik (RTK). Dari DEM yang dihasilkan dilakukan pengujian menggunakan 30 titik cek yang menghasilkan ketelitian vertikal keseluruhan 6,62 cm dari ketinggian 60 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data yang berasal dari metode UAV fotogrametri memiliki ketelitian yang sangat mirip dengan data GNSS RTK. Jadi sangat mungkin untuk menggunakan UAV metode fotogrametri seperti pembuatan peta, survei, dan beberapa aplikasi teknik lainnya. Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Hidayat, 2015. Pada penelitian tersebut membandingkan ketelitian titik koordinat ortomosaik dari foto udara menggunakan wahana tanpa awak dengan titik koordinat hasil pengukuran gnss. Penelitian tersebut dilakukan dides Giritarta, Banjarnegara. Dari penelitian tersebut, nilai pergeseran titik antara titik obyek dalam foto dengan titik jaring kontrol horizontal pada sumbu X bergeser sejauh 0,025m dan koordinat sumbu Y bergeser sejauh 0,033m, dengan nilai simpangan baku sebesar 0,0784m. Berdasarkan pada kegiatan pembuatan peta desa yang dilakukan Darpono, 2017 di Kelurahan Tunjungsekar Kecamatan Lowokwaru Kotamadya Malang dengan luas area 243 hektar dihasilkan peta orthofoto yang dibuat dengan UAV untuk rencana penyusunan peta desa dengan skala foto 1:46.500 yang dapat menghasilkan peta dengan skala 1:9.300 atau 1:10.000. diperoleh hasil RMSEr 0,50 m dan nilai 4

ketelitian (Circular Error) CE90 yaitu nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan 90% adalah 0,760 meter. Pada penelitian ini, prosedur yang digunakan adalah menganalisis pengaruh area yang luas terhadap pengaruh ketelitian yang dihasilkan dari pemetaan menggunakan wahana UAV dengan membandingkan Independent Control Point sehingga menghasilkan ketelitian horizontal dan vertikal pemetaan menggunakan wahana UAV. I.8. Landasan Teori I.8.1. Fotogrametri Fotogrametri merupakan ilmu dan seni pengukuran dan rekonstruksi objek fisik dan lingkungannya melalui proses pencatatan, pengukuran, dan interpretasi bayangan fotografis tanpa harus ada kontak langsung dengan objek tersebut pengertian fotogrametri menurut Habib, 2007. Dalam hal ini berarti fotogrametri dapat menjadi metode pengumpulan data spasial tanpa melakukan kontak langsung terhadap obyek yaitu permukaan bumi. Objek dari fotogrametri adalah permukaan bumi, oleh karena wahana yang digunakan dalam fotogrametri adalah wahana terbang atau pesawat. Wahana tersebut dapat juga berupa balon udara ataupun pesawat tanpa awak / Unmanned Aerial Vehicle. Di era modern ini pesawat tanpa awak menjadi semakin diminati karena biaya yang murah tanpa mengabaikan ketelitian yang baik. Menurut (Wolf, 1993) dalam geometri foto vertikal pada saat pemotretan, sudut sumbu kamera akan mempengaruhi ukuran geometri gambar objek dalam foto. Sumbu kamera mempengaruhi nilai kesalahan geometri pada foto. Geometri foto dalam keadaan vertikal sempurna dapat dilihat pada gambar I.1. 5

Gambar.1 Geometri Foto Vertikal (Wolf, 1993) Gambar I.1 menampilkan geometri foto vertikal. Pada gambar tersebut objek ABCD pada permukaan bumi diproyeksikan pada sensor kamera a b c d. Pusat dari foto (o ) sama dengan pusat dari objek (P) yang ada di permukaan bumi. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sumbu kamera vertikal sempurna terhadap permukaan bumi. Dari gambar tersebut didapatkanlah konsep mengenai skala foto, yang dinyatakan pada persamaan I.1 : S = 1 H/f = f H... (I.1) S = Skala f = Panjang fokus kamera udara H = Tinggi terbang Dari setiap foto udara hasil akuisisi data akan dibentuk pertampalan (overlap) yang merupakan suatu area didalam foto yang terbentuk oleh 2 atau lebih foto udara. Pekerjaan fotogrametri mensyaratkan adanya pertampalan pada foto udara yang berdampingan. Pertampalan tersebut mencakup pertampalan dalam satu jalur terbang (endlap) maupun pertampalan antar jalur terbang (sidelap). Syarat ini harus dipenuhi untuk menjamin terjadinya pandangan stereoskopis yang digunakan pada pengolahan foto udara. Kemudian konsep pandangan stereoskopis pada akhirnya dapat membentuk model 3 dimensi dari permukaan tanah. I.8.1.1. Orientasi Dalam. Orientasi dalam mengacu pada perspektif geometri dari kamera. Orientasi dalam memiliki tiga macam komponen yang sering disebut sebagai unsur orientasi dalam. Ketiga unsur orientasi dalam tersebut adalah (Wong, 1980): 6

1. Panjang fokus terkalibrasi, dinotasikan sebagai (f). Panjang fokus adalah jarak yang dibentuk antara titik pusat lensa dengan bidang proyeksi kamera secara tegak lurus. Sementara panjang fokus terkalibrasi didefinisikan sebagai panjang fokus yang menghasilkan distribusi distorsi radial rata rata secara menyeluruh. 2. Posisi titik utama (Principal Point) foto, dinotasikan sebagai (xp dan yp). Titik utama adalah titik hasil proyeksi secara tegak lurus dari titik pusat proyeksi (projection center) pada bidang foto. Posisi titik utama dinyatakan dalam xp dan yp. 3. Karakteristik geometri distorsi lensa. Distorsi lensa diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu distorsi radial dan distorsi tangensial. Distorsi radial (δr) menyebabkan sinar datang yang masuk melalui lensa kamera mengalami deviasi setelah melewati titik pusat proyeksi lensa. Hal ini terjadi karena komposisi lensa yang tidak sempurna. Akibatnya terjadi pergeseran bayangan secara radial terhadap titik utama. Distorsi tangensial (δx dan δy) menyebabkan pergeseran geometrik dari foto dikarenakan terjadi pergeseran vertikal atau rotasi pada elemen lensa dari susunannya yang sempurna. Distorsi tangensial mempunyai komponen radial dan tangensial. I.8.1.2. Pembuatan Foto Stereo. Foto stereo dibentuk dari dua atau lebih foto tegak yang memiliki obyek yang sama. Objek diidentifikasikan dengan koordinat foto pada masing masing foto udara yang kemudian dibawa pada koordinat tanah X, Y dan Z seperti dapat dilihat pada Gambar I.2. Pada gambar I.2 menyajikan sepasang foto tegak yang bertampalan dan dipotret dari ketinggian terbang sama besar diatas bidang rujukan. 7

Gambar I.2 Geometri Foto Vertikal (Wolf, 1993) Gambar I.2 menunjukan suatu objek A tampak masing masing pada a dan a di foto kiri dan foto kanan. Kedudukan planimetrik diatas tanah titik A diatas tanah dinyatakan dengan koordinat medan XA dan YA. Ketinggian diatas bidang rujukan dinyatakan sebagai ha. Sistem sumbu medan X Y berasal dari titik utama datum P pada foto kiri : Sumbu X terletak pada bidang vertikal yang sama dengan sumbu jalur fotografik x dan x ; dan sumbu Y melaluli titik utama datum pada foto kiri serta tegak lurus terhadap sumbu X. Menurut definisi menurut (Wolf,1993) tiap pasangan foto mempunyai sitem koordinat medan yang unik. I.8.1.2. Orientasi Luar. Parameter orientasi luar adalah nilai dari posisi dan orientasi kamera untuk setiap foto. Posisi dari kamera dinyatakan dalam X, Y, Z sementara orientasi dari kamera dinyatakan dalam (ω, φ, κ). Nilai X, Y, Z berada pada sistem koordinat tanah. Nilai ω adalah besar perputaran kamera terhadap sumbu X, nilai φ merupakan besar perputaran kamera terhadap sumbu Y, dan nilai κ merupakan besar perputaran kamera pada sumbu Z. Nilai ω, φ, κ dinyatakan dalam satuan derajat, radian ataupun gradian. Parameter orientasi luar adalah produk akhir dari proses triangulasi udara melalui metode Bundle Adjustment. I.8.1.3. Triangulasi Udara. Triangulasi udara merupakan suatu kegiatan dalam proses fotogrametri berupa perapatan titik kontrol tanah (TKT) diseluruh jalur terbang. Dalam penelitian ini dikarenakan area pemetaan yang luas, maka diperlukan banyak TKT dimana hal ini dapat mengakibatkan pekerjaan menjadi tidak ekonomis karena 8

harus membangun banyak TKT. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan prinsip triangulasi udara yaitu dengan membuat titik ikat atau Tie Point di foto. Tie Point diekstrak dari foto udara dalam sistem koordinat foto yang kemudian dibawa kedalam sistem koordinat tanah. Hasil dari proses Triangulasi Udara adalah nilai koordinat tanah dari setiap titik Tie Points serta nilai parameter orientasi luar. Keuntungan menggunakan Triangulasi Udara adalah (Wolf, 1993): a. mengurangi resiko pekerjaan akibat cuaca yang buruk karena sebagian besar pekerjaan dilakukan tidak di lapangan, b. masalah perizinan dapat dikurangi, c. dapat dilakukan pembuatan titik padamedan yang sulit, d. ketelitian titik kontrol hasil pengukuran di medan yang diperlukan dalam proses triangulasi udara dibenarkan selama proses berlangsung, sehingga kesalahan pada titik kontrol setelah kompilasi dapat dihilangkan. I.8.1.4. Foto Udara Format Kecil. Metode fotogrametri menggunakan pesawat tanpa awak tergolong dalam Foto Udara Format Kecil atau Small Format Aerial Photogrametry (SFAP) yang merupakan metode low-cost photogrametry yang mudah dan dapat dilakukan oleh siapapun karena biaya yang murah. Menurut Hofstee, 1984 pada dasarnya foto udara format kecil sangat tepat diterapkan pada lokasi yang relatif kecil, yang tidak memerlukan pemetaan yang presisi tetapi informasi tematik sangat diperlukan, karena dapat menggantikan foto udara format besar jika tidak terdapat waktu dan uang yang cukup.kamera yang digunakan dalam foto udara format kecil bukan merupakan kamera metrik melainkan kamera fotografi profesional atau kamera amatir yang berkualitas baik. Karena itu kamera seperti ini tidak diharapkan memiliki kalibrasi. I.8.2. Wahana Udara Tanpa Awak Wahana Udara Tanpa Awak (WUTA) atau dikenal juga dengan Unmanned Aerial Vehicle / UAV adalah istilah yang digunakan untuk merepresentasikan benda terbang dengan suplai daya sendiri yang dapat digunakan berulang kali tanpa dioperasikan oleh manusia secara langsung di dalamnya. Pada dasarnya UAV adalah pesawat yang ukurannya sama atau lebih kecil dibandingkan dengan pesawat-pesawat 9

yang berawak. Sehingga analisis yang dilakukan pada pesawat berawak dapat diterapkan pada UAV. (Nurdien, 2012) Dalam pemetaan fotogrametri UAV termasuk dalam jenis fotogrametri sistem non standard yaitu sistem pemetaan fotogrametri yang menggunakan wahana pesawat kecil tanpa awak, dengan kamera non metrik serta disebut juga Foto Udara Format Kecil (FUFK) karena tidak menggunakan kamera metrik dan pemrosesan data dengan metode Structure From Motion yang otomatis. (Habib, 2007) UAV menurut (Setyasaputra, 2014) memiliki beberapa tipe yaitu : 1. Tipe fixed wing yaitu WUTA dengan efisiensi dan kecepatan yang baik, namun kurang dalam hal manuver terbang. 2. Tipe rotary wing yaitu WUTA dengan evisiensi rendah tetapi manuver terbang bagus. 3. Tipe glider yaitu WUTA yang tidak memerlukan tenaga dan menggunakan daya angkat sebagai penggerak. Sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini bertipe fixed wing. I.8.3. Lensa dan Kamera Lensa adalah alat optik yang memiliki nilai simetri axial (kelengkungan yang hampir datar) yang sempurna atau mendekati sempurna, dan dapat meneruskan atau memantulkan cahaya, mengkonversi dan diversi gelombang. Dalam pemetaan fotogrametri dikenal 2 jenis kamera yaitu kamera metrik dan kamera non metrik. Kamera metrik merupakan kamera yang dirancang khusus untuk keperluan fotogrametri. Kamera metrik yang umum digunakan memiliki format 23mm x 23mm, dibuat stabil dan dikalibrasi secara menyeluruh sebelum digunakan. Nilai nilai kalibrasi seperti panjang fokus, distorsi radial lensa serta koordinat titik utama foto diketahui dan dapat digunakan dalam periode lama. Kamera non metrik merupakan kamera yang dirancang untuk keperluan foto profesional maupun amatir, sehingga lebih diperhatikan kualitas foto daripada kualitas geometrinya. Jenis format kamera dipengaruhi nilai fokus lensa (jarak pusat lensa menuju bidang fokus), untuk pemotretan udara nilai fokus adalah fixed (tidak dapat berubah) berbeda dengan kamera fotografi yang digunakan yang dapat diubah tergantung jarak objek. Selain itu sudut liputan (field of view) yang merupakan sudut kerucut berkas- 10

berkas sinar yang datang dari daratan melewati lensa, semakin lebar sudut liputan maka fokus lensa akan berkurang. Sudut sempit cocok digunakan untuk daerah bergunung karena pergeseran relief dipusat lensa/nadir (principal point) relatif minimum, sedangkan kamera bersudut lebar cocok untuk daerah datar karena keuntungan ekstra coverage dari sudut yang lebar (Wolf, 1993). I.8.3.1. Kalibrasi Kamera Otomatis. Prosedur kalibrasi kamera bertujuan untuk membuat kamera dapat menggambarkan jalur sinar cahaya yang benar. Parameter yang digunakan untuk karakterisasi ini disebut parameter orientasi dalam. Parameter utamanya adalah focal length lensa dan lokasi titik simetri utama. Banyak pendekatan untuk kalibrasi kamera. Dengan semakin populernya bidang Computer Vision sebagai bidang penelitian, metode metode tersebut semakin meningkat. Kalibrasi kamera dengan metode self-calibration menggunakan prinsip bundle adjustment dengan model collinear, sehingga dapat membentuk model persamaan sebagai berikut: x x p = f (m 11 (X X c )+m 12 (Y Y c )+m 13 (Z Z c ) (m 31 (X X c )+m 32 (Y Y c )+m 33 (Z Z c )...(I.2) y y p = f (m 21 (X X c )+m 22 (Y Y c )+m 23 (Z Z c ) (m 31 (X X c )+m 32 (Y Y c )+m 33 (Z Z c )...(I.3) Keterangan : x,y x p, y p f M : Koordinat objek pada sistem koordinat foto : Koordinat principal point i pada sistem koordinat foto : focal length : Matriks rotasi m 11 m 12 m 13 Matriks rotasi didefinisikan sebagai [ m 21 m 22 m 23 ], m 31 m 32 m 33 Dengan komponen masing masing adalah sebagai berikut : M = M κ M φm ω...(i.4) m 11 = cos φ cos κ m 12 = sin ω sin φ cos κ + cos ω sin κ m 13 = cos ω sin φ cos κ + sin ω sin κ m 21 = cos φ sin κ m 22 = sin ω sin φ sin κ + cos ω cos κ 11

m 23 = cos ω sin φ cos κ + sin ω cos κ m 31 = sin φ m 32 = sin ω cos φ m 33 = cos ω cos φ dengan adanya komponen distorsi kamera maka persamaan diatas perlu dilakukan penambahan komponen distorsi (δ) sebagai berikut : Komponen distorsi radial δx 1 = x δr...(i.4) r δy 1 = y δr r...(i.5) Distorsi radial dapat di representasikan sebagai persamaan polinomial sebagai berikut : δr = K 1 r 3 + K 2 r 5 + K 3 r 7 +...(I.6) Dimana K s adalah koefisien distorsi radial, dan δr dalam satuan mikrometer. r 2 = (x x p ) 2 + (y y p ) 2...(I.7) Dengan r, x, xp, y dan yp dalam satuan milimeter. Komponen distorsi decentering δx 2 = P1 (r 2 + 2x 2 ) + 2P2xy...(I.8) δy 2 = 2P1xy + P2 (r 2 + 2y 2 )...(I.9) Komponen distorsi ketiga, khusus untuk kamera digital yang memperhitungkan distorsi skala ukuran piksel pada arah x dan y juga digabungkan. δx 3 = B1x + B2y...(I.10) Dengan melakukan substitusi menggunakan persamaan distorsi (I.4), (I.5), (I.8), (I.9), (I.10), maka didapatkan persamaan akhir sebagai berikut : x x p = f (m 11 (X X c )+m 12 (Y Y c )+m 13 (Z Z c ) (m 31 (X X c )+m 32 (Y Y c )+m 33 (Z Z c ) + δx 1 + δx 2 + δx 3...(I.11) y y p = f (m 21 (X X c )+m 22 (Y Y c )+m 23 (Z Z c ) (m 31 (X X c )+m 32 (Y Y c )+m 33 (Z Z c ) + δy 1 + δy 2...(I.12) I.8.4. Bundle Block Adjustment Bundle Adjustment adalah metode perataan yang digunakan dalam kegiatan Triangulasi Udara. Saat ini hampir semua perangkat lunak fotogrametri menerapkan Bundle Adjustment dalam pemrosesan datanya. Bundle Adjustment memberikan hasil yang lebih akurat namun membutuhkan proses hitungan yang rumit. Proses Bundle Adjustment menghasilkan dua macam data: 12

1. parameter orientasi luar (ω, φ, κ, X0, Y0, Z0) untuk masing masing foto, 2. koordinat tanah untuk setiap titik Tie Point. Bundle Adjustment menggunakan persamaan kolinier yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara obyek di foto dengan obyek di tanah. Prinsip persamaan kolinier berdasar pada kondisi kesegarisan (kolinieritas) antara titik obyek di tanah dan di foto. Persamaan ini menyatakan titik obyek di tanah, pusat proyeksi, dan titik obyek di foto berada dalam satu garis lurus. Kondisi segaris ini banyak digunakan untuk menyelesaikan persoalan fotogrametri. Hubungan proyeksi antara titik di sistem koordinat foto dengan titik di sistem koordinat tanah dapat digambarkan seperti gambar dibawah : Gambar I.3 Hubungan antara obyek di foto dengan di tanah Gambar I.3. menunjukan sistem koordinat X, Y, Z merupakan sistem koordinat tanah. XL, YL, ZL menunjukkan koordinat proyeksi pusat kamera. XA, YA, ZA menunjukkan koordinat titik A. Sistem koordinat x, y, z merupakan sistem koordinat foto yang sudah mengalami rotasi sebesar ω, φ, κ dari sistem koordinat foto aslinya pada saat pemotretan (x, y, z). Dengan metode bundle-block adjustment kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran baik dari proses pengikatan menggunakan tie point dan juga GCP didistribusikan secara merata keseluruh stereo foto sehingga tingkat kesalahannya dapat diminalisir. Metode bundle-block adjustment dapat menghitung seluruh parameter dalam satu solusi tunggal (Aber, 2010). Prinsip triangulasi udara dengan bundle-block adjustment dapat dilihat pada Gambar I.4. 13

Gambar I.4 Prinsip Bundle Block Adjustment (Aber, 2010) Berdasarkan Gambar I.4, penyatuan foto berdasarkan posisi tie point atau titik ikat pada masing masing foto. Penentuan titik ikat dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Foto stereo yang terbentuk kemudian diikatkan pada koordinat GCP yang terlihat di foto sehingga koordinat foto pada tie point kemudian dibawa menjadi koordinat tanah. Nilai kesalahan pada triangulasi udara pada koordinat X dan Y kecil sedangkan untuk nilai Z lebih besar. Namun, secara umum penggunaan metode bundle-block adjustment menghasilkan nilai kesalahan yang minimum. I.8.5. Structure From Motion Structure from motion (SfM) adalah suatu metode memproyeksikan koordinat foto yang mengalami rotasi dan proyeksi sehingga menjadi koordinat tanah yang kemudian direpresentasikan menjadi bentuk 3 dimensi sehingga menjadi sebuah model permukaan digital berdasarkan susunan foto yang telah mengalami ekstraksi keypoint. Hasil akhir dari stucture from motion merupakan koordinat 3D absolut yang disebut point cloud yang merupakan titik yang memiliki koordinat yang berfungsi untuk merepresentasikan bentuk permukaan bumi. Point cloud didapatkan mengikuti metode direct georeferencing menggunakan perkiraan posisi kamera yang diketahui koordinatnya melalui Ground Control Point (GCP). Point cloud inilah yang selanjutnya digunakan untuk membentuk Digital Surface Model (Turner, 2012). Cara kerja SfM menurut (Westoby, 2012) meliputi langkah-langkah seperti berikut: 14

1. Akuisisi foto Proses SfM membentuk titik 3D objek dari banyaknya foto, sehingga akuisisi foto terhadap objek harus dari banyak sudut pengambilan. Banyaknya foto terhadap objek akan mempengaruhi resolusi spasial yang dihasilkan. 2. Ekstraksi Keypoint Keypoint diekstraksi secara otomatis berdasarkan keunikan dari nilai pixel objek. Banyaknya keypoint didasarkan pada tekstur dan resolusi gambar. Semakin baik tekstur dan semakin tinggi resolusi akan menghasilkan banyak keypoint. 3. Rekonstruksi 3D Rekonstruksi 3D diperoleh dari proses bundle adjustment dari keypoint yang telah digabung. Hasil dari proses bundle adjustment menghasilkan sparse point cloud. Penggabungan keypoint dilakukan dengan algoritma approximate nearest neighbor. Algoritma approximate nearest neighbor menggabungkan keypoint berdasarkan jarak antara minimal dua keypoint berdekatan. 4. Post-Processing Post-processing yang dilakukan yaitu trasnformasi koordinat menggunakan data dari pengukuran GCP agar diperoleh koordinat absolut point 3D pada permukaan bumi. I.8.6. Digital Elevation Model (DEM) Digital Elevation Model menurut (Petrie, 1990) merupakan representasi statistik permukaan tanah yang kontinyudari titik-titik yang diketahui koordinat X, Y, dan Z nya pada suatu sistem koordinat. Dalam segi bentuk DEM bisa dibentuk sebagai format raster maupun format vektor. Untuk memperoleh data DEM dapat dilakukan pengukuran langsung yang menghasilkan data vektor maupun penginderaan jauh yang menghasilkan data raster. DEM dalam penerapannya dapat menjadi representasi permukaan tanah untuk kemudian dilaksanakan analisa lebih lanjut. Berdasarkan jenis, DEM dibagi menjadi 2 jenis yaitu Digital Surface Model dan Digital Terrain Model. Digital Surface Model atau disebut juga model permukaan digital adalah bentuk representasi 3D dari objek di permukaan tanah (termasuk bangunan dan pohon di atas 15

tanah). Model permukaan digital didapatkan dari ektraksi informasi tinggi dari data raster maupun dari data pengukuran langsung. Digital Terrain Model atau disebut juga model terain digital adalah bentuk representasi titik-titik tinggi di atas permukaan tanah (tanpa mengandung bangunan dan pohon yang menutupi tanah). Model terain digital didapatkan dengan melakukan proses klasifikasi terain pada model permukaan digital atau digital surface model (DSM). Menurut (Passini, 2015) ada beberapa metode dalam proses filtering DEM, yaitu : 1. Splines Approximation 2. Shift Invariant Filters 3. Linear Prediction 4. Morphological Filter Proses filter yang paling sering digunakan yaitu Morphological Filter. Morphological filter dengan metode Slope-Based Filter. Slope-Based Filter didasarkan pada parameter kemerengan permukaan bumi dan radius area dari objek yang akan dibuang dari objek yang dianggap sebagai permukaan bumi (Gambar I.5). Kedua parameter digunakan dalam mendefenisikan DSM. Hasil filter dari proses ini cukup baik. Gambar I.5 Prinsip Slope-Based Filter Kekurangan dari proses ini yaitu nilai kedua parameter tidak dapat digunakan pada semua area permukaan. Permukaan yang berbeda seperti lereng dan bukit memiliki kemiringan yang berbeda dan luasan objek yang dibuang berbeda. Perbedaan 16

permukaan mengakibatkan tidak adanya nilai unik untuk kedua parameter dalam proses filter area yang berbeda (Wichmann, 2012). I.8.7. Uji Ketelitian Horizontal dan Vertikal hasil Pemetaan Topogarfi Dalam usaha mengetahui hasil analisis pemetaan menggunakan wahana UAV pada area luas tergolong dalam skala peta tertentu dan pada kelas tertentu, maka digunakan acuan ketelitian peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang dikeluarkan melalui Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) No 15 Tahun 2014 tentang ketelitian peta RBI, sebagaimana diuraikan pada tabel I.1. Table I.1 Kelas Ketelitian Peta Rupa Bumi oleh BIG No Skala Interval Kontur (m) Horizontal (CE90 dalam m) Ketelitian Peta Rupa Bumi Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Vertikal (LE90 dalam m) Horizontal (CE90 dalam m) Vertikal (LE90 dalam m) Horizontal (CE90 dalam m) Vertikal (LE90 dalam m) 1 1;1.000.000 400 200 200 300 300 500 500 2 1;500.000 200 100 100 150 150 250 250 3 1;250.000 100 50 50 75 75 125 125 4 1;100.000 40 20 20 30 30 50 50 5 1;50.000 20 20 20 15 15 25 25 6 1;25.000 10 5 5 7.5 7.5 12.5 12.5 7 1;10.000 4 2 2 3 3 5 5 8 1;5.000 2 1 1 1.5 1.5 2.5 2.5 9 1;2.500 1 0.5 0.5 0.75 0.75 1.25 1.25 10 1;1.000 0.4 0.2 0.2 0.3 0.3 0.5 0.5 Nilai Ketelitian disetiap kelas mengikuti Tabel I.2, mengacu pada ketelitian horizontal dan vertikal maka dapat ditentukan kelas ketelitian peta rupa bumi. Table I.2 Ketentuan ketelitian Geometri Berdasarkan Kelas Ketelitian Horizontal Vertikal Kelas 1 0.2 mm x bilangan skala 0.5 x interval skala kelas 2 Kelas 3 0.3 mm x bilangan skala 0.5 mm x bilangan skala 1.5 x ketelitian kelas 1 2.5 x ketelitian kelas 1 Nilai ketelitian pada tabel I.2 adalah nilai Circural Error (CE) 90 untuk ketelitian horizontal dan Linear Error (LE) 90 untuk ketelitian vertikal. Berdasarkan USNMAS (United States National Map Accuracy Standards) nilai CE90 dan LE90 17

dapat diperoleh mengikuti persamaan I.13 dan I.14 dengan mengacu kepada standar sebagai berikut: CE90 = 1,5175 x RMSEr (I.13) LE90 = 1,6499 x RMSEz (I.14) Keterangan : RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal) RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal) Uji ketelitian posisi dilakukan hingga mendapatkan tingkat kepercayaan 90% CE dan LE. Jika hendak dilakukan uji ketelitan posisi maka suatu objek harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Dapat diidentifikasi dengan jelas di lapangan dan di peta yang akan diuji. 2. Merupakan objek yang relatif tetap tidak berubah bentuk dalam jangka waktu yang singkat. 3. Memiliki sebaran yang merata di seluruh area yang akan diuji. Pengujian ketelitian posisi mengacu pada perbedaan koordinat (X,Y,Z) antara ICP pada ortomosaik dan DTM dengan ICP hasil ukuran GNSS. Pada pemetaan dua dimensi yang perlu diperhitungkan adalah selisih koordinat (X,Y) ICP pada ortomosaik dan ICP hasil ukuran GNSS. Analisis kualitas posisi menggunakan root mean square error (RMSE). RMSE digunakan untuk menggambarkan kualitas posisi meliputi kesalahan random dan sistematik. Nilai RMSE diperoleh melalui persamaan I.15, persamaan I.16 dan persamaan I.17. RMSE horizontal D 2 / h n (I.15) D 2 2 2 D x D y....(i.16) RMSE hvertikal ( zdata Z n cek ) 2...(I.17) Keterangan : n = Jumlah total pengecekan pada peta D = Selisih antara koordinat yang diukur dilapangan dengan koordinat di peta x = Nilai koordinat pada sumbu X 18

y = Nilai koordinat pada sumbu Y z = Nilai koordinat pada sumbu Z Nilai CE90 dan LE90 kemudian dihitung dengan persamaan I.13 dan I.14 kemudian nilai CE90 dan LE90 akan disesuaikan dengan kelas peta pada skala yang dipilih. 1.8.8.Uji Hipotesis Uji statistik yang digunakan untuk menguji suatu hipotesis dua sampel adalah uji-t sepihak (one tail test) dengan tingkat kepercayaan 95% atau memiliki taraf signifikansi (α) 5%. Uji hipotesis digunakan untuk menguji rata rata sampel terhadap nilai dianggap benar. Dalam hal ini digunakan selisih nilai koordinat ICP ortomosaik dan nilai koordinat ICP DTM dengan nilai koordinat ICP hasil ukuran GNSS distribusi t digunakan untuk membangun tes ini. Hipotesis nol untuk tes ini dapat mengambil dua bentuk: satu dan dua tes ekor. Dalam uji satu ekor perhatiannya adalah apakah mean sampel secara statistik lebih besar atau kurang dari mean populasi. (Ghilani, 2010). Dalam penelitian ini digunakan hipotesis : Ho : t t α/2 Ha : t > t α/2 Dengan dilakukan uji t menggunakan persamaan I.16 : Keterangan : t = y μ...(i.18) S / n y = Rata rata selisih ICP GNSS dan ICP Ortomosaik atau DTM μ = Nilai selisih ICP GNSS dan ICP Ortomosaik atau DTM seharusnya yaitu 0 atau dapat dikatakan tidak memiliki perbedaan S = Nilai simpangan baku rata rata n = jumlah sampel yaitu 7 Sehingga Ho akan diterima jika nilai rata rata (x ) berada pada t t α/2, dan jika Ho tidak berada pada kondisi tersebut maka dinyatakan Ho ditolak dan Ha diterima. 19

I.9. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah pemanfaatan metode fotogrametri dengan wahana UAV pada area yang luas akan menurunkan kualitas posisinya, baik pada koordinat X dan Y maupun Z. Secara statistik akan diketahui kualitas geometri ICP hasil pengukuran metode fotogrametri dengan wahana UAV untuk keperluan pemetaan menggunakan wahana UAV pada area yang luas akan bisa dikatakan berbeda secara signifikan dibandingkan dengan ICP hasil pengukuran survei GNSS pemetaan menggunakan wahana UAV pada area yang luas dapat masuk pada ketelitian skala 1:10.000 kelas 2. 20